Anda di halaman 1dari 13

RANGKUMAN KITAB AL-ISYTIQAQ KARYA ABDULLAH AMIN

Nama : Riza Rahman


NIM : 20/467046/PSA/19729
Prodi : Magister Kajian Budaya Timur Tengah/2020
Hal. : 391-416

Al-Isytiqāq Al-Kubbār
Yaitu : An-Nahtu
Istilah an-Nahtu secara bahasa berarti mengupas, meraut, memahat, menipiskan,
menyelaraskan, dan tidak dipakai kecuali atas benda-benda padat dan keras seperti batang kayu,
batu, dan sejenisnya. Orang Arab biasa mengatakan : nahata an-nāhitu al-khasyaba (pemahat itu
memahat sebatang kayu), atau memahat batu dan selainnya. Kata ini dalam bahasa arab termasuk
dalam kategori/bab seperti dharaba dan qatha’a, sehingga bisa diucapkan nahata-yanhitu atau
nahata-yanhatu. Adapun alat yang dipakai untuk memahat biasa disebut dengan al-minhat
(Indonesia : beliung), kapak, dan sejenisnya. Sedangkan benda hasil dari proses pahatan dalam
bahasa Arab dinamai an-nuhatah (karya/seni pahat).
Sedangkan yang dimaksud dengan an-nahtu oleh para ulama ilmu Isytiqaq adalah proses
penggabungan dua kata atau lebih yang kemudian dilebur menjadi satu dengan mengambil
sebagain huruf dari masing-masing kata untuk membentuk kata dengan makna baru yang selaras
dari masing masing kata sebelumnya.
Saya (pengarang kitab) menamainya dengan istilah al-kubbar (‫ )ال ُكبَّار‬dengan tasydid untuk
menunjukkan bahwa ia lebih besar dari al-kubar (‫ )ال ُك َبار‬tanpa tasydid, karena memang bab an-
nahtu ini adalah pembahasan paling besar dan sulit dalam al-Isytiqaq dibandingkan dengan bab
lainnya.
Para ulama ahli bahasa menyerupakan antara an-nahtu (proses pahatan) terhadap benda
seperti kayu dengan an-nahtu terhadap kalimat yang merupakan hal abstrak karena sebagaimana
pemahat bertujuan untuk menghilangkan bagian berlebih dari objek pahatan dan menyisakan
bagian yang baik dan cocok untuk dipasangkan dengan yang potongan lain yang diinginkan.
Begitu pula dengan seorang musytaq (pelaku isytiqaq kalimat), dimana ia menghilangkan
beberapa huruf dari masing-masing kata yang hendak disatukan yang dianggap tidak sesuai, dan
menyisakan huruf tertentu yang dianggap selaras untuk kemudian digabungkan menjadi satu.
Kata baru yang dihasilkan harus mengikuti kaidah yang berlaku bagi masing-masing kelas
kata, dimana jika ia berupa kata kerja (fi’il), maka berlaku atasnya hukum-hukum nahwu yang
khusus bagi fi’il seperti sifat transitif/intransitive, aktif/pasif, dan I’rab-nya seperti rafa’, nashab,
atau jazm. Begitupula apabila kata baru yang dihasilkan dari isytiqaq berupa kata benda (isim),
maka berlaku atasnya hukum dan kaedah khusus isim seperti nakirah/ma’rifah,
mu’annats/mudzakkar, mufrad/mutsanna/jama’-nya, serta kondisi I’rab-nya yaitu rafa’, nashab,
dan jar.
Tujuan isytiqaq atau penggabungan kata dalam bahasa Arab antara lain :
1. Mempermudah dalam mengungkapkan sesuatu karena lebih singkat.
2. Menambah variasi kata dalam bahasa Arab beserta maknanya, karena pada dasarnya setiap
kata yang baru akan mengandung makna yang baru juga.
Pembahasan an-nahtu dalam bahasa Arab ini meliputi beberapa hal sebagai berikut :

Bahasan Pertama :
Dokumentasi Al-Kalimāt Al-Manhūtah
__________________

Sejauh ini, riwayat tertulis dari para ulama ahli bahasa mengenai kata-kata dalam bahasa
Arab yang mengalami proses an-naht masihlah sangat terbatas jumlahnya, kurang lebih hanya
berjumlah enam puluh-an, dan dari jumlah tersebut kemudian dibagi menjadi dua kategori :
Kategori pertama : Kata kerja (fi’il) yang terdiri dari empat huruf (ruba’iyyah), dimana
hasil dari proses penggabungannya dibentuk atas wazan fa’lala (َ‫ )فَعلَ َل‬sebagaimana pendapat yang
diutarakan oleh Muhakki. Adapun kata-kata yang termasuk dalam kategori pertama ini antara lain
adalah :

Asal Kata Isim Manhūt


ََِ َ‫َََََََََََََبِس ِم‬
‫اّلل‬ َ‫سم َل‬ َ َ‫ب‬
ََ ‫بحا َن‬
‫َاّلل‬ َ ‫َََََََََََََََََََََ ُس‬ ‫بح ََل‬ َ ‫َس‬
َِ ‫َإَلَ ِِب‬
َ‫ّلل‬ َ َ‫حول ََوَََلَق َوة‬
َ ‫ََل‬ ‫َحولَ ََق‬
ُ‫َاّلل‬
ََ ‫سِب‬ ِ
َ ‫ََََََََََََ َح‬ ‫َحسبَ ََل‬
َ‫َع ُد َو َك‬ َ ُ‫َاّلل‬
َ ‫ت‬ َ َ‫ََََََََََ َكب‬
َ َ‫َكبتَ َع‬
‫طرَفِ َِيه‬ َ ‫ََلَ َم‬
ََ ‫رق‬
ٌ َ‫ََََََََََب‬ ‫بَرقَ ََل‬
ََ ‫َََََََََََََ ِِبِِبَأ‬
‫َنت‬ َ‫َِب ََِب‬
ََِِ ‫مد‬
‫َّلل‬ ُ َ‫ََََََََََََاحل‬ َ‫ََح َد َل‬
‫َعلَى‬َ ‫ََََََََََََََََََََََ َح َي‬ ‫َح َيع ََل‬
ِ ‫ََََََََََأدامَاّلل‬
‫َعَزََك‬ َ‫معَز‬
ُ‫َ َ ه‬ َ ‫َد‬
ََ ِ‫لتَف‬
‫داك‬ ِ
ُ ‫ََََََََََ ُجع‬ ‫َجع َف ََد‬
‫َاّللَُ َكا َن‬
َ َ‫اشاء‬
َ ‫َََََََََ َم‬ ‫َمش َك ََن‬
‫َعلي ُكم‬
َ ‫الم‬
ٌ ‫ََََََََََََََََََََ َس‬ َ‫ََس َع َل‬
َ‫َاّللَُبَ َقاءَ َك‬
‫ال ه‬ َ َ‫َََََََََأَط‬ ‫طَلبَ ََق‬
ََ َ‫كَل‬
‫ك‬ ِ
َ ‫ََََََََََََفَ َذال‬ ََ َ‫فَذل‬
‫ك‬
ََ ‫َََََََََََََلَإِ َلهَإََِل‬
ُ‫َاّلل‬ ‫َهلَ ََل‬
َ‫َإَّنَإلَ ِيه ََر ِاجعُون‬ َِِ ‫َََََإَّن‬
َ ‫ََّلل ََو‬ َ‫َر َج َع‬
ََُ ُ‫اّلل‬
‫َأكب‬ َ َََََََََََََََََََََ ‫َك َََب‬
ُ‫َاّلل‬
ََ ‫اك‬ َ ‫َََََََََََأَس َق‬ ‫َسقَى‬
‫ََََََََََََ ََيَأَيُّتُ َها‬ ‫أَيََة‬

َ
Kategori kedua : Kata benda (isim) berbentuk frasa idhafah dari mudhaf dan mudhaf ilaih,
kemudian digabungkan, ia memiliki tiga macam kasus, antara lain :
a. Isim yang merujuk kepada kabilah-kabilah tertentu yang asalnya berupa dua buah isim
tsulatsi yang kemudian digabungkan sehingga berwazan fa’lalin (َ‫)فَعلَل‬. Umumnya terjadi pada
isim yang menunjukkan nasab/keturunan seseorang dan disebutkan ketika membeberkan
silsilah orang tersebut. Ada lima nama yang tercatat masuk dalam jenis ini, yaitu :

Asal Kata Isim Manhūt


َِ ‫َََََََََََََََتَيم‬
َ‫َاّلل‬ ُ ‫يملِ َي‬
َ َ‫ت‬
َ‫ََشس‬ َ ‫بد‬ ُ ‫َََََََََََََ َع‬ َ‫بش ِمي‬ َ ‫َع‬
‫َالدا َِر‬
َ ‫بد‬ ُ ‫ََََََََََََََ َع‬ َ‫بد ِري‬َ ‫َع‬
ِ ‫ََََََََََََام ِرئَال َق‬
َ‫يس‬ َ‫َمرقَ ِسي‬
َِ ‫بدَال َق‬
‫يس‬ ُ ‫َََََََََََََ َع‬ ‫َعب َق ِس ٌَي‬
َ َ َ َ َ َ
Perlu dicatat pula bahwa sebagian kalangan ahli bahasa juga membentuk kata kerja dari hasil
naht kalimat di atas menjadi kata kerja (fi’il) yang menunjukkan perubahan nasab, contohnya
: ‫بش َم‬
َ ‫ تَ َع‬yang artinya “dia telah menjadi bagian kabilah Bani Abdi Syams” karena sebab-sebab
َ
seperti perjanjian persekutuan (half), pernikahan, atau lainnya.

b. Isim yang merujuk kepada kabilah-kabilah yang namanya diawali dengan “Bani” dan diikuti
nama lain berawalan alif lam (qamariyyah). Maka diambillah beberapa huruf dari masing-
masing kata untuk digabungkan menjadi sebuah kata baru, yang tercatat sebagai jenis ini antara
lain :

Asal Kata Isim Manhūt


‫ََََََََََََََبَِِنَال َقني‬ ‫بَل َقني‬
‫ََََََََََََبَِِنَاحلَا ِرث‬ ‫لحا ِرث‬
َ َ‫ب‬
‫جالن‬ َ ‫َََََََََََبَِِن‬
َ ‫َالع‬ ‫جالن‬
َ ‫بَ َلع‬
‫َََََََََََبَِِنَاهلُ َجيم‬ ‫له َجيم‬
ُ َ‫ب‬
َ ‫ََََََََََََبَِِن‬
َ‫َالع َنب‬ َ‫بَ َلع َنب‬
ََ َ َ َ َ
c. Isim yang merupakan frasa idhafah namun bukan isim ‘alam, dimana masing-masing dari
mudhaf dan mudhaf ilaih-nya diambil sebagian hurufnya kemudian dibentuk menjadi sebuah
isim khumasiy (yang terdiri dari lima huruf), contohnya :

Asal Kata Isim Manhūt


َ‫َحطَب‬
َ ‫َََََََََََََ َش ُّق‬ ‫َش َقحطَب‬
َ‫بَقُهر‬ ُّ ‫ََََََََََََََ َح‬ ‫َحب ُقهَر‬
‫بَقُهَر‬ُّ ‫ََََََََََََََ َح‬ َ‫َعب َقهر‬
َ‫ََشس‬ َ ‫ب‬ ُّ ‫ََََََََََََ َع‬ ‫بشمس‬ َ ‫َع‬
‫لَسبِيلُه‬ ِ ‫لسبِيل‬
َ ‫َََََََََََ َسل َس‬ َ ‫َس‬
ََ ‫َجلَأَن‬
‫َك‬ ِ ‫ََمنَأ‬ ِ ‫ََََََََََأ‬ ََ ‫أ َِجن‬
‫ُّك‬
َ‫اجم‬ ِ ‫َََََََََََعجمَض‬ ‫مضى‬
َ َُ َ َ ‫َع َج‬

Bahasan Kedua :
Catatan Terhadap Dokumentasi Al-Kalimāt Al-Manhūtah
__________________

1. Lafazh-lafazh yang termasuk ke dalam kategori pertama seluruhnya merupakan lafazh/kata


yang bernuansa islam, sehingga tidak bisa dianggap sebagai karya Arab murni, namun ia
merupakan karya gabungan dari orang Arab keturunan islam.
2. Delapan kata-kata awal (al-manhut) dari kategori pertama di atas disusun dari beberapa
secara acak huruf permulaan masing-masing asal kata, dimana contohnya terdapat pada
kata basmala (‫)بَس َم َل‬, huruf ba’, sin, dan mim merupakan awalan dari kata bismi (‫سم‬ ِ ِ‫)ب‬,
sedangkan huruf lam merupakan awalan dari lafazh jalalah Allah yang di-idghamkan,
begitu pula dengan apa yang terjadi pada lafazh lainnya hingga kata ke-delapan yaitu
hamdala (‫ )حمد َل‬dengan menanggalkan penulisan alif lam ta’rif pada permulaannya.
3. Tujuh kata selanjutnya merupakan bentuk naht yang disusun atas dua huruf permulaan kata
pertama dan dua huruf permulaan kata kedua, misalnya : lafazh hai’ala (‫ ) َحيعَ َل‬dibentuk dari
pengambilan dua huruf awal lafazh hayya (‫ْي‬ َ ‫ ) َحي‬yaitu ha’ fathah dan ya’ sukun, dan dua
huruf permulaan kata keduanya yaitu ‘alā (‫ ) َعلَى‬diambillah huruf ‘ain fathah dan lam
fathah-nya. Begitupula yang terjadi pada lafazh lainnya hingga pada kata fadzlaka ( َ‫)فَذذلَك‬.
4. Lima kata selanjutnya dianggap oleh pengarang bukan termasuk lafazh yang mengalami
proses naht, karena susunan huruf di dalamnya tidak diambilkan dari awalan atau bagian
kata asal, misalnya : kata hallala/hailala (‫ َهلَّ َل‬/‫ )هَيلَ َل‬tidaklah bersusun dari bagian kata
pembentuk kalimat lā ilāha illallāh (ُ‫)َل إلهَ اإَل للا‬,َ sehingga dianggap lebih cocok disebut
sebagai isytiqaq biasa dan bukan naht. Adapula ahli bahasa yang menggunakan pendekatan
etimologis terhadap asal mula lima kata terakhir dari kelompok kategori pertama ini,
dimana mereka menyebutkan kata hallala berasal dari kata al-hilāl, dimana orang Arab
ketika melihat munculnya bulan baru yang berbentuk sabit mereka berteriak mengangkat
suara untuk merayakan atau memberitakan kejadian tersebut, lalu istilah ini dipakai
terhadap setiap pekerjaan yang mengangkat suara di dalamnya, termasuk pelafalan lā ilāha
illallāh di kalangan kaum muslimin. Kemudian lafazh lainnya, yaitu rajja’a ( ‫)ر َّج َع‬ َ tidak
diambilkan dari masing-masing awalan kalimat innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn ( ‫إنَّا اّللِ َو إنَّا‬
ِ ‫)إلَي ِه َر‬, namun hanya dari salah satunya saja, yaitu kata raji’un (‫اجعُون‬
‫اجعُون‬ ِ ‫)ر‬.
َ

Di sinilah perbedaan antara lafazh yang mengalami isytiqaq biasa (musytaq) dibedakan
dengan yang mengalami penanggalan dan penggabungan naht (manhut), yaitu apabila lafazh
musytaq hanya diambilkan dari salah satu kata asal pembentuk kalimat, sedangkan lafazh manhut
diambilkan dari beberapa huruf dari masing-masing kata asal penyusun kalimat.
Bahasan Ketiga :
Pendapat Ahmad bin Faris : Setiap Kata Lebih Dari Tiga Huruf
Mayoritas Adalah Manhut
__________________

Ibnu Faris mengatakan dalam kitabnya As-Shāhibiyyu fi Fiqhi al-Lughah : “… dan inilah
pendapat madzhab kami, bahwa setiap kata yang lebih dari tiga huruf mayoritasnya merupakan
lafazh yang manhut”. Beliau juga menyampaikan dalam kitab al-Maqabis : … ketahuilah bahwa
dalam bab lafazh khumasiy dan sudasiy terdapat sebuah madzhab qiyas yang disimpulkan dari
sebuah pengamatan detail, yaitu bahwasanya kebanyakan lafazh-lafazh tersebut merupakan lafazh
manhut, yaitu dimana ada dua kata diambil dari masing-masingnya beberapa huruf untuk
digabungkan menjadi satu kata baru.
Beliau juga menyebut dalam kitab yang sama, bahwa dalil yang melandasi pendapat
tersebut salah satunya adalah pernyataan dari Al-Khalil bin Ahmad : melafalkan hai’ala (‫) َحيعَ َل‬
untuk mewakili kalimat hayya ‘ala (‫ي َعلى‬ ‫) َح ا‬. Kemudian diantara fenomena pelafalan yang hampir
bisa dikatakan sebagai suatu hal yang disepakati di kalangan ahli bahasa Arab adalah perkataan
mereka : ‘absyami (‫ي‬‫ ) َعبش َِم ا‬yang dikutip dari salah satu potongan syair :
ِ ‫َشيخةٌَع‬ ِ ُ ‫فَتَضح‬
‫بشميهة‬ َ َ َ ‫كَم ِهّن‬ َ
Maka dari berbagai dalil tadi, kami mendasari pendapat yang telah kami ajukan dan
sebutkan sebelumnya, Ibnu Faris juga menyebutkan banyak sekali dalam kitabnya mengenai
lafazh-lafazh yang mengalami proses an-naht disertai penjelasan apa saja huruf yang telah
ditanggalkan atau dibuang darinya, dan berikut kami sebutkan sebagian diantaranya disertai
komentar kami atasnya :
1) Ar-Rajulu al-Hibla’ (‫)الر ُج ُل ال ِهبلَ ُع‬
َ : yang artinya laki-laki doyan makan. Lafazh al-hibla’
merupakan lafazh manhut yang terdiri dari dua kata asal : al-hala’ (‫ )ال َهلَع‬dan al-bal’ (‫)ال َبلَع‬,
yang masing-masing bermakna rakus dan menelan makanan. Pendapat kami :
kemungkinan memang benar bahwa lafazh tersebut merupakan lafazh manhut
sebagaimana yang beliau sebutkan, pertama karena memang terdapat huruf dari masing-
masing kata asal yaitu huruf ha’ dari kata al-hala’ dan tiga huruf dari kata al-bal’, dan
kedua, karena makna yang dihasilkan mengandung makna campuran dari kedua lafazh
asal.
2) As-Shildam (‫)الصلدَم‬ ِ : bermakna kuda yang tangkas/tangguh. Lafazh manhut ini berasal dari
dua kata, yaitu : as-shaldu (‫صلد‬ َ ‫ )ال‬dan as-shadm (‫صدم‬
َ ‫ )ال‬yang masing-masing bermakna
keras dan tabrakan. Pendapat kami : sebagaimana yang pertama, lafazh tersebut
kemungkinan juga merupakan hasil dari naht dua kata asal, karena memiliki kandungan
makna campuran dan huruf penyusunnya diambilkan dari kedua kata asal juga.
3) Bazmakha (‫ )بَز َم َخ‬: bermakna sombong. Lafazh manhut satu ini berasal dari dua kata, yang
pertama yakni bazikha (‫ )بَ ِز َخ‬yang berarti berjalan dengan memaksa tegap dan zamakha
(‫ )زَ َم َخ‬yang berarti tinggi hati. Pendapat kami : lafazh ini juga berkemungkinan sebagai
lafazh manhut karena lafazh dan makna yang dihasilkan sesuai dengan gabungan dua kata
asal.
4) Balthaha (‫ط َح‬ َ ‫ ) َبل‬: berarti melempar/membanting dirinya ke tanah. Lafazh manhut ini berasal
dari dua kata, yaitu balatha (‫ط‬ َ َ‫ )بَل‬yang bermakna menempel permukaan tanah, dan bathaha
َ
(‫ )بَط َح‬yang bermakna jatuh. Pendapat kami : lafazh ini juga kemungkinan termasuk sebagai
lafazh manhut karena secara makna mewakili dua kata asal pembentuknya, sedangkan dari
segi lafazh sendiri merupakan gabungan dari tiga huruf kata asal yang pertama dan huruf
terakhir kata kedua.
5) Shahshalaqa (‫ )صهصلق‬: yang bermakna suara keras yang histeris, biasanya digunakan
untuk wanita. Ia terambil dari dua buah kata, yaitu shahala (‫ص َه َل‬ َ ) yang berarti pekikan dan
shalaqa (‫صلَق‬ َ ) yang berarti suara gertakan gigi binatang. Komentar kami : lafazh ini
kemungkinan termasuk sebagai lafazh yang manhut karena memiliki perpaduan secara
makna dan tulisan atau susunan hurufnya.
6) Jardaba (‫ب‬ َ َ‫ ) َجرد‬: yang bermakna menampik/menutupi makanan dengan tangan supaya
tidak direbut orang lain. Ia terambil dari dua buah kata, yakni jadaba (‫دب‬ َ ‫ ) َج‬yang berarti
tanah tandus ; yang terhalang dari menebar kebaikan, dan jaraba-jiraabun (‫ ِج َراب‬- ‫ب‬ َ ‫) َج َر‬
yang berarti wadah makanan. Komentar kami : lafazh ini kemungkinan juga termasuk
dalam lafazh manhut karena perpaduan secara makna dan lafazh penyusunnya diambil dari
dua kata asal tersebut (kemungkinan).
7) Orang Arab biasa menyebut sebuah gundukan pasir yang tinggi sebagai jumhur (‫) ُجمهور‬,
dimana ia diambil dari dua kata : jamara (‫ ) َج َمر‬yang bermakna sekumpulan, dan kata jahara
(‫ )ج َهر‬yang berarti nampak tinggi, maka bisa disimpulkan perpaduan keduanya membentuk
makna yang menggambarkan sesuatu yang terkumpul lagi tinggi. Komentar kami : secara
makna jelas kata ini mewakili kedua kata sebelumnya yang bermakna tinggi dan nampak,
sedangkan dari huruf penyusunnya merupakan gabungan dari jamara dan jahara dengan
wawu sebagai tambahan seperti dalam lafazh ‘ushfur (‫)عُصفُور‬.
8) Sedangkan lafazh Dhibathr (‫)ضبَطر‬ ِ yang dianggap sebagai lafazh manhut dari dua kata :
dhabatha (‫ط‬ َ ‫ )ضب‬dan dhabara (‫ )ض َبر‬kami anggap itu tidak termasuk sebagai lafazh manhut
karena ketiga lafazh ini memiliki makna yang identik/sama yaitu kekuatan dan kekerasan,
padahal sebagaimana kita jelaskan sebelumya bahwa an-naht adalah proses memadukan
dua buah kata yang berbeda makna untuk dihasilkan sebuah perpaduan makna dan lafazh
yang baru, maka jika asal kata yang mendasari sudah sama artinya, maka tidak ada
gunanaya untuk menggabungkan keduanya, sehingga hal semacam ini tidak termasuk
lafazh manhut, sedangkan Ibnu Faris memasukkannya sebagai lafazh manhut dari satu sisi,
yaitu perpaduan lafazh/susunan hurufnya.
9) Orang Arab menyebut bagian yang tertinggal dari pohon sejenis Palm (pinang) setelah
dipotong/ditebang dengan sebutan Judzmur (‫) ُجذ ُمور‬, dimana ia dikatakan berasal dari dua
buah kata, yakni jidzmun (‫ )جذم‬dan jidzrun (‫ )جذر‬yang keduanya berarti akar, namun ada
pendapat yang menyatakan bahwa jidzmun berarti pemotongan, sehingga ia tidak padu
dalam arti kata judzmur itu sendiri. Komenter kami : lafazh ini tidak termasuk sebagai
lafazh manhut karena tidak sesuai dengan madzhab atau pandangan kami mengenai lafazh
manhut yang mengharuskan asal katanya merupakan dua buah kata yang berbeda makna
demi menghasilkan makna padu yang baru sebagaimana lafazh sebelumnya seperti
dam’aza ( َ‫ )دَمعز‬yang memiliki gabungan makna kelanggengan dan keperkasaan.
Bahasan Keempat :
Pendapat Ulama Bashrah dan Kufah
Mengenai Lafazh Yang Lebih Dari Tiga Huruf
__________________

Mengutip dari permasalahan nomor 114 dalam kitab al-Inshaf fi Masa’il al-Khilaf baina
an-Nahwiyyin al-Bashriyyin wa al-Kufiyyin, karya salah satu ulama nahwu Imam Abu al-Barakat
Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Sa’id al-Anbari, beliau mengatakan :
Golongan Kufiyyun -pengikut madzhab Kufah- berpendapat bahwasanya setiap kata benda
dalam bahasa Arab yang terdiri atas lebih dari tiga huruf, maka pasti ada huruf tambahan di
dalamnya, contohnya kata benda yang terdiri dari empat huruf semisal kata : Ja’far (‫ ) َجعفَر‬maka di
dalamnya ada satu buah huruf tambahan/ziyadah, namun mereka berselisih dalam menentukan
huruf mana yang merupakan tambahan. Adapun al-Kisa’i, beliau berpendapat bahwa huruf
sebelum terakhir dari kata tersebut-lah yang merupakan huruf tambahan, sedangkan al-Farra’
mengatakan huruf terakhir-nya lah yang merupakan sisipan. Lalu untuk kata yang tersusun atas
lima huruf semisal : Safarjal (‫سفر َجل‬َ ), maka di dalamnya ada dua huruf tambahan/ziyadah.
Sedangkan golongan Bashariyyun menyatakan bahwa susunan huruf pada lafazh khumasiy dan
ruba’iy tidak bisa disamakan dengan lafazh tsulatsi, dan bahwa pada keduanya tidak ada huruf
tambahan sama sekali.
Golongan Kufiyyun berdalih dengan mengatakan : kami berpendirian seperti itu karena
kami sepakat bahwa wazan Ja’far adalah fa’lalun (‫ )فَعلَل‬dan wazan Safarjal adalah fa’allalun (‫)فَعَلَّل‬,
lalu sebagaimana kami ketahui bahwa asal kedua wazan fa’lalun dan fa’allalun adalah huruf fa’-
‘ain-lam yang tunggal (‫ ل‬- ‫ ع‬- ‫)ف‬, sehingga salah satu dari dua huruf lam dalam wazan fa’lalun
pasti merupakan tambahan/ziyadah, begitu juga dua buah huruf lam pada wazan fa’allalun.
Sedangkan Bashariyyun menyatakan : huruf tambahan pada kata Ja’far (jika ada tentunya)
bisa saja salah satu dari huruf jim-‘ain-fa’-atau ra’ yang menyusunnya, jika dikatakan huruf
tambahannya adalah ra’ maka wazan lafazh tersebut seharusnya adalah fa’larun (‫)فعلر‬, jika yang
dianggap huruf tambahannya adalah jim, maka wazannya harus dibaca ja’falun (‫)جعفل‬, atau
seandainya yang menjadi tambahan adalah huruf ‘ain maka wazannya akan menjadi fa’ ‘alun (‫)ف َّعل‬,
dan jika yang menjadi tambahan adalah huruf fa’ maka wazannya akan menjadi fa’falun (‫)فعفل‬,
begitu pula logika yang harus dijalankan pada lafazh Safarjal, namun apabila tidak ada satupun
ahli bahasa yang mengatakan demikian (wazannya), maka sudah barang tentu semua huruf dari
kedua kata tersebut adalah asli (bukan tambahan).
Komentar kami : untuk pendapat yang diutarakan oleh golongan Kufiyyun yang
menyatakan bahwa jika salah satu lam yang ada dalam wazan kata ja’far -fa’lal- adalah tambahan,
itu menunjukkan bahwa memang di dalam lafazh ja’far ada satu huruf tambahan, atau bahwa
dalam wazan safarjal -fa’allal- ada dua buah lam tambahan yang menunjukkan adanya dua huruf
tambahan dalam kata safarjal tersebut.
***
Hal di atas adalah apa yang diriwayatkan dan ditulis oleh Ibnu Al-Anbari mengenai dalil-
dalil yang diutarakan oleh golongan Bashrah maupun Kufah untuk memperkuat pendapat madzhab
mereka masing-masing tentang hal ihwal isim ruba’iy dan khumasiy. Kedua kelompok tersebut
hanya berfokus pada kondisi wazan untuk dijadikan sebagai pedoman dan sandaran, sebagaimana
hal itu juga dilakukan dan dirumuskan oleh ulama bahasa Arab sebelumnya dengan menjadikan
al-mizan as-sharfiy (yang terdiri dari tiga huruf) untuk menguji susunan huruf asli dan tambahan
suatu kata. Penulis menolak sandaran semacam ini dalam menentukan susunan huruf sebuah kata,
karena sangat rentan untuk menimbulkan kerancuan.
Sebagai contoh, pendapat golongan Kufah yang menyatakan adanya huruf tambahan dalam
salah satu isim ruba’iy - ja’far contohnya - dengan menyodorkan bukti berupa tambahan sebuah
lam dalam wazannya - menjadi fa’lal -, atau menyatakan adanya dua huruf tambahan dalam isim
khumasiy - safarjal contohnya - dengan menyodorkan bukti tambahan dua huruf lam dalam
wazannya - menjadi fa’allal - hal ini merupakan pembuktian yang gagal. Seandainya saja para ahli
bahasa tersebut memunculkan anggota tambahan bagi huruf mizan (timbangan) untuk isim ruba’iy
dan khumasiy huruf selain fa’, ‘ain, dan lam, tentunya hal itu akan semakin memperjelas perbedaan
mana isim yang kemasukan huruf tambahan dan mana isim yang susunan hurufnya semua asli,
misalnya dengan menjadikan hurum mim dan jim sebagai huruf mizan ke-empat dan ke-lima,
sehingga wazan dari ja’far akan menjadi fa’lama (‫ )فعلم‬atau fa’laja (‫ )فعلج‬jika kesemua hurufnya
adalah asli, dan wazan dari safarjal akan menjadi fa’lamaja (‫ )فعلمج‬atau fa’lajama (‫ )فعلجم‬saat
kesemua huruf penyusunnya adalah asli dan bukan tambahan. Setelah itu, barulah mereka bisa
menjadikan penambahan satu huruf lam atau dua dalam sebuah wazan lainnya sebagai petunjuk
adanya huruf tambahan pada kata tersebut.
Kemudian, golongan Kufah menyatakan bahwa wazan dari lafazh manhut semisal
‘Absyam (‫ )عبشم‬dan ‘Abqas (‫ )عبقس‬adalah sama-sama berwazan fa’lal (‫ )فعلَل‬padahal di sisi lain
ingin menyatakan bahwa semua huruf penyusunnya adalah asli merupakan sesuatu yang juga tidak
dapat diterima oleh logika karena bertolak belakang dengan kaedah atau pandangan mereka
sebelumnya. Standar ganda yang diterapkan oleh para ahli bahasa selama inilah yang ingin dikritisi
oleh penulis.
***

Golongan Bashrah yang memiliki pandangan lain yaitu bahwasanya huruf berlebih pada
isim ruba’iy dan khumasiy adalah huruf asli dan bukan tambahan yang menyelisihi golongan
Kufah juga memiliki sandaran pendapat yang tak kalah aneh, mereka menyatakan : “Jika
seandainya huruf pada isim ruba’iy semisal Ja’far adalah tambahan/ziyadah, maka wazannya
seharusnya berubah menjadi ja’fala (‫)جعفل‬, fa’ ‘ala (‫)فعال‬, fa’fala (‫)فعفل‬, atau fa’alara (‫)فعلر‬, karena
para ulama ahli bahasa sepakat berpendapat huruf tambahan harus ditulis sebagaimana adanya
dalam wazan dasar. Namun karena tidak ada satupun yang melakukannya, itu menunjukkan secara
tidak langsung bahwa wazan yang sudah ada tersebut menjadi petunjuk atas keaslian huruf pada
kedua jenis isimm tersebut (ruba’iy dan khumasiy)”. Istidlal (usaha pembuktian) mereka tidak
diterima karena poin yang disepakati ulama ahli bahasa adalah penulisan huruf tambahan yang
khusus untuk sepuluh huruf ziyadah yang terkumpul dalam ungkapan (‫سأَلت ُ ُمونِي َها‬
َ ), misalnya lafazh
akrama (‫)أكر َم‬
َ yang merupakan kata bersisipan hamzah, maka hamzah tersebut tetap ditulis
sebagaimana adanya dalam wazan sebagai af’ala (‫ )أفعَ َل‬karena termasuk ke dalam huruf yang
sepuluh tersebut, sedangkan selainnya ditulis sebagai pengulangan huruf wazan dasar ( ‫ ل‬- ‫ ع‬- ‫)ف‬
sebelumnya, seperti contohnya Ja’far (ra’) dan Safarjal (jim dan lam) yang dibahas panjang lebar
sebelum ini.
Maka pendapat dan pandangan yang kami anggap paling mendekati kebenaran adalah
bahwa kebanyakan lafazh tsulatsi, ruba’iy, dan khumasiy yang ada saat ini pada dasarnya adalah
lafazh yang terdiri dari (mungkin) dua huruf atau disebut tsuna’iy yang dikenakan penambahan
satu, dua, atau tiga huruf yang kemudian dipermanenkan dan dianggap sebagai asli, salah satu
penyebabnya yang paling mungkin adalah untuk alasan “al-ilhāq”.

***
Bahasan Kelima :
Penambahan Huruf Untuk Ilhaq, Sebuah Variasi Kebahasaan
_______________

Pengertian ilhaq : yaitu penambahan satu, dua, atau tiga huruf baik pada isim ataupun fi’il
tanpa disertai penambahan makna yang dihasilkan darinya, bertujuan supaya lafazh yang
mengalami penambahan tersebut bisa diserupakan dengan lafazh lain yang jumlah hurufnya lebih
banyak darinya dalam hal harakat maupun bentuk susunannya ketika ditashrif dalam bentuk fi’il
madhi, mudhari’, amr, dan mashdar jika lafazh tersebut berupa fi’il (kata kerja) dan dalam hal
kesamaan jumlah ketika ditashrif dalam bentuk mufrod, mutsanna, dan jama’ jika lafazh tersebut
berupa isim (kata benda).
Berikut adalah contoh-contoh lafazh yang mengalami penambahan karena ilhaq :
a. Golongan lafazh tsulatsi yang mengalami penambahan satu huruf guna bertemu (mulhaq)
dan sejajar dengan lafazh ruba’iy diantaranya : al-Hauqal (‫ )ال َحوقَل‬yang bermakna orang
tua renta, al-Jadwal (‫دول‬ َ ‫ )ال َج‬yang bermakna sungai kecil/got, az-Zainab (‫ )الزَ ينَب‬sejenis
pohon yang indah dan harum, serta al-Kaukab (‫َوكب‬ َ ‫)الك‬, kesemuanya mengalami
penambahan satu huruf guna sejajar dengan isim ruba’iy asli seperti Ja’far (‫) َجعفر‬.
Kemudian ada : rahwaka ( َ‫هوك‬ َ ‫)ر‬
َ yang artinya berjalan sempoyongan, jauraba (‫ب‬ َ ‫ور‬
َ ‫ ) َج‬yang
artinya memakaikan kaus kaki, keduanya mengalami penambahan satu huruf guna sejajar
dengan fi’il ruba’iy lain seperti dahraja (‫حر َج‬
َ َ‫)د‬.
b. Golongan lafazh tsulatsi yang mengalami penambahan dua huruf supaya bertemu (mulhaq)
da sejajar dengan lafazh khumasiy diantaranya : al-Inqahlu/al-Inqahlatu (‫اإلنقَح ُل‬/ُ ‫)اإلنقَحلَة‬
yang bermakna sombong, al-Inzahwu/al-Inzahwatu (‫هو‬ ُ َ‫اإلنز‬/ُ ‫هوة‬
َ َ‫ )اإلنز‬yang bermakna
pemilik kebanggaan. Keduanya mengalami penambahan supaya sejajar dengan isim
khumasiy lain seperti al-Jirdahlu (‫)الجردَحل‬.
ِ
Pertambahan huruf yang terjadi dalam kasus ilhaq ini dianggap menyatu dan benar-benar
menjadi huruf penyusun asli dan bukan sebagai tambahan/ziyadah, sehingga lafazh-nya juga tidak
dianggap sebagai lafazh mazid, hal ini dijelaskan dalam kitab karya Sibawaih (jilid 2 hal 344) :
“ Ini adalah bab yang membahas tentang penambahan yang terjadi pada lafazh-lafazh bersusun
tiga (tsulatsiy) guna disejajarkan dengan lafazh bersusun empat (ruba’iy), kemudian berlangsung
lama sehingga dianggap seakan-akan bukan sebuah tambahan lagi dan huruf yang ditambahkan
dikategorikan sebagai huruf asli, contohnya pada kata berwazan fa’laltu ( ُ‫ )فَعلَلت‬dimana huruf
tambahan bertempat pada huruf lam pada wazan tersebut dan kemudian disejajarkan dengan fi’il
semacam dahrajtu ( ُ‫)دحرجت‬, buktinya adalah bahwa bentuk masdar keduanya (baik yang lafazh
mujarrad maupun mazid lil ilhaq) adalah sama seperti jalbabtu - jalbabatan (‫ َجل َببة‬- ُ‫ ) َجلبَبت‬dan
syamlaltu - syamlalatan (‫ شَملَلة‬- ُ‫”)شَملَلت‬.
Bahasan Keenam :
Penambahan Huruf Dalam Variasi Kebahasaan Non-Ilhaq
________________

Titik kesamaan antara penambahan huruf yang dibahas pada bab ini (non-ilhaq) dengan
pembahasan yang sama pada bab sebelumnya adalah mengenai penambahan huruf yang terjadi
dalam suatu lafazh namun tidak mempengaruhi makna yang ada sebelumnya, hanya bertujuan
untuk memvariasikan bahasa (at-tawassu’ fi al-lughah) dan memperbanyak shighah (form) dari
suatu kata dasar. Adapun hal yang membedakan adalah bahwasanya penambahan yang terjadi
untuk tujuan ilhaq itu bisa diketahui berdasarkan sima’ah (pendengaran) dan qiyasiyyah (analogi)
sementara yang bertujuan untuk tawassu’/variasi semata hanya diketahui lewat kaedah sima’ah.
Berikut ini adalah penjelasan masing-masing kelompok dari jenis penambahan non-ilhaq
beserta contohnya :
a. Yang mengalami penambahan huruf nun di akhir kata - misalnya : Ra’syanun (‫)رعشَن‬ َ
bermakna orang yang mengalami goncangan dan rasa gelisah, Dhaifanun (‫ضيفَن‬ َ ) bermakna
orang yang datang menyertai/mendampingi tamu, Khilfanun/Khilfanatun (‫خلفَن‬/ ِ ‫)خلفَنَة‬
ِ
bermakna orang yang kelakuannya penuh kontradiksi.
b. Yang mengalami penambahan huruf lam di akhir kata - misalnya : Fahjalun (‫)فَح َجل‬
bermakna orang yang mengangkang, ‘Abdalun (‫عبدَل‬ َ ) bermakna hamba sahaya, Zabdalun
(‫ )زَ بدَل‬bermakna buih.
c. Yang mendapat sisipan hamzah - misalnya : al-Ghirqi’u (‫ )ال ِغرقِي ُء‬bermakna putih telur,
ُ
asalnya adalah al-ghirqu (‫)الغرق‬, as-Syam’alu (‫ )الشَمأ َ ُل‬bermakna anging yang berhembus
dari arah utara, asalnya adalah as-syamal (‫)الشمال‬.
d. Yang mendapat penambahan huruf ta’ - misalnya : Taqdamun (‫ )تَقدم‬bermakna bagian depan
lidah.
e. Yang mendapat penambahan huruf jim - misalnya : al-Hasyraju (‫شرج‬ َ ‫ )ال َح‬bermakna
pondasi.
f. Yang mendapat penambahan huruf mim, dan ini adalah jenis paling umum - misalnya :
Fushumun (‫ )فُس ُحم‬bermakna laki-laki berdada bidang, asalnya dari kata fasaha yang berarti
luas. Syubrumun (‫برم‬ ُ ) bermakna laki-laki bertubuh pendek, asalnya dari kata syibr yang
ُ ‫ش‬
berarti jengkal. Syaj’amun (‫ )شَجعَم‬bermakna pemberani, asalnya dari kata syuja yang berarti
berani.
At-Tsuna’iyyah Al-Lughawiyyah :
Jenis Kata Terbanyak Yang Mengalami Penambahan Dalam Variasi Berbahasa
_______________

Pada bab awal pembahasan Isytiqaq, di situ terdapat pembahasan tentang isim (kata benda)
yang diambil dari fenomena suara, yaitu bahwasanya orang Arab sudah terbiasa untuk mengambil
kata-kata suara yang merupakan lafazh tersusun atas dua huruf, kemudian sebelumnya juga sudah
disebutkan berbagai contoh lafazh-lafazh tersebut, maka saya katakan : “Sesungguhnya lafazh
dalam bahasa Arab kesemuanya berasal dari isim suara yang tersusun atas dua huruf (ashwat
tsuna’iyyah) sebagaimana bahasa asing lainnya, kemudian mereka melakukan berbagai perubahan
terhadapnya dengan menambahkan berbagai huruf dalam susunan, sehingga jadilah…

Anda mungkin juga menyukai