TERKINI
RILIS PERS
Antaranews.com
Tentang Kami
Selasa, 23 Agustus 2022
HOME
NUSANTARA
NASIONAL
SEPUTAR NTT
EKONOMI
POLITIK & HUKUM
KESRA
OLAHRAGA
HIBURAN
INTERNASIONAL
FOTO
VIDEO
Tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 21 Agustus 2009 itu, kemudian "membunuh"
lebih dari 100.000 mata pencaharian warga Nusa Tenggara Timur, terutama para petani
rumput laut, para nelayan, serta berbagai penyakit aneh yang menyerang masyarakat
pesisir sampai membawa kematian, dan hancurnya puluhan ribu hektare terumbu
karang di wilayah perairan Laut Timor.
Tragedi kemanusiaan dan lingkungan terjadi di Laut Timor itu yang telah mencemari
sekitar 90.000 kilometer persegi Laut Timor dan banyak petani rumput laut dan nelayan
di provinsi berbasis kepulauan itu terdampak. Bahkan penghasilan para petani rumput
laut dan nelayan di Laut Timor sejak hai itu sampai saat ini turun antara 50 persen
hingga 85 persen.
Tragedi ini pula telah mengakibatkan banyak sekali anak putus sekolah, timbul penyakit
aneh hingga membawa kematian dan puluhan ribu hektar terumbu karang hancur yang
tersebar di di 13 Kabupaten dan Kota di NTT.
“Anehnya setelah kejadian itu, pemerintah Australia hanya berdiam diri dan melepaskan
tanggung jawabnya,” kata Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni.
YPTB telah melakukan berbagai upaya perjuangan agar pemerintah Australia mau
mengganti rugi kasus tumpahan minyak tersebut yang merugikan banyak pihak
khususnya nelayan di NTT.
Beberapa hal yang dilakukan adalah terus melakukan berbagai seperti upaya diplomasi
dengan Pemerintah Indonesia dan Australia.
Kemudian juga pada tahun 2016 sekitar 16.000 petani rumput laut di Kabupaten Rote
dan Kabupaten Kupang mengajukan perkara class action di Pengadilan Federal
Australia di Kota Sydney.
Upaya ketiga yang dilakukan yakni pada tahun 2018 Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membentuk Satuan Tugas Montara yang masih
bekerja sampai saat ini yang terdiri dari enam orang yakni Ketua dan anggota serta
seorang Sekretaris Eksekutif.
Usai dibentuk menjadi satuan tugas Montara, pada tahun 2019, pihaknya kami
menunjuk seorang pengacara dari Inggris yaitu Monica Feria-Tinta untuk membawa
Petaka Tumpahan Minyak Montara ini ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Usaha itu membuahkan hasil, pada tahun 2021 pengadilan Australia telah
memenangkan gugatan masyarakat NTT ,tetapi perusahaan pencemar Laut Timor
PTTEP yang berkantor di Perth-Australia Barat menyatakan banding atas putusan
Pengadilan Federal Australia ini.
Lalu pada tahun yang sama juga enam komisi tentang hak asasi manusia dari PBB
mengirim surat kepada Pemerintah Federal Australia-Indonesia-Thailand dan PTTEP di
Bangkok untuk meninta pertanggung jawaban mereka atas kasus tersebut, sehingga
pada Mei 2021 keluar jawaban dari Federal Australia-Indonesia-Thailand dan PTTEP di
Bangkok.
Sementara pada 1 April 2022, Ferdi menambahkan bahwa Satuan Tugas Montara
didampingi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar
Pandjaitan mengadakan pertemuan jumpa pers di Kantor Kementerian Bidang
Keamaritiman dan Investasi.
Dalam pertemuan itu Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan dengan tegas bahwa
Presiden RI Jokowi telah memberikan instruksi kepadanya untuk segera menyusun
sebuah Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang ‘optimalisasi Penanganan
Dampak Tumpahan Minyak Montara’.
Ditambahkan lagi bahwa Indonesia telah berjalan bersama rakyat terdampak di NTT dan
“We Will Fight at All Cost” serta beliau meminta kami untuk terus berdoa,untuk itu kami
sampaikan terima kasih kepada Pak Luhut Binsar Pandjaitan dan Pak Joko Widodo.
Ia berharap Petaka Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor itu harus diselesaikan
sekarang juga dalam kaitannya dengan kerugian sosial dan ekonomi dan seluruh
kerusakan lingkungan yang terjadi.
Mantan Agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia ini kembali menegaskan pihaknya
sudah melakukan berbagai upaya dengan segala keterbatasan agar masyarakat NTT
yang terdapat bisa mendapatkan ganti rugi yang layak.
Sejak meledaknya anjungan minyak Montara 13 tahun lalu, pemerintah terus mengejar
ganti rugi perusahaan migas asal Thailand itu, namun tetap menemui jalan buntu.
Sejak gagal menemui kesepakatan pada 2012, pemerintah menilai tidak ada itikad baik
PTTEP untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat terdampak di kawasan sekitar
Laut Timor.
Baca juga: Luhut bilang pemerintah tegas gugat kasus Montara untuk rakyat NTT
Perusahaan minyak tersebut melalui situs resminya, www.pttep.com, mengutip hasil
riset independen bahwa tidak ada minyak dari Anjungan Montara yang memasuki
wilayah daratan RI dan Australia, bahkan mengklaim bahwa tumpahan minyak tersebut
hanya memberikan dampak kecil atau bahkan tidak ada sama sekali pada ekosistem
atau spesies laut di wilayah perairan Laut Timor.
Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ahli minyak dari Amerika Serikat
dan Australia yang disampaikan kepada Ketua Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni,
tumpahan minyak dari anjungan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT
Exploration and Production (PTTEP) itu, mencapai sekitar 23,5 juta liter dan mengalir ke
Laut Timor sampai menembus sejumlah wilayah pesisir kepulauan NTT selama 74 hari
tanpa mampu dihentikan.
Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Cahyo R. Muzhar pernah mengatakan bahwa waktu menghitung
kerugian cukup lama karena pemerintah butuh sinkronisasi data dari berbagai pihak
mengenai kerusakan dan kerugian yang cukup masif tersebut.
"PTTEP Australasia tetap harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang
berdampak bagi para korban yaitu petani rumput laut, nelayan, dan masyarakat sekitar.
Itu semua harus dikompensasi, tapi masih dihitung," ujarnya.
Dampak ekonomi dari tumpahan minyak Montara ini juga dirasakan sangat berat oleh
Ferdi Tanoni, yang berjuang seorang diri membela hak-hak rakyat yang terdampak. Pria
kelahiran Niki-Niki di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT itu, selalu mengelus dada
ketika mengingat penderitaan yang dialami warga NTT selama 10 tahun tanpa ada
kejelasan hingga saat ini.
Kala itu, timnya pernah meminta bantuan seorang penasihat kepresidenan AS, Dr
Robert Spies yang pernah menghitung ganti rugi dalam kasus meledaknya anjungan
Deepwater Horizon milik British Petroleum di Teluk Meksiko dan mengkaji tumpahan
minyak yang mengucur dari kapal Exxon Valdez di Alaska pada 1989.
Dr Robert Spies mengatakan rumput laut yang tercemar di wilayah perairan NTT
mengalami sedimentasi minyak yang teramat parah, sehingga butuh waktu yang lama
untuk mengembalikan keadaan.
Apalagi, belum ada teknologi yang bisa menghempas sedimen minyak itu dalam waktu
kilat. "Kami juga tidak tahu sampai kapan, kasus ini berakhir," demikian Ferdi Tanoni.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menunggu selesainya tragedi
tumpahan minyak Montaradi Laut Timor
Editor: Bernadus Tokan
COPYRIGHT © ANTARA 2022
BERITA TERKAIT
Ketua MPR minta Polri usut tuntas kasus pembunuhan Letkol Inf Purn. Muhammad
Mubin
Ombudsman NTT dorong pembenahan layanan perkara Polres Kota Kupang Kota
Ini penjelasan Polri terkait kabar temuan bungker Rp900 M di rumah Sambo
TERPOPULER
TOP NEWS
Ketua MPR minta Polri usut tuntas kasus pembunuhan Letkol Inf Purn. Muhammad Mubin
Artikel - Selembar tenun ikat motif tiga garuda dan mimpi Mama Selly
Subsidi energi melebar Rp198 triliun jika BBM tak naik, menurut Sri Mulyani
FOTO
1. 1
2. 2
3. 3
4. 4
5. 5
kupang.antaranews.com
Copyright © 2022
Home
Terkini
Top News
Terpopuler
Nusantara
Nasional
Seputar NTT
Ekonomi
Politik Hukum
Kesra
Foto
Video
Ketentuan Penggunaan
Tentang Kami
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi