Anda di halaman 1dari 44

BUPATI CILACAP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP


NOMOR 11 TAHUN 2011

TENTANG

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP,

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin keselamatan, kenyamanan,


keserasian antara penghuni dan lingkungan, bangunan
gedung yang ada diwilayah Kabupaten Cilacap harus
dilaksanakan dengan aman, tertib dan sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, untuk
merencanakan dan melaksanakan bangunan gedung,
perlu adanya Peraturan Daerah sebagai penyesuaian
kondisi dan lingkungan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf b, maka perlu menetapkan
Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Bangunan
Gedung;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950, tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara RI
Tahun 1950 Nomor 24, Berita Negara RI tanggal 8
Agustus 1950);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 424);
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4286);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 447);
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4851);
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 112 tanggal 18 Juli 2009);
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140 tanggal 3 Oktober 2009);
14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4503);
16. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap
Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri
Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Cilacap (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah
Tingkat II Cilacap Tahun 1988 Nomor 6 Seri D Nomor 3);
17. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cilacap Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah Kabupaten
Cilacap Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 63);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP


dan
BUPATI CILACAP

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang secara teknis dilaksanakan
dan menjadi tanggung-jawab Kementerian terkait.
2. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap.
4. Bupati adalah Bupati Cilacap.
5. Pejabat yang ditunjuk dalam Pembina Penyelenggara Bangunan Gedung
adalah Kepala SKPD yang sesuai dengan Tugas Fungsi Pokoknya di
Kabupaten Cilacap.
6. Pejabat yang ditunjuk dalam Pembina Penyelenggara Pelayanan di
Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup adalah Kepala SKPD yang
sesuai dengan Tugas Fungsi Pokoknya di Kabupaten Cilacap.
7. Pejabat yang ditunjuk dalam Melaksanakan Pelayanan Perijinan adalah
Kepala SKPD yang sesuai dengan Tugas Fungsi Pokoknya melayani
perijinan di Kabupaten Cilacap.
8. Instansi Teknis Pembina Penyelenggara Bangunan Gedung adalah
SKPD yang sesuai dengan Tugas Fungsi Pokoknya sebagai pembina
penyelenggara bangunan gedung di Kabupaten Cilacap.
9. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik.
10. Negara atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, lembaga dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi masa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan usaha lainnya.
11. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagaian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
12. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang
meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta
kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan
gedung.
13. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung,
penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan
gedung.
14. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok
orang atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung.
15. Pengguna Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung
dan/atau bukan pemilik bangunan gedung.
16. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung
beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
17. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian
bangunan gedung, komponen bahan bangunan, dan/atau prasarana
dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
18. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki / memulihkan kembali
bangunan gedung ke bentuk aslinya.
19. Pelestarian adalah kegiatan pemeliharaan, perawatan, serta pemugaran
bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keindahan
bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan
menurut periode yang dikehendaki.
20. Pembina Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan
pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, sehingga setiap
penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan
tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya,
serta terwujudnya kepastian hukum.
21. Bangunan permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan lebih dari 20 (dua puluh)
tahun.
22. Bangunan semi permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun
sampai dengan 20 (dua puluh) tahun.
23. Bangunan sementara/darurat adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun.
24. Kapling/pekarangan adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut
pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat
mendirikan bangunan.
25. Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun,
atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan
mengadakan bangunan tersebut.
26. Merobohkan bangunan adalah pekerjaan meniadakan sebagian atau
seluruh bagian bangunan ditinjau dari segi fungsi bangunan dan/atau
konstruksi.
27. Garis sempadan adalah garis batas luar pengamanan yang ditarik pada
jarak tertentu sejajar dengan tepi sungai, tepi saluran kaki tanggul, tepi
danau, tepi mata air, tepi sungai pasang surut, tepi pantai, as jalan,
tepi luar jembatan dan sejajar tepi daerah manfaat jalan rel kereta api
yang merupakan batas tanah yang boleh dan tidak boleh
didirikan/dilaksanakanya kegiatan.
28. Garis Sempadan Bangunan adalah garis yang diatasnya atau sejajar
dibelakangnya dapat didirikan bangunan.
29. Tinggi bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan tanah
dimana bangunan tersebut didirikan sampai dengan titik puncak dari
bangunan.
30. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan
lingkungan.
31. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
32. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disebut KDH adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
33. Koefisien Tapak Bangunan yang selanjutnya disebut KTB adalah angka
prosentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
34. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disebut RTRW adalah
hasil perencanaan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan
peraturan daerah.
35. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disebut RDTR adalah
penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah ke dalam rencana
pemanfaatan kawasan.
36. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disebut
RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
37. Lingkungan Bangunan Gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan
gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung
baik dari segi sosial, budaya maupun lingkungan.
38. Laik Fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi bangunan
gedung yang ditetapkan.
39. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih
lanjut dari Peraturan Daerah ini dalam bentuk ketentuan teknis
penyelengaraan bangunan gedung.
40. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata
cara, standar spesifikasi dan standar metode uji baik berupa Standar
Nasional Indonesia maupun Standar Internasional yang diberlakukan
dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
41. Syarat Zoning adalah ketentuan penggunaan atas lahan terhadap
pendirian bangunan dan ketentuan teknis bangunan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
42. Perencanaan Teknis adalah proses membuat gambar teknis bangunan
gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan perencanaan,
pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas
rencana arsitektur, struktur, mekanikal/elektrikal, tata ruang luar, tata
ruang dalam/interior, serta rencana spesifikasi teknis, rencana
anggaran biaya dan perhitungan teknis pendukung sesuai dengan
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
43. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan
Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian maupun pembongkaran
gedung.
44. Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang
terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan
pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis
dengan masa penugasan terbatas dan juga masalah penyelenggaraan
bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara
kasus perkasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung
tertentu.
45. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disebut IMB adalah izin
yang diberikan dalam mendirikan/merubah bangunan.
46. Izin Pengunaan Bangunan yang selanjutnya disebut IPB adalah izin
yang diberikan untuk menggunakan bangunan sesuai denhan fungsi
bangunan yang tertera dalam IMB.
47. Izin Penghapusan Bangunan yang selanjutnya disebut IHB adalah izin
diberikan untuk menghapuskan/merobohkan bangunan secara total
baik secara fisik maupun secara fungsi, sesuai dengan fungsi bangunan
yang tertera dalam IMB.
BAB II
FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama
Fungsi Bangunan Gedung

Pasal 2

(1) Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan pemenuhan


persyaratan teknis bangunan dan lingkungannya maupun keandalan
bangunan gedungnya.
(2) Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, fungsi keagamaan,
fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya serta fungsi khusus.
(3) Bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. rumah tinggal tunggal;
b. rumah tinggal deret;
c. rumah tinggal susun; dan
d. rumah tinggal sementara.
(5) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. bangunan masjid/mushola;
b. bangunan gereja;
c. bangunan vihara;
d. bangunan pura;
e. bangunan klenteng;
f. bangunan peribadatan lainnya.
(6) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. perkantoran;
b. perdagangan;
c. perindustrian;
d. perhotelan/penginapan;
e. wisata, rekreasi dan olah raga;
f. terminal; dan
g. penyimpanan/pergudangan.
h. pertanian, peternakan dan perikanan
(7) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. bangunan gedung untuk pendidikan;
b. kebudayaan;
c. pelayanan kesehatan;
d. laboratorium; dan
e. pelayanan umum.
(8) Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. bangunan gedung untuk reaktor nuklir;
b. instalasi pertahanan dan keamanan; dan
c. bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.
(9) Bangunan gedung yang belum termasuk dalam klasifikasi fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Bupati.

Bagian Kedua
Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 3

(1) Bangunan Gedung diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas,


tingkat permanen, tingkat resiko kebakaran, zonasi rawan bencana,
lokasi, ketinggian dan/atau kepemilikan.
(2) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat kompleksitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bangunan gedung sederhana;
b.bangunan gedung tidak sederhana; dan
c. bangunan gedung khusus.
(3) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat permanen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bangunan gedung permanen;
b.bangunan gedung semi permanen; dan
c.bangunan gedung sementara.
(4) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat resiko kebakaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung tingkat resiko kebakaran tinggi;
b.bangunan gedung tingkat resiko kebakaran sedang; dan
c.bangunan gedung tingkat resiko kebakaran rendah.
(5) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat zona rawan bencana
ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
(6) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bangunan gedung lokasi padat;
b.bangunan gedung lokasi sedang; dan
c.bangunan gedung lokasi jarang.
(7) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan ketinggian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bangunan gedung bertingkat tinggi;
b.bangunan gedung bertingkat sedang; dan
c.bangunan gedung bertingkat rendah.
(8) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bangunan gedung milik Negara;
b.bangunan gedung milik badan usaha; dan
c.bangunan gedung milik perorangan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 4

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 2 dan Pasal 3 harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur
dalam ketentuan tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten.
(2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
Pasal 2 dan Pasal 3 dicantumkan dalam IMB.
(3) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung yang telah
ditetapkan, dapat dirubah melalui permohonan baru izin mendirikan
bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan
oleh pemerintah.
(4) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus diikuti
dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis
bangunan gedung.

BAB III
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama
Umum

Pasal 5

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif


dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
(2) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
agar bangunan dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya.
(3) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan teknis, baik
persyaratan tata bangunan maupun persyaratan keandalan bangunan
gedung agar bangunan gedung laik fungsi dan layak huni, serasi dan
selaras dengan lingkungannya.
(4) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis untuk bangunan
gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung yang
dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh pemerintah
daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.

Bagian Kedua
Persyaratan Adiministratif Bangunan Gedung
Paragraf 1
Umum

Pasal 6

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang


meliputi:
a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang
hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan (IMB).
Paragraf 2
Status Hak Atas Tanah

Pasal 7

(1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status
kepemilikanya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.
(2) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat
didirikan dengan pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah
atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang
hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling
sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas, letak dan batas-batas tanah,
serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

Paragraf 3
Status Kepemilikan Bangunan Gedung
Pasal 8

(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan kepemilikan


bangunan gedung yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, kecuali
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan hasil
kegiatan pendataan bangunan gedung.
(2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.
(3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan
pemilik tanah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti kepemilikan bangunan
gedung diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 4
Izin Mendirikan Bangunan
Pasal 9

(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang akan mendirikan bangunan
gedung wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
(2) Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi
khusus harus mendapat persetujuan/rekomendasi dari Pemerintah.
(3) Pemerintah daerah memberikan surat keterangan rencana kabupaten
kepada setiap pemohon izin membuat bangunan yang berlaku untuk
lokasi yang bersangkutan dan berisi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi yang
bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang dizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah/ di atas
permukaan tanah;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung
yang dizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KDH minimum yang diwajibkan;
i. KTB maksimum yang diizinkan; dan
j. jaringan utilitas kota.
(4) Keterangan rencana kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.

Pasal 10

(1) Setiap orang/badan dalam mengajukan permohonan izin mendirikan


bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib
melengkapi dengan:
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti
perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8;
b. data pemilik bangunan gedung; dan
c. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung
yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan.
(2) Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mendapat
pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan
mempertimbangkan pendapat publik.

Pasal 11

(1) Bupati atau pejabat yang ditunjuk berwenang:


a. menerbitkan izin sepanjang persyaratan teknis dan administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. memberikan izin atau menentukan lain dari ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam peraturan daerah ini, dengan
mempertimbangkan ketertiban umum, keserasian lingkungan,
keselamatan dan keamanan jiwa manusia setelah mendengar
pendapat para ahli/badan penasehat teknis bangunan;
c. menghentikan atau menutup kegiatan yang dilakukan dalam
bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi yang ditetapkan sesuai
dalam perizinan, sampai dengan yang bertanggung jawab atas
bangunan memenuhi persyaratan yang ditetapkan;
d. memerintahkan untuk melakukan perbaikan terhadap bangunan
atau sebagian bangunan dan pekarangan atau lingkungan untuk
pencegahan terhadap gangguan kesehatan dan/atau keselamatan
manusia/lingkungan, setelah mendengar pendapat tim ahli
bangunan;
e. memerintahkan, menyetujui atau menolak dilakukannya
pembangunan, perbaikan, atau pembongkaran prasarana dan
sarana lingkungan oleh pemilik bangunan/tanah;
f. dapat menetapkan kebijakan terhadap bangunan dan/atau
lingkungan khusus dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
peraturan daerah ini dengan mempertimbangkan keserasian
lingkungan dan/atau keselamatan masyarakat dan/atau
keamanan negara setelah mendengar pendapat tim ahli bangunan;
dan
g. dapat menetapkan bangunan tertentu untuk menampilkan
arsitektur lokal/tradisional mendengar pendapat para tim ahli
bangunan.
(2) Dalam menjalankan tugas Bupati atau pejabat yang ditunjuk,
berwenang memasuki halaman, pekarangan dan/atau bangunan dalam
rangka melakukan pemeriksaan kesesuaian pelaksanaan pembangunan
atau pemanfaatan bangunan sesuai dengan fungsinya.

Bagian Ketiga
Persyaratan Tata Bangunan
Paragraf 1
Umum

Pasal 12

Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)


meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung,
arsitektur bangunan gedung dan persyaratan pengendalian dampak
lingkungan.

Paragraf 2
Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung

Pasal 13

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan peruntukkan


lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
(2) Peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
peruntukan utama sedangkan apabila pada bangunan tersebut terdapat
peruntukan penunjang agar berkonsultasi dengan dinas teknis.
(3) Untuk pembangunan di atas jalan umum, saluran, atau sarana lain
atau yang melintas sarana dan prasarana jaringan kota, atau di
bawah/di atas air atau pada daerah hantaran udara (transmisi)
tegangan tinggi, harus mendapat izin instansi yang berwenang.

Pasal 14

(1) Dalam hal terjadi perubahan rencana tata ruang wilayah yang
mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan yang
tidak sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan.
(2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah
memberikan penggantian yang layak kepada pemilik bangunan gedung
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melebihi ketentuan
maksimal kepadatan dan ketinggian yang ditetapkan dalam RTRW,
RDTR dan/atau RTBL.
(2) Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) maksimal.
(3) Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk Koefisien
Lantai Bangunan (KLB) dan /atau peraturan lain yang sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3
Koefisien Dasar Bangunan

Pasal 16

(1) Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan harus


memenuhi kepadatan bangunan yang diatur dalam KDB sesuai yang
ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.
(2) KDB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap
bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi
bangunan, keselamatan dan kenyamanan.
(3) Ketentuan besarnya KDB pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana tata
ruang atau yang diatur dalam rencana tata bangunan dan lingkungan
untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap bangunan gedung diluar rencana tata ruang wilayah atau belum
diatur dalam rencana tata bangunan dan lingkungan, ditentukan KDB
maksimum 60% (enam puluh persen) sesuai dengan fungsi tapak.

Paragraf 4
Koefisien Lantai Bangunan

Pasal 17

(1) KLB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan resapan


air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran,
kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan,
keselamatan dan kenyamanan.
(2) Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1), disesuaikan dengan tata
bangunan dan lingkungan atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 5
Koefisien Daerah Hijau

Pasal 18

(1) KDH ditentukan atas dasar kepentingan penghijauan lingkungan untuk


mengurangi dampak pemanasan global dan area resapan air
permukaan tanah.
(2) Ketentuan besarnya KDH pada ayat (1) disesuaikan dengan tata
bangunan dan lingkungan atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap bangunan gedung apabila tidak ditentukan lain, ditentukan KDH
minimum 30% (tiga puluh persen).

Paragraf 6
Ketinggian Bangunan

Pasal 19

(1) Ketinggian bangunan ditentukan sesuai dengan rencana umum tata


ruang.
(2) Masing-masing lokasi yang belum dibuat tata ruangnya, ketinggian
maksimum bangunan ditetapkan oleh Bupati dengan
mempertimbangkan lebar jalan, fungsi bangunan dan keselamatan
bangunan, serta keserasian dengan lingkungannya.
(3) Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan selebihnya
harus berjarak dengan persil tetangga dengan jarak 5 (lima) meter.
(4) Untuk bangunan tinggi dan bertingkat berlaku KLB di masing-masing
lokasi.
Paragraf 7
Garis Sempadan Bangunan

Pasal 20

(1) Garis sempadan bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan, tepi
sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi danau, tepi mata air, tepi
sungai pasang surut, tepi pantai, tepi luar kepala jembatan dan tepi
daerah manfaat jalan rel kereta api ditentukan dengan berdasarkan
lebar jalan, lebar sungai, kondisi pantai, peruntukan kapling/kawasan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Letak garis sempadan bangunan terluar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), apabila tidak ditentukan lain adalah separuh lebar daerah
milik jalan (damija) dihitung dari tepi jalan/pagar.
(3) Letak garis sempadan bangunan terluar untuk dinding dengan bukaan
pada bagian samping dan belakang yang berbatasan dengan kapling
tetangga bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 1,5 (satu
setengah) meter dari batas kapling, atau atas dasar kesepakatan
dengan tetangga yang saling berbatasan.
(4) Garis sempadan untuk bangunan yang di bawah permukaan tanah
maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak
diperbolehkan melewati batas pekarangan.
(5) Tinggi pagar yang berbatasan dengan jalan yang tidak tembus pandang
ditentukan maksimum 1 (satu) meter dari permukaan halaman/trotoar,
selebihnya harus dengan bentuk tembus pandang.
(6) Garis lengkung pagar di sudut persimpangan jalan ditentukan dengan
ukuran radius tertentu atas dasar fungsi dan peranan jalan serta tidak
boleh mengganggu pandangan yang membahayakan lalu lintas.
(7) Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan
bahan-bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan/atau berbahaya
maka kepala daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut.
(8) Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan
dapat berhimpit dengan batas pekarangan tetangga yang saling
berbatasan.
(9) Jarak antar masa/blok bangunan gedung bertingkat lebih dari dua
lantai, satu dengan lainnya dalam satu kapling minimum adalah 3 (tiga)
meter.
(10) Untuk bangunan bertingkat, setiap kenaikan satu lantai jarak antara
masa/blok bangunan yang satu dengan lainnya ditambah dengan 0,5
(nol koma lima) meter.
(11) Ketentuan lebih rinci tentang jarak antara bangunan gedung mengikuti
ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

Pasal 21

Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang
dalam, keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung
dengan lingkungannya serta pertimbangan adanya keseimbangan antara
nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai
perkembangan arsitektur dan rekayasa.

Pasal 22

(1) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika
bentuk karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada disekitarnya.
(2) Penampilan bangunan gedung dikawasan cagar budaya, harus
dirancang dengan mempertimbangkan pelestarian.
(3) Penampilan bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan
bangunan yang dilestarikan, harus dirancang dengan
mempertimbangkan kaidah estetika bentuk karakteristik dari
arsitektur bangunan gedung yang dilestarikan.
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kaidah-kaidah arsitektur
tertentu pada bangunan gedung untuk suatu kawasan setelah
mendapat pertimbangan pendapat publik.

Pasal 23

(1) Tata ruang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, harus
mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur dan kehandalan
bangunan gedung.
(2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efesiensi dan efektivitas
tata ruang dalam.
(3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan dalam
pemenuhan tata ruang dalam terhadap kaidah-kaidah arsitektur
bangunan gedung secara keseluruhan.
(4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan dalam
pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan tata ruang dalam.

Pasal 24

(1) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan


lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung dan
ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan
lingkungannya.
(2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung
dengan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan
persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan
dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana
diluar bangunan gedung.

Paragraf 4
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

Pasal 25

(1) Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12 hanya berlaku bagi bangunan gedung yang
dapat menimbulkan dampak penting tehadap lingkungan.
(2) Setiap pembangunan bangunan gedung yang kemungkinan dapat
menimbulkan dampak lingkungan wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau upaya pengelolaan lingkungan
(UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL) atau surat pernyataan
pengelolaan lingkungan (SPPL) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Jenis bangunan gedung yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (AMDAL) ditentukan oleh menteri negara
lingkungan hidup.
(4) Jenis bangunan gedung yang wajib dilengkapi dengan upaya
pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)
ditentukan oleh bupati.
(5) Bagi permohonan IMB, dalam mengajukan permohonan IMB harus
disertai rekomendasi lingkungan dari instansi yang menangani masalah
bidang lingkungan hidup.

Bagian Keempat
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung

Paragraf 1
Umum
Pasal 26

Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan.
Paragraf 2
Persyaratan Keselamatan

Pasal 27

(1) Setiap bangunan gedung yang direncanakan harus kuat, kaku dan
stabil terhadap beban/kombinasi beban yang bekerja dengan
mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi dan pelaksanaanya.
(2) Peraturan standar teknis yang harus dipakai adalah peraturan/standar
teknis yang berlaku di Indonesia.
(3) Setiap bangunan dan bagian konstruksinya harus diperhitungkan
terhadap beban sendiri, beban yang dipikul, beban angin dan getaran
dan gaya gempa sesuai dengan peraturan pembebanan yang berlaku
dan pedoman serta standar teknis yang berlaku.
(4) Dalam perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa,
semua unsur struktur bangunan gedung, baik dari bagian dari sub
struktur maupun struktu gedung harus diperhitungkan memikul
pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya.
(5) Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara daktail sehingga
pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila
terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih memungkinkan
pengguna bangunan menyelamatkan diri.
(6) Setiap bangunan bertingkat 2 (dua) lantai atau lebih, dalam pengajuan
IMB harus menyertakan perhitungan strukturnya sesuai pedoman dan
standar teknis yang berlaku.
(7) Dinas teknis mempunyai kewajiban dan wewenang untuk memeriksa
konstruksi bangunan yang didirikan/akan didirikan baik dalam
rancangan bangunan maupun pada masa pelaksanaan
pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap bahaya gempa.
Pasal 28

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tunggal dan rumah deret
sederhana harus mempunyai sistem pengamanan terhadap bahaya
kebakaran, baik sistem proteksi pasif maupun sistem proteksi aktif
serta terjangkau oleh mobil pemadam kebakaran.
(2) Pemenuhan persyaratan ketahanan terhadap bahaya kebakaran
mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
(3) Untuk bangunan bertingkat harus menyediakan tangga darurat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dilengkapi dengan sistem penangkal petir.
(4) Setiap lokasi/kapling siap bangun dan kawasan yang direncanakan bagi
lokasi permukiman penduduk harus memperhatikan ketentuan pada
ayat (1) dan mendapat persetujuan Bupati.

Paragraf 3
Persyaratan Kesehatan

Pasal 29

Persyaratan Kesehatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 26 meliputi persyaratan sistim udara, pencahayaan, sanitasi dan
penggunaan bahan bangunan gedung.

Pasal 30

(1) Untuk memenuhi persyaratan system udara, setiap bangunan gedung


harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan
sesuai dengan fungsinya.
(2) Untuk bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan
kesehatan, bangunan pendidikan dan bangunan gedung pelayanan
umum harus mempunyai sistim ventilasi permanen untuk kepentingan
ventilasi alami.
(3) Ventilasi mekanik/buatan sebagaimana yang disebutkan Pasal 30 ayat
(1), harus disediakan jika ventilasi alami tidak memenuhi syarat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan
dan pemeliharaannya mengikuti pedoman dan standar teknis yang
berlaku.
Pasal 31

(1) Untuk memenuhi persyaratan system pencahayaan setiap bangunan


gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan
buatan termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.
(2) Untuk bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan
kesehatan, bangunan pendidikan dan bangunan gedung pelayanan
umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
(3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus optimal,
disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing
ruang di dalam bangunan gedung.
(4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi (cahaya) yang disyaratkan
sesuai fungsi ruangan dalam bangunan gedung dengan pertimbangan
efisiensi, penghematan energy yang digunakan dan penempatannya
tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.
(5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat
sebagaimana di dimaksud pada ayat (1) harus dipasang pada bangunan
gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan
mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang
aman.
(6) Semua system pencahayaan buatan kecuali yang diperlukan untuk
pencahayaan darurat harus dilengkapi pengendali manual dan/atau
otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca
oleh pengguna ruang.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan
dan pemeliharaan system pencahayaan pada bangunan gedung
mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 32

Untuk memenuhi persyaratan system sanitasi, setiap bangunan gedung


harus dilengkapi dengan system air bersih, system pembuangan air kotor
dan/atau air limbah, sampah dan kotoran serta penyaluran air hujan.

Pasal 33

(1) Perencanaan dan instalasi jaringan air bersih sebagaiman Pasal 32 pada
bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar
teknis yang berlaku, meliputi:
a. jenis, mutu, sifat bahan dan peralatan instalasi air bersih harus
memenuhi standar dan ketentuan teknis yang berlaku; dan
b. pemilihan sistem dan penempatan instalasi air bersih harus di
sesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan-
bangunan lain, bagian-bagian lain dari bangunan dan instalasi-
instalasi lain sehingga tidak saling membahayakan, mengganggu
dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan pemeliharaan.
(2) Pengadaan/penggunaan sumber air bersih diambil dari sumber yang
dibenarkan secara resmi oleh pemerintah daerah.
(3) Bangunan yang memakai sistem air panas yang tersambung langsung
dengan instalasi air bersih harus dipasang alat pencegah arus balik dari
sistem air panas ke sistem air dingin.
(4) Pembuatan sumur dangkal (sumur gali) sebagai sumber air bersih
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. sumur sedapat mungkin ditempatkan pada jarak minimal 10
(sepuluh) meter dari peresapan atau sejenisnya yang dapat
mengakibatkan pengotoran atau pencemaran air;
b. selubung sumur dibuat dari bahan kedap air sampai kedalaman
minimal 3 (tiga) meter dari permukaan lantai dan ke atas 80
(delapan puluh) centimeter; dan
c. lantai dan keliling sumur harus dibuat kedap air.
(5) Pembuatan sumur artesis harus seijin Bupati.

Pasal 34

(1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dalam
pasal 32 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan
jenis dan tingkat bahayanya.
(2) Semua air limbah domestik pembuangannya harus melalui pipa-
pipa/saluran tertutup dan/atau sesuai dengan ketentuan dari
peraturan yang berlaku.
(3) Apabila pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
mungkin karena belum tersedianya saluran umum ataupun sebab-
sebab lain yang dapat diterima oleh yang berwenang, maka
pembuangan air limbah domestik harus dilakukan melalui proses
peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh peraturan
Bupati.
(4) Perencanaan dan instalasi jaringan air limbah domestik mengikuti
ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 35

(1) Sistem pembuangan sampah dan kotoran sebagaimana dimaksud Pasal


32 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan
fasilitas penampungan dan jenisnya.
(2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk
penyediaan tempat penampungan sampah dan kotoran pada masing-
masing bangunan gedung yang diperhitungkan berdasarkan jumlah
penghuni dan volume sampah dan kotoran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan
dan pengeloaan fasilitas pembuangan kotoran dan sampah pada
bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 36

(1) Sistim Instalasi Air hujan harus dibuang atau dialirkan ke saluran
drainase, dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah,
permeabilitas tanah dan ketersedaan jaringan drainase.
(2) Apabila aliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mungkin yang
karena tidak tersedianya saluran umum kota ataupun sebab-sebab lain
yang dapat diterima oleh yang berwenang, maka pembuangan air hujan
harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara yang
ditentukan oleh Bupati.
(3) Perencanaan dan instalasi jaringan air hujan mengikuti ketentuan
dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal 37

(1) Untuk memenuhi persyaratan penggunaan bahan bangunan gedung,


setiap bangunan gedung harus menggunakan bahan bangunan yang
aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
(2) Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan bangunan
gedung harus ridak mengandung bahan-bahan berbahaya/beracun bagi
kesehatan dan aman bagi pengguna bangunan gedung.
(3) Penggunaan bahan bangunan sedapat mungkin tidak berdampak
negative terhadap lingkungan yaitu:
a. menghindari efek silau dan pantulan bagi pengguna bangunan
gedung lain, masyarakat dan lingkungan sekitarnya;
b. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu lingkungan
disekitarnya;
c. mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan
d. mewujudkan bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan
lingkungan.
(4) Pemanfaatan dan penggunaan bahan bangunan lokal harus sesuai
dengan kebutuhan dan memperhatikan kelestarian lingkungan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan bahan
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4)
mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Paragraf 4
Persyaratan Kenyamanan

Pasal 38

Persyaratan kenyamanan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 26 meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang,
kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran, tingkat
kebisingandan lingkungan.

Pasal 39

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam bangunan gedung,


penyelenggara gedung harus mempertimbangkan:
a. fungsi ruang, jumlah penggunaan perabot/peralatan, aksesibilitas
ruang didalam bangunan gedung; dan
b. persyaratan keselamatan dan kesehatan.
(2) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antar ruang, penyelenggara
bangunan gedung harus mempertimbangkan:
a. fungsi ruang, aksesbilitas ruang dan jumlah pengguna dan
perabot/peralatan dibangunan gedung;
b. sirkulasi antar ruang horizontal dan vertikal; dan
c. persyaratan keselamatan dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan kenyamanan
ruang gerak dan hubungan antar ruang pada bangunan gedung
mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 40

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang didalam


bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung harus
mempertimbangkan temperatur dan kelembaban.
(2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam
ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan
mempertimbangkan:
a. fungsi bangunan gedung/ ruang, jumlah pengguna, letak, volume
ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;
b. kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan
c. prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan
dan pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada bangunan gedung
mengukuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 41

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan penyelenggara bangunan


gedung harus mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam
bangunan keluar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu
dalam bangunan gedung.
(2) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan
keluar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu dalam
bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung harus
mempertimbangkan:
a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang dalam
dan luar bangunan dan rancangan bentuk luar bangunan;(Pasal
penjelasan)
b. pemanfaatan potensi ruang luar bangunan digedung dan
penyediaan ruang terbuka hijau; dan
c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
(3) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari luar kedalam
bangunan, penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan:
a. rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan dan
rancangan bentuk bangunan gedung; dan
b. keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada
disekitarnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan kenyamanan
pandangan pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
Paragraf 4
Persyaratan Kemudahan

Pasal 42

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan


yang meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan
bangunan gedung.
(2) Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan
horizontal dan hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi serta
fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman bagi
penyandang cacat dan lanjut usia.

Pasal 43

(1) Kemudahan hubungan horizontal antar ruangan dalam bangunan


gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), merupakan
keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu dan/atau
koridor antar ruang.
(2) Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan
koridor disesuaikan dengan fungsi ruang bangunan gedung.
(3) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan horizontal antar ruang
dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 44

(1) Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk


sarana transportasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) berupa penyediaan tangga, ramp, dan sejenisnya serta lift
dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang bertingkat harus menyediakan tangga yang
menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan dan
kesehatan pengguna.
(3) Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ramp dengan
kemiringan tertentu dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai
standar teknis yang berlaku.
(4) Bangunan gedung dengan jumlah lantai di atas 5 (lima) harus
dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang
sesuai dengan kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.
(5) Ruang lift harus diberi lubang untuk menolong penumpang dalam
keadaan darurat.
(6) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan
gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.
Pasal 45

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah
deret sederhana, harus menyediakan sarana evakuasi yang meliputi
sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan
jalur evakuasi yang dapat menjamin kemudahan pengguna bangunan
gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam bangunan gedung secara
aman apabila terjadi bencana atau keadaan darurat.
(2) Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar
darurat dan jalur evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah
dan kondisi pengguna bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke
tempat yang aman.
(3) Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus dilengkapi
dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas.
(4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai
dan/atau jumlah penghuni dalam bangunan gedung tertentu harus
memiliki manajemen penanggulangan bencana atau keadaan darurat.
(5) Ketentuan mengenai penyediaan akses evakuasi mengikuti ketentuan
dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 46

(1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut
usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.
(2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas
lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat
dan lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 47

(1) Kelengkapan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum harus


memadai sesuai dengan fungsi bangunan umum tersebut.
(2) Kelengkapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi :
a. sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya
kebakaran dan bencana alam;
b. tempat parkir;
c. sarana transportasi vertikal;
d. sarana tata udara;
e. fasilitas penyandang cacat;
f. sarana penyelamatan;
g. ruang khusus merokok;
h. ruang ibadah;
i. ruang ganti;
j. toilet;
k. jaringan drainase;
l. jaringan sanitasi; dan
m. sarana kebersihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan dan
pemeliharaan kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan
bangunan umum mengikuti pedoman dan standar yang berlaku.

BAB IV
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

Bagian Pertama
Pembangunan
Paragraf 1
Umum

Pasal 48

(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan


perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasanya.
(2) Pembangunan bangunan gedung wajib dilaksanakan secara tertib
administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung
tanpa menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
(3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur, fungsional,
prosedural dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan antara
nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur,
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Paragraf 2
Perencanaan Teknis

Pasal 49

(1) Perencanaan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 48 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan
gedung yang memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknik bangunan gedung meliputi:
a. penyusunan konsep perencanaan;
b. prarencana;
c. pengembangan rencana;
d. rencana detail;
e. pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi;
f. pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan;
g. pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi bangunan gedung; dan
h. penyusunan petunjuk pemanfaatan bangunan gedung.
(3) Perencanaan teknis bangunan gedung dilakukan berdasarkan kerangka
acuan kerja dan ikatan kerja.
(4) Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa rencana-rencana
teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal,
pertamanan, tataruang dalam bentuk gambar rencana, gambar detail
pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat, rencana anggaran biaya
pembangunan dan laporan perencanaan.
(5) Pengadaan jasa perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(6) Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan
umum ditetapkan oleh Bupati setelah mendapat pertimbangan teknis
dari tim ahli.
(7) Hubungan kerja antara penyedia jasa perencanaan teknis dan pemilik
bangunan gedung tertentu harus dilaksanakan berdasarkan ikatan
kerja yang dituangkan dalam perjanjian tertulis sesuai dengan
peraturan.

Pasal 50

(1) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat


(4) diperiksa, dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh izin
mendirikan bangunan gedung.
(2) Pemeriksaan dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kelengkapan dokumen sesuai dengan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung.
(3) Penilaian dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan melakukan
evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan teknis dengan
mempertimbangkan aspek lokasi, fungsi dan klasifikasi bangunan
gedung.
(4) Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung wajib mendapat
pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dalam hal bangunan
gedung tersebut untuk kepentingan umum.
(5) Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung yang
menimbulkan dampak besar dan penting, wajib mendapat
pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan memperhatikan
hasil dengar pendapat publik.
(6) Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus
dilakukan oleh pemerintah dengan berkoordinasi dengan pemerintah
daerah dan mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan
gedung, serta memperhatikan hasil dengar pendapat publik.

Paragraf 3
Pelaksanaan Konstruksi

Pasal 51

(1) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik


bangunan gedung memperoleh izin mendirikan bangunan gedung.
(2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus berdasarkan dokumen
rencana teknis yang telah dinilai,disetujui dan disahkan. Pelaksanaan
konstruksi bangunan gedung berupa pembangunan bangunan gedung
baru, perbaikan, penambahan, perubahan dan/atau pemugaran
bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan
gedung.

Pasal 52

(1) Kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung meliputi


pemeriksaan dokumen pelaksanaan persiapan lapangan, kegiatan
konstruksi, pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi dan penyerahan
hasil akhir.
(2) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan keterlaksanaan
konstruksi dari semua dokumen pelaksanaan pekerjaan.
(3) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi sumberdaya dan
persiapan fisik lapangan.
(4) Kegiatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik dilapangan, pembuatan laporan
kemajuan pekerjaan, penyusunan gambar kerja pelaksanaan (shop
drawings) dan gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang
dilaksanakan (as built drawings), serta kegiatan masa pemeliharaan
konstruksi.
(5) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan
kerja (K3).
(6) Kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan hasil akhir pekerjaan
konstruksi bangunan gedung terhadap kesesuaian dengan dokumen
pelaksanaan.
(7) Hasil akhir pekerjaan pelaksanaan konstruksi berwujud bangunan
gedung yang laik fungsi termasuk prasarana dan sarananya yang
dilengkapi dengan dokumen pelaksanaan konstruksi, gambar
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang dilaksanakan (as built
drawings), pedoman pengoprasian dan pemeliharaan bangunan gedung,
peralatan serta perlengkapan mekanikal dan elektrikal bangunan
gedung serta dokumen penyerahan hasil pekerjaan.

Paragraf 4
Pengawasan Konstruksi
Pasal 53

(1) Pengawasan konstruksi bangunan gedung berupa kegiatan pengawasan


pelaksanaan konstruksi atau kegiatan manajemen konstruksi
pembangunan bangunan gedung.
(2) Kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan biaya, mutu
dan waktu pembangunan gedung pada tahap pelaksanaan konstruksi
serta pemeriksaan fungsi bangunan gedung.
(3) Kegiatan manajemen konstruksi pembangunan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengendalian biaya,
mutu dan waktu pembangunan bangunan gedung dari tahap
perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung
serta pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.
(3) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi pemeriksaan kesesuaian fungsi,
persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan terhadap izin mendirikan bangunan gedung yang telah
diberikan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan kelaikan fungsi
bangunan gedung diatur dengan Peraturan Bupati.
(5) Pemilik bangunan gedung untuk kepentingan umum harus mengikuti
program pertanggungan terhadap kemungkinan kegagalan bangunan
gedung selama pemanfaatan bangunan gedung.

Bagian Kedua
Pemanfaatan
Paragraf 1
Umum

Pasal 54

(1) Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan


bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam izin
mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan,
perawatan dan pemeriksaan secara berkala.
(2) Pemanfaatan bangunan gedung hanya dapat dilakukan setelah pemilik
bangunan gedung memperoleh sertifikat laik fungsi.
(3) Pemanfaatan bangunan gedung wajib dilaksanakan oleh pemilik atau
pengguna secara tertib administratif dan teknis untuk menjamin
kelaikan fungsi bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan.
(4) Pemilik bangunan gedung untuk kepentingan umum harus mengikuti
program pertanggungan terhadap kemungkinan kegagalan bangunan
gedung selama pemanfaatan bangunan gedung.

Paragraf 2
Pemeliharaan Bangunan
Pasal 55

(1) Pemeliharaan bangunan harus dilaksanakan oleh pemilik bangunan


dan/atau penyedia jasa pemeliharaan bangunan gedung yang memiliki
sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan pemeliharaan bangunan gedung berdasarkan pedoman
pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung.
(3) Hasil kegiatan pemeliharaan dituangkan dalam laporan pemeliharaan
yang digunakan untuk pertimbangan penetapan perpanjangan sertifikat
laik fungsi yang ditetapkan oleh pemerintah ikatan kerja yang
dituangkan dalam perjanjian tertulis sesuai daerah.
(4) Dalam hal pemeliharaan menggunakan penyedia jasa pemeliharaan,
maka pengadaan jasa pemeliharaan bangunan gedung dilakukan
melalui peraturan yang berlaku.
(5) Hubungan kerja antara penyedia jasa pemeliharaan bangunan gedung
harus dilaksanakan berdasarkan dengan peraturan perundang-
undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeliharaan bangunan
gedung diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 56

Kegiatan pelaksanaan pemeliharaan bangunan gedung harus menerapkan


prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Paragraf 3
Perawatan Bangunan Gedung

Pasal 57

(1) Perawatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik dan/atau


pengguna bangunan gedung dan dapat menggunakan penyedia jasa
perawatan bangunan gedung yang memiliki sertifikat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal perawatan menggunakan penyedia jasa perawatan, maka
pengadaan jasa perawatan bangunan gedung dilakukan melalui
peraturan yang perundang-undangan berlaku.
(3) Hubungan antara penyedia jasa perawatan bangunan gedung dan
pemilik atau pengguna bangunan gedung harus dilaksanakan
berdasarkan ikatan kerja yang dituangkan dalam perjanjian tertulis
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58

(1) Kegiatan perawatan bangunan gedung meliputi perbaikan dan/atau


penggantian bagian bangunan, komponen, bahan bangunan dan/atau
prasarana dan sarana berdasarkan dokumen rencana teknis perawatan
bangunan gedung.
(2) Rencana teknis perawatan bangunan gedung disusun oleh penyedia
jasa perawatan bangunan gedung dengan mempertimbangkan dokumen
pelaksanaan konstruksi dan tingkat kerusakan bangunan gedung.
(3) Perbaikan dan/atau penggantian dalam kegiatan perawatan bangunan
gedung dengan tingkat kerusakan sedang dan berat dilakukan setelah
dokumen rencana teknis perawatan bangunan gedung disetujui oleh
pemerintah daerah.
(4) Persetujuan rencana teknis perawatan bangunan gedung tertentu dan
yang memiliki kompleksitas teknik tinggi dilakukan setelah mendapat
pertimbangan tim ahli bangunan gedung.

Paragraf 4
Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung

Pasal 59

(1) Pemeriksaan secara berkala bangunan gedung dilakukan oleh pemilik


dan/atau pengguna bangunan gedung dan dapat menggunakan
penyedia jasa pengkajian teknis bangunan gedung yang memiliki
sertifikat sesuai dengan peraturan perundang –undangan.
(2) Pemeriksaan secara berkala bangunan gedung dilakukan untuk seluruh
atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan
dan/atau prasarana dalam rangka pemeliharaan dan perawatan
bangunan gedung, guna memperoleh perpanjangan sertifikat laik fungsi.
(3) Kegiatan pemeriksaan secara berkala bangunan gedung harus dicatat
dalam bentuk laporan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan secara berkala bangunan
gedung diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 60

(1) Dalam hal pemeriksaan secara berkala menggunakan tenaga penyedia


jasa pengkajian teknis bangunan gedung, maka pengadaan jasa
pengkajian teknis bangunan gedung dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lingkup pelayanan jasa pengkajian teknis bangunan gedung meliputi:
a. pemeriksaan dokumen administratif pelaksanaan pemiliharaan dan
perawatan bangunan gedung;
b. kegiatan pemeriksaan kondisi bangunan gedung terhadap
pemenuhan persyaratan termasuk pengujian keandalan bangunan
gedung;
c. kegiatan analisis dan evaluasi; dan
d. kegiatan penyusunan laporan.
(3) Hubungan kerja antara penyedia jasa pengkajian teknis bangunan
gedung dan pemilik atau pengguna bangunan gedung harus
dilaksanakan berdasarkan ikatan kerja yang dituangkan dalam
perjanjian tertulis sesuai dengan peraturan dan dokumen ikatan kerja.
(3) Pengkajian teknis bangunan gedung dilakukan berdasarkan kerangka
acuan kerja dan dokumen ikatan kerja.
(4) Dalam hal belum terdapat penyedia jasa pengkajian teknis, pengkajian
teknis dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Bagian Ketiga
Pelestarian
Paragraf 1
Umum

Pasal 61

(1) Perlindungan dan pelestarian bangunan gedung dan lingkungannya


harus dilaksanakan secara tertib administratif, menjamin kelaikan
fungsi bangunan gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Perlindungan dan pelestarian meliputi kegiatan penetapan dan
pemanfaatan termasuk perawatan dan pemugaran, serta kegiatan
pengawasannya yang dilakukan dengan mengikuti kaidah pelestarian
serta memanfaatkan ilmu pengetahuan tekhnologi.

Paragraf 2
Penetapan bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan

Pasal 62

(1) Bangunan gedung dan lingkungannya sebagai benda cagar budaya yang
dilindungi dan dilestarikan merupakan bangunan gedung berumur
paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai
penting sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan termasuk nilai
arsitektur dan tekhnologinya.
(2) Pemilik, masyarakat, pemerintah daerah dapat mengusulkan bangunan
gedung dan lingkungannya yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk dilindungi dan dilestarikan.
(3) Bangunan gedung yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai bangunan
gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Bangunan gedung dan lingkungannya sebelum diusulkan penetapannya
harus telah mendapat pertimbangan dari tim ahli pelestarian bangunan
gedung dan hasil dengar pendapat publik.
(5) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan
dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1) dilakukan
oleh Bupati atas usulan kepala dinas terkait untuk bangunan gedung
dan lingkungannya yang memiliki nilai-nilai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berskala lokal atau setempat.
(6) Bangunan gedung dan lingkungannya yang akan ditetapkan untuk
dilindungi dan dilestarikan atas usulan pemerintah dan/atau
masyarakat harus dengan sepengetahuan dari pemilik.
Paragraf 3
Pemanfaatan bangunan gedung yang Dilindungi dan Dilestarikan

Pasal 63

(1) Pemanfaatan bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).
(2) Dalam hal bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang telah
ditetapkan menjadi cagar budaya akan dimanfaatkan untuk
kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan
dan kebudayaan maka pemanfaatannya harus sesuai dengan ketentuan
dalam klasifikasi tingkat perlindungan dan pelestarian bangunan
gedung dan lingkungannya.
(3) Dalam hal bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang telah
ditetapkan menjadi cagar budaya akan dialihkan haknya kepada
pemilik pihak lain, pengalihan haknya harus dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dan/atau
lingkungannya yang dilestarikan pemiliknya dapat memperoleh insentif
dari Pemerintah Daerah.

Pasal 64

(1) Pelaksanaan pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala


bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan/atau
dilestarikan dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan
gedung.
(2) Khusus untuk pelaksanaan perawatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dibuat rencana teknis pelestarian bangunan gedung yang
disusun dengan mempertimbangkan prinsip perlindungan dan
pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak, sistem struktur,
penggunaan bahan bangunan dan nilai-nilai yang dikandungnya sesuai
dengan tingkat kerusakan bangunan gedung dan ketentuan
klasifikasinya.

Pasal 65

(1) Pemugaran bangunan yang dilindungi dan dilestarikan merupakan


kegiatan memperbaiki memulihkan kembali bangunan gedung ke
bentuk aslinya.
(2) Pelaksanaan pemugaran bangunan gedung dan lingkungannya yang
dilindungi dan dilestarikan dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 51
sampai dengan Pasal 53.
(3) Pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip keselamatan
dan kesehatan kerja (K3), perlindungan dan pelestarian yang mencakup
keaslian bentuk, tata letak dan methode pelaksanaan, system struktur,
penggunaan bahan bangunan dan nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan tekhnologi.
(4) Pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip keselamatan
dan kesehatan kerja (K3), perlindungan dan pelestarian yang mencakup
keaslian bentuk, tata letak dan metode pelaksanaan, sistem struktur,
penggunaan bahan bangunan, dan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologi.

Bagian Keempat
Pembongkaran
Paragraf 1
Umum

Pasal 66

(1) Pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara tertib dan


mempertimbangkan keamanan, keselamatan masyarakat dan
lingkungannya.
(2) Pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sesuai dengan ketetapan perintah pembongkaran atau
persetujuan pembongkaran oleh pemerintah daerah.
(3) Pembongkaran bangunan gedung meliputi kegiatan penetapan
pembongkaran dan pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung,
yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembongkaran secara
umum serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Paragraf 2
Penetapan Pembongkaran
Pasal 67

(1) Pemerintah daerah mengidentifikasi bangunan gedung yang akan


ditetapkan untuk dibongkar berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau
laporan dari masyarakat.
(2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki
lagi;
b. bangunan gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi
pengguna, masyarakat, dan lingkungannya; dan/atau
c. bangunan gedung yang tidak memiliki dan/atau tidak sesuai
dengan izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Pemerintah daerah menyampaikan hasil identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik dan/atau pengguna bangunan
gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar.
(4) Berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung, kecuali rumah tinggal
tunggal khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat,
wajib melakukan pengkajian teknis bangunan gedung dan
menyampaikan hasilnya kepada pemerintah daerah.
(5) Apabila hasil pengkajian teknis bangunan gedung memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b, pemerintah daerah
menetapkan bangunan gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat
penetapan pembongkaran.
(6) Untuk bangunan gedung yang tidak memiliki dan/atau tidak sesuai
dengan izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c, pemerintah daerah menetapkan bangunan gedung tersebut
untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran.
(7) Isi surat penetapan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dan ayat (6) memuat batas waktu pembongkaran, prosedur
pembongkaran, dan ancaman sanksi terhadap setiap pelanggaran.
(8) Dalam hal pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung tidak
melaksanakan pembongkaran dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), pembongkaran dilakukan oleh pemerintah
daerah yang dapat menunjuk penyedia jasa pembongkaran bangunan
gedung atas biaya Pemilik kecuali bagi Pemilik rumah tinggal yang tidak
mampu, biaya pembongkaran ditanggung oleh pemerintah daerah.

Pasal 68

(1) Pemilik bangunan gedung dapat mengajukan pembongkaran bangunan


gedung dengan memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada
pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus kepada
pemerintah, disertai laporan terakhir hasil pemeriksaan secara berkala.
(2) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan sebagai pemilik tanah,
usulan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan pemilik tanah.
(3) Penerbitan surat persetujuan pembongkaran bangunan gedung untuk
dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk
bangunan gedung rumah tinggal tunggal.
(4) Bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang ditetapkan sebagai
cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
harus dilindungi dan dilestarikan.
(5) Penetapan bangunan gedung dan/atau lingkungannya yang dilindungi
dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
Bupati dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(6) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan serta pemeliharaan
bangunan gedung dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai
dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
(7) Perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi
dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(8) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan,
pemugaran dan pemanfaatan mengikuti ketentuan pedoman teknis dan
standar nasional yang berlaku.
Paragraf 3
Pelaksanaan Pembongkaran

Pasal 69

(1) Pembongkaran bangunan gedung dapat dilakukan oleh pemilik


dan/atau pengguna bangunan gedung dan dapat menggunakan
penyedia jasa pembongkaran bangunan gedung yang memiliki sertifikat
sesuai dengan peraturan perundang undangan.
(2) Khusus untuk pembongkaran bangunan gedung yang menggunakan
peralatan berat dan/atau bahan peledak harus dilaksanakan oleh
penyedia jasa pembongkaran bangunan gedung.
(3) Dalam hal pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang
pembongkarannya ditetapkan dengan surat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (3) tidak melaksanakan pembongkaran dalam batas
waktu yang ditetapkan, surat persetujuan pembongkaran dicabut
kembali.

Pasal 70

(1) Pembongkaran bangunan gedung yang pelaksanaannya dapat


menimbulkan dampak luas terhadap keselamatan umum dan
lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis
pembongkaran yang disusun oleh penyedia jasa perencanaan teknis
yang memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Rencana teknis pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disetujui oleh pemerintah daerah, setelah mendapat
pertimbangan dan tim ahli bangunan gedung.
(3) Dalam hal pelaksanaan pembongkaran berdampak luas terhadap
keselamatan umum dan lingkungan, pemilik dan pemerintah daerah
melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada masyarakat
di sekitar bangunan gedung, sebelum pelaksanaan pembongkaran.
(4) Pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung mengikuti prinsip-
prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Paragraf 4
Pengawasan Pembongkaran
Bangunan Gedung

Pasal 71

(1) Pengawasan pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 70 dilakukan
oleh penyedia jasa pengawasan yang memiliki sertifikat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Hasil pengawasan pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berkala kepada
pemerintah daerah.
(3) Pemerintah daerah melakukan pengawasan secara berkala atas
kesesuaian laporan pelaksanaan pembongkaran dengan rencana teknis
pembongkaran.
(4) Rencana teknis pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disetujui oleh pemerintah daerah, setelah mendapat
pertimbangan dan tim ahli bangunan gedung.
(5) Dalam hal pelaksanaan pembongkaran berdampak luas terhadap
keselamatan umum dan lingkungan, Pemilik dan pemerintah daerah
melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada masyarakat
di sekitar bangunan gedung, sebelum pelaksanaan pembongkaran.
(6) Pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung mengikuti prinsip-
prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

BAB V
PERAN MASYARAKAT
Bagian Pertama
Pemantauan dan Penjagaan Ketertiban
Pasal 72

(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, masyarakat dapat berperan


untuk memantau dan menjaga ketertiban, baik dalam kegiatan
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun kegiatan
pembongkaran bangunan gedung.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
objektif, dengan penuh tanggung jawab, dan dengan tidak menimbulkan
gangguan dan/atau kerugian bagi Pemilik dan/atau pengguna
bangunan gedung, masyarakat dan lingkungan.
(3) Masyarakat melakukan pemantauan melalui kegiatan pengamatan,
penyampaian masukan, usulan, dan pengaduan.
(4) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), masyarakat dapat melakukannya baik secara perorangan, kelompok,
organisasi kemasyarakatan, maupun melalui tim ahli bangunan gedung.
(5) Berdasarkan pemantauannya, masyarakat melaporkan secara tertulis
kepada pemerintah daerah terhadap:
a. indikasi bangunan gedung yang tidak laik fungsi; dan/atau
b. bangunan gedung yang pembangunan, pemanfaatan, pelestarian,
dan/ atau pembongkarannya berpotensi menimbulkan gangguan
dan/ atau bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya.

Pasal 73

Pemerintah daerah wajib menindak lanjuti laporan pemantauan


masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), dengan
melakukan penelitian dan evaluasi, baik secara administratif maupun
secara teknis melalui pemeriksaan lapangan, dan melakukan tindakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta menyampaikan
hasilnya kepada masyarakat.
Pasal 74

(1) Masyarakat ikut menjaga ketertiban penyelenggaraan bangunan gedung


dengan mencegah setiap perbuatan diri sendiri atau kelompok yang
dapat mengurangi tingkat keandalan bangunan gedung dan/atau
mengganggu penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
masyarakat dapat melaporkan secara lisan dan/atau tertulis kepada
instansi yang berwenang atau kepada pihak yang berkepentingan atas
perbuatan setiap orang.

Pasal 75

Instansi yang berwenang wajib menindaklanjuti laporan masyarakat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dengan melakukan
penelitian dan evaluasi baik secara administratif maupun secara teknis
melalui pemeriksaan lapangan, dan melakukan tindakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan serta menyampaikan hasilnya kepada
masyarakat.

Bagian Kedua
Pemberian Masukan terhadap Penyusunan
dan/ atau Penyempurnaan Peraturan,
Pedoman, dan Standar Teknis

Pasal 76

(1) Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap penyusunan


dan/atau penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di
bidang bangunan gedung kepada Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(2) Masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan baik secara perorangan, kelompok, organisasi
kemasyarakatan, maupun melalui tim ahli bangunan gedung dengan
mengikuti prosedur dan berdasarkan pertimbangan nilai-nilai sosial
budaya setempat.
(3) Masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
pertimbangan Pemerintah daerah dalam penyusunan dan/atau
penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang
bangunan gedung.

Bagian Ketiga
Penyampaian Pendapat dan
Pertimbangan
Pasal 77

(1) Masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada


instansi yang berwenang terhadap penyusunan rencana tata bangunan
dan lingkungan, rencana teknis bangunan gedung tertentu dan/atau
kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan agar masyarakat yang bersangkutan ikut
memiliki dan bertanggung jawab dalam penataan bangunan dan
lingkungannya.
(2) Pendapat dan pertimbangan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan baik secara perorangan, kelompok,
organisasi kemasyarakatan, maupun melalui tim ahli bangunan
gedung dengan mengikuti prosedur dan dengan mempertimbangkan
nilai-nilai sosial budaya setempat.

Pasal 78

(1) Pendapat dan pertimbangan masyarakat untuk rencana teknis


bangunan gedung tertentu dan/atau kegiatan penyelenggaraan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, dapat
disampaikan melalui tim ahli bangunan gedung dibahas dalam dengar
pendapat publik yang difasilitasi oleh pemerintah daerah, kecuali
untuk bangunan gedung fungsi khusus difasilitasi oleh Pemerintah
melalui koordinasi dengan pemerintah daerah.
(2) Hasil dengar pendapat publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menjadi pertimbangan dalam proses penetapan rencana teknis
oleh Pemerintah daerah.

Bagian Keempat
Pelaksanaan Gugatan Perwakilan
Pasal 79

Masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan sesuai


dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

Masyarakat yang dapat mengajukan gugatan perwakilan adalah:


a. perorangan atau kelompok orang yang dirugikan. yang mewakili para
pihak yang dirugikan akibat adanya penyelenggaraan bangunan gedung
yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan kepentingan umum;
atau
b. perorangan atau kelompok orang atau organisasi kemasyarakatan yang
mewakili para pihak yang dirugikan akibat adanya penyelenggaraan
bangunan gedung yang mengganggu, merugikan dan/atau
membahayakan kepentingan umum.

BAB VI
PEMBINAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 81

(1) Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung dilakukan oleh


Pemerintah daerah melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan dan
pengawasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung
tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan
fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
(2) Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada penyelenggara bangunan
gedung.

Bagian Kedua
Pembinaan oleh Pemerintah Daerah
Pasal 82

(1) Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dilakukan


oleh pemerintah daerah dengan penyusunan dan penyebarluasan
peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar
teknis bangunan gedung.
(2) Penyusunan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan
standar teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat penyelenggara
bangunan gedung.

Pasal 83

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dilakukan


melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan
perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan
hukum.
Pasal 84

(1) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1)


dilakukan kepada penyelenggara bangunan gedung.
(2) Pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung dapat berupa
peningkatan kesadaran akan hak, kewajiban dan peran dalam
penyelenggaraan bangunan gedung melalui pendataan, sosialisasi,
diseminasi, dan pelatihan.

Pasal 85

Pemberdayaan terhadap masyarakat yang belum mampu memenuhi


persyaratan teknis bangunan gedung dilakukan bersama-sama dengan
masyanakat yang terkait dengan bangunan gedung melalui:
a. pendampingan pembangunan bangunan gedung secara bertahap;
b. pemberian bantuan percontohan rumah tinggal yang memenuhi
persyaratan teknis; dan/atau
c. bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang sehat dan serasi.
Pasal 86

(1) Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


penerapan peraturan daerah di bidang bangunan gedung melalui
mekanisme dan penerbitan izin mendirikan bangunan gedung dan
sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan
dan penetapan pembongkaran bangunan gedung.
(2) Pemerintah daerah dapat melibatkan peran masyarakat dalam
pengawasan pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB VII
SANKSI TERHADAP PELANGGARAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 87

Setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban


pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini
dapat dikenai sanksi administrasi.

Pasal 88

(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 dapat


berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan
pembangunan;
d. penghentian sementara atau tetap pemanfaatan bangunan gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan
f. pencabutan izin mendirikan bangunan
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.

(2) Selain pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dapat dikenai sanksi berupa pengenaan denda paling banyak 10%
(sepuluh perseratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah
dibangun.
(3) Penyedia jasa konstruksi yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah
ini dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pada Tahap Pembangunan

Pasal 89

(1) Pemilik bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (3),
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
68 ayat (2), Pasal 76 ayat (3), dan Pasal 87 ayat (2) dikenakan sanksi
peringatan tertulis.
(2) Pemilik bangunan gedung yang tidak mematuhi peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu masing-
masing 7 (tujuh) hari kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan
atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan
sanksi berupa pembatasan kegiatan pembangunan.
(3) Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) selama 14 (empat belas) hari kalender dan tetap
tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
pembangunan dan pembekuan izin mendirikan bangunan.
(4) Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) selama 14 (empat belas) hari kalender dan tetap
tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian tetap
pembangunan, pencabutan izin mendirikan bangunan, dan perintah
pembongkaran bangunan gedung.
(5) Dalam hal pemilik bangunan gedung tidak melakukan pembongkaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kalender, pembongkarannya dilakukan oleh pemerintah
daerah atas biaya pemilik bangunan gedung.
(6) Dalam hal pembongkaran dilakukan oleh pemerintah daerah, pemilik
bangunan gedung juga dikenakan denda administratif yang besarnya
paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari nilai total bangunan
gedung yang bersangkutan.
(7) Besarnya denda administratif ditentukan berdasarkan berat dan
ringannya pelanggaran yang dilakukan setelah mendapat pertimbangan
dari tim ahli bangunan gedung.

Pasal 89

(1) Pemilik bangunan gedung yang melaksanakan pembangunan


bangunan gedungnya melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (1) dikenakan
sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin
mendirikan bangunan.
(2) Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan
bangunan dikenakan sanksi perintah pembongkaran.
Bagian Ketiga
Pada Tahap Pemanfaatan

Pasal 90

(1) Pemilik atau pengguna bangunan gedung yang melanggar ketentuan


Pasal 7 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) sampai dengan ayat
(4), Pasal 55 ayat (1), Pasal 62 ayat (2), Pasal 68 ayat (2) dan ayat (4),
dikenakan sanksi peringatan tertulis.
(2) Pemilik atau pengguna bangunan gedung yang tidak mematuhi
peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam
tenggang waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kalender dan tidak
melakukan perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian sementara kegiatan
pemanfaatan bangunan gedung dan pembekuan sertifikat laik fungsi.
(3) Pemilik atau pengguna bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selama 30 (tiga puluh) hari
kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa
penghentian tetap pemanfaatan dan pencabutan sertifikat laik fungsi.
(4) Pemilik atau pengguna bangunan gedung yang terlambat melakukan
perpanjangan sertifikat laik fungsi sampai dengan batas waktu
berlakunya sertifikat laik fungsi, dikenakan sanksi denda administratif
yang besarnya 1% (satu perseratus) dari nilai total bangunan gedung
yang.

BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 91

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah


diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini..
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang bangunan
gedung agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan
jelas.
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai pribadi
atau Badan tentang kebenaran perbutan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang bangunan gedung.
c. Meminta keterangan dan dan barang bukti pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang bangunan gedung.
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang bangunan gedung.
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang bangunan gedung.
g. Menyuruh berhenti, dan atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud huruf e.
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
bangunan gedung.
i. Menghentikan penyidikan.
j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang bangunan gedung menurut hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan saat
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 92

(1) Setiap orang atau badan yang karena kelalaiannya melanggar


ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini sehingga
mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi diancam dengan pidana
kurungan dan/atau pidana denda sesuai .
(2) Pidana kurungan dan/atau pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi:
a. Pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) jika karenanya
mengakibatkan kerugian harta benda orang lain;
b. Pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) jika
karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain sehingga
menimbulkan cacat seumur hidup;
c. Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) jika
karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain;
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah pelanggaran.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 93
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, semua peraturan pelaksanaan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
Pasal 94

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini:


a. izin mendirikan bangunan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya
Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku; dan
b. bangunan gedung yang belum memperoleh izin mendirikan bangunan
setelah berlakunya Peraturan Daerah ini, dalam jangka waktu paling
lambat 1 (satu) tahun harus sudah memiiki izin mendirikan bangunan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Daerah ini.
Pasal 95

Sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, dalam jangka waktu paling lambat
5 (lima) tahun, bangunan gedung yang telah didirikan sebelum
dikeluarkannya Peraturan Daerah ini wajib memiliki sertifikat laik fungsi.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Cilacap.

Ditetapkan di Cilacap
pada tanggal 30 Desember 2011

BUPATI CILACAP,

Cap ttd

TATTO SUWARTO PAMUJI

Diundangkan di Cilacap
pada tanggal 30 Desember 2011

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN CILACAP,

Cap ttd

M. MUSLICH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2011 NOMOR 11

Anda mungkin juga menyukai