Anda di halaman 1dari 4

Tugas 1 Pengantar Antropologi

Nama : Stiven Ediar Simamora


NIM : F1C022058
Kelas : B

Rangkuman Buku Anthropology The Basics karya Peter Metcalf


Chapter 2 : Misunderstanding Cultural Difference
Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti akan membutuhkan
interaksi dengan orang lain. Ketika kita keluar rumah dan melihat lingkungan sekitar, kita dapat menemukan
berbagai macam orang dengan ciri khas mereka masing-masing. Keragaman ini biasanya kita sebut dengan
kultur atau budaya. Ya, budaya atau kultur ini merupakan salah satu hal yang sangat menarik bagi para
antropolog ketika sedang mempelajari manusia.
Pada chapter 2 ini, Peter Metcalf ingin agar kita tahu mengenai kesalahpahaman dalam kultur
manusia selama ini. Sepanjang sejarah, bahkan hingga saat ini, setiap orang pasti bertemu orang lain yang
berbeda dengan diri mereka sendiri. Perbedaan itu yang membuat banyak orang penasaran dan ingin
mendiskusikan hal apa yang berbeda pada diri orang lain tersebut yang masuk akal untuk mereka. Chapter
ini dimulai dengan membahas The Lugbara Worldview in the 1940’s atau sederhananya pandangan orang-
orang Lugbara terhadap dunia. John Middelton merupakan salah satu penulis buku yang mempelajari
mengenai suku Lugbara di Afrika Timur. Lugbara merupakan salah satu suku pedalaman di Afrika Timur
yang tidak terpengaruh dengan dunia modern sama sekali. Orang Lugbara tinggal di dataran tinggi, tanah
yang rata dan tanpa pohon. Meskipun demikian, curah hujan dan kandungan mineral dalam tanah mereka
sangat bagus. Maka dari itu, mayoritas mereka berprofesi di bidang agrikultur sehingga tidak perlu keluar
daerah. Beberapa dekade pun berlangsung dan muncul orang kulit putih yang datang ke daerah Lugbara.
Meskipun beberapa dekade sebelumnya juga ada orang kulit putih, tetapi pada kali ini berbeda. Cara hidup
para masyarakat Lugbara diubah dengan memaksakan tatanan kolonial dan memperkenalkan komoditas
baru. Setelah tahun 1950-an Lugbara dengan cepat ditarik ke lingkungan yang lebih luas dan pandangan
dunia mereka menjadi lebih rumit.
Kemudian, terdapat juga makhluk aneh setengah manusia yang disebut “homo monstrosus” oleh
Linnaeus. Awalnya ini hanya merupakan cerita rakyat pada masyarakat Eropa yang aslinya berasal dari
Yunani. Herodotus menceritakan bahwa di suatu daerah yang jauh di selatan Mesir, terdapat suku dengan
orang-orang yang tidak memiliki kepala, sehingga mata dan mulut mereka berada di tengah-tengah dada.
Cara pandang Herodotus ini mirip sekali dengan cara pandang masyarakat Lugbara yang bermula dari
familiar kemudian aneh dan akhirnya mengerikan. Salah satu makhluk tersebut adalah manusia berkaki satu
yang berjalan dengan melompat-lompat dan bahkan kakinya bisa digunakan sebagai payung.
Metcalf juga membahas kerabat-kerabat makhluk hidup yang ia sebut near-humans atau hampir-
manusia seperti misalnya kera, orangutan, gorilla, dan monyet. Keberadaan mereka di tepi dunia yang
dikenal membingungkan peneliti abad pertengahan, yang berpikir bahwa mereka adalah jenis monstrositas
lain, seperti beragam pria berbulu. Spesies kera sangat menarik karena mereka memberi kesempatan bagi
para antropolog untuk melihat apa uniknya manusia dibandingkan dengan mereka.
Metcalf juga menjelaskan mengenai batasan spesies. Ia menjelaskannya dengan contoh bagal (mule).
Sederhananya bagal merupakan hewan hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai. Akan tetapi, hasil
test sangat jelas mengatakan bahwa hewan hasil perkawinan silang dari dua spesies yang berbeda tidak akan
dapat berketurunan atau mandul. Oleh karena itu, bagal tidak dapat digolongkan ke dalam spesies manapun
dan bagal tidak bisa saling kawin, sehingga untuk menghasilkan bagal harus kembali lagi mencari formula
spesies pembuatnya. Walaupun terdengar sangat rumit, tetapi manusia justru sangat simple. Semua populasi
manusia dapat dengan mudah melakukan perkawinan silang baik dari ujung kutub bumi dengan kutub
selatan dan menghasilkan keturunan yang subur dan keturunannya tersebut juga dapat berketurunan lagi.
Kita dapat tahu ini karena dalam semua kekacauan beberapa abad terakhir, yang menyebabkan perang dan
migrasi dan perdagangan budak telah memindahkan populasi besar dari satu benua ke benua lain.
Akibatnya, ada peluang untuk mencoba hampir setiap kemungkinan kombinasi perkawinan silang. Hal ini
berarti bahwa semua manusia di permukaan bumi ini sebenarnya sangat berkaitan dan berelasi erat satu
dengan yang lain. Akan tetapi, pemahaman ini belum sempat terpikirkan di abad ke-19. Di masa itu, terdapat
opini yang sangat popular yang mengatakan bahwa manusia ini memiliki suatu perbedaan yakni ras. Pada
tahun 1757, Linnaeus membagi homo sapiens menjadi 5 kategori yakni
(a) Wild man. Berkaki empat, bisu, berambut tebal.
(b) American. Berwarna tembaga, tegak. Rambut hitam, lurus, tebal, lubang hidung lebar. Diatur oleh adat
istiadat/kebiasaan
(c) European. Kulit cerah, berotot; Rambut kuning pirang, cokelat, mata biru. Diatur oleh hukum
(d) Asiatic. Berkulit sawo matang atau kuning langsat, kaku. Rambut hitam, warna mata gelap. Diatur oleh
pendapat
(e) African. Berkulit gelap, tidak kaku. Rambut hitam keriting, kulit halus, hidung pesek, bibir tebal. Diatur
oleh tindakan yang tiba-tiba.
Sebenarnya kata “ras” ini merupakan sebuah paradoks besar. Jika kita baru pertama kali melihat atau
mendengarnya, maka klaim ras ini akan terlihat seperti lelucon yang dibuat para akademik untuk bermain-
main dengan pikiran mereka. Tentu, kita dapat melihat orang-orang di sekeliling kita dengan karakter
berkulit putih atau gelap, berambut lurus atau bergelombang atau keriting. Tapi apakah ini yang disebut ras?
Tidak! Ciri-ciri fisik ini tidak cukup untuk disebut sebagai ras. Jika kita melihat populasi manusia secara
saksama maka kita dapat menemukan berbagai variasi dan kombinasi ciri-ciri fisik. Misalnya, jika orang
Africa sering dikatakan orang yang tinggi, bagaimana dengan orang-orang pygmy yang berbadan pendek
namun tinggal di Hutan Ituri, Republik Kongo, Afrika Tengah.
Kemudian, jika orang Asia seharusnya berkulit kuning, bagaimana suku Tamil (dari India Selatan yang
mayoritas berkulit gelap bahkan segelap orang Afrika) akan digolongkan, apakah masih termasuk Asia?
Apabila kamu berasumsi bahwa nenek moyang mereka emang berasal dari Afrika, bagaimana kamu akan
menjelaskan mengenai hidung mereka yang mancungnya semancung masyarakat di Eropa? Apakah mereka
dapat genetika kulit mereka dari satu benua dan wajahnya dari benua lain? Apakah begitu cara kerja
pewarisan sifat genetika manusia? Metcalf pun menjelaskan mulai dari yang paling dasar pembeda yang
sering kali digunakan manusia untuk mengidentifikasikan orang lain yakni warna. Warna dapat dikatakan
salah satu hal yang paling krusial ketika kita sedang berbicara tentang ras. Namun, di sini Metcalf
menjelaskan bahwa sebenarnya perbedaan warna kulit pada manusia itu bukanlah suatu hal yang menjadi
dasar penentuan ras. Secara biologis, warna pada kulit ditentukan oleh seberapa banyak jumlah melanin
yang dimiliki. Jadi, kenapa manusia bisa memiliki beragam warna kulit? Hal ini karena merupakan bentuk
adaptasi manusia yang tersebar di berbagai belahan dunia dengan tingkat radiasi matahari yang berbeda-
beda.
Metcalf juga menjelaskan mengenai golongan darah. Pada abad ke-19, ditemukan bahwa ternyata
darah manusia tidak sama pada semua orang (berbeda secara kimiawi). Fakta tersebut didukung dengan
munculnya klasifikasi pertama tentang golongan darah yakni A, B, dan O. Tidak seperti warna kulit, yang
dapat bervariasi tanpa batas sepanjang skala, setiap orang memiliki darah dari satu jenis atau lainnya.
Akibatnya, sepertinya golongan darah mungkin memberikan dasar yang kuat untuk klasifikasi tiga bagian
dari suatu ras. Masalah dengan ini adalah bahwa orang dengan setiap golongan darah didistribusikan ke
seluruh dunia, bercampur dengan orang-orang yang secara eksternal terlihat mirip, tetapi memiliki golongan
darah yang lain.
Selain itu, Metcalf juga menyinggung mengenai IQ (di mana suatu ras sering sekali disterotipkan
dengan tingkat IQ tertentu)—Intelligence Quotient (IQ) merupakan kemampuan untuk bertindak secara
efektif, berpikir rasional dan menghadapi lingkungan secara baik dan secara umum, IQ merupakan
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Pertama, mengukur tingkat IQ
seseorang itu tidaklah semudah menguji golongan darah seseorang. Kedua, IQ suatu populasi hanya dapat
dibandingkan dengan mengambil rata-rata. Setiap individu itu sangat bervariasi pada bidang apa pun itu
ketika kita sedang menguji IQ mereka. Jadi, yang ingin ditekankan di sini adalah, jika anda bertemu
seseorang (misalkan orang Afrika atau orang Jepang) yang anda dapat ketahui saat itu hanyalah jumlah
melanin yang dia miliki. Anda tidak tahu apa-apa tentang tinggi badan, golongan darah, IQ, bakat, atau
kecenderungan yang melekat pada kepribadian apatis atau mudah tersinggung.
Kesimpulan yang bisa saya ambil di sini adalah bahwa benar adanya kita dapat melihat dengan mata
kita sendiri bahwa populasi manusia bervariasi dalam warna kulit, dimensi tubuh, golongan darah dan
sejumlah variabel lainnya, tetapi ini tidak berarti mereka memiliki ras dalam istilah biologis. Artinya
populasi manusia tidak semata-mata dapat diurutkan ke dalam sejumlah kotak kecil, yang masing-masing
berisi populasi yang menyerupai satu sama lain dalam berbagai variabel. Justru kebalikannya: semakin
banyak variabel yang diukur, semakin banyak kotak diperlukan untuk membendung keberagamannya.
Pertama, stereotip rasial pasti akan menyesatkan. Maksud dari hal ini adalah tidak mungkin suatu
populasi masyarakat yang memiliki kesamaan fisik berarti juga akan memiliki kesamaan IQ pula di setiap
manusianya. Kedua, ketika orang membahas isu ras, mereka benar-benar berbicara tentang fenomena
budaya. Apa yang ingin sebenarnya ditanyakan oleh antropolog adalah keadaan historis apa yang membuat
perbedaan "rasial" ini penting di tempat dan waktu yang ini. Bagaimana dengan kategori dimobilisasi dalam
situasi sosial dan politik?
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita sering asal menilai orang hanya karena latar
belakangnya seperti budaya dan rasnya. Padahal, bukan itu yang diinginkan para antropolog di zaman
sekarang. Sebab, apabila hal tersebut tetap melekat pada diri kita, maka akan dapat menimbulkan banyak
konflik dan permasalahan baru yang justru seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Selain itu, hal tersebut
juga dapat membuat kita menjadi minder dan tidak percaya diri dengan ras yang kita miliki atau bahkan
menganggap budaya kita yang paling bagus daripada yang lain. Miskonsepsi semacam inilah yang harus kita
berantas dan kita ubah agar semua orang dapat lebih memahami bahwa kita sesungguhnya sama dan
masing-masing dikaruniai keunikan yang khas yang sepatutnya disyukuri dan dilestarikan.

Anda mungkin juga menyukai