Rangkuman Buku Anthropology The Basics karya Peter Metcalf
Chapter 2 : Misunderstanding Cultural Difference Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti akan membutuhkan interaksi dengan orang lain. Ketika kita keluar rumah dan melihat lingkungan sekitar, kita dapat menemukan berbagai macam orang dengan ciri khas mereka masing-masing. Keragaman ini biasanya kita sebut dengan kultur atau budaya. Ya, budaya atau kultur ini merupakan salah satu hal yang sangat menarik bagi para antropolog ketika sedang mempelajari manusia. Pada chapter 2 ini, Peter Metcalf ingin agar kita tahu mengenai kesalahpahaman dalam kultur manusia selama ini. Sepanjang sejarah, bahkan hingga saat ini, setiap orang pasti bertemu orang lain yang berbeda dengan diri mereka sendiri. Perbedaan itu yang membuat banyak orang penasaran dan ingin mendiskusikan hal apa yang berbeda pada diri orang lain tersebut yang masuk akal untuk mereka. Chapter ini dimulai dengan membahas The Lugbara Worldview in the 1940’s atau sederhananya pandangan orang- orang Lugbara terhadap dunia. John Middelton merupakan salah satu penulis buku yang mempelajari mengenai suku Lugbara di Afrika Timur. Lugbara merupakan salah satu suku pedalaman di Afrika Timur yang tidak terpengaruh dengan dunia modern sama sekali. Orang Lugbara tinggal di dataran tinggi, tanah yang rata dan tanpa pohon. Meskipun demikian, curah hujan dan kandungan mineral dalam tanah mereka sangat bagus. Maka dari itu, mayoritas mereka berprofesi di bidang agrikultur sehingga tidak perlu keluar daerah. Beberapa dekade pun berlangsung dan muncul orang kulit putih yang datang ke daerah Lugbara. Meskipun beberapa dekade sebelumnya juga ada orang kulit putih, tetapi pada kali ini berbeda. Cara hidup para masyarakat Lugbara diubah dengan memaksakan tatanan kolonial dan memperkenalkan komoditas baru. Setelah tahun 1950-an Lugbara dengan cepat ditarik ke lingkungan yang lebih luas dan pandangan dunia mereka menjadi lebih rumit. Kemudian, terdapat juga makhluk aneh setengah manusia yang disebut “homo monstrosus” oleh Linnaeus. Awalnya ini hanya merupakan cerita rakyat pada masyarakat Eropa yang aslinya berasal dari Yunani. Herodotus menceritakan bahwa di suatu daerah yang jauh di selatan Mesir, terdapat suku dengan orang-orang yang tidak memiliki kepala, sehingga mata dan mulut mereka berada di tengah-tengah dada. Cara pandang Herodotus ini mirip sekali dengan cara pandang masyarakat Lugbara yang bermula dari familiar kemudian aneh dan akhirnya mengerikan. Salah satu makhluk tersebut adalah manusia berkaki satu yang berjalan dengan melompat-lompat dan bahkan kakinya bisa digunakan sebagai payung. Metcalf juga membahas kerabat-kerabat makhluk hidup yang ia sebut near-humans atau hampir- manusia seperti misalnya kera, orangutan, gorilla, dan monyet. Keberadaan mereka di tepi dunia yang dikenal membingungkan peneliti abad pertengahan, yang berpikir bahwa mereka adalah jenis monstrositas lain, seperti beragam pria berbulu. Spesies kera sangat menarik karena mereka memberi kesempatan bagi para antropolog untuk melihat apa uniknya manusia dibandingkan dengan mereka. Metcalf juga menjelaskan mengenai batasan spesies. Ia menjelaskannya dengan contoh bagal (mule). Sederhananya bagal merupakan hewan hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai. Akan tetapi, hasil test sangat jelas mengatakan bahwa hewan hasil perkawinan silang dari dua spesies yang berbeda tidak akan dapat berketurunan atau mandul. Oleh karena itu, bagal tidak dapat digolongkan ke dalam spesies manapun dan bagal tidak bisa saling kawin, sehingga untuk menghasilkan bagal harus kembali lagi mencari formula spesies pembuatnya. Walaupun terdengar sangat rumit, tetapi manusia justru sangat simple. Semua populasi manusia dapat dengan mudah melakukan perkawinan silang baik dari ujung kutub bumi dengan kutub selatan dan menghasilkan keturunan yang subur dan keturunannya tersebut juga dapat berketurunan lagi. Kita dapat tahu ini karena dalam semua kekacauan beberapa abad terakhir, yang menyebabkan perang dan migrasi dan perdagangan budak telah memindahkan populasi besar dari satu benua ke benua lain. Akibatnya, ada peluang untuk mencoba hampir setiap kemungkinan kombinasi perkawinan silang. Hal ini berarti bahwa semua manusia di permukaan bumi ini sebenarnya sangat berkaitan dan berelasi erat satu dengan yang lain. Akan tetapi, pemahaman ini belum sempat terpikirkan di abad ke-19. Di masa itu, terdapat opini yang sangat popular yang mengatakan bahwa manusia ini memiliki suatu perbedaan yakni ras. Pada tahun 1757, Linnaeus membagi homo sapiens menjadi 5 kategori yakni (a) Wild man. Berkaki empat, bisu, berambut tebal. (b) American. Berwarna tembaga, tegak. Rambut hitam, lurus, tebal, lubang hidung lebar. Diatur oleh adat istiadat/kebiasaan (c) European. Kulit cerah, berotot; Rambut kuning pirang, cokelat, mata biru. Diatur oleh hukum (d) Asiatic. Berkulit sawo matang atau kuning langsat, kaku. Rambut hitam, warna mata gelap. Diatur oleh pendapat (e) African. Berkulit gelap, tidak kaku. Rambut hitam keriting, kulit halus, hidung pesek, bibir tebal. Diatur oleh tindakan yang tiba-tiba. Sebenarnya kata “ras” ini merupakan sebuah paradoks besar. Jika kita baru pertama kali melihat atau mendengarnya, maka klaim ras ini akan terlihat seperti lelucon yang dibuat para akademik untuk bermain- main dengan pikiran mereka. Tentu, kita dapat melihat orang-orang di sekeliling kita dengan karakter berkulit putih atau gelap, berambut lurus atau bergelombang atau keriting. Tapi apakah ini yang disebut ras? Tidak! Ciri-ciri fisik ini tidak cukup untuk disebut sebagai ras. Jika kita melihat populasi manusia secara saksama maka kita dapat menemukan berbagai variasi dan kombinasi ciri-ciri fisik. Misalnya, jika orang Africa sering dikatakan orang yang tinggi, bagaimana dengan orang-orang pygmy yang berbadan pendek namun tinggal di Hutan Ituri, Republik Kongo, Afrika Tengah. Kemudian, jika orang Asia seharusnya berkulit kuning, bagaimana suku Tamil (dari India Selatan yang mayoritas berkulit gelap bahkan segelap orang Afrika) akan digolongkan, apakah masih termasuk Asia? Apabila kamu berasumsi bahwa nenek moyang mereka emang berasal dari Afrika, bagaimana kamu akan menjelaskan mengenai hidung mereka yang mancungnya semancung masyarakat di Eropa? Apakah mereka dapat genetika kulit mereka dari satu benua dan wajahnya dari benua lain? Apakah begitu cara kerja pewarisan sifat genetika manusia? Metcalf pun menjelaskan mulai dari yang paling dasar pembeda yang sering kali digunakan manusia untuk mengidentifikasikan orang lain yakni warna. Warna dapat dikatakan salah satu hal yang paling krusial ketika kita sedang berbicara tentang ras. Namun, di sini Metcalf menjelaskan bahwa sebenarnya perbedaan warna kulit pada manusia itu bukanlah suatu hal yang menjadi dasar penentuan ras. Secara biologis, warna pada kulit ditentukan oleh seberapa banyak jumlah melanin yang dimiliki. Jadi, kenapa manusia bisa memiliki beragam warna kulit? Hal ini karena merupakan bentuk adaptasi manusia yang tersebar di berbagai belahan dunia dengan tingkat radiasi matahari yang berbeda- beda. Metcalf juga menjelaskan mengenai golongan darah. Pada abad ke-19, ditemukan bahwa ternyata darah manusia tidak sama pada semua orang (berbeda secara kimiawi). Fakta tersebut didukung dengan munculnya klasifikasi pertama tentang golongan darah yakni A, B, dan O. Tidak seperti warna kulit, yang dapat bervariasi tanpa batas sepanjang skala, setiap orang memiliki darah dari satu jenis atau lainnya. Akibatnya, sepertinya golongan darah mungkin memberikan dasar yang kuat untuk klasifikasi tiga bagian dari suatu ras. Masalah dengan ini adalah bahwa orang dengan setiap golongan darah didistribusikan ke seluruh dunia, bercampur dengan orang-orang yang secara eksternal terlihat mirip, tetapi memiliki golongan darah yang lain. Selain itu, Metcalf juga menyinggung mengenai IQ (di mana suatu ras sering sekali disterotipkan dengan tingkat IQ tertentu)—Intelligence Quotient (IQ) merupakan kemampuan untuk bertindak secara efektif, berpikir rasional dan menghadapi lingkungan secara baik dan secara umum, IQ merupakan kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Pertama, mengukur tingkat IQ seseorang itu tidaklah semudah menguji golongan darah seseorang. Kedua, IQ suatu populasi hanya dapat dibandingkan dengan mengambil rata-rata. Setiap individu itu sangat bervariasi pada bidang apa pun itu ketika kita sedang menguji IQ mereka. Jadi, yang ingin ditekankan di sini adalah, jika anda bertemu seseorang (misalkan orang Afrika atau orang Jepang) yang anda dapat ketahui saat itu hanyalah jumlah melanin yang dia miliki. Anda tidak tahu apa-apa tentang tinggi badan, golongan darah, IQ, bakat, atau kecenderungan yang melekat pada kepribadian apatis atau mudah tersinggung. Kesimpulan yang bisa saya ambil di sini adalah bahwa benar adanya kita dapat melihat dengan mata kita sendiri bahwa populasi manusia bervariasi dalam warna kulit, dimensi tubuh, golongan darah dan sejumlah variabel lainnya, tetapi ini tidak berarti mereka memiliki ras dalam istilah biologis. Artinya populasi manusia tidak semata-mata dapat diurutkan ke dalam sejumlah kotak kecil, yang masing-masing berisi populasi yang menyerupai satu sama lain dalam berbagai variabel. Justru kebalikannya: semakin banyak variabel yang diukur, semakin banyak kotak diperlukan untuk membendung keberagamannya. Pertama, stereotip rasial pasti akan menyesatkan. Maksud dari hal ini adalah tidak mungkin suatu populasi masyarakat yang memiliki kesamaan fisik berarti juga akan memiliki kesamaan IQ pula di setiap manusianya. Kedua, ketika orang membahas isu ras, mereka benar-benar berbicara tentang fenomena budaya. Apa yang ingin sebenarnya ditanyakan oleh antropolog adalah keadaan historis apa yang membuat perbedaan "rasial" ini penting di tempat dan waktu yang ini. Bagaimana dengan kategori dimobilisasi dalam situasi sosial dan politik? Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita sering asal menilai orang hanya karena latar belakangnya seperti budaya dan rasnya. Padahal, bukan itu yang diinginkan para antropolog di zaman sekarang. Sebab, apabila hal tersebut tetap melekat pada diri kita, maka akan dapat menimbulkan banyak konflik dan permasalahan baru yang justru seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Selain itu, hal tersebut juga dapat membuat kita menjadi minder dan tidak percaya diri dengan ras yang kita miliki atau bahkan menganggap budaya kita yang paling bagus daripada yang lain. Miskonsepsi semacam inilah yang harus kita berantas dan kita ubah agar semua orang dapat lebih memahami bahwa kita sesungguhnya sama dan masing-masing dikaruniai keunikan yang khas yang sepatutnya disyukuri dan dilestarikan.