Anda di halaman 1dari 4

Pelajaran dari Ricuh PPI Ujong Serangga

Oleh: Dr. Riza Sufriadi Sufi, Sp.OG*

“Sangat disayangkan dan patut disesali” adalah satu ungkapan mungkin cukup tepat untuk
menyikapi kejadian kericuhan pembubaran vaksinasi di PPI Ujong Serangga, Kecamatan Susoh
Aceh Barat Daya. Namun kita harus segera “move on” dari pada berpolemik panjang dan
mencari kesalahan. Peristiwa yang terlanjur viral di media nasional itu harus menjadi pelajaran
bagi kita agar program pemerintah ini berjalan baik dan tidak menciptakan konflik vertikal dan
horizontal.

WHO (World Health Organization) telah menetapkan bahwa Covid 19 adalah bencana global.
Program vaksinasi Covid 19 adalah upaya pemerintah dalam melindungi warga negaranya dari
virus Corona. Seluruh pemerintah di dunia juga melaksanakan hal serupa, karena itu memang
tanggungjawab pemerintah. Australia, Selandia Baru dan negara-negara Eropa sudah
menyelesaikan target vaksinasi sehingga dapat beraktivitas normal tanpa masker seperti sebelum
pandemi.

Namun tidak halnya dengan negara-negara di Amerika, walaupun secara kemajuan pendidikan
Eropa dan Amerika setara namun tidak halnya dalam “peradaban Covid 19”. Sebagian penduduk
Amerika agak lebih “tungang” dalam mematuhi protokol dan program vaksinasi dari
pemerintahnya. Apalagi masayarakat Indonesia, lebih lagi masyarakat Aceh yang noatebenenya
kita tertinggal ratusan tahun dibelakang Amerika.

Perlu kesabaran dan upaya ekstra dari pemerintah dalam menyukseskan program vaksin ini.
Solusi yang paling baik adalah pendekatan lebih persuasif dan humanis sebagaimana pendapat
Wakil Ketua DPRA, Safaruddin SSos MSP yang dimuat dalam media lokal (Serambinews.com,
Selasa 28 Oktober 2021)

Pada dasarnya masyarakat Aceh dapat menerima program apapun kalau pendekatannya
meukeunong bak hate. Sebagaimana hadih maja ureng Aceh mengatakan “meunyoe ate hana
teupeh, pade bijeh di peutaba, meunyoe ate ka teupeh bu leubeh han meuteume rasa”. Patut
diakui pesan vaksinasi dari pemerintah belum sampai dengan baik ke masyarakat.

Sosialisasi tidak hanya cukup dengan spanduk dan baliho di jalan. Upaya Polda Aceh menggelar
vaksinasi di dayah-dayah adalah salah satu contoh strategis bagaimana sosialisasi itu lebih
“berisi” dibandingkan dengan bentangan spanduk dan baliho. Karena ulama dayah masih
menjadi role model ureung Aceh.

Revolusi Komunikasi

Pada masa awal berkembang ilmu kedokteran, hubungan pemberi layanan (dokter, tenaga medis)
dan pasien adalah paternalistik. Pemberi layanan (server) lebih dominan dari pada pasien (user,
masyarakat), sehinga pasien/masayarakat harus menerima apapun saran dan tindakan dari dokter.
Namun seiring perkembangan peradaban, pola paternalistik yang berat sebelah berubah menjadi
mitra/partner (sejajar/seimbang) yang didalamnya terikat prinsip etik dan hukum.
Setiap tindakan kedokteran selalu dilandasi 4 prinsip moral dasar, yaitu Prinsip Otonomi, yaitu
prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self
determination); Prinsip Beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan pada kebaikan pasien; Prinsip Non Maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang
tindakan yang memperburuk keadaan pasien; Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang
mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).
(Dr. dr. Taufik Suryadi, Sp.F; Prinsip-Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran)

Dalam memberikan saran, pengobatan, tindakan bahkan vaksinasi yang saat ini sedang
digalakkan, dokter selalu berpegang teguh kepada 4 prinsip moral dasar etika dan evidence base
(berbasis bukti ilmiah). Secara etik profesi sudah diatur dengan ketat, diantaranya dokter dilarang
melakukan pengobatan/tindakan yang belum jelas evidence basenya. Vaksin Covid-19 yang
diberikan saat ini sudah melewati tahapan dan proses tersebut.

Sebagaimana halnya prinsip agama, Azas manfaat diatas mudharat selalu menjadi pertimbangan
utama. Vaksin secara ilmiah telah terbukti memberikan efek kekebalan tubuh, disisi lain vaksin
juga menimpulkan beberapa efek negatif yang disebut KIPI (Kejadian Pasca Ikutan Imunisasi).
Efeknya ada yang ringan ada yang berat, kondisi ini sangat bergantung kepada jenis vaksin dan
variasi biologis manusia itu sendiri. Namun secara umum telah dipertimbangkan bahwa efek
KIPI ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat
virus bila tidak dilakukan vaksinasi.

Jika dianggap dilema antara manfaat vaksin dan efek sampingnya, dalam cakupan etika
kedokteran dikenal dengan istilah “minus malum bonus maximum”-istilah ini juga dipakai dalam
dunia hukum- yang artinya kita harus memilih risiko paling kecil dan mendapat efek positif yang
paling besar. Dalam vaksin terdapat potensi keduanya, tentunya kita berharap mendapat
mudharat yang kecil, manfaat yang besar.

Banyak selentingan yang beredar di medsos bahwa vaksinasi adalah proyek dokter dan
pemerintah. Pemerintah hanya berusaha melindungi warganya, dokter hanya menjalankan tugas
kemanusiaan yang melekat pada profesinya. Jasa yang dibayar pemerintah sungguh tidak
sebanding dengan resiko pekerjaan dokter dan petugas medis, seperti halnya kejadian di PPI
Ujong Serangga. Masih ada risiko yang lebih besar, yaitu tertular penyakit dari pasien.
Pemerintah juga mengorbankan anggaran sektor lain untuk vaksin ini. Jika ada sebagian pihak
yang mengeruk keuntungan dari program ini, seharusnya merekalah yang menjadi sasaran
amarah kita bersama. Bukan pada dokter dan petugas yang menjalankan tugas negara.

Dokter (server) harus memberikan informasi yang lengkap kepada pasien (user), pasien
mempunyai hak untuk negoisasi untuk setuju atau tidak terhadap tindakan medik kepada dirinya.
Dalam era keterbukaan informasi dan situasi pandemi ini, mengenai program vaksinasi ini,
tanggung jawab pemberian informasi tidak bisa semata-mata hanya di berikan kepada dokter
saja. Pemerintah, cendekiawan, LSM dan seluruh lapisan masayarakat harus mengambil peran
masing-masing.
Informasi yang diberikan tentunya adalah informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai
evidence base yang merujuk kepada sumber resmi dan berkompeten. Masyarakat juga harus akif
dan bijak dalam menggunakan media sosial, menahan diri menyebarkan berita yang tidak jelas
sumbernya. Namun sebuah tantangan juga bahwa tidak semua pengguna media sosial
mempunyai intelektualitas yang sama, sehingga tahu dalam memilah informasi yang valid dan
tidak. Mungkin disini peran polisi cyber atau dinas infokom dapat mengontrol konten yang
beredar.

Pendekatan Persuasif dan Humanis


Pemerintah khususnya pemerintah daerah adalah pemegang tanggungjawab terbesar dalam
upaya penyampaian informasi vaksin ini. Pemerintah daerah harus “mutar otak” supaya pesan
dan tujuan vaksin ini tercapai. Sosialisasi harus masuk ke seluruh lapisan masnyakata. Model
sosialisasi tidak boleh di sama ratakan pada semua tempat. Masing-masing daerah mempunyai
“kearifan lokal” tersendiri.

Karakter masyarakat dalam suatu daerahpun berbeda, misalnya daerah pesisir pantai masyarakat
lebih keras dan tegas dibanding masyarakat kota, karena itu pendekatan juga harus berbeda.
Tidak sepenuhnya tepat jika masyarakat Ujong Serangga disalahkan, dokter dan petugas medis
juga tidak boleh disalahkan karena sedang menjalankan tugas negara. Sikap Polda Aceh yang
memilih persuasif terhadap beberapa warga yang terlibat kericuhan harus diapresiasi
(Infoaceh.net, 30 September 2021) supaya kejadian ini tidak menjadi konflik horizontal di daerah
lain.

Pelajaran kedepan untuk daerah lain agar sebelum vaksinasi dilakukan sudah dilakukan
sosialisasi yang cukup baik dengan pendekatan tengku-tengku gampong, tokoh masyarakat, iklan
di medsos atau lembaga lain tentang informasi yang menyeluruh dan lengkap. Apa kegunaan
vaksin, mengapa harus divaksin, apa efek samping yang mungkin timbul, bagaimana penanganan
dan sejauhmana tanggung jawab pemerintah jika terjadi efek negatif dari vaksin sehingga
masyarakat merasa aman dan nyaman. Masyarakat harus dicerdaskan dulu, apabila masyarakat
sudah cerdas, masyarakat akan datang sendiri minta untuk di vaksin. Pastinya tidak ada
penolakan apalagi kericuhan. Tapi sekali lagi tidak ada pemaksaan, masyarakat diberikan
kebebasan untuk memilih.

Mengutip pernyataan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, Dr. dr. Safrizal Rahman,
M.Kes, Sp.OT, (Serambinews.com, 30 September 2021), bahwa dokter siap membantu program
pemerintah dalam berperang melawan Covid-19. Kami dokter yang terlibat dalam vaksinasi dan
penanganan pasien Covid-19 adalah panggilan kemanusian dan tanggung jawab sumpah profesi.
Namun, setiap kegiatan vaksinasi pemerintah wajib menyediakan petugas pengamanan untuk
menjamin kenyamanan dan keselamatan petugas.

Kalau ditarik benang merah sebenarnya kita ada pada tujuan yang sama, yaitu ingin segera
terbebas dari pandemi Covid-19. Tapi selama ini komunikasi dan informasi saja yang belum
pada frekuensi yang sama. Mudah-mudahan kedepan kita saling bergenggam tangan maju
bersama menyongsong Aceh Bebas Covid. Aamin.

)* Penulis Adalah Residen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USK/RSUDZA asal Meureudu, Pidie
Jaya

Anda mungkin juga menyukai