Anda di halaman 1dari 11

1

KRONOLOGIS SEJARAH KALO HOALU,


TESTIMONI PENGGUNAAN KALO HOALU DAN
KEDUDUKAN KALO HOALU DALAM
MASYARAKAT HUKUM ADAT TOLAKI, SERTA
MENYOAL KAJIAN ILMIAH KALO HOALU
Oleh: Basaula Tamburaka

Tulisan ini membahas Empat Bagian yaitu:


PERTAMA, Kronologis terbentuknya sejarah Kalo Hoalu dan kenapa pada zaman penjajahan
Belanda Kalo Hoalu dilarang penggunaannya. Serta apa yang dirasakan para pejuang
kebudayaan adat istiadat membangun budaya di Konawe dan Mekongga;
KEDUA, Testimoni untuk para pelaku Adat. Setelah kemerdekaan RI di Wawotobi tanggal 26-
7-1948 menggunakan MOMBESARA SARA WONUA yaitu KALO HOALU yang memiliki magis
religius;
KETIGA, Menyoal kajian ilmiah Kalo Holau;
KEEMPAT, Memperkuat kedudukan Kalo Hoalu dalam masyarakat hukum Adat Tolaki.

BAGIAN PERTAMA
Kronologis Sejarah Kalo Hoalu

Arsamid Al-Ashur dan wafat di Kendari 07-7-2018 Tokoh Adat Budayawan 4 zaman
lahir di Tawanga tanggal 10/10/1941 dalam usia 82 tahun mengatakan, bahwa sejarah asal usul
terjadinya Ritual Mosehe Wonua (Penyucian Diri) pada Zaman Kerajaan Wekoila ketika Raja
mengundang bekas Kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Padangguni Rajanya Ramandalangi; Kerajaan
Wawolesea Rajanya Wasangga; Kerjaan Besulutu dan Rajanya Mombeesi untuk bersatu
membentuk Federasi Kerajaan Konawe ternyata Mokole Mombeesi tidak mau tunduk bergabung
bahkan sumpah serapa ( mombetudari) beberapa kali staf kerajaan menemui Mombeesi selalu
pindah tempat, terakhir ketiga kali dijumpai di EMEA sekarang Desa Motaha. Beliau setelah
diadakan Mombesara Wonua terhentak Hatinya mau Bersatu tapi karena pernah bersumpah
(Mombetudari) MOWILA O'AI PETUNA ULUMBATU MEPURI MOBUNGGU LAHUENE
METONDAKI KONAWE MEDULU I WUTA SAKO INOLOMBUGGADUE I UNAAHA KEI
WEKOILA KI’OKI. Artinya memutih arang bercabang tungku walau ke dasar bumi ke belakang
langit sekalipun untuk bersatu di kerajaan Konawe di Inolombunggadue Unaaha di bawah
kekuasaan Wekoila tak pernah akan terjadi. Melalui utusan disampaikan kepada Mokole
Wekoila

Wekoila seorang yang memiliki keibuan namun bijaksana berpesan kepada petugas
usahakan tetap cari dan bagaiamana caranya kalian bikin tunduk. Mereka mencari kain terbuat
dari kulit kayu bersih putih di dasarnya diletakkan KALO dan di bawahnya PONDINE. Pondine
tidak lain adalah DUKU atau NYIRU tempat tapis beras dianyam kulit rotan halus. Jadi, zaman
Wekoila belum mengenal SIWOLE’UWA nanti zaman SANGIA INATO abad ke-16. Jadi, Pak
Basrin sebagai pakar sejarah harus dipahami KALOSARA dulu alasanya belum bahan
SIWOLE’UWA sehingga ada sejarah desa WONGGEDUKU karena DUKU yang dipakai di
bawahnya sudah bolong.

SAYA MAU TUNDUK TETAPI SYARATNYA HARUS MENGADAKAN MOSEHE


WONUA (UPACARA TOLAK BALA PENYUCIAN DIRI). Wekoila menerima pesan
Mombeesi dirapatkan pembantunya karena selama ini yang dipakai sebagai benda regalia KALO
O'ASO (Sara Mbedulu) diperintahkan membuat KALO HOALU (Sara Wonua) untuk Mosehe
Wonua dengan ritual Mosera Beli Ngginiku Wila Petanu Tomu Ndomu.
2

Dengan kewibawaan dan kharismatik kepemimpinan Raja Wekoila diadakan Mosehe


Wonua yang memegang ujung Benda KALO HOALU adalah Mombeesi di belakangnya raja
Padangguni dan Raja Wawolesea diikuti ribuan masyarakat menyaksikan sekaligus mereka
membuat PERNYATAAN TAAT SETIA TUNDUK KEPADA RAJA WEKOILA. Mereka
membentuk sebuah Kerajaan Konawe yang didasarkan persatuan semua komponen yang sudah
bertikai. Apalagi Filosofi KALO HOALU tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Dari
sini Pemerintahan Wekoila maju berkembang karena merangkul semua yang pernah bertikai
(Buku disertasi KEWIBAWAAN HUKUM ADAT KALOSARA oleh Dr. Ruliah, S.H., M.H.
Halaman 122)

Sejarah mencatat, penjajah bangsa Belanda sejak menginjakkan kakinya di tanah Tolaki
tanggal 09 Mei 1831 (Hari Jadi Kota Kendari Ke-191) Penjajah bermarkas (Tinggal) di Kendari
dengan membentuk Kerajaan LAIWOI. Raja pertama Sao-Sao dan dilanjutkan Raja Kedua
Tekaka. Belanda tidak bisa kuasai sepenuhnya wilayah KERAJAAN KONAWE DAN
KERAJAAN MEKONGGA. Karena rakyat masih tunduk KEPADA SULEMANDARA
SARANANI yang tadinya Istana DI INOLOBUNGGADUE DI UNAAHA dipindahkan
ISTANANYA DI PONDIDAHA (Beliau masih Garis Keturunan Kelima Bapak Drs. Bisman
Saranani, M.Si., Sekjen DPP-LAT Sultra).

Kisah pilu yang menyedihkan ketika mangkat SULEMANDARA SARANANI diracuni


oleh Belanda yang biadab, KARENA TIDAK MAU DIAJAK KERJA SAMA, mungkin dari situ
kemudian penjajah Belanda membentuk KERAJAAN LAIWOL, meskipun RAJA LAKIDENDE
II SANGIA NGGINOBURU mangkat (1654-1721 Masehi). Namun, secara Defacto MASIH
ADA KERAJAAN KONAWE yang diteruskan Pelaksana Tugas KERAJAAN KONAWE
SARANANI MERANGKAP SEBAGAI SULEMANDARA KERAJAAN KONAWE.
3

Dalam Buku ini dikisahkan sosok SARANANI GELAR TUNDU OLUTO WUTA
TEPIHA I PONDIDAHA. Gigih mempertahankan BENDA ADAT KALO HOALU hingga
Belanda berpikir bagaimana cara membunuh Saranani. Karena MEMILIKI ILMU KEBAL,
ILMU SAWURONDO. Sulit ditangkap Hendak TINABUA KE MAKASAR. Padahal waktu itu
sudah ada perjanjian "PENDEK" di antara mereka. Namun SARANANI tidak mau
melaksanakan perjanjian alias Tetap Tidak Tunduk Kepada Penjajah Belanda.

Karena Belanda tidak bisa menangkap atau menembak mati. Maka satu satunya cara
diracuni oleh bangsa kita sendiri (Orang Dalam Istana Kerjaan Selemandara Sendiri) suruhan
Belanda yang biadab. Begitu beliau mangkat maka seluruh Dokumen disita dan ISTANANYA
DIBAKAR RATA DENGAN TANAH. Di sinilah baru bebas sepenuhnya Belanda MEMASUKI
DAN MENGUASAI WILAYAH DARATAN KONAWE. Akhirnya selama berlangsung
Penjajahan Belanda sampai tiba Jepang. Kita tidak bisa temukan yang namanya BENDA ADAT
KALO HOALU dalam Masyarakat Adat Tolaki di Konawe dan di Mekongga. KATA KUNCI
KALO HOALU DI TENGGELAMKAN pada Zaman Belanda.

Alhamdulillah, setelah BANGSA INDONESIA MERDEKA. 77 Tahun Lalu melalui


Penelitian Dr. Aripin Banasuru, M.Pd., dalam Disertasinya ANALISIS MAKNA UNGKAPAN
DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIS TOLAKI SEBAGAI SALAH RAGAM
SASTRA LISAN mendapatkan Dokumen dari Para TOONO MOTUONO OKAMBO (i
Wawutobi) pada TANGGAL 26 JUNI 1948. Dalam Rapat tersebut diputuskan sebagai berikut:
1. PERTAMA, KALO O’ASU digunakan untuk prosesi perkawinan atau Perapu’a;
2. KEDUA, KALO HOALU digunakan untuk ritual Pelantikan Raja/Mokole atau
Aparatnya, Mosehe Wonua dan Pekindoro’a (Pengampunan). Sampai sekarang tetapi yang
paling menonjol hanya digunakan penyambutan pejabat dan Mombesara Lako ine Tawe. Kata
kunci KALO HOALU nanti merdeka RI baru mulai digunakan sampai hari ini.
4

PARA PEJUANG KEBUDAYAAN MEMBANGUN BUDAYA ADAT


ISTIADAT ORANG TOLAKI

Sengaja penulis turunkan nama-nama para pejuang membangun Budaya Adat Istiadat di
daerah Tolaki di Konawe dan di Mekongga. Mereka alami penderitaan perjuangan susah
getirnya menghadapi kondisi yang mereka alami empat zaman agar generasi sekarang yang lahir
zaman Orba dan Reformasi lahir di atas tahun 70-an agar sadar jangan hanya pandai bicara
Budaya Adat Istiadat tanpa melihat jauh ke belakang merekalah yang meletakkan sejarah
perkembangan kebudayaan Tolaki. Mereka yang menghadapi perjuangan empat zaman sebagai
berikut:
1. Zaman Dinasti Raja Sao-Sao periode 1981–1928 dan periode Raja Tekaka 1929-1955
M (Muslimin Suud) KALOSARA yang dipakai hanya KALO O’ASO sedangkan KALO
HOALU dikubur hidup-hidup pada zaman Belanda;
2. Zaman Orla periode 1955-1965 budaya dibangun terseok-seok;
3. Zaman gangguan gerombolan rakyat eksodus mencari daerah aman antara tahun
1955-1970 budaya tidak berjalan baik karena tidak aman ditambah datangnya oknum
serdadu dari Jawa dan dari Sulsel Batalyon 718 tujuannya datang mengamankan
gerombolan namun menjadi musuh dalam selimut. Mereka berbuat zalim kampung.
Akhirnya muncul perlawanan PDK;
4. Zaman Orba periode 1986-1980 begitu pula Budaya Adat Istiadat belum diperhatikan
dengan alasan rakyat baru kembali membangun kampungnya dari nol ditambah
pemerintahan yang otoriter memenangkan politik praktis agar presiden Soeharto
terpilih selama 30 tahun. Pendidikan baru mulai digalakkan tibalah zaman Reformasi
1990-an sampai sekarang. Disini sudah banyak orang Tolaki yang berpendidikan
tinggi meskipun ada di antara mereka oknum tidak mengikuti kebiasaan orang tua
dulu Me'irou atau kata lain tinggi ilmu tapi tidak beradab.

Adapun Tokoh Adat Budayawan Kharismatik dan senior empat zaman berpayah-payah
membangun budaya karena Rakyat masih miskin dari gangguan gerombolan antara lain:
1. H. Muslimin Suud lahir di Uepai, tanggal 22-12-1940, wafat di Kendari tanggal 07-7-
2018 dalam usia 82 tahun;
2. Arsamid Al Ashur lahir di Tawanga, tanggal 10-10-1943, wafat di Kendari tanggal
23-4-2020 dalam usia 80 tahun;
3. H. Nurdin Abdullah, lahir di Kendari tanggal 25-7-1942, wafat dalam usia 80 tahun;
4. Abdul Kahar Liambo lahir di Pudai, tanggal 17-8-1948 dalam usia 74 tahun;
5. Basaula Tamburaka, lahir di Kendari, tanggal 1-7-1949 dalam usia 73 tahun;
6. H. Surabaya 90 tahun;
7. H. Hasan atau Kakek Puo-Puo 105 tahun;
8. Hamid Hasan 90 tahun;
9. Husaini Laliasa 85 tahun;
10. B. Moita 90 tahun;
11. Husen A. Chalik 90 tahun;
12. Ali Silondae 90 tahun;
13. Om Sogo 90 tahun dan lain-lain.

Sedangkan Dr. A. Rauf Tarimana lahir di Pehanggo tanggal 19-4-1940 dalam usia 82
tahun sama senior mereka di atas. Namun, beliau adalah birokrat di Kantor Gubernur Sultra
meneliti kebudayaan Tolaki (Kalo Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki). Dr. A. Rauf Tarimana
dibuktikan dalam daftar informan disertasinya halaman 428 sejarah mencatat beliau-beliau di
atas. Beliaulah sebagai nenek moyangnya ilmu Kalosara atau kebudayaan Tolaki sehingga
sekarang sudah puluhan S1, S2, dan S3, yang pernah membaca dan bahkan menjadi rujukan
membahas Kalo Hoalu tidak ada oknum orang Tolaki yang tidak mengakui sosok Pak Rauf
Tarimana ada membahas Kalo Hoalu, maka orang ini bisa berdosa dan kualat, orang Tolaki
bilang Tetutuara, Naudzubillah Min Dzalik.
5

Sekarang saya tampilkan generasi zaman Orba yang lahir dan hidup di atas tahun 1997
zaman Orba serba instan di atas tahun 1970, sebagai berikut:
1. DR. Basrim Melamba, MA. Lahir di Konawe tanggal 15-10-1977 dalam usia 45
tahun itupun lahirnya di zaman Orba beliau masih duduk di bangku kuliah dengan
judul Disertasinya KRISTEN PROTESTAN DAN PERUBAHAN SOSIAL
BUDAYA PADA MASYARAKAT TOLAKI DAN DI MORONENE DI SULTRA
(1915-2006);
2. Drs. H. Ginal Sambari, M.Si., lahir di Kendari tanggal 26-7-1966 dalam usia 56 tahun
beliau alami zaman Orla tahun 1965;
3. Drs. Firdaus Peraha, lahir di Lalohao, tanggal 30-10-1956 dalam usia 66 tahun. Suatu
ketika sekitar bulan Juli 2022, saya silaturahmi di rumah Bapak Firdaus Peraha di
ruang tamu ada tergantung KALO HOALU, saya tanya kenapa dan mengapa dipajang
KALO HOALU tersebut jawaban enteng beliau katakana adalah kenang-kenangan
kakek saya TOLEOA KHARISMATIK, saya bilang besok saya bawah KALO O’ASO
supaya jadi sepasang. Namun, sampai sekarang saya tidak tau nasibnya lagi karena
beliau bukan lagi pendukung KALO HOALU mungkin sudah dibakar sebagaimana
zaman penajajahan Belanda.
4. Sultrawan Liambo, M.T., lahir di Kendari tanggal 19-5-1964 dalam usia 58 tahun;
5. Altin Timbu, lahir di Tudaone tanggal 11-3-1969 dalam usia 53 tahun;
6. Anasur Muhammad, lahir di Analahmbuti tanggal 17-04-1966 dalam usia 56 tahun.

Inilah generasi tidak merasakan zaman ORLA dan zaman gangguan gerombolan sekitar
tahun 1970-an ke atas, artinya sudah menikmati hidup dan aman terkendali. Adapun tujuan
penulis membandingkan usia para pejuang kebudayaan dengan susah payah membangun Budaya
Adat Istiadat orang Tolaki yang mereka telah alami empat zaman meski mereka tidak duduk di
bangku kuliah, tapi mereka merasakan psikologi ilmu sejarah perkembangan kebudayaan Tolaki
di Konawe dan di Mekongga atau periodisasi jalannya mengikuti empat zaman yang penuh pahit
getirnya membangun budaya terutama di zaman gangguan gerombolan.

Kalian yang disebutkan di atas masih digendong orang tua ketika lahir mengungsi
kampung dibakar oleh gerombolan semua wilayah Tolaki diobrak abrik gerombolan DI/TII.
Sehingga, kalian tidak merasakan kesusahan yang dialami orang tua kalian di zaman Orba
sekarang. Bukan lagi hanya penderitaan orang tua karena tidak bertani sehingga susah makanan
pada waktu itu. Mereka hanya makan WIKORO, KAMBUSE, SINONGGI, KABUTO DAN
BULGUR (MAKANAN KUDA DI AS). Zaman itulah terpuruknya suku Tolaki di semua lini,
miskin tak berdaya apalagi memikirkan budaya Tolaki yang terseok-seok. Maaf , tapi kalian
pasti tidak mau tahu penderitaan orang-orang dulu, yaitu PARA PAHLAWAN KEBUDAYAAN
di atas, karena sudah memiliki ilmu pengetahuan tinggi mulai S1, S2, S3 bahkan PROFESOR.
Dulu, sarjana muda saja sekitar tahun 70-an susah didapat contoh Husen A. Chalik sebagai
informan A. Rauf Tarimana umurnya waktu itu 55 tahun wafat tahun 1985.
6

Bagian Kedua
Testimoni Penggunaan Kalo Hoalu Setelah Kemerdekaan

I. Tuhan Aza Wajallah dengan kalimat Biidzmillah ( Atas Izin Allah ) semua yang DIA
ciptakan, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti makhluk hidup manusia,
hewan, tumbuhan, bahkan yang tidak bergerak pasti berpasang-pasangan. Gunung
berpasangan daratan, api dan angin, air asin dan air tawar dll. Semua DIA ciptakan selalu dan
pasti berpasang-pasangan untuk dimanfaatkan oleh mahluk manusia. Begitu pula kegeniusan
leluhur Orang Tolaki menciptakan Benda Adat berpasang-pasangan Kalo Hoalu dan Kalo
O'aso. Sebagaimana penuturan Tokoh Adat dan Budayawan 4 zaman bapak Muslimin Su’ud
dan Arsamid Al Ashur ketika Mokole Wekoila menciptakan Kalo O’aso kemudian Kalo
Hoalu tidak lain untuk perdamaian antara mokole Wekoila dan mokole Mombeesi dalam
penyatuan di Kerajaan Konawe pada abad kesepuluh masehi inilah buah perdamaian sampai
sekarang kita sudah nikmati.
II. Tolea kharismatik Pak Djasmun, A.md., menjelaskan sudah puluhan kali penjabat yang
datang di Kota Kendari atas perintah Gubernur mulai Drs. H. Abdullah Silondae sampai
sekarang. Seperti kunjungan pertama/Presiden Jokowi tahun 2017 ini Kalo Hoalu yang saya
pakai menjemput Mombesara Wonua. Menurutnya mereka dahulu kala zaman penjajahan
Belanda Kalo Hoalu oleh Belanda dilarang dipakai orangnya ditangkap Kalo Hoalu dibakar.
Pendapat Senada Tolea Kharismatik Sudin Moita TOLEANYA RAZAK POROSI DAN
GUSLI TOPAN SABARA tinggal di kelurahan Pu’unaha Kota Unaaha Kabupaten Konawe
dia mengatakan, teman-temannya pasti memiliki satu pasang Kalo Hoalu. Jika ada seminar
saya siap membawa Kalo Hoalu. Begitu pula Drs. Abdul Rasyid Lahura Pu’utobu Kecamatan
Ranometo Barat. Katanya sampai sekarang memakai Kalo Hoalu, jika ada pertikaian.
7

Menurutnya beberapa Tolea di daratan Konawe dan di Mekongga pasti memiliki satu pasang
Kalo Hoalu dan Kalo O’aso peristiwa tekstual hal ini sebagai Sunatullah (GS. AS.
Syariat:49) hidup berpasang-pasangan.

TESTIMONI KALO O’ASO DAN KALO HOALU

Pada hari Kamis 14-7-2022 wafatnya ibunda Dewi Tamburaka kebetulan yang
Mombesarasara Meparamisi Lako ine Tawe yang diterima wakil Bupati Konawe Selatan Bapak
Rasyid, S.Sos., M.Si., saya damping beliau dengan bapak Dr. Ridwansya Taridala, M.Si.,
Sekertaris Kota Kendari. Usai mombesara, saya tanya bapak Basarudin (65 tahun) Tolea
Kelurahan Ambalodangge apa di rumahmu ada Kalo Hoalu? Dia jawab, ada Kalo Hoalu harus
berpasangan dengan Kalo O’aso. Begitu pula teman-teman Tolea di manapun pasti memiliki
Benda Adat Kalo Hoalu satu pasang.

Pembicaraan kami didengar dan diaminkan bapak Drs. Djuschari tokoh masyarakat
Konsel. Tolea kharismatik tersebut malah mengatakan awalnya Mbuendo Mowai Kalo Hoalu
Perembuipo Ano Laa Kalo Oaso. Saya tanya apa alasanya. Katanya dia dengar kakeknya bahwa
dulu Wekoila mendamaikan raja Mombeesi di Kerajaan Besulutu. Mereka Mosehe Wonua
memakai Kalo Holau Filosofinya tidak ada lagi yang berperang/bertikaisama-sama menang
dalam dan membangun kerajaan Konawe. Dari sini Drs. Djuschari menyuruh saya membuat
Testimoni di atassupaya dipahami masyarakat Tolaki tentang sejarah fungsi dan makna Kalo
Hoalu untuk dibuatkan kajia Ilmiah KALO HOALU secara filosofis, sosiologis, kegunaan dan
pemanfaatan KALO HOALU.

Kemudian pada hari Kamis Tanggal 30/6/2022 saya kedatangan tamu istimewa Pakar
Hukum Ketatanegaraan dan Pemerintahan Adinda Doktor Sabarudin Sinapoi, SH. MH.
Tujuannya membeli buku kearifan lokal sambil diskusi ringan. Kebetulan di rumahku BTN yang
sederhana (bangunan sempit). Beliau melihat di tembok rumahku bergantung dua buah Benda
Adat, yaitu Kalo O’aso dan Kalo Hoalu (satu pasang). Saya ambilkan lalu beliau peragakan
tangan kanannya memegang Kalo Hoalu beliau berkata.

Yang ini dikanan saya adalah urusan duniawiah. Sedangkan tangan sebelah kiri saya
adalah urusan akhirat. saya terkesima selama ini saya belum membaca referensi semacam
demikian. Spontan saya tanya apa alasannya Anda mengatakan Bahwa Kalo O’aso dan Kalo
Hoalu (satu pasang)ituBerbicara Masalah Dunia dan Akhirat?

Katanya mengacu buku Disertasi Dr. Abdurrauf Tariman di sana disebutkan SARA
Wonua atau Adat Pokok Pemerintahan, yaitu Kalo Hoalu yang mengurus masalah Pemerintahan
yang bertujuan perdamaian sehingga Negeri atau Dunia aman. Sedangkan Kalo O’aso sebagai
SARA Mbedulu, yaitu Adat Pokok Perkawinan adalah mengurus ritual Mowindahako disusul
acara sakral Ijab Kabul. Ini yang diurus adalah syariat Islam Sakinah, Mawadah, Warahmah
yang bertujuan masalah akhirat. Demikian pendapat Pakar Hukum Tata Negara dan
Pemerintahan Tersebut di atas. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya
berpasang-pasangan (QS. As-Syariat : 49) Allah berfirman yang artinya: “Dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).

Jadi dapat di simpulkan leluhur atau nenek moyang Orang Tolaki telah berpikir labih
maju dan lebih cerdas inilah kegeniusan Nenek Moyang kita 14 abad yang lalu sebagaimana
Tuhan Aza Wajallah menetapkan atas kuasanya. Segala sesuatu baik makhluk hidup maupun
makhluk tidak bergerak PASTI BERPASANG PASANGAN BEGITU PULA BENDA ADAT
KALO HOALU DAN KALO O’ASO SEABAGAI SUNATULLAH.
8

Bagian Ketiga
Kajian Ilmiah Kalo Hoalu

Tokoh Adat Budayawan senior Tolaki empat zaman Drs. H. Muslimin Su’ud, SH dalam
bukunya ilmu KALO HOALU membahas tentang KAJIAN ILMIAH KALO HOALU sebagai
berikut
1. Filosofis bahwa setelah terjadi penyelesaian pertikaian yang ada dalam masyarakat
setelah diselesaikan secara prosedur Adat Mombesara Wonua, maka berlaku OLIWI ARI
MBUENDO SANGIA MOKOLE WEKOILA
2. Sosiologis dalam masyarakat Adat Tolaki setelah merdeka Indonesia ada rapat para
Tokoh Adat di Wawotobi tanggal 26-6-1948 (Disertasi Dr. Arifin Banasuru) dan hasil
seminar Tokoh Adat dan Pemerintah DATI II Kendari di Unaaha tanggal 9-9-1996
diputuskan penggunaan untuk KALO O’ASO digunakan perkawinan dan untuk KALO
HOALU kegunaanya penyelesaian sengketa. Selain itu semua TOLEA yang berada di
kampung-kampung atau pedesaan pasti meyimpan satu pasang KALO O’ASO DAN
KALO HOALU (QS. As-Syariat : 49) semua yang ada dimuka bumi pasti berpasang-
pasangan termasuk ciptaan Leluhur Orang Tolaki tersebut diatas.
3. Kegunaannya yaitu jika terjadi pertikaian baik Antar Etnis, Antar Kelompok, dan Antar
Individu setelah diadakan MOSEHE WONUA (PEKINDOROHA) dengan membayar
denda Adat maka saat itu juga terjadi perdamain manfaatnya biaya murah, mudah, dan
tidak lama prosesnya jika dibandingkan diselesaikan melalui hukum positif yang
melelahkan.
4. Pemanfaatan sesuai roh dan makna KALO HOALU yang memiliki magis religius pada
pelantikan Raja/Mokole dan aparatnya pasti PINETODEHA apabila dilanggar maka di
pastikan KADEDE bahkan bunuh diri.

Kesimpulan empat poin kajian ilmiah tersebut diatas harus masuk dalam PERDAT.
Kemudian yang memperkuat kedudukan KALO HOALU selain Kajian Ilmiah diatas Bapak
Dr. Anwar Bey, MS salah satu dewan pakar DPP-LAT SULTRA beliau adalah pakar
pendidikan UHO mengatakan bahwa karena sejak dulu orang Tolaki tidak memiliki tulisan.
Maka satu-satunya tulisan sejarah dan budaya Adat Istiadat Tolaki yang Ada sekarang ini
telah di akui Masyarakat Ilmiah Indonesia sebagai Literasi warisan tertulis sepanjang masa
yaitu Disertasi Dr. A. Rauf Tarimana berjudul KALO SEBAGAI FOKUS BUDAYA
TOLAKI. Inilah yang akan BERBICARA kepada generasi muda 50-100 tahun yang akan
dating disana tertulis KALO HOALU pada halaman 289. Hal ini juga harsu masuk dalam
PERDAT sebagaimana pegangan generasi muda Tolaki yang akan dating.

Sumpah Adat Tokoh Adat Tolaki

Tokoh Adat Tiga Zaman Bapak Drs. Abdul Kahar Liambo Wakil Ketua DPD –LAT
Kabupaten Konawe Periode 2020-2025 mengatakan Jika ada Orang Tolaki yang Tidak
Mengakui Kalo Hoalu Yang Berpasangan Kalo O’aso. tunggu saja Keto Mekokono Osaa Hende
Ari Nialamino Pawai Budaya karena Pak Basrin Melamba dan kawan kawan Nohuatii KALO
HOALU tidak setuju adanya benda adat Kalo Hoalu yang di ciptakan Leluhur Tolaki sekitar 14
abad yang lalu. Demikian di Ucapkan dalam menanggapi polemik Kalo Hoalu sebagai Pu’utobu
Kecamatan Wonggeduku Barat. Jika ada yang keberatan pernyataan saya ini bisa hubungi saya
nomor Hp 0821.8932.61xx (yang serius tinggal tambah dua digit minta sama Pak Basaula
Tamburaka ) sebelum kita seminar Kalo Hoalu kita bisa diskusi lewat hp atau ketemu saya di
rumahku di Desa Pudai, Kecamatan Wonggeduku Barat, saya siap hadapi orang pintar tersebut
dan tunggu saya jika saya di undang seminar tersebut saya mau tunjukan kenapa ada fungsi dan
manfaat KALO HOALU.
9

Bagian Keempat
Memperkuat Kedudukan Kalo Hoalu Dalam Masyarakat Suku Adat Tolaki

Ada tiga utama alasan yang paling mendasar dalam memperkuat kedudukan Kalo Hoalu
sebagai berikut:
1. Bahwa Keputusan Pemerintah Pusat Dalam hal ini KEMENDIKBUD RISTEK
ditandatangani di Jakarta Tanggal 17/2/2014. ADA 3 (WBTB) WARISAN BUDAYA
TAKBENDA Masing masing sebagi berikut

PERTAMA Pengakuan Benda Adat KALOSARA no.Register: 204758/MPK.F/DO/2013,


KEDUA Pengakuan Tari LULO no. Register: 1540005 B/MPK.A/Do/2014
KETIGA Pengakuan Ritual MOSEHE no. Register: 1540005.C/MPK-4/Do/2014.

Demikian KALOSARA yang telah Mendapat Pengakuan dari Pemerintah Pusat


Kemendikbud Ristek bahwa dalam Keputusan tersebut Keberadaan KALOSARA Inklusif
PONDINE KALO O’ASO DAN KALO HOALU. Dengan demikian KALOSARA Tidak
Boleh diganggu Gugat Oleh Siapapun termasuk Dengan Mengadakan Seminar.

2. Kemudian yang paling memperkuat kedudukan/Keberadaan KALOSARA sebagai Adat


Pokok Sara Owoseno Tolaki Karena semua Daerah Otonom Se-Sultra, yaitu Kabupaten
Konawe, KotaKendari, Kabupaten Konsel, Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten
Kolaka Timur. Telah memiliki LOGO ATAU LAMBANG DAERAH adalah KALO
HOALU adanya PERDA Berarti secara Legalitas Telah Berkekuatan hukum tidak dapat
di ganggu gugat oleh Siapapun.
Sebenarnya “orang pintar” itu terjebak pada gambar/logo Kalo Hoalu padahal
semua Perda yang ada di dalamnya (Diktum) disana tidak tertulis Kalo Holau dan Kalo
O’aso, padalah yang tertulis adalah KALOSARA contoh : PERDA Nomor 35 Tahun 1997
10

Kotamadya Kendari tentang Lambang Daerah BAB II Bentuk dan Arti Lambang, Pasal 2,
Diktum D tertulis adalah Kalosara melambangkan Kebudayaan Daerah yang bermakna
kejayaan daerah.

Meskipun ada salah satu anggota DPRD Kabupaten Konawe Keberatan sekali
kenapa Kabupaten Konawe memiliki Lambang Kalo Hoalu dia membuat statemen
katanya akan merubah PERDA menjadi Logo Kalo O’aso. Menurut Pakar Hukum
Perdata Doktor Jabar Nur, SH.MH silahakan tapi maaf tidak semudah membalikan
tangan cukup panjang perjalanan yang urusannya antara lain harus minta izin tertulis
kepada Direktorat Fasilitas Produk Daerah Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri itupun
harus membawa setumpuk alasan perubahan sebuah PERDA terutamadi tanya kembali
Para Tokoh Adat dan Tokoh masyarakat setempat.Dan ada rekomendasi dari Biro Hukum
Pemprov Sultra. Atau kata Pakar Hukum Adat Dr. Guswan Hakim, SH, MH bisa saja
usul perubahan PERDAtetapi melalui MA (Judicial Review) tetapi panjang perjalanan
menyita waktu pikiran dan tenaga paraluu odoi dadio nggo nirongo-rongomiu lako i
Batavia.

3. Satu lagi yang memperkuat kedudukan KALO HOALU Logo Kalo Hoalu sudah terpasang
“manis” di Anjungan Provinsi Sulawesi Tenggara di TMII Jakarta. Yang diresmikan
pemakaian Renovasi ulang TMII oleh Presiden Joko Widodo belum lama ini yang akan
dihadiri G20. Kesimpulan Kalo Hoalu sudah lebih menasional padahal yang ditampilkan
disini adalah Kalosara sebagai simbol hukum adat Tolaki kata lain simbol Kalo Hoalu
sudah membumi dikenal di luar daerah Tolaki yaitu di Ibu Kota DKI Jakarta Maka
Secara Moral Kalo Hoalu tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun juga.
11

Inilah tiga alasan utama secara kontekstual dan fenomenal adanya kedudukan KALO
HOALU dalam masyarakat Hukum Adat Tolaki di Konawe dan di Mekongga posisinya
sudah kuat.

TAABE INGGOMIU “SALAMU KALO HOALU” Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tulisan ini tidak boleh disebar kepada kelompok KALO O’ASO, apalagi dimuat di WAG
DPP LAT.

Kendari, 22 Agustus 2022


Penulis adalah Pengamat Sosial
Budaya Tolaki, Penulis Buku,
dan Salah Satu Anggota
Dewan Pakar DPP-LAT SULTRA

Anda mungkin juga menyukai