Manajemen Nyeri Pasca OP
Manajemen Nyeri Pasca OP
PENDAHULUAN
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
kerusakan. Respons terhadap nyeri dapat sangat bervariasi di antara individu yang
berbeda serta pada orang yang sama pada waktu yang berbeda. (sumber buku
besar)
pengalaman nyeri akut pasca operasi dan sekitar 75 % dari itu dilaporkan tingkat
bahwa kurang dari setengah dari pasien yang menjalani operasi melaporkan nyeri
yang edekuat pasca operasi. Pengontrolan nyeri yang tidak adekuat memberi efek
negative terhadap kualitas hidup, fungsi, dan pemulihan secara fungsional, risiko
1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
individu yang berbeda serta pada orang yang sama pada waktu yang berbeda.
kompleks yang dapat dipengaruhi oleh faktor situasi, dan oleh proses fisiologis
termasuk emosi, kognitif dan motivasi, dimana semua hal tersebut bergantung
2
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-
delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non
ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik
dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area
otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju
medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
3
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin
dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen. (fkumm)
Jalur asenden
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut
4
batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan
Jalur desenden
komponen yaitu :
(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan
ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
5
Gambar 1. Proses terjadinya stimulus rangsangan nyeri.
a. Nyeri akut
beberapa hari (7 hari). Nyeri akut sendiri dibagi menjadi 2 yaitu nyeri
6
somatic deep adalah rangsangan nosiseptif dari otot, tendon, sendi
dan tulang.
pain. Untuk true visceral pain ditandai dengan nyeri tumpul, dan
jantung.
b. Nyeri kronik
7
a. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan
central pain.
Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.4,9
mental atau pasien yeng tidak dapat berbicara dengan bahasa setempat.
8
2. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri.
3. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10 dimana
4. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 mm
dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan itensitas
nyerinya
9
2.6 Manajemen Nyeri Pasca Bedah
1. Manajemen Farmakologis
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat
dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik
yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu
dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak
tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan rute oral
untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang
memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang
berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat
dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.
10
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu
terdiri dari :
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
Pilihan obat-obatan untuk manajemen nyeri seperti pada tabel dibawah ini.
11
Tabel 2 : Pilihan Obat-Obatan untuk Manajemen Nyeri
Pilihan pengobatan dalam hubungannya dengan besarnya ekspektasi nyeri pasca
operasi dengan macam-macam operasinya seperti pada tabel berikut ini.
12
Gambar 4. Pilihan pengobatan dalam hubungannya dengan besarnya ekspektasi
nyeri pasca operasi dengan macam-macam operasinya.
A. Analgesik Non-Opioid
adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme
menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi.
Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam.
Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat
diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika
bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4
jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek samping yang
alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
13
arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan.
Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih
berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang
panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang
lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping
penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS
samping. 9,10
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat ,
dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen
merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah
dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS
dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan
14
rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS
B. Analgetik opioid
15
efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernafasan, mual, muntah,
sedasi dan konstipasi. Selain itu, semua opioid menimbulkan toleransi,
ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Tramadol
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal
Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan
opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah
sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan
karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat
16
Morfin
Morfin paling larut dalamair dibandingkan golongan opioid lainnya dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang
ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis
pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan secara sub
kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran untuk
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan, intra
muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat
diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi
nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg
epidural atau 0,05-0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.9
Petidin
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
17
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali morfin,
lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek
depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
Terapi adjuvan
1. Anti kejang
Anti kejang seperti karbamazepin atau fenitoin terbukti efektif untuk
mengatasi nyeri yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
18
2. Antidepresan trisiklik
Amiptriptilin atau imipramin adalah analgesik yang efektif untuk nyeri
neuropati.
C. Anestesi Lokal
Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine
dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri
berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade
pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh
19
globinaemia >600mg
Bupivacaine
Infiltration 0.125-0.25 1.5-6 3.5 - Avoid 0.75% in
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625- obstetrics. Mainly
0.125 sensory block at low
Plexus or 0.25-0.5 8-24+ 0.125- 0.25 concen- trations.
nerve Cardiotoxic after
rapid IV injection.
Chloroprocaine
Infiltration 1 0.5-1 14 - Lowest systemic
toxicity of all agents.
Motor / sensory
deficits may follow
intrathecal injection.
Table 6: Anastesi lokal yang digunakan untuk nyeri akut
mengobati nyeri afektif, kognitif, perilaku dan sosial budaya (Yavuz 2006).
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis yang
sering dipakai.
20
mengurnagi mual dan muntah.
Terapi relaksasi dan gangguan, Ini mungkin memiliki efek positif pada kasus
seprti music, citra/imajinasi, perorangan. Ada CD musik yang tersedia untuk
atau hypnosis relaksasi.
Tabel 7. Metode Non Farmakologi (Dikutip dari kepustakaan 5)
Tindakan non farmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa
Stimulasi kulit
kulit pasien dengan cara yang tidak berbahaya untuk mengobati rasa sakit. Upaya
pijat dan sentuhan terapeutik. Jika digunakan dengan cara yang tepat metode ini
progresif, kejang otot dan kehilangan fungsi yang mengambil bagian dalam rasa
sakit akut.
sebagai stimulasi ke kulit untuk mengelola rasa sakit. TENS adalah metode
dengan TENS dan transmisi nyeri dicoba dihentikan atau dikurangi. TENS,
21
yang berfungsi dengan cara tersebut, memiliki efek untuk mengurangi
Akupuntur
dengan mempengaruhi reseptor panas dan mengurangi rasa sakit oleh efek
minimum efek samping saat digunakan secara teratur. Ini dapat diterapkan
yang dalam sedalam 3 hingga 5 cm. Di sisi lain, perawatan dingin terdiri
dari menerapkan bahan pendingin atau perangkat pada bagian tubuh. Gel
dengan handuk/ kain kasa antara kulit dan paket untuk dapat menahan rasa
22
dilakukan rata-rata selama 15-30 menit sampai efek anestesi dirasakan
akan terjadi dalam 12 hingga 15 menit setelah perawatan dingin dan reflek
vasodilatasi akan terjadi pada Jaringan. Dengan demikian, edema dan rasa
Terapi perilaku kognitif adalah bagian dari pendekatan multimodal dalam manajemen
rasa sakit.Upaya ini tidak hanya mempengaruhi tingkat rasa sakit tetapi juga
membantu pasien untuk perasaan manajemen diri mereka sendiri saat berurusan
dengan rasa sakit dan mengembangkan manajemen perilaku dan peningkatan harga
Relaksasi
23
Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri
ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau
pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi
sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual
(merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.
24
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
menjadi : menurut onset dan stimulus penyebabnya yakni akut, kronik, dan
Ada beberapa skala yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yaitu :
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale, Numerical Rating
Manajemen nyeri pada pasien dengan pasca operasi terdiri atas terapi
nonopioid, opioid dan adjuvant. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan
25
DAFTAR PUSTAKA
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi,
Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Ramsay MA., 2000, Acut Postoperative Pain Manajement. Available from URL:
http.//www.bumc.com
26