Anda di halaman 1dari 13

Konflik Dikotomi Manajemen Sentralisasi VS Desentralisasi

PENDAHULUAN

Struktur organisasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran ditiap negara berbeda-beda. Hal ini
bergantung dari struktur organisasi dan administrasi permerintahan negara masing-masing. Di dalam
negara yang yang berbentuk pemerintahan dan struktur organisasi pemerintahannya cenderung kearah
kediktatoran, dimana segala kekuasaan dipusatkan pada satu orang atau segolongan orang, struktur
organisasi pendidikannya cenderung ke arah sentralisasi. Segala sesuatu yang menyangkut bidang
pendidikan ditentukan dan diselenggarakan oleh pusat secara sentral.

Sebaliknya dalam Negara-negara yang menganut sisem demokrasi dalam pemerintahannya, struktur
organisasi pendidikannya disusun menurut pola-pola demokratis. Kekuasaan dan penyelenggaraan
pendidikan tidak dilakukan secara sentral, melainkan dibagi-bagikan atau diserahakn kepada daerah-
daerah, disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan daerah. Demikianlah, struktur organisasi
pendidikan yang pokok ada dua macam: sentralisasi dan desentralisasi. Di antara kedua struktur
tersebut terdapat beberapa campuran, yakni yang lebih cenderung kearah sentralisasi mutlak dan yang
lebih mendekati desentralisasi tetapi beberapa bagian masih diselenggarakan secara sentral.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaan strukstur oraganisasi, baik sentralisasi maupun desentralisasi
tetaplah timbul permasalahan yang menghambat jalannya proses pendidikan di antaranya konflik yang
terjadi antara manejemen sentralisasi dan desentralisasi. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas
tentang konflik dikotomi menejemen sentralisasi vs desentralisasi.

PEMBAHASAN

KONFLIK DIKOTOMI MANAJEMEN SENTRALISASI VS

DESENTRALISASI

A. Manajemen Sentralisasi

Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-
Undang. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk
memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.

Dinegara-negara yang organisasi pendidikannnya dijalankan secara sentral, yakni kekuasaan dan
tanggung jawabnya dipusatkan pada suatu badan dipusat pemerintahan, maka pemerintah daerah
kurang sekali atau sama sekali tidak bisa mengambil bagian dalam administrasi apapun ketika ada
bagian-bagian yang dikerjakan oleh pemerintah daerah atau wilayah–wilayah selanjutnya, semuanya
hanyalah merupakan pekerjaaan-pekerjaan perantra, sebagai penyambung atau penyalur ketetapan–
ketetapan dan intruksi-intruksi dari pusat untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah.[1]

Di dalam struktur organisasi yang berbentuk organisasi lini (line organization), garis perintah atau
kekuasaan dan tanggung jawab membentang tegak lurus dari atas kebawah atau dari pimpinan atasan
atau pimpinan atasan atau pusat sampai kepada orang yang paling bawah.[2]

Segala sesuatu yang mengenai urusan-urusan pendidikan dari membentuk kebijakan, perencanaan,
penentuan struktur dan syarat-syarat personel, urusan kepegawaian sampai pada penyelenggaraan
bangunan-bangunan sekolah, penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran, soal-soal dan penyelenggaraan
ujian-ujian dan sebagainya, semuanya ditentukan dan ditetapkan oleh dan dari pusat. Sedangkan
bawahan dan sekolah-sekolah hanya merupakan pelaksana-pelaksana pasif dan tradisional semata.
Sesuai dengan sistem sentralisasi dalam organisasi dalam pendidikan ini, kepala sekolah dan guru-guru
dalam kekuasaan dan tanggung jawabnya, serta dalam prosedur-prosedur pelaksanaan tugasnya, sangat
dibatasi oleh peraturan-peraturan dan intruksi-intruksi dari pusat yang diterimanya melalui hierarki
atasannya. Segala kegiatan yang dilakukan sekolah haruslah sesuai dengan peraturan-peraturan yang
ada, dan setidak-tidaknya telah mendapat izin terlebih dahulu dari pusat sebelum mereka berbuat yang
menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.[3]

Dalam sistem sentralisasi semacam ini ciri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah keharusan adanya
uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah dilingkungan Negara itu. Keseragaman
itu, eliputi hamper semua kegiatan pendidikan, terutama disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis.
Misalnya keseragaman dalam organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran, metode-
metode mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan lain-lain tanpa memperhatikan
keragaman dan keadaan masing-masing.[4]

Adapun keburukan atau keberatan yang prinsipal adalah:

a. Bahwa administrasi yang demikian cenderung kepada sifat-sifat otoriter dan birokratis.
Menyebabkan para pelaksana pendidikan, baik para pengawas maupun kepala sekolah serta guru-guru
menjadi orang-orang yang pasif dan bekerja secara rutin dan tradisional belaka.

b. Organisasi dan administrasi berjalan sangat kaku dan seret, disebabkan oleh garis-garis komunikasi
antara sekolah dan pusat sangat panjang dan berbelit-belit, sehingga kelancaran penyelesaian
persoalan-persoalan kurang dapat terjamin.
c. Karena terlalu banyak kekuasaan dan pengawasan sentaral, timbul penghalang-penghalang bagi
inisiatif setempat, dan mengakibatkan uniformitas yang mekanis dalam administrasi pendidikan yang
biasanya hanya mampu untuk sekedar membawa hasil-hasil pendidikan yang sedang atau sedikit saja.[5]

Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan
seperti :

· Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan

· Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model
pengembangan sekolah dan pembelajaran.

· Keseragaman pola pembudayaan masyarakat

· Melemahnya kebudayaan daerah

· Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan
yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah
secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki
keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di
wujudkan.

Jadi, sentralisasi dalam pendidikan merupakan segala sesuatu yang mencakup berbagai aspek dalam
pendidikan seperti; mengenai urusan-urusan pendidikan dari membentuk kebijakan, perencanaan,
penentuan struktur dan kepegawaian sampai pada penyelenggaraan bangunan-bangunan sekolah,
penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran, soal-soal dan penyelenggaraan ujian-ujian dan sebagainya,
semuanya ditentukan dan ditetapkan oleh dan dari pusat tanpa ada campur tangan sedikitpun dari
daerah.

B. Manajemen Desentralisasi

Desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi
dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih
besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta memberikan kebebasan untuk
bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir dan
bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.[6]

Jika desentralisasi dikaitkan dalam manajemen pendidikan maka pengertiannya adalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun
perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan dengan mengacu pada sistem pendidikan
nasional.

Dinegara-negara yang organisasi pendidikannya desentralisasi, pendidikan bukan urusan pemerintah


pusat melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan rakyat setempat. Penyelenggaraan
dan pengawasan sekolah-sekolah berada sepenuhnya dalam tangan penguasa daerah. Campur tangan
pemerintah pusat terbatas kewajiban-kewajiban tentang pemberian tanah subsidi, penyelidikan-
penyelidikan pendidikan, nasihat-nasihat dan konsultasi, serta program pendidikan bagi orang-orang
luar negeri.[7]

Kemudian pemerintah daerah membagi-bagikan lagi kekuasaanya pada daerah yang lebih kecil lagi,
seperti kabupaten, distrik, kecamatan dan seterusnya dalam penyelenggaraan dan pembangunan
sekolah sesuai dengan kemampuan, kondisi-kondisi, dan kebutuhan masing-masing. Tiap daerah diberi
otonomi yang sangat luas meliputi anggaran biaya, rencana-rencana pendidikan, penentuan guru, gaji-
gaji guru atau pegawai sekolah, buku pelajaran juga tempat pembangunan, pemakaian serta
pemeliharaan. Dengan struktur organisasi pendidikan yang dijalankan secara desentralisasi seperti ini,
kepala sekolah tidak semata-mata merupakan seorang guru kepala tetapi seorang pemimpin profesional
dengan tanggung jawab yang luas dan langsung terhadap hasil-hasil yang dicapai sekolahnya. Ia
bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah dan masyarakat setempat semua kegiatan sekolah
yang dijalankan mendapat pengawasan dan social control yang langsung dari pemerintah dan
masyarakat setempat karena kepala sekolah dan guru-gurunya adalah petugas/karyawan pendidik yang
dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh pemda setempat.[8]

Desentralisasi manajemen pendidikan berusaha untuk mengurangi intervensi pejabat atau pusat
terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit
tataran bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Sehingga diharapkan terjadi pemberdayaaan
peran unit dibawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya
otonomi dalam pendidikan diberikan kepada daerah, tetap harus konsisten dengan system konstitusi.
Dan walaupun bidang administrasi dan manajemen pendidikan termasuk bidang yang diserahkan dan
wajib dilaksanakan oleh daerah, namun perlu adanya ketegasan bidang-bidang garapan apa yang
menjadi wewenang daerah. Tampaknya, manajemen aspek-aspek pendidikan yang berkaitan dengan
identitas dan integritas bangsa memerlukan standarisasi nasional melalui komitmen politik. Sedangkan
manajemen aspek-aspek spesifik dan modal penyelenggara pendidikan menjadi wewenang masing-
masing daerah, sehingga keinginan, kebutuhan dan harapan semua pihak dapat terpenuhi. Artinya,
pencapaian warga negarayang bermutu dapat diprediksi mempunyai kapabilitas dan keunggulan
kompetitif dalam percaturan global.

Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling
menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin
meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village)
menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa.
Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki
diri dan meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang
atau suatu masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.

Kebijakan desentralisasi memiliki kekuatan antara lain:

a. Sudah merupakan kebijakan yang populis.


b. Mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari para wakil rakyat yang
menduduki kursi DPR-RI.

c. Sebagai hal yang telah lama di tunggu-tunggu menyusul adanya perubahan sosial politik.

d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN
tahun 2003.

e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.[9]

Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis, desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh
berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lainnya adalah
kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk menghadapi perubahan. Termasuk dalam hal ini adalah
kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan. Anggota masyarakat amat dituntut
partisipasinya dalam menjalani perubahan tersebut.

Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran pendidikan yang cukup tinggi
dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang
disepakati 20% dari APBN di jadikan pioritas utama sebelum penganggaran bidang lainnya.

Adapun kelemahannya adalah:

a. Karena otonomi yang sangat luas, kemungkinan program pendidikan diseluruh negara akan
berbeda-beda diseluruh negara yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan kemungkian perpecahan
bangsa.

b. Hasil pendidikan dan pengajaran tiap-tiap daerah sangat berbeda-beda, baik mutu, sifat maupun
jenisnya, sehingga menyulitkan bagi pribadi murid dalam mempraktikkan pengetahuan/kecakapannnya
dikemudian hari di dalam masyarakat yang lebih luas.

c. Kepala sekolah, guru-guru, dan petugas-petugas pendidikan lainnya yang cenderung untuk
menjadi karyawan-karyawan yang materialistis, sedangkan tugas dan kewajiban guru pada umumnya
lain daripada karyawan yang bukan guru.

d. Penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan yang diserahkan kepada daerah mungkin akan
memberatkan beban masyarakat setempat.

e. Kurang siapnya SDM daerah terpencil serta tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah miskin.

f. Mental korup yang telah memberdaya dan mendarah daging.

g. Menimbulkan raja-raja kecil didaerah surplus.


h. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan Depdiknas dalam
mengalokasikannya.[10]

Ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi
pendidikan ini, yaitu:

1. Kesiapan daerah

a. Sumber daya manusia (SDM) belum memadai.

b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan mamadai.

c. Anggaran pendapat asli daerah (PAD) mereka sangat rendah.

d. Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.

e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.

2. Sikap daerah

a. Sebagian diantara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah mereka tunggu-
tunggu.

b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.

c. Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap pesimistis.

d. Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau masyarakat memperlihatkan
ketidakpercayaan mereka akan maksud baik pemerintah pusat.

e. Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap khawatir dan rasa takut.

Jadi, desentralisasi dalam hal pendidikan adalah pelimpahan wewenang dalam bidang pendidikan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

C. Dikotomi Manajemen Sentralisasi Vs Desentralisasi

Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang telah dilimpahkan,
wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di
bawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan
manfaat delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan
keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah.
Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga mengganggu kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal
yang baik dan sentralisasi sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi menyeluruh
tanpa koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa pengendalian tetap bukan hal yang
diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya bukan suatu organisasi harus melakukan desentralisasi,
tetapi sejauh mana harus didesentralisasi.[11]

Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen pendidikan dasar H.A.R. Tilaar
mengemukakan tujuh unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi manajemen.
Ketujuh unsur itu adalah:

1) Wawasan nusantara

Sentralisasi:

a. Memperkuat rasa kebangsaan da meningkatkan kohesi nasional.

b. Memperkuat wibawa pemerintah nasional.

Desentralisasi:

a. Dapat memperlemah kesatuan dan persatuan nasional.

b. Dapat mengarah kepada rasa kedaerah yang sempit.

c. Dapat mengurangi wibawa pemerintah secara nasional.

d. Sebaliknya dapat mengurangi konflik antara pusat dan daerah (konflik manajemen).

2) Demokrasi

Sentralisasi:

a. Memperlambat proses demokrasi.

b. Organisasi kuat, tetapi kaku.

c. Kurang partisipasi atau pasif, kurang inisiatif.

d. Cenderung ke arah peyamarataan.

Desentralisasi:

a. Proses demokrasi berjalan secara partisipasi nyata.

b. Memerlukan organisasi yang fleksibel dan merata di seluruh daerah.

c. Memupuk kemandirian.
3) Kurikulum

Sentralisasi:

a. Mudah dicapai konsensus.

b. Sulit diadaptasi pada kebutuhan lingkungan.

c. Memelihara budaya nasional.

d. Sangat membantu dalam perluasan kesempatan belajar dan mudah mengadakan inovasi.

Desentralisasi:

a. Sulit dicapai konsensus dalam merumuskan tujuan pendidikan karena keragaman kebutuhan.

b. Dapat beradaptasi kepada tuntutan lingkungan sosial, budaya masyarakat.

c. Relatif sulit mengadakan eksperimen yang berwawasan nasional.

4) Proses belajar mengajar

Sentralisasi:

a. Kecenderungan intelektualistik.

b. Belajar abstrak, tanpa pengalaman lingkungan.

c. Evaluasi sebagai alat standarisasi, dan media legitimasi pusat.

Desentralisasi:

a. Sangat kondusif untuk PBM.

b. Sulit menerapkan standar nasional ketidaksamaan mutu sangat nyata.

c. Di pihak lain pengawasan lebih efektif.

5) Efisiensi

Sentralisasi:

a. Condong bersifat makro sehingga menyebabkan kesenjangan dalam kebutuhan tenaga terampil.

b. Cenderung meningkatkan tinggal kelas yang mengakibatkan pemborosan.


Desentralisasi:

a. Antara penawaran dan permintaan tenaga kerja relatif ada kesesuaian.

b. Cenderung mengurangi tinggal kelas karena kurikulum yang relevan.

c. Sangat efisien dalam menggunakan sumber-sumber.

6) Pembiayaan

Sentralisasi:

a. Sulit menjaring dan memadukan sumber-sumber daya pendidikan dalam masyarakat.

Desentralisasi:

a. Dapat memobilisasi sumber daya pendidikan, asal disertai partisipasi masyarakat dalam
pengelolaannya.

7) Ketenagaan

Sentralisasi:

a. Ketenagaan disediakan pusat, sehingga kemungkinan ada kesulitan dalam penyebaran serta
penempatannya. Akhirnya, dapat mengakibatkan pemborosan.

Desentralisasi:

a. Relatif dapat dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan nyata, termasuk untuk daerah terpencil.[12]

Tabel Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan


Jadi, desentralisasi maupun sentralisasi dalam bidang pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tetapi yang harus diutamakan adalah mengambil kelebihan yang ada diantara keduanya
kemudian menerapkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dalam dunia pendidikan di
Indonesia.

KESIMPULAN

Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-
Undang.

Dalam sistem sentralisasi semacam ini cri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah keharusan adanya
uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah dilingkungan Negara itu. Keseragaman
itu, eliputi hamper semua kegiatan pendidikan, terutama disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis.
Misalnya keseragaman dalam organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran, metode-
metode mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan lain-lain tanpa memperhatikan
keragaman dan keadaan masing-masing.

Desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi
dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih
besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta memberikan kebebasan untuk
bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir dan
bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.

Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang telah dilimpahkan,
wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di
bawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan
manfaat delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan
keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah.
Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga mengganggu kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal
yang baik dan sentralisasi sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi menyeluruh
tanpa koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa pengendalian tetap bukan hal yang
diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya bukan suatu organisasi harus melakukan desentralisasi,
tetapi sejauh mana harus didesentralisasi.

Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen pendidikan dasar H.A.R. Tilaar
mengemukakan tujuh unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi manajemen.
Ketujuh unsur itu adalah:

· Wawasan nusantara
· Demokrasi

· Kurikulum

· Proses belajar mengajar

· Efisiensi

· Pembiayaan

· Pembiayaan

DAFTAR PUSTAKA

H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008.

M. Ngalim Purwanto. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Nanang Fatah. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Sam M. Chan, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, 2012.

[1] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010),
hlm. 128-129.

[2] Ibid., hlm.129.

[3] Ibid., hlm.129.

[4] Ibid., hlm.129.

[5] Ibid., hlm.129-130.

[6] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2012), hlm.23.

[7] M. Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm.130.


[8] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Op. Cit., hlm. 130-131.

[9] Sam M. Chan, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm.10.

[10] Ibid., hlm.11.

[11] Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 78.

[12] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008), hlm.35-46.

Anda mungkin juga menyukai