Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AL-ISHA (Wasiat)

Dosen pengampuh :
Dr. Muhammad Hadi M.HI

Disusun oleh :
Rami
( 2021050102070)

Program Studi Perbankan Syariah


Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri Kendari
2022
KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan karunia dan
hidayahnya sehingga saya masih diberikan kesadaran dan kemauan, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah pendidikan agama dengan judul “Al-isha” sesuai
dengan waktu yang telah di tentukan. Laporan ini saya susun berdasarkan
berbagai referensi yang saya ambil.
Makalah yang telah saya susun ini di buat dalam rangka memenuhi tugas
dari dosen pembimbing dan merupakan tanggung jawab saya sebagai mahasiswi
untuk menyelesaikan materi presentasi.
Dengan selesainya penyusunan makalah ini saya mengucapan terima kasih
kepada dosen pembimbing . Semoga dengan selesainya makalah ini, saya dapat
mempresentasikan sekaligus menjelaskan hasil kerja saya dengan maksimal.
saya sangat menyadari keterbatasan dan kelemahan juga masih banyaknya
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu saya mohon maaf jika
adanya kekeliruan dalam penyampaian materi ini. saya juga sangat mengharapkan
kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun dari kawan kawan sekalian, agar
saya dapat menyusun makalah yeng lebih baik lagi kedepannya.

Ranomeeto, 03 september 2022

penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................................1
B. Tujuan................................................................................................................2
C. Manfaat .............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian al-isha ..............................................................................................3
B. Dasar hukum wasiat..........................................................................................3
C. Hukum al-isha ...................................................................................................7
D. Rukun al-isha ....................................................................................................8
E. Syarat-syarat al- isha .........................................................................................10

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan .......................................................................................................12
B. Saran ..................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal
sebelum Islam. Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak
sekali wasiat yang diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan orang yang berwasiat, karena pada masa
itu orang yang memberikan sebagian besar harta miliknya
memperlambangkanorang yang sangat kaya raya dan mendapatkan pujian
dari semua orang. Dengan datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan
membatalkanwasiat yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat
pada waktu itu. Islam dapat menerima wasiat yang sudah berjalan lama itu
dengan jalan memberikan koreksi dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap
menjadi sesuatu yang diperlukan dengan memperhatikan kerabat keluarga
yang ditinggalkan.
Di antara jalan-jalan kebaikan yang Allah sediakan bagi manusia yaitu
dengan bersedekah di  jalan-Nya dengan harta maupun jasa yang ia miliki.
Sedekah dalam agama Islam sangat dianjurkan sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Imron ayat 92:
‫هّٰللا‬
‫َ بِهٖ َعلِ ْي ٌم‬ َ ْ‫لَنْ َت َنالُوا ا ْلبِ َّر َح ٰ ّتى ُت ْنفِقُ ْوا ِم َّما ُت ِح ُّب ْونَ َۗو َما ُت ْنفِقُ ْوا مِن‬
َّ‫ش ْي ٍء َفاِن‬
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkanmaka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”
Dalam Islam, sedekah ada dua, yaitu sedekah wajib dan sedekah sunnah.
Di antara sedekah sunnah adalah wasiat yang tentunya  mempunyai ketentuan.
Wasiat yang merupakan bentuk sedekah memang akhir-akhir ini jarang
diperbincangkan dalam masyarakat, padahal merupakan hal tentu bagi kita umat
Islam untuk mengetahui terlebih mengamalkan hukum Islam itu sendiri. Dengan
pemahaman yang sedang-sedang saja tentu akan menghambat kita dalam

3
mengaplikasikan hukum Islam tersebut. Terlebih persoalan wasiat. Maka penulis
pada kesempatan ini ingin berbagi pengetahuan tentang Konsep al-isha (wasiat).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-isha
2. Apa saja dasar hukum wasiat
3. Bagaimana hokum al-isha
4. Apa saja rukun-rukun dan syarat al-isha
C.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini agar dapat memahami dengan
baik tentang tal-isha berdasarkan ajaran islam, diantaranya :
 Memahami pengertian al-isha
 Menjelaskan dasar hukum wasiat
 Mengetahuai rukun dan syarat al-isha
 Mengetauhi hukum al- isha
D. Manfaat
Sangat banyak manfaat yang didapatkan dari mempelajari al-isha
dalam ajaran islama , diantaranya :
 Mampu memahami makna al-isha
 Mengetauhi dasar hukum wasiat
 Mampu menjelaskan rukun dan syarat al-isha
 Mampu memahami hukum al-isha

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian al-isha
Al-Isha adalah memberikan kuasa kepada seseorang untuk melaksanakan
sesuatu yang akan dilaksanakan sesudah yang memberikan kuasa meninggal
dunia. Dengan kata lain Isha adalah washiat yang berkaitan dengan hal
kekuasaan dan tanggung jawab bukan berkaitan dengan harta.
Isha pada hakikatnya sama dengan wasiat, hanya saja tidak menyangkut dengan
harta peninggalannya, tetapi wasiat dalam bentuk tangguing jawab. Misalnya
Umar berkata pada Amir, “Aku jadikan engkau sebagai washiku untuk
membayar hutangku”. Washi artinya orang yang diberi kuasa melaksanakan
suatu pesan yang dilakukan setelah orang yang berpesan itu meninggal dunia.
B. Dasar Hukum Wasiat
Setiap hukum Islam mestilah didasari oleh dalil naqli atau juga dalil akli.
Hukum berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum wasiat
adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak ulama.
a. Nas-nas al-Quran Wasiat didasari dari firman Allah di dalam Al-Quran Surat
Al- Baqarah ayat 180.
َ‫ص َّي ُة لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َوااْل َ ْق َر ِب ْين‬
ِ ‫ت اِنْ َت َر َك َخ ْي ًرا ۖ ۨا ْل َو‬ َ ‫ُكت َِب َعلَ ْي ُك ْم ِا َذا َح‬
ُ ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ا ْل َم ْو‬
َ‫ف َح ًّقا َعلَى ا ْل ُم َّتقِ ْين‬
ِ ۚ ‫ۗ ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”29 (Al-Baqarah 2:180)
Selain itu, sumber hukum wasiat juga terdapat didalam al-Quran surat
al-Maidah ayat 106 yang berbunyi :
‫ص َّي ِة ا ْث ٰن ِن َذ َوا‬ ِ ‫ت ِح ْينَ ا ْل َو‬ ُ ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ا ْل َم ْو‬ َ ‫ش َها َدةُ َب ْينِ ُك ْم ِا َذا َح‬ َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذ ْينَ ٰا َم ُن ْوا‬
‫ص ْي َب ُة‬ ِ ‫ص ا َب ْت ُك ْم ُّم‬ َ َ ‫ض َفا‬ ِ ‫ض َر ْب ُت ْم فِى ااْل َ ْر‬ َ ‫َع دْ ٍل ِّم ْن ُك ْم اَ ْو ٰا َخ ٰر ِن مِنْ َغ ْي ِر ُك ْم اِنْ اَ ْن ُت ْم‬
‫هّٰلل‬
‫ش َت ِر ْي بِهٖ َث َم ًنا َّولَ ْو‬ ْ ‫ص ٰلو ِة َف ُي ْقسِ ٰم ِن بِا ِ ا ِِن‬
ْ ‫ار َت ْب ُت ْم اَل َن‬ َّ ‫س ْو َن ُه َما م ِۢنْ َب ْع ِد ال‬
ُ ِ‫ت َت ْحب‬ِ ۗ ‫ا ْل َم ْو‬
‫هّٰللا‬
َ‫ش َهادَ َة ِ ِا َّنٓا ا ًِذا لَّمِنَ ااْل ٰ ثِ ِم ْين‬ َ ‫َكانَ َذا ُق ْر ٰب ۙى َواَل َن ْك ُت ُم‬

5
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di
antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat,
maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil
di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan
kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah
salat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu
ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan
dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak
menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian
tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa.”
Menurut sebagian pendapat, ayat wasiat tersebut telah dinasakhkan
setelah turunnya ayat tentang kewarisan surat an-Nisa’ ayat 11,12, dan 176
yang secara khusus menetapkan bagian faraid kepada ahli waris. Pendapat ini
dikemukakan oleh kebanyakan sahabat dan ahli fiqh antaranya Abu Bakar,
Ali, ibn Umar, Abu Musa, Sa’id al-Musayyid, al-Hasan, Ata’, Muhammad
bin Sirrin, Ta’us, Ibrahim an-Nakhai, Syuraih, Akramah, Mujahid, asy-
Sya’bi, ad-Adahak, al-Uza’I ath-Thauri dan madzhab sunni yang empat.31
Pendapat yang kedua menurut sebagian ahli fiqh seperti az-Zuhri, Abu Majaz,
Talhah bin Mutarrij, Ishaq, bahwa ayat wasiat tidak
dinasakhkan dengan turunnya ayat-ayat tentang kewarisan karena
perkataan ‘kutiba” yang terdapat pada permulaan ayat wasiat itu merupakan
perintah supaya orang berwasiat, dan perintah itu diperkuatkan pula pada
akhir ayat tersebut dengan kata “haqqan ‘alal-muttaqin” yaitu kewajiban ke
atas orang-orang yang bertakwa mengerjakannya. Maka dengan ini adalah
jelas menurut ahli-ahli fiqh tersebut bahwa ia menyalahi kebiasaan dengan
membatalkan ayat-ayat hukum karena selalunya ayat- ayat yang dibatalkan
itu tidak diperkuatkan dengan penekanan demikian.
Oleh karena itu golonagn ahli fiqh yang kedua ini tetap berpendapat
bahawa berdasarkan alasan-alasan di atas maka menjadi kewajiban kepada
mereka yang mempunyai harta supaya berwasiat kepada ahli keluarga yang
berhak menerima warisan maupun tidak.
Pendapat yang ketiga dari golongan ahli fiqh yang mengambil jalan
tengah dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, mereka antara lain ialah Ibn

6
Abbas, al-Hasan, Ta’us, Iyyas, Daud, Ad-Dahaq, Abdul Malik bin Ya’la,
Muslim ibn Yasar dan lain-lain. Menurut mereka bahwa kesan penurunan
ayat tentang waris terhadap ayat wasiat hanyalah berlaku kepada ahli waris
tertentu yang berhak mendapat bagian harta warisan saja dan bukan semua
ahli waris.
Oleh karena itu, ahli waris lain atau mungkin juga keluarga yang dekat
tetapi terhalang oleh keluarga dekat yang lain atau karena berlainan agama
sama ada mereka itu ibu bapak simati atau anak-anaknya ataukerabat lain
sebagianya, khususnya mereka yang miskin adalah diwajibkan mengambil
harta peninggalan si mati tersebut secara wasiat.
Dari pendapat yang dikemukan di atas, penulis lebih cenderung memilih
pendapat yang ketiga yaitu bahwa ayat wasiat tetap berlaku kepada ahli waris
atau keluarga terdekat yang terdinding oleh keluarga dekat yang lain atau
kepada ibu bapak dan anak berlainan agama, sedangakan bagi ahli waris yang
telah disebutkan bagian-bagiannya seperti yang terdapat dalam ayat-ayat
kewarisan surat an-Nisa ayat 11,12, dan 176, maka tidak lagi berhak untuk
mendapat wasiat karena menurut penulis pendapat yang ketiga dapat
menghapuskan kesenjangan di antara para ahli waris dan keluarga.
b. Sunnah
Hukum berwasiat tidak hanya didasari oleh Al-Quran sahaja, malahan
banyak hadis yang berbicara tentang wasiat. Terdapat beberapa hadis yang
menjelaskan tentang pensyari’atan wasiat. Antaranya hadis Rasulullah dari
Ibnu Umar :
‫ َواللَّ ْف ُظ الِ ْب ِن ا ْل ُم َث َّنى‬- ‫ى‬ ٍ ‫َحدَّ َث َنا َأ ُبو َخ ْی َث َم َة ُز َھ ْی ُر ْبنُ َح ْر‬
ُّ ‫ب َو ُم َح َّم ُد ْبنُ ا ْل ُم َث َّنى ا ْل َع َن ِز‬
‫هللا ِ َأ ْخ َب َرنِى َن افِ ٌع َع ِن‬ َّ ‫ َعنْ ُع َب ْی ِد‬- ُ‫سعِی ٍد ا ْل َق َّطان‬ َ ُ‫ َوھ َُو ا ْبن‬- ‫ َقاالَ َحدَّ َث َنا َی ْح َیى‬-
‫ام ِرٍئ ُم ْس ل ٍِم لَ ُھ‬ ْ ‫ َق ال َ َما َح ُّق‬-‫ص لى هللا علیھ وس لم‬- ِ ‫هللا‬ َّ َ ‫س ول‬ ُ ‫ا ْب ِن ُع َم َر َأنَّ َر‬
ُ ‫ش ْى ٌء ُی ِری ُد َأنْ ُیوصِ َى فِی ِھ َی ِب‬
ُ‫یت لَ ْیلَ َت ْی ِن ِإالَّ َو َوصِ َّی ُت ُھ َم ْك ُتو َب ٌة عِ ْندَ ه‬ َ .
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harb dan Muhammad bin al-Mutsanna al-‘Anazi dan ini adalah lafaz
Ibnu Mutsanna, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami
Yahya yaitu Ibnu Sa’id al-Qatthan dari Ubaidillah, telah menkhabarkan
kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorangmuslim tidak berhak

7
mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari),
kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Dan hadis yang lain yang
menyebut tentang wasiat.
ُ ‫اش َح دَّ َث َنا‬
‫ش َر ْح ِبیل ُ ْبنُ ُم ْس ل ٍِم‬ ٍ ‫ار َحدَّ َث َنا ِإ ْس َماعِ یل ُ ْبنُ َع َّی‬ َ ‫َح َّد َث َنا ِھ‬
ٍ ‫شا ُم ْبنُ َع َّم‬
‫ص لى هللا علیھ‬- ِ ‫هللا‬ َّ َ ‫س ول‬ ُ ‫ت َر‬ ُ ‫س م ِْع‬ َ ُ ‫ت َأ َبا ُأ َما َم َة ا ْل َبا ِھل َِّى َیقُ ول‬ َ ‫ا ْل َخ ْوالَن ُِّى‬
ُ ‫سم ِْع‬
‫هللا َ َق دْ َأ ْع َطى ُكل َّ ذِى َح ٍّق َح َّق ُھ‬ ِ ‫ َیقُول ُ فِى ُخ ْط َبتِ ِھ َعا َم ح َِّج ِة ا ْل َو‬-‫وسلم‬
َّ َّ‫دَاع ِإن‬
‫ث‬ ٍ ‫ار‬ ِ ‫ َوصِ َّی َة ل َِو‬34 َ‫ َفال‬.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ayyas, telah menceritakan
kepada kami Syurahbil bin Muslim al-Khaulani, aku mendengar Abu
Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda pada saat khutbah haji wada’: “sesungguhnya Allah
SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak
ada wasiat bagi ahli waris.”
c. Ijma’
Dari sudut ijmak, telah berlaku ijmak para fuqaha semenjak zaman
sahabat lagi telah bersepakat bahwa hukum wasiat adalah mubah dan tiada
seorang pun daripada mereka yang meriwayatkan tentang larangannya.
d. Amalan Para Sahabat
Para sahabat pula sering mewasiatkan sebahagian harta mereka kerana
ingin mendekatkan diri dengan Allah s.w.t. Antara para sahabat yang
melaksanakan wasiat ialah Saidina Abu Bakar dan Saidina Ali telah
berwasiat sebanyak 1/5 daripada harta mereka. Saidina Umar pula telah
berwasiat sebanyak ¼ daripada hartanya. Antara lainnya, Abdul Razzak
meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Anas r.a berkata: “Para
sahabat menulis di awal wasiat mereka: Dengan nama Allah yang
mahapemurah lagi lagi maha pengasih”. Ini adalah wasiat fulan bin fulan
bahawa dia bersaksi tiada tuhan melainkan Allah dan tiada sekutu baginya.
Dia juga bersaksi bahawa hari akhirat pasti akan datang dan Allah akan
membangkitkan manusia dari kubur. Dia mewasiatkan ahli keluarganya
yang masih tinggal agar takutkan Allah dan saling memelihara hubungan
mereka. Hendaklah mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya sekiranya mereka

8
yang orang-orang beriman. Dia mewasiatkan mereka sebagaimana wasiat
Nabi Yaakub kepada keturunan mereka:
C. Hukum Isha
Berikut hukum dalam al-isha sebagai berikut;
a. wajib
Wasiat wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’
yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya
titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia
mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang harus disampaikan, atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia
mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b. Sunnah
Wasiat disunatkan bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat,
orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
c. Haram
Hukum wasiat menjadi haram menurut syara’ jika dia mewasiatkan
perkara yang diharamkan melakukannya seperti mewasiatkan arak, atau
mewasiatkan sesuatu yang boleh mencemar akhlak masyarakat. Selain haram
wasiat sebegini tidak boleh dilaksanakan. Antara wasiat yang diharamkan
ialah wasiat yang bertujuan menyusahkan ahli waris dan menghalang mereka
daripada menerima bagian yang di tetapkan oleh syarak. Allah melarang
wasiat yang bertujuan menyusahkan (memudharatkan) orang lain, firman
Allah swt: Maksudnya: Wasiat-wasiat tersebut hendaknya tidak
mendatangkan mudharat (kepada waris-waris). (setiap satu hukum itu) ialah
ketetapan dari Allah swt. Dan ingatlah Allah maha mengetahui lagi maha
penyabar. Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau
tempat hiburan (tempat maksiat).
d. Makruh
Wasiat makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.
Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang-orang yang fasik jika
diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta
itu dalam kefasikan daan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang

9
berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan
menggunakan harta itu untuk ketaatan, maka wasiat yang demikian ini
menjadi sunat.
D. Rukun Isha
a. Adanya Pemberi Wasiat (mushii)
Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan
orang yang gila, baligh dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh
tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar
memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang
yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot),
orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit yang kadang-kadang
sadar, wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang
dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa
orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak
dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan
sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang
yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undang-
undang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih
tradisional.
b. Adanya Penerima Wasiat (al-musalah)
Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli
waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga
untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah:
ۡ‫ُّروھُم‬ ‫ِر ُكَّمۡ َأن َت َب‬ ‫و ُكم ِّمن ِد ٰ َی‬ ‫ین َولَمۡ ُی ۡخ ِر ُج‬
ِ ِّ‫و ُكمۡ فِي ٱل د‬ ُ‫َی ۡن َھ ٰ ُك ُم ٱ َّ ُ َع ِن ٱلَّذِینَ لَمۡ ُی ٰ َقتِل‬
٨ َ‫ِب ۡٱل ُم ۡقسِ طِ ین‬
ُّ ‫ِإنَّ ٱ َّ َ ُیح‬ ۚۡ‫َو ُت ۡقسِ ُط ٓو ْا ِإلَ ۡی ِھم‬
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.

10
Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat
bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya
pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh
warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.
c. Adanya sesuatu yang di wasiatkan berupa harta, pembayaran hutang atau
pengambilan mamfaat dari suatu barang. Yang buakn dihukum sebagai harta
yang sebagai harta yang tidak boleh diwasiatkan seperti bangkai atau harta
yang tidsk pantas dimiliki seperti khamar dan sebagainya.
d. sighat wasiat (lafadz)
sighat wasiat ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau
dinyatakan oleh orang yang yang berwasiat atau penerima wasiat. Sighat
wasiat itu terdiri dari ijab dan qabul, ijab ialah kata-kata atau pernyataan yang
diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang berwasiat, sedang qabul adalah
kata-kata atau pernyataan yang diucapkan oleh orang yang menerima wasiat,
sebagai tanda penerimaan dan persetujuan.
Imam Malik mengatakan bahwa qabul dari orang yang yang menerima
wasiat merupakan syarat sahnya wasiat, karena hal ini disamakan dengan
hibah. Tetapi Imam Syafi’i bahwa qabul dalam pelaksanaan wasiat bukanlah
suatu syarat sahnya wasiat. Abu Hanifah beserta murid-muridnya seperti Abu
Yusuf, Hasan al-Syaibani memandang bahwa qabul itu harus ada dalam
pelaksanaan pernyataan qabul sangatlah penting artinya dalam pelaksanaan
wasiat sebagaimana juga dalam transaksi lainnya.
Semua yang mengandung pengertian bahwa orang yang berwasiat
menyatakan memberikan sesuatu kepada pihak yang lain dan pelaksanaan
pemilikan dari pemberian itu baru dilaksanakan setelah yang berwasiat
meningga dunia, maka yang demikian dapat diterima sebagai sighat wasiat.
Karena sighat wasiat itu dapat berupa perkataan atau yang paling baik, tetapi
bagi orang yang bisu atau antara yang berwasiat dan penerima wasiat
mempunyai bahasa yang berbeda, sehingga pihak yang satu tidak memahami
bahasa pihak yang lain, maka dalam keadaan demikian sighat wasiat boleh
berupa isyarat.
Apabila yang diberi wasiat itu bukan orang tertentu, seperti wasiat
untuk masjid, untuk mushola, untuk mendirikan rumah sakit dan sebagainya,
maka ijab dari pihak yang berwasiat tidak memerlukan qabul. Dasarnya ialah

11
bahwa wasiat untuk kepentingan agama atau kepentingan umum dapat
disamakan dengan sedekah atau wakaf.
Qabul dapat dilakukan setelah yang berwasiat mengucapkan ijab dan
dapat pula dilakukan setelah yang berwasiat meninggal dunia. Sekalipun
qabul boleh dilakukan setelah ijab selesai diucapkan, namun peralihan milik
tetap dilakukan setelah yang berwasiat meninggal dunia. Bila yang menerima
wasiat meninggal terlebih dahulu dari yang berwasiat, sedang qabul telah
dilakukan maka wasiat itu menjadi batal. Demikian pula yang berwasiat
meninggal dunia dan qabul belum dilakukan maka wasiat menjadi batal, harta
wasiat kembali kepada ahli waris.
Mengenai wasiat bersyarat dibolehkan selama syarat-syarat itu adalah
sah. Suatu syarat dikatakan sah bila tidak bertentangan dengan perintah dan
larangan Allah, termasuk di dalamnya memberi mudharat kepada pihak yang
tersangkut dengan wasiat atau pihak yang lain.
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun
kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali mendapat persetujuan dari semua
ahli waris. Rasulullah Saw bersabda:
‫ش َر ْح ِبیل ُ ْبنُ ُم ْس ل ٍِم‬ُ ‫اش َح دَّ َث َنا‬
ٍ ‫ار َح دَّ َث َنا ِإ ْس َماعِ یل ُ ْبنُ َع َّی‬ َ ‫َح دَّ َث َنا ھ‬
ٍ ‫ِش ا ُم ْبنُ َع َّم‬
‫ص لى هللا علیھ‬- ِ ‫هللا‬ َّ َ ‫س ول‬ ُ ‫ت َر‬ ُ ‫س م ِْع‬َ ُ ‫ت َأ َبا ُأ َما َم َة ا ْل َب ا ِھل َِّى َیقُ ول‬ َ ‫ا ْل َخ ْوالَن ُِّى‬
ُ ‫س م ِْع‬
َ‫هللا َ َقدْ َأ ْع َطى ُكل َّ ذِى َح ٍّق َح َّق ُھ َفال‬ ِ ‫ َیقُول ُ فِى ُخ ْط َبتِ ِھ َعا َم ح َِّج ِة ا ْل َود‬-‫وسلم‬
َّ َّ‫َاع ِإن‬
ٍ‫ارث‬ ِ ‫ َوصِ َّی َة ل َِو‬.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ayyas, telah menceritakan
kepada kami Syurahbil bin Muslim al-Khaulani, aku mendengar Abu
Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda pada saat khutbah haji wada’: “sesungguhnya Allah
SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka
tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
F. Syarat-Syarat Isha
a. orang yang berwasiat
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada
orang yang tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan
tertentu. Ada beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya ialah :

12
 Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau terencat akal,
orang yang pengsan dan orang yang mabuk. Kesemua mereka dianggap
orang-orang yang kehilangan akal yang meerupakan asas kepada taklif,
dengan ini orang-orang ini tidaka layak memberi wasiat
 Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak sah
wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah mumaiyiz kerana ia
tidak layak berwasiat.
 Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada qinna,
mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik. Bahkan diri dan
hartanya adalah milik tuannya.
 Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang dipaksa.
Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka ia perlu melalui
keredaan dan pilihan pemiliknya.
 Dilakukan sesuai kemampuannya
b. orang yang menerima wasiat :
 Baligh
 Islam
 Berakal sehat
 Merdeka
 Adil
 Sanggup melaksanakan tugas yang diberikan dan
 Tidak ada permusuhan dengan orang yang mengangkat washi
c. Syarat urusan yang diberikan adalah :
1. Tidak menjadi beban bagi washi sehingga tidak menimbulkan
kemadharatan atau kesukaran
2. Masalah yang dikuasakan tidak bertentangan atau dilarang oleh agama
ucapan pengangkatan washi adalah:
d. Syarat ucapan pengangkatan washi
1. Menyatakan maksud pengangkatan washi
2. Jelas dan dapat dipahami.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut diatas tentu kita dapat mengetahui bahwa wasiat
merupakan pesan seseorang kepada orang lain baik berkaitan dengan harta
peninggalan maupun tanggungjawab untuk bisa dilaksanakan setelah pemberi
wasiat meninggal dunia. Adapun hukum dari wasiat sendiri fleksibel atau lentur,
yaitu dengan melihat situasi dan kondisi yang ada di lingkungan wasiat itu
sendiri. Dan yang jelas dengan pengetahuan mengenai wasiat yang notabene
merupakan bagian sedekah, kita akan lebih mudah dalam mengaplikasikan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Saya selaku penulis, tentu banyak kesalahan dalam penulisan maupun
pemahaman, mohon bagi pembaca untuk dapat memberi masukan kepada saya
demi untuk memperbaiki kekurangan dan mencapai sebuah kebenaran,
terimakasih.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan
dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatny
membangun bagi para pembacanya dan terutama bagi kami pribadi sebagai
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa menjadi acuan
untuk meningkatkan makalah- makalah selanjutnya dan bermanfaat bagi
para pembaca dan khususnya kelompok kami.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bahder Johan Nasution, d. S. (1997). Hukum Perdata Islam. In M. Maju. Bandung.

Jamil, A. (1997). Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu


Hukum. Dalam B. Maju. Bandung.
Rofiq, A. (1995). hukum islam Di indonesia. Dalam R. G. Persada. jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai