Anda di halaman 1dari 12

 

         KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ASPEK-ASPEK
PERKEMBANGAN MANUSIA”. Penulisan makalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan di
Universitas Islam Nusantara Bandung.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini,
terlebih khususnya kepada :
1. Bapak H.A.Barnas EK,Drs.M.M.Pd,  selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikologi
Pendidikan
2. Rekan-rekan semua di prodi Pendidikan Bahasa Inggris
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan
bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal
pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Bandung,  26 Februari 2015

   Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...……………………………………………………….
……………………………………………………………3
BAB I  PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
1.2        Rumusan Masalah
1.3        Tujuan
BAB II  PEMBAHASAN
2.1        Perkembangan Sosial dan Emosi
2.2        Perkembangan Moral
               2.2.1        Tahapan Perkembangan Moral
               2.2.2        Ciri – ciri Perkembangan Moral pada Anak dan
Remaja
               2.2.3        Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Moral
               2.2.4        Usaha Guru dan Orangtua dalam Perkembangan
Moral Siswa
BAB III  PENUTUP
3.1        Kesimpulan
3.2        Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan anak adalah bertambahnya kemampuan(skill)
dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari pematangan.  Di sini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan
tubuh, organ-organ dan sistem yang berkembang sedemikian rupa
per- kembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya.
Aspek– aspek perkembangan individu meliputi fisik, intelektual,
sosial, emosi, bahasa, moral dan agama. Perkembangan fisik meliputi
pertumbuhan sebelum lahir dan pertumbuhan setelah lahir.
Intelektual (kecerdasan) atau daya pikir merupakan kemampuan
untuk beradaptasi secara berhasil dengan situas baru atau lingkungan
pada umumnya. Sosial, setiap individu selalu berinteraksi dengan
lingkungan dan selalu memerlukan manusia lainnya. Emosi
merupakan perasaan tertentu yang menyertai setiap keadaan atau
perilaku individu. Bahasa merupakan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan yang lain. Moralitas merupakan kemauan
untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-
prinsip moral. Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh
individu.
Karakterisitik perkembangan sosio-emosional peserta didik
serta implikasinya dalam bidang pendidikan. Sosio-emosional berasal
dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian
kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial.  Dapat juga
diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku
individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar.

1.2 Rumusan Masalah


1.       Apa saja yang meliputi aspek – aspek perkembangan siswa?
2.       Apa itu Perkembangan sosial dan emosi siswa?
3.       Apa yang dimaksud perkembangan moral?

1.3 Tujuan
1.       Memahami aspek – aspek perkembangan siswa
2.       Memahami Perkembangan sosial dan emosi siswa
3.       Memahami perkembangan moral siswa

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EMOSI


Pada dasarnya perkembangan sosio-emosional itu merupakan
kemampuan peserta didik berinteraksi dengan lingkungannya dan
bagaiman peserta didik menyikapi hal-hal yang terjadi di
sekitarnya.Perkembangan sosial pada peserta didik ditandai dengan
adanya perluasan hubungan, di samping dengan anggota keluarga
juga dengan teman sebaya, sehingga ruang gerak hubungan sosioalnya
bertambah. Biasanya peserta didik mulai memiliki kesanggupan
menyesuaikan diri dari sikap berpusat pada diri snediri (egosentris),
kepada sikap bekerja sama (koperatif) atau mau memerhatikan
kepentingan orang lain (sosiosentris). Hal ini berkaitan dengan sikap
yang ada pada peserta didik itu                 sendiri.Apakah dengan sikap
atau emosi yang stabil seperti bersikap respect terhadap diri sendiri
dan orang lain atau bersikap tidak baik seperti tidak mau bergaul
dengan orang lain.
Saat ini banyak orang berpendidikan khususnya remaja yang
tampak menjanjikan tetapi akhirnya mengalami kemandekan dalam
pencapaian karir atau tujuan hidupnya. Para remaja ini sebagian besar
tersingkir dari persaingan tersebut akibat rendahnya kecerdasan
emosi, kemempuan mendengarkan dan mempelajari kehidupan yang
tidak sepenuhnya tidak dikuasai serta cara adaptasi dan
berkomunikasi secara lisan yang seolah-olah dianggap oleh para
remaja merupakan suatu hal yang dianggap tidak penting.
Tingkat kecerdasan intelektual seseorang khususnya remaja
pada umumnya selalu dalam keadaan tetap akan tetapi kecerdasan
emosi dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan adaptasi dan
kepekaan terhadap lingkungan sebagai sumber energi, informasi,
koneksi untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaiman
peserta didik menyikapi hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Emosi juga
merupakan suatu bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar
mampu melakukan penalaran serta pemahaman yang tinggi terhadap
lingkungan. Emosi menurut kreativitas, kolaborasi, inisiatif dan
transformasi sedangkan penalran logis berfungsi untuk
mengantisipasi dorongan-dorongan yang keliru, untuk kemudian
menyelaraskannya dengan proses kehidupan dengna sentuhan
manusiawi. Disamping itu, sosio-emosional pada remaja menjadi salah
satu kekuatan penggerak: bukti-bukti menunjukkan bahwa nilai dan
watak dasar seseorang dalam hidup ini tidak berakar pada kecerdasan
intelektual melainkan terletak pada sosio-emosional.
Peranan remaja dalam lingkungan adalah sebagai makhluk yang
harus memiliki kemampuan dalam penyesuaian diri terhadap aspek-
aspek, nilai-nilai dan interaksi sehingga mampu menjadi makhluk
sosial yang menjalankan semua kegiatan sosialnya dengan penuh
tanggung jawab.Remaja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
sosial, sehingga lingkungan sosiallah yang mampu memberikan
pengaruh terhadap pembentukan berbagai aspek kehidupan remaja
terutama pada pola pengembangan sosio-emosional. Dengan
demikian perkembangan sosial ini dapat diartikan sebagai proses
berkembangnya tingkat hubungan antara manusia untuk
meningkatkan kebutuhan hidup manusia.
Menurut Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa karakteristik
remaja yang mampu menimbulkan berbagai permasalahan pada diri
remaja :
1.       Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam pergerakan
2.       Ketidakstabilan emosi`
3.       Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan
petunjuk hidup
4.       Adanya sikap menentang dan menantang terhadap orang-orang yang
lebih tua
5.       Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab
pertentangan-pertentangan dengan orang tua
6.       Kegelisahan karena banyaknya suatu hal yang diinginkan oleh remaja
tetapi tidak mampu untuk memenuhi semua keinginan tersebut
7.       Senang bereksperimen, bereksplorasi, serta mempunyai banyak
hayalan, bualan, dan fantasi
8.       Kecenderungan membuat kelompok yang melakukan perbuatan
dengan melanggar norma-norma kehidupan.
Dalam proses belajar, kita tidak menyangkal bahwa peran
intelegensi berpengaruh terhadap prestasi pembelajaran. Namun,
yang muncul saat ini tingkat keberhasilan seseorang dalam
pendidikan sangat difokuskan untuk diukur secara kuantitas
intelegensi yaitu dengan pengukuran Intelligence Quotient (IQ), peran
IQ diasumsikan sebagai hal utama yang berpengaruh terhadap
keberhasilan. Akan tetapi, perlu disadari bahwa IQ hanyalah
merupakan pengukuran secara kuantitas mengenai tingkat intelegensi
yang dapat diukur dan bersifat konkret dan konvergen. Emosi yang
positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai hasil belajar
yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat
belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali.
Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai
dengan menciptakan emosi positif pada diri pelajar (peserta didik).
Untuk menciptakan emosi positif pada dirisiswa dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menciptakan
lingkungan belajar atau lingkungan sosial yang menyenangkan dan
dengan penciptaan kegembiraan belajar. Kecerdasan emosi
merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara
sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.
Selain keceerdasan emosi interaksi antara pelajar dengan
lingkungan tempat sekolah juga mempengaruhi proses belajar.
Apabila terjadi hubungan atau interaksi yang baik antar pelajar
dengan lingkungan sosial, lingkungan masyarakat, dan lingkungan
keluarga serta emosi dari para pelajar mampu disesuaikan dengan
lingkungan sosial tersebut, tentu saja proses belajar dari pelajar akan
berjalan dengan lancar. Maka dari hal tersebut dapat kita simpulkan
bahwa dalam proses pendidikan, emosi lingkungan sosial sangat
berperan dan perlu dilibatkan dalam proses pembelajaran karena
emosi mempunyai suatu kekuatan yang dapat memicu kita dalam
mencapai suatu prestasi belajar dan lingkungan social menjadi wadah
dalam menjalankan proses belajar.
Maka dengan ini sangatlah keliru jika dianggap faktor utama
penentu keberhasilan adalah IQ yang tinggi. Banyak orang yang
berhasil dalam sisi akademik namun tidak bisa melakukan apapun
dengan keberhasilannya dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena
itu, keterlibatan emosi dan keterlibatan pelajar dalam lingkungan
sosialnya sangat penting dalam segala aktivitas, apalagi jika kita dapat
mengelola emosi itu dengan tepat dalam lingkungan sosial atau
dengan kata lain cerdas dalam menggunakan emosi. Kecerdasan
emosi dan mampu berinteraksi dalam lingkungan sosial ini akan
sangat berperan terhadap keberhasilan seseorang dalam segala aspek
kehidupan.

2.2 PERKEMBANGAN MORAL


Menurut Santrock (1995) Perkembangan moral adalah
perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain. Perkembangan moral adalah perubahan-
perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan
dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku
dalam kelompok sosial.

Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan


moral, diantaranya:
a.       Perkembangan moral menurut Teori Belajar Sosial
Menurut teori belajar sosial, perkembangan sosial merupakan
proses yang dipelajari selama proses interaksi sosial seseorang
dengan orang lain. Perkembangan sosial berlangsung melalui proses
peniruan, latihan dan penguatan.
Menurut Bandura perkembangan moral berlangsung melalui
interaksi seseorang dengan lingkungan yang menyediakan konten
moral. Moral seseorang akan berkembang dengan baik, apabila
berinteraksi dengan orang dewasa yang menunjukkan tingkah laku
moral dalam melakukan tindakan sehari-hari. Oleh karena itu,
interaksi yang bermoral dengan orangtua dan guru khususnya serta
orang dewasa umumnya sangat penting pengaruhnya untuk
mengembangkan moral remaja.
b.       Perkembangan moral menurut Teori Kognitif
Pelopor teori Kognitif adalah Jean Piaget yang menekankan
bahwa perkembangan kognitif erat kaitannya dengan perkembangan
moral remaja. Oleh karena itu, perkembangan moral remaja
tergantung pada perkembangan kognitifnya. Piaget berpendapat
bahwa terdapat hubungan yang sejajar antara perkembangan kognitif
dengan perkembangan moral remaja.

2.2.1  Tahapan Perkembangan Moral


Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi
rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran
moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg.
Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of
Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja
Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap
dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang
menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan
perkembangan moral dari Kohlberg. Adapun tahapan-tahapan itu
adalah:
a.       Tahapan Pramoralitas
(1)  Periode 0
Pemahaman anak tentang baim dan buruk, benar dan salah
ditentukan oleh akibat fisik yang ditimbulkan oleh tindakan itu seperti
hukuman.
(2)  Periode 1
Suatu tingkah laku bermoral bagi anak kalai tingkah laku itu oatuh
mengikuti kemauan orang berkuasa seperti orangtua dan guru atau
tingkah laku yang mendapatkan penghargaan fisik atau material,
sedangkan tingkah laku yang tidak bermoral kalau membantah dan
mendapat hukuman dari yang berkuasa terhadap anak.
(3)  Periode 2
Anak memahami bahwa tingkah laku benar, salah, baik, pantas
tergantung kepada tingkah laku itu memuaskan, menimbulkan
kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain (hedonisme).
b.       Moralitas dianggap kesamaan peranan yang biasa
(1) Periode 3
Anak memahami bahwa tingkah laku moral adalah mengakui aturan-
aturan yang telah ditentukan oleh orang dewasa. Anak mulai mengerti
bahwa tingkah laku salah namun tidak sengaja atau direncanakan
sebelumnya bukan merupakan tindakan yang melanggar hukum.

(2) Periode 4
Ditandai oleh pemahaman anak bahwa tingkah laku yang baik atau
benar adalah mentaati aturan dan hukuman-hukuman yang telah
disepakati bersama dan menguasai kehidupan masyarakat.
c.       Moralitas dengan penerimaan prinsip-prinsip moral
(1) Periode 5
Anak mulai memahami nilai moral dan prinsip-prinsip moral maupun
standar kebenaran yang benar dan dapat terjadi pertentangan dengan
apa saja yang terjadi atau diterima oleh masyarakat. Pembentukan
filsafat hidup sangat tepat untuk membimbing tingkah laku yang
bermoral.
(2) Periode 6
Periode ini disebut Kohlberg dengan level postconvensional yang
merupakan tingkat perkembangan moral yang tertinggi. Remaja telah
menginternalisasi nilai-nilai moral menjadi miliknya sendiri.
Pertanggungjawaban secara moral tingkah lakunya terletak pada diri
remaja itu sendiri, mereka memahami peraturan dan tata cara yang
berlaku di masyarakat haruslah berdasarkan prinsip-prinsip
universal.

2.2.2.   Ciri-Ciri Perkembangan Moral Pada Anak Dan Remaja


Michel (dalam Elida Prayitno: 1992) mencatat ada tiga perubahan
yang penting dalam perkembangan moral selama masa remaja, yaitu:
1.       Remaja menyadari bahwa yang disebut benar atau salah itu adalah
atas pertimbangan keadilan atau kebijaksanaan, bukan atas kemauan
orang yang berkuasa.
2.       Remaja paham tentang peraturan moral atau agama dan sosial
karena telah diperolehnya kemampuyan memahami sesuatu dari
sudut pandangan tertentu, sehingga remaja mengerti bahwa moral
relatif tidak absolut.
3.       Remaja mengalami konflik tingkah laku moral dengan pikiran moral.
Tingkah laku moral adalah tingkah laku yang ditampilkan sesuai
dengan kriteria moral, sedangkan pikiran moral dan pandangan moral
adalah perndapat atau pertimbangan seseorang tentang persoalan
moral.

2.2.3.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


a.       Orangtua/guru sebagai model
Menurut Freud (dalam Elida Prayitno: 1992), bail pria maupun
wanita meniru tingkah laku orangtua (yang sejenis) adalah karena
keinginan untuk menjadi seperti orangtua.
b.       Disiplin yang diberikan orangtua
Menurut Hoffman dan Saltztein (dalam Elida Prayitno: 1992),
orangtua yang mempergunakan teknik disiplin induksi (memberikan
alasan mengapa seseorang boleh atau tidak boleh bertingkah laku
tertentu) cenderung menyebabkan perkembangan moral remaja
sangat baik, sedangkan penggunaan disiplin berkuasa dan otoriter
cenderung menyebabkan perkembangan moral yang rendah.
c.       Induksi dengan teman sebaya
Interaksi dengan teman sebaya dan kemampuan bermain peran
terjadi karena telah dikuasainyakemampuan “role taking”, yaitu
kemampuan memahami sesuatu atau peristiwa dari sudut pandangan
orang lain. Dengan meningkatnya interaksi dengan teman sebaya,
maka kemampuan “role taking” pun makin mahir dan sempurna dan
ini merupakan jalan bagi perkembangan moral.
2.2.4.   Usaha Guru Dan Orangtua Dalam Mengembangkan
Moral Siswa
Wilcox (dalam Elida Prayitno: 1992) mengemukakan pendekatan-
pendekatan yang dapat digunakan guru di sekolah untuk membantu
pengembangan moral remaja, yaitu;
1.       Pendekatan klarifikasi nilai
Penggunaan pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar
kepada siswa melalui proses menganalisis secara mendalam dan hati-
hati nilai-nilai yang dipilih dalam klarifikasi. Siswa akan tumbuh
menjadi probadi yang lebih positif, memiliki tujuan, dan menerapkan
nilai-nilai dalam menjalani kehidupannya. Dalam pendekatan ini
individu bebas menemukan nilai-nilai dan berpikir analisis yang
mengarah pada pemilihan nilai-nilai yang sesuai dengan kehidupan,
dapat menginternalisasikan nilai serta menunjukkan komitmen
menjalankan nilai yang dipilih dalam kehidupan.
2.    Pendekatan dilema moral
Kohlberg dan pengikutnya menemukan bahwa dilema berguna dalam
pendidikan moral. Siswa tidak hanya belajar dilema untuk belajar,
tetapi juga belajar dilema nyata dari kehidupan sehari-hari. Diskusi-
diskusi dilema moral dapat mendorong siswa pada perkembangan
moral yang lebih tinggi.
a.       Dalam memberikan pendidikan moral, Duska & Whelen ((dalam Elida
Prayitno: 1992) menemukan pedoman praktis yang dapat digunakan
oleh guru, yaitu sebagai berikut:
b.       Menciptakan kelas sebagai lingkungan yang membuat siswa dapat
hidup dan belajar bersama dalam suasana hormat-menghormati dan
suasana aman.
c.       Beri siswa kesempatan untuk mengemukakan pendapat dalam
menentukan aturan-aturan kelas.
d.       Pilihlah hukuman yang ada hukumannya dengan pelanggaran.
e.       Bedakan antara kritik terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan
pelajaran dan kritik terhadap tindak tanduk, antara aturan tata tertib
sekolah dengan aturan-aturan tentang keadilan dan hubungan antar
manusia.
f.        Beri kesempatansiswa bekerja dalam kelompok.
g.       Dalam bercerita dan berdiskusi tentang pengalaman sehari-hari,
bantulah anak-anak memikirkan perasaan orang lain, baik yang
benar-benar terjadi maupun yang fiktif.
h.       Buatlah permainan peran (role playing) dari kehidupan sehari-hari
ataua kejadian-kejadian yang membuat siswa dapat melihatnya dari
perspektif mereka.
i.         Adakan kesempatan untuk mendengarkan jawaban tiap siswa
tentang pertimbangan moral, diskusi dengan menggunakan bahan
bacaan, film, dan pengalaman sehari-hari.
j.         Janganlah memberi penilaian terhadap perkembangan moral atas
dasar tingkah laku setiap orang.

BAB III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
Pada masa remaja, tingkat karakteristik emosional akan menjadi
drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja
seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus
asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai calon
pendidik dan pendidik kita harus mengetahui setiap aspek  yang
berhubungan dengan perubahan ntingkah laku dalam perkembangan
remaja, serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa
melakukan komunikasi yang baik dengan remaja. Perkembangan
emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses
dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit
dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan peserta didik
pada usia remaja yaitu diantaranya: didikan orang tua, lingkungan
sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosial
dan emosi yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk
mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta
bisa lebih matang merencanakan segala hal yang akan diputuskannya,
sedangkan terhadap orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama
yang baik, saling menghargai dan mampu memposisikan diri di
lingkungan dengan baik.
                Agar seorang peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi
dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini, karena pada saat itu
amat sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia
selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah
terbentuk.

3.2   Saran
Dilihat dari makalah Diatas, maka telah kita ketahui bersama
bahwasanya anak dalam setiap perkembangannya membutuhkan
bimbingan, apabila anak dalam pertumbuhannya tidak dibimbing
maka anak itu tidak akan terkontrol baik fantasi maupun emosinya.
Sebagai seorang calon Guru kita semua patut mengetahui cirri-
ciri dan perkembangan anak sehingga kita dapat memantau setiap
jengkal pertumnuhan dab perkembangannya baik fantasinya maupun
emosinya.

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, Hendriati. 2005. Psikologi Perkembangan Pendekatan
Ekologi Kaitannya Dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada
Remaja. Refika Aditama. Bandung
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Prenada Media Group.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai