Anda di halaman 1dari 9

A.

SUBJEK PPN

PPN di Indonesia, tidak membedakan tingkat kemampuan konsumen dalam


pengenaan pajaknya. Selain itu, sifat PPN yang merupakan pajak konsumsi dalam
negeri juga membuat semua orang yang tinggal di Indonesia menjadi subjek PPN.
Sebab PPN dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean
Indonesia. PPN dipungut saat terjadi jual beli. Akan tetapi sistem PPN yang berlaku di
Indonesia yakni setiap penjual memungut PPN pembeli. Dengan begitu, yang
dipungut adalah PPN saat terjadi pembelian dan PPN yang telah dipungut tersebut
tidak pandang-bulu apakah barang yang dibeli itu nantinya laku dijual lagi atau
dibuang (karena tidak laku-laku misalnya).

Secara umum, penjual memang ditetapkan sebagai pemungut PPN. Tetapi ada
kondisi tertentu yang menjadikan pembeli justru yang memungut dari penjual. Ini
kebalikan dari keumuman sistem pemungutan PPN. Pembeli yang memungut PPN
biasa disebut “Pemungut”. Akibatnya, rekanan atau supplier Pemungut PPN selalu
kelebihan PPN dan selalu meminta restitusi.

PENGELOMPOKAN ATAU KRITERIA SUBJEK PAJAK

Secara lebih detail, subjek PPN (orang yang kena PPN) dikelompokkan menjadi dua,
yakni:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

PPN dipungut oleh PKP dalam kondisi berikut :

 PKP melakukan penyerahan BKP atau JKP


 PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP

Pengusaha yang melakukan penyerahan atau mengekspor BKP atau JKP berwujud
maupun tidak berwujud di wilayah pabean, merupakan subjek PPN yang wajib
melakukan hal-hal berikut:

 Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak)


 Memungut pajak terutang
 Menyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan, yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang
 Melaporkan penghitungan pajak
Sebagai subjek PPN, PKP diwajibkan membuat Faktur Pajak dalam format yang
sudah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni Faktur Pajak elektronik
atau e-Faktur, atas penyerahan dan penerimaan BKP atau JKP serta melaporkannya.

Pengecualian PKP

 Pengecualian pengukuhan sebagai PKP diberikan bagi pengusaha kecil


yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 Pada saat ini, batasan pengusaha kecil tersebut diatur dalam PMK
197/PMK.03/2013, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun.
 Namun, UU PPN memberikan ruang bagi pengusaha kecil dimaksud
untuk dapat dikukuhkan menjadi PKP yang diatur lebih lanjut dalam PMK
40/PMK.03/2010.

2. Non-PKP 

Seorang individu atau pribadi dan non-PKP yang menggunakan BKP atau JKP
di wilayah pabean Indonesia merupakan subjek PPN. Akan tetapi, umumnya harga
yang dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk PPN. Aturan mengenai ini tertuang
dalam dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal 4 Ayat (1) huruf b dan huruf
e, serta Pasal 16C. PPN akan tetap terutang walaupun yang melakukan kegiatan
bukanlah PKP, dalam kondisi :

 Impor BKP
 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
 Melakukan kegiatan pembangunan

Pengusaha kecil juga merupakan subjek PPN. Itu artinya, pengusaha kecil
memiliki kewajiban-kewajiban yang mengikat, khususnya ketika mereka memilih
agar ditetapkan sebagai PKP sehingga mereka sepenuhnya dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 menetapkan


batasan pengusaha untuk dapat dikategorikan sebagai pengusaha kecil, sebagai
berikut:
 Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan
penyerahan BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar.
 Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah
keseluruhan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam
rangka kegiatan usahanya.
 Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
 Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.

Mengapa ada pengusaha kecil yang ingin dikukuhkan sebagai PKP? Sebab ada
sejumlah keuntungan yang bisa didapatkan jika menjadi PKP. Di antaranya sebagai
berikut:

 Bila wajib pajak menjadi PKP, maka pengusaha akan dianggap telah
memiliki sistem yang legal secara hukum karena tertib membayar pajak.
 Status PKP dapat meningkatkan kepercayaan dari mitra perusahaan terhadap
status dan reputasi pengusaha atau wajib pajak.
 Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP juga dapat melakukan
transaksi jual-beli dengan bendaharawan pemerintah maupun ikut serta
dalam pengadaan barang dan jasa.

Selain keunggulan, ada pula konsekuensi yang harus diperhatikan ketika seorang
pengusaha kecil ingin dikukuhkan menjadi PKP.

KEWAJIBAN SUBJEK PPN

Di antara konsekuensi itu adalah disiplin dan tertib dalam melaporkan Faktur Pajak
dan SPT Masa PPN.

Sebab keterlambatan pelaporan PPN mengakibatkan adanya sanksi administrasi.

Apabila terlambat membuat Faktur Pajak dan pelaporan SPT Masa, PKP dapat
dikenakan sanksi berupa administrasi seperti denda dan/atau bunga hingga sanksi
pidana.

Namun jangan khawatir karena adanya layanan e-Faktur dari Direktorat Jenderal
Pajak telah mempermudah PKP untuk membuat faktur secara online dan pelaporan
SPT.
Selain prosesnya mudah, wajib pajak atau dalam hal ini PKP dapat langsung
mengunggah dokumen CSV dan PDF.

Mereka juga memperoleh arsip pembayaran dan pelaporan pajak yang mudah
diperiksa statusnya.

SPT Masa dan Tahunan wajib sebaiknya dilaporkan tepat waktu agar status PKP
seorang pengusaha bisa dipertahankan karena orang tersebut telah menjadi wajib
pajak.

Contoh kasus

Jika terjadi penyerahan jasa ke Organisasi Internasional yang menurut KMK


(Keputusan Menteri Keuangan) masuk kategori Organisasi yang tidak termasuk
Subjek Pajak Penghasilan (PPH), apakah secara langsung penyerahan jasa tersebut
tidak terutang PPN?

Jawab: Kondisi tersebut tidak ada hubungannya antara subjek PPh dengan pengenaan
PPN. Sebab sebuah organisasi internasional harus mendapatkan pengesahan atau
persetujuan untuk bisa menikmati pembebasan PPN atas penyerahan BKP atau JKP
(bukan tidak terutang PPN).

Untuk penyerahan BKP kepada organisasi internasional, sebuah perusahaan harus


meminta surat keterangan pembebasan PPN-nya.

Dengan begitu, perusahaan memang harus menerbitkan Faktur Pajak.

PPN tidak melihat siapa pembelinya (berbeda dengan PPh) dalam kondisi:

1. diserahkan oleh PKP


2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
3. dalam wilayah Pabean dan dalam lingkungan usaha atau kegiatan yang
punya kewajiban untuk mengenakan PPN.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 25 tahun 1998 Pasal 1 ayat (1)


disebutkan untuk pembelian BKP tau perolehan JKP yang dilakukan oleh:

1. Perwakilan Negara Asing;


2. Badan Internasional di Indonesia yang memperoleh kekebalan diplomatik
serta Pejabat/Tenaga Ahlinya;

Keduanya itu dibebaskan PPPN dan/atau PPPnBM.


Dasar Pengenaan PPN

Dasar Pengenaan Pajak PPN adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang (Pasal 1 angka
17 UU Nomor 42 TAHUN 2009).
DPP PPN itu dapat berupa:
 Harga Jual
 Nilai Penggantian
 Nilai Impor
 Nilai Ekspor
 DPP Nilai Lain
Dasar Pengenaan Pajak PPN – Harga Jual
Harga Jual, yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak (Pasal 1 angka 18 UU Nomor 42
TAHUN 2009).
1.
1. Nilai Berupa uang + semua biaya – potongan harga dalam FP = Harga Jual
2. Semua biaya ini termasuk : biaya asuransi, biaya pengangkutan, biaya pengiriman,
biaya pemeliharaan, biaya garansi, dan biaya lain yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP tersebut.
Dasar Pengenaan Pajak – Penggantian
Penggantian, yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima
Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 1
angka 19 UU Nomor 42 TAHUN 2009).
1.
1. Nilai Berupa uang + semua biaya – potongan harga dalam FP = Penggantian
2. Semua biaya ini termasuk : biaya asuransi, biaya pengangkutan, biaya pengiriman,
biaya pemeliharaan, biaya garansi, dan biaya lain yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan, Ekspor, pemanfaatan JKP / BKP tidak
berwujud tersebut
Dasar Pengenaan Pajak PPN – Nilai Impor dan Ekspor
Nilai Impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut
menurut UU ini (Pasal 1 angka 20 UU Nomor 42 TAHUN 2009).

 Nilai Impor = Cost, Insurance, Freight (CIF) + Bea Masuk


Nilai Ekspor, yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir (Pasal 1 angka 26 UU Nomor 42 TAHUN 2009).

Dasar Pengenaan Pajak PPN – Nilai lain


yang diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin rasa
keadilan dalam hal:

Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan;
dan/atau

penyerahan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak


TARIF DAN MENGHITUNG PPN

Anda mungkin juga menyukai