Anda di halaman 1dari 30

Judul singkat maksimal 8 kata

Trade-off Antara Real Activity Management Dan


Discretionary Revenue Atas Implementasi Good
Corporate Governance Pada Perusahaan Yang
Mengalami Financial Distress
Jenis Sesi Paper: Full paper

Barus Gultom Istianingsih


Program Doktor Akuntansi Universitas STIE Indonesia Banking School
Trisakti istisastro@yahoo.com
juanbarusgultom@gmail.com

Abstract: The desire to improve the utility of enterprise management can be reflected in the
behavior of utilizing existing opportunities. The existing regulatory loop will be the target of
opportunistic management behavior especially those in the condition of companies that are
pressed for financial difficulties. Implementation of good corporate governance is expected to
suppress one of the opportunistic behavior in the form of earnings management it still gives
the opportunity to do trade off through the action in different ways. This study aims to examine
the impact of Good Corporate Governance implementation on the trade-off between real
activity management behavior and discretionary revenue in companies experiencing financial
distress.
The samples tested in this study were 248 observations on manufacturing companies listed on
the Indonesian stock exchange period 2013 to 2015. The data were analyzed with moderated
regression analysis and conducted a comparison to see the trade-off between opportunistic
behavior through real activity management and through Discretionary revenue.
The results of the analysis show that Corporate governance is not proven to affect earnings
management through discretionary revenue. However, GCG is proven to reduce earnings
management through real activities. Meanwhile, Financial distress is not proven to negatively
affect earnings management through discretionary revenue but significant through real profit
management. The moderate variables between GCG and financial distress have no significant
effect on earnings management through discretionary revenue. However, in the real-time GCG
activity model it can reduce the negative impact of financial distress on earnings management.

Keywords: real activity management, discretionary revenue, good corporate governance,


financial distress

1. Latar Belakang

Laba merupakan salah satu informasi akuntansi yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan

publik terutama investor sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi (Scott,

2015). Hal ini sejalan dengan pernyataan Hendriksen (1991) yang menekankan bahwa laba sebagai

informasi penting yang digunakan oleh investor, kreditor, dan pihak lainnya untuk membantu

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 1


Judul singkat maksimal 8 kata

mengevaluasi daya laba (earnings power), meramal laba di masa depan, menaksir risiko berinvestasi,

dan dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan.

Posisi laba sebagai informasi yang sedemikian penting ini kemudian seringkali menjadi target

rekayasa melalui tindakan opportunistic manajemen untuk memaksimalkan kepuasannya. Tindakan

yang mementingkan kepentingan sendiri (opportunistic) tersebut dilakukan dengan cara memilih

kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba dapat diatur, dinaikkan atau diturunkan sesuai

keinginannya, perilaku tersebut dikenal dengan istilah manajemen laba. Manajemen laba merupakan

tindakan manajemen dalam proses penyusunan pelaporan keuangan sehingga dapat menaikkan atau

menurunkan laba akuntansi sesuai dengan kepentingannya (Scott, 2015).

Peluang bagi manajer untuk melakukan manajemen laba timbul karena kelemahan inheren

peraturan akuntansi sendiri. Manejer melakukan manajemen laba dengan menggunakan variabel

artifisial melalui pemilihan metode akuntansi yang diizinkan atau dengan menggunakan variabel rill,

yaitu dengan melakukan manipulasi pendapatan dan biaya serta aktivitas perusahaan yang tidak normal

dilakukan (Roychowdury, 2006). Parulian (2004) dan Alwie (2005) menyatakan bahwa perilaku

manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat diminimalisasi dengan adanya good corporate

governance (GCG).

Penerapan corporate governance yang baik diharapkan akan meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas perusahaan sehingga perusahaan akan mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan

tindakan sosial dan lingkungan yang telah dilakukannya. Istilah corporate governance atau tata kelola

perusahaan bukanlah sebuah istilah baru didalam dunia bisnis. Corporate governance menjadi populer

karena diyakini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian dan bisnis global. Perusahaan yang

menerapkan prinsip corporate governance akan lebih bernilai tambah (value added) dibandingkan

perusahaan yang tidak menerapkannya. Corporate governance berkaitan dengan proses dan struktur

yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis serta urusanurusan perusahaan, dalam rangka

meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Tujuan utama dari penerapan GCG ini

adalah untuk meningkatkan nilai nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 2


Judul singkat maksimal 8 kata

Visvanathan (2008) meneliti mengenai faktor-faktor karakteristik corporate governance dan

struktur kepemilikan yang meliputi karakteristik dewan komisaris dan dewan direksi dan karakteristik

komite audit terhadap real earnings management. Bukti yang konsisten dengan manajer memanipulasi

aktivitas riil (real activity) untuk menghindari pelaporan kerugian tahunan: diskon harga untuk

meningkatkan penjualan sementara, overproduksi melaporkan biaya yang lebih rendah dari harga pokok

penjualan, dan pengurangan pengeluaran diskresioner untuk meningkatkan melaporkan margin antara

perusahaan yang melaporkan laba tahunan kecil. Analisis cross-sectional mengungkapkan bahwa

kegiatan ini kurang lazim di hadapan investor canggih, menunjukkan bahwa kegiatan tidak

berkontribusi terhadap nilai jangka panjang. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat manipulasi

aktivitas riil (real activity) meliputi keanggotaan industri, stok persediaan dan piutang, dan akhirnya,

insentif untuk memenuhi nol penghasilan, termasuk keberadaan utang dan pertumbuhan peluang. Ada

juga beberapa, meskipun kurang kuat, bukti manipulasi nyata kegiatan untuk memenuhi perkiraan

analis tahunan. (Roychowdhury 2006)

Penelitian yang dilakukan oleh (Gul et al., 2005) menyatakan bahwa salah satu indikator yang dapat

medeteksi manajemen laba adalah kualitas audit karena menunjukkan bagaimana kompetensi dan

independensi auditor dalam mendeteksi dan melaporkan adanya tindakan manajemen laba yang

dilakukan oleh manajer. Indikator kualitas audit lainnya yang dapat digunakan untuk mendeteksi

manajemen laba adalah independensi auditor, yang diproksikan dari kecenderungan auditor yang

bersedia melaporkan dan memberi keakuratan pelaporan opini audit going concern pada perusahaan

yang mengalami financial distress, maka auditor tersebut memiliki sikap independensi yang tinggi.

Selain itu, auditor spesialisasi industri juga bisa membantu dalam mendeteksi manajemen laba karena

akan memberikan kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan auditor lainnya. Oleh karena itu,

kualitas audit sangat mempengaruhi kesempatan manajemen dalam melakukan manajemen laba. Dalam

penelitian ini kualitas audit digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi manajemen laba dari

lingkungan eksternal perusahaan.

Dari sisi internal perusahaan, kondisi kesulitan keuangan (financial distress) diprediksi berdampak

kuat terhadap insentif manajemen untuk memanipulasi laba guna menutupi kondisi yang sebenarnya.

Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 3


Judul singkat maksimal 8 kata

kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi kesulitan keuangan dapat merupakan gejala awal munculnya

kemungkinan perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Menurut Rayenda (2007), financial distress

terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan sehingga

menyebabkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang

berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan

penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas

secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Kondisi tersebut mengindikasikan suatu perusahaan

sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya memicu manajer untuk

mengelola labanya.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran GCG sebagai factor kondisi yang mempengaruhi

kondisi kesulitan keuangan perusahaan terhadap perilaku manajemen laba yang sifatnya oportunistik.

Pengukuran manajemen laba dilakukan dengan menggunakan dua teknik estimasi yaitu aktifitas riil dan

discretionary revenue supaya dapat menangkap perilaku manajemen laba dengan lebih baik. Setting

penelitian akan dilakukan di perusahaan manufaktur yang terdaftar di Indonesia. Pemilihan perusahaan

manufaktur karena penelitian ini akan menguji manajemen laba dengan model estimasi aktifitas riil

yang ,memerlukan data persediaan dan biaya produksi. Kebaruan dan kontroibusi yang akan diberikan

dari penelitian ini adalah dalam penggunaan model estimasi untuk pengukuran manajemen laba.

Dengan menggunakan model discretionary revenue dan real earnings management diharapkan dapat

memberikan analisis yang lebih baik tentang praktik manajemen laba yang bersifat oportunistik

dibandingkan dengan model pengukuran lain yang sudah banyak digunakan misalnya model

discretionary accrual seperti saran Stuben (2010).

Penelitian mengenai earnings management sebelumnya hanya terbatas pada pengukuran melalui

akrual. Kelemahan dari pengukuran akrual adalah tidak bisa diobservasi langsung dari laporan

keuangan, tetapi harus diestimasi melalui beberapa model. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa

corporate governance tidak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya earnings management yang

diukur melalui akrual. Namun penelitian yang dilakukan oleh Visvanathan (2008) menunjukan bahwa

corporate governance dan struktur kepemilikan dapat mendeteksi terjadinya real earnings

management. Diharapkan hasil penelitian ini akan lebih memperjelas dampak penerapan GCG terhadap

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 4


Judul singkat maksimal 8 kata

manajemen laba. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan teori,

terutama kajian akuntansi keuangan mengenai corporate governance index kondisi financial distress

terhadap real earnings management dan manajemen laba melalui discretionary revenue

2. Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Agency Theory

Agency theory berkaitan erat dengan penelitian akuntansi dan merupakan landasan untuk

memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya earnings management dan penerapan

corporate governance. Teori ini membahas mengenai konflik kepentingan antara agent dan principal.

Agent merupakan pihak internal perusahaan yang menjalankan kegiatan operasional bisnis

perusahaan. Agent dapat diartikan sebagai manajemen perusahaan atau manajer. Sedangkan principal

adalah pihak yang mempunyai modal atau pemegang saham dalam perusahaan. Masing-masing pihak

yaitu agent dan principal mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap perusahaan. Sebagai agent,

manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal),

namun disisi lain manajer mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejateraan mereka (Jensen dan

Meckling, 1976).

Agency theory digunakan untuk memprediksi adanya konflik kepentingan di antara individu-

individu yang rasional (Scott, 2015). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency theory

sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih principal menggunakan pihak lain (agent) untuk

melakukan sesuatu berdasarkan kepentingan principal yang mencakup pendelegasian wewenang

pengambilan keputusan kepada agent. Kontrak tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan

agent dan principal.

2.2. Pengukuran Manajemen Laba

Conditional revenue model diperkenalkan oleh Stubben (2010) atas dasar ketidakpuasan terhadap

model akrual yang umum digunakan saat ini. Conditional revenue model ini, menitikberatkan pada

pendapatan yang memiliki hubungan secara langsung dengan piutang. Dechow and Schrand (2004)

dalam Stubben (2010), menemukan bahwa lebih dari 70 persen kasus SEC Accounting and Auditing

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 5


Judul singkat maksimal 8 kata

Enforcement Release melibatkan salah saji pendapatan. Model conditional revenue dari Stubben (2010)

ini menggunakan piutang akrual daripada akrual agregat sebagai fungsi dari perubahan pendapatan.

Sebagai komponen akrual utama, piutang memiliki hubungan empiris yang kuat dan hubungan

konseptual langsung pada pendapatan.

Hal ini juga berhubungan dengan kebijakan manajemen yang dapat menentukan atau mengambil

keputusan dalam pemberian kredit. Ketika pendapatan mengalami kenaikan maka dapat disertai dengan

kenaikan piutang. Conditional revenue model didasarkan pada discretionary revenue yang merupakan

perbedaan antara perubahan aktual pada piutang dan perubahan prediksi pada piutang berdasarkan pada

model. Piutang yang tidak normal, tinggi atau rendah, mengindikasikan adanya manajemen pendapatan

(Stubben, 2010).

Menurut Stubben (2010), pengakuan pendapatan lebih awal (premature

revenue recognition) adalah bentuk paling umum dari manajemen pendapatan. Dengan adanya

pengakuan pendapatan secara prematur yang dilakukan oleh perusahaan, akan berdampak pada

pendapatan itu sendiri dan piutang. Dengan mengakui dan mencatat pendapatan periode yang akan

datang atau belum terealisasi mengakibatkan pendapatan periode berjalan lebih besar daripada

pendapatan sesungguhnya. Akibatnya, seolah-olah kinerja perusahaan lebih baik daripada kinerja

sesungguhnya (Sulistyanto, 2008).

Dalam penelitian ini, praktik manajemen laba dideteksi melalui conditional revenue model yang

dikembangkan oleh Stubben (2010) dan melalui real activity yang dikembangkan oleh Roychowdhury

(2006).

2.3. Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Manajemen Laba

Berbagai penelitian telah dilakukan utnuk menguji dampak penerapan dan mekanisme GCG

terhadap perilaku manajemen laba. Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara proporsi dewan komisaris independen dengan earnings management.

Sejalan dengan itu Setiawan dan Nasution (2007) yang meneliti pengaruh corporate governance

terhadap manajemen laba di industri perbankan Indonesia menemukan adanya hubungan yang positif

antara komisaris independen dengan earnings management.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 6


Judul singkat maksimal 8 kata

Menurut Setiawan dan Nasution (2007) hal ini menunjukkan bahwa komisaris independen telah

efektif dalam menjalankan tanggungjawabnya mengawasi kualitas pelaporan keuangan demi

membatasi manajemen laba di perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena dengan makin banyak

anggota komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan dewan ini makin berkualitas

dengan makin banyaknya pihak independen dalam perusahaan yang menuntut adanya transparansi

dalam pelaporan keuangan perusahaan.

Namun Beasley (1996) dan Dechow, Sloan dan Sweeney (1996) menemukan hubungan yang negatif

antara board independence dengan kecurangan laporan keuangan. Klein (2000) menemukan hubungan

yang negatif antara board independence dengan abnormal accruals. Veronica dan Utama (2005) dan

Boediono (2005) yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti

berpengaruh terhadap tindak manajemen laba yang dilakukan di perusahaan di Indonesia. Penelitian

Veronica dan Bachtiar (2004) juga menyatakan hal yang sama, yaitu persentase dewan komisaris

independen tidak berkorelasi signifikan terhadap akrual kelolaan.

Yermarck (1996) serta Lorder dan Preyer (2002) menyatakan bahwa board size berhubungan negatif

dengan kinerja dan nilai perusahaan. Mereka berpendapat bahwa semakin besar board size maka

efektifitas perusahaan semakin menurun jika dibandingkan dengan perusahaan lain. Beiner et al. (2003)

mengungkapkan bahwa jika board size terlalu besar, maka agency problem akan cenderung meningkat

yang menyebabkan dewan perusahaan hanya menjadi simbol yang tidak dapat menjalankan fungsi

kontrol dan monitoring dengan baik. Senada dengan itu Ujiyanto dan Pramuka (2007) menemukan

jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Midiastuty dan

Machfoedz (2003) yang menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap

manajemen laba perusahaan secara signifikan.

Darmawati (2003) juga meneliti mengenai corporate governance dan manajemen laba. Hasilnya

menunjukkan bahwa komposisi dewan direksi berhubungan negatif dengan manajemen laba. Beasley

(2006) meneliti mengenai kecurangan laporan keuangan, hasilnya menyatakan bahwa perusahaan yang

tidak curang memiliki dewan direksi yang persentase anggota luarnya lebih besar dibandingkan dengan

perusahaan yang curang. Sementara itu Visvanathan (2008) menemukan hubungan yang positif antara

proporsi komite audit dengan earnings management, karena proporsi komite audit dapat mengurangi

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 7


Judul singkat maksimal 8 kata

terjadinya earnings management. Setiawan dan Nasution (2007) bahwa keberadaan komite audit

berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini berarti komite audit yang ada di perusahaan sebagai

salah satu mekanisme corporate governance mampu mengurangi tindak manipulasi laba oleh

manajemen. Namun hasil ini berlawanan dengan penelitian Veronica dan Utama (2005) yang

melaporkan bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan.

Rahman dan Ali (2006) meneliti mengenai board, audit committee, culture dan earnings management

pada perusahaan malaysia. Hasilnya menemukan bahwa komite audit berhubungan negatif dengan

earnings management.

Visvanathan (2008) meneliti mengenai pengaruh variabel corporate governance terhadap earnings

management pada 6759 perusahaan selama 7 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2002. Model

real earnings management yang diuji dalam penelitian ini meliputi abnormal cash flows, abnormal

production costs dan abnormal discretionary expense. Variabel corporate governance yang diteliti

dalam penelitian ini adalah board characteristics dan audit committee characteristic. Board

characteristics terdiri dari board size, board independence, dan CEO duality. Sedangkan audit

committee characteristic diamati dari audit committee size, audit committee independence dan audit

committee meetings.

Audit committee independence berpengaruh signifikan untuk semua model manajemen laba. Audit

committee size hasilnya konsisten dengan board size dan mengindikasikan bahwa jumlah board atau

komite audit tidak berhubungan dengan terjadinya earnings management. Audit committee meetings

tidak signifikan untuk abnormal cash flows dan abnormal production costs. Ini mengindikasikan bahwa

frekuensi pertemuan komite audit tidak mempengaruhi terjadinya earnings management. Visvanathan

(2008) menyatakan ada beberapa alasan kenapa variabel corporate governance tidak berasosiasi dengan

real earnings management, salah satunya adalah karena real earnings management tidak berinteraksi

dengan auditor, analis dan stakeholders, serta board bukan merupakan isu utama dalam terjadinya

earnings management.

H1. Corporate governance berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 8


Judul singkat maksimal 8 kata

2.4. Pengaruh Financial Distress Terhadap Manajemen Laba

Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya

kebangkrutan ataupun likuidasi. Apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan berdampak besar pada

perusahaan-perusahaan seperti hilangnya kepercayaan dari stakeholder, dan bahkan perusahaan akan

mengalami kebangkutan (Platt dalam Luciana (2004). Menurut Rayenda (2007), financial distress

terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan sehingga

menyebabkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang

berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan

penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas

secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Kondisi tersebut mengindikasikan suatu perusahaan

sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya jika perusahaan tidak

mampu keluar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan tersebut akan mengalami kepailitan.

Pada umumnya sinyal terjadinya financial distress terlihat dari pelanggaran perusahaan atau perjanjian

utang dengan pihak kreditor serta pengurangan atau penghapusan dalam membayar dividen. Faktor

utama untuk mengidentifikasi ini yaitu melalui kemampuan perusahaan dalam memenuhi utang obligasi

yang sedang beredar (Elloumi dan Gueyie, 2001). Ketika perusahaan mengalami delisted akibat laba

bersih dan nilai buku ekuitas negatif berturut-turut serta perusahaan tersebut sudah di merger juga

sebagai salahsatu indikasi perusahaan mengalami financial distress (Hanifah, 2013). Berdasarkan

penjelasan tersebut di atas, maka rumusan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H2. Financial distress berpengaruh positif terhadap manajemen laba

2.3. Pengaruh GCG atas dampak financial distress terhadap manajemen laba

Corporate governance (CG) merupakan salah satu mekanisme yang ditujukan untuk meminimalkan

terjadinya konflik keagenan dengan memberikan keselarasan hubungan antar stakeholder guna

menentukan arah dan pengendalian kinerja perusahaan. Bagaimana pemilik perusahaan dapat

memonitor dan mengendalikan keputusan dan tindakan manajer puncak akan mempengaruhi

implementasi strategi perusahaan. CG yang efektif akan menyelaraskan kepentingan manajer dan

pemilik sehingga dapat menghasilkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 9


Judul singkat maksimal 8 kata

Prinsip-prinsip GCG adalah fairness (keadilan), transparency (transparansi),

accountability (akuntabilitas), dan responsibility (tanggungjawab). Keadilan berkenaan dengan

keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang saham minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta

perdagangan dan penyalahgunaan oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing).

Transparansi dilakukan melalui penyempurnaan pengungkapan (disclosure) informasi kinerja

perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas manajemen dilakukan melalui pengawasan

efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas, pengurus, pemegang saham, dan

auditor. Tanggung jawab perusahaan berkenaan dengan perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk

menaati hukum dan bertindak sesuai lingkungan di mana perusahaan berada (Tunggal, 2007).

Menurut teori keagenan, mekanisme GCG dan pengungkapan sukarela dapat digunakan untuk

melindungi investor dan menurunkan konflik kepentingan antara pemilik dan agen. Teori ini juga

menyatakan bahwa pengungkapan akan menurunkan biaya keagenan (Jensen dan Meckling, 1976).

Mekanisme GCG akan dapat menekan manajer untuk melakukan. Apabila perusahaan terkelola dengan

baik, maka kondisi ini akan dapat memperlemah dampak negative atas kondisi kesulitan keuangan

terhadap manajemen laba.

H3. Semakin tinggi tingkat GCG perusahaan, maka akan memperlemah dampak positif dari kondisi

kesulitan keuangan terhadap manajemen laba.

3. Metode Penelitian

3.1. Definisi Operasional Variabel

3.1.1. Variabel Independen

Manajemen laba melalui discretionary revenue

Manajemen laba melalui discretionary revenue diukur dengan menggunakan rumus estimasi dari

Stubben (2010:2) menyatakan bahwa discretionary revenue adalah perbedaan antara perubahan yang

sebenarnya dalam piutang dan perubahan diprediksi dalam piutang berdasarkan model. Abnormal

piutang yang tinggi atau rendah mengindikasikan adanya pengelolaan pendapatan. Untuk melakukan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 10


Judul singkat maksimal 8 kata

benchmark terhadap model yang ada, Stubben (2010) membandingkan kemampuan dari model

pendapatan dan model akrual yang umum digunakan (Jones 1991; Dechow et al 1995; Dechow dan

Dichev 2002; Kothari et al 2005) untuk mendeteksi kombinasi pendapatan dan manajemen biaya.

Stuben (2010:3) menyebutkan bahwa penggunaan discretionary revenue sebagai proksi manajemen

laba yang dihitung dengan pendekatan penerimaan dapat mengukur manajemen laba lebih baik

dibandingkan menggunakan pendekatan akrual. Hasil temuan menunjukkan bahwa ukuran

discretionary revenue menghasilkan bias dan kesalahan yang lebih kecil dibandingkan model akrual,

dimana discretionary revenue dapat mendeteksi tidak hanya pendapatan manajemen, tetapi juga

manajemen laba (melalui pendapatan).

Formulasi discretionary revenue yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

ΔARit = α + β1 ΔRit + β2 ΔRit × SIZEit + β3 ΔRit × AGEit + β4 ΔRit ×


AGE_SQit + β5 ΔRit × GRR_Pit + β6 ΔRit × GRR_Nit + β7
ΔRit × GRMit + β8 ΔRit × GRM_SQit + ε

Keterangan :
AR = end of fiscal year accounts receivable;
R = annual revenues;
SIZE = natural log of total assets at end of fiscal year;
AGE = natural log of age of firm (years);
GRR_P = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if negative);
GRR_N = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if positive);
GRM = industry-median-adjusted gross margin at end of fiscal year;
_SQ = square of variable; and
ε = error.
= annual change;

Manajemen laba riil (Real activity)

Manajemen laba riil (Real activity) adalah perbedaan praktik operasi yang dilakukan dengan praktik-

praktik operasi normal, dimotivasi oleh keinginan manajemen untuk memberikan pemahaman yang

salah kepada stakeholders agar stakeholders percaya bahwa tujuan pelaporan keuangan tertentu telah

dicapai sesuai praktik operasi normal (Roychowdhury, 2006).

Dalam mendeteksi tindakan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil yang dilakukan oleh

perusahaan Roychowdhury (2006) menggunakan model Dechow et al. (1998) dan fokus pada tiga

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 11


Judul singkat maksimal 8 kata

metode manipulasi yang diproksi kedalam cash flow operation (CFO), discretionary expense (DISEXP)

dan production costs (PROD).

Abnormal Cash Flow Operation

Berdasarkan model Dechow et al. (1998), Roychowdhury (2006) menggambarkan arus kas kegiatan

operasi normal sebagai fungsi linear dari penjualan dan perubahan penjualan dalam suatu periode.

Sebelum masuk dalam pengujian hipotesis maka akan dilakukan regresi untuk mencari arus kas

kegiatan operasi normal. Model regresi untuk arus kas kegiatan operasi normal mereplikasi dari

penelitian Roychowdhury (2006) sebagai berikut:

CFOt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (St/At-1) + t


Keterangan:
CFOt : Arus kas kegiatan operasi pada tahun t
At-1 : Total aktiva (assets total) pada tahun t-1
St : Penjualan (sales) pada tahun t
St : Penjualan pada tahun t dikurangi penjualan pada tahun t-1
α0 : Konstanta
t : error term pada tahun t.

Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah arus kas kegiatan operasi abnormal (AbnCFO),

maka untuk setiap observasi tahun arus kas kegiatan operasi abnormal adalah selisih dari nilai arus kas

kegiatan operasi aktual yang diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi

dengan arus kas kegiaran operasi normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang

diperoleh dari model persamaan di atas.

Abnormal discretionary expenditure

Biaya diskresioner didefinisikan sebagai jumlah dari biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, dan

biaya penjualan, serta biaya administrasi dan umum. Untuk menghitung tingkat normal biaya

diskresioner peneliti menggunakan model regresi berikut yang mereplikasi dari penelitian

Roychowdhury (2006), dengan formula sebagai berikut:

DISEXPt /At-1 = 0 + 1 (1/At-1) + β1 (St/At-1) + t

Keterangan:
DISEXPt : Biaya diskresioner pada tahun t
At-1 : Total aktiva pada tahun t-1
St : Penjualan pada tahun t

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 12


Judul singkat maksimal 8 kata

α0 : Konstanta
t : error term pada tahun t.

Biaya diskresioner abnormal (AbnCFO), adalah selisih dari biaya diskresioner aktual yang

diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya diskresioner

normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang diperoleh dari model persamaan di

atas.

Abnormal Production Cost

Produksi di atas level normal operasi perusahaan (overproduction) dengan tujuan untuk melaporkan

harga pokok penjualan (COGS) yang lebih rendah merupakan salah satu cara yang dilakukan

manajemen untuk memanipulasi laba melalui manipulasi aktivitas nyata. Biaya produksi adalah jumlah

dari harga pokok penjualan (COGS) dan perubahan dalam persediaan (ΔINV) sepanjang tahun. Peneliti

sebagaimana Roychowdhury (2006) menggunakan model estimasi untuk biaya produksi normal dengan

rumus regresi sebagai berikut:

PRODt/At-1 = 0 + 1(1/At-1) + β1(St/At-1) + β2(St/At-1) + β3(St-1/At-1) + t

Keterangan:
PRODt : Biaya produksi pada tahun t (PRODt = COGSt + ΔINVt)
At-1 : Total aktiva pada tahun t-1
St : Penjualan pada tahun t
St : Penjualan pada tahun t dikurangi penjualan pada tahun t-1
St-1 : Perubahan penjualan pada tahun t-1
α0 : Konstanta
t : error term pada tahun t.

Setiap observasi tahun biaya produksi abnormal adalah selisih dari biaya produksi aktual yang

diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya produksi normal

yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang diperoleh dari model persamaan di atas.

Sebagai proksi keseluruhan dari manajemen laba melalui aktivitas riil maka aliran kas operasi

abnormal (AbnCFO), biaya diskresioner abnormal (AbnDISEXP). dan biaya produksi abnormal

(AbnPROD) dijumlahkan untuk dapat menangkap efek keseluruhan dari manajemen laba melalui

aktivitas riil. Untuk menyamakan arahnya maka biaya arus kas abnormal dikali dengan minus satu (-1)

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 13


Judul singkat maksimal 8 kata

dan biaya diskresioner abnormal dikalikan dengan minus satu (-1) sebelum dijumlahkan, dengan

formula sebagai berikut:

REAL = AbnCFO *(-1) + AbnDISEXP *(-1) + AbnPROD

3.1.2 Variabel Independen


Good Corporate Governance

Variabel independen pertama dalam penelitian ini adalah Good Corporate Governance (GCG).

GCG merupakan suatu sistem, proses dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara

berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) demi tercapainya tujuan organisasi. Dalam

penetliian ini GCG diukur dengan index Corporate Governance Index yang diperoleh dari IICD

(Indonesian Institute for Corporate Directorship), yaitu sebuah lembaga independen di Indonesia yang

berperan dalam internalisasi praktek corporate governance yang baik.

Financial Distress.
Financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi dimana suatu

perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Perusahaan dikatakan mengalami financial

distress, jika: 1) Beberapa tahun mengalami laba bersih (net income) negatif (Hofer 1980 dan Whitaker

1999 dalam Almilia, 2003), dan 2) Selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen

(Lau 1987). Variabel financial distress dalam penelitian ini menggunakan variable dummy dengan

pengukuran: 0 = NonFinancial Distress, dan 1 = Financial Distress.

3.1.3. Variabel control


Leverage didefinisikan sebagai tingkat utang yang dimiliki oleh perusahaan baik utang jangka

panjang maupun jangka pendek. Leverage merupakan perbandingan antara utang dan aktiva yang

menunjukkan beberapa bagian aktiva yang digunakan untuk menjamin utang. Ukuran ini berhubungan

dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan utang. Perusahaan yang memiliki

kemungkinan lebih tinggi dalam melanggar perjanjian utang cenderung terlibat dalam praktik

manajemen laba untuk meningkatkan laba perusahaan (Healy dan Palepu; DeFond dan Jiambalvo;

dalam Rusmin, 2010).

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 14


Judul singkat maksimal 8 kata

LEV

Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan.

Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar, perusahaan

menengah dan perusahaan kecil. Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan diukur dengan logaritma

natural dari besarnya total aset perusahaan karena nilai aset relatif lebih stabil daripada nilai pasar dan

penjualan. Logaritma total aset perusahaan dapat menunjukkan bahwa semakin besar ukuran atau aset

perusahaan berarti semakin besar juga angka logaritmanya (Cornett et al., 2008).

Scott (2014) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi earnings response

coefficient (ERC), adalah kesempatan bertumbuh. ERC digunakan untuk mengukur besarnya abnormal

return saham dalam merespon komponen kejutan dari laba yang dilaporkan perusahaan (Scott 2015).

Collins dan Kothari (1989) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kesempatan bertumbuh

yang lebih besar akan memiliki ERC yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar

kesempatan bertumbuh perusahaan maka semakin tinggi kesempatan perusahaan untuk mendapatkan

atau menambah laba yang akan diperoleh perusahaan di masa mendatang. Hal ini didukung oleh

penelitian Shroff (1995) yang mengatakan bahwa kesempatan bertumbuh memengaruhi kegigihan dan

kredibilitas laba. Variabel ini dihitung dari tingkat pertumbuhan penjualan (sales) sepanjang tahun

dengan rumus (Matsuura, 2008, p. 69):

penjualan t – penjualan t-1

SALESGRW it = penjualan t-1

Dimana:
SALESGRW it : kesempatan bertumbuh perusahaan i pada tahun t
Penjualan t : penjualan pada hari ke t
Penjualan t-1 : penjualan pada hari ke t-1

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 15


Judul singkat maksimal 8 kata

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan go publik yang terdaftar pada Bursa Efek

Indonesia khususnya perusahaan manufaktur. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan non random,

berdasarkan metode purposive sampling sesuai dengan kriteria:

1. Sampel telah terdaftar pada Bursa Efek Indonesia untuk periode laporan keuangan tahun 2013

sampai dengan 2015 dan masuk dalam pemeringkatan penerapan GCG oleh lembaga pemeringkat

GCG yaitu IICD.

2. Sampel perusahaan tidak meliputi perusahaan perbankan, kredit agensi, sekuritas, asuransi,

konstruksi, real eastate dan property, investasi dan perusahaan telekomunikasi, karena penyajian

laporan keuangannya berbeda dengan laporan keuangan pada umumnya. Perusahaan-perusahaan

ini memiliki laporan keuangan yang sangat terpengaruh oleh faktor regulasi.

3. Perusahaan yang dijadikan sampel harus mempunyai ekuitas positif, karena perusahaan dengan

nilai buku ekuitas negatif berarti insolvent, yang menyebabkan kondisi sampel tidak menjadi

homogen.

4. Perusahaan yang dijadikan sampel menyatakan laporan keuangannya dalam bentuk rupiah.

Sampel penelitian adalah perusahaan yang mengeluarkan laporan keuangan secara konsisten dan

lengkap serta telah diaudit selama periode pengamatan..

3.3. Metode Analisis Data

Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode moderated regression analysis dengan 2

formula penelitian sebagai berikut:

Model 1. Manejemen laba melalui discretionary revenue

Model penelitian pertama ini didasari oleh penelitian Stubben (2010) yang mengembangkan

Discretionary Revenue Model atas dasar ketidakpuasan terhadap model akrual yang umum digunakan

saat ini. Terdapat dua formula dalam Discretionary Revenue Model yang digunakan sebagai

pengukuran manajemen laba. Pertama adalah revenue model, model ini menitikberatkan pada

pendapatan yang memiliki hubungan secara langsung dengan piutang. Kedua yaitu conditional revenue

model, model ini dikembangkan kembali dengan adanya penambahan ukuran perusahaan (size), umur

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 16


Judul singkat maksimal 8 kata

perusahaan (age), dan margin kotor (GRM) yang diduga dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen

laba akrual mengenai pemberian kredit yang berhubungan dengan piutang. Ukuran perusahaan (firm

size) merupakan proksi dari kekuatan finasial. Umur perusahaan (age) merupakan proksi untuk tahap

perusahaan dalam siklus bisnis. Sebagai proksi dari kinerja operasional dari perbandingan perusahaan

dengan perusahaan kompetitor, digunakan gross margin. Dalam penelitian ini, discretionary revenue

diukur menggunakan Conditional Revenue Model, dengan alasan model ini lebih cakupannya lebih luas

dari model revenue, sehingga diharapkan dapat mendeteksi praktik manajemen laba yang lebih akurat.

Model pertama ini dirumuskan sebagai berikut :

DISREV = β + β1INDXCG + β2DISTRESS + β3 INDXCG*DISTRESS + β4LEV + β5-


SIZE + β6GROWTH + 

Keterangan :
DISREV = Manajemen Laba melalui discretionary revenue
INDXCG = Corporate Governance Index
DISTRESS = Kondisi Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
LEV = Leverage (Debt to Asset Ratio)
SIZE = Ukuran Perusahaan (Log Natural Total Asset)
GROWTH = Kesempatan Bertumbuh (Sales Growth)
 = Error term
Model 2 (Manajemen Laba Riil)
Model penelitian kedua ini didasari oleh penelitian Roychowdhury (2006). Untuk mendeteksi

praktik manajemen laba riil atau manajemen laba melalui aktivitas riil dalam penelitian ini

menggunakan Abnormal Cash Flow Operation (AbnCFO), Abnormal Discretionary Expense, dan

Abnormal Production Cost. Nilai abnormal masing-masing variabel tersebut diperoleh dari selisih

aktivitas riil aktual dan aktivitas riil normal. formulasi model penelitian kedua ini sebagai berikut:

REAL = β + β1INDXCG + β2DISTRESS + β3 INDXCG*DISTRESS + β4LEV + β5SIZE


+ β6GROWTH + 
Keterangan :
REAL = Manajemen Laba Riil
INDXCG = Corporate Governance Index
DISTRESS = Kondisi Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
LEV = Leverage (Debt to Asset Ratio)
SIZE = Ukuran Perusahaan (Log Natural Total Asset)
GROWTH = Kesempatan Bertumbuh (Sales Growth)
 = Error term

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 17


Judul singkat maksimal 8 kata

4. Hasil Penelitian

4.1. Hasil Pemilihan Sampel


Tabel 4.1 Sampel Penelitian
No. Kriteria Jumlah
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan tidak 137
delisting Tahun 2013 – 2015
2. Perusahaan yang tidak mempublikasikan laporan keuangan
tahunan dan auditan secara lengkap periode 2013 – 2015. (8)

3. Perusahaan memiliki Corporate Governance Index dari IICD (32)


dan data struktur kepemilikan yang selama tahun 2013 – 2015

4. Laporan keuangan perusahaan yang tidak disajikan dalam mata (12)


uang Rupiah
5. Perusahaan memiliki ekuitas negatif (23)
Jumlah Sampel 62
Jumlah data observasi (4 tahun) 248

Diperoleh sebanyak 62 sampel perusahaan manufaktur, dengan data observasi sebanyak 248. Sampel

penelitian yang dipilih berasal dari satu industri dengan maksud untuk menghindari perbedaan

karakteristik perusahaan yang bergerak di industri manufaktur dengan perusahaan yang bergerak di

industri non-manufaktur sehingga terjadi keseragaman data. Selain itu, industri manufaktur dipilih

karena jumlah perusahaan dalam industri ini paling banyak dibandingkan dengan industri lainnya

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

5.1.2. Analisis Statistik Deskriptif


Tabel 4.2 Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


DR .010191 .2725288
248 -.6282 1.1155
REAL .21338 .950113
248 -7.244 3.252
INDXCG 248 60.27 87.31 70.1450 6.49210

DISTRESS 248 0 1 .39 .488


LEV 248 .0943 1.1621 .446167 .1985381
SIZE 248 11.2670 19.1815 14.276482 1.6584616
GROWTH 248 -.4958 35.9278 .375726 2.2898999
Valid N (listwise) 248

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 18


Judul singkat maksimal 8 kata

Dari 62 perusahaan yang diteliti dengan data sebanyak 248 observasi periode 2013 – 2015, memiliki

nilai rata-rata sebesar 0.010191, dengan nilai maksimum 1.1155 dan nilai minimum sebesar .6282. Hal

ini mengindikasikan bahwa sebagian besar perusahaan yang diteliti melakukan manajemen laba melalui

discretionary revenue dengan menaikkan labanya karena tandanya positif akan tetapi dalam jumlah

yang kecil.

Sedangkan untuk manajemen laba melalui aktivitas riil (real activity) berdasarkan data pada Tabel

4.2 di atas, menunjukkan bahwa nilai rata-rata manajemen laba melalui aktivitas riil sebesar 0.21338,

nilai tertinggi sebesar 3,252 dan nilai terendah sebesar -7,244 dengan standar deviasi sebesar 0,9501.

Nilai rata-rata tersebut mengindikasikan bahwa nilai arus kas dari kegiatan operasi aktual, biaya

diskresioner aktual dan biaya produksi aktual cenderung lebih rendah dari arus kas dari kegiatan operasi

normal, biaya diskresioner normal, dan biaya produksi normal, sehingga menghasilkan rata-rata

manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil negatif. Apabila penurunan biaya diskresioner dan

biaya produksi ini merupakan salah satu tindakan manajer untuk melakukan manajemen laba, maka

motivasi manajer melakukan hal tersebut adalah untuk memperkecil jumlah biaya diskresioner yang

harus dibayarkan sehingga meningkatkan jumlah laba perusahaan.

Variabel Corporate Governance Index merupakan hasil survei dari IICD. Skor yang dihasilkan

berupa persentase dengan nilai maksimal 100%. Setiap skor memiliki interpretasi tersendiri sesuai

dengan kriteria penilaian praktek GCG yang telah ditetapkan oleh IICD. Hasil statistik deskriptif untuk

variabel Corporatete Governance Index menunjukkan nilai rata-rata sebesar 70,15 atau sekitar 70,15%.

Sesuai dengan kriteria penilaian praktik Good Corporate Governanance (GCG) yang ditetapkan oleh

IICD, rata-rata perusahaan sampel berada dalam kategori fair, yang berarti bahwa perusahaan tersebut

hanya memenuhi persyaratan minimum terkait dengan penerapan GCG. Hal ini mengindikasikan bahwa

rata-rata perusahaan manufaktur di Indonesia belum menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap

praktik GCG. Nilai simpangan baku untuk variabel Corporatete Governance Index cukup bervariasi.

Nilai tertinggi sebesar 87,31% dicapai oleh PT. Astra International Tbk di tahun 2013 dan nilai terendah

diperoleh oleh PT. Budi Acid Jaya Tbk yaitu sebesar 60,27% di tahun 2013.

Kondisi kesulitan keuangan (financial distress), yang diukur dengan variabel dummy yaitu 0 dan 1.

Perusahaan yang termasuk kedalam kategori financial distress adalah perusahaan yang memiliki net

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 19


Judul singkat maksimal 8 kata

income negatif dalam 3 tahun, dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Hasil

statistik deskriptif variabel financial distress nilai rata-rata DISTRESS sebesar 39% perusahaan sampel

mengalami kesulitan keuangan, selebihnya sebesar 61% tidak mengalami distress. Nilai simpangan

baku variabel financial distress sangat bervariasi.

4.2 Pengujian Hipotesis


4.2.2 Analisis Manajemen Laba Melalui Discretionary Revenue

Analisis Koefisien Determinasi (Adjusted R2) Model 1


Nilai Adjusted R2 untuk model penelitian pertama ini sebesar 0,029 atau 2,9%. Hasil ini

menunjukkan bahwa 2,9% variasi yang terjadi pada variabel dependen (manajemen laba melalui

discretionary revenue) dijelaskan oleh variabel coporate governance, financial distress, dan interaksi

CG dan DISTRESS serta leverage, size dan growth. Dengan demikian, sebesar 97,1% variasi yang

terjadi pada manajemen laba melalui discretionary revenue dijelaskan oleh variabel lain yang tidak

diidentifikasi dalam model penelitian.

Analisis Signifikansi Simultan (F-test) Model 1

Berdasarkan hasil perhitungan uji F diketahui nilai Fhitung signifikansi sebesar 0,042. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai signifikansi model penelitian lebih kecil dari 0,05. Dengan kata lain, variabel-

variabel independen dalam model penelitian secara simultan berpengaruh signifikan terhadap

manajemen laba melalui discretionary revenue.

Hasil Analisis Koefisien Regresi Model 1


Analisis data dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda. Untuk menguji hipotesis

yang telah diajukan, maka dilakukan pengujian signifikansi secara parsial (uji t). Persamaan regresi

linier berganda menunjukkan nilai konstanta (a) sebesar 0,117. Hal ini menjelaskan bahwa seluruh

variabel independen dan variabel kontrol dianggap konstan, maka manajemen laba melalui

discretionary revenue sebesar 0,117. Data pada Tabel 4.12 di atas, menunjukkan bahwa nilai Adjusted

R2 untuk model penelitian kedua ini sebesar 0,077 atau 7,7%. Hasil ini menunjukkan bahwa 7,7%

variasi yang terjadi pada variabel manajemen laba riil dijelaskan oleh variabel coporate governance,

kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, financial distress, kualitas audit

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 20


Judul singkat maksimal 8 kata

independensi auditor, leverage, size, dan growth. Dengan demikian, sisanya sebesar 98,3% variasi yang

terjadi pada manajemen laba riil dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian.

Analisis Signifikansi Simultan (F-test) Model 2

Hasil uji F dapat dilihat pada tabel hasil perhitungan uji F seperti tampak pada tabel di atas,

menunjukkan bahwa nilai Fhitung sebesar 4,424 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Angka

ini bermakna bahwa seluruh variable indepanden berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba riil.

Tabel 4.11 Hasil Analisis Koefisien Regresi Model 1


Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.


1
.117 .308 .381 .703
(Constant)
INDXCG -.006 .005 -.155 -1.400 .163

DISTRESS -.272 .839 -.488 -.325 .746

.092 .160 2.378


LEV .220 .018
.014 .122 1.433
SIZE .020 .153

GROWTH -.006 .008 -.048 -.754 .452


GCGxDISTRESS .003 .013 .332 .224 .823
a. Dependent Variable: DR
Sumber: Hasil Perhitungan SPSS, 2016 (diolah).

Analisis Regresi Linier Berganda Model 2

Tabel 4.14 Hasil Analisis Koefisien Regresi Model 2


Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.


1
(Constant) .982 1.048 .937 .350

INDXCG -.031 .016 -.214 -1.988 .048

2.853 -2.538 -1.731


DISTRESS -4.940 .085
.314 .241 3.675
LEV 1.153 .000
.047 .118 1.425
SIZE .068 .156

GROWTH .014 .026 .033 .535 .593


GCGxDISTRESS .075 .044 2.463 1.706 .089

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 21


Judul singkat maksimal 8 kata

a. Dependent Variable: REAL


Sumber: Hasil Perhitungan SPSS, 2016 (diolah).

4.3 Pembahasan

1. Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa penerapan corporate governance

yang diukur dengan corporate governance index berpengaruh negatif terhadap manajamen laba. Hasil

pengujian Model Pertama, variabel corporate governance tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap

manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua, variabel corporate

governance memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba riil (real activity).

Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu corporate governance

berpengaruh negatif terhadap manajemen laba terbukti dan teruji oleh data serta didukung teori pada

model manajemen laba riil.

Secara teoritis, manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas

laporan keuangan. Schiper (1989) dalam Ferdawati (2008) mendefinisikan manajemen laba sebagai

suatu intervensi yang sengaja dilakukan untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi pihak tertentu.

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh manajemen dalam melakukan manajemen laba, antara lain

melalui manajemen laba akrual dan manajemen laba riil. Menurut Roychowdhury (2006), teknik

manajemen laba riil dapat dilakukan dengan cara memanipulasi penjualan, produksi secara berlebihan,

dan mengurangi pengeluaran diskresioner. Manajemen laba riil yang dilakukan oleh manajemen

memperlihatkan kinerja jangka pendek perusahaan yang baik namun secara potensial akan menurunkan

nilai perusahaan.

Corporate governance menyangkut masalah pengendalian perilaku para eksekutif puncak

perusahaan untuk melindungi kepentingan pemilik perusahaan (pemegang saham). Mekanisme

corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang mampu

menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks, 2003). Tjager et al., (2003)

dalam Petronila (2007) mendefinisikan mekanisme corporate governance sebagai suatu sistem, proses

dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 22


Judul singkat maksimal 8 kata

(stakeholders), dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan

direksi demi tercapainya tujuan organisasi. Mekanisme corporate governance dimaksudkan untuk

mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam

strategi korporasi dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki

dengan segera. Penerapan good corporate governance yang baik dapat meningkatkan nilai perusahaan

karena mengurangi risiko perusahaan dari keputusan-keputusan pihak manajemen yang cenderung

mengutamakan kepentingan pribadi. Penerapan good corporate governance juga dapat meningkatkan

kepercayaan para investor (Newell dan Wlison, 2002). Meningkatnya kepercayaan investor tersebut

disebabkan karena penerapan GCG dianggap mampu memberikan perlindungan yang efektif terhadap

investor dalam memperoleh kembali investasinya dengan wajar (Tjager et al., 2003).

Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa kualitas dari corporate governance diharapkan

dapat memberikan kontribusi kepada keseluruhan proses penciptaan nilai perusahaan. Penerapan good

corporate governance yang baik dapat mengurangi risiko perusahaan dari keputusan-keputusan pihak

manajemen yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi. Selain itu, penerapan good corporate

governance juga dapat meningkatkan kepercayaan para investor (Newell dan Wlison, 2002).

Meningkatnya kepercayaan investor tersebut disebabkan karena penerapan GCG yang baik dianggap

mampu memberikan perlindungan yang efektif terhadap investor dalam memperoleh kembali

investasinya dengan wajar (Tjager et al., 2003).

Pendapat di atas didukung oleh Keiso et al. (2007), yang menyatakan bahwa peluang manajemen

untuk melakukan manajemen laba bisa timbul karena terdapat situasi dimana manajer mempunyai

kesempatan untuk melakukan manajemen laba. Agar peluang manajemen untuk melakukan manajemen

laba dapat diminimalisir maka diperlukan good corporate governance yang mampu untuk melakukan

pengawasan dan mengendalikan perusahaan, sehingga dapat memenuhi tujuan dan sasaran yang dapat

menambah nilai perusahaan dan dapat bermanfaat untuk stakeholder dalam jangka panjang.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Cornett et al. (2006), yang menyatakan bahwa

mekanisme corporate governance berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang diukur dengan

diskresioner akrual. Murhadi (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa praktek CG memiliki

dampak negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Gulzar dan

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 23


Judul singkat maksimal 8 kata

Zongjun (2011) menunjukkan bahwa karakteristik dari mekanisme corporate governance memainkan

peran penting dalam mengurangi manajemen laba. Pelaksanaan tata kelola perusahaan membuktikan

dalam membatasi kecenderungan manajemen untuk melakukan manajemen laba dan benar-benar

mengarahkan penyajian laporan keuangan dengan kredibilitas tinggi (Bekiris dan Doukakis 2011).

Penelitian dari Chung dan Hsiang (2007) menunjukkan bahwa pelaksanaan corporate governance dapat

mengurangi perilaku manajemen laba. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pelaksanaan

corporate governance berpengaruh negatif terhadap manajamen laba.

Hasil serupa dilakukan oleh Praditia (2010) menguji pengaruh mekanisme corporate governance

yang diproksi dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, dan

kualitas auditor terhadap manajemen laba dan nilai perusahaan. Hasil temuannya tidak ada pengaruh

mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba.

Penelitian Amertha et. al (2014), menyatakan bahwa corporate governance yang diukur dengan

corporate governance index berpengaruh negatif terhadap manajemen. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi indeks corporate governance maka akan mengakibatkan penurunan

praktik manajemen laba melalui aktivitas riil.

5. Pengaruh Financial Distress terhadap Manajemen Laba

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa kondisi kesulitan keuangan

(financial distress) berpengaruh negatif terhadap manajamen laba. Financial distress dalam hal ini

diukur dengan dummy variable yaitu 0 dan 1. Nilai 1 diberikan kepada perusahaan sampel jika dalam

3 tahun memiliki net income negatif, dan lebih dari satu tahun tidak membayar dividen, sedangkan nilai

0 diberikan kepada perusahsaan sampel dengan kondisi sebaliknya.

Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel financial distress tidak signifikan

berpengaruh terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,

financial distress berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas riil.

Dengan demikian, hasil pengujian di atas tidak mendukung hipotesis yang diajukan untuk manajemen

laba melalui revenue model tetapi signifikan melalui aktifitas riil.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 24


Judul singkat maksimal 8 kata

Temuan penlitian ini sejalan dengan pendapat Begley et al. (1997) dalam Brazel et al.,

(2009:1152), yang menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami financial distress (kesulian

keuangan) memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan kecurangan laporan keuangan (fraud),

dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami financial distress (tekanan keuangan).

Hasil penelitian Spathis (2002) membuktikan bahwa leverage secara signifikan berpengaruh

positif terhadap kecurangan laporan keuangan. Hal ini berarti perusahaan dengan tingkat leverage yang

tinggi, memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan.

Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, memiliki risiko pelanggaran perjanjian utang yang

mengakibatkan timbulnya suatu biaya seperti sanksi pembatasan atas pembayaran dividen atau

pembatasan penambahan utang dan serta menghambat kerja manajemen. Perusahaan yang memiliki

tingkat leverage yang tinggi akan mempunyai dorongan (incentives) yang lebih besar untuk mendorong

kinerja akuntansi dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian dalam kontrak utang maupun untuk

mendapatkan utang baru (Dechow et al., 2010:25). Pendapat Dechow et al., (2010) didukung oleh

DeAngelo et al., (1994); Defond dan Jiambalvo, (1991) dalam Skousen dan Wright, (2006:8) ketika

menghadapi pelanggaran perjanjian utang, manajer akan lebih menggunakan kebijakan akrual agar

dapat melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba di masa depan. Sehingga manajer dapat

terhindar dari pelanggaran perjanjian utang (debt covenant).

6. Pengaruh Moderasi GCG atas Dampak Financial Distress Terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel interaksi antara GCG dan financial distress

tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian

Model Kedua interaksi ini berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui

aktivitas riil. Meskipun kedua pengujian memiliki hasil yang berbeda, namun secara empiris instrumen

pendektesian praktik manajemen laba melalui aktivitas riil dapat membuktikan adanya praktik

manajemen laba yang dilakukan perusahaan sampel. Dengan demikian, hasil pengujian di atas

mendukung hipotesis yang diajukan.

Temuan penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Francis at al.

(1999), yang menyatakan bahwa perusahaan dengan akrual tinggi memiliki peluang lebih luas untuk

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 25


Judul singkat maksimal 8 kata

melakukan manajemen laba yang oportunistik. Dalam model aktifitas riil GCG dapat menurunkan

dampak negative dari kondisi financial distress terhadap manajemen laba.

Penelitian ini juga menguji variable control Leverage, size dan growth. Hasilnya Berdasarkan

hasil pengujian Model Pertama, variabel leverage berpengaruh negative dan signifikan terhadap

manajemen laba melalui revenue discretionary. Pada pengujian Model Kedua, leverage berpengaruh

positif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas riil. Dengan demikian, hasil pengujian

ini menemukan bahwa leverage dapat berpengaruh positif dan negative signifikan terhadap manajemen

laba.

Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel ukuran perusahaan tidak berpengaruh

signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,

ukuran perusahaan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas

riil. Dengan demikian, hasil pengujian ini menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif

dan tidak signifikan terhadap manajemen laba.

Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan

tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,

pertumbuhan penjualan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui

aktivitas riil. Dengan demikian, hasil pengujian ini menemukan bahwa pertumbuhan penjualan (growth)

tidak berpengaruh terhadap manajemen laba baik melalui discretionary revenue maupun terhadap

manajemen laba melalui aktivitas riil.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, simpulan yang dapat diambil

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Corporate governance yang diukur menggunakan corporate governance index tidak terbukti

berpengaruh terhadap manajemen laba melalui descretionary revenue. Akan tetapi GCG terbukti

mampu menurunkan manajemen laba melalui aktifitas riil. Hal ini mengindiksikan bahwa

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 26


Judul singkat maksimal 8 kata

corporate governance index yang dikeluarkan oleh IICD mampu meredam manajemen

perusahaanperusahaan manufaktur di Indonesia melakukan praktik manajemen laba yang

dilakukam melalui aktifitas riil.

2. Financial distress tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap manajamen laba melalui

discretionary revenue akan tetapi siignifikan melalui manajemen laba riil. Hal memberi indikasi

bahwa perusahaan yang mengalami financial distress (kesulian keuangan) memiliki insentif yang

lebih besar untuk melakukan kecurangan laporan keuangan (fraud)melalui aktifitas riil,

dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami financial distress.

3. Variabel moderasi antara GCG dan financial distress tidak berpengaruh signifikan terhadap

manajemen laba melalui discretionary revenue. Akan tetapi dalam model aktifitas riil GCG dapat

menurunkan dampak negative dari kondisi financial distress terhadap manajemen laba.

5.2 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu:

1. Perusahaan yang dipilih menjadi populasi dan sampel hanya dari perusahaan manufaktur yang

ditentukan oleh peneliti dan tidak dapat dijadikan acuan untuk generalisasi pada seluruh

perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2. Pengukuran variabel independen terutama variabel financial distress hanya menggunakan dummy

variable, sehingga ada kecenderungan hasilnya kurang akurat atau tidak sesuai dengan kondisi

sebenarnya.

5.3 Saran

Prespektif earnings management yang digunakan dalam penelitian ini adalah prespektif oportunistis.

Untuk penelitian selanjutnya earnings management perlu ditinjau dari prespektif yang lain, misalnya

prespektif efisiensi yang menyatakan bahwa manajer melakukan pilihan atas kebijakan akuntansi untuk

memberikan informasi yang lebih baik tentang cash flow yang akan datang.

Penelitian ini hanya menggunakan perusahaan manufaktur sebagai sampel. Penelitian selanjutnya

diharapkan memperluas cakupan sampel perusahaan dari berbagai industri seperti industri perbankan,

sekuritas, properti dan real estate, infrastruktur, transportasi dan perdagangan sehingga hasil peneltiian

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 27


Judul singkat maksimal 8 kata

dapat digeeneralisasi. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat memasukkan variabel return on

asset, EM Score dan Agregat EM Score, deferred tax expense dan current tax expense (beban pajak

kini) sebagai variabel independen untuk mendeteksi earning management.

Daftar Pustaka

Ariani, Dian. (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba Pada Perusahaan yang
Bergerak di Sektor Keuangan di Bursa Efek Indonesia. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.

Bayu, Bimo. (2012). Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur
di Bursa Efek Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro.

Beasley, Mark S. (1996). An Empirical Analysis of the Relation Between the Board of Director Composition and
Financial Statement Fraud. The
Accounting Review, Vol.17. No.4, Oktober, hal.443-465

Beiner, S., Drobetz, W., et al, 2003, Is Board Size an Independent Corporate Governance Mechanism,
www.ssrn.com

Cadbury, Sir A. (1992). Report of The Commitee on The Financial Aspect of Corporate Governance, The
Comitte and Gee, London.

Christie, A., Zimmerman, J., (1994). Efficient and opportunistic choices of accounting procedures. The
Accounting Review 69, 539–567.

Carina. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Laba, Studi Empiris Pada Berbagai
Industri Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jakarta: Universitas Bina
Nusantara,.

Daniri, Mas. (2005). Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya Dalam Konsep Indonesia. Ray
Indonesia, Jakarta

Darmawati, D. (2003), Corporate Governance dan Manajemen Laba: Suatu Studi Empiris, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, Vol. 5, No. 1, April, Hal. 47-68.

Davis, J. H., Schoorman, F. D. & Donaldson, L. (1997). Towards A Stewardship Theory of Management,
Academy of Management Review, 22(1), 20-47

Dechow, P.M., Sloan, R.G., Sweeney, A.P. (1995). “Detecting Earnings Management”. Accounting Review,
Vol 70, No. 2, 193-225.

Deni Darmawati, Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu. (2004). Hubungan


Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VII , IAI.

Denis, D. and J. McConnel. (2003). International Corporate Governance.” Working Paper, Purdue University.

Eisenhardt, Kathleen. M. (1989). Agency Theory: An Assesment and Review. Academy of Management Review,
14, 57-74,

Fields, T., Lys, T., Vincent, L., (2001). Empirical research on accounting choice. Journal of Accounting and
Economics 31, 255–307.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 28


Judul singkat maksimal 8 kata

Ghozali, Imam. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro

Gunarsih, Tri. (2003). “Struktur Kepemilikan Sebagai Salah Satu Mekasnisme Corporate Governance”,
Kompak Nnomor 8

Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. (1999). A Review Of The Earnings Management Literature And Its
Implications For Standard Setting. Accounting Horizons 13, 365-383.

Jensen, Michael C., and Meckling, William H. (1976) “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs
and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics, Vol. 3, No. 4, October. 305-360.

Kaihatu, Thomas S. (2006). “Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia”. Jurnal Manajemen
dan Kewirausahaan. Volume 8 Nomor 1, 2006.

Klein, April. (2002). “Audit Committee, Board Of Director Characteristics and Earnings Management”. Journal
of Accounting and Economics, Vol.33. No.3. August, hal.375-400.

Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), Pedoman Umun Good Corporate Governance

rd
Monks, Robert A.G dan Minow, N. Corporate Governance 3 edition. (2003). Blackwell Publishing.

Mulford, C.W. dan Eugene E. Comiskey. (2002). The Financial Numbers Game. Canada : John Willey & Sons,
Inc.

Nasution dan Setiawan, (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri
Perbankan Indonesia. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi X.

Nur’aini, Mufida.(2012). “Studi Perbandingan Model Revenue dan Model Accrual Dalam Mendeteksi
Manajemen Laba (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun
2006-2010)”. Semarang:
Universitas Diponegoro, 2012.

Prasetyo, Arief. (2009). Corporate Governance, Kebijakan Dividen, dan Nilai Perusahaan: Studi Empiris Pada
Perusahaan Non Keuangan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2007. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Santoso, Singgih. (2013). Menguasai SPSS 21 di Era Informasi. Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.

Schipper, K. (1989). Earnings Management. Accounting Horizons 3, 91-106.

Schmidt, Reinhard H., dan Tyrell, Marcel. (2004). Information Theory and the role of intermediaries in
corporate Governance, Johann Wolfgang GoetheUniversitat Frankfut Am main warking Paper series,
No. 142 Oktober.

Subramanyam, K., (1996). “The Pricing of Discretionary Accruals”, Journal of


Accounting and Economics 22, Augustus-December, pp. 249-281

Syakhroza, akhmad. (2005). “Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem
Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN”. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Depok.

Sekaran, Uma dan Roger Bougie. (2011). Research Methods for Business a Skill Building Approach. 5th edition.
UK: John Wiley & Sons Ltd.

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 29


Judul singkat maksimal 8 kata

Siregar, Sylvia Veronica dan Siddharta Utama. (2005). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan,
dan Praktik Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Simposium
Nasional Akuntansi VIII, Solo.

Stubben, Stephen R. (2010). Discretionary Revenues as a Measure of Earnings Management, American


Accounting Association: The University of North Carolina at Chapel Hill.

Organization for Economic Coperation and Development (OECD). 2004. The OECD Principles of Corporate
Governance. (http://www.oecd.org),

Roychowdhury, S. (2006). “Earnings Management through Struktur kepemilikan Manipulation.” Journal of


Accounting and Economics. 42: 335-370.

Tatang Ari Gumanti. (2001). Earnings Management dalam penawaran perdana dari BEJ. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. 4(2), 165-183.

Teoh, S.H., Welch, I., Wong, T.J., (1998). Earnings management and the longrun market performance of initial
public offerings. Journal of Finance 53, 1935-1974.

Teoh, S.H., Welch, I., Wong, T.J., (1998). Earnings management and the underperformance of seasoned equity
offerings. Journal of Financial Economics 50, 63-99.

Ujiyantho, Arif dan Bambang Agus Pramuka. (2007). “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba
dan Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur)”. Simposium Nasional
Akuntansi X.

Veronica, Sylvia dan Yanivi S Bachtiar. (2004). Good Corporate Governance Information Asymetry and
Earnings Management. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar
tanggal 2 -3 Desember.

Warsono Sony, Amalia dan Rahajeng, (2009). Corporate Governance Concept and Model. Center for Good
Corporate Governance, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta.

Watts, R, L., and Zimmerman, J, L. (1986). Positive Accounting Theory. New York, Prentice Hall.

Yermack, D., (1996). Higher Market Valuation of Companies With A Small Board of Directors. Journal of
Financial Economics 40, 185-211.

Zarkasyi, Moh. Wahyudin. (2008). Good Corporate Governance: pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan,
dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta.

Zmijewsky, M. and Hagerman R. 1981. “An Income Strategy Approach to The Positive Theory of Accounting
Standard Setting/Choice”. Journal of Accounting

Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 30

Anda mungkin juga menyukai