CG-6781 - Camerafullpaper
CG-6781 - Camerafullpaper
Abstract: The desire to improve the utility of enterprise management can be reflected in the
behavior of utilizing existing opportunities. The existing regulatory loop will be the target of
opportunistic management behavior especially those in the condition of companies that are
pressed for financial difficulties. Implementation of good corporate governance is expected to
suppress one of the opportunistic behavior in the form of earnings management it still gives
the opportunity to do trade off through the action in different ways. This study aims to examine
the impact of Good Corporate Governance implementation on the trade-off between real
activity management behavior and discretionary revenue in companies experiencing financial
distress.
The samples tested in this study were 248 observations on manufacturing companies listed on
the Indonesian stock exchange period 2013 to 2015. The data were analyzed with moderated
regression analysis and conducted a comparison to see the trade-off between opportunistic
behavior through real activity management and through Discretionary revenue.
The results of the analysis show that Corporate governance is not proven to affect earnings
management through discretionary revenue. However, GCG is proven to reduce earnings
management through real activities. Meanwhile, Financial distress is not proven to negatively
affect earnings management through discretionary revenue but significant through real profit
management. The moderate variables between GCG and financial distress have no significant
effect on earnings management through discretionary revenue. However, in the real-time GCG
activity model it can reduce the negative impact of financial distress on earnings management.
1. Latar Belakang
Laba merupakan salah satu informasi akuntansi yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan
publik terutama investor sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi (Scott,
2015). Hal ini sejalan dengan pernyataan Hendriksen (1991) yang menekankan bahwa laba sebagai
informasi penting yang digunakan oleh investor, kreditor, dan pihak lainnya untuk membantu
mengevaluasi daya laba (earnings power), meramal laba di masa depan, menaksir risiko berinvestasi,
Posisi laba sebagai informasi yang sedemikian penting ini kemudian seringkali menjadi target
yang mementingkan kepentingan sendiri (opportunistic) tersebut dilakukan dengan cara memilih
kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba dapat diatur, dinaikkan atau diturunkan sesuai
keinginannya, perilaku tersebut dikenal dengan istilah manajemen laba. Manajemen laba merupakan
tindakan manajemen dalam proses penyusunan pelaporan keuangan sehingga dapat menaikkan atau
Peluang bagi manajer untuk melakukan manajemen laba timbul karena kelemahan inheren
peraturan akuntansi sendiri. Manejer melakukan manajemen laba dengan menggunakan variabel
artifisial melalui pemilihan metode akuntansi yang diizinkan atau dengan menggunakan variabel rill,
yaitu dengan melakukan manipulasi pendapatan dan biaya serta aktivitas perusahaan yang tidak normal
dilakukan (Roychowdury, 2006). Parulian (2004) dan Alwie (2005) menyatakan bahwa perilaku
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat diminimalisasi dengan adanya good corporate
governance (GCG).
Penerapan corporate governance yang baik diharapkan akan meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas perusahaan sehingga perusahaan akan mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan
tindakan sosial dan lingkungan yang telah dilakukannya. Istilah corporate governance atau tata kelola
perusahaan bukanlah sebuah istilah baru didalam dunia bisnis. Corporate governance menjadi populer
karena diyakini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian dan bisnis global. Perusahaan yang
menerapkan prinsip corporate governance akan lebih bernilai tambah (value added) dibandingkan
perusahaan yang tidak menerapkannya. Corporate governance berkaitan dengan proses dan struktur
yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis serta urusanurusan perusahaan, dalam rangka
meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Tujuan utama dari penerapan GCG ini
adalah untuk meningkatkan nilai nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
struktur kepemilikan yang meliputi karakteristik dewan komisaris dan dewan direksi dan karakteristik
komite audit terhadap real earnings management. Bukti yang konsisten dengan manajer memanipulasi
aktivitas riil (real activity) untuk menghindari pelaporan kerugian tahunan: diskon harga untuk
meningkatkan penjualan sementara, overproduksi melaporkan biaya yang lebih rendah dari harga pokok
penjualan, dan pengurangan pengeluaran diskresioner untuk meningkatkan melaporkan margin antara
perusahaan yang melaporkan laba tahunan kecil. Analisis cross-sectional mengungkapkan bahwa
kegiatan ini kurang lazim di hadapan investor canggih, menunjukkan bahwa kegiatan tidak
berkontribusi terhadap nilai jangka panjang. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat manipulasi
aktivitas riil (real activity) meliputi keanggotaan industri, stok persediaan dan piutang, dan akhirnya,
insentif untuk memenuhi nol penghasilan, termasuk keberadaan utang dan pertumbuhan peluang. Ada
juga beberapa, meskipun kurang kuat, bukti manipulasi nyata kegiatan untuk memenuhi perkiraan
Penelitian yang dilakukan oleh (Gul et al., 2005) menyatakan bahwa salah satu indikator yang dapat
medeteksi manajemen laba adalah kualitas audit karena menunjukkan bagaimana kompetensi dan
independensi auditor dalam mendeteksi dan melaporkan adanya tindakan manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer. Indikator kualitas audit lainnya yang dapat digunakan untuk mendeteksi
manajemen laba adalah independensi auditor, yang diproksikan dari kecenderungan auditor yang
bersedia melaporkan dan memberi keakuratan pelaporan opini audit going concern pada perusahaan
yang mengalami financial distress, maka auditor tersebut memiliki sikap independensi yang tinggi.
Selain itu, auditor spesialisasi industri juga bisa membantu dalam mendeteksi manajemen laba karena
akan memberikan kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan auditor lainnya. Oleh karena itu,
kualitas audit sangat mempengaruhi kesempatan manajemen dalam melakukan manajemen laba. Dalam
penelitian ini kualitas audit digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi manajemen laba dari
Dari sisi internal perusahaan, kondisi kesulitan keuangan (financial distress) diprediksi berdampak
kuat terhadap insentif manajemen untuk memanipulasi laba guna menutupi kondisi yang sebenarnya.
Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi kesulitan keuangan dapat merupakan gejala awal munculnya
kemungkinan perusahaan akan mengalami kebangkrutan. Menurut Rayenda (2007), financial distress
terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan sehingga
menyebabkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang
berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan
penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas
secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Kondisi tersebut mengindikasikan suatu perusahaan
sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya memicu manajer untuk
mengelola labanya.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran GCG sebagai factor kondisi yang mempengaruhi
kondisi kesulitan keuangan perusahaan terhadap perilaku manajemen laba yang sifatnya oportunistik.
Pengukuran manajemen laba dilakukan dengan menggunakan dua teknik estimasi yaitu aktifitas riil dan
discretionary revenue supaya dapat menangkap perilaku manajemen laba dengan lebih baik. Setting
penelitian akan dilakukan di perusahaan manufaktur yang terdaftar di Indonesia. Pemilihan perusahaan
manufaktur karena penelitian ini akan menguji manajemen laba dengan model estimasi aktifitas riil
yang ,memerlukan data persediaan dan biaya produksi. Kebaruan dan kontroibusi yang akan diberikan
dari penelitian ini adalah dalam penggunaan model estimasi untuk pengukuran manajemen laba.
Dengan menggunakan model discretionary revenue dan real earnings management diharapkan dapat
memberikan analisis yang lebih baik tentang praktik manajemen laba yang bersifat oportunistik
dibandingkan dengan model pengukuran lain yang sudah banyak digunakan misalnya model
Penelitian mengenai earnings management sebelumnya hanya terbatas pada pengukuran melalui
akrual. Kelemahan dari pengukuran akrual adalah tidak bisa diobservasi langsung dari laporan
keuangan, tetapi harus diestimasi melalui beberapa model. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa
corporate governance tidak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya earnings management yang
diukur melalui akrual. Namun penelitian yang dilakukan oleh Visvanathan (2008) menunjukan bahwa
corporate governance dan struktur kepemilikan dapat mendeteksi terjadinya real earnings
management. Diharapkan hasil penelitian ini akan lebih memperjelas dampak penerapan GCG terhadap
manajemen laba. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan teori,
terutama kajian akuntansi keuangan mengenai corporate governance index kondisi financial distress
terhadap real earnings management dan manajemen laba melalui discretionary revenue
Agency theory berkaitan erat dengan penelitian akuntansi dan merupakan landasan untuk
corporate governance. Teori ini membahas mengenai konflik kepentingan antara agent dan principal.
Agent merupakan pihak internal perusahaan yang menjalankan kegiatan operasional bisnis
perusahaan. Agent dapat diartikan sebagai manajemen perusahaan atau manajer. Sedangkan principal
adalah pihak yang mempunyai modal atau pemegang saham dalam perusahaan. Masing-masing pihak
yaitu agent dan principal mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap perusahaan. Sebagai agent,
manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal),
namun disisi lain manajer mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejateraan mereka (Jensen dan
Meckling, 1976).
Agency theory digunakan untuk memprediksi adanya konflik kepentingan di antara individu-
individu yang rasional (Scott, 2015). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency theory
sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih principal menggunakan pihak lain (agent) untuk
pengambilan keputusan kepada agent. Kontrak tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan
Conditional revenue model diperkenalkan oleh Stubben (2010) atas dasar ketidakpuasan terhadap
model akrual yang umum digunakan saat ini. Conditional revenue model ini, menitikberatkan pada
pendapatan yang memiliki hubungan secara langsung dengan piutang. Dechow and Schrand (2004)
dalam Stubben (2010), menemukan bahwa lebih dari 70 persen kasus SEC Accounting and Auditing
Enforcement Release melibatkan salah saji pendapatan. Model conditional revenue dari Stubben (2010)
ini menggunakan piutang akrual daripada akrual agregat sebagai fungsi dari perubahan pendapatan.
Sebagai komponen akrual utama, piutang memiliki hubungan empiris yang kuat dan hubungan
Hal ini juga berhubungan dengan kebijakan manajemen yang dapat menentukan atau mengambil
keputusan dalam pemberian kredit. Ketika pendapatan mengalami kenaikan maka dapat disertai dengan
kenaikan piutang. Conditional revenue model didasarkan pada discretionary revenue yang merupakan
perbedaan antara perubahan aktual pada piutang dan perubahan prediksi pada piutang berdasarkan pada
model. Piutang yang tidak normal, tinggi atau rendah, mengindikasikan adanya manajemen pendapatan
(Stubben, 2010).
revenue recognition) adalah bentuk paling umum dari manajemen pendapatan. Dengan adanya
pengakuan pendapatan secara prematur yang dilakukan oleh perusahaan, akan berdampak pada
pendapatan itu sendiri dan piutang. Dengan mengakui dan mencatat pendapatan periode yang akan
datang atau belum terealisasi mengakibatkan pendapatan periode berjalan lebih besar daripada
pendapatan sesungguhnya. Akibatnya, seolah-olah kinerja perusahaan lebih baik daripada kinerja
Dalam penelitian ini, praktik manajemen laba dideteksi melalui conditional revenue model yang
dikembangkan oleh Stubben (2010) dan melalui real activity yang dikembangkan oleh Roychowdhury
(2006).
Berbagai penelitian telah dilakukan utnuk menguji dampak penerapan dan mekanisme GCG
terhadap perilaku manajemen laba. Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara proporsi dewan komisaris independen dengan earnings management.
Sejalan dengan itu Setiawan dan Nasution (2007) yang meneliti pengaruh corporate governance
terhadap manajemen laba di industri perbankan Indonesia menemukan adanya hubungan yang positif
Menurut Setiawan dan Nasution (2007) hal ini menunjukkan bahwa komisaris independen telah
membatasi manajemen laba di perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena dengan makin banyak
anggota komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan dewan ini makin berkualitas
dengan makin banyaknya pihak independen dalam perusahaan yang menuntut adanya transparansi
Namun Beasley (1996) dan Dechow, Sloan dan Sweeney (1996) menemukan hubungan yang negatif
antara board independence dengan kecurangan laporan keuangan. Klein (2000) menemukan hubungan
yang negatif antara board independence dengan abnormal accruals. Veronica dan Utama (2005) dan
Boediono (2005) yang menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti
berpengaruh terhadap tindak manajemen laba yang dilakukan di perusahaan di Indonesia. Penelitian
Veronica dan Bachtiar (2004) juga menyatakan hal yang sama, yaitu persentase dewan komisaris
Yermarck (1996) serta Lorder dan Preyer (2002) menyatakan bahwa board size berhubungan negatif
dengan kinerja dan nilai perusahaan. Mereka berpendapat bahwa semakin besar board size maka
efektifitas perusahaan semakin menurun jika dibandingkan dengan perusahaan lain. Beiner et al. (2003)
mengungkapkan bahwa jika board size terlalu besar, maka agency problem akan cenderung meningkat
yang menyebabkan dewan perusahaan hanya menjadi simbol yang tidak dapat menjalankan fungsi
kontrol dan monitoring dengan baik. Senada dengan itu Ujiyanto dan Pramuka (2007) menemukan
jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Midiastuty dan
Machfoedz (2003) yang menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
Darmawati (2003) juga meneliti mengenai corporate governance dan manajemen laba. Hasilnya
menunjukkan bahwa komposisi dewan direksi berhubungan negatif dengan manajemen laba. Beasley
(2006) meneliti mengenai kecurangan laporan keuangan, hasilnya menyatakan bahwa perusahaan yang
tidak curang memiliki dewan direksi yang persentase anggota luarnya lebih besar dibandingkan dengan
perusahaan yang curang. Sementara itu Visvanathan (2008) menemukan hubungan yang positif antara
proporsi komite audit dengan earnings management, karena proporsi komite audit dapat mengurangi
terjadinya earnings management. Setiawan dan Nasution (2007) bahwa keberadaan komite audit
berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini berarti komite audit yang ada di perusahaan sebagai
salah satu mekanisme corporate governance mampu mengurangi tindak manipulasi laba oleh
manajemen. Namun hasil ini berlawanan dengan penelitian Veronica dan Utama (2005) yang
melaporkan bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan.
Rahman dan Ali (2006) meneliti mengenai board, audit committee, culture dan earnings management
pada perusahaan malaysia. Hasilnya menemukan bahwa komite audit berhubungan negatif dengan
earnings management.
Visvanathan (2008) meneliti mengenai pengaruh variabel corporate governance terhadap earnings
management pada 6759 perusahaan selama 7 tahun yaitu dari tahun 1996 sampai dengan 2002. Model
real earnings management yang diuji dalam penelitian ini meliputi abnormal cash flows, abnormal
production costs dan abnormal discretionary expense. Variabel corporate governance yang diteliti
dalam penelitian ini adalah board characteristics dan audit committee characteristic. Board
characteristics terdiri dari board size, board independence, dan CEO duality. Sedangkan audit
committee characteristic diamati dari audit committee size, audit committee independence dan audit
committee meetings.
Audit committee independence berpengaruh signifikan untuk semua model manajemen laba. Audit
committee size hasilnya konsisten dengan board size dan mengindikasikan bahwa jumlah board atau
komite audit tidak berhubungan dengan terjadinya earnings management. Audit committee meetings
tidak signifikan untuk abnormal cash flows dan abnormal production costs. Ini mengindikasikan bahwa
frekuensi pertemuan komite audit tidak mempengaruhi terjadinya earnings management. Visvanathan
(2008) menyatakan ada beberapa alasan kenapa variabel corporate governance tidak berasosiasi dengan
real earnings management, salah satunya adalah karena real earnings management tidak berinteraksi
dengan auditor, analis dan stakeholders, serta board bukan merupakan isu utama dalam terjadinya
earnings management.
Financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi. Apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan berdampak besar pada
perusahaan-perusahaan seperti hilangnya kepercayaan dari stakeholder, dan bahkan perusahaan akan
mengalami kebangkutan (Platt dalam Luciana (2004). Menurut Rayenda (2007), financial distress
terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan sehingga
menyebabkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang
berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan
penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas
secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Kondisi tersebut mengindikasikan suatu perusahaan
sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya jika perusahaan tidak
mampu keluar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan tersebut akan mengalami kepailitan.
Pada umumnya sinyal terjadinya financial distress terlihat dari pelanggaran perusahaan atau perjanjian
utang dengan pihak kreditor serta pengurangan atau penghapusan dalam membayar dividen. Faktor
utama untuk mengidentifikasi ini yaitu melalui kemampuan perusahaan dalam memenuhi utang obligasi
yang sedang beredar (Elloumi dan Gueyie, 2001). Ketika perusahaan mengalami delisted akibat laba
bersih dan nilai buku ekuitas negatif berturut-turut serta perusahaan tersebut sudah di merger juga
sebagai salahsatu indikasi perusahaan mengalami financial distress (Hanifah, 2013). Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, maka rumusan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
2.3. Pengaruh GCG atas dampak financial distress terhadap manajemen laba
Corporate governance (CG) merupakan salah satu mekanisme yang ditujukan untuk meminimalkan
terjadinya konflik keagenan dengan memberikan keselarasan hubungan antar stakeholder guna
menentukan arah dan pengendalian kinerja perusahaan. Bagaimana pemilik perusahaan dapat
memonitor dan mengendalikan keputusan dan tindakan manajer puncak akan mempengaruhi
implementasi strategi perusahaan. CG yang efektif akan menyelaraskan kepentingan manajer dan
keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang saham minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta
perdagangan dan penyalahgunaan oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing).
perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas manajemen dilakukan melalui pengawasan
efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas, pengurus, pemegang saham, dan
auditor. Tanggung jawab perusahaan berkenaan dengan perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk
menaati hukum dan bertindak sesuai lingkungan di mana perusahaan berada (Tunggal, 2007).
Menurut teori keagenan, mekanisme GCG dan pengungkapan sukarela dapat digunakan untuk
melindungi investor dan menurunkan konflik kepentingan antara pemilik dan agen. Teori ini juga
menyatakan bahwa pengungkapan akan menurunkan biaya keagenan (Jensen dan Meckling, 1976).
Mekanisme GCG akan dapat menekan manajer untuk melakukan. Apabila perusahaan terkelola dengan
baik, maka kondisi ini akan dapat memperlemah dampak negative atas kondisi kesulitan keuangan
H3. Semakin tinggi tingkat GCG perusahaan, maka akan memperlemah dampak positif dari kondisi
3. Metode Penelitian
Manajemen laba melalui discretionary revenue diukur dengan menggunakan rumus estimasi dari
Stubben (2010:2) menyatakan bahwa discretionary revenue adalah perbedaan antara perubahan yang
sebenarnya dalam piutang dan perubahan diprediksi dalam piutang berdasarkan model. Abnormal
piutang yang tinggi atau rendah mengindikasikan adanya pengelolaan pendapatan. Untuk melakukan
benchmark terhadap model yang ada, Stubben (2010) membandingkan kemampuan dari model
pendapatan dan model akrual yang umum digunakan (Jones 1991; Dechow et al 1995; Dechow dan
Dichev 2002; Kothari et al 2005) untuk mendeteksi kombinasi pendapatan dan manajemen biaya.
Stuben (2010:3) menyebutkan bahwa penggunaan discretionary revenue sebagai proksi manajemen
laba yang dihitung dengan pendekatan penerimaan dapat mengukur manajemen laba lebih baik
discretionary revenue menghasilkan bias dan kesalahan yang lebih kecil dibandingkan model akrual,
dimana discretionary revenue dapat mendeteksi tidak hanya pendapatan manajemen, tetapi juga
Keterangan :
AR = end of fiscal year accounts receivable;
R = annual revenues;
SIZE = natural log of total assets at end of fiscal year;
AGE = natural log of age of firm (years);
GRR_P = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if negative);
GRR_N = industry-median-adjusted revenue growth (_ 0 if positive);
GRM = industry-median-adjusted gross margin at end of fiscal year;
_SQ = square of variable; and
ε = error.
= annual change;
Manajemen laba riil (Real activity) adalah perbedaan praktik operasi yang dilakukan dengan praktik-
praktik operasi normal, dimotivasi oleh keinginan manajemen untuk memberikan pemahaman yang
salah kepada stakeholders agar stakeholders percaya bahwa tujuan pelaporan keuangan tertentu telah
Dalam mendeteksi tindakan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil yang dilakukan oleh
perusahaan Roychowdhury (2006) menggunakan model Dechow et al. (1998) dan fokus pada tiga
metode manipulasi yang diproksi kedalam cash flow operation (CFO), discretionary expense (DISEXP)
Berdasarkan model Dechow et al. (1998), Roychowdhury (2006) menggambarkan arus kas kegiatan
operasi normal sebagai fungsi linear dari penjualan dan perubahan penjualan dalam suatu periode.
Sebelum masuk dalam pengujian hipotesis maka akan dilakukan regresi untuk mencari arus kas
kegiatan operasi normal. Model regresi untuk arus kas kegiatan operasi normal mereplikasi dari
Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah arus kas kegiatan operasi abnormal (AbnCFO),
maka untuk setiap observasi tahun arus kas kegiatan operasi abnormal adalah selisih dari nilai arus kas
kegiatan operasi aktual yang diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi
dengan arus kas kegiaran operasi normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang
Biaya diskresioner didefinisikan sebagai jumlah dari biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, dan
biaya penjualan, serta biaya administrasi dan umum. Untuk menghitung tingkat normal biaya
diskresioner peneliti menggunakan model regresi berikut yang mereplikasi dari penelitian
Keterangan:
DISEXPt : Biaya diskresioner pada tahun t
At-1 : Total aktiva pada tahun t-1
St : Penjualan pada tahun t
α0 : Konstanta
t : error term pada tahun t.
Biaya diskresioner abnormal (AbnCFO), adalah selisih dari biaya diskresioner aktual yang
diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya diskresioner
normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang diperoleh dari model persamaan di
atas.
Produksi di atas level normal operasi perusahaan (overproduction) dengan tujuan untuk melaporkan
harga pokok penjualan (COGS) yang lebih rendah merupakan salah satu cara yang dilakukan
manajemen untuk memanipulasi laba melalui manipulasi aktivitas nyata. Biaya produksi adalah jumlah
dari harga pokok penjualan (COGS) dan perubahan dalam persediaan (ΔINV) sepanjang tahun. Peneliti
sebagaimana Roychowdhury (2006) menggunakan model estimasi untuk biaya produksi normal dengan
Keterangan:
PRODt : Biaya produksi pada tahun t (PRODt = COGSt + ΔINVt)
At-1 : Total aktiva pada tahun t-1
St : Penjualan pada tahun t
St : Penjualan pada tahun t dikurangi penjualan pada tahun t-1
St-1 : Perubahan penjualan pada tahun t-1
α0 : Konstanta
t : error term pada tahun t.
Setiap observasi tahun biaya produksi abnormal adalah selisih dari biaya produksi aktual yang
diskalakan dengan total aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya produksi normal
yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi yang diperoleh dari model persamaan di atas.
Sebagai proksi keseluruhan dari manajemen laba melalui aktivitas riil maka aliran kas operasi
abnormal (AbnCFO), biaya diskresioner abnormal (AbnDISEXP). dan biaya produksi abnormal
(AbnPROD) dijumlahkan untuk dapat menangkap efek keseluruhan dari manajemen laba melalui
aktivitas riil. Untuk menyamakan arahnya maka biaya arus kas abnormal dikali dengan minus satu (-1)
dan biaya diskresioner abnormal dikalikan dengan minus satu (-1) sebelum dijumlahkan, dengan
Variabel independen pertama dalam penelitian ini adalah Good Corporate Governance (GCG).
GCG merupakan suatu sistem, proses dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) demi tercapainya tujuan organisasi. Dalam
penetliian ini GCG diukur dengan index Corporate Governance Index yang diperoleh dari IICD
(Indonesian Institute for Corporate Directorship), yaitu sebuah lembaga independen di Indonesia yang
Financial Distress.
Financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi dimana suatu
distress, jika: 1) Beberapa tahun mengalami laba bersih (net income) negatif (Hofer 1980 dan Whitaker
1999 dalam Almilia, 2003), dan 2) Selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen
(Lau 1987). Variabel financial distress dalam penelitian ini menggunakan variable dummy dengan
panjang maupun jangka pendek. Leverage merupakan perbandingan antara utang dan aktiva yang
menunjukkan beberapa bagian aktiva yang digunakan untuk menjamin utang. Ukuran ini berhubungan
dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan utang. Perusahaan yang memiliki
kemungkinan lebih tinggi dalam melanggar perjanjian utang cenderung terlibat dalam praktik
manajemen laba untuk meningkatkan laba perusahaan (Healy dan Palepu; DeFond dan Jiambalvo;
LEV
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan.
Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar, perusahaan
menengah dan perusahaan kecil. Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan diukur dengan logaritma
natural dari besarnya total aset perusahaan karena nilai aset relatif lebih stabil daripada nilai pasar dan
penjualan. Logaritma total aset perusahaan dapat menunjukkan bahwa semakin besar ukuran atau aset
perusahaan berarti semakin besar juga angka logaritmanya (Cornett et al., 2008).
Scott (2014) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi earnings response
coefficient (ERC), adalah kesempatan bertumbuh. ERC digunakan untuk mengukur besarnya abnormal
return saham dalam merespon komponen kejutan dari laba yang dilaporkan perusahaan (Scott 2015).
Collins dan Kothari (1989) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kesempatan bertumbuh
yang lebih besar akan memiliki ERC yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar
kesempatan bertumbuh perusahaan maka semakin tinggi kesempatan perusahaan untuk mendapatkan
atau menambah laba yang akan diperoleh perusahaan di masa mendatang. Hal ini didukung oleh
penelitian Shroff (1995) yang mengatakan bahwa kesempatan bertumbuh memengaruhi kegigihan dan
kredibilitas laba. Variabel ini dihitung dari tingkat pertumbuhan penjualan (sales) sepanjang tahun
Dimana:
SALESGRW it : kesempatan bertumbuh perusahaan i pada tahun t
Penjualan t : penjualan pada hari ke t
Penjualan t-1 : penjualan pada hari ke t-1
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan go publik yang terdaftar pada Bursa Efek
Indonesia khususnya perusahaan manufaktur. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan non random,
1. Sampel telah terdaftar pada Bursa Efek Indonesia untuk periode laporan keuangan tahun 2013
sampai dengan 2015 dan masuk dalam pemeringkatan penerapan GCG oleh lembaga pemeringkat
2. Sampel perusahaan tidak meliputi perusahaan perbankan, kredit agensi, sekuritas, asuransi,
konstruksi, real eastate dan property, investasi dan perusahaan telekomunikasi, karena penyajian
ini memiliki laporan keuangan yang sangat terpengaruh oleh faktor regulasi.
3. Perusahaan yang dijadikan sampel harus mempunyai ekuitas positif, karena perusahaan dengan
nilai buku ekuitas negatif berarti insolvent, yang menyebabkan kondisi sampel tidak menjadi
homogen.
4. Perusahaan yang dijadikan sampel menyatakan laporan keuangannya dalam bentuk rupiah.
Sampel penelitian adalah perusahaan yang mengeluarkan laporan keuangan secara konsisten dan
Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode moderated regression analysis dengan 2
Model penelitian pertama ini didasari oleh penelitian Stubben (2010) yang mengembangkan
Discretionary Revenue Model atas dasar ketidakpuasan terhadap model akrual yang umum digunakan
saat ini. Terdapat dua formula dalam Discretionary Revenue Model yang digunakan sebagai
pengukuran manajemen laba. Pertama adalah revenue model, model ini menitikberatkan pada
pendapatan yang memiliki hubungan secara langsung dengan piutang. Kedua yaitu conditional revenue
model, model ini dikembangkan kembali dengan adanya penambahan ukuran perusahaan (size), umur
perusahaan (age), dan margin kotor (GRM) yang diduga dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen
laba akrual mengenai pemberian kredit yang berhubungan dengan piutang. Ukuran perusahaan (firm
size) merupakan proksi dari kekuatan finasial. Umur perusahaan (age) merupakan proksi untuk tahap
perusahaan dalam siklus bisnis. Sebagai proksi dari kinerja operasional dari perbandingan perusahaan
dengan perusahaan kompetitor, digunakan gross margin. Dalam penelitian ini, discretionary revenue
diukur menggunakan Conditional Revenue Model, dengan alasan model ini lebih cakupannya lebih luas
dari model revenue, sehingga diharapkan dapat mendeteksi praktik manajemen laba yang lebih akurat.
Keterangan :
DISREV = Manajemen Laba melalui discretionary revenue
INDXCG = Corporate Governance Index
DISTRESS = Kondisi Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
LEV = Leverage (Debt to Asset Ratio)
SIZE = Ukuran Perusahaan (Log Natural Total Asset)
GROWTH = Kesempatan Bertumbuh (Sales Growth)
= Error term
Model 2 (Manajemen Laba Riil)
Model penelitian kedua ini didasari oleh penelitian Roychowdhury (2006). Untuk mendeteksi
praktik manajemen laba riil atau manajemen laba melalui aktivitas riil dalam penelitian ini
menggunakan Abnormal Cash Flow Operation (AbnCFO), Abnormal Discretionary Expense, dan
Abnormal Production Cost. Nilai abnormal masing-masing variabel tersebut diperoleh dari selisih
aktivitas riil aktual dan aktivitas riil normal. formulasi model penelitian kedua ini sebagai berikut:
4. Hasil Penelitian
Diperoleh sebanyak 62 sampel perusahaan manufaktur, dengan data observasi sebanyak 248. Sampel
penelitian yang dipilih berasal dari satu industri dengan maksud untuk menghindari perbedaan
karakteristik perusahaan yang bergerak di industri manufaktur dengan perusahaan yang bergerak di
industri non-manufaktur sehingga terjadi keseragaman data. Selain itu, industri manufaktur dipilih
karena jumlah perusahaan dalam industri ini paling banyak dibandingkan dengan industri lainnya
Dari 62 perusahaan yang diteliti dengan data sebanyak 248 observasi periode 2013 – 2015, memiliki
nilai rata-rata sebesar 0.010191, dengan nilai maksimum 1.1155 dan nilai minimum sebesar .6282. Hal
ini mengindikasikan bahwa sebagian besar perusahaan yang diteliti melakukan manajemen laba melalui
discretionary revenue dengan menaikkan labanya karena tandanya positif akan tetapi dalam jumlah
yang kecil.
Sedangkan untuk manajemen laba melalui aktivitas riil (real activity) berdasarkan data pada Tabel
4.2 di atas, menunjukkan bahwa nilai rata-rata manajemen laba melalui aktivitas riil sebesar 0.21338,
nilai tertinggi sebesar 3,252 dan nilai terendah sebesar -7,244 dengan standar deviasi sebesar 0,9501.
Nilai rata-rata tersebut mengindikasikan bahwa nilai arus kas dari kegiatan operasi aktual, biaya
diskresioner aktual dan biaya produksi aktual cenderung lebih rendah dari arus kas dari kegiatan operasi
normal, biaya diskresioner normal, dan biaya produksi normal, sehingga menghasilkan rata-rata
manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil negatif. Apabila penurunan biaya diskresioner dan
biaya produksi ini merupakan salah satu tindakan manajer untuk melakukan manajemen laba, maka
motivasi manajer melakukan hal tersebut adalah untuk memperkecil jumlah biaya diskresioner yang
Variabel Corporate Governance Index merupakan hasil survei dari IICD. Skor yang dihasilkan
berupa persentase dengan nilai maksimal 100%. Setiap skor memiliki interpretasi tersendiri sesuai
dengan kriteria penilaian praktek GCG yang telah ditetapkan oleh IICD. Hasil statistik deskriptif untuk
variabel Corporatete Governance Index menunjukkan nilai rata-rata sebesar 70,15 atau sekitar 70,15%.
Sesuai dengan kriteria penilaian praktik Good Corporate Governanance (GCG) yang ditetapkan oleh
IICD, rata-rata perusahaan sampel berada dalam kategori fair, yang berarti bahwa perusahaan tersebut
hanya memenuhi persyaratan minimum terkait dengan penerapan GCG. Hal ini mengindikasikan bahwa
rata-rata perusahaan manufaktur di Indonesia belum menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap
praktik GCG. Nilai simpangan baku untuk variabel Corporatete Governance Index cukup bervariasi.
Nilai tertinggi sebesar 87,31% dicapai oleh PT. Astra International Tbk di tahun 2013 dan nilai terendah
diperoleh oleh PT. Budi Acid Jaya Tbk yaitu sebesar 60,27% di tahun 2013.
Kondisi kesulitan keuangan (financial distress), yang diukur dengan variabel dummy yaitu 0 dan 1.
Perusahaan yang termasuk kedalam kategori financial distress adalah perusahaan yang memiliki net
income negatif dalam 3 tahun, dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Hasil
statistik deskriptif variabel financial distress nilai rata-rata DISTRESS sebesar 39% perusahaan sampel
mengalami kesulitan keuangan, selebihnya sebesar 61% tidak mengalami distress. Nilai simpangan
menunjukkan bahwa 2,9% variasi yang terjadi pada variabel dependen (manajemen laba melalui
discretionary revenue) dijelaskan oleh variabel coporate governance, financial distress, dan interaksi
CG dan DISTRESS serta leverage, size dan growth. Dengan demikian, sebesar 97,1% variasi yang
terjadi pada manajemen laba melalui discretionary revenue dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
Berdasarkan hasil perhitungan uji F diketahui nilai Fhitung signifikansi sebesar 0,042. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai signifikansi model penelitian lebih kecil dari 0,05. Dengan kata lain, variabel-
variabel independen dalam model penelitian secara simultan berpengaruh signifikan terhadap
yang telah diajukan, maka dilakukan pengujian signifikansi secara parsial (uji t). Persamaan regresi
linier berganda menunjukkan nilai konstanta (a) sebesar 0,117. Hal ini menjelaskan bahwa seluruh
variabel independen dan variabel kontrol dianggap konstan, maka manajemen laba melalui
discretionary revenue sebesar 0,117. Data pada Tabel 4.12 di atas, menunjukkan bahwa nilai Adjusted
R2 untuk model penelitian kedua ini sebesar 0,077 atau 7,7%. Hasil ini menunjukkan bahwa 7,7%
variasi yang terjadi pada variabel manajemen laba riil dijelaskan oleh variabel coporate governance,
kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan asing, financial distress, kualitas audit
independensi auditor, leverage, size, dan growth. Dengan demikian, sisanya sebesar 98,3% variasi yang
terjadi pada manajemen laba riil dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian.
Hasil uji F dapat dilihat pada tabel hasil perhitungan uji F seperti tampak pada tabel di atas,
menunjukkan bahwa nilai Fhitung sebesar 4,424 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Angka
ini bermakna bahwa seluruh variable indepanden berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba riil.
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
4.3 Pembahasan
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa penerapan corporate governance
yang diukur dengan corporate governance index berpengaruh negatif terhadap manajamen laba. Hasil
pengujian Model Pertama, variabel corporate governance tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua, variabel corporate
governance memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba riil (real activity).
Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu corporate governance
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba terbukti dan teruji oleh data serta didukung teori pada
Secara teoritis, manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas
laporan keuangan. Schiper (1989) dalam Ferdawati (2008) mendefinisikan manajemen laba sebagai
suatu intervensi yang sengaja dilakukan untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi pihak tertentu.
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh manajemen dalam melakukan manajemen laba, antara lain
melalui manajemen laba akrual dan manajemen laba riil. Menurut Roychowdhury (2006), teknik
manajemen laba riil dapat dilakukan dengan cara memanipulasi penjualan, produksi secara berlebihan,
dan mengurangi pengeluaran diskresioner. Manajemen laba riil yang dilakukan oleh manajemen
memperlihatkan kinerja jangka pendek perusahaan yang baik namun secara potensial akan menurunkan
nilai perusahaan.
corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang mampu
menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks, 2003). Tjager et al., (2003)
dalam Petronila (2007) mendefinisikan mekanisme corporate governance sebagai suatu sistem, proses
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders), dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan
direksi demi tercapainya tujuan organisasi. Mekanisme corporate governance dimaksudkan untuk
strategi korporasi dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki
dengan segera. Penerapan good corporate governance yang baik dapat meningkatkan nilai perusahaan
karena mengurangi risiko perusahaan dari keputusan-keputusan pihak manajemen yang cenderung
mengutamakan kepentingan pribadi. Penerapan good corporate governance juga dapat meningkatkan
kepercayaan para investor (Newell dan Wlison, 2002). Meningkatnya kepercayaan investor tersebut
disebabkan karena penerapan GCG dianggap mampu memberikan perlindungan yang efektif terhadap
investor dalam memperoleh kembali investasinya dengan wajar (Tjager et al., 2003).
Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa kualitas dari corporate governance diharapkan
dapat memberikan kontribusi kepada keseluruhan proses penciptaan nilai perusahaan. Penerapan good
corporate governance yang baik dapat mengurangi risiko perusahaan dari keputusan-keputusan pihak
manajemen yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi. Selain itu, penerapan good corporate
governance juga dapat meningkatkan kepercayaan para investor (Newell dan Wlison, 2002).
Meningkatnya kepercayaan investor tersebut disebabkan karena penerapan GCG yang baik dianggap
mampu memberikan perlindungan yang efektif terhadap investor dalam memperoleh kembali
Pendapat di atas didukung oleh Keiso et al. (2007), yang menyatakan bahwa peluang manajemen
untuk melakukan manajemen laba bisa timbul karena terdapat situasi dimana manajer mempunyai
kesempatan untuk melakukan manajemen laba. Agar peluang manajemen untuk melakukan manajemen
laba dapat diminimalisir maka diperlukan good corporate governance yang mampu untuk melakukan
pengawasan dan mengendalikan perusahaan, sehingga dapat memenuhi tujuan dan sasaran yang dapat
menambah nilai perusahaan dan dapat bermanfaat untuk stakeholder dalam jangka panjang.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Cornett et al. (2006), yang menyatakan bahwa
mekanisme corporate governance berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang diukur dengan
diskresioner akrual. Murhadi (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa praktek CG memiliki
dampak negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Gulzar dan
Zongjun (2011) menunjukkan bahwa karakteristik dari mekanisme corporate governance memainkan
peran penting dalam mengurangi manajemen laba. Pelaksanaan tata kelola perusahaan membuktikan
dalam membatasi kecenderungan manajemen untuk melakukan manajemen laba dan benar-benar
mengarahkan penyajian laporan keuangan dengan kredibilitas tinggi (Bekiris dan Doukakis 2011).
Penelitian dari Chung dan Hsiang (2007) menunjukkan bahwa pelaksanaan corporate governance dapat
Hasil serupa dilakukan oleh Praditia (2010) menguji pengaruh mekanisme corporate governance
yang diproksi dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, dan
kualitas auditor terhadap manajemen laba dan nilai perusahaan. Hasil temuannya tidak ada pengaruh
Penelitian Amertha et. al (2014), menyatakan bahwa corporate governance yang diukur dengan
corporate governance index berpengaruh negatif terhadap manajemen. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi indeks corporate governance maka akan mengakibatkan penurunan
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa kondisi kesulitan keuangan
(financial distress) berpengaruh negatif terhadap manajamen laba. Financial distress dalam hal ini
diukur dengan dummy variable yaitu 0 dan 1. Nilai 1 diberikan kepada perusahaan sampel jika dalam
3 tahun memiliki net income negatif, dan lebih dari satu tahun tidak membayar dividen, sedangkan nilai
Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel financial distress tidak signifikan
berpengaruh terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,
financial distress berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas riil.
Dengan demikian, hasil pengujian di atas tidak mendukung hipotesis yang diajukan untuk manajemen
Temuan penlitian ini sejalan dengan pendapat Begley et al. (1997) dalam Brazel et al.,
(2009:1152), yang menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami financial distress (kesulian
keuangan) memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan kecurangan laporan keuangan (fraud),
Hasil penelitian Spathis (2002) membuktikan bahwa leverage secara signifikan berpengaruh
positif terhadap kecurangan laporan keuangan. Hal ini berarti perusahaan dengan tingkat leverage yang
tinggi, memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk melakukan kecurangan laporan keuangan.
Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, memiliki risiko pelanggaran perjanjian utang yang
mengakibatkan timbulnya suatu biaya seperti sanksi pembatasan atas pembayaran dividen atau
pembatasan penambahan utang dan serta menghambat kerja manajemen. Perusahaan yang memiliki
tingkat leverage yang tinggi akan mempunyai dorongan (incentives) yang lebih besar untuk mendorong
kinerja akuntansi dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian dalam kontrak utang maupun untuk
mendapatkan utang baru (Dechow et al., 2010:25). Pendapat Dechow et al., (2010) didukung oleh
DeAngelo et al., (1994); Defond dan Jiambalvo, (1991) dalam Skousen dan Wright, (2006:8) ketika
menghadapi pelanggaran perjanjian utang, manajer akan lebih menggunakan kebijakan akrual agar
dapat melaporkan laba sekarang lebih tinggi dibandingkan laba di masa depan. Sehingga manajer dapat
6. Pengaruh Moderasi GCG atas Dampak Financial Distress Terhadap Manajemen Laba
Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel interaksi antara GCG dan financial distress
tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian
Model Kedua interaksi ini berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui
aktivitas riil. Meskipun kedua pengujian memiliki hasil yang berbeda, namun secara empiris instrumen
pendektesian praktik manajemen laba melalui aktivitas riil dapat membuktikan adanya praktik
manajemen laba yang dilakukan perusahaan sampel. Dengan demikian, hasil pengujian di atas
Temuan penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Francis at al.
(1999), yang menyatakan bahwa perusahaan dengan akrual tinggi memiliki peluang lebih luas untuk
melakukan manajemen laba yang oportunistik. Dalam model aktifitas riil GCG dapat menurunkan
Penelitian ini juga menguji variable control Leverage, size dan growth. Hasilnya Berdasarkan
hasil pengujian Model Pertama, variabel leverage berpengaruh negative dan signifikan terhadap
manajemen laba melalui revenue discretionary. Pada pengujian Model Kedua, leverage berpengaruh
positif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas riil. Dengan demikian, hasil pengujian
ini menemukan bahwa leverage dapat berpengaruh positif dan negative signifikan terhadap manajemen
laba.
Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, variabel ukuran perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,
ukuran perusahaan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui aktivitas
riil. Dengan demikian, hasil pengujian ini menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif
Berdasarkan hasil pengujian Model Pertama, pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif dan
tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui discretionary revenue. Pada pengujian Model Kedua,
pertumbuhan penjualan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba melalui
aktivitas riil. Dengan demikian, hasil pengujian ini menemukan bahwa pertumbuhan penjualan (growth)
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba baik melalui discretionary revenue maupun terhadap
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, simpulan yang dapat diambil
1. Corporate governance yang diukur menggunakan corporate governance index tidak terbukti
berpengaruh terhadap manajemen laba melalui descretionary revenue. Akan tetapi GCG terbukti
mampu menurunkan manajemen laba melalui aktifitas riil. Hal ini mengindiksikan bahwa
corporate governance index yang dikeluarkan oleh IICD mampu meredam manajemen
2. Financial distress tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap manajamen laba melalui
discretionary revenue akan tetapi siignifikan melalui manajemen laba riil. Hal memberi indikasi
bahwa perusahaan yang mengalami financial distress (kesulian keuangan) memiliki insentif yang
lebih besar untuk melakukan kecurangan laporan keuangan (fraud)melalui aktifitas riil,
3. Variabel moderasi antara GCG dan financial distress tidak berpengaruh signifikan terhadap
manajemen laba melalui discretionary revenue. Akan tetapi dalam model aktifitas riil GCG dapat
menurunkan dampak negative dari kondisi financial distress terhadap manajemen laba.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu:
1. Perusahaan yang dipilih menjadi populasi dan sampel hanya dari perusahaan manufaktur yang
ditentukan oleh peneliti dan tidak dapat dijadikan acuan untuk generalisasi pada seluruh
2. Pengukuran variabel independen terutama variabel financial distress hanya menggunakan dummy
variable, sehingga ada kecenderungan hasilnya kurang akurat atau tidak sesuai dengan kondisi
sebenarnya.
5.3 Saran
Prespektif earnings management yang digunakan dalam penelitian ini adalah prespektif oportunistis.
Untuk penelitian selanjutnya earnings management perlu ditinjau dari prespektif yang lain, misalnya
prespektif efisiensi yang menyatakan bahwa manajer melakukan pilihan atas kebijakan akuntansi untuk
memberikan informasi yang lebih baik tentang cash flow yang akan datang.
Penelitian ini hanya menggunakan perusahaan manufaktur sebagai sampel. Penelitian selanjutnya
diharapkan memperluas cakupan sampel perusahaan dari berbagai industri seperti industri perbankan,
sekuritas, properti dan real estate, infrastruktur, transportasi dan perdagangan sehingga hasil peneltiian
dapat digeeneralisasi. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat memasukkan variabel return on
asset, EM Score dan Agregat EM Score, deferred tax expense dan current tax expense (beban pajak
Daftar Pustaka
Ariani, Dian. (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba Pada Perusahaan yang
Bergerak di Sektor Keuangan di Bursa Efek Indonesia. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
Bayu, Bimo. (2012). Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur
di Bursa Efek Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro.
Beasley, Mark S. (1996). An Empirical Analysis of the Relation Between the Board of Director Composition and
Financial Statement Fraud. The
Accounting Review, Vol.17. No.4, Oktober, hal.443-465
Beiner, S., Drobetz, W., et al, 2003, Is Board Size an Independent Corporate Governance Mechanism,
www.ssrn.com
Cadbury, Sir A. (1992). Report of The Commitee on The Financial Aspect of Corporate Governance, The
Comitte and Gee, London.
Christie, A., Zimmerman, J., (1994). Efficient and opportunistic choices of accounting procedures. The
Accounting Review 69, 539–567.
Carina. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Laba, Studi Empiris Pada Berbagai
Industri Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jakarta: Universitas Bina
Nusantara,.
Daniri, Mas. (2005). Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya Dalam Konsep Indonesia. Ray
Indonesia, Jakarta
Darmawati, D. (2003), Corporate Governance dan Manajemen Laba: Suatu Studi Empiris, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi, Vol. 5, No. 1, April, Hal. 47-68.
Davis, J. H., Schoorman, F. D. & Donaldson, L. (1997). Towards A Stewardship Theory of Management,
Academy of Management Review, 22(1), 20-47
Dechow, P.M., Sloan, R.G., Sweeney, A.P. (1995). “Detecting Earnings Management”. Accounting Review,
Vol 70, No. 2, 193-225.
Denis, D. and J. McConnel. (2003). International Corporate Governance.” Working Paper, Purdue University.
Eisenhardt, Kathleen. M. (1989). Agency Theory: An Assesment and Review. Academy of Management Review,
14, 57-74,
Fields, T., Lys, T., Vincent, L., (2001). Empirical research on accounting choice. Journal of Accounting and
Economics 31, 255–307.
Ghozali, Imam. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Gunarsih, Tri. (2003). “Struktur Kepemilikan Sebagai Salah Satu Mekasnisme Corporate Governance”,
Kompak Nnomor 8
Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. (1999). A Review Of The Earnings Management Literature And Its
Implications For Standard Setting. Accounting Horizons 13, 365-383.
Jensen, Michael C., and Meckling, William H. (1976) “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs
and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics, Vol. 3, No. 4, October. 305-360.
Kaihatu, Thomas S. (2006). “Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia”. Jurnal Manajemen
dan Kewirausahaan. Volume 8 Nomor 1, 2006.
Klein, April. (2002). “Audit Committee, Board Of Director Characteristics and Earnings Management”. Journal
of Accounting and Economics, Vol.33. No.3. August, hal.375-400.
Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), Pedoman Umun Good Corporate Governance
rd
Monks, Robert A.G dan Minow, N. Corporate Governance 3 edition. (2003). Blackwell Publishing.
Mulford, C.W. dan Eugene E. Comiskey. (2002). The Financial Numbers Game. Canada : John Willey & Sons,
Inc.
Nasution dan Setiawan, (2007). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri
Perbankan Indonesia. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi X.
Nur’aini, Mufida.(2012). “Studi Perbandingan Model Revenue dan Model Accrual Dalam Mendeteksi
Manajemen Laba (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun
2006-2010)”. Semarang:
Universitas Diponegoro, 2012.
Prasetyo, Arief. (2009). Corporate Governance, Kebijakan Dividen, dan Nilai Perusahaan: Studi Empiris Pada
Perusahaan Non Keuangan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2007. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Santoso, Singgih. (2013). Menguasai SPSS 21 di Era Informasi. Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.
Schmidt, Reinhard H., dan Tyrell, Marcel. (2004). Information Theory and the role of intermediaries in
corporate Governance, Johann Wolfgang GoetheUniversitat Frankfut Am main warking Paper series,
No. 142 Oktober.
Syakhroza, akhmad. (2005). “Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan Sistem
Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN”. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Depok.
Sekaran, Uma dan Roger Bougie. (2011). Research Methods for Business a Skill Building Approach. 5th edition.
UK: John Wiley & Sons Ltd.
Siregar, Sylvia Veronica dan Siddharta Utama. (2005). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan,
dan Praktik Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Simposium
Nasional Akuntansi VIII, Solo.
Organization for Economic Coperation and Development (OECD). 2004. The OECD Principles of Corporate
Governance. (http://www.oecd.org),
Tatang Ari Gumanti. (2001). Earnings Management dalam penawaran perdana dari BEJ. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. 4(2), 165-183.
Teoh, S.H., Welch, I., Wong, T.J., (1998). Earnings management and the longrun market performance of initial
public offerings. Journal of Finance 53, 1935-1974.
Teoh, S.H., Welch, I., Wong, T.J., (1998). Earnings management and the underperformance of seasoned equity
offerings. Journal of Financial Economics 50, 63-99.
Ujiyantho, Arif dan Bambang Agus Pramuka. (2007). “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba
dan Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur)”. Simposium Nasional
Akuntansi X.
Veronica, Sylvia dan Yanivi S Bachtiar. (2004). Good Corporate Governance Information Asymetry and
Earnings Management. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar
tanggal 2 -3 Desember.
Warsono Sony, Amalia dan Rahajeng, (2009). Corporate Governance Concept and Model. Center for Good
Corporate Governance, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta.
Watts, R, L., and Zimmerman, J, L. (1986). Positive Accounting Theory. New York, Prentice Hall.
Yermack, D., (1996). Higher Market Valuation of Companies With A Small Board of Directors. Journal of
Financial Economics 40, 185-211.
Zarkasyi, Moh. Wahyudin. (2008). Good Corporate Governance: pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan,
dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta.
Zmijewsky, M. and Hagerman R. 1981. “An Income Strategy Approach to The Positive Theory of Accounting
Standard Setting/Choice”. Journal of Accounting