Abstract: This research aim to identify the factors cause the delay in the establishment of
Village Budget in Banjarnegara District for Fiscal Year 2015. We use qualitative method and
the principal-agent model developed by Waterman and Meier (1998) to investigate the
phenomena. Focus group discussions and interviews are used to collect the data. We use
data reduction, verification and triangulation to generalize the reliability and validity data.
This research find some factors cause the delays to establish village budget in Banjarnegara.
These factors partly due to the Planning Budget, human resources in the village, the
government's commitments, Motivation of Village Head and the society, Role of the Village’s
equipment, Work Culture, the Regulation, District and Village Planning Cycle and the
Companion Village.
I. Pendahuluan
Implementasi Undang Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa, mengisyaratkan bahwa pemerintah desa harus telah menyusun dan
menetapkan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja/ APB Desa Tahun
Anggaran 2015 maksimal per 31 Desember 2014. Kabupaten Banjarnegara mengalokasikan
Dana Desa (DD) yaitu dana transfer yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/APBN sebesar Rp. 74.810.054.000,- dan Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu dana
transfer bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD Kabupaten
Banjarnegara sebesar Rp.88.919.000.000,- sehingga total alokasi DD dan ADD untuk 266
Desa di Kabupaten Banjarnegara adalah sebesar Rp. 163.729.054.000,- ( Sumber: DPPKAD
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2015).
Kenaikan alokasi DD dan ADD yang besar untuk masing-masing desa, semestinya
akan memotivasi pemerintah desa untuk menyusun dan menetapkan APB Desa tepat waktu,
agar semua pogram yang direncanakan dapat dilaksanakan, namun dalam kenyataannya
hampir semua desa di Kabupaten Banjarnegara terlambat menetapkan APB Desa pada Tahun
Anggaran 2015. Menurut data dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD)
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2015, pada tahun anggaran 2015 dari 266 desa, hanya satu
(1) desa yang tepat waktu dalam menetapkan APB Desa.
Sesuai dengan PP 43 Tahun 2014, maksimal per 31 Desember 2014 setiap desa di
Kabupaten Banjarnegara harus telah menetapkan APB Desa untuk Tahun Anggaran 2015,
namun desa yang tepat waktu menetapkan hanya 1 yaitu Desa Purwodadi Kecamatan
Karangkobar, selebihnya 265 (dua ratus enam puluh lima) desa di Kabupaten Banjarnegara
terlambat menetapkan APB Desa. Dari data Kantor PMD Banjarnegara tersebut, terdapat 93
(sembilan puluh tiga) desa yang baru menetapkan APB Desa pada bulan Mei 2015, dan 63
(enam puluh tiga) Desa yang penetapannya setelah laporan semester 1 yaitu pada bulan Juli,
Agustus dan September 2015.
pada wawancara pra survey, diperoleh informasi sebagai berikut:
“Percuma Mas kami membuat tepat waktu, saya bisa saja membuat APB Desa per 31
Desember 2014, namun apa kemudian dana dari kabupaten akan tepat waktu juga?
Paling juga cairnya Juni, Juli ya sama saja…, mendingan saya buat asoan (santai)
saja, sambil nunggu desa yang lain, karena meski kadang diajukan lebih awal, namun
di kecamatan juga di pool (dikumpulkan) mas, untuk pengajuan pencairannya ke
kabupaten.”
(Sumber: Kades HI, wawancara 16 Januari 2016)
Berdasarkan latar belakang masalah dan hasil wawancara pada 16 Januari 2016, maka
fenomena yang akan digali dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
keterlambatan penetapan APB Desa di 265 desa di Kabupaten Banjarnegara setelah penetapan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh
pemerintah desa dan para pemangku kepentingan dalam mengantisipasi keterlambatan APB Desa
yang dapat terjadi pada penganganggaran tahun berikutnya.
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Pemerintah Desa
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sedangkan Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu
perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, terkait dengan pengelolaan
desa, terdapat beberapa peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai berikut:
a. Undang Undang/UU Nomor 6 Tahun 2014
UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
Little Much
Much
C A
Little
B D
indikator yang dipergunakan belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan
kurangnya koordinasi antara pemerintah desa dengan BPD, maupun antara BPD dengan
masyarakat. Antara BPD dengan masyarakat ternyata kurang dapat bekerja sama dengan
baik, ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipatif keseluruhan antar anggota dalam
pembahasan APBDes atau dalam rapat BPD. Mahfudz (2009) menemukan bahwa untuk
kelancaran pelaksanaan ADD diperlukan tenaga pendamping yang berperan sebagai agen
transfer of knowledge dalam memberikan bimbingan penyusunan rencana pembangunan
desa, meningkatkan realisasi/penyerapan ADD, penyusunan APBDes, penyusunan LPJ ADD,
monitoring dan supervisi penyaluran dan operasional ADD, maupun dalam konteks
peningkatan kapasitas desa secara umum.
Saling hubungan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini digambarkan pada
gambar 2 sebagai berikut:
sedikit banyak
Level informasi
banyak
C A
sedikit
B D
d) Pada Hubungan D, kepala desa memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan
dengan camat, SKPD kabupaten.
2. Kepala Desa bertindak sebagai Principal, untuk hubungan keagenan antara Kepala Desa
dengan Perangkat Desa (Sekretaris Desa, Kaur Desa), yang dideskripsikan dalam gambar
4 sebagai berikut:
Level informasi perangkat desa
Sedikit Banyak
Level informasi kades
banyak
G E
sedikit
F H
PENGUMPULAN DATA
(Awal Penelitian)
· Focus Group Discussion (Kades)
· Dokumentasi ( Foto & rekaman)
Triangulasi data
Dokumentasi ( Foto, dokumen & rekaman)
(Selama Penelitian)
· in depth interview (Kades)
· Dokumentasi ( Foto, dokumen &
rekaman)
triangulasi data yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, berbagai
waktu. Analisa kasus negatif, yaitu dengan mencari data yang berbeda atau bertentangan
dengan data yang ditemukan apabila tidak ada data yang berbeda maka data yang ditemukan
sudah dapat dipercaya. Menggunakan bahan referensi, yaitu adanya pendukung untuk
membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti berupa data hasil wawancara didukung
dengan rekaman wawancara. Member check dilakukan apabila data yang diperoleh, dilakukan
pengecekan kembali kepada pemberi data.
b. Uji Transferability
Pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penyusunan laporan dengan
memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis dan dapat dipercaya, sehingga pembaca
menjadi jelas akan hasil penelitian yang dilakukan.
c. Uji Dependability
Pada penelitian ini, uji ketergantungan dilakukan audit dengan peneliti lain terhadap
keseluruhan proses penelitian.
d. Uji Confirmability
Uji kepastian pada penelitian ini, dilakukan dengan menguji hasil penelitian dikaitkan
dengan proses yang dilakukan, uji dilakukan bersamaan dengan uji dependability .
Secara ringkas upaya mencapai validitas dan realibilitas data penelitian disajikan
dalam tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2 Validitas dan Realibilitas Data
KRITERIA TEKNIK PEMERIKSAAN
Kredibilitas 1) Perpanjangan pengamatan
(derajad Kepercayaan) 2) Ketekunan pengamatan
3) Triangulasi
4) Pengecekan sejawat
5) Kecukupan referensial
6) Kajian kasus negatif
7) Pengecekan anggota
Transferability (ketepatan) 8) Uraian rinci
Dependability (kebergantungan) 9) Audit ketergantungan
Konfirmability (kepastian) 10) Audit kepastian
(Sumber: Moleong, 2014:327)
3.8 Interpretasi/ Penafsiran Data
Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih
mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil
penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang
relevan dan infomasi akurat yang diperoleh dari lapangan (Moleong,2014:151). Tujuan dari
interpretasi data adalah deskripsi semata-mata, deskripsi analitik dan teori substantif.
C A
- regulasi - pagu indikatif
- komitmen
Bnyak
pemda
kabupaten
- SDM
- perencanaan
kabupaten
B D
- pendamping - komitmen
Sedikit
Pola hubungan A menggambarkan bahwa baik kepala desa dan SKPD kabupaten sama-
sama memiliki informasi yang sama banyaknya, yaitu anggaran, dimana kepala desa
memiliki infomasi mengenai sumber pendapatan asli desa, sedangkan SKPD kabupaten
memiliki informasi mengenai dana transfer yang akan di serahkan kepada pemerintah
desa, sebagai dasar penyusunan APB Desa.
d. Pola hubungan D
Pola hubungan D menggambarkan bahwa SKPD kabupaten memiliki informasi yang
sedikit dibandingkat kepala desa informasi tersebut adalah komitmen kepala desa, dan
budaya kerja pemerintah desa ,
G E
- peran lembaga - SDM
banyak
desa
- anggaran
F H
sedikit
- motivasi - perencanaan
desa
c. Pola Hubungan F
Pada pola hubungan F, baik kepala desa maupun perangkat desa memiliki informasi yang
terbatas berkaitan dengan motivasi.
d. Pola Hubungan H
Pada pola hubungan H, kepala desa memiliki informasi yang lebih kecil dibandingkan
dengan perangkat desa yaitu Perencanaan.
Dari hasil pengelompokkan penyebab keterlambatan penetapan APB Desa di
Kabupaten Banjarnegara tahun anggaran 2015, dengan menggunakan model Principal-Agent
Waterman dan Meier (1998), diperoleh 13 faktor penyebab keterlambatan penetapan APB
Desa di Kabupaten Banjarnegara tahun anggaran 2015.
Tabel 3. Identifikasi Faktor
NO KODE INFORMAN IDENTIFIKASI FAKTOR
(informan#teknik pengumpulan data,
nomor informan, nomor pertanyaan)
1 2 3
A Masalah internal desa (kades sebagai principal)
1 IR#DI.1.1, IR#DI.5.1, IR#DI.6.1, Perencanaan desa
IR#DI.6.7, IR#FGD1.8, IR#FGD2.2,
IR#DI.10.1, IR#DI.11.1
2 IR#DI.1.3, IR#DI.7.10, IR#DI.10.4 anggaran
3 IR#DI.1.5, IR#FGD1.4, IR#DI.4.1, SDM perangkat desa ,beban
IR#DI.6.2, IR#DI.7.1, IR#DI.8.1, pekerjaan tahun lalu
IR#FGD2.7, IR#DI.11.3 IR#DI.1.4, rangkap jabatan/ pekerjaan
IR#FGD1.3, IR#DI.7.8, IR#DI.8.2, perangkat desa
IR#DI.9.2, IR#FGD2.9, IR#DI.10.2,
IR#DI.11.4, IR# DI.1.2, IR#DI.9.1,
IR#FGD2.4
4 IR#DI.1.6, IR#DI.7.9, IR#DI.10.3, komitmen pemerintah desa,
IR#FGD1.7, IR#DI.6.5, IR#DI.7.4, koordinasi tingkat desa
IR#FGD2.8
5 IR#DI.3.5, IR#DI.4.3, IR#DI.6.6, motivasi
IR#DI.7.3, IR#DI.8.4, IR#DI.9.3,
IR#FGD2.3
6 IR#FGD1.6, IR#DI.3.2, IR#DI.8.5 peran lembaga desa
7 IR#DI.6.3, IR#DI.8.3, IR#DI.10.6 budaya kerja
B Masalah eksternal desa (Kades sebagai agent)
8 IR#DI.2.1, IR#DI.5.4, IR#FGD2.6, komitmen pemda, koordinasi
IR#DI.7.6, IR#DI.3.4, IR#DI.7.7, kecamatan, koordinasi SKPD
IR#DI.8.7, IR# DI.9.5, IR#DI.10.7, kabupaten, pelimpahan
IR#DI.11.6, IR#DI.5.3, IR#FGD1.9, kewenangan kabupaten kepada
IR#DI.5.2, IR# DI. 7.13, IR#DI.10.5 kecamatan, konsistensi pengawalan
9 IR#DI.2.3, IR#FGD1.2, IR#DI.4.2, Regulasi.
IR#DI.6.4, IR#DI.7.11, IR#DI.8.6,
IR#DI.9.4, IR#FGD2.5, IR#DI.11.1
Tiga belas faktor yang menjadi penyebab keterlambatan penetapan APB Desa adalah
sebagai berikut:
1. Perencanaan desa
Perencanaan desa menimbulkan keterlambatan penetapan karena pemerintah desa di
Kabupaten Banjarnegara tahun 2015 pada saat akan menyusun APB Desa, belum
menyusun dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah/RPJM Desa dan Rencana Kerja Pemerintah /RKP Desa, sesuai dengan
ketentuan dalam PP 43 Tahun 2014 sebelum desa menyusun APB Desa, pemerintah desa
wajib menyusun dokumen perencanaan tersebut, dengan ketiadaan dokumen
perencanaan tersebut, pemerintah desa harus menyusun dokumen RPJM Desa dan RKP
Desa, sehingga mengakibatkan waktu penyusunan dan penetapan APB Desa menjadi
terlambat.
2. Anggaran
Anggaran menjadi penyebab keterlambatan penetapan APB Desa yaitu biaya/ honor bagi
penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran desa tahun 2015, sebagian besar
desa belum mengganggarkan biaya tersebut. Dengan beban pekerjaan yang menumpuk
dan tidak adanya honor untuk menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran
menyebabkan sebagian perangkat desa enggan untuk menyelesaikan tepat waktu.
3. Sumber Daya Manusia/ SDM Perangkat Desa
SDM merupakan salah satu faktor penyebab keterlambatan penetapan APB Desa, karena
dari hasil wawancara menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kepala desa dan perangkat
desa sebagian besar adalah tamat SMP serta masih minimnya keterampilan kepala desa
dan perangkat desa dalam mengoperasikan komputer, menyebabkan proses penyusunan
APB Desa tahun anggaran 2015 terlambat.
4. Komitmen pemerintah desa
komunikasi dan koordinasi antara kepala desa selaku pengguna anggaran dengan
sekertaris desa selaku Pejabat Teknis Pengelolaan Keuangan Desa/ PTPKD dan
perangkat desa selaku Pejabat Teknis Pelaksana Kegiatan/PPTK program dan kegiatan
desa tidak selalu baik, sehingga menyebabkan dalam proses penyusunan dan penetapan
APB Desa menjadi terlambat ditetapkan.
5. Motivasi
Munculnya rasa takut dari sebagian kepala desa dan perangkat desa untuk mengelola
APB Desa tahun anggaran 2015 karena meningkatnya pagu DD dan ADD. Peningkatan
pagu DD dan ADD ini mengharuskan pemerintah desa melaksanakan berbagai ketentuan
administrasi yang menurut merekan sulit dilakukan karena minimnya SDM, sehingga
pemerintah desa cenderung berhati-hati dan menunggu untuk memperoleh kepastian atas
suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah di atasnya.
6. Peran lembaga desa
Belum optimalnya peran Badan Permusyawaratan Desa/BPD dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa/LPMD sebagai mitra membantu pemerintah desa dalam
proses penyusunan dan penetapan APB Desa, dimana hampir seluruh pekerjaan yang
mestinya dilaksanakan oleh BPD dan LPMD dikerjakan oleh kepala desa dan perangkat
desa, dengan menumpuknya pekerjaan tersebut rmenyebabkan APB Desa terlambat
ditetapkan.
7. Budaya Kerja
Kebiasaan dari kepala desa dan perangkat desa yang cenderung menunggu perintah,
tidak ingin di salahkan, dan takut kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan yang
ditentukan pemerintah kabupaten, mengakibatkan pemerintah desa memilih menetapkan
APB Desanya terlambat, daripada telah ditetapkan ternyata ada kekeliruan atau
kekurangan yang disebabkan adanya perubahan kebijakan dari pemerintahan diatasnya.
8. Komitmen pemerintah daerah
Koordinasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD Kabupaten dan Kecamatan dalam
penyusunan dan penyampaian kebijakan pengelolaan keuangan desa sebagai tindak
lanjut PP 43 Tahun 2014 dari hasil wawancara dengan kepala desa dan aparat kecamatan
masih lemah, masih terajadi overlaping penyampaian kebijakan yang semestinya
dilakukan secara bertahap yaitu dari kabupaten kepada kecamatan dan dari kecamatan
ditindak lanjuti ke desa, namun dalam prakteknya banyak kebijakan dari pemerintah
kabupaten yang langsung turun ke kecamatan, sedangkan pemerintah kecamatan belum
mengetahui. Dalam proses selanjutnya kadangkala kecamatan masih harus berkonsultasi
dengan kabupaten, hal ini tentunya akan menghambat dalam proses penyusunan dan
penetapan APB Desa, sehingga penetapan APB Desa tahun anggaran 2015 terlambat
ditetapkan.
9. Regulasi
Regulasi sebagai aturan pelaksana tindak lanjut dari UU 6 Tahun 2014, PP 43 Tahun
2014, Permendagri 113 Tahun 2014 dan Permendagri 114 Tahun 2014 yang harus segera
disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara yaitu berupa Peraturan
Daerah/Perda, Peraturan Bupati/Perbub dan Keputusan Bupati/Kepbub, pada tahun 2015
terlambat disusun dan ditetapkan, hal ini menyebabkan pemerintah desa terlambat
mempedomani aturan-aturan tersebut sebagai dasar menyusun dan menetapkan APB
Desa.
10. Siklus perencanaan
Ketidak patuhan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan Desa terhadap jadual-jadual
perencanaan dan penganggaran desa yang telah ditetapkan dalam Permendagri 113
Tahun 2014 dan Permendagri 114 Tahun 2014, menyebabkan penetapan APB Desa di
Kabupaten Banjarnegara tahun anggaran 2015 terlambat.
11. SDM kecamatan dan kabupaten
SDM kecamatan dan kabupaten menjadi faktor penyebab keterlambatan penetapan APB
Desa, hal ini antara lain disebabkan oleh minimnya kemampuan, kompetensi dan jumlah
aparat kecamatan dan kabupaten dibandingkan dengan jumlah desa yang harus
difasilitasi. Adanya mutasi pegawai kecamatan dan kabupaten khususnya yang bertugas
memfasilitasi pengelolaan keuangan desa juga menjadi penyebab keterlambatan
kecamatan dan kabupaten dalam melakukan pembinaan, pengawasan pelaksanaan
pengelolaan keuangan desa.
12. Pendamping desa
Belum optimalnya petugas yang ditunjuk dan diangkat oleh Kementerian Desa dan
Daerah Tertinggal/Kemendes RI, untuk melaksanakan tugas pendampingan kepada
pemerintah desa dalam melaksanakan implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, salah satunya adalah pengelolaan keuangan desa, menyebabkan pada tahun
anggaran 2015 Desa di Kabupaten Banjarnegara terlambat menetapkan APB Desa.
13. Pagu Indikatif
Anggaran menjadi penyebab keterlambatan penetapan APB Desa antara lain (1) pagu
definitif ADD dan DD yang terlambat dinformasikan kepada pemerintah desa oleh
pemerintah pusat dan kabupaten, menyebabkan pemerintah desa terlambat menyusun
APB Desa.
Moral hazard yang muncul dalam kutipan wawancara diatas bahwa informan merasa
tidak menjadi masalah kalau kecamatan tidak melakukan pembinaan yang optimal
kepada Desa, (IR#DI.3.5):
“… ya Kita memang secara ini harus mengakui adanya kelalaian dalam
mengimplementasikan peraturan.....ya itu lah mungkin kalau mencari
pembenarannya ya wong (memang) selama ini juga nggak jadi masalah…”
2. Adverse selection
adverse selection mengacu pada para manager atau orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan
dengan orang luar. Pada konteks keterlambatan penetapan APB Desa di Kabupaten
Banjarnegara tahun 2015, adverse selection yang muncul adalah sikap Kepala Desa dan
Perangkat Desa yang cenderung untuk menunggu kepastian informasi dari Kecamatan
dan Kabupaten, dalam hal ini adalah informasi mengenai ketentuan besaran Penghasilan
Tetap/ SILTAP, sebagaimana disampaikan oleh informan Kepala Desa berikut
(IR#DI.3.1):
“Pada saat itu kami menunggu pagu dari pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.”
Dan dalam penyampaian berikutnya (IR#DI.3.4):
“Koordinasi di tingkat Kabupaten kurang baik Mas, jadi kami yang di Desa
dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang dibuat berupa Perbub jadi
bingung, contoh kasus yang SILTAP…”
3. Pengawasan
Pricipal dapat menangkal masalah moral hazard dengan memantau tindakan yang
dilakukan agent. Pengawasan akan dapat memberikan informasi tentang tindakan yang
sebenarnya yang dilakukan agent. Keterlambatan penetapan APB Desa ini disebabkan
karena SKPD kabupaten dan kecamatan belum optimal dalam melakukan pembinaan
dan pengawasan, sebagaimana disampaikan dalam kutipan wawancara berikut
((IR#DI.5.2)
“bahwa dimasa lalu belum ada pengawalan secara konsiten terhadap
pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.”
4. Informasi asimetris
Ada beberapa ketidakpastian yang mempengaruhi hasil keseluruhan hubungan. Kedua
pihak, pada umumnya, akan memiliki informasi yang berbeda untuk membuat penilaian
dari ketidakpastian tersebut dan juga akan berbeda dalam hal informasi lainnya.
Informasi asimetris dalam keterlambatan penetapan APB Desa di Kabupaten
Banjarnegara tahun 2015 muncul karena adanya informasi yang berbeda-beda yang
diterima kepala desa melalui kecamatan maupun SKPD Pemerintahan Desa dan Kantor
PMD mengenai kebijakan pengelolaan keuangan desa, sehingga desa untuk
menggambil keputusan menyusun APB Desa jadi ragu-ragu, sebagaimana disampaikan
dalam kutipan wawancara (IR#FGD1.1):
“…kemudian saya belum tahu pagunya seberapa yang akan diterima ke desa-
desa sehingga saya kadang masih dalam kebingungan…”
Dan dalam wawancara selanjutnya (IR#FGD1.7):
“…SKPD kabupaten didalam memfasilitasi implementasi UU Desa….antara
Pemdes dengan KPMD ini kadang-kadang tidak sinkron pendapate
(pendapatnya)…”
Dan dalam wawancara selanjutnya (IR#DI.6.2):
“persepsi terhadap keterkaitan tiga hal ini yang nuwun sewu (mohon maaf)
teman-teman kabupaten juga belum ngeh (pas), kecamatan juga mungkin
belum ngeh (pas), apalagi desa”
Serta dalam wawancara selanjutnya (IR#DI.9.5):
“…Ya masalah itu, karena desa bingung, desanya bingung mau ngikut yang
mana, aturannya seperti ini tapi beda yang dari Pemdes dan PMD.”
Pada kasus keterlambatan penetapan APB Desa,dimana kepala desa bertindak sebagai
principal pada hubungan H terdapat masalah Informasi asimetris yaitu perangkat desa
memiliki informasi yang lebih banyak daripada kepala desa yaitu perencanaan. Sesuai
dengan teori keagenan, bawahan yang memiliki informasi yang lebih banyak maka akan
bertindak atau berperilaku yang akan menguntungkan mereka sendiri. Namun dalam kasus
penetapan APB Desa, informasi asimetris tidak menjadi masalah karena kepala desa
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi perangkat desa yang dapat dipercaya. Jadi
masalah informasi asimetris dapat diminimalisir oleh kepala desa dengan mengidentifikasi
perangkat desa yang jujur.
4.4.2 Motivasi
Teori pengharapan Victor Vroom beragumen bahwa kekuatan untuk bertindak dengan
cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh
output tertentu dan tergantung pada daya tarik output itu bagi individu tersebut (Robbins,
2007:238).
Hasil analisis data pada keterlambatan penetapan APB Desa menunjukkan bahwa
pada tataran praktik, motivasi yang ada pada pengelola desa tidak seperti yang diteori-kan
oleh Vroom. Meskipun Desa akan menerima dana yang besar (DD dan ADD) di tahun 2015,
hal ini tidak kemudian menjadikan kepala desa dan perangkat desa termotivasi untuk segera
menetapkan APB Desa nya, sebagaimana disampaikan oleh informan dalam kutipan
wawancara (IR#DI.8.4):
. “Malah kalau di desa pada takut Mas, oleh duit akeh palahan gaweana tambah akeh
(dapat uang banyak menjadikan pekerjaannya tambah banyak), kebanyakan palahan
(seperti) itu, ya kaya kasus di Karangkobar beberapa perangkat mengundurkan diri
karena merasa tidak mampu Mas…”
Tingkat pendidikan dan keterampilan sebagian kepala desa dan perangkat desa yang kurang
memadai memunculkan rasa takut, yaitu apabila nanti dalam menyusun dan melaksanakan
APB Desa terjadi kesalahan dan menimbulkan masalah dengan aparat penegak hukum.
Banyaknya dana yang akan diterima desa tidak menumbuhkan motivasi untuk menyusun dan
menetapkan APB Desa dengan baik dan tepat tapi justru menimbulkan rasa takut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S dan Andra, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran
Daerah. Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang.
Agustina, Santi. 2012. Evaluasi formula Alokasi Dana Desa di Kabupaten Pemalang Tahun
2011. Tesis. Fakultas Ekonomi. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik.
Universitas Indonesia. Jakarta. (on line),
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20317244...Evaluasi%20%20formula.pdf diakses 5
April 2016 pukul 12.04 WIB.
Andvig, J.C., O.H. Fjeldstad, Amundsen, I., T. Sissener, T.Soreide. 2001. Corruption A
Review of Contemporary Research, Chr. Michelsen Institute Development Studies
and Human Rights Report R.
Arif, E. dan Halim, A. 2011. Indentifikasi Faktor-faktor Penyebab Minimnya Penyerapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau Tahun 2011. Simposium Nasional Akuntansi XVI, Manado, 25-28 September
2013.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Bergman, M. and J.E. Lane. 1990. Public Policy in a Principal-Agent Framework, Journal of
Theoretical Politics, 2(3), pp,339-352.
Brocas, I. and Carrillo.J.D. 2004a. A Theory of Influence. mimeo, University of Southern
California (USC).
---------- 2004b. Biases in perceptions, beliefs and behavior. University of Southern
California (USC) CLEO Research Paper No. C04-19.
Cooper, D. R., dan Pamela, S. 2014. Bussines Research Methods. 11th edition. McGraw-Hill
International Edition.
Downs, G. W., and Rocke, David M. 1994. Conflict, Agency, and Gambling for Resurrection.
Florensi, H. 2014. Pelaksanaan Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam
Memberdayakan Masyarakat Desa di Desa Cerme, Kecamatan Grogol, Kabupaten
Kediri. Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303 - 341X Volume 2, Nomor 1.
Gilardi, F. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as
ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference,
Canterbury (UK).
Gunawan, I. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Paktek. Jakarta. Bumi Aksara.
Halim, A dan Abdullah,S. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah: Sebuah
Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintahan Volume 2,
Nomor 1, Hal: 53-64.
Herry, A.P.A. 2015. Kesiapan Desa Menghadapi Implementasi Undang-Undang Desa (Tinjauan
Desentralisasi Fiskal Dan Peningkatan Potensi Desa). Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume V, No 1
Universitas PGRI Semarang.
Lane, J. E., & Kivisto, J.A. 2008. Interests, information, and incentives in higher education:
Principal-agent theory and its potential applications to the study of higher education
governance. In J. C. Smart (Ed.), Higher education: Handbook of theory and research
(vol. XXIII) (pp. 141-179). Springer Press.
Lane, J.E. 2013. The principal-agent approach to politics: policy implementation and public
policy-making. Open Journal of Political Science, 3(2), pp, 85-89.
Lane, J.E. 2014. Rule of Law in Africa and Asia: Solving the Principal-Agent Problem.
Jurnal of Public Administration and Policy Research.Vol. 6(7) pp. 164-
173.WWW.AcademicJournal.org/JPAPR.
Lubis, A.I. 2010. Akuntansi Keperilakuan. Edisi kedua. Jakarta. Salemba Empat.
Mahudz. 2009. Analisis Dampak Alokasi Dana Desa (ADD) Terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dan Kelembagaan Desa. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5,
Nomor 1, Universitas Diponegoro. Semarang.
Mamesah, F.Y. 2014. Peranan Badan Permusyawaratan Desa dalam Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (Suatu Studi di Desa Sendangan Kecamatan
Tompaso). FISPOL Universitas Sam Ratulangi.
Miles, B.M & Huberman, M.A. 2009. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru.UI.Press. Jakarta.
Moleong, L.J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntasi
Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber
Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.
Permana, L.I. Sutomo, R. Hermanto. 2012. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Dalam Pembahasan APBDes Di Desa Bagorejo Kecamatan Srono Kabupaten
Banyuwangi Tahun 2012. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember
(UNEJ).
Petrie, M. A. 2002. Framework for Public Sector Performance Contracting. OECD Journal
on Budgeting, 2, pp, 117-153.
Pikiran Rakyat. 2014, 21 November. Kucuran Dana Desa Berisiko Besar. (on line)
www.pikiran-rakyat.com diakses 1 Maret 2016.
Putra, C.K. Pratiwi, R. Nur. S . 2013. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pemberdayaan
Masyarakat Desa (Studi pada Desa Wonorejo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang).
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 1, No. 6. Hal. 1203-1212 Fakultas Ilmu Administrasi,
Universtas Brawijaya, Malang.
Rahmawati, H.I., Ayudiati, C., Surifah. 2015. Analisis Kesiapan Desa Dalam Implementasi
Penerapan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi Pada Delapan Desa Di Kabupaten
Sleman. Universitas Cokroaminoto Yogyakarta The 2nd University Research Coloquium
2015. ISSN 2407-9189.
Robbins,S.P. 2007. Perilaku Organisasi. Edisi bahasa Indonesia. PT Indeks Kelompok
Gramedia.
Santoso, H. Keabsahan Pengelolaan Keuangan Desa.Universitas Airlangga Surabaya. JKMP
(ISSN. 2338-445X), Vol. 3, No. 2, September 2015, 117-240.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D . Bandung. Alfabeta.
Suparman. K, Dedi. H.D. 2014. Implementasi Program Alokasi Dana Desa di Kecamatan
Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Jurnal Tesis PMIS-UNTAN-PSIAN.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Von Hagen, J. 2002. Fiscal Rules, Fiscal Institutions, and Fiscal Performance. The Economic
and Social review 33(3): 263-284
Waterman, R.W. and K.J. Meier. 1998. P-A Models: An Expansion? Journal of Public
Administration Research and Theory. 8(2), pp: 173-202.
Zubayr, M., Darusman, D., Nugroho, B dan Ridho, D.N. 2014. Principal-Agent Relationship
in Policy Implementation of the Use of Forest Area for Mining Activity, Indonesia.
Agriculture, Forestry and Fisheries. Vol.3, No. 3, pp. 181-188.doi: 10.11648/ j.aff. 20140303.
17