ABSTRACT
This study empirically examines the factors that influence fraudulent financial
ststements using fraud triangle theory. This study aims to financial stability, external pressure,
personal financial need, financial targets, nature of industry, ineffective monitoring, and
rationalization to the fraudulent financial statements.
The population in this study is a manufacturing company liste on the Indonesia Stock
Exchnage in 2013 until 015. The sampleconsists of 9 companies that conduct fraudulent
financial statements nd 103 companies that do not commit fraudulent financial statements.
Sample selection using purposive sampling method. Data analysis techniques for hypothesis
testing using logistic regression analysis.
The results show that financial stability dan rationalization have positive effect on
fraudulent financial statements. External pressure, personal financial need, dan nature of
industry do not have significant positive effect on fraudulent financial statements. Financial
targets and ineffective monitoring do not have negative effect on fraudulent financial
stetements.
Keywords : Fraudulent Financial Statements, Financial Stability, Ineffective Monitoring,
Rationalization.
PENDAHULUAN
Fraud menurut ISA 240.11 adalah perbuatan yang disengaja oleh seseorang atau
beberapa orang diantara manajemen, TCWG (those charged with governance), pegawai, atau
pihak ketiga, dengan menipu untuk memperoleh keuntungan yang tidak dapat dibenarkan atau
keuntungan yang tidak sah/melawan hukum (Tuanakotta, 2015: 312). The Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE), menyebutkan fraud dapat mengakibatkan beberapa
manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain (Ernst & Young, 2009: 1).
Manfaat tidak baik ini salah satunya adalah meningkatnya persaingan tidak sehat dalam bisnis.
Persaingan yang tidak sehat mengakibatkan terjadinya banyak pelanggaran yang kemudian
berkembang menjadi masalah kecurangan (fraud).
Masalah kecurangan tidak terlepas dari motif untuk melakukan fraud, salah satunya
pengaruh lingkungan eksternal. Fraud mudah terjadi di suatu organisasi karena pengaruh
lingkungan eksternal dan tersedianya suatu iklim kondusif untuk melakukan fraud. Motif
kesempatan dengan adanya kelonggaran atau kekurangan pengendalian internal juga
berpengaruh terhadap fraud. Jika motif dirangkai dari kesempatan tersebut, maka kecurangan
berpotensi dilakukan di semua sektor dan meningkatkan terjadinya kasus-kasus kecurangan.
Kasus kecurangan seperti skandal Enron yang melakukan penggelembungan laba dan
menyembunyikan utang senilai $1 miliar dengan cara ilegal, menggunakan pencatatan di luar
buku partner membuat dunia bisnis terguncang. Kecurangan akuntansi yang menimpa Enron
bahkan menimbulkan dampak yang signifikan, karena mengkibatkan kerugian besar bagi
hampir seluruh industri. Skandal Enron juga melibatkan Arthur Andersen sebagai salah satu
dari big four kantor akuntan publik di dunia saat itu dalam masalah kecurangan ini. Arthur
Andersen sebagai KAP yang mengaudit laporan keuangan Enron bahkan terbukti melenyapkan
sejumlah bukti penting terkait dengan kasus penggelembungan laba yang dilaukan oleh
eksekutif Enron (Harahap, 2011: 577).
Kasus mengenai kecurangan laporan keuangan juga terjadi di Indonesia, negara
berkembang yang pasar modalnya bahkan belum sebesar pasar modal negara maju. Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) pada tahun 2011 dengan dasar
UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 100 dan 101, melakukan pemeriksaan
terhadap 178 (seratus tujuh puluh delapan) kasus dugaan pelanggaran dan penyidikan 12 (dua
belas) kasus dugaan tindak pidana di bidang pasar modal. Kasus terkait keterbukaan emiten
dan entitas publik, perdagangan efek, dan pengelolaan investasi adalah beberapa yang
ditangani (Sukirman & Sari, 2013: 200). Jauh sebelum banyaknya kasus yang ditemukan oleh
Bapepam sepanjang tahun 2011, sebenarnya Bapepam juga telah menangani masalah-masalah
kecurangan di tahun-tahun sebelumya. Bapepam telah mengenakan sanksi administrasi pada
PT Lippo Bank, Tbk atas laporan keuangan ganda yang dipublikasikannya. Selain itu
pengenaan denda atas terjadinya kekeliruaan dalam laporan keuangan konsolidasi PT Kimia
Farma, Tbk dan overstatement laba dari pendapatan fiktif juga telah dilakukan Bapepam
(Sulistiawan, Januarsi, & Alvia, 2011).
Pada 2014 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas kegiatan di pasar modal
menggantikan Bapepam telah memeriksa 77 (tujuh puluh tujuh) kasus terkait dugaan
pelanggaran terhadap ketentuan penyajian laporan keuangan, dugaan pelanggaran terhadap
pengendalian internal dan adanya indikasi pergerakan harga saham yang tidak wajar, dugaan
pelanggaran terhadap pedoman pengelolan reksa dana, dan dugaan pelanggaran-pelanggaran
lainnya (OJK, 2014: 15-16). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selain melakukan pemeriksaan
telah menetapkan 777 (tujuh ratus tujuh puluh tujuh) sanksi administrasi pada para pelaku
industri Pasar Modal, sebayak 60 (enam puluh) sanksi administrasi berupa peringatan tertulis,
713 (tujuh ratus tiga belas) sanksi administrasi berupa denda, 2 (dua) sanksi administrasi
berupa pencabutan izin, dan 2 (dua) sanksi administrasi berupa pembekuan izin (OJK, 2014:
16).
Semakin banyaknya skandal kecurangan dalam praktik akuntansi terutama kecurangan
laporan keuangan yang dilakukan oleh para kriminal kerah putih dan kegagalan audit
memunculkan keprihatinan pada akuntansi. Akuntansi sebagai suatu disiplin ilmu saat ini
berada pada suatu titik krisis. Bidang ilmu ini dan orang-orang yang berprofesi sebagai akuntan
tidak lagi mampu untuk memonitor dan melakukan pencegahan kecurangan terutama dalam
hal kecurangan laporan keuangan.
Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) menurut American Institute
Certified Public Accountant (AICPA) adalah satu hal yang disengaja, salah saji atau
penghilangan fakta-fakta material, atau data akuntansi yang menyesatkan, dan bila dianggap
dengan semua informasi yang telah dibuat akan menyebabkan pembaca mengubah penilaian
atau keputusannya. Sedangkan, komisi Treadway mendefinisikan kecurangan laporan
keuangan (financial statement fraud) sebagai suatu perbuatan sengaja atau kelalaian, yang
menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (Elder, Beasley, Arens, & Jusuf, 2011:
372).
Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) bisa dalam hal pemalsuan
dokumen atau bukti transaksi, kelalaian yang disengaja dalam hal merepresentasikan laporan
keuangan, kesalahan yang disengaja penggunaan prinsip, kebijakan, atau prosedur akuntansi,
bahkan kesalahan yang disengaja tentang pengungkapan dan penyajian laporan keuangan.
Pihak eksekutif biasanya terlibat dalam praktik kecurangan ini, mereka para manajemen
puncak akan menutupi kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan dalam entitas bisnis
dengan melakukan penipuan laporan keuangan yang menyesatkan. Kecurangan laporan
keuangan bisa jadi memiliki skema yang disusun secara rapi. Kecurangan laporan keuangan
ini harus segera dicegah dan perlu didalami apa saja yang menjadi penyebabnya. Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengetahui penyebab terjadinya kecurangan laporan keuangan
(financial statement fraud) (Rahman, 2011: 1818).
Salah satu penyebab terjadinya kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud)
adalah corporate governance. Menurut penelitian Dechow, Sloan dan Sweeney (1996)
lemahnya corporate governance pada suatu entitas akan menyebabkan fraud dapat dengan
mudah dilakukan. Corporate governance yang lemah misalkan kekuasaan entitas terpusat di
tangan orang dalam dan tidak terdapat Komite Audit. Dunn (2004) dalam Tiffani dan Marfuah
(2015: 2) juga menyimpulkan bahwa kemungkinan kecurangan lebih besar terjadi saat
kekuasaan didominasi orang dalam. Banyaknya penyebab dan metode yang dapat digunakan
dalam melakukan financial statement fraud membuat pendeteksian terhadap fraud ini sulit
dilakukan.
Statement of Auditing Standards No. 99 (SAS No. 99) mengenai Consideration of Fraud
in a Financial Statement Audit diterbitkan oleh American Institute Certified Public Accountant
(AICPA) pada Oktober 2002 memberikan solusi terhadap lemahnya prosedur pendeteksian
fraud sebagai langkah awal deteksi. Terbitnya SAS No. 99 bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas penilaian auditor terhadap pendeteksian fraud dan menilai faktor-faktor yang
berisiko terhadap fraud di suatu entitas. Faktor risiko kecurangan yang diadopsi dalam SAS
No.99 didasarkan pada teori faktor risiko kecurangan Cressey (Jefri & Mediaty, 2014: 60).
Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor:
KEP/49/M.EKON/11/2004 telah menyetujui pembentukan Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG). Good Corporate Governance sendiri merupakan suatu langkah awal
untuk memonitor terjadinya fraud.
Teori faktor risiko kecurangan Cressey menjelaskan tiga faktor terjadinya kecurangan.
Tiga faktor kecurangan ini sama dengan tiga kondisi dalam PSA 70 (SA 316) IAI 2001 yang
memungkinkan kecurangan dalam laporan keuangan dan penyalahgunaan aset. Ketiga kondisi
tersebut dinamakan dengan segitiga kecurangan (fraud triangle) yaitu: 1) tekanan (pressure);
2) kesempatan (opportunity); dan 3) rasionalisasi (rationalization) (Elder, Beasley, Arens, &
Jusuf, 2011: 375).
Melihat bagaimana pentingnya pencegahan terhadap financial statement fraud, maka
telah banyak dilakukan penelitian-penelitian tentang fraud ini. Penelitian-penelitian ini
menggunakan kondisi dari fraud triangle untuk meneliti hubungannya dengan financial
statement fraud sebagai variabel dependen. Faktor-faktor fraud triangle menurut SAS No. 99
antara lain: 1) financial stability; 2) financial targets; 3) personal financial need; 4) external
pressure; 5) nature of industry; 6) ineffective monitoring; 7) organizational structure; dan 8)
rationalization. Organizational structure sebagai salah satu kondisi yang mempengaruhi
opportunity tidak disertakan dalam penelitian ini karena tidak tersedianya data yang relevan
untuk pengukuran organizational structure pada objek yang akan diteliti.
SAS No. 99 menyatakan bahwa financial stability adalah satu dari empat kondisi tekanan
(pressure) dalam melakukan fraud. Financial stability merupakan gambaran mengenai
stabilnya kondisi keuangan entitas. Financial stability diukur dengan menggunakan proksi
persentase perubahan aset (ACHANGE). Proksi ini mampu memberikan gambaran mengenai
bagaimana aset dapat dimanipulasi agar kondisi keuangan entitas tampak baik meskipun
sebenarnya kondisi keuangan entitas sedang mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan
kondisi keuangan inilah yang kemudian membuat manajer menghadapi tekanan untuk
melakukan fraud, salah satunya financial statement fraud. Penelitian Tiffani dan Marfuah
(2015) menyatakan bahwa financial stability berpengaruh positif signifikan terhadap financial
statement fraud. Penelitian lain yaitu dari Anshori (2015) dan Norbarani (2012) menyatakan
financial stability tidak memiliki pengaruh positif signifikan terhadap financial statement
fraud.
External pressure merupakan kondisi kedua dari empat tekanan (pressure) dalam
melakukan fraud berdasarkan SAS No. 99. External pressure yang diukur menggunakan proksi
LEV merupakan tekanan dari pihak ketiga terhadap manajemen. LEV merupakan rasio utang
yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aset. External
pressure yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya financial statement fraud, contohnya
adalah tekanan saat pihak bank sebagai kreditor mensyaratkan bahwa rasio LEV entitas harus
rendah agar pihak bank bisa memberikan kreditnya. External pressure menurut penelitian
Tiffani dan Marfuah (2015) berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud.
Penelitian lainnya yaitu penelitian Sukirman dan Sari (2013) menyatakan external pressure
tidak berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud.
Kondisi tekanan (pressure) selanjutnya dalam melakukan fraud menurut SAS No. 99
adalah personal financial need. Personal financial need diukur dengan dengan menggunakan
proksi OSHIP. OSHIP sendiri mengukur seberapa besar presentase kepemilikan orang dalam
terhadap entitas. Praktik financial statemen fraud akan semakin meningkat apabila presentase
kepemilikan orang dalam (personal financial need) di entitas meningkat. Norbarani (2012) dan
Molida (2011), menunjukkan personal financial need berpengaruh positif signifikan terhadap
financial statement fraud, namun penelitian Tiffani dan Marfuah (2015) serta Widarti (2015)
meneliti personal financial need tidak berpengaruh positif signifikan terhadap financial
statement fraud.
Financial targets menurut SAS No. 99 adalah risiko adanya tekanan (pressure)
berlebihan pada manajemen untuk mencapai target keuangan tertentu. Financial targets
merupakan tekanan (pressure) terakhir yang bisa mendorong manajemen untuk melakukan
financial statemen fraud. Financial targets diukur dengan proksi ROA, yaitu rasio yang
mengukur kemampuan entitas menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset. Financial
targets yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tingginya risiko terjadinya financial statement
fraud. Widarti (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa financial targets memiliki
pengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud, namun penelitian Tiffani dan
Marfuah (2015) menyatakan financial targets tidak berpengaruh positif signifikan terhadap
financial statement fraud.
Nature of industry adalah bagian pertama dari tiga kondisi yang menyebabkan terjadinya
fraud berdasarkan SAS No. 99. Nature of industry merupakan kondisi ideal entitas dalam suatu
industri yang diukur menggunakan rasio perubahan piutang usaha (RECEIVABLE). Nature of
industry bisa mendorong menajemen untuk melakukan financial statement fraud agar prospek
ke depan entitas terlihat baik di saat kondisi keuangan menurun. Hasil penelitian Summers dan
Sweeney (1998) nature of industry berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement
fraud, sedangkan hasil penelitian Tiffani dan Marfuah (2015) serta Sukirman dan Sari (2013)
nature of industry tidak berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud.
Ineffective monitoring berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan untuk mengawasi
jalannya manajemen entitas. Apabila pengawasan dalam suatu entitas tidak efektif (ineffective
monitoring) maka dapat memberikan kesempatan (opportunity) bagi manajemen untuk
melakukan financial statement fraud. Ineffective monitoring diukur dengan menggunakan
perbandingan jumlah anggota komite audit independen dengan jumlah komite audit
keseluruhan di entitas. Review penelitian Norbarani (2012) dan Kusumawardhani (2012)
menyatakan ineffective monitoring berpengaruh negatif signifikan terhadap financial statement
fraud dan secara parsial memengaruhi earning management. Review penelitian Widarti (2015)
dan Molida (2011) ineffective monitoring tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap
financial statement fraud.
Rationalization adalah pembenaran atas perbuatan pihak-pihak yang melakukan fraud.
Rationalization diukur menggunakan hasil audit entitas (AUDREPORT). Rationalization
terjadi saat seseorang berada pada situasi lingkungan dengan tekanan yang besar, misalkan
tekanan untuk sejajar dengan rekan-rekan yang lainnya dan terdapat kesempatan untuk
melakukan fraud misalkan karena lemahnya pengawasn dalam suatu entitas. Oleh karena itu,
rationalization berhubungan dengan adanya financial statement fraud dalam suatu entitas.
Variabel rationalization berdasarkan penelitian Sukirman dan Sari (2013) berpengaruh positif
signifikan terhadap financial statement fraud. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Tiffani dan Marfuah (2015) serta Widarti (2015) yang menyebutkan bahwa rationalization
tidak berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud.
Berdasarkan argumen di atas serta research gap beberapa penelitian mengenai deteksi
financial statement fraud dengan fraud triangle pada proksinya sesuai dengan SAS No. 99
menjadikan deteksi financial statement fraud masih sangat relevan untuk diteliti kembali. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk menguji kembali mengenai pengaruh analisis fraud triangle
terhadap deteksi financial statement fraud.
Penelitian ini adalah menguji kembali penelitian yang dilakukan oleh Tiffani & Marfuah
(2015). Penelitian Tiffani & Marfuah (2015) menggunakan 7 (tujuh) variabel independen untuk
diteliti pengaruhnya terhadap deteksi financial statement fraud antara lain; financial stability,
external pressure, personal financial need, financial targets, nature of industry, effective
monitoring, dan rationalization. Perbedaan dengan penelitian Tiffani & Marfuah (2015)
terletak pada pada pengukuran yang digunakan dalam variabel rationalization. Tiffani dan
Marfuah (2015) menggunakan perubahan auditor untuk pengukuran rationalization.,
sedangkan penelitian ini menggunakan hasil audit entitas sebagai pengukurannya.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik analisis data menggunakan
analisis regresi logistik, dan menggunakan model Beneish M-Score untuk mengklasifikasikan
entitas yang melakukan fraud dan yang tidak melakukan fraud. Review uraian latar belakang
dan fenomena yang terjadi serta mengingat isu tentang deteksi financial statement fraud masih
menjadi masalah kruasial untuk dibahas dalam beberapa tahun terakhir,. Olleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh financial stability, external pressure,
personal financial need, financial targets, nature of industry, ineffective monitoring, dan
rationalization berpengaruh terhadap financial statement fraud.
LANDASAN TEORI
Teori Keagenan (Agency Theory)
Jensen dan Meckeling (1976) mendeskripsikan hubungan keagenan sebagai suatu
kontrak di mana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk
melakukan berbagai jasa atas nama prinsipal serta memberikan wewenang kepada agen untuk
membuat keputusan terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak mempunyai tujuan yang
sama untuk memaksimalkan nilai entitas, maka agen akan bertindak dengan cara yang sesuai
dengan kepentingan prinsipal (Jensen & Meckling, 1976).
Namun, agency theory juga mengenal adanya asymmetric information yaitu adanya
sebuah ketidakseimbangan dalam proporsi informasi yang dikonsumsi oleh kedua belah pihak.
Asymmetric information ini dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu (Rahman, 2011):
1. Moral hazard yaitu pihak agen menyembunyikan informasi yang dimilikinya, dengan
tujuan informasi dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan agen.
2. Adverse selection yaitu saat di mana pihak agen tidak mampu mengolah informasi yang
dimilikinya menjadi suatu kebijakan (Rahman, 2011).
Dua bentuk asymmetric information ini dapat mengakibatkan masalah keagenan.
Masalah keagenan juga potensial terjadi apabila proporsi kepemilikan yang dimiliki oleh
manajemen hanya sebagian. Hal ini cenderung membuat manajer bertindak untuk kepentingan
pribadi dan kelompok manajemen saja bukan untuk memaksimalkan entitas. Konflik antara
prinsipal dan manajemen dapat menyebabkan financial statement fraud yang dilakukan oleh
pihak manajemen untuk mengelabui prinsipalnya. Oleh karena itu, konflik kepentingan dalam
suatu entitas ini harus segera diminimalkan agar tidak terjadi financial statement fraud
(Rahman, 2011).
Fraud Triangle
Cressey (1950) dalam Elder et al. (2011, p. 375) mengemukakan tiga kategori yang
dapat menyebabkan kecurangan, yang dikenal dengan fraud triangle. Fraud triangle
menjelaskan tiga faktor yang menyebabkan fraud dalam hal ini terutama mengenai financial
statement fraud. Fraud triangle digambarkan sebagai berikut:
Pressure
Opportunity Rationalization
FRAUD
Gambar 1
The Fraud Triangle
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Pengaruh Financial Stability terhadap Financial Statement Fraud
Financial stability adalah gambaran mengenai stabilnya kondisi keuangan entitas
(Anshori, 2015). SAS No. 99 menyatakan saat financial stability atau profitabilitas terancam
oleh keadaan ekonomi, industri, dan kondisi entitas yang beroperasi, maka financial stability
bisa menjadi faktor yang mengakibatkan terjadinya fraud pada suatu entitas (Skousen, Smith,
& Wright, 2008). Ketika financial stability entitas berada pada posisi yang sulit dan terancam
misalkan karena pertumbuhan entitas yang berada di bawah rata-rata industri, manajemen
dapat melakukan berbagai cara untuk mengubah outlock entitas menjadi stabil, misalkan
melakukan manipulasi terhadap aset (Molida, 2011).
Financial stability diukur dengan menggunakan proksi persentase perubahan aset
(ACHANGE) (Tiffani & Marfuah, 2015). Penelitian Tiffani dan Marfuah (2015), Widarti
(2015), Kusumawardhnani (2012), Molida (2011) serta Skousen, Smith, dan Wright (2008)
menunjukkan financial stability berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement
fraud. Penelitian Anshori (2015) dan Norbarani (2012) menyatakan financial stability tidak
memiliki pengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud. Review uraian ini
maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1: Financial stability berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Pengaruh External Pressure terhadap Financial Statement Fraud
External pressure menurut SAS No. 99 adalah tekanan yang berlebihan bagi
manajemen untuk memenuhi persyaratan atau harapan dari pihak ketiga (Widarti, 2015)..
Manajemen entitas kemungkinan akan melakukan financial statement fraud untuk membuat
kondisi keuangan tetap stabil saat kondisi keuangan terpengaruh oleh kondisi ekonomi dan
ketika entitas mengalami tekanan eksternal (external pressure) (Lou & Wang, 2009). External
pressure yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya financial statement fraud (Widarti,
2015).
External pressure diukur menggunakan LEV (debt to assets ratio). External pressure
menurut penelitian Tiffani dan Marfuah (2015), Widarti (2015), serta Skousen, Smith, dan
Wright (2008) berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud. Penelitian
lain yaitu Sukirman dan Sari (2013) menyatakan external pressure tidak berpengaruh positif
signifikan terhadap financial statement fraud. Review penjelasan ini maka diajukan hipotesis
sebagai berikut:
H2: External pressure berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Pengaruh Personal Financial Need terhadap Financial Statement Fraud
Personal financial need yaitu kebutuhan keuangan untuk memenuhi kepentingan
pribadi yang menjadi tekanan bagi para eksekutif/manajemen entitas untuk melakukan fraud
(Widarti, 2015). Harapan keuangan para eksekutif untuk memenuhi kepentingan pribadi
mereka dapat menjadi tekanan bagi para eksekutif/manajemen sendiri dalam melakukan fraud
agar harapan keuangan dari para eksekutif tersebut dapat tercapai. Manajemen yang memiliki
saham di entitas berpotensi melakukan financial statement fraud di saat mereka merasa kondisi
entitas di saat tertentu dapat memberikan dampak buruk terhadap kondisi keuangan yang
mereka miliki di entitas (Norbarani, 2012).
Personal financial need diukur dengan menggunakan proksi kepemilikan saham oleh
orang dalam entitas (OSHIP) (Norbarani, 2012, p. 38). Penelitian Norbarani (2012), Molida
(2011), Skousen, Smith, dan Wright (2008) membuktikan bahwa personal financial need
berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud. Penelitian Tiffani dan
Marfuah (2015) serta Widarti (2015) membuktikan personal financial need tidak berpengaruh
positif signifikan terhadap financial statement fraud. Review hal ini, maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H3: Personal financial need berpengaruh positif terhadap finanacial statement fraud
Pengaruh Financial Targets Terhadap Financial Statement Fraud
Financial targets dalam suatu entitas adalah tekanan berlebihan dari prinsipal untuk
mencapai target keuangan sesuai harapan dan keinginan prinsipal (Widarti, 2015). Manipulasi
laba mungkin akan dilakukan untuk memenuhi tolak ukur para analis atas laba entitas (Widarti,
2015). Financial targets entitas yang terlalu tinggi membuat manipulasi laba juga semakin
rentan untuk dilakukan. Financial targets entitas dapat diukur dengan menggunakan
perbandingan laba terhadap aset (Norbarani, 2012).
Widarti (2015) serta Skousen, Smith, dan Wright (2008) membuktikan bahwa financial
targets berpengaruh positif signifikan terhadap financial statement fraud. Penelitian Tiffani
dan Marfuah (2015) menyatakan financial targets tidak berpengaruh positif signifikan terhadap
financial statement fraud. Maka berdasarkan uraian ini dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H4: Financial targets berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Pengaruh Nature of Industry Terhadap Financial Statement Fraud
Nature of industry berkaitan dengan munculnya risiko bagi entitas yang berada dalam
industri yang melibatkan estimasi dan pertimbangan yang signifikan jauh lebih besar (Skousen,
Smith, & Wright, 2008). Summers dan Sweeney (1998) menyatakan saat manajer berniat untuk
melakukan financial statement fraud, manajer akan berfokus pada akun piutang tak tertagih
dan akun persediaan usang untuk dimanipulasi (Tiffani & Marfuah, 2015). Persediaan
mengandung risiko salah saji yang lebih besar bagi entitas manufaktur karena persediaannya
terdiri atas bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi. Salah saji persediaan akan
berisiko semakin meningkat jika persediaan usang (Kusumawardhani, 2012). Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan proksi perubahan persediaan (INVENTORY) untuk mengukur
nature of industry. Perubahan persediaan (INVENTORY) yang tinggi diduga mempengaruhi
terjadinya financial statements fraud.
Hasil penelitian Summers dan Sweeney (1998) nature of industry berpengaruh positif
signifikan terhadap financial statement fraud. Hasil penelitian Widarti (2015) serta Sukirman
dan Sari (2013) nature of industry tidak berpengaruh positif signifikan terhadap financial
statement fraud. Berdasarkan uraian ini maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H5: Nature of industry berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Pengaruh Ineffective Monitoring Terhadap Financial Statement Fraud
Ineffective monitoring adalah ketidakefektifan suatu entitas dalam mengawasi kinerja
entitasnya karena tidak terdapat unit pengawas efektif untuk melakukan pemantauan.
Pengawasan yang tidak efektif akan memicu timbulnya masalah fraud dalam entitas (Widarti,
2015). Ineffective monitoring diukur dengan menggunakan proksi efektivitas Komite Audit
(AUDCOM). Entitas yang memiliki skor efektivitas Komite Audit yang tinggi, diduga
terhindar dari financial statement fraud. Sebaliknya entitas yang memiliki skor efektivitas
Komite Audit yang rendah, diduga rentan terhadap financial statement fraud, karena Komite
Audit dianggap belum melakukan pengawasan secara maksimal (Maharani, 2012).
Penelitian Norbarani (2012), Kusumawardhani (2012), serta Skousen, Smith, dan
Wright (2008) ineffective monitoring berpengaruh negatif signifikan terhadap financial
statement fraud. Review penelitian Widarti (2015) dan Molida (2011) ineffective monitoring
tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap financial statement fraud. Review hal ini, maka
dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H6: Ineffective monitoring berpengaruh negatif terhadap financial statement fraud
Pengaruh Rationalization Terhadap Financial Statement Fraud
Rationalization menurut Sukirman dan Sari (2013) merupakan jenis risiko fraud
triangle yang pengukurannya paling sulit untuk dilakukan. Rationalization menyebabkan
pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya. Rationalization dijadikan alasan,
motivasi, dan justifikasi seseorang dalam melakukan suatu tindakan (Tjakrawala & Saputra,
2011). Rationalization dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan hasil/opini audit
(AUDREPORT). AUDREPORT diduga menyebabkan rationalization terhadap financial
statement fraud. Opini audit wajar tanpa pengencualian diindikasikan diperoleh dengan
melakukan tindakan fraud, sehingga opini wajar tanpa pengencualian diduga juga dapat
meningkatkan terjadinya financial statement fraud.
Rationalization berdasarkan penelitian Sukirman dan Sari (2013) berpengaruh positif
signifikan terhadap financial statement fraud. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Widarti (2015) yang menyatakan bahwa rationalization tidak berpengaruh positif signifikan
terhadap financial statement fraud. Uraian ini digunakan untuk mengajukan hipotesis berikut
ini:
H7: Rationalization berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Berdasarkan kajian teoritis dan hipotesis yang telah disusun sebelumnya, maka dapat
dibuat model penelitian sebagai berikut:
Gambar 2
Model Penelitian
METODE PENELITIAN
Pemilihan dan Pengumpula Data
Populasi yang akan diteliti di sini adalah entitas manufaktur pada periode 2013 sampai
dengan 2015 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada situs resmi www.idx.co.id sebanyak
147 entitas dengan metode purposive sampling. Sampel yang dipilih adalah sampel yang
memenuhi kriteria antara lain:
1. Entitas manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2013-2015.
2. Entitas manufaktur yang mempublikasikan laporan keuangan dan/atau annual report
pada periode 2013-2015 secara lengkap dan berturut-turut.
3. Entitas manufaktur yang pada periode penelitian menyajikan laporan keuangannya
dengan mata uang rupiah.
4. Entitas manufaktur yang terindikasi melakukan fraud menurut perhitungan Beneish M-
Score minimal 1 kali dalam 3 tahun pengamatan.
Tabel 1 menunjukkan proses pemilihan sampel. Hasil pemilihan sampel mendapatka
jumlah entitas manufaktur yang terindikasi melakukan fraud minimal 1 kali dalam 3 tahun
penelitian adalah sebanyak 65 entitas, sehingga sampel keseluruhan selama 3 tahun adalah 195
sampel. Sampel sebanyak 195 entitas terpilih kemudian diklasifikasikan menjadi 2 kelompok
sampel berdasarkan perhitungan rasio Beneish M-Score, yaitu kelompok entitas yang
terindikasi melakukan fraud sebanyak 92 entitas dan yang tidak melakukan fraud sebanyak
103 entitas.
Tabel 1
Proses Pemilihan Sampel
Predicted
Financial Statement Percentage Correct
Fraud
Observed Non Fraud Fraud
Step Financial Statement Non 74 29 71,8
1 Fraud Fraud
Fraud 40 52 56,5
Overall Percentage 64,6
Sumber: Output SPSS, Diolah Peneliti, 2016
Tabel 5 matriks klasifikasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan 64,6% sampel
dapat diprediksikan dengan tepat oleh model regresi logistik pada penelitian ini. Persentase
ketepatan tabel klasifikasi dengan nilai 64,6% mendukung tidak adanya perbedaan yang
signifikan terhadap data hasil prediksi dan data observasinya yang menunjukkan model regresi
logistik baik.
Tabel 6 menunjukkan hasil pengujian hipotesis pengaruh pengaruh financial stability,
external pressure, personal financial need, financial targets, nature of industry, ineffective
monitoring, dan rationalization berpengaruh terhadap financial statement fraud.
Tabel 6
Pengujian Hipotesis