Anda di halaman 1dari 21

Four Major Categories of Ischemic Cerebrovascular

Disease: Identification and Treatment

Devinta Dhia Widyani


1102013077

Pembimbing:
Dr. Gotot Sumantri, SpS

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RSUD PASAR REBO
PERIODE MARET – APRIL
2019
Penyakit Jantung
Kondisi cerebrovascular akibat gangguan jantung meliputi infark serebral,
Transient Ischemic Attack (TIA), syncope, dan anoxia global. Penyakit jantung
dapat menyebabkan gejala iskemik serebral melalui beberapa mekanisme. Hal
ini perlu dikelompokkan sebagai:
1. gangguan yang terkait dengan kegagalan pompa jantung yang
menyebabkan iskemia serebral umum (syncope) atau infark
(encephalopathy anoxic)
2. kondisi yang paling sering mempengaruhi tromboembolisme yang
berhubungan dengan kejadian iskemia serebral fokal.
Gangguan yang terkait dengan kegagalan pompa jantung terutama pada aritmia
jantung, termasuk henti jantung dan gagal jantung kongestif. Infark serebral
emboli atau TIA yang berasal dari jantung kemungkinan dihasilkan dari salah
satu mekanisme dasar:
1. generasi fragmen emboli dari katup jantung
2. produksi thrombi intracardiac dari stagnasi lokal dan perubahan
endokardial
3. melangsir thrombi vena sistemik ke dalam sirkulasi arteri

Pasien dengan penyakit iskemik cerebrovascular atau keadaan iskemik


retinal harus dilakukan pemeriksaan untuk tanda kelainan irama jantung
(seperti atrial fibrilasi dan sick sinus syndrome), lesi katup (seperti stenosis
mitral prolapse katup mitral, kalsifikasi annular mitral, dan endocarditis
bacterial subakut), dan lesi pada myocardium (seperti infark terbaru, infark lama
dengan akinesia segmental atau dilatasi aneurisme , dan cardiomiopati).
Kelainan jantung yang paling sering memberikan dampak pada iskemia
cerebrovascular dapat dibagi menjadi terbukti dan terduga resiko jantung
berdasarkan bukti epidemiologi dan klinis yang mendukung peran gangguan
dalam penyakit cerebrovascular.
Infark cardioemboli adalah 20%-25% penyebab stroke iskemik. Lama
penurunan fungsi saraf focal adalah tiba-tiba dan terjadi maksimal saat onset,
tetapi deficit saraf bisa saja tidak sempurna atau bahkan lebih buruk secara

2
signifikan setelah onset. Kejang focal atau umum cenderung terjadi muncul lebih
awal setelah infark emboli cerebri dengan keterlibatan cortical tetapi mungkin
juga mulai berbulan-bulan setelah episode akut iskemik. Beberapa kasus
epilepsy idiopatik pada orang tua mungkin menjadi hasil dari klinis infark
cortical cerebri sunyi.

Tabel 17-1. Resiko jantung pada iskemia cerebrovascular

Resiko jantung yang terbukti


Atrial fibrilasi
Katup Mekanis
Kardiomiopati dilatasi
Infark miokardial baru
Thrombus intracardiac
Massa intracardiac
Resiko jantung yang terduga
Sick sinus syndrome
Foramen ovale yang menetap
Debris aterosklerosis di aorta thorax
Kontras ekokardiografi spontan
Infark myocardial 2-6 bulan sebelumnya
Hypokinetic atau akinetik segmen ventrikuler kiri
Kalsifikasi annulus mitral

Dasar untuk diagnosis klinis adalah demonstrasi embolus yang berasal


dari jantung atau pirau dari kiri ke kanan dengan emboli yang berasal dari vena
dan tidak ada bukti penyebab stroke iskemik yang lain. Ditemukannya emboli
ditempat lain seperti retina, ginjal, atau limpa dan infark cerebral multiple di
pembuluh darah lain membuat diagnosis menjadi lebih pasti. Sebagai tambahan,
sindrom klinis yang pasti dan temuan radiografi mungkin mengacu pada emboli
sebagai mekanisme yang mendasarinya, walaupun hal ini tidak spesifik
penyebab emboli.
Kebanyakan infark kardioemboli melibatkan korteks dan biasanya
penyebarannya di cabang cortical yaitu arteri cerebri media. Hal ini
menghasilkan gejala berupa kelemahan bagian bawah wajah unilateral yang
berhubungan dengan dysphasia berat, konralateral brachial atau monoplegia
tangan atau paresis dengan atau tanpa kehilangan sensorik cortical, dan afasia
Broca yang relatif terisolasi atau apraxia motorik bicara atau afasia Wernicke.
Secara mendadak hemianopia homonim terisolasi muncul pada embolus yang
terjadi di daerah cerebri posterior, kelemahan kaki unilateral tiba-tiba atau
gangguan keseimbangan disebabkan oleh embolus di daerah cerebri anterior.
Stroke iskemik kardioemboli yang mempengaruhi batang otak relatif jarang
terjadi.
Embolisme serebral septik dengan endocarditis bakteri sering
menghasilkan defisit neurologis yang terkait dengan gejala non fokal seperti
kebingungan, agitasi, atau delirium yang disebabkan oleh infark septik dengan
abses mikroskopis. Namun, depresi kesadaran yang disebabkan oleh embolus

3
arteri besar juga dapat terjadi. CT atau MRI sering menunjukan derajat
transformasi hemoragik, dan beberapa infark otak atau sistemik biasanya
muncul.
Diagnosis banding iskemik emboli meliputi subtipe infark cerebri
maupun perdarahan intracerebral, komplikasi migrain, gangguan kejang primer,
gangguan fungsional. Penyebab emboli cerebral yang bukan berasal dari jantung
termasuk arterosklerosis aorta dan arteri craniocervical, adanya shunting
jantung dari kanan ke kiri, thrombosis vena paru atau perifer, tumor, lemak
(setelah fraktur besar), atau emboli udara (setelah trauma leher atau dada).

Emboli Serebral Terkait Katup


Emboli serebral terkait katup kemungkinan berasal dari beberapa
kondisi, termasuk penyakit jantung rematik, penyakit katup aortic dan mitral,
katup prostetik, prosedur jantung, endokarditis infektif dan non infektif.
Embolisasi cerebral pada penyakit jantung rematik dapat terjadi selama
penyakit akut, ketika infeksi peradangan pada katup jantung dapat lepas dan
embolisasi, atau lebih sering pada fase kronik penyakit, ketika kelainan bentuk
katup, pembesaran atrium, dan jantung abnormal. Resiko terbesar infark
serebral dari penyakit jantung rematik kronis muncul dalam 1 tahun setelah
onset atrial fibrilasi. Dalam klinis, otak adalah tempat emboli pada sekitar 30%
pasien, tetapi dalam otopsi, hamper 50% pasien menunjukan infark serebral
yang mungkin terkait dengan emboli. Stenosis mitral telah terjadi pada sebagian
besar pasien ini. Tatalaksana antikoagulasi dengan heparin yang diberikan
secara intravena diikuti dengan antikoagulasi warfarin atau perbaikan katup
direkomendasikan untuk semua kejadian emboli otak yang berhubungan dengan
penyakit jantung rematik, terutama pada pasien dengan suara murmur atau
pada pasien yang ditunda pembedahannya atau tidak dapat dilakukan.
Embolisasi kalsium spontan kadang-kadang terjadi dengan kalsifikasi stenosis
aorta, tetapi lebih sering embolisasi menghasilkan gejala retinal daripada
iskemik cerebral. Kejadian iskemik cerebral yang tidak berhubungan dengan
faktor resiko yang tercatat pada pasien dengan prolapse katup mitral. Pada
pasien dengan emboli cerebral yang berhubungan dengan prolapse katup mitral,
terapi antiplatelet dan antikoagulan harus dipertimbangkan. Kalsifikasi annulus
mitral adalah faktor resiko lain yang mungkin pada kejadian cardioemboli, dan
hal ini masih dalam studi.
Katup jantung prostetik berhubungan dengan peningkatan kejadian
emboli cerebral dan sistemik. Resiko lebih tinggi pada katup prostetik, dan
antikoagulasi kronik digunakan pada keadaan ini. Bahkan dengan terapi
warfarin (International Normalized Ratio, 3.0-4.5), tingkat stroke adalah 2-4%
per tahun, dan resiko lebih tinggi pada katup prostetik mitral daripada katup
prostetik. Selain warfarin, beberapa penilitian menganjurkan penggunaan
bersama dipyridalome dan mengutip bukti terbaru yang menunjukan potensi
pengurangan resiko stroke.
Katerisasi jantung dan arteriografi, yang dilakukan pada hamper
semua pasien sebelum operasi jantung, terkait dengan komplikasi
serebrovaskular (Sekitar 0,2%). Komplikasi seperti itu dapat terjadi dari
perpindahan langsung bekuan dan bahan atheromatous atau dari trauma ke inti
arteri, yang menyebabkan embolisasi selanjutnya.

4
Operasi jantung jenis apapun berhubungan dengan penongkatan resiko
iskemik cerebral. Hal ini mungkin disebabkan oleh manipulasi yang mengarah
pembentukan bekuan dan embolisasi, sindrom ensefalopati non fokal
diantaranya disebabkan hipotensi atau anoxia, atau sindrom iskemik multifocal
yang disebabkan embolisasi udara, fibrin, kalsium, atau globul lemak. Defisit
iskemik fokal diamati lebih sering setelah operasi katup daripada yang
menjalankan prosedur bypass coroner. Embolisasi lambat adalah komplikasi
penggantian katup dan lebih sering pada penggantian katup mitral disbanding
katup aorta.
Embolisasi serebri muncul pada 20% pasien dengan infektif endokarditis
dan biasanya menunjukan gejala kelainan. Kemungkinan embolisasi lebih tinggi
pada pasien dengan keterlibatan katup mitral. Empat sindrom klinis dan
patologis yang berbeda diamati: (1) infark serebri fokal (yang paling sering)
hasil dari okluasi emboli arteri besar, (2) beberapa area kecil infark serebral
menghasilkan ensefalopati difus dengan atau tanpa perubahana kesadaran, (3)
meningitis dari emboli kecil yang terinfeksi di arteri meningeal, dan (4)
pembentukan aneurisme mikotik hasil dari septik embolisasi dengan pecahnya
aneurisme selanjutnya dan perdarahan intracranial.
Tatalaksana pasien dengan endokarditis infektif termasuk pemberian
terapi antimicrobial yang sesuai, biasanya sesuai dengan hasil kultur.
Antikoagulan tidak digunakan, setidaknya pada masa infeksi aktif, karena
peningkatan resiko perdarahan infark. Apabila aneurisme nekotik terdeteksi
pada arteriography serebral, ulangi arteriography apabila dibutuhkan setelah
pemberian terapi antimicrobial, dan terapi operatif mungkin dibutuhkan apabila
timbul aneurisme.
Endokarditis thrombosis nonbakteri disebut juga endokarditis
marantik, biasanya muncul di cachetic, diperberat pada pasien lebih tua dengan
penyakit sistemik, biasanya keganasan. Secara patologis, vegetasi endokarditis
thrombosis nonbakteri terdiri dari morf, materi aseluler terdiri dari campuran
fibrin dan platelet. Kurang dari setengah pasien dengan kondisi ini didapatkan
murmur pada jantung. Seperti endokarditis infektif, kebanyakan pasien
menunjukan tanda disfungsi serebral difus, baik sendiri atau berhubungan
dengan defisit fokal yang dikenali.
Walaupun hasil terapi antitrombotik masih tidak dapat ditentukan
dengan endokarditis marantic (thrombosis nonbacterial), kegunaan
antikoagulan diikuti dengan terapi antiplatelet biasanya disarankan untuk
pasien dengan kejadian iskemik serebral fokal. Diseminasi koagulasi
intravascular, biasanya berhubungan dengan endokarditis nonbacterial, dapat
secara mandiri menghasilkan beberapa area kecil infark serebri.
Endapan katup yang tidak berbahaya yang disebut Libman-Sacks
endocarditis mungkin muncul pada pasien dengan sistemik lupus eritematous.
Pasien dengan emboli otak atau sistemik pada konteks ini biasanya diberikan
terapi dengan paling tidak antikoagulasi terapi jangka pendek. Terapi biasanya
diubah menjadi agen antiplatelet, terutama bila endocardiographic mengalami
perubahan.

Thrombus intracardiac
Atrial fibrilasi adalah aritmia jantung yang paling sering berhubungan
dengan emboli infark otak. Pada kondisi ini, atria tidak berkonktraksi secara

5
efektif, stagnasi darah merupakan predisposisi thrombus intraluminal. Resiko
embolisasi otak meningkat dengan semakin panjangnya durasi disaritmia,
pembesaran atrium kiri, tromboembolisme sistemik sebelumnya, riwayat
hipertensi atau gagal jantung kongestif, dan berhubungan dengan penyakit
katup jantung, terutama stenosis mitral.
Apabila atrial fibrilasi baru ditemukan saat terjadinya kejadian iskemik,
perubahan menjadi normal ritme sinus dengan kardioversi listrik maupun kimia
disarankan. Konversi atrial fibrilasi menjadi normal ritme berhubungan dengan
resiko embolisasi, yang biasanya muncul dalam 48 jam. Terapi antikoagulan
harus sebelum konversi, terutama pada pasien dengan resiko tinggi (pasien yang
embolisasi baru atau berulang, pembesaran jantung, gagal jantung, atau penyakit
yang berhubungan dengan katup mitral).
Pada pasien dengan kronik atrial fibrilasi, terapi medis diindikasikan
untuk mencegah kejadian emboli sistemik. Antikoagulan oral jangka panjang
direkomendasikan (International Normalized Ratio , 2.0-3.0; jarak terendah 1.8-
2.5 dapat efisien), kecuali pada pasien dibawah 60 tahun yang tidak memiliki
hubungan penyakit kardiovaskuler, termasuk hipertensi, gagal jantung kongestif,
pembesaran atrial kiri, disfungsi ventrikel kiri, kejadian tromboemboli
sebelumnya. Rekomendasi antikoagulen bahkan semakin kuat untuk pasien yang
memiliki riwayat iskemik serebrovaskuler fokal selama 2 tahun terakhir. Aspirin
dapat berguna sebagai profilaktik agen pada pasien dengan kontraindikasi
terhadap warfarin atau pada pasien usia yang lebih tua.
Sick Sinus Syndrome disaritmia yang biasa terjadi pada orang tua, terjadi
pada 2%-3% orang tua di atas 75 tahun. Resiko iskemia serebral pada seseorang
dengan sick sinus syndrome masih kontroversial. Walaupun beberapa peneliti
percaya bahwa ini kondisi yang jinak, peniliti lain mencatat peningkatan resiko
emboli serebral, terutama diantara yang memiliki sindrom bradikardi-takikardi.
Terapi yang sesuai sebagai pencegahan primer stroke pada sick sinus
syndrome belum diketahui. Beberapa telah menganjurkan langkah dua ruangan,
sedangkan yang lain percaya bahwa antikoagulasi jangka panjang diperlukan.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi resiko stroke lebih baik dan
menjelaskan terapi profilaktik yang paling efisien. Pada pasien dengan serebral
iskemik yang berhubungan dengan sick sinus syndrome, alat pacu jantung perlu
di implan.
Pasien dengan riwayat penurunan kesadaran dan sinkop dengan kelainan
irama lainnya, seperti blok jantung lengkap atau gangguan irama ventrikel
paroksim yang serius, biasanya tidak membutuhkan terapi antitrombolitik
karena resiko tromboembolisme relatif rendah.
Infark otak muncul kurang lebih pada 2% pasien dengan infark
miokardial. Walaupun hipotensi sistemik mungkin berperan dalam defisit
iskemik otak, klinis dan autopsy menyatakan bahwa kebanyakan lesi otak fokal
disebabkan oleh terbentuknya mural thrombus dan embolisasi yang
berkelnajutan. Apabila embolisasi cerebri muncul, biasanya muncul dalam 2
minggu setelah infark miokard akut dan biasanya menimbulkan gejala. Karena
aneurisme ventrikel berkembang sebagai hasil dari terbentuknya thrombus di
5%-20% infark miokard, kemungkinan kejadian di otak yang timbul kemudian
perlu dievaluasi untuk kemungkinan sumber dari jantung. Dalam situasi ini
terapi antikoagulan jangka panjang perlu dimulai kecuali terdapat
kontraindikasi. Setelah pasien mendapatkan infark miokard, antikoagulan harus

6
dimulai diberikan heparin secara intravena diikuti dengan antikoagulan oral
(warfarin) tuggal, dan penggunaan heparin dihentikan ketika International
normalized ratio 2.0-3.0. walaupun durasi efektif pemberian terapi belum
diketahui, terapi warfarin biasanya diberikan selama beberapa bulan dan
digantikan dengan antiplatelet seperti aspirin.
Gagal jantung kongestif ditandai dengan pembesaran jantung, kontraksi
otot jantung lemah, dan penurunan output jantung yang mempengaruhi stagnasi
darah dan thrombus intracardiac. Walaupun terkadang gagal jantung kongestif
sebagai satu-satunya penyebab terbentuknya thrombus intrakardiak atau vena
paru, dapat diketahui gangguan jantung lainnya seperti infark miokard,
kardiomiopati generalisata, kelainan katup, atau aritmia juga berkintribusi
dalam pembentukan thrombus.
Pasien dengan iskemik fokal cerebri biasana berhubungan dengan
kardiomiopati, pada pasien dengan kardiomiopati diberikan pula antikoagulan.
Pemberian antikoagulan jangka panjang harus dipertimbangkan berdasarkan
individu.

Thrombus vena sistemik


Secara anatomi foramen ovale bertahan pada 15% individu, pada keadaan
ini emboli vena dapat memasuki sirkulasi otak (emboli paradoksal). Sindrom
klinis jarang terjadi, tetapi diagnosis dapat diperkirakan pada pasien dengan
tromboplebitis atau emboli paru pada pasien dengan defisit fokal cerebri akut
yang berkembang selnajutnya. Pasien dengan infark emboli cerebral atau TIA
yang disebabkan thrombus vena sistemik, termasuk pasien dengan defek septum
interarial atau interventrikuler, harus mendapatkan warfarin selama setidaknya
3 bulan, bahkan jika gangguan jantung primer dikoreksi secara operasi. Apabila
defek tidak dikoreksi seacara operasi, terapi kronis dengan warfarin harus
dipertimbangkan. Apabila thrombus vena paru diduga menjadi penyebab
iskemik serebrovaskuler, terapi heparin harus diberikan, diikuti dengan
warfarin selama 3 bulan.
Sekitar 25% pasien dengan stroke dengan kardioemboli memiliki potensi
lain untuk iskemik. Apabila salah satu resiko jantung yang sudah terbukti
teridentifikasi pada pasien dengan iskemik serebrovaskuler, antikoagulan jangka
panjang dengan warfarin diperlukan sebagai profilaksis apabila mekanisme
potensial lain untuk iskemik baru teridentifikasi. Pada pasien stroke
kardioemboli, heparin biasanya diberikan pada tahap akut, diikuti dengan
warfarin pada pasien non hipertensi dengan stroke ringan atau sedang. Pasien
dengan infark cerebri ringan, pemberian heparin biasanya tidak ditunda, tetapi
penggunaan heparin ditunda pada stroke sedang setelah dilakukan CT scan 24-
48 jam setelah terbukti tidak ada pembentukan perdarahan. Antikoagulan
kemungkinan ditunda beberapa hari sampai 2 minggu atau tidak digunakan pada
stroke berat atau bila pasien memiliki hipertensi berat.

Penyakit Pembuluh Besar

7
Aterosklerosis
Proses penyakit yang paling umum diidentifikasi menghasilkan iskemia
retina atau serebral adalah aterosklerosis. Aterosklerosis dapat menghasilkan
gejala serebral melalui mekanisme hemodinamik atau tromboemboli atau
keduanya. Proses aterosklerosis biasanya terjadi lambat dalam tahun atau
decade, sering memberikan waktu untuk membangun aliran darah kolateral ke
lesi. Biasanya, tidak jarang, pasien tanpa gejala mengalami oklusi dari satu atau
lebih arteri serviks kranial mayor.

Tromboemboli adalah mekanisme lain dimana aterosklerosis


menimbulkan gejala iskemik serebral. Material aterotrombotik dapat stenosis
atau menutup lumen pembuluh, mungkin pecah untuk embolisasi secara distal
pada cabang arteri. Ketika mekanisme ini dikombinasikan dengan faktor
sistemik seperti hipotensi, hipoksia, anemia, kelainan viskositas darah, dan
hipoglikemia, fokal atau multifocal iskemia serebral mungkin muncul. Walaupun
aterosklerosis biasanya ditemukan secara difus di beberapa area di tubuh,
sumber primer gejala serebrovaskuler adalah deposit aterosklerosis, biasanya
terleta di arteri bifurcation servikal. Area yang biasanya terkena di leher adalah
(1) bagian proksimal arteri carotis interna dan (2) bagian proksimal arteri
vertebra. Pada intrakranial, lingkaran Willis dan arteri basilar adalah area yang
terlibat maksimal.

8
Epidemiologi studi telah mengidentifikasi beberapa faktor yang menjadu
kemungkinan terbentuknya aterosklerosis. Diantara beberapa faktor resiko
berikut, merokok, hipertensi adalah yang paling berpengaruh. Diabetes mellitus
dan kenaikan serum kolesterol total, LDL kolesterol, dan trigliserid juga
berpengaruh.
Gangguan oklusif arteri vertebral ekstrakranial yang diakibatkan
aterosklerosis atau etiologi lain yang belum diketahui menyebabkan stroke
batang otak atau sirkulasi posterior karena aliran kompensasi dari arteri
vertebra kontralateral atau arteri vertebra rostral dan mengalir retrograde ke
arteri basiler dari system arteri karotis communicating posterior. Kebanyakan
aterosklerosis menyebabkan sindrom insufisiensi vertebrobasiler atau sebagai
hasil dari TIA, termasuk gejala pusing, sensasi sinkop, pandangan buram,
diplopia, vertigo, disartria, kelemahan ekstremitas, gangguan koordinasi,
kehilangan sensorik, kelemahan wajah, atau kehilangan sensasi dan tidak
seimbang. Sebagai tambahan, penyebab penyakit oklusif kranioservikal yang
terkait thrombosis termasuk arteritis, kelainan hematologi, diseksi arteri karotis,
vertebrobasiler atau serebral, dan infeksi system saraf pusat atau sistemik.
banyak pasien dengan infark trombotik memiliki onset tiba-tiba atau bertahap
dari defisit neurologis mereka. diagnosis klinis ditegakkan dengan bukti stenosis
arteri atau oklusi di satu atau lebih lokasi.
Skrining non-invasif awal untuk adanya stenosis "signifikan-tekanan"
atau "signifikan secara hemodinamik" dalam sistem karotid biasanya dilakukan
dengan ocular pneumoplethysmography atau ultrasonografi karotid / studi
dupleks karotis. Ultrasonografi lebih luas digunakan, tetapi oculo
pneumoplethysmography lebih efektif dalam biaya. Jika lesi aterosklerotik yang
tepat dan dapat dibedah dengan operasi, endarterektomi karotid
dipertimbangkan. Karotis endarterektomi dilakukan untuk mencegah iskemia
serebral dengan dikombinasikan morbiditas dan mortalitas stroke dari
arteriografi dan prosedur operasi kurang dari 3% pasien asimtomatik dan
kurang dari 6% pasien simtomatik.
Manajemen medis menjadi lebih dipertimbangkan apabila satu atau lebih
kondisi berikut ini muncul: (1) terdapat progresif ginjal, hepar, paru atau gagal

9
jantung; (2) DM tidak terkontrol atau hipertensi tidak teratur; (3) kanker dengan
tingkat kelangsungan hidup kurang dari 5 tahun; (4) koeksistensi sumber-
sumber lain untuk emboli serebral; (5) gejala yang tidak diketahui sumbernya,
kontralateral dari arteri yang stenosis, atau di daerah vertebrobasiler; atau (6)
munculnya lesi tandem secara distal di distribusi arteri yang sama atau lebih
parah dibandingkan dengan area lesi karotis bifurcation. Pasien yang
menjalankan karotis endarterektomi untuk TIA atau stroke minor selanjutnya
menjadi beresiko terhadap stroke hemisfer ipsilateral selanjutnya dengan resiko
kumulatif sekitar 9.5% dalam 4tahun setelah operasi.
Stenosis arteri karotis simtomatik yang mengurangi diameter arteri
sebanyak 70% atau lebih dan berhubungan dengan TIA tunggal atau multiple,
infark serebral minor atau TIA bertahap (dengan atau tanpa terapi antiplatelet)
adalah indikasi pasti untuk endartektomi karotis. Terapi antiplatelet tidak harus
dihentikan sebelum operasi apabila sudah diberikan. Pasien dengan infark
serebral dan defisit sedang hingga berat tidak memenuhi syarat untuk uji
evaluasi endarterektomi karotid pada pasien simtomatik. secara umum, dokter
bedah akan menunggu 2 hingga 6 minggu setelah pasien mengalami infark
serebral yang signifikan untuk mengurangi risiko transformasi hemoragik.
Untuk pasien simtomatik dengan TIA atau infark serebral minor yang
berhubungan dengan stenosis arteri karotis sedang, endarterektomi karotis
dapat dilakukan tetapi belum ada hasil yang terbukti untuk mencegah stroke.

10
Pasien yang tidak dilakukan karotis endarterektomi di berikan
tatalaksana secara medis (antikoagulan atau antiplatelet). Iskemik
serebrovaskuler yang berhubungan dengan stenosis di arteri karotis
ekstrakranial pada pasien yang tidak dilakukan operasi secara umum diterapi
dengan heparin diikuti dengan warfarin selama 3 bulan. Setelah terapi warfarin,
direkomendasikan konsumsi aspirin setiap hari 81-300mg dengan periode yang
tidak ditentukan. Pasien dengan simtomatik stenosis di arteri karotis distal,
arteri serebri media, arteri vertebral, atau arteri basiler juga diterapi dengan
warfarin paling tidak selama 3 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet. Pada
pasien dengan kontraindikasi warfarin, aspirin atau ticlopidine diindikasi.
Transluminal ballon angioplasty pada ateri vertebral dan basiler dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan lesi stenosis simtomatik kedua arteri
vertebral, penyempitan arteri basiler, penyempitan arteri karotis interna distal
atau arteri serebri media atau segmen panjang stenosis dengan ketidakteraturan
dan terbukti tromboemboli, yang tidak dapat dilakukan prosedur bypass, dan
yang gagal dalam terapi medis termasuk terapi antikoagulan dan antiplatelet.
Karotis endarterektomi ipsilateral dikombinasikan dengan bypass grafting arteri
coroner juga umumnya dipertimbnagkan namun belum terbukti pada pasien
simtomatik TIA atau infark serebral minor dengan stenosis unilateral atau
bilateral. Prosedur operasi lain, ekstrakranial dan intracranial bypass ditemukan
secara umum tidak efektif dalam mencegah stroke iskemik diantara pasien
dengan iskemis serebral fokal simtomatis dan lesi oklusif kranioservikal lain.

Displasia Fibromuskular
Dysplasia fibromuskular adalah penyakit noninflamasi yang biasanya
menimbulkan efek pada salah satu atau kedua arteri karotis diatas bifurcation
karotis. Arteriografi serebral (biasanya dilakukan pada symptom yang tidak
berkaitan) biasanya melihat karakterisik tampilan beaded-lumen, dengan
multiple stenosis, pemanjangan dan lilitan dan biasanya formasi aneurisme. Pada
pasien dengan serebrovaskuler yang memiliki gejala berhubungan dengan
dysplasia fibromuskular, pilihan intervensi agresif seperti endarterektomi atau
dilatasi arteri endovaskuler jarang dibutuhkan. Terapi konservatif (terapi
antiplatelet) biasanya lebih dipilih karena termasuk kondisi yang jinak. Terapi
dengan Warfarin dalam 3 sampai 6 bulan mungkin dipilih untuk pasien dengan
stenosis arteri karotis hemodinamik signifikan berhubungan dengan TIA
ipsilateral, defisit neurologis iskemik reversible, infark serebral minor, atau
iskemik fokal berulang. Jika dysplasia fibromuskuler adalah komplikasi dari
diseksi aneurisme yang berhubungan dengan gejala iskemik serebrovaskuler
berulang, terapi antikoagulan dan antiplatelet diikuti dengan pembedahan dapat
dipertimbangkan.

Diseksi Arteri Karotis


Diseksi arteri karotis biasanya berhubungan dengan trauma, dysplasia
fibromuskular, atau kelainan kolagen, atau terjadi secara spontan. Kelaian ini
pertama kali ditemukan pada wanita muda. Gejala klinis meliputi nyeri okuler,
sindrom Horner ipsilateral, dan ketidaknyamanan hemikranial dengan atau
tanpa defisit iskemik serebrovaskuler fokal. Arteriografi serebral atau MRA

11
menunjukan penyempitan memanjang, biasanya dengan tapering kerucut dan
terkadang menyerupai “kantong distal”.

Terapi antikoagulan dengan heparin diikuti dengan terapi warfarin rata-


rata 3 bulan umumnya direkomendasikan untuk diseksi ateri karotis interna
ekstrakranial berhubungan dengan iskemis serebral fokal. Walaupun,
penggunaa heparin masih kontroversial bila kelainan meliputi perdarahan di
dinding arterial. Dalma keadaan ini atau bila terapi warfarin kontraindikasi
karena masalah medis lain, terapi antiplatelet dapat dipertimbangkan. Terapi
operasi biasanya tidak digunakan untuk diseksi karotis karena resolusi sebagian
dan seluruhnya dari diseksi dan thrombosis dengan rekanalisasi selama periode
beberapa bulan biasanya muncul.
Tatalaksana untuk diseksi ateri karotis internal masih kontroversial.
Terapi antiplatelet biasanya direkomendasikan (terutama di situasi gejala
iskemik serebral fokal atau ketika gejala tidak muncul setelah beberapa minggu).
Walaupun ada beberapa resiko terjadinya rupture arteri, terapi awal dengan
heparin dan warfarin biasanya diberikan bila gejala iskemik serebral fokal
muncul. Pasien dengan iskemia batang otak yang disebabkan oleh diseksi arteri
vertebral atau basiler harus diterapi dengan heparin antikoagulan jika tidak
terdapat bukti perdarahan intracranial. Warfarin biasanya digunakan selama 3
sampai 6 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet.

12
Radiasi
Terkadang radiasi leher dan kepala intensif (contoh, untuk tumor otak,
limpoma, dan karsinoma laring) dapat berpengaruh pada arteri, kapiler, atau
vakulopati vena dan mengarah ke stroke iskemia atau hemoragik atau TIA. Pada
pasien ini komplikasi pada serebrovaskuler biasanya 6 bulan sampai 2 tahun.
Radiasi juga dapat menimbulkan premature dan perburukan aterosklerosis,
yang dapat menimbulkan kelainan oklusif pembuluh darah besar.

Homocystinuria
Berhubungan dengan infark tromboemboli dan harus dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding stroke pada usia muda. Walaupun biasanya
mekanismenya adalah premature aterosklerosis penyempitan pembuluh darah
besar, oklusi tanpa didahului stenosis bisa timbul. Pemberian diet rendah
methionine dan dosis besar pyridoxine, vitamin b12 dan folat mungkita dapat
membantu.

Small Vessel Disease


Hipertensi
Hipertensi (tekanan sistolik 160mmHg atau lebih atau tekanan diastolic
95mmHg atau lebih) dapat mempengaruhi otak secara tidak langsung dengan
berkontribusi dalam perkembangan fungsi jantung terganggu atau secara
langsung memproduksi secara fisiologi dan patologi perubahan di sirkulasi
serebral. Semakin spesifik kelainan serebrovaskuler di pasien dengan hipertensi
berkelanjutan terdiri dari nekrosis fibrinoid, lipohialinosis, dan mikroaneurisme
milier, menghasilkan degenerasi segmental nonatherosklerotik di dinding arteri
yang menembus. Lesi ini ditenukan pada hampir seluruh otak pasien dengan
hipertensi, yang berlokasi mulanya di ganglia basalis, thalamus, pons, serebelum,
dan subkorteks, region yang sama dikedua infark lacunar dan perdarahan
intraserebral menonjol.
Infark lacunar menyebabkan 10% sampai 15% stroke iskemik dan
cenderung berhubungan dengan gejala klinis tertentu. Infark lacunar kecil dan
dihasilkan dari keterkaitan penetrasi cabang dalam, kecil dari ateri intracranial
tanpa keterkaitan konteks. Karena cabang arteri ini memiliki koneksi kolateral
yang buruk, obstruksi aliran darah yang disebabkan perpindahan fibrin,
lipohialinosis, mikroatheroma, atau thrombus memicu infark dalam distribusi
terbatas salah satu arteri. Penyebab lain karena sindrom ini adalah perdarahan
kecil atau infark emboli yang sangat kecil.
Lakuna biasanya tidak menimbulkan defisit seperti afasia, homonim
hemianopia, koma, bangkitan, gangguan memori terisolasi, monoplegiam atau
kehilangan kesadaran. Biasanya muncul saat tidur, dan perkembangannya secara
bertahap selama 1 sampai 4 hari tidak jarang. 5 gejala yang paling sering timbul
yaitu:
a. Hemiparesis motoric murni dengan kelemahan termasuk wajah,
lengan, tungkai pada salah satu sisi dari tubuh yang disebabkan
oleh lesi kontralateral kapsula intena atau dasar pons.

13
b. Stroke sensorik murni dengan baal pada wajah, lengan, tungkai
salah satu sisi wajah yang disebabkan lesi di dekat thalamus
kontralateral.
c. Syndrome disartria clumy hand, dengan disartria berat,
kelemahan tangan ringan dan kekauan, kelemahan wajahm dan
disfagia yang disebabkan oleh dasar pons.
d. Hemiparesis ataksik dengan hemiparesis motor murni dan
ataksik di tungkai yang terkena, disebabkan oleh lesi didasar pons
atas.
e. Demensia, pseudobulbar palsy dan defisit system motor bilateral
yang disebabkan lesi bilateral multiple melibatkan ganglia basal,
subkorteks, dan batang otak (disebut sebagai keadaan lacunar,
atau état lacunaire)
Walaupun semua sindrom ini biasanya disebabkan karena kelainan
lacunar, mekanisme iskemik lainnya juga terlibat. Lacunar yang muncul pada
distribusi sirkulasi anterior harus dievaluasi dengan duplex karotis atau
oculopneumoplethysmography. Infark lacunar di posterior dapat dievaluasi
dengan MRA atau USG Doppler intracranial pada sistem vertebrobasiler. Banyak
studi mendukung bahwa 90% infark lacunar muncul akibat hipertensi kronik
dan berhubungan dengan perubahan patologi di system arterial, tetapi yang lain
melaporkan rendahnya prevalensi hipertensi pada beberapa pasien, yang
membuat evaluasi komperhensif untuk penyebab thrombosis dan emboli
menyebabkan timbulnya penyebab alternative. Jika muncul perdebatan tentang
kelainan vaskuler yang bertanggung jawab, dapat dilakukan EKG dan
arteriography serebral untuk mengeliminasi penyebab infark lain.
Terapi harus dilakukan dengan penurunan tekanan darah bertahap.
Tearpi antiplatelet dengan aspirin atau ticlopidin masih belum jelas manfaatnya
untuk keadaan ini, tetapi antikoagulan warfarin secara relatif kontraindikasi.

Arteritis
Arteritis intrakranial mungkin berhubungan ataupun tidak dengan
penyebab infeksi yang dapat diidentifikasi. Keadaan infeksius termasuk saat
arteritis yang disebabkan oleh keterlibatan meningeal (bakteri, jamur,
tuberculosis, dan meningitis sifilitis) dan pada arteritis yang muncul independen
terhadap meningitis (aspergillosis, mucormycosis, herpes zoster, malaria,
trichinosis, penyakit rickettsia, dan chistosomiasis). Proses non infeksius sering
melibatkan parenkim otak selain arteri serebral dari kaliber yang diberikan.

Arteritis infeksius
Beberapa proses CNS infektf lan menghasilkan perubahan reaktif di
pembuluh darah, yang disebut endarteritis obliteratif. Kondisi ini ditandai
dengan inflamasi infiltrate seluler dan penebalan arteri intima, yang mungkin
stenosis dan menyumbat lumen atau menyediakan semacam nidus untuk
tromboemboli. Pasien tampak sangat sakit dan memiliki tanda yang jelas dari
iritasi meningeal sebelum berkembangnya gejala iskemik. Pernah menjadi
penyebab umum stroke iskemik pada dewasa muda, saat ini sifilis tersier jarang.
Segala bentuk sifilis tersier juga berhubungan dengan keterlibatan vascular,
namun gejala klinis serebrovaskuler paling menonjol dengan sifilis

14
meningovaskuler, dimana biasanya berkembang dalam 5 sampai 10 tahun
setelah infeksi pertama.
Penyebab infeksi lain yang jarang pada endarteritis serebri adalah
malaria dan penyakit rickettsia, yang menyebabkan gejala iskemik tiba-tiba,
psikosis, atau penurunan kesadaran. Infeksinya meliputi aspergillosis, yang
biasanya muncul berhubungan dengan penyakit sistemik, teruama sistem
respirasi; mucormycosis, muncul pada pasien dengan diabetes mellitus yang
memiliki infeksi pada periorbital dan sinus kavernosus; herpes zoster, yang
mengarah ke keterlibatan arteri karotis interna distal dan arteri serebral
proksimal, dengan hemiplagia kontralateral tertunda sebagai gajala yang paling
sering; trichianosis, yang berhubungan dengan inflamasi miopati dan sangat
jarang dengan meningoensefalitis; dan schistosomiasis mansoni dengan
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan obstruksi, dan transverse myelitis.
Terapi antimikroba yang tepat perlu diberikan pada vaskuulitis serebral
karena meningitis bakteri. Pada pasien dengan penuomococcal dan
meningococcal meningitis, diberikan Penicillin G (20-24 juta U secara intravena,
setiap hari terbagi dalam 4-6 dosis) atau Kloramfenikol (4-6g/hari) untuk
dewasa dan Penicillin G dalam dosis 300.000 U/kgBB pada anak. Cefotaxime
atau moxalacta, (2g setiap 4 jam), atau Gentamicin (5mg/kg/hari) setiap dosis
diberikan jarak 6 jam, efektif untuk tatalaksana pasien dengan bacillus enteric
gram negative. Untuk dewasa dengan S. aureus, Nacilin atau Oxacilin
(12-18g/hari) atau Methicillin (18-20g/hari) dosis terbagi, secara intravena
tunggal atau dengan kombinasi dengan Rifampisin (600mg/hari).
Amphotericin B (0.5-0.6 mg/kg/hari) tunggal atau kombinasi dengan
flucytosin (150 mg/kg/hari) terbagi dalam dosis tiap 6 jam efektif untuk terapi
pasien dengan meningitis fungal komplikasi dari vasculitis serebral. Kombinasi
dari isoniazid (5mg/kg satu kali sehari pada dewasa; 10 mg/kg pada anak),
rifampisin (600mg sekali sehari pada dewasa, 15mg/kg sekali sehari;
ethionamide 750-1000mg, 3 kali sehari setelah makan pada dewasa; atau
pyrazinamide dalam dosis tunggal 30-50 mg/kg setiap hari) digunakan untuk
terapi vasculitis serebral yang berhubungan dengan meningitis tuberculus.
Penicillin G (aqueous, 18-24 juta U, intravena dibagi dalam 6 dosis tiap 4
jam dalam 14 hari, diikuti dengan benzathine penicillin G, 2.4 juta U,
intramuscular setiap minggu untuk 3 dosis) adalah obat pilihan untuk
meningovaskuler sifilis. Pada pasien dengan alergi penisilin, eritromisin atau
tetrasiklin (500mg oral setiap 6 jam untuk 20-30 hari).
Untuk pasien dengan vasculitis serebral yang disebabkan oleh Lyme
disease, diterapi dengan penicillin G (20 juta U intravena dalam 6 dosis setiap
hari selama 10-14 hari) atau ceftroiaxone (2g/hari intravena),

Arteritis Noninfeksius
Inflamasi angiopati non infeksius terutama efek pertama pada arteriol
dan kapiler (systemic lupus erythematosus), yang terutama mempengaruhi arteri
kecil dan sedang (poliarteritis nodosa, angitis CNS terisolasi), dan yang terutama
mempengaruhi arteri sedang hingga besar (temporal arteritis, Takayasu’s
disease).
Systemic lupus erythematosus adalah kelainan jaringan ikat, difus yang
50% sampai 75% pasiennya memiliki keterlibatan CNS selama masa
penyakitnya. Namun, hanya 2% pasien yang memiliki maniestasi neurologis

15
ketika pertama kali diperiksa. Sebagian besar pasien sudah memiliki keterlibatan
sistemik klinis yang menonjol (kulit, penonjolan tulang, jantung, hati, ginjal,
paru0paru, otot, saraf tepi). Temuan CNS biasanya ditemukan pada ensefalopati
difus dengan delirium, kejang, akut psikosis, dan peningkatan tekanan
intracranial. Infark serebral dan batang otak fokal maupun multifocal muncul,
tapi jarang menimbulkan sindrom arteri. Penyebab ditemukannya CNS pada SLE
dapat terjadi karena beberapa faktor. Ketika SLE berhubungan dengan
hipertensi, perdarahan intraserebral atau oklusi hipertensi pembuluh kecil bisa
terjadi. Tatalaksana dengan kortikosteroid dosis tinggi disarankan untuk
penyakit serebrovaskuler yang disebabkan oleh SLE (pada pasien hamil, terapi
disarankan selama hamil dan selama 2 bulan pertama setelah melahirkan sampai
ekserbasi terbatas).
Dari 10% sampai 20% pasien dengan poliarteritis nodosa memiliki
keterlibatan CNS, hampir selalu terjadi setelah manifestasi sistemik dari
penyakit. Temuan patologis berbeda dari infark multifocal atau perdarahan
intraserebral untuk mengisolasi infark serebri besar menghasilkan oklusi dari
arteri serebri mayor. Temuan klinis, pada penyakit difus CNS, seperti sakit
kepala, demensia, psikosis, kejang umum, kelainan fokal atau multifocal denga
paralisis wajah, tuli, kelumpuhan saraf ocular, kelainan cerebellar atau kejang
fokal. Terapi kortikosteroid seperti prednisone (1mg/kg/hari terbagi dalam 3-4
sdosis) dengan atau tanpa imunosupresan, seperti Cyclophosphamide
(2-4mg/kg/hari dalam dosis tunggal pada pagi hari diikuti dengan sejumlah air
untuk mencegah perdarahn sistitis), dapat memberikan perubahan ketahanan
hidup pasien dengan poliarteritis nodosa.
Vaskulitis yang jarang, granulomatous angitis, tidak seperti SLE dan
periarteritis nodosa, yang biasanya terbatas pada SSP. Gejala muncul dari
penyebaran luas oklusi kecil parenkimal serta arteri dan vena leptomeningeal.
Kondisi ini seperti penyakit flu, dengan sakit kepala dan kelemahan generalis,
diikuti denga kebingungan, kejang, dan defisit saraf multifocal. Pada lumbal
pungsi ditemukan peningkatan protein dan limpositik pleocytosis. Tidak ada
tatalaksana standar pada kelainan serebrovaskuler yang berhubungan dengan
angititis SSP, meskipun pembeerian prednisone (60-100 mg/hari oral) tunggal
atau kombinasi dengan cyclophosphamide dosis tunggal pada pagi hari 1 sampai
2 mg/kg oral sering diberikan sebagai terapi awal. Pasien yang tidak tahan
dengan cyclophosphamide dapat diberikan azathioprine (2 mg/kg/hari).
Penyakit vaskuler granulomatous generalis, temporal arteritis (kranial
arteritis, giant cell arteritis) biasanya melibatkan temporal superfisial dan arteri
kulit kepala extracranial dan arteri mata pada pasien lebih dari 55 tahun. Reaksi
inflamasi pada arteri temporal superfisial biasanya membuat arteri sulit
dipalpasi dan menjadi bengkak, erythematous, tampilan manik-manik. Sakit
kepala yang tak henti unilateral atau bilateral, tetapi distribusi nyeri kepala dan
wajah dapat muncul. Nyeri saat mengunyah dapat disebabkan oleh iskemia otot
rahang dengan klaudikasio atau kontak antara kulit yang bergerak dengan otot
temporalis.

16
Oklusi arteri mata atau cabangnya muncul pada 20% sampai 25% pasien,
menghasilkan nyeri pada mata ipsilateral dan perubahan visual hingga buta
total. Kebanyakan pasien mempunyai tampilan klinis vasculitis generalis,
termasuk demam, malaise, penurunan berat badan, molymalgia rheumatic.
Temuan laboratorium menunjukan kenaikan sedimen eritrosit, kenaikan hitung
jenis leukosit dan anemia ringan. Bila diduga arteritis temporal pemberian
kortikosteroid (60-100mg/hari) dapat dilakukan, bahkan sebelum biopsy
dilakukan. Dosis ini dipertahankan selama 1 bulan, dengan pengurangan dosis
secara perlahan, tergantung pada respon klinis pasien dan penurunan sedimen
eritrosit. Kortikosteroid harian diberikan selama 2 tahun atau lebih, tergantung
respons terapi.
Inflamasi arteriopati kronis belum diketahui asalnya, Takayu’s arteritis
(penyakit tanpa denyut nadi) biasanya terjadi pada wanita muda. Melibatkan
arcus aorta dan cabangnya menghasilkan penyempitan pembuluh ostia mayor
dan gejala iskemik serebri, termasuk Takayu retinopati. Secara klinis didapatnya
penurunan atau tidak adanya denyut subklavia, carotis, barachial, dan radial,
dengan bruit sepanjang pembuluh yang terkena atau kolateral dan gejala
neurologis dari insufisiensi serebrovaskuler seperti pandangan kabur, pusing,

17
penurunan ketajaman pengelihatan, dan sindrom hemiparesis dan hemisensorik.
Komplikasi sistemik meliputi hipertensi sekunder yang disebabkan oleh
keterllibatan arteri ginjal; gejala sistemik seperti malaise, arthralgia, demam,
anoreksia, penurunan berat badan dan keringan malam; regurgitasi aorta;
aneurisme aorta; dan kelainan laboratorium.

pada tahap awal penyakit ini, terapi kortikosterid dengan prednisone


direkomendasikan. Dosis awal sebesar 100 mg perhari dilanjutkan sampai faktor
inflamasi terkontrol, biasanya 2 sampai 4 minggu, lalu pengurangan dosis
selanjutnya.
Bechet’s disease jarang terjadi, berulang, kelainan inflamasi yang
mempengaruhi SSP, biasanya terjadi karena komplikasi dari stroke.
Karakteristik episode terselesaikan seutuhnya dalam beberapa minggu dan
cenderung melibatkan batang otak. Laki-laki lebih sering terserang disbanding
wanita. Tampilan klinis biasanya aphtous berulang, ulkus oral herpetiform, ulkus
genital berulang, uveitis anterior atau posterior, vasculitis retinal, eritema
nodusa, lesi papulopustular, meningoensefalitis berulang, kelumpuhan saraf
cranial, ataksia serebelum. Karena kemungkinan penyakit ini autoimun maka
terapi dengan kortikosteroid atau imunosupresan lain direkomendasikan.

Penyakit Hematologi
Kelainan pada komponen sel darah dan protein plasma dapat
menyebabkan hiperkoagulasi atau hipokoagulasi, dengan kelainan yang
berhubungan dengan viskositas dan stasis darah, yang mempengaruhi pasien
dengan iskemik serebral atau perdarahan serebral.

18
Polycythemia
Pasien dengan polistemia primer atau sekunder memiliki gejala
neurologis pada massa sel darah merah dengan hiperviskositas dan peningkatan
resistensi pembuluh darah. Thrombosis arteri atau vena serebral melibatkan
pembuluh kecil dan besar yang dapat muncul dengan infark area fokal dan infark
hemoragik. 10% sampai 20% pasien memiliki kejadian iskemik serebral fokal
yang jelas (biasanya TIA) yang berhubungan dengan jumlah hematocrit dan
turun sebagian atau seluruhnya setelah terapi yang adekuat. Sebaliknya,
penurunan sel darah merah dan kapasitas pembawa oksigen yang muncul pada
tahap anemia biasanya disebabkan oleh iskemik fokal serebral.
Tatalaksana pada pasien dengan polisitemia adalah kompleks dan
biasanya termasuk penurun volume darah dengan plebotomi (terutama dengan
hematocrit diatas 55%), dengan sasaran hematocrit 40% sampai 45%.
Trombositosis harus dikontrol dengan myelosupresi (alkalating, hydroxyurea,
atau radioactive phosphorus). Pasien muda dapat diterapi hanya dengan
plebotomi saja untuk mencegah resiko jangka panjang agen mielosupresif.

Trombositemia
Trombositemia berhubungan dengan lesi fokal iskemik. Kelainan ini
dapat primer dan sekunder dari penyakit myeloproliferatif, seperti polisitemia
vera. Pada pasien dengan gejala, penekanan jumlah platelet sampai dibawah
500x109 / liter dapat mencegah kejadian yang serius berulang. Tatalaksana pada
kejadian serebrovaskuler akut pada pasien dengan trombositemia harus
didahului dengan plateletpheresis darurat. Penurunan jumlah platelet juga dapat
dicapai dengan hydroxyurea, agen alkalasi, atau 32P radioterapi diikuti dengan
pemberian antiplatelet seperti aspirin atau dipyriodamol untuk mengurangi
thrombosis berulang.

Trombositopenia purpura
Kelainanyang jarang, thrombosis trombositopenia purpura mirip dengan
vasculitis multisentrik. Gejala hematologi dan serebrovaskuler adalah hasil dari
mekanisme kerusakan sekunder eritrosit. Kerusakan menyebabkan anemia
hemolitik, demam, dan peningkatan penggunaan platelet untuk membentuk
mikrotrombi difus. Tidak ada terapi efektif pada thrombosis trombositopenia
purpura. Walaupun plasmaparesis (1.5 plasma volume hilang dalam 4 hari),
infus fresh frozen plasma, dan kortikosteroid dosis tinggi (prednisone
1-2mg/kg/hari) dapat membantu.

Penyakit Sickle-Cell
Muncul 1 diantara 600 orang Amerika kulit hitam saat kelahiran, sickle-
cell diturunkan sebagai autosomal dominan. Ketika sel darah merah
mengandung hemoglobin terekspos oksigen tekanan rendah, struktur mereka
diubah dengan cara meningkatkan viskositas darah dan mengarah pada oklusi
pembuluh kecil multiple. Sickle-cell dipicu oleh stress, mengerahkan tenaga fisik,
hipoksia atau infeksi akut dan sangat jarang memberikan gejala krisis
thrombosis berhubungan dengan demam dan nyeri abdomen, dada dan tulang.
Pasien dengan kelainan serebrovaskuler dengan sickle cell biasanya diterapi
dengan infuse darah merah berulang.

19
Dysproteinemia
Beragam disproteinemia, termasuk makroglobulinemia, cryoglubinemia,
dan multiple myeloma, termasuk berhubungan dengan komplikasi thrombosis
serebrovaskuler. Gambaran yang paling sering adalah kelainan difus ensefalopati
yang disebabkan diseminasi lesi vaskuler yang terbentuk pada kapiler, arteriol,
dan vena yang memproduksi multiinfark multifocal dan perdarahan. Pertukaran
plasma terlihat efektif untuk tatalaksana akut.

Sindrom Antibodi Antifosfolipid


Antbodi antifosfolipid termasuk lupus antikoagulan dan antibody
anticardiolipin berhubungan dengan peningkatan terjadinya infark serebral.
Riwayat keguguran, stroke iskemik atau thrombosis vena atau arteri berulang
dapat terdeteksi. Pola infark arterial sangat beragam, meliputi lokasi kortikal
dan subkortikal. Tatalaksana masih kontroversial, dan manfaat dari terapi masih
belum terbukti. Pada pasien dengan iskemik serebral fokal yang memiliki gejala,
warfarin biasanya digunakan, walaupun aspirin dan ticiopidine dapat juga
sebagai pilihan. Terapi lain diberikan prednisone dosis tinggi (60-100 mg/hari),
yang kadang dapat menekan antibody antifosfolipid, sebagian berhubungan
dengan lupus antikoagulan.
Sneddon’s syndrome , dikarakterisikan dengan stroke berulang dan
livedo retikularis pada pasien muda, dapat berhubungan dengan antibody
antifosfolipid.

Leukimia
Leukemia dan leukositosis yang menyertainya dan hiperviskositas dapat
disertai dengan arteri serebral atau vena thrombosis. Namun gejala gejala
serebral berkembang selama penyakit sering muncul karena perdarahan
intracranial atau infeksi. Tatalaksana myelogenous atau limfositik leukemia
melibatkan regimen berbeda setiap fase dan diarahkan menuju pemberantasan
total sel leukemia atau mengkontrol jumlah sel yang berarti penggunaan onat
sitotoksik dan transplantasi sumsum tulang dari donor antigen leukosit manusia
(HLA).

Koagulasi Intravaskuler Diseminata


Kelainan behubungan dengan hampir semua proses patologis kerusakan
jaringan (seperti trauma jaringan massif, komplikasi obstetric, operasi
cardiothoracic, terbakar, infeksi parah, stroke panas, ketidakmampuan darah
bertransfusi, syok, kerusakan otak massif termasuk stroke) dan ditandai dengan
pengeluara jaringan tromboplastin ke dalam sirkulasi dengan aktivasi berlanjut
dari proses koagulasi, pembentukan thrombin, platelet selanjutnya dan
konsumsi faktor pembekuan, dan pembentukan fibrin thrombus dan emboli
melalui mikrovaskulatur.
Gejala klinis pada kelainan ini tergantung pada fase dan keparahan.
Komplikasi neurologis kelainan ini: (1) sindrom ensefalopati akut yang ditandai
dengan gejala neurologis fokal turun naik, berhubungan dengan tingkat
kesadaran, (2) thrombosis sinus vena, (3) perdarahan intraserebral, (4) oklusi
arteri serebral. Terjadinya perdarahan pada kulit dan mukosa sering terjadi.
Tatalaksana kelainan ini dengan control penyakit penyebab dan

20
mempertahankan oksigen yang adekuat dan tekanan darah. Apabila perdarahan
signifikan atau komplikasi iskemik muncul, terapi harus dimulai. Pada pasien
thrombosis, terapi heparin (intravena bolus diikuti dengan infus intravena
berkelnajutan dan target tromboplastin parsial teraktivasi waktu 2 kali control)
ditambahkan, dan perdarahan diterapi secara agresif dengan platelet dan fresh
frozen plasma.

21

Anda mungkin juga menyukai