Anda di halaman 1dari 10

Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia.

Allah memerintahkan
manusia agar menghadapkan wajah kepada agamaNya semata. Allah berfirman.
ِ َّ‫ثَر الن‬
‫اس اَل‬ َ ‫دِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَٰ ِك َّن َأ ْك‬+ ‫ك ال‬ ِ ‫اس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِدي َل لِخَ ْل‬
َ ِ‫ق هَّللا ِ ۚ َ ٰذل‬ ْ ِ‫ك لِلدِّي ِن َحنِيفًا ۚ ف‬
َ َّ‫ط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
َ
َ‫يَ ْعل ُمون‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. [Ar Rum : 30].
Maka setiap penyimpangan dari rel-rel agama berarti penyimpangan dari nilai-
nilai fitrah manusia yang suci. Allah menurunkan agama sebagai pedoman hidup
manusia bukan untuk menyusahkan atau menyengsarakan, tetapi untuk menata
kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat, mengatur mu’amalah
(interaksi) mereka kepada Allah, hubungan antara sesama manusia, dengan
makhluk-makhluk lainnya, seperti: jin, malaikat, hewan serta dengan alam
sekitarnya. Islam telah mengatur ekosistem kehidupan menurut sunnatullah
yang membawa berkah bagi semua. Bahkan keseimbangan tersebut sekaligus
menunjukkan keindahan Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
ٰ‫ك ْالقُرْ آنَ لِتَ ْشقَىٰ ِإاَّل ت َْذ ِك َرةً لِّ َمن يَ ْخ َشى‬ َ ‫َما َأن َز ْلنَا َعلَ ْي‬
Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah,
tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). [Thaahaa:2-3].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan dalam tafsirnya (halaman 584, surat
Thaahaa ayat 2-3): “Maksud diturunkannya wahyu dan Al Qur’an kepadamu
serta ditetapkannya syariat bukanlah untuk membuat kamu sengsara. Tidak ada
syariat yang memberatkan manusia dan tidak mampu mereka kerjakan. Namun
wahyu, Al Qur’an dan syariat itu ditetapkan oleh Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Allah jadikan sebagai pengantar kepada kebahagiaan,
keberuntungan dan kemenangan. Allah telah memudahkannya dengan semudah-
mudahnya dan telah memudahkan seluruh jalan dan pintu-pintunya. Allah
menjadikannya sebagai nutrisi bagi hati dan jiwa serta sebagai penyegar bagi
tubuh mereka. Dapat diterima oleh fitrah yang lurus dan akal yang sehat, karena
mengetahui kandungannya, yaitu kebaikan dunia dan akhirat.”
Memang benar-benar seimbang dan mudah. Itulah karakter syari’at terakhir
yang menghapus syari’at-syariat terdahulu. Seimbang dengan hajat dan
kebutuhan manusia secara duniawi maupun ukhrawi dan mudah untuk
dilakukan.
Sebagai contoh, kalau kita ingin mengangkat satu benda yang berat, bila kita
angkat tepat pada titik keseimbangannya, maka akan mudah diangkat. Namun
bila tidak tepat pada titik keseimbangannya, maka akan sulit diangkat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan tentang kemudahan dan keseimbangan
ini dalam ayat-ayatNya. Di antaranya :
ٍ ‫ِّين ِم ْن َح َر‬
‫ج‬ ِ ‫هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬
Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
[Al Hajj:78].
‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. [Al Baqarah:185].
Allah juga menjelaskan tentang keseimbangan dalam Islam dalam firmanNya:
‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطًا‬ َ ِ‫َو َك َذٰل‬
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang
adil. [Al Baqarah : 143]
Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam tafsirnya (hlm. 65 surat Al Baqarah 143)
mengatakan : “Allah telah menjadikan umat ini wasath (pertengahan) dalam
segala urusan agama. Pertengahan dalam mengimani para nabi, antara sikap
berlebihan kaum Nasrani dan kekurangajaran kaum Yahudi. Mereka mengimani
seluruh nabi menurut prosedur yang layak. Pertengahan dalam syariat, tidak
berlebih-lebihan seperti kaum Yahudi dan tidak pula menyepelekan seperti
kaum Nasrani. Demikian pula dalam masalah bersuci dan makanan, tidak seperti
Yahudi yang tidak boleh shalat kecuali di dalam sinagog mereka dan tidak dapat
menggunakan air untuk menghilangkan najis, telah diharamkan atas mereka
perkara-perkara yang baik sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Dan tidak pula
seperti Nasrani yang tidak mengenal najis dan haram, bahkan mereka
membolehkan segala sesuatunya. Tata cara bersuci kaum muslimin adalah yang
paling sempurna. Allah menghalalkan bagi mereka segala makanan dan
minuman yang baik-baik, menyuruh mereka menutup aurat dan menganjurkan
pernikahan serta mengharamkan seluruh keburukan atas mereka.”
Dan dalam ayat lain Allah menjelaskan :
‫ا َد فِي‬+‫غ ْالفَ َس‬+ْ
ِ ‫كَ ۖ َواَل تَب‬+‫نَ هَّللا ُ ِإلَ ْي‬+‫ن َك َما َأحْ َس‬+‫ ُّد ْنيَا ۖ َوَأحْ ِس‬+‫ك ِمنَ ال‬
َ َ‫يب‬+‫َص‬ َ ‫ َرةَ ۖ َواَل ت‬+‫ َّدا َر اآْل ِخ‬+‫ك هَّللا ُ ال‬
ِ ‫َنس ن‬ َ ‫ْتَغ فِي َما آتَا‬
ِ ‫َواب‬
ْ ْ ‫هَّللا‬
َ‫ض ۖ ِإ َّن َ اَل يُ ِحبُّ ال ُمف ِس ِدين‬ ِ ْ‫ر‬‫َأْل‬‫ا‬
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [Al
Qashash : 77].
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut: “Pergunakanlah karunia yang
telah Allah berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini,
untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai
bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di
akhirat. Firman Allah “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan
duniawi”, yaitu dari apa-apa yang dibolehkan Allah berupa makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allah mempunyai hak
atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga
mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka
berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya.”
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya (hlm. 731 surat Al
Qashash ayat 77): “Yaitu, Kami tidak memerintahkanmu supaya menyedekahkan
seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah untuk
kemaslahatan akhiratmu dan nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama dan
akhiratmu.”
Oleh sebab itu, syariat melarang bersedekah dengan seluruh harta sampai habis
ludes sehingga mengakibatkan ia terpaksa meminta-minta kepada orang lain.
Dan juga dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita,
sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
ُ‫ َولَ ْن يُ َشا َّد ال ِّد ْينَ ِإالَّ َغلَبَه‬،ٌ‫ِإ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْسر‬
Sesungguhnya agama ini sangat mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba
mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah. [HR Al Bukhari].
Dalam riwayat lain disebutkan:
‫ َو َشي ٌء ِمنَ ال ُّد ْل َج ِة؛ القَصْ َد القَصْ َد تَ ْبلُ ُغوْ ا‬،‫ َوا ْغ ُدوْ ا َورُوْ حُوْ ا‬،‫اربُوْ ا‬ِ َ‫ َوق‬،‫َس ِّد ُدوْ ا‬
Sederhanalah dalam beramal, mendekatlah pada kesempurnaan, pergunakanlah
waktu pagi dan sore serta sedikit dari waktu malam. Bersahajalah, niscaya kalian
akan sampai tujuan. [HR Al Bukhari].
Berkenaan dengan hadits ini, Imam Al Bukhari telah menuliskan sebuah bab
yang berjudul Ad Diin Yusr (Agama itu mudah).
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan dalam Fathul Baari dalam bab tersebut :
“Yakni, dinul Islam memiliki banyak kemudahan, atau agama Islam disebut
mudah dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Sebab, Allah telah
menghilangkan beban atas umat ini yang dulu dipikulkan atas umat-umat
sebelumnya. Sebagai contoh, taubat umat-umat terdahulu adalah dengan
mengorbankan jiwa, sedangkan taubat umat ini cukup dengan menghentikan
perbuatan, bertekad tidak mengulangi disertai penyesalan.”
Kemudian Ibnu Hajar menambah keterangannya dengan mengutip dari Ibnul
Munayyir yang berkata : “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi. Kita
semua menyaksikan, bahwa setiap orang yang melampaui batas dalam agama
pasti akan mandeg dalam beramal. Maksudnya, bukan tidak boleh mengejar
ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji.
Perkara yang dilarang di sini adalah sikap berlebih-lebihan yang melahirkan
kejemuan atau kelewat batas dalam mengerjakan amalan sunnah, sehingga
berakibat terbengkalainya perkara yang lebih afdhal (yang lebih baik). Atau
menunda sebuah kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya, orang yang shalat
tahajjud semalam suntuk, lalu tertidur sampai akhir malam sehingga
terlewatkan shalat Subuh berjama’ah, atau sampai keluar dari waktu yang
afdhal, atau sampai terbit matahari, sehingga keluar dari batas waktunya. Dalam
hadits Mihzan bin Al Adra’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:
ُ‫ َو َخي َْر ِد ْينِ ُك ْم اليُ ْس َرة‬،‫ِإنَّ ُك ْم لَ ْن تَنَالُوْ ا هَ َذا اَأل ْم َر بِال ُمغَالَبَ ِة‬
“Kalian tidak akan dapat melaksanakan din (agama) ini dengan memaksakan
diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah.”
Dari sinyalemen ini dapat dipetik kaidah wajibnya mengambil rukhshah
(dispensasi) syariat. Melaksanakan azimah (ketentuan asal) pada saat
diberikannya dispensasi merupakan bentuk memaksakan diri. Misalnya, orang
yang tidak bertayammum tatkala ia tidak mampu menggunakan air, sehingga
karena memaksakan diri menggunakan air ia mendapat mudharat.”
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata :
َ‫ك ال ُمتَنَطِّعُوْ ن‬ َ َ‫هَل‬
Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan. [HR Muslim].
Melalui hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
kepada umat manusia, Islam adalah agama yang mengajarkan kesederhanaan
dan keseimbangan dalam ucapan dan perbuatan. Melanggar batas-batas
keseimbangan dan berlebih-lebihan, akan berdampak negatif terhadap
pelakunya. Ia akan terhenti di tengah jalan. Sebab, sikap tersebut akan
membuatnya jenuh dan bosan, dan dapat menyebabkan ia mengabaikan
kewajiban yang lebih utama atau tertunda melaksanakannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan keseimbangan dan
kesederhanaan ini dalam realita kehidupan. Siapa saja yang menelaah sirah
(sejarah) Beliau, pasti mendapati hal tersebut.
Pernah datang tiga orang menanyakan aktifitas ibadah Beliau di rumah. Mereka
tidak bertemu dengan Nabi, lantas mereka bertanya kepada ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha tentang ibadah Beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa
ibadah beliau itu hanya sedikit. (ibadah yang mereka kerjakan terlalu sedikit).
Mereka berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal
beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang.”
Maka salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam terus
menerus, tanpa tidur.” Yang lain berkata: “Aku akan puasa terus menerus tanpa
berbuka.” Dan yang lain berkata: “Aku tidak akan menikah selama-lamanya.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya
mengatakan :
‫ َوَأتَزَ َّو ُج النِّ َسا َء؛‬،ُ‫صلِّي َوَأرْ قُد‬ َ ‫ َوُأ‬،ُ‫ لَ ِكنِّي َأصُوْ ُم َوُأ ْف ِطر‬،ُ‫َأ ْنتُ ُم الَّ ِذ ْينَ قُ ْلتُ ْم َك َذا َو َك َذا؟ َأ َما َوهللاِ ِإنِّي َأل ْخ َشا ُك ْم هللِ َوَأ ْتقَا ُك ْم لَه‬
‫ْس ِمنِّي‬ َ ‫ب ع َْن ُسنَّتِي فَلَي‬ َ ‫فَ َم ْن َر ِغ‬
Kaliankah yang mengatakan begini dan begini? Adapun diriku, demi Allah, aku
adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepadaNya, tetapi aku
berpuasa, juga berbuka. Aku shalat dan aku juga tidur dan aku menikahi wanita.
Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.
[Muttafaqun ‘alaihi].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur keras tiga orang tadi, lantaran
keinginan mereka untuk keluar dari batas-batas keseimbangan dan keadilan.
Walaupun niat atau tujuan mereka baik, yaitu meningkatkan kualitas diri, namun
cara mereka salah. Cara tersebut akan mengeluarkan mereka dari garis fitrah
yang lurus. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun langsung
memberikan teguran dan peringatan yang keras seraya berkata: “Barangsiapa
membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”
Itulah sebaik-baik hamba di sisi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menceritakan : “Pernah Beliau tidak berpuasa
dalam sebulan, sampai-sampai kami mengira Beliau tidak berpuasa pada bulan
itu. Dan Beliau pernah berpuasa pada bulan lain, sampai-sampai kami mengira
bahwa Beliau tidak pernah berbuka. Kalau engkau mau melihat Beliau shalat
malam, niscaya engkau dapat melihatnya. Dan kalau engkau mau melihat Beliau
tidur, niscaya engkau juga akan dapat melihatnya.” [HR Al Bukhari].
Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ً‫َما بَا ُل َأ ْق َو ٍام يَتَنَ َّزهُوْ نَ ع َْن ال َّشي ِء َأصْ نَ ُعهُ فَ َوهللاِ ِإنِّي َأل ْعلَ ُمهُ ْم بِاهللِ َوَأ َش ُّدهُ ْم لَهُ خَ ْشيَة‬
Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang
kulakukan? Demi Allah, aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan
yang paling takut kepada-Nya.” [Muttafaqun ‘alihi].
Dalam menjelaskan hadits ini, Ad Dawudi berkata: “Menjauhkan diri (dengan
anggapan hal itu lebih baik, Pent) dari dispensasi yang diberikan Rasulullah
merupakan dosa besar. Sebab ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada
Allah daripada RasulNya. Ini jelas sebuah penyimpangan.”
Ibnu Hajar menyatakan : “Tidak syak lagi (mengenai) kesesatan orang yang
meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik).” [Lihat Fathul Bari
karangan Ibnu Hajar].
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid,
mendadak Beliau melihat tali yang terulur antara dua tiang. Nabi bertanya: “Tali
apakah ini?” Jawab mereka: “Tali kepunyaan Zainab. Kalau ia merasa letih berdiri
dalam shalat, maka ia berpegangan dengannya.” Maka Nabi bersabda:
‫ص ِّل َأ َح ُد ُك ْم نَ َشاطَهُ فَِإ َذا فَت ََر فَ ْليَرْ قُ ْد‬ َ ُ‫ لِي‬،ُ‫ُحلُّوْ ه‬
Lepaskanlah tali itu, hendaklah salah seorang dari kamu mengerjakan shalat saat
bersemangat. Dan jika ia merasa malas, maka hendaklah ia berbaring terlebih
dulu.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dalam kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk
ke dalam rumah. Di dalamnya ada seorang wanita. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertanya: “Siapakah dia?” ‘Aisyah berkata: “Dia adalah si Fulanah yang
sedang menceritakan tentang shalatnya,” maka Nabi berkata :
‫ فَ َوهللاِ الَ يَ َملُّ هَّللا ُ َحتَّى تَ َملُّوْ ا‬، َ‫َم ْه َعلَ ْي ُك ْم بِ َما تُ ِط ْيقُوْ ن‬
Cukup, hendaklah kalian menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuan kalian.
Demi Allah, Allah tidak akan jemu menerima amal ibadah kalian sehingga kalian
sendiri yang merasa jemu beramal.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Nabi mengecam kedua wanita itu karena melampaui batas dan keluar dari batas
keseimbangan. Tentu saja, memaksakan diri beribadah diluar kemampuan fisik
dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, yang pada akhirnya ia tidak mau
melakukannya kembali. Disamping itu, tubuh akan lemah dan tidak mampu lagi
mengerjakan amalan-amalan lain yang barangkali lebih penting. Maka dari itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi yang mengantuk
agar tidur terlebih dulu, setelah itu baru mengerjakan shalat.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ‫يَذهَب‬ ْ ُ‫و نَا ِعسٌ الَ يَ ْد ِري لَ َعلَّه‬+ُ َ ‫لَّى َوه‬+‫ص‬ َ ‫َب َع ْنهُ النَّوْ ُم؛ فَِإ َّن َأحَ َد ُك ْم ِإ َذا‬
َ ‫صلِّي فَ ْليَرْ قُ ْد َحتَّى يَ ْذه‬ َ ُ‫س َأ َح ُد ُك ْم َوهُ َو ي‬ َ ‫ِإ َذا ن َِع‬
ُ‫يَ ْستَ ْغفِ ُر فَيَسُبُّ نَ ْف َسه‬
Jika salah seorang diantara kalian mengantuk sedangkan ia tengah mengerjakan
shalat, hendaklah ia tidur sampai rasa kantuknya hilang. Sebab, apabila salah
seorang diantara kalian mengerjakan shalat ketika mengantuk, maka dia tidak
sadar barangkali ia bermaksud memohon ampun, tetapi ia malah mencaci
dirinya sendiri. [Muttafaqun ‘alaihi]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, mendadak
Beliau melihat seorang lelaki berdiri. Nabi bertanya: “Siapakah yang berdiri itu?”
Orang-orang menjawab: “Abu Israail. Dia bernadzar akan berdiri di panas terik
matahari, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara dan puasa.” Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ُ‫صوْ َمه‬ َ ‫ُمرُوْ هُ فَ ْليَتَ َكلّ ْم َو ْليَ ْست َِظ َّل َو ْليَ ْق ُع ْد َو ْليُتِ َّم‬
Suruhlah ia berbicara dan berteduh, dan silahkan ia meneruskan puasanya. [HR
Al Bukhari].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab As Sunan, dari
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َوا ِم ِع‬+‫الص‬َّ ‫ك بَقَايَا ُ ْهم فِي‬ َ +‫ َّد َد هللاُ َعلَ ْي ِه ْم فَتِ ْل‬+‫ ِه ْم فَ َش‬+‫ َّد ُدوْ ا َعلَى َأ ْنفُ ِس‬+‫الَ تُ َش ِّد ُدوْ ا َعلَى َأ ْنفُ ِس ُك ْم فَيُ َش ِّد ُد هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَِإ َّن قَوْ ًما َش‬
‫ار َو َر ْهبَانِيَّةً ا ْبتَ َد ُعوْ هَا َما َكتَ ْبنَاهَا َعلَ ْي ِه ْم‬ ِ َ‫َوال ِّدي‬
Janganlah kamu memberatkan dirimu sendiri, sehingga Allah akan memberatkan
dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah
memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-
biara dan rumah-rumah peribadatan. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah
(mengucilkan diri untuk beribadah saja), padahal Kami tidak mewajibkannya
atas mereka. [HR Abu Dawud]
Begitulah kondisinya, bila sudah melewati batas keseimbangan, bisa
menimbulkan mudharat (bahaya) terhadap diri sendiri, bahkan juga terhadap
orang lain. Seperti dialami oleh Ummu Darda’ Radhiyallahu ‘anha ketika Salman
–yang telah dipersaudarakan oleh Nabi dengan Abu Darda’- berkunjung ke
rumah Abu Darda’.
Dilihatnya Ummu Darda’ mengenakan pakaian kerja, maka Salman bertanya:
“Ada apa denganmu?” Dia menjawab: “Saudaramu, Abu Darda’, tidak punya lagi
keinginan terhadap dunia.” Kemudian Abu Darda’ datang dan menghidangkan
makanan untuknya. Lalu Abu Darda’ berkata kepadanya: “Makanlah kamu!
Karena aku sedang berpuasa.” Salman berkata: “Aku tidak akan makan sehingga
kamu turut juga makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Setelah malam tiba, Abu
Darda’ bangun malam. Lalu Salman berkata kepadanya: “Tidurlah,” maka Abu
Darda’ pun kembali tidur. Setelah itu ia bangun lagi, Salman berkata: “Tidurlah!”
Kemudian pada akhir malam Salman berkata: “Sekarang bangunlah!” Kemudian
keduanya mengerjakan shalat. Selanjutnya Salman berkata : “Sesungguhnya
Rabb-mu mempunyai hak, dirimu pun punya hak, dan keluargamu juga
mempunyai hak. Oleh karena itu, tunaikan setiap hak kepada pemiliknya.”
Kemudian Abu Darda’ menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menceritakan peristiwa tersebut kepada Beliau. Maka Nabi pun bersabda :
“Salman benar!” [HR Al-Bukhari]
Kisah ini banyak mengandung hikmah. Sekaligus menunjukkan kedalaman fiqh
(pengetahuan agama) Salman Al Faarisi Radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan kata-katanya. Coba perhatikan
kejelian Salman dalam menempatkan tiap-tiap hak secara proporsional, sehingga
tidak bertabrakan dengan hak-hak yang lain. Sungguh ini adalah pemahaman
yang sangat mendalam.
Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia
tergantung dengan cara kita menempatkan setiap hak secara proporsional
menurut pandangan syariat yang hanif (suci) dan fitrah ini. Karena setiap
ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan yang akan
menghalangi tercapainya tujuan.
Sekarang mari kita lihat keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
adalah manusia biasa yang normal dan memiliki hasrat terhadap makanan,
minuman, wanita, parfum dan hal-hal baik lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencari nafkah, berjalan di pasar dan bermua’alah dengan manusia
lainnya. Suatu perkara yang sempat dipertanyakan oleh orang-orang musyrik
seperti yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an.
‫ُأ‬ ‫ْأ‬
‫ك فَيَ ُكونَ َم َعهُ نَ ِذيرًا‬
ٌ َ‫نز َل ِإلَ ْي ِه َمل‬ ِ ‫َوقَالُوا َما ِل هَٰ َذا ال َّرسُو ِل يَ ُك ُل الطَّ َعا َم َويَ ْم ِشي فِي اَأْل ْس َو‬
ِ ‫اق ۙ لَوْ اَل‬
Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar
malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia. [Al Furqaan : 7].
Betapa indah uraian yang disajikan oleh Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah
tentang petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal makanan
dengan keterangan berikut ini :
“Petunjuk Beliau dalam hal makanan, adalah Beliau tidak menolak makanan yang
terhidang, dan tidak mencari-cari makanan yang tidak ada. Beliau akan
memakan setiap makanan halal yang disodorkan kepada Beliau; kecuali
makanan yang tidak menarik hati Beliau, (maka) Beliau tinggalkan makanan itu
tanpa mengharamkannya. Sedikit pun, Beliau tidak pernah mencela makanan.
Jika berselera, Beliau memakannya. Jika tidak, Beliau tinggalkan. Sebagaimana
Beliau menolak memakan biawak, karena tidak terbiasa memakannya, namun
tidak Beliau haramkan atas umat. Justru hidangan biawak tersebut disantap di
hadapan Beliau, sementara Beliau melihatnya. Beliau gemar makan manis-
manisan dan madu. Beliau juga suka makan daging unta, kambing, ayam, burung,
keledai liar, kelinci, makanan laut (sea food). Beliau juga suka makan daging
bakar, makan kurma segar dan kurma kering. Beliau menyenangi minum susu
murni ataupun campuran. Beliau juga menggemari makan gandum bercampur
madu dengan air, minum perasan air kurma, khazirah (yaitu kuah-kuahan atau
sop yang terbuat dari susu dan gandum). Beliau juga makan mentimun dengan
kurma, keju, kurma dengan roti, roti dengan kuah cuka, tsarid (yaitu roti kuah
bercampur daging), roti dengan ahaalah (yaitu lemak yang dicairkan). Beliau
juga makan sate hati, dendeng, labu. Beliau sangat menggemari labu. Beliau juga
menyukai makan masluqah (yaitu rebus-rebusan sayuran), tsarid dengan
minyak samin. Beliau suka mentega, roti dengan minyak zaitun, semangka
dengan kurma. Beliau sangat suka makan kurma dengan mentega. Beliau tidak
pernah menolak makanan yang baik-baik, dan tidak juga meminta yang tidak
ada. Namun petunjuk Beliau dalam hal ini, ialah memakan makanan yang tersaji.
Jika tidak ada, maka bersabar. Hingga Beliau pernah mengikat perut dengan batu
karena menahan lapar. Pernah berlalu selama tiga bulan, tungku dapur dalam
rumah beliau tidak menyala sama sekali. Saat safar, beliau biasa makan secara
lesehan di atas tanah, itulah meja hidangan beliau. Beliau membiasakan makan
dengan tiga jari dan menjilatinya setelah selesai. Begitulah cara makan yang
paling mulia. Karena orang sombong itu makan dengan satu jari, sementara
orang rakus dengan lima jari dibantu dengan telapak tangan. Beliau juga tidak
pernah makan bersandar.[1]
Namun kaum sufi membalikkan perkara tersebut. Mereka haramkan yang
dihalalkan Allah, berlebih-lebihan dan ekstrim dalam meninggalkan makanan
dan minuman. Mereka letakkan asas dan kaidah yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta tidak ditemukan dalam biografi para sahabat,
sebaik-baik hamba Allah (setelah Rasul-Nya) dan generasi terbaik umat ini yang
telah memperoleh ampunan. Tidak ada yang melakukan seperti yang mereka
lakukan kecuali para Brahma dan pendeta Nasrani.
Di antara sikap ekstrim kaum sufi dalam masalah ini, misalnya sebuah riwayat
yang dinukil oleh Al Ghazali. Yaitu ketika Malik bin Dinar terserang penyakit
yang menyebabkan kematiannya, beliau tertarik meminum segelas madu dan
susu yang dicampurkan ke dalam roti kuah yang hangat. Maka si pelayan pun
menghidangkan makanan itu untuknya. Ketika Malik bin Dinar hendak
menyuapnya, ia pandangi makanan itu beberapa saat, lalu ia berkata: “Hai,
diriku! Engkau telah menahan diri selama tiga puluh tahun. Sekarang umurmu
tinggal beberapa saat saja.” Ia pun melempar gelas itu dari tangannya. Ia
bersabar menahan diri darinya hingga wafat.[2]
Apakah sikap seperti ini termasuk ajaran agama? Apakah seperti itu zuhud yang
mereka dengung-dengungkan dan mereka cari?
Asy Sya’rani mengungkapkan: “Kaum sufi rela melaparkan diri hingga mereka
sanggup menahan diri dari makanan selama empat puluh hari atau lebih”.[3]
Oleh karena itu, kaum sufi juga mengabaikan mencari nafkah. Mereka
menganggap hal itu sebagai penyebab datangnya murka, bahkan sebuah
kemungkaran yang haram. Mereka justru menganjurkan untuk meminta-minta,
bermalas-malasan dan tidak bersemangat. Padahal mencari nafkah termasuk
Sunnah Nabi dan sunnah para khulafaur rasyidin sesudah Beliau Shallallahu
‘alaiahi wa sallam. Mencari nafkah juga merupakan sunnah para sahabat Nabi
seluruhnya, kecuali beberapa orang yang tidak terbuka kesempatan untuk
mencari nafkah karena kesulitan hidup atau lainnya.
Ayat dan hadits yang menjelaskan masalah ini tidak terhitung banyaknya. Di
antaranya hadits riwayat Miqdam bin Ma’diyakrib, ia berkata: Rasulullah
bersabda:
‫ي هللاِ دَا ُو َد َعلَ ْي ِه ال َّسالَ ُم َكانَ يَْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬ َّ ِ‫ط خَ ْيرًا ِم ْن َأ ْن يَْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه وَِإ َّن نَب‬ ُّ َ‫َما َأ َك َل َأ َح ٌد طَ َعا ًما ق‬
Tidak ada satu pun makanan yang dimakan seorang hamba lebih baik daripada
makanan hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud as makan
dari hasil keringatnya sendiri. [HR Al Bukhari].
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa Beliau bersabda:
‫ب َما َأ َكلتُْ ْم ِم ْن َك ْسبِ ُك ْم َوِإ َّن َأوْ الَ َد ُك ْم ِم ْن َك ْسبِ ُك ْم‬ َ َ‫طي‬ ْ ‫ِإ َّن َأ‬
Sebaik-baik makananmu adalah makanan hasil dari jerih payahmu sendiri, dan
anak-anakmu termasuk hasil jerih payahmu. [HR At Tirmidzi, An Nasaa-i dan
Ibnu Majah].
‫ب َما َأ َك َل ال َّر ُج ُل ِم ْن َك ْسبِ ِه َو َولَ ُدهُ ِم ْن ًك ْسبِ ِه‬ ِ َ‫طي‬ ْ ‫ِإ َّن ِم ْن َأ‬
Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan seorang hamba adalah hasil
usahanya sendiri, dan anak-anaknya merupakan hasil usahanya. [HR Abu Dawud
dan Ad Darimi].
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, bahwa ia berkata: Seseorang bertanya: “Ya,
Rasulullah! Usaha apakah yang paling baik?” Nabi menjawab:
‫َع َم ُل ال َّر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُكلُّ بَي ٍْع َم ْبرُوْ ٍر‬
Usaha hasil jerih payahnya dan setiap jual beli yang mabrur (halal).” [HR Ahmad]
Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
ِّ ‫ق اَأل ِميْنُ َم َع النَّبِيِّيْنَ َوال‬
‫ص ِّد ْيقِ ْينَ َوال ُّشهَدَا ِء‬ ُ ْ‫ص ُدو‬ َّ ‫التَّا ِج ُر ال‬
Pedagang yang jujur lagi terpercaya akan bersama para nabi, kaum shiddiq dan
para syuhada’. [HR At Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ad Darimi]
Juga hadits riwayat Zubair bin Awwam, bahwa Rasulullah bersabda :
ُ‫اس َأ ْعطَوْ هُ َأ ْم َمنَعُوْ ه‬ َ َّ‫ف هللاُ بِهَا َو َجهَهُ خَ ْي ٌر ِم ْن َأ ْن يَ ْسَأ َل الن‬ ٍ َ‫َأل ْن يَْأ ُخ َذ َأ َح ُد ُك ْم َحبَلَةً فَيَْأتِي بِ َح ْز َم ِة َحط‬
َّ ‫ب فَيَبِ ْي ُعهَا فَيَ ُك‬
Sekiranya seseorang mengusahakan seutas tali untuk mengambil kayu bakar lalu
dipikulnya dan dijualnya, hingga Allah menyelamatkan mukanya dengan usaha
itu, lebih baik baginya daripada meminta-minta, baik diberi maupun ditolak. [HR
Al Bukhari].
Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, bahwa
seorang laki-laki dari kalangan Anshar mendatangi Rasulullah untuk meminta
sesuatu kepadanya. Nabi bertanya kepadanya: “Apakah di rumahmu ada
sesuatu?” Ia menjawab: “Ya, ada beberapa stel pakaian. Sebagian kami pakai
(dan) sebagian lagi kami bentangkan sebagai alas, dan gelas tempat menuang air
minum.” Nabi berkata: “Bawalah kemari kedua barang itu,” maka ia pun
membawa keduanya. Rasulullah mengambil kedua barang itu seraya berseru:
“Siapakah yang sudi membeli kedua barang ini?” Seorang lelaki berkata: “Aku
berani membelinya satu dirham!” Nabi menawarkan lagi: “Siapa yang berani
lebih dari itu!” Beliau ucapkan dua atau tiga kali. Seorang lelaki lain berseru:
“Aku berani membelinya seharga dua dirham.”
Beliau pun menjual barang itu kepadanya dan memberikan dua dirham tadi
kepada lelaki Anshar itu. Rasulullah berkata kepadanya: “Belilah makanan
seharga satu dirham dengan uang itu, dan berikanlah kepada keluargamu. Dan
sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham, dan bawa kapak itu
kepadaku!”
Ia pun melakukan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
Rasulullah membelah kayu dengan kapak itu, kemudian berkata kepadanya:
“Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku
kecuali setelah lima belas hari.”
Lelaki Anshar itu pun berangkat mencari kayu bakar lalu menjualnya. Kemudian
ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa sepuluh dirham. Sebagian
hasilnya ia belikan baju dan sebagian lagi ia belikan makanan. Rasulullah
bersabda kepadanya : “Usaha itu lebih baik bagimu daripada engkau datang
dengan noda hitam di wajahmu pada hari Kiamat disebabkan meminta-minta.
Meminta-minta hanya boleh bagi tiga macam orang. (Yaitu): orang yang sangat
fakir, orang yang terkena denda yang sangat berat, atau orang yang dibebani
diyat (tebusan) yang menyulitkan.” [Lihat Misykatul Mashabih, I/581]
Demikianlah sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukil secara
shahih dari Beliau tentang keutamaan mencari nafkah dan usaha. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud di dunia dan yang
paling bertakwa kepada Allah.
Abdullah bin Mubarak berkata: “Tidak ada baiknya, orang yang tidak pernah
merasakan mencari nafkah.”
Ia juga pernah berkata: “Usaha kamu mencari nafkah bukanlah penghalang
untuk berserah diri dan bertawakkal, selama engkau tidak menyia-nyiakan
keduanya dalam usahamu.” [4]
Namun kaum sufi mengatakan sebaliknya, jauh bertolak belakang dengan nilai-
nilai Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
mengatakan “Barangsiapa mencari nafkah, berarti ia telah condong kepada
dunia”. [5]
Ibnu Ajibah Al Hasani mengatakan: “Ajaran tasawwuf ditegakkan di atas tiga
perkara. (Yaitu): bersandar kepada kemiskinan dan meminta-minta, selalu
membantu dan mengutamakan orang lain, serta meninggalkan usaha dan
kegiatan.”
Kaum sufi meyakini, bahwa senantiasa bersedih dan tidak pernah tertawa
merupakan tanda rasa takut kepada Allah dan wujud dari tanda ketakwaan.
Padahal Rasulullah –hamba yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah-
juga tertawa dan tersenyum. Abdullah bin Al Harits mengungkapkan: “Saya tidak
pernah melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum selain Rasulullah”. [HR
At Tirmidzi]
Anas bin Malik menceritakan: “Rasulullah adalah orang yang terbaik akhlaknya.
Pada suatu hari Beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata,’Demi
Allah, aku tidak akan berangkat,’ namun dalam hatiku berniat akan berangkat
sesuai perintah Beliau. Aku pun berangkat, hingga ketika aku berpapasan dengan
sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba saja Rasulullah
telah memegang tengkukku dari belakang. Akupun menoleh kepadanya,
sementara Beliau hanya tertawa sambil berkata, ‘Hai Anas, apakah engkau pergi
sesuai perintahku?’.” Aku menjawab: “Ya, aku akan berangkat sesuai perintahmu,
wahai Rasulullah.” [HR Muslim].
Demikianlah sekelumit tentang kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam ibadah, mu’amalah dan perilaku, bahkan dalam seluruh aspek
kehidupan dunia dan akhirat. Sangat jauh berbeda dengan kezuhudan versi
kaum sufi yang banyak melanggar fitrah, keluar dari batas-batas kewajaran dan
keseimbangan.
Dari situ, dapat kita ketahui, bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat, antara kewajiban agama dan tuntutan hidup,
antara hak Allah dan hak-hak lainnya. Semuanya harus diletakkan pada
tempatnya. Itulah hakikat keadilan yang diperintahkan oleh Islam. Hal itu telah
dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui bahasa verbal dan
tindakan kongkret. Demikian pula para sahabat mengikuti jejak langkah Beliau
dan meneladani amal perbuatan Beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah hamba yang paling zuhud dan paling wara’. Orang yang ingin meraih
nilai-nilai kezuhudan dan kewara’an yang sebenarnya, maka tiada jalan baginya
kecuali mengikuti sunnah-sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anda mungkin juga menyukai