Anda di halaman 1dari 17

Definisi

Coxitis TB adalah peradangan tuberkulosis pada sendi panggul yang mengarah ke


destruksi permukaan artikular dan disertai dengan fleksi-adduksi kontraktur yang
menimbulkan nyeri. Coxitis TB biasanya berkembang pada anak usia 5-10 tahun ketika
mereka berada dalam kondisi yang lemah (karena infeksi, kondisi hidup yang kurang baik)
setelah masuknya agen penyebab tuberkulosis dari fokus utama (biasanya dari paru-paru).
Coxitis TB memiliki masalah klinis yang signifikan, meskipun penyakit ini sudah
jarang terjadi. Jika penyakit ini berkembang di pinggul dapat menyebabkan kerusakan
progresif pada sendi jika tidak diobati pada tahap awal, dan bahkan dapat berlanjut ke
dislokasi patologis. Nyeri, sulit digerakkan, dan perkembangan deformitas yang progresif
yang menyebabkan hilangnya fungsi dari pinggul yang terkena. Pinggul subluksasi atau
dislokasi setelah infeksi sulit untuk kembali stabil, mudah digerakkan, sama dan sebangun,
dan konsentris sendi. Umumnya, pinggul tersebut dengan maju lesi luksasi lanjut dan / atau
akhirnya mengakibatkan osteoarthritis atau ankilosis bahkan setelah penyembuhan penyakit.
Selama tahap awal infeksi, organisme umumnya menyebar melalui saluran limfatik ke
hilus regional dan kelenjar getah bening mediastinum dan melalui aliran darah ke tempat
yang lebih jauh dalam tubuh. Kombinasi fokus Ghon dan kelenjar getah bening yang terkena
dikenal sebagai kompleks Ranke. Pasien dengan Coxitis TB biasanya telah mengalami
infeksi paru terlebih dahulu yang dari sanalah basil tuberkel mencapai daerah panggul dengan
penyebaran secara hematogen.
Coxitis TB merupakan sekitar 15% dari semua kasus TB osteoartikular dan yang
paling sering melibatkan tulang setelah TB pada tulang belakang. Jika TB osteoartikular
didiagnosa dan diobati pada tahap awal, sekitar 90-95% pasien mencapai kesembuhan hampir
mendekati fungsi normal.
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi coxitis TB berdasarkan gambaran klinis dan gambaran radiologis
(Babhulkar dan Pande)
Tabel 2. Klasifikasi Tuli tentang perjalanan alamiah TB Arthritis
Stadium Gambaran Klinis Gambaran Terapi
Radiologi
Sinovitis Pembengk akan Pembengkakan Kemote-rapi
jaringan lunak. jaringan lunak. Istirahat. ROM.
75% masih bisa Ostopenia. Gips
melakukan
pergerakan sendi.

Artritis awal Pembengkakan Pembengk akak Kemote-rapi


jaringan lunak. jaringan lunak. Istirahat. ROM.
Kehilangan Erosi sendi Gips Synovectomy
pergerakan sendi marginal
sekitar 25- 50%. Pengurangan ruang
sendi.

Artritis Stadium 75% mengalami Erosi marginal Kemoterapi


Lanjut kehilangan Kista. Hilangnya Osteotomi
pergerakan sendi ruang sendi secara Artrodesis
signifikan. Artroplasti

Artritis stadium lanjut 75% mengalami Destruksi sendi Kemoterapi


dengan subluksa kehilangan Osteotomi
si/dislokasi pergerakan sendi. Artrodesis
Subluksasi atau Artroplasti
dislokasi.

A. Patologi
TB osteoarticular adalah sekunder dari patologi primer di paru-paru, kelenjar getah
bening, atau visera. Melalui rute hematogen, bakteri dapat mencapai sinovium atau tulang.
Ketika pertama kali bersarang di sinovium, membran sinovial menjadi bengkak dan
tersumbat. Jaringan granulasi dari sinovium meluas ke atas tulang sehingga mengakibatkan
nekrosis tulang sub chondral, sequetra dan beberapa terdapat kiss lesion di kedua sisi sendi.
Bakteri juga dapat bersarang pertama kali muncul di daerah epifisis atau metafisis tulang
yang berdekatan seperti kepala atau leher femur, trokanter lebih besar atau asetabulum untuk
memulai proses destruktif. Infeksi pada tulang dapat terjadi baik pada intrakapsuler maupun
ekstrakapsuler. Ketika infeksi melibatkan intraartikuler, maka progresivitas penyakit akan
dengan cepat menyebar ke seluruh sendi. Infeksi pada ekstraartikuler pun dapat melibatkan
sendi. Cold abcess yang biasanya terbentuk dapat menimbulkan perforasi pada kapsul sendi
dan meluas ke area di sekitar sendi seperti trigonum femorale, aspek medial, lateral posterior
paha, serta fossa ischiorectal.

Gambar 3. Bagan pathogenesis penyebaran infeksi TB

Gambar 4. Bagan pathogenesis coxitis pada region osseus


 Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe
menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.
 Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah
yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra –
pulmoner.
 Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan
menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus –
kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga
diperkirakan masih tinggi.
Predileksi :
Tuberkulosis sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang ( 50 – 70 % ) dan
sisanya pada sendi – sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu dan
daerah persendian kecil.

Indikasi tindakan bedah pada TB tulang belakang adalah kelainan neurologis,


instabilitas spinal, tidak respon terhadap OAT.

1. Stadium Implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada
daerah sentral vertebra.

2. Stadium Destruksi Awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan
yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.

3. Stadium Destruksi Lanjut


Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa
serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging
anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh
komplikasi spondilitis tuberkulosa. vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I            : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

Derajat II           : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.

Derajat III          : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia

Derajat IV         : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

Derajat I – III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis
atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan

Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis Coxitis TB berlangsung lambat dan kronik. Keluhan biasanya ringan
dan makin lama makin berat disertai perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris, dan
penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti panas tinggi, malaise, keringat
malam, anoreksia biasanya bersamaan dengan TB miliar.12
Gejala-gejala dari Coxitis TB tergantung dari derajat patologis yang terjadi. Pada
tingkat awal, gejala sangat minimal, mungkin hanya ditemukan nyeri dan pembengkakan
sendi panggul serta penderita sedikit pincang. Pada tingkat selanjutnya pembengkakan dan
nyeri bertambah berat dan terdapat deformitas sendi. Pada stadium ini, pincang merupakan
kelainan yang sering ditemukan dan dapat pula ditemukan atrofi otot. Dalam keadaan yang
lanjut dan berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat tungkai pada sendi panggul
yang terkena, disertai rasa sakit yang sangat menggangu disekitar paha dan daerah pinggul
tersebut.13
Coxitis TB sering ditemukan pada anak-anak umur 2-5 tahun remaja. Gerakan sendi
panggul menjadi sangat terbatas dan pada tingkat lanjut terjadi ankilosis atau deformitas yang
menetap pada panggul yang pada pemeriksaan menurut Thomas hasilnya positif dan mungkin
ditemukan abses dingin atau fistel di daerah panggul.
Pada coxitis Tuberkulosa berlangsung lambat, kronik dan biasanya hanya mengenai 1 sendi,
keluhan biasanya ringan dan makin lama makin berat disertai perasaan lelah pada sore dan
malam hari, subfebris, penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperti panas tinggi,
malaise, keringat malam, anoreksia biasanya bersamaan dengan tuberculosis milier. Pada
sendi, mula-mula jarang timbul gambaran yang khas seperti pada arthritis yang lainnya.
Tanda awal berupa bengkak, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Kulit diatas daerah
yang terkena teraba panas, kadang-kadang malah dingin, berwarna merah kebiruan. Bisa
terjadi sendi berada dalam kedudukan fleksi berkelanjutan dan mungkin disertai
tenosinovitis. Pada anak-anak dapat ditemukan spasme otot pada malam hari (night start).
Mungkin disertai demam, tapi biasanya ringan. Pada kasus yang berat, kelemahan otot bisa
terjadi sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan. Bila pinggul yang terkena, maka
terjadi kelemahan tungkai dengan sedikit rasa tidak enak. Dalam keadan yang lanjut dan
berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat tungkai pada sendi pinggul yang terkena,
disertai rasa sakit yang sangat mengganggu disekitar paha dan daerah pinggul tersebut.
Tuberkulosis vertebra (penyakit pott) biasanya terjadi didaerah thoracolumbal. Penyakit pott
merupakan 50% dari seluruh kasus tuberculosis tulang dan sendi. Pada mulanya seluruh
kasus Tuberculosis tulang dan sendi.

B. Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis
2. uji mantoux positif
3. pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
4. biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

radiologi Koksitis Tuberkulosis


Sering pada anak-anak. Proses dapat dimulai di asetabulum, sinovium, epifisis femur,
metafisis femur, atau trokanter mayor. Kadang-kadang infeksi menyebar ke panggul dari
focus di dalam trochanter mayor atau ischium. Lesi pada panggul mempunyai karakteristik
dengan destruksi yang banyak tetapi suatu perubahan yang tidak wajar sekarang jarang
terlihat. Semua tingkat kehilangan tulang dari kaput dan colum femur dapat ditemukan.
Penemuan yang sering adalah gambaran tonjolan bernama “bird’s beak”. Ekspansi dan
destruksi didalam asetabulum kadang-kadang membawa ke protrusio intrapelvik dari sendi
panggul. Destruksi tulang biasanya banyak, baik pada asetabulum maupun pada kaput femur.
Kadang-kadang kaput femur tidak dapat dilihat lagi. Bila destruksi pada asetabulum banyak
dapat menimbulkan protusio asetabuli. Diagnosis diferensial yang penting adalah penyakit
perthes, yaitu nekrosis avaskular dari kaput femur

Tampilan radiografi Coxitis TB:


1. Gambaran normal : tahap sinovitis
2. Tipe perthe’s : terlihat sklerotik kepala femur
3. Tipe dislokasi : terlihat sublukasi atau dislokasi kepala femur terutama
karena kelemahan kapsul dan hipertrofi sinovial daripada akumulasi nanah seperti
pada arthritis piogenik
4. Tipe acetabulum melayang
5. Tipe protrusio acetabulum
6. Tipe mortar dan pestle
7. Tipe atropik : kepala femur tidak teratur dengan penyempitan ruang
sendi. Tampilan ini sering pada dewasa dan berkembang menjadi ankilosis fibrosa.

Diagnosis radiologis Coxitis TB dapat dilakukan jika ditemukan:15


 Efusi sendi
Efusi sendi dengan edema jaringan lunak dapat menjadi salah satu dari
tanda-tanda awal Coxitis TB. Efusi sendi mungkin muncul ketika sendi telah
dinyatakan normal atau hampir normal dalam penampakannya.

 Osteopenia
Osteopenia periarticular adalah manifestasi umum dari Coxitis TB, dan
mungkin lebih umum pada sendi yang menahan beban dari ekstremitas bawah
daripada di ekstremitas atas. Deteksi osteopenia dengan radiografi polos adalah
subyektif.
 Penyempitan ruang sendi
Coxitis TB khas menghancurkan tulang rawan artikular, sehingga
mempersempit sendi lebih lambat dari yang dapat dilakukan infeksi piogenik.
Namun tetap dapat menghilangkan ruang sendi semaksimal infeksi lainnya
tergantung pada di tahap mana penyakit ini didiagnosis, ruang sendi yang dapat
melebar dengan efusi, normal, atau menyempit.
 Ketidakteraturan korteks
Tuberkulosis menyerang korteks artikular dan subkortikal tulang
cancellous dalam beberapa mode yang berbeda. Erosi dapat terbentuk pada daerah
tulang yang berdekatan dengan tepi tulang rawan artikular. Erosi ini kurang umum
pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan remaja. Dalam lutut, erosi
marginal dapat memperlebar kedudukan interkondilaris. Selain itu, daerah kecil
resorpsi dapat terjadi di sepanjang permukaan kortikal subchondral, membuat
ketidakteraturan, dan tampilan berbintik-bintik (pitted appearance). Phemister dan
Hatcher menemukan erosi tulang subchondral terjadi dalam kasus-kasus di mana
tulang rawan kendur namun sebagian besar masih utuh.
 Lesi litik
Lesi bulat atau oval dengan margin yang sulit didefinisikan dalam
tulang berdekatan dengan sendi yang terkena adalah umum ditemukan dalam TB
ekstremitas, khususnya pada anak-anak. Beberapa lesi ditemukan tanpa sklerosis,
yang lainnya memiliki sejumlah kecil sklerosis atau berkembang selama
pengobatan. Acetabulum adalah bagian yang paling umum terkena. Lesi tersebut
berlokasi pada epifisis dan metafisis dan dapat menjadi lesi di antara kedua fisis.
 Susunan periosteal tulang baru
Dibandingkan dengan temuan yang dibahas sebelumnya, reaksi
periosteal merupakan manifestasi relatif jarang pada TB tulang. Jika ada, maka
bentuknya kemerahan (florid)

 Pematangan epifisis lanjut atau overgrowth


Pematangan epifisis lanjut atau pertumbuhan berlebih adalah karena
hiperemia dan dapat menyebabkan penggabungan fisis prematur dan, karena itu
menimbulkan pemendekan ekstremitas. Evaluasi pematangan epifisis sulit
dilakukan karena radiografi ekstremitas kontralateral biasanya tidak tersedia untuk
perbandingan, karena itu, perubahan tersebut mungkin telah terjadi tanpa
diketahui.
Tamainer
a. Foto Rontgen
Pada tingkat awal perjalanan penyakit, foto rontgen menunjukkan rarefraksi
dan mungkin penebalan jaringan lunak disekitar panggul dan pada tingkat lanjut
ditemukan penyempitan ruang sendi, destruksi kaput femoris dan asetabulum,
osteoporosis, osteolitik dan mungkin dislokasi panggul.

Lesi mungkin timbul dalam acetabulum, sinovium, epifisis femoralis atau


metafisis. Kadang-kadang infeksi menyebar ke pinggul dari fokus pada trokanter
mayor atau iskium. Semua derajat kehilangan tulang kepala femoral dan leher dapat
ditemukan. Sebuah temuan yang sering adalah tampilan bird’s beak dengan tonjolan
intrapelvis.

b. CT Scan14
1. Plain scans
Penyempitan ruang sendi, erosi tulang marginal dan subkondral dan tanda-tanda yang
menyertai demineralisasi dapat dideteksi sejak dini CT scan resolusi tinggi, terutama ketika
panggul lainnya yang digunakan untuk perbandingan. Peradangan yang menyertai kapsul
artikular menyebabkan pelebaran besar (lebih besar dari 6 mm)
2. Scan dengan kontras
Media kontras dapat menunjukkan peradangan kemerahan dengan meningkatkan
membran sinovial yang, pada gilirannya, batas jelas area efusi sendi. Infiltrasi di sekitar dan
abses yang meluas bisa lebih mudah dibedakan pada scan dengan kontras dari pada scan
biasa.
c. MRI
Tuberkulosis menyebabkan kerusakan yang signifikan pada kedua sisi sendi sakroiliaka.
Dalam beberapa kasus, lesi tuberkulosis pada sendi dapat menyebar ke daerah inguinal dan
glutealis dan menghasilkan rongga abses. MRI panggul menunjukkan sakroilitis dan
osteomyelitis dengan pembentukan abses luas menyebar ke bagian perut di wilayah iliopsoas,
dan dorsal ke daerah gluteal.18
Gambaran MRI menunjukkan penyempitan pada ruang sendi di bagian kranial dari
acetabulum dengan peningkatan sklerosis subkondral serta peningkatan sinovial dengan
edema sumsum tulang di kepala femoral dan acetabulum yang sesuai.
d. Kedokteran Nuklir20
Dalam sebuah studi, skintigrafi Ga-67 memiliki sensitivitas hingga 78% dalam
mengidentifikasi TB ekstraparu tetapi gagal untuk membantu mendiagnosa kasus meningitis
TB. Ketika diagnosis diferensial meliputi infeksi tulang, skintigrafi tulang dengan teknesium-
99m methylene diphosphonate dapat membantu melokalisasi focus sepsis dan sama sensitifnya
dengan skintigrafi leukosit In-111. Skintigrafi Ga-67 memiliki sensitivitas yang sama untuk
mendeteksi lesi tulang tetapi juga mampu membantu mengidentifikasi abses paraspinal dan
ekstraskeletal lainnya. Teknik pencitraan nuklir tidak membantu membedakan antara penyebab
yang berbeda dari sepsis, tetapi mereka membantu mengidentifikasi fokus. Pencitraan lebih
lanjut dari daerah tersebut, bersama dengan pengambilan sampel jaringan tambahan, dapat
dilakukan untuk membantu dalam diagnosis.
Fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG PET) memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan pemeriksaan gallium dan indium: (a) dapat dilakukan segera, tanpa
diperlukan penundaan antara injeksi dan pemindaian; (b) umumnya menghasilkan dosis
radiasi yang lebih rendah karena waktu paruh FDG yang pendek; (c) hal ini menunjukkan
serapan organ yang sedikit normal, kecuali di otak dan jantung, dan (d) menyediakan
pengukuran kuantitatif fraksi absolut dosis yang disuntikkan yang mencapai jaringan.
Tuberkuloma biasanya menunjukkan serapan di FDG PET. Peningkatan serapan juga terlihat
dengan penyakit granulomatosa lain dan infeksi seperti sarkoidosis, histoplasmosis,
aspergillosis, dan coccidioidomycosis. Oleh karena itu, dalam pengaturan lesi paru yang
diketahui, FGD PET tidak dapat digunakan untuk membedakan antara penyebab neoplastik
dan non neoplastik. Keterbatasan ini sangat relevan dalam wilayah geografis di mana TB
adalah endemik karena, pada kira-kira 2% dari kasus, keganasan dan tuberkuloma dapat
hidup berdampingan. Namun, satu studi menunjukkan bahwa menggunakan PET kolin
karbon-11 dapat membantu membedakan antara kanker paru-paru dan TB. Nilai serapan
standar tinggi dalam massa ganas dan rendah tuberkuloma dengan PET kolin karbon-11
tetapi tinggi di kedua lesi dengan FDG PET .
Penatalaksanaan
Tatalaksana standar untuk CoxitisTB adalah dengan menggunakan multi-drugs
kemoterapi anti tuberkulosis untuk 12 hingga 18 bulan dan di padukan dengan pembedahan
dan fisioterapi pada tulang yang terkena. Apabila terapi pembedahan menjadi modalitas
utama, anti-tuberkulosis sangat di butuhkan dalam pencegahan reaktivasi tuberkulosis.21
Beberapa teknik pembedahan yang dapat di gunakan antara lain arthrotomi dengan
debridemant, arthodesis, dan girdlestone resection artrhoplasti atau yang disebut juga dengan
total arthoplasty. Pemberian obat anti-tuberkulosis sebaiknya di berikan 2 minggu sebelum
operasi dan di lanjutkan dengan pemberian 1 tahun setelah operasi.4
Untuk post operative dapat di berikan obat rifampicin (10 mg/kg), isoniazid (5
mg/kg), pyrazinamid (20 mg/kg), dan etambutol (15 mg/kg) untuk 2 bulan awal dan diikuti
dengan pemberian rifampisin dan isoniazid pada 10 bulan berikutnya. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya reaktivasi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Meskipun
demikian sebuah penelitan menunjukkan masih terdapat kemungkinan terjadinya rekativasi
infeksi tuberkulosis mulai dari 14 % hingga 22 % dari semua kasus yang di teliti.
Diagnosis Banding
Coxitis TB dapat didiagnosis bandingkan dengan:
 Coxitis piogenik
 Osteoathritis
 Metastase tulang
Prognosis
Diagnosis pada tahap awal dan kemoterapi yang efektif sangat penting untuk
menyembuhkan penyakit dan untuk menyelamatkan sendi. Kemoterapi anti tuberkulosis
dengan atau tanpa intervensi bedah telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur, tetapi
kelainan anatomi sisa seperti fleksi abduksi atau adduksi, subluksasi atau dislokasi, dan
manajemen bagi mereka residual pada anak-anak jarang didokumentasikan
Obat Anti Tuberkulosis Pilihan Pertama
1.      Isoniazid
Isoniazid merupakan obat paling poten dalam pengobatan tuberkulosis, merupakan
molekul kecil larut dalam air, dan merupakan analog sintetik piridoksine.
Isoniazid bersifat bakteriostatik bagi mikobakterium pada fase stasioner, dan bersifat
bakterisid pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Efektif melawan bakteri intraselular.
Insidensi dan tingkat keparahan efek samping bergantung dosis dan lama pemberian.
Efek samping yang dapat timbul antara lain :
      Reaksi alergi
        Neuritis perifer
        Hepatitis dan hepatotoksisitas idiosinkrasi
        Interaksi obat.

2.      Rifampin
Rifampin adalah derivat semisintetik rifamisin B yaitu salah satu anggota kelompok
antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces
mediterranei.
Rifampisin merupakan bakterisidal bagi mikobakteria intraselular juga ekstraselular,
untuk Mikobakterium tuberkulosis, mikobakterium atipikal juga mikobakterium
leprae.Rifampin efektif menghambat berbagai pertumbuhan kuman gram positif dan gram
negatif. Sangat aktif terhadap N.meningitidis dan dapat menghambat pertumbuhan beberapa
jenis virus.
Rifampin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang paling sering ialah
ruam kulit, demam, mual dan muntah. Pada pemberian berselang dengan dosis lebih besar
sering terjadi flu like syndrome, nefritis interstisial, nekrosis tubular akut, dan
trombositopenia. Pada penderita penyakit hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut, insidens
ikterus dikarenakan rifampin bertambah.
3.      Etambutol
Hampir semua galur mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium kansasii sensitif
terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan
pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.
Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel
mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat
tuberkulostatik.
Hipersensitifitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling penting
adalah gangguan penglihatan, biasanya bilatera, yang merupakan neuritis retrobulbar, yaitu
berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya
lapang pandangan, dan skotoma sentra maupun lateral. Insidens efek samping ini makin
tinggi sesuai dengan peningkatan dosis dan lamanya terapi, namun bersifat reversibel.
Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50 %
penderita. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal. Efek
nonterapi ini mungkin diperkuat oleh isoniazid dan piridoksin.

4.      Pirazinamid
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam
pirazinoat dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam
sel makrofag, lebih aktif bekerja pada hanya pada suasana asam.
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati, oleh karena itu
hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum pengobatan dengan pirazinamid
dimulai, dan pemantauan terhadap transaminase serum dilakukan secara berkala selama
pengobatan berlangsung. Obat ini juga menghambat ekskresi asam urat dan dapat
menyebabkan kambuhnya pirai.

5.      Streptomisin
Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman
tuberkulosis. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam abses atau kelenjar limpfe regional
serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bahwa
kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman tuberkulosis. Obat ini dapat
mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.
Umumnya streptomisin dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit
kepala sebentar atau malaise. Reaksi hipersensitifitas biasanya terjadi dalam minggu-minggu
pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranial ke VIII, bila
diberikan dalam dosis besar dan jangka lama. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
audiometri basal dan berkala pada mereka yang mendapat streptomisin. Seperti
aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas
ini sangat tinggi kejadiannya pada kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat ini
tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut. Efek samping lain ialah reaksi anafilaktik,
agranulositosis, anemia aplastik, dan demam obat.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat Tuberkulosis pada Anak(3,5)


Jenis Obat Dosis Harian Dosis Maksimal
Isoniazid 5-15 mg/KgBB/hari 300 mg/hari
Rifampin 10-20 mg/KgBB/hari 600 mg/hari
Pirazinamid 15-30 mg/KgBB/hari 2000 mg/hari
Etambutol 15-20 mg/KgBB/hari 1250 mg/hari
Streptomisin 15-40 mg/KgBB/hari 1000 mg/hari

Obat TB lain (second line) adalah PAS, viomisin, sikloserin, etionamid, kanamisin dan
kapriomisin, yang digunakan jika terjadi multidrug resistance.Kombinasi yang paling sering
disarankan adalah obat Isoniazid ( 300 mg / hari ) Rifampisin ( 600 mg / hari ) dan Pirazinamid ( 20-30
mg / kg / hari ).

Jika penyakit ini tidak dikendalikan oleh pengobatan intervensi operasi akan diperlukan . Ini
mungkin mengambil bentuk arthrotomy dan debridement atau , dengan penyakit yang lebih
luas , eksisi artroplasti atau arthrodesis. Ada laporan dari penggantian panggul total ( THR )
dalam pengobatan TBC baik dalam penyakit aktif dan rekonstruksi bersama sekunder. THR
Namun mungkin , berhubungan dengan reaktivasi infeksi. Reaktivasi juga mungkin berkaitan
dengan terapi antibiotik awal tidak memadai.
Penanganan dengan teknik bedah yang berbeda sebagai arthrotomy dengan debridement ,
arthrodesis , Girdlestone reseksi artroplasti atau artroplasti total pinggul ( THA ) telah
dilakukan dalam kasus-kasus penyakit yang luas. Meskipun Girdlestone reseksi artroplasti
tidak sulit untuk melakukan dan dalam sebagian besar kasus hasil klinis yang memuaskan,
kerugian besar dari teknik ini adalah hilangnya fungsi akibat berkurangnya pinggul offset.
Arthrodesis sebagai alternatif mewakili untuk mengurangi rasa sakit dan sementara itu
memperlakukan infeksi berhasil . Selain kehilangan ROM dari sendi pinggul , sering ada
perubahan degeneratif sekunder terutama tulang belakang lumbal dalam jangka panjang .
Melakukan THA harus disebutkan sebagai alternatif menuntut , yang sering dipraktekkan
dalam kombinasi dengan obat antituberculotic oral. Eksaserbasi lokal diamati dalam kasus-
kasus dengan pengobatan sistemik memadai , sedangkan di sebagian besar kasus hasil
mengacu pada ROM dan nyeri pengurangan memuaskan.
Hal ini melaporkan bahwa intervensi operatif luas sebagai THA untuk TBC terus menjadi isu
kontroversial karena potensi risiko reaktivasi infeksi. Namun, periode waktu setelah pengobatan
awal antituberculotic dan melakukan artroplasti dibahas.

Anda mungkin juga menyukai