Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN LAPORAN KASUS RESUME PADA TN.

A
DENGAN DIAGNOSA SEPTIC ARTHRITIS RIGHT DIRUANG OK.4
DI RSUD LABUANG BAJI

DISUSUN OLEH :

IRENE AGUSTIN LEFTEUW

7119221701

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN (STIK)

FAMIKA MAKASSAR

T.A 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
SEPTIC ARTHRITIS

A. KONSEP DASAR TEORI


1. Definisi
Arthritis septic adalah sendi yang mengalami infeksi akibat penyebaran
dari infeksi ditempat tubuh lain (penyebaran hematogenesus) atau secara
langsung akibat trauma atau intervensi bedah. Septik arthritis merupakan hasil
dari invasi bakteri di celah sendi, di mana penyebaran terjadi secara
hematogen, inokulasi langsung akibat trauma maupun pembedahan, atau
penyebaran dari osteomileitis atau selulitis yang berdekatan dengan celah
sendi.
Artritis Septik (AS) merupakan salah satu penyakit yang merupakan
kegawatdaruratan di bidang rematologi terutama bila kuman penyebabnya 
bakteri yang dihubungkan dengan kesakitan dan kematian yang signifikan.
Keterlambatan dan terapi yang tidak adekuat terhadap SA dapat
mengakibatkan kerusakan kartilago hyalin artikular dan kehilangan fungsi
sendi yang ireversibel. Diagnosis awal yang diikuti dengan terapi yang tepat
dapat menghindari terjadinya kerusakan dan kecacatan sendi ( Fitraneti,
2011).
Jadi dapat disimpulkan sepsis arthritis adalah suatu penyakit yang
menyerang sendi, dimana terjadi infeksi pada sendi dimana penyebaran
infeksinya bersifat hematogenesus atau secara langsung.
2. Etiologi
Penyebab dari arthritis tergantung pada bentuk dari arthritis. Penyebab-
penyebab termasuk:
a. Luka (menjurus pada osteoarthritis),
b. Kelainan-kelainan metabolisme (seperti gout dan pseudogout),
c. Faktor-faktor keturunan,
d. Infeksi dapat berasal dari bakteri (Staphylococcus aureus dan
Haemophilus influenza, E. coli dan Pseudomonas spp, Neisseria
gonorrhoeae, Salmonella spp, Mycobacterium tuberculosis dan spirochete
bacterium), virus (hepatitis A, B, dan C, parvovirus B19, herpes viruses,
HIV (AIDS virus), HTLV-1, adenovirus, coxsackie viruses, mumps, dan
ebola), jamur (histoplasma, coccidiomyces, dan blastomyces)
e. Sebab-sebab yang tidak jelas (seperti rheumatoid arthritis dan systemic
lupus erythematosus).
3. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada
korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan
pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring
yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum
mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol
dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga
timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei
atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
a. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
b. Stadium Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini
berlangsung selama 3 – 6 minggu.
c. Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses
dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah
depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
d. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosa. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
1) Derajat I :   Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
terjadi gangguan saraf sensoris.
2) Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi
penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
3) Derajat III: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anesthesia
4) Derajat IV: Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai
gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia
atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung
dari keadaan penyakitnya.
e. Stadium Deformitas Residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.
PATHWAY
5. Manifestasi Klinis
Pasien dengan Artrits Septic Akut di tandai dengan adalah nyeri sendi
hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi sendi, demam dan
kelemahan umum (Sudoyo,dkk.2009). Gejala-gejala dari septic arthritis
termasuk demam, kedinginan, begitu juga nyeri, pembengkakan, kemerahan,
kekakuan, dan kehangatan sendi. Sendi-sendi yang paling umum dilibatkan
adalah sendi-sendi besar, seperti lutut-lutut, pergelangan-pergelangan kaki,
pinggul-pinggul, dan siku-siku tangan. Pada orang-orang dengan faktor-faktor
risiko untuk infeksi sendi, sendi-sendi yang tidak umum dapat terinfeksi,
termasuk sendi dimana collar bone (clavicle) bertemu tulang dada (sternum).
Dengan mikroba-mikroba yang tidak umum, seperti Brucella spp., sendi-sendi
yang tidak lazim dapat terinfeksi, seperti sendi-sendi sacroiliac.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto rontgen
Misalnya pada tuberculosis tulang belakang akan dijumpai hilangnya
sudut anterior superior atau inferior dari badan vertebra dan hilangnya
rongga antar vertebra.
b. Tes darah
Tes darah terhadap titer anti- stafilococus dan anti – streptolisisn
hemolisin, tifoid, paratifoid, dan bruselosis dapat membantu penegakan
diagnosis pada kasus sulit dan pada pusat-pusat dengan pusat yang
memadai. Leukosit kadang meningkat sampai 50.000/mm 3 (nilai normal :
4.000-10.000/mm3). Pada pemeriksaan darah akan didapatkan laju endap
darah yang meningkat. Pengecatan gram dan kultur juga merupakan
pemeriksaan yang penting. Pada pewarnaan gram biasanya dapat
diberikan antibiotik pertama sambil menunggu hasil sensitivitas kultur.
c. Biopsi jarum
Juga dapat bermanfaat pada kasus sulit, namun membutuhkan
pengalaman serta pemeriksaan histology yang baik.
d. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini terutama untuk melihat jaringan lunak yaitu diskus
intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sum-sum tulang
belakang.
e. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dengan mielografi. Pemeriksaan mielografi
dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sum-sum tulang belakang.
f. Analisa cairan sendi
Pemeriksaan cairan sendi merupakan pemeriksaan yang rumit. Ketika
gejala klinis telah tampak, maka pada cairan sendi akan tampak keruh atau
purulen.
g. USG
Digunakan untuk mendeteksi cairan sendi yang terletak lebih dalam.
Gambaran khas dari septik arthritis pada pemeriksaan USG berupa non-
echo-free effusion yang berasal dari bekuan darah. USG dapat digunakan
sebagai panduan dalam melakukan aspirasi dan drainase serta untuk
memonitor status kompartmen intrartikuler, kapsul sendi, tidak mahal, dan
mudah digunakan, tetapi pemeriksaan ini sangat tergantung dari operator
yang mengerjakannya.
7. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada septik arthritis akut:
a. Drainase sendi harus adekuat
b. Antibiotik harus diberikan untuk mengurangi efek sistemik dari sepsis
c. Sendi harus diistirahatkan dalam posisi stabil
1) Terapi Umum
Analgetik dan dan pembidaian dari sendi yang terkena pada posisi
maksimal dan senyaman mungkin untuk mengurangi nyeri. Adanya fokus
infeksi dan kondisi medis harus diindetifikasi dan diterapi sesuai penyakit
yang ditemukan. Penggantian cairan dan kecukupan nutrisi mungkin
diperlukan.
2) Terapi Khusus
Terapi definitif yang diperlukan berupa drainase dari pus yang terdapat
di sendi dan memberikan terapi antibiotik yang efektif. Teknik dari
drainase tergantung dari sendi yang terkena, stadium infeksi, dan respon
dari pasien. Walaupun sendi yang terinfeksi dapat didrainase dengan hasil
yang memuaskan melalui aspirasi berulang, namun pada sendi panggul
dan mungkin sendi yang lain yang sulit dilakukan drainase maka harus
dilakukan artrotomi sesegera mungkin setelah teridentifikasi dari septik
atritritis. Indikasi lain dari drainase dengan teknik pembedahan adalah
septik arthritis dimana pusnya terlokalisir, gagal dalam terapi nonoperatif,
infeksi yang telah berlangsung lama, dan infeksi sendi pasca pembedahan
atau luka penetrasi.
Antibiotik parenteral diindikasikan untuk septik arthritis. Jika kuman
tidak tampak pada pewarnaan gram dan sebelumnya pasien adalah seorang
dewasa sehat, maka diagnosa kerjanya adalah arthritis gonokokus, dan
penisilin dapat menjadi pilihan terapi. Anak-anak di bawah 4 tahun
mempunyai insiden yang signifikan terhadap arthritis akibat H. influenza.
Pada orang dewasa, dimana pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram
negatif, maka pilihan terapinya adalah sefalosporin atau penisilin beta
laktamase dan aminoglikosida. Infeksi yang disebabkan oleh H.influenza,
Streptococcus, Neisseria, memiliki respon terapi yang baik dan lebih
cepat, sehingga pemberiannya dapat dipersingkat (< 2 minggu).
Sedangkan, pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri
basili gram negatif, respon terapi lebih lambat sehingga membutukan
waktu yang lebih panjang yaitu sekitar 4-6 minggu. Pada infeksi sendi
panggul dan bahu, pasien immunocompromise, pasien dengan respon
terapi jelek akan membutuhkan pengobatan yang lebih lama pula.
Ketika kuman telah teridentifikasi dari hasil kultur, maka pilihan
antibiotik harus sesuai dengan hasil yang telah ditemukan. Hasil kultur
dan respon klinis sesudah itu digunakan untuk memastikan regimen
antibiotik. Antibiotik parenteral diteruskan dengan dosis tinggi sampai
inflamasi mereda secara signifikan. Tambahan antibiotik oral selama 3-4
minggu biasanya diperlukan setelah pemberian antibiotik parenteral. (1)
Sebagian klinisi menyatakan bahwa pemberian antibiotik parenteal harus
diteruskan setidaknya sampai suhu dan kadar CRP mencapai nilai mormal
dengan terapi maintenance 4-6 minggu.(4) Injeksi penisilin G 10 juta unit
per 24 jam diberikan pada arthritis gonokokus dan diteruskan sampai
perbaikan klinis dicapai secara signifikan. Saat tanda lokal teratasi,
antibiotik dapat diubah ke ampisilin oral, 4 kali 500 mg per hari selama 7
hari.
8. Komplikasi
Komplikasi terdiri dari destruksi sendi, osteomielitis, dan penyebaran ke
tempat lain baik secara langsung ataupun secara hematogen. Semakin cepat
diagnosis dan diterapi dilaksanakan, maka kemungkinan terjadinya
komplikasi akan semakin kecil. Komplikasi yang dapat ditimbulkan termasuk
kerusakan sendi berupa osteoarthritis. Pada anak-anak, keterlibatan dari
growth plates dapat meningkatkan progresifitas dari deformitas dan
pemendekan dari segment yang terkena. Selain itu, komplikasi lain seperti
dislokasi sendi, epifisiolisis, ankilosis, dan osteomielitis.
Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses
granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule, pada otot dapat terjadi
myosis ( proses granulasi jaringan otot) , pada pembuluh darah terjadi
tromboemboli, dan terjadi spenomegali. Komplikasi lanjutnya adalah penyakit
degeneratif pada sendi, dislokasi permanen dan fibrous ankylosis.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Anamesis
a. Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no.regist, asuransi
kesehatan, dan diagnostik medis.
b.  Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang, dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawata dapat
menggunakan metode PQRST.
- Provoking Insident : Hal yang menjadi factor presipitasi nyeri adalah
adanya peradangan pada tulang belakang.
- Quality Ofpain : Nyeri yang dirasakan klien bersikap menusuk. Nyeri
sering disertai dengan adanya parestesia. Factor yang mengurangi
nyeri dikaji karena pada beberapa keadaan, kualitas dan kuantitas
nyeri berkurang dengan manajemen nyeri keperawatan yang meliputi
pengaturan posisi, relaksasi napas dalam, metode distraksi, manajemen
sentuhan dengan masase ringan disekitar lokasi nyeri.
- Region, Radiation, Relieft : Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri
menjalar atau menyebar karena pada beberapa kasus, nyeri sering
menajalar dari tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai.
Selain itu, kaji dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokasi, dan
sebatas apa.
- Severity (Scala) Ofpaint : Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala
nyeri 0-4
- Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri
berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c. Riwayat penyakit sekarang. Keluhan yang didapat hamper sama dengan
gejala tubercolosis pada umunya, yaitu badan lemah/ lesu, nafsu makan
berkurang, BB menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebril ) terutama
pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-anak sering disertai
dengan menangis pada malam hari ( night cries ). Pada tubercolosis
vertebra servikalis, dapat ditemukan nyeri didaerah belakang kepala,
gangguan menelan, dan gangguan pernapasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadang kala klien dating dengan gejala abses pada daerah
paravertebral, abdominal, inguinal, popliteal, atau bongkong
d. Riwayat Penyakit Dahulu. Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan
obat anti tubercolosis ( OAT ). Penyakit lainnya seperti hipertensi, DM 
perlu juga di kaji untuk mengindetifikasi penyulit pada penatalaksanaan
dan implementasi keperawatan.
e. Pengkajian psikososiospiritual. Perawat mengkaji mekanisme koping yang
digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
di deritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat,
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan berupa paralisis
anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap
klien yang mengalami spondilitis tuberkolosa.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
focus pemeriksaan B6 (bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan
klien.
a. Keadaan umum
Klien umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan tanda-tanda vital yang meliputi bradikardia dan hipertensi
sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat
adanya hambatan dalam melakukan mobilisasi ekstermitas.
b. Pengkajian B6
1) B1 (Breathing)
Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis tuberculosa
dengan fase penurunan aktivitas yang parah adalah pada infeksi
didapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Pada palpasi, ditemukan taktil premitus seimang kanan
dan kiri. Pada perkusi, ditemukan adanya resonan pada seluruh lapang
paru. Pada auskultasi, didapatkan suara napas tambahan, seperti ronchi
pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk
yang menurun yang sering ditemukan pada klien spondilitis
tuberculosa dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien
spondilitis tuberculosa fase awal, biasanya tidak didapatkan kelainan
pada sistem pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pada keadaaan spondilitis tuberculosa dengan komplikasi paraplegia
yang lama diderita biasanya akan didapatkan adanya hipotensi
ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik ≤ 25 mmHg dan diastole
≤ 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi beraring ke posisi duduk).
Pada klien spondilitis tuberculosa tanpa paraplegia biasanya tidak
didapatkan kelainan pada sistem kardiovaskuler.
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya compos mentis. Pemeriksaan fungsi
serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien,
biasanya status mental klien tidak menglami perubahan.
4) B4 (Bladder)
Pada spondidlitis tuberculosa daerah torakal dan servikal, tidak ada
kelainan pada sistem ini. Pada spondilitis tuberculosa daerah lumbal,
sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
5) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi :
turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses pada
lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan
gelombang cairan. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20x / menit.
Inguinal-genitalia-anus: tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lomfe,
tidak ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolisme: pada klien
spondilitis tuberculosa, sering ditemukan penurunan nafsu makan dan
gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses
faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurang.
6) B6 (Bone)
- Look. Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis)
terutama pada spondilitis tuberculosa daerah torakal. Pada spndilitis
tuberculosa daerah vertebra lumbalis, hampir tidak terlihat deformitas,
tetapi terlihat adanya abses pada daerah bokong dan pinggang. Pada
spondilitis tuberculossa daerah servikal, terdapat kekakuan leher.
- Feel. Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
- Move. Terjadi kelemahan anggota gerak (paraparesis dan paraplegi)
dan gangguan pergerakan tulang belakang. Pergerakan yang berkurang
tidak dapat dideteksi didaerah toraks, tetapi mudah diamati pada
tulang belakang ; punggung harus diperhtikan dengan teliti, sementara
gerakan dicoba. Biasanya seluruh gerakan terbatas dn usaha tersebut
menimbulkan spasme otot. Uji uang logam dapat menilai seorang anak
yang mengalmi spasme lumbal. Bila anak mengambil uang dari
lantai,ia cenderung membongkokkan pinggul dan lutut, bukan
membungkukkan tulang belakang.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan penurunan fungsi tulang
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubuungan dengan nyeri pada daerah
fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak
c. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada sendi.
4. Intervensi Keperawatan
a. Dx 1: Nyeri berhubungan dengan penurunan fungsi tulang
Tujuan: Nyeri hilang, teratasi
Kriteria Hasil :
- Memperlihatkan pengendalian nyeri
- Menunjukkan tingkat nyeri berkurang
- Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
No Intervensi Rasional
.
Mandiri :
1. Kaji keluhan nyeri, catat Membantu dalam menentukan
lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). kebutuhan managemen nyeri dan
Catat faktor-faktor yang keefektifan program
mempercepat dan tanda-tanda rasa
sakit non verbal

2. Berikan matras atau kasur keras, Matras yang lembut/empuk, bantal


bantal kecil. Tinggikan linen tempat yang besar akan mencegah
tidur sesuai kebutuhan biarkan pasien pemeliharaan kesejajaran tubuh yang
mengambil posisi yang nyaman pada tepat, menempatkan setres pada
waktu tidur atau duduk di kursi. sendi yang sakit. Peninggian
linen tempat tidur menurunkan
tekanan pada sendi yang terinflamasi
/ nyeri
3. Tingkatkan istirahat ditempat tidur Pada penyakit berat, tirah baring
sesuai indikasi mungkin diperlukan untuk
membatasi nyeri atau cedera sendi.
Mencegah terjadinya kelelahan
umum dan kekakuan sendi.

4. Dorong untuk sering mengubah Panas meningkatkan relaksasi otot


posisi. Bantu pasien untuk bergerak dan mobilitas, menurunkan rasa
di tempat tidur, sokong sendi yang sakit dan melepaskan kekakuan
sakit di atas dan di bawah, hindari dipagi hari. Sensitifitas pada panas
gerakan yang menyentak dapat dihilangkan dan luka dermal
dapat disembuhkan

5. Anjurkan pasien untuk mandi air Meningkatkan relaksasi atau


hangat atau mandi pancuran pada mengurangi tegangan otot.,
waktu bangun. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi-
sendi yang sakit beberapa kali sehari.
Pantau suhu air kompres, air mandi
Berikan massase yang lembut

Kolaborasi:
Pemberian analgetik jika nyeri tidak Untuk membantu menghilangkan
terkontrol nyeri

b. Dx 2 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada


daerah fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak.
Tujuan: Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
Kriteria Hasil  :
- Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
- Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar
- Memperlihatkan mobilitas
No Intervensi Rasioal
.
Mandiri :
1. Kaji tingkat kemampuan ROM aktif ROM aktif dapat membantu  dalam
pasien mempertahankan/ meningkatkan
kekuatan dan kelenturan otot,
mempertahankan fungsi
cardiorespirasi, dan mencegah
kontraktur dan kekakuan sendi
2.     
2. Anjurkan pasien untuk Body mechanic dan ambulasi
melakukanbody mechanic dan merupakan usaha koordinasi diri
ambulasi muskuloskeletal dan sistem saraf
untuk mempertahankan keseimbangan
yang tepat

3. Berikan sokongan (support) pada Memberikan sokongan pada


ekstremitas yang luka ekstremitas yang luka dapat
mingkatkan kerja vena, menurunkan
edema, dan mengurangi rasa nyeri
4.       
4. Ajarkan cara-cara yang benar dalam Agar pasien terhindar dari kerusakan
melakukan macam-macam mobilisasi kembali pada ekstremitas yang luka
seperti body mechanic ROM aktif,
dan ambulasi

Kolaborasi:
Kolaborasi dengan fisioterapi dalam Penanganan yang tepat dapat
penanganan traksi yang boleh mempercepat waktu penyembuhan
digerakkan dan yang belum boleh
digerakkan

c. Dx 3 : Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada


sendi.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 1x24 jam,
diharapkan menunjukkan suhu tubuh pasien dalam batas normal
Kriteria hasil :
- Kulit pasien tidak kemerahan
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37oC)
- Kulit pasien tidak teraba hangat

No Intervensi Rasional
.
Mandiri:
1. Pantau suhu pasien (derajat dan pola); Suhu 38,9o - 41,1oC menunjukkan
perhatikan menggigil /diaphoresis proses penyakit infeksius akut. Pola
demam dapat membantu dalam
diagnosis; mis, kurva demam lanjut
berakhir lebih dari 24 jam
menunjukkan demam remitten
( bervariasi hanya beberapa derajat
pada arah tertentu. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.

2. Pantau suhu lingkungan, Suhu ruangan/ jumlah selimut harus


batasi/tambahan linen tempat tidur, diubah untuk mempertahankan suhu
sesuai indikasi mendekati normal.

3. Berikan kompres hangat pada lipatan Dapat membantu mengurangi


paha dan aksila, hindari penggunaan demam.
alcohol Catatan: penggunaan air es/alcohol
mungkin menyebabkan kedinginan,
peningkatan suhu secara actual.
Selain itu alcohol dapat
mengeringkan kulit.
4. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi Adanya peningkatan metabolism
menyebabkan kehilangan banyak
energi. Untuk itu diperlukan
peningkatan intake cairan dan nutrisi

5. Kolaborasi dengan pemberian Digunakan untuk mengurangi


antipiretik, misalnya ASA (aspirin), demam dengan aksi sentral nya pada
asetaminofen(Tylenol) hipotalamus, meskipun demam
mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme
dan meningkatkan autodestruksi dari
sel-sel yang terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA
Luqmani, Raashid, James Robb, Daniel Porter, et al. Acute Septic Artritis, In:
Textbook of Orthopaedics, Trauma and Rheumatology. Philadelphia: Mosby
Elsevier. pp 89-90
Muttaqin, Arif.2008.  Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.
Robbins and Cotran.(1944). Pathologic Basis of Desease. Philadelphia: Saunders.
Sudoyo,aru W.,dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai