Anda di halaman 1dari 31

ACUAN OPERASIONAL

DAN INDIKATOR KINERJA


DEWAN PENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
TIM PENGEMBANGAN DEWAN PENDIDIKAN
DAN KOMITE SEKOLAH
JAKARTA, OKTOBER 2003
BAB I
PENDAHULUAN

Our schools are at the heart of the community.


Their have a rich tradition of parental and community involvement in education
(Ministry of Education and Training, Ontario, Canada).

Sekolah-sekolah kita ada pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang
kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan
(Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada)

1. Latar Belakang

Sekolah berada pada jantung komunitas atau masyarakat setempat. Sekolah memiliki
satu tradisi yang kaya tentang keterlibatan orangtua siswa dan komunitasnya dalam
penyelenggaraan pendidikan. Demikianlah pernyataan Kementerian Pendidikan dan
Pelatihan, Ontario, Kanada. Demikian pulalah sebenarnya hakikat sekolah di mata
hati keluarga dan masyarakat di Indonesia.

Untuk memantapkan dan mengembangkan tradisi tersebut, maka dibentuklah satu


lembaga yang dikenal dengan nama generik Dewan Pendidikan yang berkedudukan
di kabupaten/kota (Kepmen Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002), dan di
tingkat Nasional dan Provinsi (Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional).

Agar Dewan Pendidikan dapat segera melaksanakan roda organisasinya dipandang


perlu adanya satu acuan yang dapat dipedomani Dewan Pendidikan. Di samping itu,
pelaksanaan roda organisasi Dewan Pendidikan perlu satu ukuran berupa indikator
yang akan digunakan untuk menilai kinerja operasionalnya. Untuk itu disusunlah
buku panduan operasional yang disebut dengan ‘Acuan Operasional dan Indikator
Kinerja Dewan Pendidikan’.

Buku panduan operasional ini disusun antara lain karena adanya beberapa latar
belakang permasalahan sebagai berikut:

a. Proses pembentukan Dewan Pendidikan kebanyakan belum sesuai dengan


pedoman yang telah ditetapkan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002
tanggal 2 April 2002;
b. Banyak Dewan Pendidikan dibentuk dengan pola-pola stigmatis yang diwarisi
dari BP3 atau POMG;
c. Timbul kesan dan pandangan yang amat negatif dari orangtua dan masyarakat
terhadap konerja Dewan Pendidikan yang menyatakan bahwa “kenaikan iuran
dan atau uang sekolah menjadi lebih besar karena dibentuknya Dewan
Pendidikan”. Kesan dan pandangan negatif ini timbul karena kebijakan,
program, dan kegiatan operasional Dewan Pendidikan belum sepenuhnya
mencerminkan pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Pendidikan yang

1
sesungguhnya. Hal ini terjadi antara lain karena Dewan Pendidikan yang baru
dibentuk tersebut belum memiliki acuan yang dapat dijadikan rambu-rambu
dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya, serta ukuran yang digunakan untuk
mengukur kinerja organisasi. Praktik pelaksanaan peran dan fungsi Dewan
Pendidikan dinilai menyimpang antara lain adanya model Dewan Pendidikan
yang terlalu meniru gaya birokrat atau menjadi stempel sekolah (di bawah
komando kepala sekolah) di satu sisi, dan adanya model Dewan Pendidikan
yang meniru gaya LSM (melebihi kewenangan yang seharusnya) dan bahkan
sebagai eksekutor (melakukan eksekusi atau hukuman) di sisi lain.
d. Dewan Pendidikan yang telah dibentuk itu pun banyak yang belum memiliki
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disusun
sendiri, dan belum pula memiliki program kerja jangka panjang, menengah, dan
jangka pendek yang disusun berdasarkan aspirasi orangtua dan masyarakat
sebagai komponen utama stakeholder pendidikan.

2. Landasan

Acuan operasional ini disusun berdasarkan:


a. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
b. UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
d. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April
2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
e. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah
Provinsi Sebagai Daerah Otonom.

3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang beberapa permasalahan tersebut, maka dipandang perlu


adanya satu acuan operasional dan indikator Dewan Pendidikan, sambil menunggu
terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang secara khusus akan menjadi acuan yang
akan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan dan untuk indikator yang akan
digunakan untuk mengukur kinerja Dewan Pendidikan. Acuan operasional kegiatan
Dewan Pendidikan dan indikator kinerjanya ini disusun dengan tujuan sebagai
berikut:

a. menjadi acuan bagi warga sekolah dan semua elemen stakeholder pendidikan
dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Dewan Pendidikan,
yakni sebagai (1) badan yang memberikan pertimbangan (advisory agency),
(2) badan yang memberikan dukungan kepada sekolah (supporting agency),
(3) badan yang mengawasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
(controlling agency), dan (4) badan yang menjadi penghubung antara sekolah
dengan orangtua dan masyarakat (mediator);
b. Menjadi acuan bagi Dewan Pendidikan, khususnya pengurus dan anggota,
dalam menjalankan roda administrasi dan keuangan organisasinya;
c. Menyediakan alat ukur untuk menilai tingkat kinerja Dewan Pendidikan, baik
yang dapat dilakukan oleh lembaga sendiri (self assessment) atau yang
mungkin akan dilakukan oleh lembaga-lembaga independen;

2
4. Sistematika

Acuan operasional dan kinerja kegiatan Dewan Pendidikan ini disusun dengan
sistematika sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan, menjelaskan secara singkat tentang latar belakang perlunya


acuan operasional ini, yang dapat digunakan baik oleh warga sekolah maupun oleh
seluruh elemen stakeholder pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan empat
peran utama Dewan Pendidikan.

Bab II, landasan konsepsional, menjelaskan tentnag upaya peningkatan mutu


pendidikan dalam era otonomi daerah,

Bab III, acuan operasional tentang prasyarat organisasi, menjelaskan kembali secara
lebih operasional tentang langkah-langkah pembentukan Dewan Pendidikan,
pembentukan pengurus, persyaratan menjadi pengurus, sebagaimana telah dijelaskan
dalam Buku Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dan prasyarat umum
organisasi yang harus dilengkapi, termasuk AD dan ART-nya.

Bab IV, acuan operasional tentang pelaksanaan peran, fungsi, dan tujuan Dewan
Pendidikan, memberikan rambu-rambu acuan operasional Dewan Pendidikan, yang
dijabarkan dari peran Dewan Pendidikan, yang diselaraskan dengan kondisi, potensi,
dan tuntutan aspirasi orangtua dan masyarakat, memberikan rambu-rambu acuan
tentang pelaksanaan teknis administrasi dan keuangan.

Bab V, indikator kinerja Dewan Pendidikan, menjelaskan tentang ukuran-ukuran


atau indikator teknis yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kinerja
organisasi Dewan Pendidikan.

Bab VI, dampak kinerja dewan pendidikan terhadap kinerja sistem pendidikan
nasional, memaparkan tentang dampak apa saja yang dihasilkan setelah Dewan
Pendidikan melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.

Bab VII, penutup, menjelaskan tentang beberapa harapan dengan adanya buku acuan
ini.

3
BAB II
LANDASAN KONSEPSIONAL
DEWAN PENDIDIKAN

Dewan Pendidikan adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan
di kabupaten/kota (Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002)

Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis
(Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)

1. Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Era Otonomi Daerah

Kelahiran UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999


tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta perangkat
PP yang berkaitan telah membawa perubahan paradigma pengelolaan sistem
pendidikan. Tentu ini akan berakibat terhadap perubahan struktural dalam
pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholder di dalamnya.
Jika di masa lalu, stakeholder pendidikan itu sepenuhnya ada di tangan aparat pusat,
maka dalam era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder itu
akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan.

Salah satu model pengelolaan pendidikan yang kini digagas Departemen Pendidikan
Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS
merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi
atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta
jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Keberhasilan dalam pelaksanaan
MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada
tingkatan kabupaten atau kota. Gagasan MBS sebenarnya merupakan jawaban atas
tantangan pendidikan kita ke depan. Dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional, (Propenas), khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan)
digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar, di
antaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan
nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat
mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman
kebutuhan/ keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat. Tantangan ini cukup relevan dengan keadaan manajemen
pendidikan kita sekarang, di mana manajemen pendidikan nasional secara
keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya
demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen
pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan terjadinya kebijakan yang
seragam yang tidak dapat mengakomodasikan perbedaan keragaman/kepentingan
daerah/sekolah/peserta didik, serta cenderung mematikan partisipasi masyarakat
dalam proses pendidikan.

4
Di samping pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah
daerah dalam pengelolaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah,
sehingga tercipta sense of belonging (rasa memiliki) dari mereka. Dengan demikian
semakin besar tingkat partisipasi stakeholder pendidikan, semakin besar pula rasa
memiliki,tanggung jawab dan dedikasinya.

Bagi daerah, implementasi MBS ini diharapkan membawa perubahan dalam


pengelolaan pendidikan. dan untuk keperluan tersebut beberapa daerah telah
membentuk Kelompok Kerja dalam rangka penerapan MBS. Di Propinsi Jawa Barat
misalnya, Dinas Pendidikan Propinsi telah membentuk Kelompok Kerja
Implementasi MBS berdasarkan Surat Keputusan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa
Barat No. 560/SK.658 A-Disdik/2001 tanggal 6 April 2001. Kelompok kerja tersebut
bertugas melakukan pengkajian konsep MBS untuk diterapkan di Jawa Barat. Hasil
Tim Pokja adalah Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Munculnya konsep MBS memang masih harus dikaji terus menerus. Dan kajian
tersebut hendaknya dimaksudkan untuk menciptakan sekolah sebagai tempat yang
kondusif bagi layanan pendidikan, sehingga tercipta kemandirian sekolah dengan
menggali sumber-sumber daya sekolah, yang pada akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud mutu hasil belajar para siswa.

Salah satu permasalahan pendidikan yang disorot dan erat kaitannya dengan
peningkatan mutu pendidikan adalah manajemen (pengelolaan) pendidikan. Paling
tidak ada tiga faktor manajemen pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian.
Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education
production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output
analysis. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat
produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti
pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta
prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara
otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak
terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education
production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan
output pendidikan. Kedua, pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik-
sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur (rantai) yang
sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian,
motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk
peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Ketiga,
peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih
banyak bersifat dukungan input (baca: dana), bukan pada proses pendidikan
(pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan

5
akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan
hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa,
sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stake-
holder).

Berdasarkan bukti-bukti lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional


tersebut, maka sebagai konsekuensi logis bagi manajemen pendidikan adalah perlu
dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola
baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang
lebih demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama
menuju yang baru, antara lain: subordinasi menjadi otonomi, pengambilan keputusan
terpusat menjadi pengambilan keputusan partisipatif, ruang gerak kaku menjadi
ruang gerak luwes, pendekatan birokratik menjadi pendekatan profesional,
sentralistik menjadi desentralistik, diatur menjadi motivasi diri, overregulasi menjadi
deregulasi, mengontrol menjadi mempengaruhi, mengarahkan menjadi
memfasilitasi, menghindari risiko menjadi mengelola risiko, mengunakan uang
semuanya menjadi menggunakan uang secara efisien, individual yang cerdas
menjadi teamwork yang cerdas, informasi terpribadi menjadi informasi terbagi.
(Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2002:1-7).

Munculnya konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah atas
berbagai perubahan yang terjadi selama ini. Ada kebutuhan yang terasa mendesak
untuk mengkaji kembali fungsi sekolah. Pertama, pada saat timbul perubahan cepat
yang terjadi saat ini, maka kumpulan pengetahuan dan pengalaman masa lampau,
yang digunakan untuk membimbing anak-anak, ternyata tidak dapat memenuhi
harapan untuk mencapai tujuan tersebut. Sesungguhnya orang tua sering kali tidak
merasa pasti dibandingkan dengan putra-putranya. Demikian pula keadaan bagi
komunitas orang dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan kebiasaan yang
diwarisi kenyataannya telah kehilangan otoritas terhadap anak-anak muda, dan
sebagai suatu bimbingan untuk mengambil tindakan yang tepat di dalam suatu
lingkungan yang sedang mengalami perubahan ternyata juga tidak memadai. Karena
keterbatasan atas kemampuan yang dimiliki orang tua inilah, akibatnya kita
tergantung dari lembaga-lembaga pendidikan formal. Kedua, sekolah sendiri
hendaknya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pengetahuan baru yang
menembus keluar dinding yang membatasinya tidak saja mencapai dalam jumlah
yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dikuasai oleh sekolah,
melainkan juga jauh lebih penting bagi kehidupan riil kliennya (siswa). Dalam
hubungan itu, sekolah tidak saja harus memperbaharui pengetahuan yang telah
dimiliki, tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap fungsi baru cara
mengajar anak-anak agar mereka dapat menguasai serta memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya sejumlah pengetahuan yang akan mereka jumpai di dalam kehidupan
sehari-hari di luar lingkungan sekolah. Ketiga, di dalam kegiatan persekolahan dan
di dalam pelaksanaan pembaharuan sekolah yang diperlukan adalah kemampuan
guru. Kemampuan guru ini penting, mengingat guru sebagai ujung tombak
pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan
proses pembelajaran siswa.

Dengan tantangan dan peluang tersebut, sekolah diharapkan untuk semakin dapat
mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada. Sekolah juga dapat

6
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya kepada peserta didik, sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Bertolak dari ini semua,
manajemen berbasis sekolah yang diterapkan dapat memandirikan dan
memberdayakan sekolah, melalui pemberian kewenangan (otonomi).

Pemindahan wewenang ke tingkat sekolah, berdasarkan pengalaman beberapa


negara, cenderung akan menambah variasi antarsekolah dan/atau antardaerah dalam
penyelenggaraan mutu proses pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan SDM
yang berlainan. Di samping itu, pemindahan kewenangan tersebut juga akan dapat
menimbulkan potensi konflik baru antarguru dan antara guru dengan kepala sekolah.
Hal ini dapat muncul dimungkinkan karena pengelolaan pendidikan di sekolah
makin transparan dan efisien serta efektif, sehingga baik antar guru atau antara guru
dengan kepala sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai wacana baru tentang
pendidikan di sekolah. Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara sekolah dan
masyarakat sejalan dengan efek akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of
control) yang semakin pendek.

Erat kaitannya dengan peranan kepala sekolah, kewenangan yang diberikan kepada
sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat
dalam keputusan politik pendidikan di sekolah. Dampak yang terjadi adalah, skills,
wawasan, kemampuan analisis dari kepala sekolah makin bervariasi. Kemampuan
sekolah ini tentu akan berdampak pula pada peningkatan efek positif terhadap
prestasi belajar murid sebagai akibat dari tumbuhnya etos kerja baru dalam sekolah.

Kewenangan sekolah memungkinkan pula terjadinya peningkatan kinerja lembaga


pendidikan sekolah sehingga perlu adanya Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
Adanya kelembagaan sebagai pengontrol peningkatan mutu pendidikan di sekolah
memang membutuhkan adanya Peraturan Daerah (Perda). Tak jarang akibat dari
pengelolaan pendidikan ini, potensi konflik kepentingan antara aparat daerah dengan
aparat pusat terjadi. Karena itu, perlu dipahami bahwa pelaksanaan otonomi daerah
bidang pendidikan ini tidak berarti akan menghabiskan seluruh fungsi dan peran
yang selama ini dilakukan oleh Pusat. Pemerintah pusat dapat lebih berperan dalam
menghasilkan kebijaksanaan mendasar dan strategis yang berlingkup nasional
(nation-wide) bahkan yang menyangkut hubungan antarbangsa. Pemerintah pusat
masih akan sangat berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan nasional sebagai
landasan bagi setiap daerah otonom untuk menyusun kebijaksanaan daerah masing-
masing. Kebijaksanaan nasional ini dikembangkan dan dirumuskan berdasarkan
penelitian, pengembangan dan analisis kebijakan yang dilakukan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Kebijakan nasional juga dikembangkan atas dasar
perbandingan dengan negara lain agar Indonesia tidak tertinggal dalam percaturan
global.

Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah penetapan standar-standar


minimum dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan secara nasional (national
benchmarking). Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan standar
minimal sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas SDM, proses penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, serta standar minimal hasil-hasil pendidikannya.

7
Pengendalian mutu menyangkut dua aspek, yaitu administratif --yakni perimbangan
dalam alokasi sumber daya pendidikan-- serta aspek substansi-- yaitu pencapaian
mutu hasil pendidikan. Pertama, secara administratif, Pemerintah akan berperan
dalam mengatur aliran dana publik (public outlay) dari sumber-sumber yang ada
kepada lembaga-lembaga pendidikan yang paling membutuhkan, melalui sistem
subsidi. Berdasarkan standar-standar pendidikan yang ditetapkan (seperti standar
pelayanan sekolah, standar SDM, standar sarana dan prasarana, dsb.) pemerintah
memonitor dan memetakan sekolah atau daerah. Berdasarkan peta ini dapat
diketahui sekolah atau daerah mana yang belum memenuhi standar karena
pendapatan daerah yang kurang. Berdasarkan peta tersebut pemerintah mengatur
aliran subsidi (public outlay) bagi daerah atau sekolah agar masing-masing dapat
memenuhi standar paling tidak mencapai standar minimum yang telah ditetapkan.
Kedua, secara substansi akan menyangkut mutu program dan hasil pendidikan.
Mutu pendidikan perlu di dimonitor oleh pemerintah di antaranya dengan
mendayagunakan lembaga profesional bidang pengujian. Untuk mengendalikan
aspek mutu ini, Pemerintah perlu menetapkan standar materi kurikulum (material
standard), standar kompetensi guru (teacher competency standard), dan standar
prestasi siswa (performance standard). Dalam hal pelaksanaan kurikulum sekolah
serta proses pembelajaran harus sepenuhnya diserahkan kepada kreativitas dan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap daerah atau sekolah yang bersangkutan dalam
mencapai standar itu. Untuk memacu pencapaian standar itu, pemerintah bisa
menerapkan sistem ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang
pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing daerah otonom atau sekolah.

Sementara itu pengendalian aspek administratif (misalnya dalam penempatan guru,


distribusi buku dan alat pelajaran, penataran guru, dsb.) dilakukan oleh Pemerintah
Daerah, agar rentang pengawasan tidak terlalu jauh. Pada tingkatan sekolah,
pengendalian mutu pendidikan juga difungsikan melalui lembaga sejenis Dewan
Pendidikan Daerah (Board of Education) sebagai lembaga akuntabilitas yang
keanggotaannya terdiri dari pembayar pendidikan seperti orang tua murid,
pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta pihak-pihak lain yang juga memberikan
kontribusi nyata terhadap pendidikan. Dalam mekanisme ini, sekolah harus
mempertanggungjawabkan hasil-hasil pendidikan yang dicapai kepada stakeholder
pendidikan atau semua pihak secara proporsional sesuai dengan kontribusi masing-
masing terhadap penyelenggaraan pendidikan --misalnya orang tua murid,
pemerintah daerah, organisasi sosial, dan sebagainya yang benar-benar memberikan
kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Salah satu implikasi penting yang memerlukan perhatian serius kita semua adalah
bahwa “semua anak usia sekolah adalah anak bangsa dan anak dari semua orang
tua”. Semua anak harus memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan tidak
menghadapi kendala untuk bersekolah. Tidak semua orang tua harus membayar
biaya pendidikan karena kemampuannya berbeda-beda, namun semua anak harus
bisa bersekolah. Dengan demikian, maka suatu sistem pajak daerah perlu segera
dipertimbangkan penerapannya dalam rangka menambah kemampuan anggaran
daerah untuk menyelenggarakan pendidikan.

Dalam kaitan persoalan di atas, munculnya konsep MBS dapat dipandang sebagai
langkah untuk meningkatkan otonomi (kemandirian) dan profesionalisasi setiap

8
satuan pendidikan (sekolah). Keberhasilan MBS tentu dapat ditentukan dengan
meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi,
dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui Dewan Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota. Dewan Pendidikan ini seperti yang telah disebutkan di atas,
menunjang keberhasilan pelaksanakan manajemen berbasis sekolah.

2. Dewan Pendidikan Mewadahi dan Menyalurkan Aspirasi dan Prakarsa


Masyarakat

Pembentukan Dewan Pendidikan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Mendiknas


No.044/U/2002, juga merupakan amanat dari UU No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, yang menyatakan bahwa
sasaran yang akan dicapai dalam program pembinaan pendidikan dasar dan
menengah di antaranya adalah terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis
sekolah/masyarakat (school/community-based management) dengan mengenalkan
konsep dan merintis pembentukan Dewan Pendidikan di setiap kabupaten/kota.

Pembentukan Dewan Pendidikan menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena
telah diwadahi dalam Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang secara lengkap dapat dikutip sebagai berikut:

(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan


yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah;
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis;
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayaan pendidikan dengan
memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prsasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan;
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/
madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dewan Pendidikan merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai


hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya.
Posisi Dewan Pendidikan satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang
berlaku. Pembentukan Dewan Pendidikan bertujuan yaitu: (a) mewadahi dan
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan
program pendidikan di kabupaten/kota; (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran
serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (c)
menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam

9
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota
dan satuan pendidikan.

Adapun peran yang dijalankan Dewan Pendidikan adalah sebagai pemberi


pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Di samping
itu juga berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran
maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran lain Dewan Pendidikan
berperan adalah sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah
(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat.

Untuk menjalankan perannya, Dewan Pendidikan memiliki fungsi yaitu mendorong


tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu. Badan itu juga melakukan kerja sama dengan masyarakat,
baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah, dan
DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya
adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Di samping itu, fungsi Dewan
Pendidikan adalah memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada
pemerintah daerah/DPRD dan kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dan
program pendidikan; kriteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan; kriteria tenaga
kependidikan, khususnya guru/tutor dan kepala satuan pendidikan; kriteria fasilitas
pendidikan; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. Dewan Pendidikan
berfungsi dalam mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam
pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

Anggota Dewan Pendidikan terdiri atas unsur masyarakat dan dapat ditambah
dengan unsur birokrasi/legislatif. Unsur masyarakat dapat berasal dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) bidang pendidikan; tokoh masyarakat (ulama,
budayawan, pemuka adat, dan lain-lain); anggota masyarakat yang mempunyai
perhatian pada peningkatan mutu pendidikan atau yang dijadikan figur di daerah;
tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan; yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah,
pesantren); dunia usaha/industri/asosiasi profesi (pengusaha industri, jasa, asosiasi,
dan lain-lain); organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain);
dan perwakilan dari Komite Sekolah yang disepakati. Unsur birokrasi, misalnya dari
unsur dinas pendidikan setempat dan dari unsur legislatif yang membidangi
pendidikan, dapat dilibatkan sebagai anggota Dewan Pendidikan maksimal 4-5
orang.

Jumlah anggota Dewan Pendidikan sebanyak-banyaknya berjumlah 17 (tujuh belas)


orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti
keanggotaan Dewan Pendidikan ditetapkan di dalam AD/ART. Di samping itu unsur
dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa
dapat pula dilibatkan sebagai anggota.

10
Pengurus Dewan Pendidikan ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-
kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara. Apabila dipandang perlu,
kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai kebutuhan.
Selain itu dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrasi.
Pengurus dewan dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan
ketua Dewan Pendidikan bukan berasal dari unsur pemerintahan daerah dan DPRD.
Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti kepengurusan Dewan Pendidikan
ditetapkan di dalam AD/ART.

Pembentukan Dewan Pendidikan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan


demokratis. Transparan berarti dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses
sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon
anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil
pemilihan. Akuntabel berarti panitia persiapan hendaknya menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dana kepanitiaan. Demokratis
berarti proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah
mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan
melalui pemungutan suara.

Pembentukan Dewan Pendidikan diawali dengan pembentukan panitia persiapan


yang dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh atau oleh masyarakat.
Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas
kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara
pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orang tua peserta didik.

Melalui pelaksanaan MBS, keberadaan, peran, dan fungsi Dewan Pendidikan


diharapkan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan di daerah
kabupatan/kota, sehingga mutu pendidikan menjadi menjadi meningkat secara
optimal.

11
BAB III
ACUAN OPERASIONAL PEMBENTUKAN, PEMILIHAN PENGURUS,
DAN PRASYARAT ORGANISASI DEWAN PENDIDIKAN

Pada setiap kabupaten/kota dibentuk Dewan Pendidikan


atas prakarsa masyarakat dan/atau pemerintah kabupaten/kota
(Pasal 1 Kepmendiknas Nomor 044/U/2003)

1. Pembentukan Panitia Persiapan

Pembentukan Dewan Pendidikan diawali dengan pembentukan Panitia Persiapan.


Panitia ini dibentuk oleh bupati/walikota dan/atau masyarakat. Panitia Persiapan
berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi
pendidikan (seperti guru, kepala sekolah, penyelenggara pendidikan), dan pemerhati
pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha
dan dunia industri).

2. Tujuh Langkah Mekanisme Pembentukan Dewan Pendidikan

Secara ideal, mekanisme pembentukan Dewan Pendidikan sebenarnya telah


dijelaskan di dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang meliputi 7
(tujuh) langkah sebagai berikut:

Pertama, mengadakan sosialisasi kepada masyarakat di daerah kabupaten/kota


tentang rencana pembentukan Dewan Pendidikan. Langkah ini amat penting agar
masyarakat dapat memberikan saran dan masukan tentang apa itu Dewan
Pendidikan, dan siapa yang cocok untuk menjadi pengurusnya.

Kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Proses inti
dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota Dewan Pendidikan
yang berkualitas dan berdedikasi tinggi untuk peningkatan mutu pendidikan di
daerah kabupaten/kota.

Ketiga, menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan.

Keempat, mengumumkan nama-nama calon pengurus dan anggota kepada


masyarakat melalui media yang relevan.

Kelima, menetapkan daftar nama calon pengurus dan anggota, setelah nama-nama
yang diumumkan tersebut tidak mendapatkan keberatan dari masyarakat.

Keenam, mengadakan rapat untuk memfasiltiasi proses pemilihan pengurus dan


anggota Dewan Pendidikan secara transparan dan demokratis.

12
Ketujuh, mengusulkan hasil pemilihan pengurus dan anggota Dewan Pendidikan
kepada bupati/walikota untuk diterbitkan surat keputusan.

Catatan:

Jika ketujuh langkah pembentukan Dewan Pendidikan tersebut diikuti, maka dproses
pembentukan Dewan Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan Dewan Pendidikan
yang benar-benar aspiratif, kredibel, dan akuntabel, dan diharapkan mampu
memberikan peran secara maksimal bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. Sudah barang tentu, ketujuh langkah tersebut bukan sebagai harga mati.
Ide-ide kreatif dalam pembentukan Dewan Pendidikan yang dilakukan oleh daerah
kabupaten/kota.

Sebagai satu contoh, proses sosialisasi dalam pembentukan Dewan Pendidikan di


salah satu kabupaten di Provinsi Banten, telah dilaksanakan dengan mengadakan
sosialisasi melalui media secara luas. Dengan demikian, terjadilah komunikasi antara
anggota masyarakat dengan panitia pembentukan Dewan Pendidikan. Melalui media
tersebut, masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya tentang Dewan Pendidikan yang
diinginkan, persyaratan apa yang perlu dimiliki oleh pengurus Dewan Pendidikan.
Proses pembentukan Dewan Pendidikan di salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah
yang menggunakan cara-cara “gethok tular” sebagaimana dikeluhkan pakar dan
pengamat pendidikan, seharusnya dihindari.

3. Prinsip Yang Harus Dianut Dalam Proses Pembentukan Dewan Pendidikan

Dua prinsip yang harus dipegang dalam proses pembentukan Komite Sekolah, yakni:

a. Dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.


b. Komite Sekolah yang dibentuk harus dapat menjadi mitra sejajar dengan
satuan pendidikan.

4. Penerbitan Surat Keputusan Bupati/Walikota dan Acara Seremonial Dalam


Penetapan dan Pengesahan Dewan Pendidikan

Dalam Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 ditegaskan bahwa „Dewan Pendidikan


untuk pertama kalinya dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan selanjutnya
diatur dalam AD dan ART’. Demikian ketentuan legal yang diatur dalam pedoman
umum. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa Surat Keputusan tersebut harus
benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat, dan bukan semata-mata aspirasi
bupati/walikota. Selain itu, jika ada kabupaten/kota yang justru dapat melaksanakan
cara penetapan dan pengesahan Dewan Pendidikan yang dipandang jauh lebih baik,
misalnya dengan Akte Notaris, atau cara-cara lain yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, maka hal itu pun diserahkan kepada masing-
masing kabupaten/kota. Bahkan, jika setelah diterbitkan Surat Keputusan tersebut
juga diadakan acara pengesahan atau pelantikan, baik yang dilakukan oleh pejabat
setingkat bupati/walikota atau pejabat dinas yang terkait, maka hal tersebut
sepenuhnya diserahkan kepada Dewan Pendidikan itu sendiri. Yang perlu
digarisbawahi dalam hal ini adalah jangan sampai keberadaan Dewan Pendidikan
menjadi badan subordinasi (di bawah kekuasaan) dari pihak yang melantiknya.

13
Kalau terjadi seperti ini, maka Dewan Pendidikan akan menjadi badan yang tidak
independen lagi. Sudah ditegaskan di dalam UU Nomor 20 Taun 2003 bahwa
„Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri ...’ (Pasal 56 ayat 2).

5. Pejabat Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan Tidak Dapat Menjadi Ketua


Dewan Pendidikan

Dewan Pendidikan sama sekali bukanlah lembaga birokrasi baru. Oleh karena itu,
pejabat pemerintah dalam bidang pendidikan tidak boleh menjadi ketua Dewan
Pendidikan. Ketua Dewan Pendidikan harus dipilih secara demokratis (mohon dapat
dirujuk kepada tujuh langkah mekanisme pembentukan KS), dan oleh karena itu
dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak (voting).

6. Tidak Ada Badan Pengawas atau Badan Pembina Dalam Dewan Pendidikan

Tidak adanya badan pengawas, karena diharapkan Dewan Pendidikan secara


langsung dapat diawasi oleh masyarakat. Bupati/walikota juga bukan sebagai
Pembina atau pengawas, karena Dewan Pendidikan merupakan dua organisasi yang
posisinya sejajar dengan semangat kemitraan. Bupati/walikota tidak dapat mendekte
dan memberikan komando atau arahan kepada Dewan Pendidikan, demikian juga
sebaliknya, Ketua Dewan Pendidikan juga sama sekali tidak dapat memberikan
perintah kepada Bupati/walikota . Unsur pimpinan daerah kabupaten/kota dan Ketua
DPKS akan duduk sama rendah dan beridiri sama tinggi untuk bersama-sama
berusaha meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan sekolah.

7. Mekanisme Pemilihan Pengurus dan Anggota Dewan Pendidikan

Perhatikan kembali langkah kedua dan langkah ketiga mekanisme pembentukan


DPKS. Langkah kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota DPKS. Proses
inti dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota DPKS yang
berkualitas. Dilanjutkan dengan langkah ketiga, yakni menyeleksi calon pengurus
dan anggota berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Seleksi ini dilaksanakan
secara demokratis dan transparan. Dalam hal ini, jika diperlukan, voting sama sekali
tidak menjadi hal yang ditabukan.

8. Yang Dapat Menjadi Pengurus dan Anggota Dewan Pendidikan

Dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa
kepengurusan dan keanggotaan Dewan Pendidikan berasal dari elemen masyarakat
sebagai berikut:

a. Lembaga Swadaya Masyarakat bidang pendidikan


b. Tokoh masyarakat (ulama, budayawan, pemuka adat, dll)
c. Anggota masyarakat yang memiliki perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan atau yang dijadikan figur di daerah
d. Tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan
mutu pendidikan.
e. Yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah,
pesantren)

14
f. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI), asosiasi profesi (pengusaha industri,
jasa, asosiasi, dll.)
g. Organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dll.)
h. Perwakilan dari Komite Sekolah yang sekolah yang disepakati

9. Anggota Masyarakat Yang Bertempat Tinggal di Daerah Lain Dapat Menjadi


Anggota Dewan Pendidikan

Hal ini amat tergantung dari hasil kesepakatan dalam musyawarah calon anggota
dan pengurus Dewan Pendidikan. Kepmendiknas menyerahkan hal ini sepenuhnya
kepada orangtua dan masyarakat. Jika tokoh masyarakat setempat yang kebetulan
bertempat tinggal di daerah provinsi, atau kabupaten lain, atau kecamatan lain,
memang benar-benar diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, maka hal ini
sudah selayaknya dapat dimasukkan dalam pengurus dan anggota Dewan
Pendidikan.

11. Dewan Pendidikan Harus Memiliki AD dan Atau ART Atau Dokumen Sejenis

Kenyataan di lapangan dijumpai banyak Dewan Pendidikan yang telah dibentuk


tidak segera menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Ada pula
kenyataan yang ditemukan di lapangan bahwa Anggaran Dasar Dewan Pendidikan
telah diseragamkan oleh Dinas Pendidikan. Bahkan ada yang masih menggunakan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BP3 yang notebene juga
diseragamkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Ketiga
temuan ini sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan lagi.

Pengurus dan anggota Dewan Pendidikan yang telah dipilih secara demokratis harus
segera menyusun AD dan ART atau dalam bentuk ketentuan lain, misalnya statuta
atau lainnya. Untuk ini, pada umumnya ada tim kecil yang diberi tugas untuk
menyusun buram awalnya, kemudian dibahas dalam rapat-rapat pleno Dewan
Pendidikan. Meski dalam bentuk yang amat sederhana, Dewan Pendidikan memang
harus segera menyusun AD dan ART.

12. Yang Perlu Diatur Dalam Anggaran Dasar (AD) Dan Anggaran Rumah
Tangga (ART)?

Berdasarkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002, Anggaran Dasar (AD) Dewan


Pendidikan sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama dan tempat kedudukan


b. Dasar, tujuan, dan kegiatan
c. Keanggotaan dan kepengurusan
d. Hak dan kewajiban anggota dan pengurus
e. Keuangan
f. Mekanisme kerja dan rapat-rapat
g. Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anggaran Rumah Tangga (ART) sekurang-kurangnya


memuat:

15
a. Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus
b. Rincian tugas Komite Sekolah
c. Mekanisme rapat
d. Kerjasama dengan pihak lain
e. Ketentuan penutup

13. Nama Lain AD dan ART

Dalam Kepmendiknas, hal itu tidak diatur. Kembali kepada prinsip sebagai acuan,
maka Dewan Pendidikan dapat menggunakan nama lain asalkan dengan makna dan
tujuan yang sama, yakni sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan kegiatan
organisasi Dewan Pendidikan. Apakah akan diberi nama Ketentuan Dasar, atau
statuta, atau nama lainnya, dapat saja dilakukan dengan syarat memuat hal-hal yang
telah disebutkan di atas. Sebagai satu organisasi, Dewan Pendidikan harus
memilikinya.

14. Proses Penyusunan AD dan ART

Tugas pertama pengurus Dewan Pendidikan adalah menyusun Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Dewan Pendidikan. Tugas ini sama sekali tidak dapat
diserahkan kepada pihak lain. Dalam praktik, konsep AD dan ART dapat disusun
seseorang, atau tim yang dibentuk untuk membuat konsep, atau bahkan diserahkan
kelompok ahli. Namun konsep itu harus dibahas secara terbuka dalam satu acara
rapat khusus untuk itu. Pada prinsipnya AD dan ART harus disusun dari, oleh, dan
untuk anggota dan pengurus Dewan Pendidikan. Contoh AD/ART yang ada dapat
digunakan sebatas untuk digunakan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan.
Yang penting, penyusunan AD/ART harus dilaksanakan melalui mekanisme rapat
anggota lengkap. Rapat Dewan Pendidikan yang tidak memenuhi quorum tidak
dapat menghasilkan AD/ART yang sesuai dengan aspirasi orangtua dan masyarakat.

15. Perubahan Atau Amandemen AD dan ART

Sudah tentu, AD dan ART dapat diganti atau diamandemen. Semuanya tergantung
pada suara terbanyak dari pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Ketentuan
tentang perubahan AD dan ART dituangkan dalam Anggaran Dasar. Jika 75%
pengurus dan anggota Dewan Pendidikan menghendaki maka AD dan ART dapat
diganti atau diamandemen atau disempurnakan. Aspirasi orangtua dan masyarakat
harus terwadahi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

16
BAB IV
PENJABARAN PERAN DAN FUNGSI DEWAN PENDIDIKAN
KE DALAM KEGIATAN OPERASIONAL DEWAN PENDIDIKAN

Dewan pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota
(Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002)

Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan


dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana,
serta pengawasan pendidikan pada tingka Nasiona, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang
tidak mempunyai hubungan hirarkis
( Pasal 56 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)

Di dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite


Sekolah hanya disebutkan tentang tujuan, peran dan fungsi Dewan Pendidikan. Sedang
kegiatan operasional sehari-hari Dewan Pendidikan belum disebutkan secara jelas dan
eksplisit. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang tujuan, peran, dan fungsi Komite Sekolah
sebagaimana telah dijelaskan Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
hubungan antara peran dan fungsi Dewan Pendidikan ke dalam kegiatan operasional yang
harus ditunaikan oleh Dewan Pendidikan.

1. Tujuan Dewan Pendidikan

Dijelaskan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan


Komite Sekolah bahwa tujuan Dewan Pendidikan adalah:

a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan


kebijakan operasional dan program pendidikan;
b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan.
c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Untuk mencapai tujuan Dewan Pendidikan, Dewan Pendidikan harus melaksanakan


peran dan fungsinya secara maksimal melalui berbagai kebijakan, program, dan
kegiatan-kegaitan operasional yang kreatif dan inovatif.

2. Penjabaran Peran Dewan Pendidikan Ke Dalam Fungsi Dewan Pendidikan

Di dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan
tentang peran dan fungsi Dewan Pendidikan secara terpisah. Dalam hal ini, keempat

17
peran Dewan Pendidikan sebenarnya dapat dijabarkan ke dalam fungsi Dewan
Pendidikan.

Dengan kata lain, fungsi Dewan Pendidikan merupakan penjabaran dari peran
Dewan Pemdidikan. Hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dalam Tabel 1:

Tabel 1
Penjabaran Peran Dewan Pendidikan
Ke dalamFungsi Dewan Pendidikan

No. Peran DP Fungsi DP


1. Pemberi pertimbangan 1.2. Memberikan masukan, pertimbangan,
(advisory) dan rekomendasi kepada pemerintah
daerah/DPRD mengenai: (1) kebijakan
dan program pendidikan; (2) kriteria
kinerja daerah dalam bidang pendidikan;
(3) kriteria tenaga kepdndidikan,
khususnya guru/tutor dan kepala satuan
pendidikan; (4) kriteria fasilitas
pendidikan; dan (5) hal-hal lain yang
terkait dengan pendidikan.
2. Pendukung (supporting) 2.1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu
2.2. Mendorong orangtua dan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pendidikan
3. Pengontrol (controlling) 3.1. Melakukan evaluasi dan pengawasan
terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran
pendidikan
4. Mediator 4.1. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi), pemerintah dan
DPRD berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu.
4.2. Menampung dan mengalisis aspirasi, ide,
tuntutan, dan berbagai kebutuhan
pendidikan yang diajukan oleh
masyarakat.

Sumber: Ditabulasi dari Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, hal. 10

3. Penjabaran Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Ke Dalam Kegiatan


Operasional Dewan Pendidikan

Peran dan fungsi Dewan Pendidikan tersebut dijabarkan secara lebih rinci ke dalam
kegiatan operasional yang akan dilaksanakan oleh Dewan Pendidikan. Setiap fungsi
18
Dewan Pendidikan mungkin dapat dijabarkan ke dalam beberapa kegiatan
operasional Dewan Pendidikan, yang dapat dipilah dalam beberapa fungsi
manajemen, seperti fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembiayaan
(budget), sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2:

Tabel 2
Penjabaran Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan
Ke Dalam Kegiatan Operasional Dewan Pendidikan

No. Peran DP Fungsi DP Kegiatan Operasional


1. Pemberi 1.1. Memberikan masukan, 1.1.1. Mengadakan pendataan
pertimbangan pertimbangan, dan kondisi sosial ekonomi
(advisory) rekomendasi kepada masyarakat dan sumber daya
pemerintah daerah/DPRD pendidikan dalam
mengenai: (1) kebijakan dan masyarakat
program pendidikan; (2) 1.1.2. Menganalisis hasil pendataan
kriteria kinerja daerah dalam sebagai bahan pemberian
bidang pendidikan; (3) kriteria masukan, pertimbangan, dan
tenaga kepdndidikan, atau rekomendasi
khususnya guru/tutor dan bupati/walikota dan atau
kepala satuan pendidikan; (4) dinas pendidikan
kriteria fasilitas pendidikan; kabupaten/kota
dan (5) hal-hal lain yang 1.1.3. Menyampaikan masukan,
terkait dengan pendidikan. pertimbangan, dan atau
rekomendasi secara tertulis
bupati/walikota dengan
tembusan kepada Dinas
Pendidikan
1.1.4. Memberikan pertimbangan
kepada bupati/walikota dan
atau dinas pendidikan dalam
rangka pengembangan
kurikulum muatan lokal
1.1.5. Memberikan pertimbangan
kepada bupati/walikota dan
atau dinas pendidikan untuk
meningkatkan proses
pembelajaran dan
pengajaran yang
menyenangkan (PAKEM)
1.1.6. Memberikan masukan dan
pertimbangan kepada
sekolah dalam penyusunan
visi, misi, tujuan, kebijakan,
program dan kegiatan
pendidikan di daerah
kabupaten/kota
1.1.7. Memberikan masukan dan
pertimbangan kepada
bupati/walikota dan atau
dinas pendidikan tentang
pelaksanaan manajemen
pendidikan (ketenagaan,
keuangan, fasilitas, dan data
pendidikan)

19
2. Pendukung 2.1. Mendorong tumbuhnya 2.1.1. Mengadakan rapat atau
(supporting) perhatian dan komitmen pertemuan secara berkala
masyarakat terhadap dan insidental dengan
penyelenggaraan pendidikan stakeholder pendidikan di
yang bermutu kabupaten/kota
2.1.2. Mendorong peran serta
masyarakat dan dunia usaha
dan dunia industri untuk
mendukung
penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu di daerah
kabupaten/kota.
2.1.3. Memotivasi masyarakat
kalangan menengah ke atas
untuk meningkatkan
komitmennya bagi upaya
peningkatan mutu
pendidikan di sekolah
2.2. Mendorong orangtua dan 2.2.1. Mendorong peran serta
masyarakat untuk berpartisipasi masyarakat dan dunia usaha
dalam pendidikan dan dunia industri dalam
penyediaan sarana dan
prasasana serta biaya
pendidikan untuk
masyarakat yang tidak
mampu.
2.2.2. Ikut memotivasi masyarakat
dan semua stakeholder
pendidikan untuk
melaksanakan kebijakan
pendidikan, misalnya
pelaksanaan jam wajib
belajar masyarakat
3. Pengontrol 3.1. Melakukan evaluasi dan 3.1.1. Mengadakan rapat
(controlling) pengawasan terhadap koordinasi dengan Komite
kebijakan, program, Sekolah
penyelenggaraan, dan keluaran 3.1.2. Sering mengadakan
pendidikan kunjungan atau silaturahmi
ke sekolah di daerah
kabupaten/kota
3.1.3. Meminta penjelasan dinas
pendidikan tentang hasil
belajar siswa di daerah
kabupatan/kota
3.1.4. Bekerjasama dengan dinas
pendidikan untuk
mengadakan evaluasi
terhadap pelaksanaan
kebijakan pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4. Mediator 4.1 Melakukan kerjasama dengan 4.1.1. Membina hubungan dan
masyarakat kerjasama yang harmonis
(perorangan/organisasi), dengan seluruh stakeholder
pemerintah dan DPRD pendidikan, khusnya dengan
berkenaan dengan DUDI di daerah
penyelenggaraan pendidikan kabupaten/kota
yang bermutu. 4.1.2. Mengadakan penjajagan
tentang kemungkinan untuk
dapat mengadakan

20
kerjasama atau MOU
dengan lembaga lain untuk
memajukan pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4.2 Menampung dan mengalisis 4.2.1 Menyebarkan kuesioner
aspirasi, ide, tuntutan, dan untuk memperoleh masukan,
berbagai kebutuhan pendidikan saran, dan ide kreatif dari
yang diajukan oleh masyarakat. stakeholder pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4.2.2 Menyampaikan laporan
kepada masyarakat secara
tertulis, tentang hasil
pengamatannya terhadap
perkembangan pendidikan
di daerah kabupaten/kota

4. SDM dan Fasilitas Organisasi Dewan Pendidikan

SDM dan fasilitas organisasi Dewan Pendidikan meliputi aspek sumber daya
manusia, prasarana fisik kantor, administrasi dan keuangan, dan data, pada Tabel 3:

Tabel 3
SDM dan Fasilitas Organisasi Dewan Pendidikan

No. Aspek Fasilitas organisasi Dewan Pendidikan


1. SDM 1.1. Pengurus dan anggota Dewan
Pendidikan
1.2. Tenaga administrasi dan keuangan
2. Prasarana fisik kantor 2.1. Ruang kantor
2.2. Meja kursi rapat
2.3. Papan tulis dan papan data
3. Adminstrasi dan keuangan 3.1. Agenda dan fail surat keluar dan
surat masuk
3.2. Daftar hadir rapat-rapat, seperti
Rapat Pengurus dan Anggota
3.3. Notulen Rapat
3.4. Buku Kas
3.5. Rekening Bank
3.6. RAPBS
4. Data dan dokumen 4.1 Dokumen AD/ART
4.2 Panduan Umum
4.3 Acuan Operasional
4.4 Kepmendiknas Nomor 044/U/2003
4.5 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas
4.6 Data sekolah
4.7 Data orangtua siswa
4.8 Data DUDI
4.9 Data hasil belajar siswa

21
BAB V
INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN
DAN INSTRUMEN PENILAIAN MANDIRI ( SELF ASESSMENT)
UNTUK MENILAI KINERJANYA

Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan


yang meliputi perencanaan, pengadasan, dan evaluasi program pendidikan
melaui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
(Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional)

1. Kaitan Antara Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Dengan Kegiatan


Operasionalnya

a. Peran dan fungsi Dewan Pendidikan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya merupakan sumber rujukan utama untuk menentukan kegiatan
opersional Dewan Pendidikan.
b. Keterlaksanaan dan keberhasilan kegiatan operasional Komite Sekolah dan
ketersediaan fasilitas organisasi diukur dengan melalui infokator kinerja yang
diukur dengan menggunakan kriteria tertentu.
c. Dengan kata lain, jika Komite Sekolah telah melaksanakan semua kegiatan
operasional dengan sempurna, melengkapi dan mendayagunakan fasilitas
organisasinya secara rutin dan optimal, maka Komite Sekolah dapat dinilai
telah memiliki kinerja yang tinggi. Demikian pula sebaliknya.

2. Ukuran dan Kriteria Penentuan Keberhasilan Kinerja Dewan Pendidikan

Pada kenyataannya, keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan operasional Komite


Sekolah dapat diukur mulai dari peringkat yang paling rendah sampai dengan
peringkat yang paling tinggi. Ukuran tersebut dapat diklasifikasikan dengan indeks
keberhasilan sebagai berikut:

a. Sangat berhasil (nilai antara 90 – 100)


b. Berhasil (nilai antara 70 – 89)
c. Kurang berhasil (50 – 69)
d. Tidak berhasil (0 – 49)

Kriteria kinerja keberhasilan Dewan Pendidikan dapat ditentukan sebagai berikut:

a. Sangat berhasil (A)


1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin
2). Kegiatan operasional dilaksanakan secara optimal
3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
b. Berhasil (B)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin
2). Kegiatan opearsional dilaksanakan secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

22
c. Cukup berhasil (C)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3). Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
d. Tidak berhasil (D)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

Untuk melilai ketersediaan SDM dan fasilitas organisasi dapat digunakan kriteria
sebagai berikut:

a. Sangat berhasil (A)


1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal
3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
b. Berhasil (B)
1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
c. Cukup berhasil (C)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
d. Tidak berhasil (D)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

3. Pengukuran Mandiri Kinerja Dewan Pendidikan

Berikut ini dibuatkan satu instumen penilaian yang dapat digunakan secara mandiri
untuk menilai kinerja Dewan Pendidikan, sebagaimana contoh pada Tabel 4:

Tabel 4
Instrumen Penilaian Mandiri (Self Assessment)
Tentang Keberhasilan Dewan Pendidikan

A. Aspek Kegiatan Operasional

Isilah pada kolom A, B, C, dan D dengan ketentuan sebagai berikut:

Sangat berhasil (A)


1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin
2). Kegiatan operasional dilaksanakan secara optimal
3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

23
Berhasil (B)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin
2) Kegiatan opearsional dilaksanakan secara optimal
3) Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Cukup berhasil (C)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2) Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3) Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Tidak berhasil (D)
4) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
5) Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
6) Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

Kegiatan Operasional KD Kinerja


A B C D
1.1.1. Mengadakan pendataan kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan sumber daya pendidikan dalam
masyarakat
1.1.2. Menganalisis hasil pendataan sebagai bahan
pemberian masukan, pertimbangan, dan atau
rekomendasi bupati/walikota dan atau dinas
pendidikan kabupaten/kota
1.1.3. Menyampaikan masukan, pertimbangan, dan atau
rekomendasi secara tertulis bupati/walikota
dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan
1.1.4. Memberikan pertimbangan kepada
bupati/walikota dan atau dinas pendidikan dalam
rangka pengembangan kurikulum muatan lokal
1.1.5. Memberikan pertimbangan kepada
bupati/walikota dan atau dinas pendidikan untuk
meningkatkan proses pembelajaran dan
pengajaran yang menyenangkan (PAKEM)
1.1.6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada
sekolah dalam penyusunan visi, misi, tujuan,
kebijakan, program dan kegiatan pendidikan di
daerah kabupaten/kota
1.1.7. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada
bupati/walikota dan atau dinas pendidikan
tentang pelaksanaan manajemen pendidikan
(ketenagaan, keuangan, fasilitas, dan data
pendidikan)
2.2.3. Mengadakan rapat atau pertemuan secara berkala
dan insidental dengan stakeholder pendidikan di
kabupaten/kota
2.2.4. Mendorong peran serta masyarakat dan dunia
usaha dan dunia industri untuk mendukung
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di
daerah kabupaten/kota.
2.2.5. Memotivasi masyarakat kalangan menengah ke
atas untuk meningkatkan komitmennya bagi
upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah
2.2.6. Mendorong peran serta masyarakat dan dunia
usaha dan dunia industri dalam penyediaan
sarana dan prasasana serta biaya pendidikan
untuk masyarakat yang tidak mampu.

24
2.2.7. Ikut memotivasi masyarakat dan semua
stakeholder pendidikan untuk melaksanakan
kebijakan pendidikan, misalnya pelaksanaan jam
wajib belajar masyarakat
3.1.1. Mengadakan rapat koordinasi dengan Komite
Sekolah
3.1.2. Sering mengadakan kunjungan atau silaturahmi
ke sekolah di daerah kabupaten/kota
3.1.3. Meminta penjelasan dinas pendidikan tentang
hasil belajar siswa di daerah kabupatan/kota
3.1.4. Bekerjasama dengan dinas pendidikan untuk
mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan
kebijakan pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.1.3. Membina hubungan dan kerjasama yang
harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan,
khusnya dengan DUDI di daerah kabupaten/kota
4.1.4. Mengadakan penjajagan tentang kemungkinan
untuk dapat mengadakan kerjasama atau MOU
dengan lembaga lain untuk memajukan
pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.2.3 Menyebarkan kuesioner untuk memperoleh
masukan, saran, dan ide kreatif dari stakeholder
pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.2.4 Menyampaikan laporan kepada masyarakat
secara tertulis, tentang hasil pengamatannya
terhadap perkembangan pendidikan di daerah
kabupaten/kota
Jumlah

Penilaian dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Indeks 
 SR x100
 SI
Keterangan:
SR : Skor riil
SI : Skor ideal

Jika indeks lebih dari 90 maka dari segi kegiatan operasional Dewan
Pendidikan dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.

B. Aspek SDM dan Fasilitas Organisasi

Isilah pada kolom A, B, C, atau C dengan ketentuan sebagai berikut:

Sangat berhasil (A)


1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal
3). Hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Berhasil (B)
1) Fasilitas ada dan digunakan secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

25
Cukup berhasil (C)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Tidak berhasil (D)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

SDM dan Fasilitas organisasi Indokator Kinerja


A B C D
1. Pengurus dan anggota Komite Sekolah
2. Tenaga administrasi dan keuangan

3. Ruang kantor (bisa di sekolah)


4. Meja kursi rapat
5. Papan tulis dan papan data

6. Agenda dan fail surat keluar dan surat masuk.


7. Daftar hadir rapat-rapat, seperti Rapat
Pengurus dan Anggota
8. Notulen Rapat
9. Buku Kas
10. Rekening Bank
11. RAPBS beberapa sekolah di kabupaten/kota

12. Dokumen AD/ART


13. Panduan Umum
14. Acuan Operasional
15. Kepmendiknas Nomor 044/U/2003
16. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
17. Data sekolah
18. Data orangtua siswa
19. Data DUDI
20. Data hasil belajar siswa

Jumlah skor

Penilian menggunakan rumus sebagai berikut:

Indeks 
 SR x100
 SI
Keterangan:
SR : skor riil
SI : skor ideal

Jika hasil A lebih dari 90 maka dari segi fasilitas organisasi Dewan Pendidikan
dapat dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.

26
BAB VI
DAMPAK KINERJA DEWAN PENDIDIKAN
TERHADAP KINERJA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Kualitas pendidikan untuk masa mendatang lebih bergantung pada komitmen daerah --
dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat –
untuk merumuskan visi dan misi [pendidikan]di daerahnya masing-masing
(Prof. Suyanto, Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta)

Jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sudah dapat melaksanakan keempat perannya
itu dengan baik, maka diasumsikan bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
tersebut dapat memberikan dampak terhadap kinerja sistem pendidikan nasional. Oleh
karena itu, kiprah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga perlu menyentuh berbagai
indikator kinerja dalam kaitannya dengan keberhasilan sistem pendidikan nasional dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Berbagai indikator yang dapat dimonitor secara berkelanjutan sebagai bagian dari kinerja
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan
pendidikan, yaitu sebagai berikut.

1. Mutu dan Relevansi Pendidikan

Dalam kaitan dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa indikator


keberhasilan pendidikan perlu dimonitor sebagai kinerja Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah. Mutu dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem
pendidikan, melalui MBS, dapat memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa
secara optimal. Yang paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya
adalah hasil evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun
kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur output
pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara akademis. Yang dimaksud
dengan relevansi adalah, seberapa jauh hasil-hasil pendidikan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang, misalnya, penghasilan
lulusan, keterampilan lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran,
dan sebagainya.

Namun, sistem ini mungkin lebih tepat untuk memantau sejauh mana Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memberikan pengaruh atau dorongan
terhadap situasi belajar yang kondusif bagi peningkatan mutu serta relevansi
pendidikan. Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau
oleh sistem ini antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang
mengikuti ujian
(2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah
(seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan
pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar.
(3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru
dan jumlah penataran yang diikuti.

27
(4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra
sekolah.

2. Indikator Pemerataan dan Perluasan

Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa
banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-
prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip
keadilan di dalam pendidikan di mana setiap anak-anak di manapun dapat
memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan
pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua
anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan
itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga
dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara.

Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang dapat dipantau


Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai berikut.
(1) Peningkatan angka partisipasi kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid
pada suatu satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan,
baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa.
(2) Angka partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia
sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan
pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun menurut
karakteristik siswa.
(3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu jumlah siswa pada kelompok usia
tertentu yang terrepresentasikan pada beberapa satuan pendidikan, baik secara
agregat maupun menurut karakteristik siswa.
(4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah
tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa
seperti: jenis kelamin, daerah, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya.
(5) Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan,
baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dari
masyarakat.

3. Indikator Manajemen Pendidikan

Sampai saat ini masalah yang paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional
adalah efisiensi dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran
efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi
secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Mengingat Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah berkaitan secara langsung dengan manajemen pendidikan baik
pada satuan pendidikan maupun pada daerah-daerah otonom, maka ukuran-ukuran
efisiensi dan efektivitas pendidikan perlu dijadikan indikator yang digunakan untuk
mengukur kinerja badan-badan tersebut.

Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus


adalah sebagai berikut.

28
1) Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang
diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha.
2) Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh
dari masyarakat.
3) Kemampuan pengadaan sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan)
yang diperoleh dari sumber masyarakat.
4) Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang
diukur dengan tingkat “turn-over”.
(5) Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan
tertentu
(6) Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan
(7) Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke
sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya.

29
BAB VII
PENUTUP

Sesuatu yang ideal dalam teori


tidak dengan sendirinya memberikan jaminan pada kenyataannya
(Dedi Supriadi, Guru di Indonesia, 2003:18-19)

Buku acuan ini sengaja disusun untuk memberikan sekedar rambu-rambu yang dapat
digunakan oleh Dewan Pendidikan untuk segera memutar roda organisasinya yang kini
sudah dibentuk. Diharapkan agar buku acuan ini tidak sampai mematikan gagasan dan
kreativitas Dewan Pendidikan. Sebaliknya, Dewan Pendidikan dapat menggunakan buku
acuan untuk dapat mengembangkan lebih lanjut apa yang tertuang di dalam buku acuan
ini. Biarlah Dewan Pendidikan tumbuh dan berkembang ibarat bunga di taman yang indah
dan beraneka ragama. Diharapkan agar bunga-bunga itu tetap dapat memancarkan harum
baunya kepada masyarakat sebagai pemilik sejati pendidikan ini.

Dalam buku acuan ini sengaja disusun satu instrumen evaluasi yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja Dewan Pendidikan. Instrumen itu disebut sebagai instrumen
mandiri (self assessment), yang dengan demikian instrumen itu Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah dapat mengukur sendiri kinerjanya. Instrumen itu pun tidak tertutup
kemungkinan untuk disempurnakan lebih baik lagi. Untuk menutup buku acuan
operasional ini, kita diingatkan oleh Dedi Supriadi bahwa „sesuatu yang ideal dalam teori
tidak dengan sendirinya memberikan jaminan pada kenyataannya‟. Dengan kata lain,
yang penting adalah satunya kata dalam perbuatan untuk segera melaksanakan kegiatan
Dewan Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

30

Anda mungkin juga menyukai