Sekolah-sekolah kita ada pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang
kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan
(Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada)
1. Latar Belakang
Sekolah berada pada jantung komunitas atau masyarakat setempat. Sekolah memiliki
satu tradisi yang kaya tentang keterlibatan orangtua siswa dan komunitasnya dalam
penyelenggaraan pendidikan. Demikianlah pernyataan Kementerian Pendidikan dan
Pelatihan, Ontario, Kanada. Demikian pulalah sebenarnya hakikat sekolah di mata
hati keluarga dan masyarakat di Indonesia.
Buku panduan operasional ini disusun antara lain karena adanya beberapa latar
belakang permasalahan sebagai berikut:
1
sesungguhnya. Hal ini terjadi antara lain karena Dewan Pendidikan yang baru
dibentuk tersebut belum memiliki acuan yang dapat dijadikan rambu-rambu
dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya, serta ukuran yang digunakan untuk
mengukur kinerja organisasi. Praktik pelaksanaan peran dan fungsi Dewan
Pendidikan dinilai menyimpang antara lain adanya model Dewan Pendidikan
yang terlalu meniru gaya birokrat atau menjadi stempel sekolah (di bawah
komando kepala sekolah) di satu sisi, dan adanya model Dewan Pendidikan
yang meniru gaya LSM (melebihi kewenangan yang seharusnya) dan bahkan
sebagai eksekutor (melakukan eksekusi atau hukuman) di sisi lain.
d. Dewan Pendidikan yang telah dibentuk itu pun banyak yang belum memiliki
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disusun
sendiri, dan belum pula memiliki program kerja jangka panjang, menengah, dan
jangka pendek yang disusun berdasarkan aspirasi orangtua dan masyarakat
sebagai komponen utama stakeholder pendidikan.
2. Landasan
3. Tujuan
a. menjadi acuan bagi warga sekolah dan semua elemen stakeholder pendidikan
dalam menyikapi dan melaksanakan empat peran utama Dewan Pendidikan,
yakni sebagai (1) badan yang memberikan pertimbangan (advisory agency),
(2) badan yang memberikan dukungan kepada sekolah (supporting agency),
(3) badan yang mengawasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
(controlling agency), dan (4) badan yang menjadi penghubung antara sekolah
dengan orangtua dan masyarakat (mediator);
b. Menjadi acuan bagi Dewan Pendidikan, khususnya pengurus dan anggota,
dalam menjalankan roda administrasi dan keuangan organisasinya;
c. Menyediakan alat ukur untuk menilai tingkat kinerja Dewan Pendidikan, baik
yang dapat dilakukan oleh lembaga sendiri (self assessment) atau yang
mungkin akan dilakukan oleh lembaga-lembaga independen;
2
4. Sistematika
Acuan operasional dan kinerja kegiatan Dewan Pendidikan ini disusun dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab III, acuan operasional tentang prasyarat organisasi, menjelaskan kembali secara
lebih operasional tentang langkah-langkah pembentukan Dewan Pendidikan,
pembentukan pengurus, persyaratan menjadi pengurus, sebagaimana telah dijelaskan
dalam Buku Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dan prasyarat umum
organisasi yang harus dilengkapi, termasuk AD dan ART-nya.
Bab IV, acuan operasional tentang pelaksanaan peran, fungsi, dan tujuan Dewan
Pendidikan, memberikan rambu-rambu acuan operasional Dewan Pendidikan, yang
dijabarkan dari peran Dewan Pendidikan, yang diselaraskan dengan kondisi, potensi,
dan tuntutan aspirasi orangtua dan masyarakat, memberikan rambu-rambu acuan
tentang pelaksanaan teknis administrasi dan keuangan.
Bab VI, dampak kinerja dewan pendidikan terhadap kinerja sistem pendidikan
nasional, memaparkan tentang dampak apa saja yang dihasilkan setelah Dewan
Pendidikan melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.
Bab VII, penutup, menjelaskan tentang beberapa harapan dengan adanya buku acuan
ini.
3
BAB II
LANDASAN KONSEPSIONAL
DEWAN PENDIDIKAN
Dewan Pendidikan adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan
di kabupaten/kota (Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002)
Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis
(Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Salah satu model pengelolaan pendidikan yang kini digagas Departemen Pendidikan
Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS
merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi
atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta
jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Keberhasilan dalam pelaksanaan
MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada
tingkatan kabupaten atau kota. Gagasan MBS sebenarnya merupakan jawaban atas
tantangan pendidikan kita ke depan. Dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional, (Propenas), khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan)
digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar, di
antaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan
nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat
mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman
kebutuhan/ keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat. Tantangan ini cukup relevan dengan keadaan manajemen
pendidikan kita sekarang, di mana manajemen pendidikan nasional secara
keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya
demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen
pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan terjadinya kebijakan yang
seragam yang tidak dapat mengakomodasikan perbedaan keragaman/kepentingan
daerah/sekolah/peserta didik, serta cenderung mematikan partisipasi masyarakat
dalam proses pendidikan.
4
Di samping pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah
daerah dalam pengelolaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah,
sehingga tercipta sense of belonging (rasa memiliki) dari mereka. Dengan demikian
semakin besar tingkat partisipasi stakeholder pendidikan, semakin besar pula rasa
memiliki,tanggung jawab dan dedikasinya.
Munculnya konsep MBS memang masih harus dikaji terus menerus. Dan kajian
tersebut hendaknya dimaksudkan untuk menciptakan sekolah sebagai tempat yang
kondusif bagi layanan pendidikan, sehingga tercipta kemandirian sekolah dengan
menggali sumber-sumber daya sekolah, yang pada akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud mutu hasil belajar para siswa.
Salah satu permasalahan pendidikan yang disorot dan erat kaitannya dengan
peningkatan mutu pendidikan adalah manajemen (pengelolaan) pendidikan. Paling
tidak ada tiga faktor manajemen pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian.
Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education
production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output
analysis. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat
produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti
pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta
prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara
otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak
terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education
production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan
output pendidikan. Kedua, pendidikan nasional diselenggarakan secara birokratik-
sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur (rantai) yang
sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian,
motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk
peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. Ketiga,
peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih
banyak bersifat dukungan input (baca: dana), bukan pada proses pendidikan
(pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan
5
akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan
hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa,
sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stake-
holder).
Munculnya konsep MBS memang menjadi suatu kebutuhan bagi sekolah atas
berbagai perubahan yang terjadi selama ini. Ada kebutuhan yang terasa mendesak
untuk mengkaji kembali fungsi sekolah. Pertama, pada saat timbul perubahan cepat
yang terjadi saat ini, maka kumpulan pengetahuan dan pengalaman masa lampau,
yang digunakan untuk membimbing anak-anak, ternyata tidak dapat memenuhi
harapan untuk mencapai tujuan tersebut. Sesungguhnya orang tua sering kali tidak
merasa pasti dibandingkan dengan putra-putranya. Demikian pula keadaan bagi
komunitas orang dewasa pada umumnya. Nilai-nilai tradisional dan kebiasaan yang
diwarisi kenyataannya telah kehilangan otoritas terhadap anak-anak muda, dan
sebagai suatu bimbingan untuk mengambil tindakan yang tepat di dalam suatu
lingkungan yang sedang mengalami perubahan ternyata juga tidak memadai. Karena
keterbatasan atas kemampuan yang dimiliki orang tua inilah, akibatnya kita
tergantung dari lembaga-lembaga pendidikan formal. Kedua, sekolah sendiri
hendaknya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pengetahuan baru yang
menembus keluar dinding yang membatasinya tidak saja mencapai dalam jumlah
yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang dikuasai oleh sekolah,
melainkan juga jauh lebih penting bagi kehidupan riil kliennya (siswa). Dalam
hubungan itu, sekolah tidak saja harus memperbaharui pengetahuan yang telah
dimiliki, tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap fungsi baru cara
mengajar anak-anak agar mereka dapat menguasai serta memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya sejumlah pengetahuan yang akan mereka jumpai di dalam kehidupan
sehari-hari di luar lingkungan sekolah. Ketiga, di dalam kegiatan persekolahan dan
di dalam pelaksanaan pembaharuan sekolah yang diperlukan adalah kemampuan
guru. Kemampuan guru ini penting, mengingat guru sebagai ujung tombak
pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan
proses pembelajaran siswa.
Dengan tantangan dan peluang tersebut, sekolah diharapkan untuk semakin dapat
mengoptimalkan pemanfaatan semua sumber daya yang ada. Sekolah juga dapat
6
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya kepada peserta didik, sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Bertolak dari ini semua,
manajemen berbasis sekolah yang diterapkan dapat memandirikan dan
memberdayakan sekolah, melalui pemberian kewenangan (otonomi).
Erat kaitannya dengan peranan kepala sekolah, kewenangan yang diberikan kepada
sekolah mengakibatkan kepala sekolah memiliki peranan yang krusial dan kuat
dalam keputusan politik pendidikan di sekolah. Dampak yang terjadi adalah, skills,
wawasan, kemampuan analisis dari kepala sekolah makin bervariasi. Kemampuan
sekolah ini tentu akan berdampak pula pada peningkatan efek positif terhadap
prestasi belajar murid sebagai akibat dari tumbuhnya etos kerja baru dalam sekolah.
7
Pengendalian mutu menyangkut dua aspek, yaitu administratif --yakni perimbangan
dalam alokasi sumber daya pendidikan-- serta aspek substansi-- yaitu pencapaian
mutu hasil pendidikan. Pertama, secara administratif, Pemerintah akan berperan
dalam mengatur aliran dana publik (public outlay) dari sumber-sumber yang ada
kepada lembaga-lembaga pendidikan yang paling membutuhkan, melalui sistem
subsidi. Berdasarkan standar-standar pendidikan yang ditetapkan (seperti standar
pelayanan sekolah, standar SDM, standar sarana dan prasarana, dsb.) pemerintah
memonitor dan memetakan sekolah atau daerah. Berdasarkan peta ini dapat
diketahui sekolah atau daerah mana yang belum memenuhi standar karena
pendapatan daerah yang kurang. Berdasarkan peta tersebut pemerintah mengatur
aliran subsidi (public outlay) bagi daerah atau sekolah agar masing-masing dapat
memenuhi standar paling tidak mencapai standar minimum yang telah ditetapkan.
Kedua, secara substansi akan menyangkut mutu program dan hasil pendidikan.
Mutu pendidikan perlu di dimonitor oleh pemerintah di antaranya dengan
mendayagunakan lembaga profesional bidang pengujian. Untuk mengendalikan
aspek mutu ini, Pemerintah perlu menetapkan standar materi kurikulum (material
standard), standar kompetensi guru (teacher competency standard), dan standar
prestasi siswa (performance standard). Dalam hal pelaksanaan kurikulum sekolah
serta proses pembelajaran harus sepenuhnya diserahkan kepada kreativitas dan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap daerah atau sekolah yang bersangkutan dalam
mencapai standar itu. Untuk memacu pencapaian standar itu, pemerintah bisa
menerapkan sistem ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang
pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing daerah otonom atau sekolah.
Salah satu implikasi penting yang memerlukan perhatian serius kita semua adalah
bahwa “semua anak usia sekolah adalah anak bangsa dan anak dari semua orang
tua”. Semua anak harus memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan tidak
menghadapi kendala untuk bersekolah. Tidak semua orang tua harus membayar
biaya pendidikan karena kemampuannya berbeda-beda, namun semua anak harus
bisa bersekolah. Dengan demikian, maka suatu sistem pajak daerah perlu segera
dipertimbangkan penerapannya dalam rangka menambah kemampuan anggaran
daerah untuk menyelenggarakan pendidikan.
Dalam kaitan persoalan di atas, munculnya konsep MBS dapat dipandang sebagai
langkah untuk meningkatkan otonomi (kemandirian) dan profesionalisasi setiap
8
satuan pendidikan (sekolah). Keberhasilan MBS tentu dapat ditentukan dengan
meningkatnya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi,
dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui Dewan Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota. Dewan Pendidikan ini seperti yang telah disebutkan di atas,
menunjang keberhasilan pelaksanakan manajemen berbasis sekolah.
Pembentukan Dewan Pendidikan menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena
telah diwadahi dalam Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang secara lengkap dapat dikutip sebagai berikut:
9
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota
dan satuan pendidikan.
Anggota Dewan Pendidikan terdiri atas unsur masyarakat dan dapat ditambah
dengan unsur birokrasi/legislatif. Unsur masyarakat dapat berasal dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) bidang pendidikan; tokoh masyarakat (ulama,
budayawan, pemuka adat, dan lain-lain); anggota masyarakat yang mempunyai
perhatian pada peningkatan mutu pendidikan atau yang dijadikan figur di daerah;
tokoh dan pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan; yayasan penyelenggara pendidikan (sekolah, luar sekolah, madrasah,
pesantren); dunia usaha/industri/asosiasi profesi (pengusaha industri, jasa, asosiasi,
dan lain-lain); organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain);
dan perwakilan dari Komite Sekolah yang disepakati. Unsur birokrasi, misalnya dari
unsur dinas pendidikan setempat dan dari unsur legislatif yang membidangi
pendidikan, dapat dilibatkan sebagai anggota Dewan Pendidikan maksimal 4-5
orang.
10
Pengurus Dewan Pendidikan ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-
kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara. Apabila dipandang perlu,
kepengurusan dapat dilengkapi dengan bidang-bidang tertentu sesuai kebutuhan.
Selain itu dapat pula diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrasi.
Pengurus dewan dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan
ketua Dewan Pendidikan bukan berasal dari unsur pemerintahan daerah dan DPRD.
Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa bakti kepengurusan Dewan Pendidikan
ditetapkan di dalam AD/ART.
11
BAB III
ACUAN OPERASIONAL PEMBENTUKAN, PEMILIHAN PENGURUS,
DAN PRASYARAT ORGANISASI DEWAN PENDIDIKAN
Kedua, merumuskan kriteria pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Proses inti
dimaksudkan agar dapat diperoleh calon pengurus dan anggota Dewan Pendidikan
yang berkualitas dan berdedikasi tinggi untuk peningkatan mutu pendidikan di
daerah kabupaten/kota.
Ketiga, menyeleksi calon pengurus dan anggota berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan.
Kelima, menetapkan daftar nama calon pengurus dan anggota, setelah nama-nama
yang diumumkan tersebut tidak mendapatkan keberatan dari masyarakat.
12
Ketujuh, mengusulkan hasil pemilihan pengurus dan anggota Dewan Pendidikan
kepada bupati/walikota untuk diterbitkan surat keputusan.
Catatan:
Jika ketujuh langkah pembentukan Dewan Pendidikan tersebut diikuti, maka dproses
pembentukan Dewan Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan Dewan Pendidikan
yang benar-benar aspiratif, kredibel, dan akuntabel, dan diharapkan mampu
memberikan peran secara maksimal bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. Sudah barang tentu, ketujuh langkah tersebut bukan sebagai harga mati.
Ide-ide kreatif dalam pembentukan Dewan Pendidikan yang dilakukan oleh daerah
kabupaten/kota.
Dua prinsip yang harus dipegang dalam proses pembentukan Komite Sekolah, yakni:
13
Kalau terjadi seperti ini, maka Dewan Pendidikan akan menjadi badan yang tidak
independen lagi. Sudah ditegaskan di dalam UU Nomor 20 Taun 2003 bahwa
„Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri ...’ (Pasal 56 ayat 2).
Dewan Pendidikan sama sekali bukanlah lembaga birokrasi baru. Oleh karena itu,
pejabat pemerintah dalam bidang pendidikan tidak boleh menjadi ketua Dewan
Pendidikan. Ketua Dewan Pendidikan harus dipilih secara demokratis (mohon dapat
dirujuk kepada tujuh langkah mekanisme pembentukan KS), dan oleh karena itu
dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak (voting).
6. Tidak Ada Badan Pengawas atau Badan Pembina Dalam Dewan Pendidikan
Dalam Buku Pedoman Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa
kepengurusan dan keanggotaan Dewan Pendidikan berasal dari elemen masyarakat
sebagai berikut:
14
f. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI), asosiasi profesi (pengusaha industri,
jasa, asosiasi, dll.)
g. Organisasi profesi tenaga kependidikan (PGRI, ISPI, dll.)
h. Perwakilan dari Komite Sekolah yang sekolah yang disepakati
Hal ini amat tergantung dari hasil kesepakatan dalam musyawarah calon anggota
dan pengurus Dewan Pendidikan. Kepmendiknas menyerahkan hal ini sepenuhnya
kepada orangtua dan masyarakat. Jika tokoh masyarakat setempat yang kebetulan
bertempat tinggal di daerah provinsi, atau kabupaten lain, atau kecamatan lain,
memang benar-benar diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, maka hal ini
sudah selayaknya dapat dimasukkan dalam pengurus dan anggota Dewan
Pendidikan.
11. Dewan Pendidikan Harus Memiliki AD dan Atau ART Atau Dokumen Sejenis
Pengurus dan anggota Dewan Pendidikan yang telah dipilih secara demokratis harus
segera menyusun AD dan ART atau dalam bentuk ketentuan lain, misalnya statuta
atau lainnya. Untuk ini, pada umumnya ada tim kecil yang diberi tugas untuk
menyusun buram awalnya, kemudian dibahas dalam rapat-rapat pleno Dewan
Pendidikan. Meski dalam bentuk yang amat sederhana, Dewan Pendidikan memang
harus segera menyusun AD dan ART.
12. Yang Perlu Diatur Dalam Anggaran Dasar (AD) Dan Anggaran Rumah
Tangga (ART)?
15
a. Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus
b. Rincian tugas Komite Sekolah
c. Mekanisme rapat
d. Kerjasama dengan pihak lain
e. Ketentuan penutup
Dalam Kepmendiknas, hal itu tidak diatur. Kembali kepada prinsip sebagai acuan,
maka Dewan Pendidikan dapat menggunakan nama lain asalkan dengan makna dan
tujuan yang sama, yakni sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan kegiatan
organisasi Dewan Pendidikan. Apakah akan diberi nama Ketentuan Dasar, atau
statuta, atau nama lainnya, dapat saja dilakukan dengan syarat memuat hal-hal yang
telah disebutkan di atas. Sebagai satu organisasi, Dewan Pendidikan harus
memilikinya.
Tugas pertama pengurus Dewan Pendidikan adalah menyusun Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Dewan Pendidikan. Tugas ini sama sekali tidak dapat
diserahkan kepada pihak lain. Dalam praktik, konsep AD dan ART dapat disusun
seseorang, atau tim yang dibentuk untuk membuat konsep, atau bahkan diserahkan
kelompok ahli. Namun konsep itu harus dibahas secara terbuka dalam satu acara
rapat khusus untuk itu. Pada prinsipnya AD dan ART harus disusun dari, oleh, dan
untuk anggota dan pengurus Dewan Pendidikan. Contoh AD/ART yang ada dapat
digunakan sebatas untuk digunakan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan.
Yang penting, penyusunan AD/ART harus dilaksanakan melalui mekanisme rapat
anggota lengkap. Rapat Dewan Pendidikan yang tidak memenuhi quorum tidak
dapat menghasilkan AD/ART yang sesuai dengan aspirasi orangtua dan masyarakat.
Sudah tentu, AD dan ART dapat diganti atau diamandemen. Semuanya tergantung
pada suara terbanyak dari pengurus dan anggota Dewan Pendidikan. Ketentuan
tentang perubahan AD dan ART dituangkan dalam Anggaran Dasar. Jika 75%
pengurus dan anggota Dewan Pendidikan menghendaki maka AD dan ART dapat
diganti atau diamandemen atau disempurnakan. Aspirasi orangtua dan masyarakat
harus terwadahi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
16
BAB IV
PENJABARAN PERAN DAN FUNGSI DEWAN PENDIDIKAN
KE DALAM KEGIATAN OPERASIONAL DEWAN PENDIDIKAN
Dewan pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota
(Lampiran I Kepmendiknas Nomor 004/U/2002)
Di dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan
tentang peran dan fungsi Dewan Pendidikan secara terpisah. Dalam hal ini, keempat
17
peran Dewan Pendidikan sebenarnya dapat dijabarkan ke dalam fungsi Dewan
Pendidikan.
Dengan kata lain, fungsi Dewan Pendidikan merupakan penjabaran dari peran
Dewan Pemdidikan. Hubungan antara keduanya dapat dijelaskan dalam Tabel 1:
Tabel 1
Penjabaran Peran Dewan Pendidikan
Ke dalamFungsi Dewan Pendidikan
Sumber: Ditabulasi dari Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, hal. 10
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan tersebut dijabarkan secara lebih rinci ke dalam
kegiatan operasional yang akan dilaksanakan oleh Dewan Pendidikan. Setiap fungsi
18
Dewan Pendidikan mungkin dapat dijabarkan ke dalam beberapa kegiatan
operasional Dewan Pendidikan, yang dapat dipilah dalam beberapa fungsi
manajemen, seperti fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembiayaan
(budget), sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2:
Tabel 2
Penjabaran Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan
Ke Dalam Kegiatan Operasional Dewan Pendidikan
19
2. Pendukung 2.1. Mendorong tumbuhnya 2.1.1. Mengadakan rapat atau
(supporting) perhatian dan komitmen pertemuan secara berkala
masyarakat terhadap dan insidental dengan
penyelenggaraan pendidikan stakeholder pendidikan di
yang bermutu kabupaten/kota
2.1.2. Mendorong peran serta
masyarakat dan dunia usaha
dan dunia industri untuk
mendukung
penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu di daerah
kabupaten/kota.
2.1.3. Memotivasi masyarakat
kalangan menengah ke atas
untuk meningkatkan
komitmennya bagi upaya
peningkatan mutu
pendidikan di sekolah
2.2. Mendorong orangtua dan 2.2.1. Mendorong peran serta
masyarakat untuk berpartisipasi masyarakat dan dunia usaha
dalam pendidikan dan dunia industri dalam
penyediaan sarana dan
prasasana serta biaya
pendidikan untuk
masyarakat yang tidak
mampu.
2.2.2. Ikut memotivasi masyarakat
dan semua stakeholder
pendidikan untuk
melaksanakan kebijakan
pendidikan, misalnya
pelaksanaan jam wajib
belajar masyarakat
3. Pengontrol 3.1. Melakukan evaluasi dan 3.1.1. Mengadakan rapat
(controlling) pengawasan terhadap koordinasi dengan Komite
kebijakan, program, Sekolah
penyelenggaraan, dan keluaran 3.1.2. Sering mengadakan
pendidikan kunjungan atau silaturahmi
ke sekolah di daerah
kabupaten/kota
3.1.3. Meminta penjelasan dinas
pendidikan tentang hasil
belajar siswa di daerah
kabupatan/kota
3.1.4. Bekerjasama dengan dinas
pendidikan untuk
mengadakan evaluasi
terhadap pelaksanaan
kebijakan pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4. Mediator 4.1 Melakukan kerjasama dengan 4.1.1. Membina hubungan dan
masyarakat kerjasama yang harmonis
(perorangan/organisasi), dengan seluruh stakeholder
pemerintah dan DPRD pendidikan, khusnya dengan
berkenaan dengan DUDI di daerah
penyelenggaraan pendidikan kabupaten/kota
yang bermutu. 4.1.2. Mengadakan penjajagan
tentang kemungkinan untuk
dapat mengadakan
20
kerjasama atau MOU
dengan lembaga lain untuk
memajukan pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4.2 Menampung dan mengalisis 4.2.1 Menyebarkan kuesioner
aspirasi, ide, tuntutan, dan untuk memperoleh masukan,
berbagai kebutuhan pendidikan saran, dan ide kreatif dari
yang diajukan oleh masyarakat. stakeholder pendidikan di
daerah kabupaten/kota
4.2.2 Menyampaikan laporan
kepada masyarakat secara
tertulis, tentang hasil
pengamatannya terhadap
perkembangan pendidikan
di daerah kabupaten/kota
SDM dan fasilitas organisasi Dewan Pendidikan meliputi aspek sumber daya
manusia, prasarana fisik kantor, administrasi dan keuangan, dan data, pada Tabel 3:
Tabel 3
SDM dan Fasilitas Organisasi Dewan Pendidikan
21
BAB V
INDIKATOR KINERJA DEWAN PENDIDIKAN
DAN INSTRUMEN PENILAIAN MANDIRI ( SELF ASESSMENT)
UNTUK MENILAI KINERJANYA
a. Peran dan fungsi Dewan Pendidikan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya merupakan sumber rujukan utama untuk menentukan kegiatan
opersional Dewan Pendidikan.
b. Keterlaksanaan dan keberhasilan kegiatan operasional Komite Sekolah dan
ketersediaan fasilitas organisasi diukur dengan melalui infokator kinerja yang
diukur dengan menggunakan kriteria tertentu.
c. Dengan kata lain, jika Komite Sekolah telah melaksanakan semua kegiatan
operasional dengan sempurna, melengkapi dan mendayagunakan fasilitas
organisasinya secara rutin dan optimal, maka Komite Sekolah dapat dinilai
telah memiliki kinerja yang tinggi. Demikian pula sebaliknya.
22
c. Cukup berhasil (C)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3). Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
d. Tidak berhasil (D)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2). Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Untuk melilai ketersediaan SDM dan fasilitas organisasi dapat digunakan kriteria
sebagai berikut:
Berikut ini dibuatkan satu instumen penilaian yang dapat digunakan secara mandiri
untuk menilai kinerja Dewan Pendidikan, sebagaimana contoh pada Tabel 4:
Tabel 4
Instrumen Penilaian Mandiri (Self Assessment)
Tentang Keberhasilan Dewan Pendidikan
23
Berhasil (B)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan secara rutin
2) Kegiatan opearsional dilaksanakan secara optimal
3) Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Cukup berhasil (C)
1) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
2) Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
3) Hasilnya kurang seesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Tidak berhasil (D)
4) Kegiatan operasional dilaksanakan tidak secara rutin
5) Kegiatan opersional dilaksanakan tidak secara optimal
6) Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
24
2.2.7. Ikut memotivasi masyarakat dan semua
stakeholder pendidikan untuk melaksanakan
kebijakan pendidikan, misalnya pelaksanaan jam
wajib belajar masyarakat
3.1.1. Mengadakan rapat koordinasi dengan Komite
Sekolah
3.1.2. Sering mengadakan kunjungan atau silaturahmi
ke sekolah di daerah kabupaten/kota
3.1.3. Meminta penjelasan dinas pendidikan tentang
hasil belajar siswa di daerah kabupatan/kota
3.1.4. Bekerjasama dengan dinas pendidikan untuk
mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan
kebijakan pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.1.3. Membina hubungan dan kerjasama yang
harmonis dengan seluruh stakeholder pendidikan,
khusnya dengan DUDI di daerah kabupaten/kota
4.1.4. Mengadakan penjajagan tentang kemungkinan
untuk dapat mengadakan kerjasama atau MOU
dengan lembaga lain untuk memajukan
pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.2.3 Menyebarkan kuesioner untuk memperoleh
masukan, saran, dan ide kreatif dari stakeholder
pendidikan di daerah kabupaten/kota
4.2.4 Menyampaikan laporan kepada masyarakat
secara tertulis, tentang hasil pengamatannya
terhadap perkembangan pendidikan di daerah
kabupaten/kota
Jumlah
Indeks
SR x100
SI
Keterangan:
SR : Skor riil
SI : Skor ideal
Jika indeks lebih dari 90 maka dari segi kegiatan operasional Dewan
Pendidikan dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.
25
Cukup berhasil (C)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya kurang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Tidak berhasil (D)
1) Fasilitas ada dan digunakan tidak secara rutin
2). Fasiltias ada dan digunakan tidak secara optimal
3). Hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
Jumlah skor
Indeks
SR x100
SI
Keterangan:
SR : skor riil
SI : skor ideal
Jika hasil A lebih dari 90 maka dari segi fasilitas organisasi Dewan Pendidikan
dapat dinilai SANGAT BERHASIL. Demikian seterusnya.
26
BAB VI
DAMPAK KINERJA DEWAN PENDIDIKAN
TERHADAP KINERJA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Kualitas pendidikan untuk masa mendatang lebih bergantung pada komitmen daerah --
dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat –
untuk merumuskan visi dan misi [pendidikan]di daerahnya masing-masing
(Prof. Suyanto, Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta)
Jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sudah dapat melaksanakan keempat perannya
itu dengan baik, maka diasumsikan bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
tersebut dapat memberikan dampak terhadap kinerja sistem pendidikan nasional. Oleh
karena itu, kiprah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga perlu menyentuh berbagai
indikator kinerja dalam kaitannya dengan keberhasilan sistem pendidikan nasional dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berbagai indikator yang dapat dimonitor secara berkelanjutan sebagai bagian dari kinerja
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan
pendidikan, yaitu sebagai berikut.
Namun, sistem ini mungkin lebih tepat untuk memantau sejauh mana Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memberikan pengaruh atau dorongan
terhadap situasi belajar yang kondusif bagi peningkatan mutu serta relevansi
pendidikan. Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau
oleh sistem ini antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang
mengikuti ujian
(2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah
(seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan
pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar.
(3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru
dan jumlah penataran yang diikuti.
27
(4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra
sekolah.
Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa
banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-
prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip
keadilan di dalam pendidikan di mana setiap anak-anak di manapun dapat
memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan
pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua
anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan
itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga
dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara.
Sampai saat ini masalah yang paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional
adalah efisiensi dalam manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran
efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi
secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Mengingat Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah berkaitan secara langsung dengan manajemen pendidikan baik
pada satuan pendidikan maupun pada daerah-daerah otonom, maka ukuran-ukuran
efisiensi dan efektivitas pendidikan perlu dijadikan indikator yang digunakan untuk
mengukur kinerja badan-badan tersebut.
28
1) Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang
diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha.
2) Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh
dari masyarakat.
3) Kemampuan pengadaan sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan)
yang diperoleh dari sumber masyarakat.
4) Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang
diukur dengan tingkat “turn-over”.
(5) Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan
tertentu
(6) Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan
(7) Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke
sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya.
29
BAB VII
PENUTUP
Buku acuan ini sengaja disusun untuk memberikan sekedar rambu-rambu yang dapat
digunakan oleh Dewan Pendidikan untuk segera memutar roda organisasinya yang kini
sudah dibentuk. Diharapkan agar buku acuan ini tidak sampai mematikan gagasan dan
kreativitas Dewan Pendidikan. Sebaliknya, Dewan Pendidikan dapat menggunakan buku
acuan untuk dapat mengembangkan lebih lanjut apa yang tertuang di dalam buku acuan
ini. Biarlah Dewan Pendidikan tumbuh dan berkembang ibarat bunga di taman yang indah
dan beraneka ragama. Diharapkan agar bunga-bunga itu tetap dapat memancarkan harum
baunya kepada masyarakat sebagai pemilik sejati pendidikan ini.
Dalam buku acuan ini sengaja disusun satu instrumen evaluasi yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja Dewan Pendidikan. Instrumen itu disebut sebagai instrumen
mandiri (self assessment), yang dengan demikian instrumen itu Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah dapat mengukur sendiri kinerjanya. Instrumen itu pun tidak tertutup
kemungkinan untuk disempurnakan lebih baik lagi. Untuk menutup buku acuan
operasional ini, kita diingatkan oleh Dedi Supriadi bahwa „sesuatu yang ideal dalam teori
tidak dengan sendirinya memberikan jaminan pada kenyataannya‟. Dengan kata lain,
yang penting adalah satunya kata dalam perbuatan untuk segera melaksanakan kegiatan
Dewan Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
30