2022 Konsep Ekonomi Islam M. Umer Chapra 1 Penulis: Abdul Jalil Jika masalah ekonomi dikaitkan dengan masalah mendasar yang dihadapi umat manusia saat ini, muncul anggapan bahwa munculnya perspektif yang memisahkan aspek material dari dimensi nilai akan mengemuka. Apalagi pandangan hidup inilah yang mendukung ideologi materialis, yang pada gilirannya mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi hedonistik, sekuler, dan materialistis. Menurut M. Umer Chapra (1420 H/2000 M), ekonomi tradisional telah gagal, dan untuk menjawab pertanyaan di atas, ekonomi Islam harus dikembangkan karena potensinya yang besar dan cakupannya yang lebih luas. Artikel ini akan mencoba menangkap esensi dari pembacaan penulis terhadap karya-karya Chapra, terutama yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sistem ekonomi Islam dianggap sebagai solusi alternatif dari sistem sekuler. Tulisan ini hendak melihat lebih jauh seperti apa bangunan konsep yang ditawarkan Chapra terkait Ekonomi Islam. Sebagai sebuah model dan pendekatan dalam memahami berbagai aspek teori dan praktik ekonomi Islam dan keuangan, M Umer Chapra mampu memberikan gambaran yang sangat jelas, dia selalu mengedepankan bahwa ekonomi berbasis Islam jauh lebih adil dan mensejahterakan. Tawaran Umer Chapra terkait pemikiran ekonomi Islam adalah hendaknya memperhatikan paradigm Islam berupa Rational Economic Man, Positivisme, Keadilan, Pareto Optimum, serta peranan Negara. Umer Chapra adalah sosok yang memiliki ide – ide cemerlang tentang ekonomi Islam. Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi Islam yang sudah diterbitkan sampai saat ini. Buku pertamanya, Towards a Just Monetary System adalah salah satu fondasi intelektuan dalam subjek ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi muslim modern. Buku keduanya, Islam and the Economic Challenge, dideklarasikan oleh ekonom besar Amerika, Profesor Kenneth Boulding, dalam resensi pra-publikasinya, sebagai analisis brilian dalam kebaikan serta kecacatan kapitalisme, sosialisme, dan Negara maju serta merupakan kontribusi penting dalam pemahaman Islam bagi kaum muslim maupun non-muslim. Pendapat M. Umer Chapra terhadap ekonomi Islam, pernah dikatakan dan didefinisikannya sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan. Sudah selayaknya kita melakukan gerakan ekonomi berbasis Islam tentu dengan media saling toleransi dan tidak merugikan semua pihak, baik dalam kapasitas sebagai akademisi maupun praktisi. Selama ini ada asumsi bahwa gerakan ekonomi Islam hanya pada level teori, sementara di lapangan jauh
Runtuhnya Sistem Kapitalis Menuju Sistem Ekonomi Islam Mendunia
Penulis: Abdul Jalil Sistem kapitalisme telah melahirkan malapetaka ekonomi berupa serangkaian krisis sepanjang abad 20 dan terus berlanjut di abad 21 (Makhlani, 2012; Roy Davies dan Glyn Davies, 1996), mulai krisis keuangan Jepang dan Jerman di tahun 1920, sepuluh tahun berikutnya dikenal dengan krisis Great Depressin (1930), pada tahun 1940 berupa krisis moneter Prancis, Hungaria, dan Jerman, di tahun 1970 krisis perbankan di Inggris dan krisis Euro akibat pelepasan sistem “Breton Wood, pada saat ini kegiatan spekulasi merajalela, pada tahun 1980 juga terjadi krisis utang Polandia dan Mexico, 1990 krisis keuangan mexico, 1998 krisis keuangan Asia tenggara termasuk Indonesia, tahun 2008 krisis keuangan Amerika Serikat, dan pada tahun 2011 sampai sekarang krisis utang Eropa. Artinya krisis yang muncul ini berangkat dari rahim kapitalisme, yaitu siklus yang akan terjadi akibat dari sektor moneter yang penuh spekulasi mendominasi aktivitas perekonomian (Burhanuddin, 2011). Tulisan ini hendak mendeskripsikan dimana posisi ekonomi dengan sistem kapitalisme dan ekonomi yang berbasis syari’ah, tentu harapan dari kajian ini tidak lagi sebuah penilaian yang subyektif selaku penulis dan umunya sebagai muslim, tetapi ingin mendudukkan secara bijak berdasarkan data yang dimiliki. Sebagai sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak luput dari imbas dinamika pasar keuangan global. Termasuk pula imbas dari krisis keuangan yang berawal dari Amerika Serikat, yang menerpa negara-negara lainnya, dan kemudian meluas menjadi krisis ekonomi secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun 2008. Eskposure pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan kepada aktivitas perekonomian domestik, sehingga belum memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan sistem keuangan global dan belum memiliki tingkat sofistikasi transaksi yang tinggi; adalah dua faktor yang dinilai telah 2 bulan pertama di tahun 2009 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 45 jaringan kantor. Hingga saat ini sudah ada 1492 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai posisi Februari 2009 dengan kinerja pembiayaan yang baik (NPF, Net Performing Financing di bawah 5%). Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah per Februari 2009 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 33,3% pada Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.40,2 triliun. Beberapa indikator yang menjadikan peluang bangsa indonesia memimpin perekonomian dunia sekaligus model pengembangan ekonomi Islam oleh dunia Barat dan Eropa, bahwa Indonesia dengan kondisi sekarang sangat diuntungkan, misalnya jumlah penduduk mencapai 240 juta, 80% nya adalah muslim (180 juta), Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sumber daya alam yang melimpah, kondisi ekonomi yang stabil dengan pertumbuhan antara 6-7%, diprediksi menjadi kekuatan keempat terbesar didunia pada 2050 (ADB data), masuk anggota G20. Produk dan layanan yang bernuansa syrai’ah sangat diminati masyarakat Indonesia dewasa ini. Mengutip Adiwarman Karim, ada empat industri berbasis syari’ah yang akan terus berkembang di Indonesi, yaitu industri busana muslim, industri halal food, industri media bernuansa religi dan industri keuangan syari’ah.
Tumpang Tindih Kewenangan dalam Penyelesaian Sangketa Perbankan Syariah
Penulis: Abdul Jalil Pada fakta statistiknya disebutkan bahwa perbankan syari’ah dewasa ini masih jauh lebih getol menjalankan pembiayaan berbasis jual beli dari pada pembiayaan bagi hasil. Penyebabnya adalah kondisi pendanaan bank syari’ah di Indonesia para nasabah bukanlah mereka yang siap menanggung resiko investasi. Paradigma masyarakat, dan juga kapasitas bank syari’ah sendiri menganggap bahwa bank syari’ah dalam hal strategi bisnis dan resiko bisnisnyaa adalah commercial banking layaknya bank konvensional. Termasuk didalamya adalah pilihan pembiayaan akad yang digunakan, apakah Murabahah, Mudharabah, dan Musyarakah. Tulisan ini hendak mendiskusikan putusan Mahkamah Konstitusi (PutusanNomor 93/PUU-X/2012) terkait dikabulkannya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94) yaitu Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur tentang penyelesaian sengketa terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang bunyinya bahwa Undang undang harus menjamin kepastian hukum dan keadilan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara pada pasal 55 ayat (1), dijelaskan Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, sedangkan ayat (2), disebutkan Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad, selanjutnya, pada ayat (3)Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Selain hal ini, tulisan juga akan mempertanyakan kembali sejauhmana kewenangan absolute lembaga Peradilan Agama terkait penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Yang dimaksud ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain, meliputi: bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Dari sini kemudian nampak jelas bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Basyarnas bersifat opsional. Artinya jika sengketa oleh para pihak dapat diselesaikan ditingkat basyarnas, maka tidak perlu Pengadilan Agama. Disis lain, Hakim di lingkungan Peradilan Agama dengan kewenangan yang baru ini dapat diartikan sebagai peluang dan sekaligus tantangan. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah oleh Hakim pengadilan agama menjadi sesuatu yang baru, oleh karenanya dituntut memiliki kemampuan dalam memahami konsep dan parktek ekonomi syari’ah yang berjalan di Indonesia. Kebanyakan hakim Pengadilan Agama telah memahami konsep fiqh muamalah yang menjadi salah satu dasar pijakan operasional lembaga keuangan syari’ah. Persoalanya adalah bagaimana memadukan pemahaman mengenai ekonomi syari’ah dan praktek keuangan syari’ah di Indonesia. Hakim pengadilan agama sudah dapat memutus perkara sengketa ekonomi syari’ah. UU Peradilan Agama jauh sebelum pasal ini diuji materikan sudah menyebutkan bahwa kewenangan pengadilan agama pasca amandemen lebih luas lagi, terutama menyangkut ekonomi syari’ah dan Perbankan syari’ah. Meskipun jika diperhatikan pada akhir pertimbangan majelis hakim konstitusi, juga banyak berbeda pendapat. Secara umum, dari ketiga pendapat hakim yang berbeda ada titik kesamaan kesimpulan bahwa sebagian permohonan uji materi pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syari’ah bertentangan dengan prinsip ketidakpastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal 28 D UUD 1945.