Anda di halaman 1dari 17

3.5.

1 Analisis Sistem Sirkulasi dan Jalur Penghubung (Syilpa)


Analisis sistem sirkulasi dan jalur penghubung dilakukan untuk mengoptimalkan
efisiensi pemanfaatan prasarana jalan dengan jenis arus pergerakan yang terjadi. Analisis ini juga
dilakukan agar distribusi atau penyebaran pergerakan dapat selaras dengan jenis aktivitas yang
terdapat di kawasan tersebut sehingga terciptanya ketertiban dan tercapainya kinerja fungsi serta
keseimbangan, kaitan, keterpaduan dari berbagai elemen pergerakan, lingkungan dan sosial,
antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya. Sistem sirkulasi dan jalur penghubung yang
dianalisis dalam RTBL terdiri dari jaringan jalan dan pergerakan, sirkulasi kendaraan umum,
sirkulasi kendaraan pribadi, sirkulasi kendaraan informal setempat dan sepeda, sirkulasi pejalan
kaki (termasuk masyarakat penyandang cacat dan lanjut usia), sistem dan sarana transit, sistem
parkir, perencanaan jalur pelayanan lingkungan, dan sistem jaringan penghubung. Berikut ini
merupakan beberapa analisis yang mencakup dalam analisis sistem sirkulasi dan jalur
penghubung.
A. Analisis Kondisi Jalan
1. Analisis Hierarki Jalan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang
Jalan, sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan
hierarki. Analisis hirarki jalan sendiri adalah analisis yang dilakukan untuk dapat
mengetahui kesesuaian ketentuan hirarki jalan eksisting pada wilayah perencanaan dengan
ketentuan yang berkaitan dengan hirarki jalan. Analisis hirarki ini dilakukan dengan cara
melakukan perbandingan dari kondisi eksisting dengan ketentuannya. Berikut merrupakan
ketentuan setiap hirarki jalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.
Tabel 3.1 Ketentuan Hierarki Jalan
Hierarki Jalan Fungsi Ketentuan
Arteri Primer Menghubungkan secara  Kecepatan rencana paling rendah 60 (enam
berdaya guna antar pusat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan
kegiatan nasional atau antara jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter.
pusat kegiatan nasional  Memiliki kapasitas yang lebih besar dari
dengan pusat kegiatan volume lalu lintas rata-rata.
wilayah.  Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu
oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan
kegiatan lokal.
 Jalan yang memasuki kawasan perkotaan
dan/atau kawasan pengembangan perkotaan
tidak boleh terputus.
Arteri Sekunder Menghubungkan kawasan  Kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga
primer dengan kawasan puluh) kilometer per jam.
sekunder kesatu, kawasan  Lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas)
sekunder kesatu dengan meter.
kawasan sekunder kesatu, atau  Mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada
kawasan sekunder kesatu volume lalu lintas rata-rata.
dengan kawasan sekunder  Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak
kedua. boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
Kolektor Primer Menghubungkan secara  Kecepatan rencana paling rendah 40 (empat
berdaya guna antara pusat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan
kegiatan nasional dengan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter.
pusat kegiatan lokal,  Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari
antarpusat kegiatan wilayah, volume lalu lintas rata-rata.
atau antara pusat kegiatan  Jalan yang memasuki kawasan perkotaan
wilayah dengan pusat kegiatan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan
lokal. tidak boleh terputus.
Kolektor Sekunder Menghubungkan kawasan  Kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
sekunder kedua dengan puluh) kilometer per jam dengan lebar badan
kawasan sekunder kedua atau jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter.
kawasan sekunder kedua  Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari
dengan kawasan sekunder volume lalu lintas rata-rata.
ketiga.  Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat
Lokal Primer Menghubungkan secara  Kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
berdaya guna pusat kegiatan puluh) kilometer per jam dengan lebar badan
nasional dengan pusat jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.
kegiatan lingkungan, pusat  Jalan lokal primer yang memasuki kawasan
kegiatan wilayah dengan pusat perdesaan tidak boleh terputus
kegiatan lingkungan,
antarpusat kegiatan lokal, atau
pusat kegiatan lokal dengan
pusat kegiatan lingkungan,
serta antarpusat kegiatan
lingkungan.
Lokal Sekunder Menghubungkan kawasan Kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh)
sekunder kesatu dengan kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
perumahan, kawasan sekunder sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.
kedua dengan perumahan,
kawasan sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke
perumahan.
Hierarki Jalan Fungsi Ketentuan
Lingkungan Primer Menghubungkan antarpusat  Kecepatan rencana paling rendah 15 (lima
kegiatan di dalam kawasan belas) kilometer per jam dengan lebar badan
perdesaan dan jalan di dalam jalan paling sedikit 6,5 (enam koma lima)
lingkungan kawasan meter.
perdesaan.  Persyaratan teknis jalan lingkungan
diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda
tiga atau lebih.
 Jalan lingkungan yang tidak diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus
mempunyai lebar, badan jalan paling sedolot
3,5 (tiga koma lima) meter.
Lingkungan Sekunder Menghubungkan antarpersil  Kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh)
dalam kawasan perkotaan. kilometer per jam dengan lebar badan jalan
paling sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
 Jalan lingkungan yang tidak diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus
mempunyai lebar, badan jalan paling sedolot
3,5 (tiga koma lima) meter
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
2. Dimensi Jalan
Dimensi jalan adalah ukuran jalan dalam mete yang terbagi oleh panjang dan lebar
jalan. Dimensi jalan dibutuhkan untuk membandingkan lebar jalan eksisting dengan standar
lebar minimum dalam Peraturan Mentri PUPR Nomor 02/SE/M/2018. Dimensi jalan
menjadi faktor untuk mengetahui apakah koridor jalan tersebut sudah memenuhi atau belum
memenuhi standar yang ada.
3. Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan merupakan suatu konstruksi yang dibuat diatas lapisan tanah dasar untuk
menopang jalur lalu lintas. Perkerasan jalan dalam kondisi baik maka arus lalu lintas akan berjalan
dengan lancar, demikian sebaliknya kalau perkerasan jalan rusak, lalu lintas akan sangat terganggu
Perkerasan jalan terbagi menjadi 6, yaitu sebagai berikut:
a. Aspal
b. Makadam
c. Beton
d. Tanah Dasar
e. Paving Blok
f. Plester
B. Analisis Tingkat Pelayanan Jalan
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No PM 96 Tahun 2015,
tentang pedoman pelaksanaan kegiatan manajeman dan rekayasa lalu lintas, tingkat pelayanan
jalan adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan kondisi operasioanl lalu
lintas.Tingkat pelayanan jalan pada suatu ruas jalan adalah perbandingan volume lalu lintas dan
fasilitas jalan V/C. dalam menetukan tingkat pelayan jalan diperlukan data terkait volume lalu
lintas dan kapasitas jalan. Berikut merupakan rumus untuk menghitung tingkat pelayanan jalan
(Level of Service).
Rumus 3.1 Level of Service
V
LoS=
C
Keterangan:
LoS = Tingkat Pelayanan
V = Volume lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas Jalan (smp/jam)
Setelah melakukan perhitungan Level of Service, selanjutnya nilai Level of Service tersebut
disesuaikan degan tetapan batas lingkup tingkat pelayanan jalan guna melakukan penggolongan
terhadap ruas jalan ke dalam tingkatan tertentu. Adapun batas lingkup tingkat pelayanan jalan
adalah sebagai berikut.
Tabel 3.2 Batas Lingkup Tingkat Pelayanan Jalan (LOS)
Tingkat Batas
Karakteristik
Pelayanan (LOS) Lingkup V/C
Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi memilih
A 0,0 - 0,19
kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan
Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu
B lintas. Pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih 0,20 - 0,44
kecepatan
Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan,
C 0,45 - 0,74
pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan
Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan, Q/C masih
D 0,75 - 0,84
dapat ditolerir
Volume lalu lintas mendekati/berada pada kapasitas arus tidak stabil,
E 0,85 - 1,00
terkadang berhenti
Arus yang dipaksakan/macet, kecepatan rendah, V diatas kapasitas,
F > 1,00
antrian panjang dan terjadi hambatan-hambatan yang besar
Sumber: PKJI, 2014
1. Volume Lalu Lintas
Volume adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pada suatu jalan pada selang
waktu tertentu atau kendaraan per unit waktu, dengan unit waktu yang paling sering
digunakan adalah setiap hari atau setiap jam (Ramandya, Muthohar, & Dewanti, 2018).
Pemodelan volume lalu lintas harian (LHR) pada ruas jalan yang dihasilkan dapat
dipergunakan untuk menjelaskan kondisi yang ada, yaitu volume lalu lintas harian (LHR)
dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan PDRB per kapita (Anshari, 2014). Jenis jenis
kendaraan dalam penghitungan volume kendaraan diklasifikasikan antara lain:
 Kendaraan Ringan (Light Vechicles = LV): Indeks untuk kendaraan bermotor
dengan 4 roda (mobil penumpang)
 Kendaraan berat (Heavy Vechicles = HV): Indeks untuk kendaraan bermotor
dengan roda lebih dari 4 ( Bus, truk 2 gandar, truk 3 gandar dan kombinasi yang
sesuai)
 Sepeda motor (Motor Cycle = MC): Indeks untuk kendaraan bermotor dengan 2
roda. Kendaraan tak bermotor (sepeda, becak dan kereta dorong), parkir pada badan
jalan dan pejalan kaki anggap sebagai hambatan samping
 Kendaraan tak bermotor (UM): Indeks untuk kendaraan tak bermotor (becak,
sepada, dan kereta kuda)
Berikut ini merupakan rumus untuk menghitung volume kendaraan bermotor.
Rumus 3.2 Volume Kendaraan Bermotor

Q = P x Qv
Keterangan:
Q = Volume kendaraan bermotor (smp/jam)
P = Faktor satuan mobil penumpang
Qv = Volume kendaraan bermotor (kendaraan per jam)

a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)


Lalu lintas harian rata-rata (LHR) merupakan hasil bagi jumlah kendaraan yang
didapatkan selama pengamatan dengan lamanya pengamatan. Sedangkan, lalu lintas
harian rata-rata tahunan (LHRT) diartikan sebagai jumlah lalu lintas kendaraan
rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data
selama satu tahun penuh. Permodelan volume lalu lintas harian (LHR) pada ruas
jalan yang didapatkan selanjutnya dipergunakan untuk menjelaskan kondisi yang
ada, yaitu volume lalu lintas harian (LHR) dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan
PDRB per kapita. (Anshari, 2014).
Rumus 3.3 Lalu Lintas Harian Rata-Rata

Jumlah lalu lintas selama pengamatan


LHR=
Durasi pengamatan

Rumus 3.4 Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan

Jumlah lalu lintas dalam satutahun


LHR=
365

b. Hambatan Samping
Hambatan samping dapat diartikan sebagai dampak terhadap kinerja lalu lintas dari
suatu aktivitas samping segmen jalan. Aktivitas ataupun kegiatan sebagaimana
dimaksud meliputi kegiatan sisi jalan seperti pejalan kaki, penghentian angkot dan
kendaraan lainnya, kendaraan masuk dan keluar sisi jalan dan kendaraan lambat
(Panduan Kapasitas Jalan Indonesia, 2014). Adapun hambatan samping dapat
dikategorikan ke dalam beberapa kelas, kelas-kelas tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3.3 Ketentuan Hierarki Jalan
Kelas Jumlah Bobot
Hambatan Kode Kejadian per 200m per Kondisi Khusus
Samping jam (dua sisi)
Daerah permukiman, jalan dengan
Sangat Rendah VL < 100
jalan samping
Daerah permukiman, beberapa
Rendah L 100 - 299
kendaraan umum, dsb
Daerah industri, beberapa took di
Sedang M 300 - 499
sisi jalan tinggi
Daerah komersial dengan aktivitas
Tinggi H 500 - 899
sisi jalan tinggi
Daerah komersial dengan aktivitas
Sangat Tinggi VH > 900
pasar di samping jalan
Sumber: PKJI, 2014
Hambatan samping terbagi ke dalam empat jenis kejadian. Masing-masing kejadian
hambatan samping sebagaimana dimaksud memiliki bobot yang berbeda. Setelah
diketahui frekuensi bobot kejadian hambatan samping, maka dapat digunakan untuk
mencari kelas hambatan samping.
Tabel 3.4 Faktor Bobot Hambatan Samping
Tipe Kejadian Hambatan Samping Simbol Faktor Bobot
Pejalan kaki PED 0,6
Tipe Kejadian Hambatan Samping Simbol Faktor Bobot
Kendaraan berhenti, parkir PSV 0,8
Kendaraan masuk dan keluar EEV 1,0
Kendaraan lambat SMV 0,4
Sumber: PKJI, 2014
Berdasarkan di atas, diketahui bahwa terdapat empat kelas hambatan samping
dengan faktor bobot yang berbeda-beda. Penentuan kelas hambatan samping
tersebut dapat dilakukan dengan memasukan angka yang didapat ke dalam
persamaan. Adapun persamaan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut.
Rumus 3.5 Kelas Hamatan Samping

SCF = PED + PSV + EEV + SMV


Keterangan:
SCF = Kelas hambatan samping
PED = Frekuensi pejalan kaki
PSV = Frekuensi bobot kendaraan parkir
EEV = Frekuensi bobot kendaraan masuk/keluar sisi jalan
SMV = Frekuensi bobot kendaraan lambat
2. Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan dapat dipahami sebagai arus lalu lintas (stabil) maksimum yang dapat
dipertahankan pada suatu kondisi tertentu (geometri, distribusi arah, dan komposisi lalu
lintas, faktor lingkungan). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas
jalan. Faktor- faktor tersebut diantaranya yaitu kapasitas dasar, faktor penyesuaian lebar
jalan, faktor penyesuaian pemisahan arah untuk jalan tak terbagi, faktor penyesuaian
hambatan sambaing dan bahu jalan/kereb, serta faktor penyesuaian kapasitas terkait
ukuran kota. Terkhusus jalan bebas hambatan tak terbagi, kapasitas merupakan arus
maksimum dua-arah (kombinasi kedua arah). Sedangkan, untuk jalan bebas hambatan
terbagi kapasitas adalah arus maksimum perlajur (Kementerian Pekerjaan Umum,
2014). Kapasitas jalan dapat dihitung dengan mamasukkan beberapa faktor ke dalam
persamaan, persamaan tersebut adalah sebagai berikut.
Rumus 3.6 Kapasitas Jalan Kota

C = Co × FCw × FCsp × FCsf × FCcs


Keterangan:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar (smp/jam) (biasanya digunakan angka 2300 smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuaian pemisahan arah
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota
Rumus 3.7 Kapasitas Jalan Antar Kota

C = Co × FCw × FCsp × FCsf


Keterangan:
C = Kapasitas (smp/jam)
Co = Kapasitas dasar
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuaian arah lalu lintas
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping
Masing-masing variabel yang dibutuhkan memiliki bobot faktor yang nantinya akan
digunakan sebagai perhitungan kapasitas jalan. Bobot faktor tersebut merupakan standar
yang sudah ditentukan dalam PKJI. Berikut merupakan bobot faktor pada masing-
masing variabel yang dibutuhkan pada perhitungan kapasitas jalan.
Tabel 3.5 Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Keterangan
(smp/jam)
4/2 T atau Jalan
1650 Per lajur (satu arah)
satu arah
2/2 TT 2900 Per Jalur (dua arah)
Sumber: PKJI, 2014

Tabel 3.6 Faktor penyesuaian kapasitas akibat perbedaan lebar lajur atau jalur lalu lintas (FCw)
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif
Tipe Jalan FCw
(m)
Lebar per Lajur

3,00 0,92
4/2 T atau Jalan 3,25 0,96
satu arah
3,50 1,00
3,75 1,04
4,00 1,08
2/2 TT Lebar Jalur 2 Arah
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif
Tipe Jalan FCw
(m)
5,00 0,56
6,00 0,87
7,00 1,00
8,00 1,14
9,00 1,25
10,00 1,29
11,00 1,34
Sumber: PKJI, 2014

Tabel 3.7 Faktor penyesuaian kapasitas terkait pemisahan arah lalu lintas (FCsp)
Pemisah Arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
Dua Lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
FCsp
Empat Lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Sumber: PKJI, 2014

Tabel 3.8 Faktor penyesuaian kapasitas akibat KHS pada jalan berbahu (FCsf)
SCsf
Tipe Jalan KHS Lebar bahu efektif (m)
≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0
SR 0,96 0,98 1,01 1,03
R 0,94 0,97 1,00 1,02
4/2 T S 0,92 0,95 0,98 1,00
T 0,88 0,92 0,95 0,98
ST 0,84 0,88 0,92 0,96
SR 0,94 0,96 0,99 1,01
2/2 TT atau R 0,92 0,94 0,97 1,00
Jalan satu S 0,89 0,92 0,95 0,98
arah T 0,82 0,86 0,90 0,95
ST 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber: PKJI, 2014

Tabel 3.9 Faktor penyesuaian kapasitas terkait ukuran kota (FCcs)


Ukuran Kota Faktor Penyesuaian
(jutaan penduduk) Untuk Ukuran Kota

< 0,1 0,86


0,1 - 0,5 0,90
0,5 - 1,0 0,94
1,0 - 3,0 1,00
> 3,0 1,04
Sumber: PKJI, 2014
C. Analisis Sirkulasi Kendaraan
Analisis sirkulasi kendaraan adalah proses analisis yang dilakukan dengan tujuan
menentukan pola pergerakan dari suatu kendaraan sehingga menghasilkan output berupa
rancangan sistem arus pergerakan sesuai dengan hirarki jalan dan pergerakan pada kawasan
perencanaan tertentu. Dalam analisis ini berfokus pada pengamatan kendaraan umum dan
kendaraan pribadi. Adapun kebutuhan data yang diperlukan untuk menganalisis sirkulasi
kendaraan yaitu berupa arus pergerakan eksisting, volume lalu lintas, kapasitas jalan, hirarki
jalan, jenis moda, trayek kendaraan umum, dan titik transit.
Yang termasuk dalam sistem sirkulasi kendaraan umum yaitu rancangan sistem arus
pergerakan kendaraan umum formal yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada pada
kawasan perencanaan. Sedangkan, sistem sirkulasi kendaraan pribadi yaitu rancangan sistem
arus pergerakan bagi kendaraan pribadi sesuai dengan hirarki/kelas jalan pada kawasan
perencanaan. Serta sistem sirkulasi kendaraan umum informal setempat yaitu rancangan sistem
arus pergerakan bagi kendaraan umum dari sektor informal, seperti ojek, becak, andong, dan
sejenisnya yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan.
D. Analisis Sistem Parkir
Analisis kebutuhan parkir merupakan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
kebutuhan ruang parkir di kawasan perencanaan dengan mempertimbangkan jenis tempat parker,
sudut parkir, cakupan pelayanan parkir, perkerasan, volume parkir, akumulasi parkir, rata-rata
lama parkir, kapasitas parkir serta indeks parkir. Analisis sitem parkir juga menganalisis tingkat
pelayanan sistem parkir dengan melihat sirkulasi penggunaan tempat parkir di kawasan
perencanaan. Berikut merupakan penjabaran analisis sistem parkir yang dilakukan.
1. Volume Parkir
Volume parkir adalah jumlah keseluruhan yang parkir pada periode waktu tertentu.
Volume parkir dihitung dengan menjumlahkan kendaraan yang masuk ke area parker
dengan jumlah kendaraan yang sudah ada di area parkir sebelum dilakukan pengamatan.
Volume parkir dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Hobbs, 1995):
Rumus 3.8 Volume Parkir

Volume Parkir = Qin – X

Keterangan:
Qin = Jumlah kendaraan yang memasuki area parkir
X = Jumlah Kendaraan yang sudah ada di area parkir
2. Akumulasi Parkir
Akumulasi parkir adalah jumlah kendaraan yang parkir di area parkir pada waktu
tertentu dengan satuan kendaraan per jam. Akumulasi parkir dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.
Rumus 3.9 Akumulasi Parkir

Akumulasi = Qin − Qout + X

Keterangan:
Qin = Jumlah kendaraan yang memasuki area parkir
Qout = Jumlah kendaraan yang keluar dari area parkir
X = Jumlah kendaraan yang sudah ada di area parkir (jika ada)
3. Durasi Parkir
Durasi parkir adalah rentang waktu (lama waktu) kendaraan yang diparkir pada tempat
tertentu. Rumus yang digunakan untuk menghitung durasi parkir adalah sebagai berikut
(Suwardi, 2008):
Rumus 3.10 Durasi Parkir
D = Qout – Qin
Keterangan:
D = Durasi parkir
Qout = Waktu saat kendaraan keluar dari lokasi parkir (pemberangkatan)
Qin = Waktu saat kendaraan masuk ke lokasi parkir (kedatangan)
Rumus 3.11 Rata-rata Lama Parkir

Nx × X × I
Rata-rata Lama Parkir =
Nt

Keterangan:
Nx = Akumulasi kendaraan yang parker selama waktu survei (kend.)
X = Jumlah waktu
I = Waktu survei
Nt = Jumlah akumulasi

4. Kapasitas Parkir
Kapasitas parkir merupakan jumlah maksimum kendaraan dapat di parkir pada suatu
area parkir dalam kondisi dan waktu tertentu. Rumus yang digunakan untuk menghitung
kapasitas parkir adalah sebagai berikut (Hobbs, 1995):
Rumus 3.12 Kapasitas Parkir

Jumlah Petak Parkir Tersedia


Kp =
D

Keterangan:
Kp = Kapasitas Parkir (Satuan Ruang Parkir/Jam/Kendaraan)
D = Durasi rata-rata parkir (jam/kendaraan)
5. Indeks Parkir
Indeks parkir merupakan presentasi jumlah kendaraan parkir menempati area parkir.
Perhitungan indeks parkir dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Hobbs, 1995):
Rumus 3.13 Indeks Parkir

Akumulasi Parkir
Ip = x 100%
Kapasitas Parkir

 Jika IP < 100%, maka fasilitas parkir tidak bermasalah, dimana kebutuhan parker
tidak melebihi daya tamping/kapasitas normal
 Jika IP = 100%, maka kebutuhan parkir seimbang dengan daya tamping/kapasitas
normal
 Jika IP > 100%, maka fasilitas parkir bermasalah, dimana kebutuhan parkir
melebihi daya tamping.kapasitas normal
6. Kebutuhan Lahan Parkir
Kebutuhan ruang parkir adalah jumlah tempat yang dibutuhkan untuk menampung
kendaraan yang membutuhkan parkir berdasarkan fasilitas dan fungsi dari sebuah tata
guna lahan. Secara matematis, kebutuhan luas lahan parkir dapat ditulis sebagai berikut.
Rumus 3.14 Kebutuhan Lahan Parkir

Tv
Kl = Xt ×
t
Keterangan:
Kl = Kebutuhan lahan parkir
Xt = Akulimasi kendaraan yang parkir
Tv = Lama rata-rata parkir
T = Durasi pengamatan

E. Analisis Sirkulasi Pejalan Kaki


Pedestrian merupakan komponen penting pada penataan suatu kawasan. Agar dapat
mewujudkan suatu fasilitas pedestrian yang optimal, maka berbagai fasilitas kelengkapan
pedestrian harus disiapkan dengan baik. Jalur pedestrian tersebut harus mampu menciptakan
pergerakan atau sirkulasi pejalan kaki yang tidak terganggu oleh lalu lintas kendaraan (Apriyatin
dkk, 2012). Pada laporan ini, analisis sistem sirkulasi pejalan kaki terbagi ke dalam analisis
tingkat pelayanan pejalan kaki, sirkulasi pejalan kaki, serta analisis walkability index. Berikut
merupakan penjabaran dari analisis-analisis tersebut.
1. Analsis Kondisi Jalur Pejalan Kaki
Analisis kondisi jalur pejalan kaki digunakan untuk mengetahui lebar jalur pejalan kaki
pada Koridor Jalan Mayjen Panjaitan dan Jalan Kapten Tendean. Analisis dilakukan dengan
membandingkan lebar jalur pejalan kaki eksisting dengan standar lebar minimum pada
Peraturan Menteri PUPR Nomor 02/SE/M/2018. Data yang dibutuhkan antara lain dimensi
jalan dan guna lahan yang ada di depan jalur pedestrian.
2. Analisis Tingkat Pelayanan Pejalan Kaki
Analisis kebutuhan tingkat pelayanan pedestrian ditujukan untuk mengetahui panjang,
lebar, dan tinggi jalur, serta perkerasannya. Tingkat pelayanan jalur pedestrian juga dapat
digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kondisi geometric jalan. Adapun untuk
mengetahui tingkat pelayanan jalur pedestrian dapat menggunakan LOS pejalan kaki.
Analisis tingkat pelayanan pejalan kaki mencakup variabel kecepatan berjalan, arus pejalan
kaki, dan kepadatan pejalan kaki. Berikut ini merupakan tabel klasifikasi tingkat pelayanan
pejalan kaki.
Tabel 3.10 Klasifikasi Tingkat Pelayanan Pejalan Kaki
Arus Pejalan
Tingkat Ruang
Kaki (pejalan
Pelayanan Pejalan Kaki Keterangan
kaki/menit/m
(LOS) (m2/org)
)
Pada LOS A, orang dapat berjalan dengan bebas, para
pejalan kaki dapat menentukan arah berjalan dengan bebas,
A > 5,6 ≤ 16
dengan kecepatan yang relatif cepat tanpa menimbulkan
gangguan antar sesama pejalan kaki.
Pada LOS B, ruang pejalan kaki masih nyaman untuk
dilewati dengan kecepatan yang cepat. Keberadaan pejalan
B > 3,7 - 5,6 > 16 - 23 kaki yang lainnya sudah mulai berpengaruh pada arus
pedestrian, tetapi para pejalan kaki masih dapat berjalan
dengan nyaman tanpa mengganggu pejalan kaki lainnya.
Pada LOS C, ruang pejalan kaki masih memiliki kapasitas
normal, para pejalan kaki dapat bergerak dengan arus yang
searah secara normal walaupun pada arah yang berlawanan
C > 2,2 - 3,7 > 23 - 33
akan terjadi persinggungan kecil. Arus pejalan kaki berjalan
dengan normal tetapi relatif lambat karena keterbatasan
ruang antar pejalan kaki.
Pada LOS D, ruang pejalan kaki mulai terbatas, untuk
berjalan dengan arus normal harus sering berganti posisi dan
merubah kecepatan. Arus berlawanan pejalan kaki memiliki
D > 1,4 - 2,2 > 33 - 49 potensi untuk dapat menimbulkan konflik. LOS D masih
menghasilkan arus ambang nyaman untuk pejalan kaki tetapi
berpotensi timbulnya persinggungan dan interaksi antar
pejalan kaki.
Pada LOS E, setiap pejalan kaki akan memiliki kecepatan
yang sama, karena banyaknya pejalan kaki yang ada.
Berbalik arah, atau berhenti akan memberikan dampak pada
E > 0,75 - 1,4 > 49 - 75 arus secara langsung. Pergerakan akan relatif lambat dan
tidak teratur. Keadaan ini mulai tidak nyaman untuk dilalui
tetapi masih merupakan ambang bawah dari kapasitas
rencana ruang pejalan kaki.
Pada LOS F, kecepatan arus pejalan kaki sangat lambat dan
terbatas. Akan sering terjadi konflik dengan para pejalan
kaki yang searah ataupun berlawanan. Untuk berbalik arah
atau berhenti tidak mungkin dilakukan. Karakter ruang
F ≤ 0,75 Beragam
pejalan kaki ini lebih kearah berjalan sangat pelan dan
mengantri. LOS F ini merupakan tingkat pelayanan yang
sudah tidak nyaman dan sudah tidak sesuai dengan kapasitas
ruang pejalan kaki.
Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan, 2000
a. Kecepatan Berjalan (Walking Speed)
Kecepatan berjalan meupakan kecepatan pejalan kaki saat berjalan dalam keadaan
normal. Kecepatan berjalan dapat dihitung dengan mengambil waktu rata-rata
pejalan kaki saat melintas jalan. Kecepatan berjalan kaki dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan umur pejala kaki. Berikut merupakan rumus kecepatan berjalan kaki:
Rumus 3.15 Walking Speed

( Vp× Np )+(Vw × Nw)


Vn =
Np+ Nw
Keterangan:
Vn = Kecepatan rata-rata
Np = Jumlah pejalan kaki pria
Vp = Kecepatan rata-rata pria (m/dt)
Nw = Jumlah pejalan kaki wanita
Vw = Kecepatan rata-rata wanita (m/dt)
b. Arus Pejalan Kaki (Pedestrian Flow)
Arus pejalan kaki dapat mempengaruhi kecepatan berjalan, hal tersbeut disebabkan
karena apabila volume pejalan kaki lebih tinggi, maka kecepatan berjalan akan
lebih rendah, begitu pun sebaliknya. Berikut merupakan rumus arus pejalan kaki:
Rumus 3.16 Pedestrian Fow
N
Q=
T
Keterangan:
Q = Arus pejalan kaki (pejalan kaki/m/menit)
N = Jumlah pejalan kaki yang lewat per meter (Pejalan kaki/m)
T = Waktu (menit)
c. Kepadatan Pejalan Kaki (Density)
Kepadatan pejalan kaki adalah jumlah pejalan kaki per satuan luas trotoar tertentu.
Berikut rumus kecepatan arus kepadatan:
Rumus 3.17 Kepadatan Pejalan Kaki

Q
D=
Vn
Keterangan:
D = Kepadatan (pejalan kaki/m2)
Q = Arus (pejalan kaki/m/menit)
Vn = Kecepatan rata-rata
Untuk menghitung ruang pejalan kaki dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Rumus 3.18 Ruang Pejalan Kaki
Vn
S=
Q
Keterangan:
S = Ruang pejalan kaki (m2/pejalan kaki)
Q = Arus (pejalan kaki/m/menit)
Vn = Kecepatan rata-rata (m/menit)
3. Analisis Walkability Index
Walkability Index (WI) merupakan metode penilaian tingkat kenyamanan berjalan pada
fasilitas pejalan kaki dengan komponen utama yang berupa keamanan dan keselamatan,
kenyamanan dan daya tarik, serta dukungan kebijakan pemerintah (Krambeck, 2006).
Umumnya analisis ini digunakan guna melakukan peninjauan terhadap kelayakan fasilitas
pejalan kaki di kawasan perkotaan, terutana pada area Central Business District (CBD) yang
menjadi penghubung pusat kegiatan dan aktivitas, seperti kawasan perekonomian, bisnis,
pendidikan, kesehatan, transit, hingga pariwisata. Konsep analisis ini diperlukan karena
dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara spesifik karakteristik jalur pejalan kaki
sehingga memudahkan dalam kaitannya penyusunan item-item perbaikan (Erlangga,
Handayani, & Syafi'i, 2020). Di Indonesia sendiri, regulasi yang menjadi pedoman dalam
perencanaan fasilitas pejalan kaki guna mendukung kenyamanan pejalan kaki yaitu Pd 03-
2017-B (SE Menteri PUPR 02/SE/M/2018) tentang pedoman perencanaan fasilitas pejalan
kaki. Pedoman tersebut kemudian dapat diperbandingkan dengan variabel pada Global
Walkability Index.
Tabel 3.11 Klasifikasi Tingkat Pelayanan Pejalan Kaki
Variabel dari SE Menteri PUPR 02/SE/M/2018
Variabel dari Global Walkability Index sebagai acuan penilaian Walkability Index di
Indonesia
Konflik di jalur pejalan kaki Ketersediaan bolar atau pagar pengaman trotoar
Keamanan dari tindak kejahatan Ketersediaan penerangan jalan
Keselamatan penyebrang jalan Ketersediaan fasilitas penyebrangan
Perilaku pengendara kendaraan bermotor terhadap
Keberadaan rambu peringatan dan speed bump
pejalan kaki
Kelengkapan fasilitas Fasilitas pendukung atau pelengkap
Infrastruktur bagi penyandang disabilitas Fasilitas pejalan kaki berkebutuhan khusus
Kondisi kemiringan perkerasan pada permukaan jalur
Pemeliharaan dan kebersihan
pedestrian dan ketersediaan tempat sampah
Hambatan terhadap aktivitas pejalan kaki Kebutuhan lebar ruang bagi pejalan kaki
Variabel dari SE Menteri PUPR 02/SE/M/2018
Variabel dari Global Walkability Index sebagai acuan penilaian Walkability Index di
Indonesia
Ketersediaan infrastruktur penyebrangan Ketersediaan fasilitas penyebrangan
Sumber: Erlangga, 2020

Anda mungkin juga menyukai