Anda di halaman 1dari 29

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

5.1

PENGEMBANGAN JARINGAN PERGERAKAN

encana pengembangan jaringan pergerakan merupakan bagian dari


upaya untuk meningkatkan permeabilitas kawasan perencanaan,
dimana kualitas permeabilitas ditentukan oleh kemudahan pencapaian
kawasan. Dalam perencanaan ruang-ruang publik dimana semakin

besar

kemungkinan

pencapaian

ruang-ruang

tersebut

maka

semakin

tinggi

permeabilitas ruang yang direncanakan. Perencanaan blok kecil lebih banyak


memberikan pilihan untuk pencapaian atau pemilihan rute-rute daripada blok-blok yang
besar. Dengan perencanaan blok-blok kecil akan meningkatkan permeabilitas visual
dimana dalam satu rute akan lebih banyak persimpangan/simpul yang dilihat sehingga
akan memberikan keuntungan bagi perencanaan ruang-ruang komersial.
Selanjutnya pola jaringan pergerakan diarahkan untuk :
a. Membentuk suatu sistim seimbang yang menjamin aksesibilitas masyarakat dalam
kawasan perencanaan maupun dari pusat kota ke daerah pinggiran yang menjadi
arah tujuan pengembangan kota.
b. Peningkatan kualitas lingkungan dan penghematan energi serta memberikan
penekanan pada aspek-aspek keamanan, keselamatan dan kenyamanan.
c. Pada zona perdagangan dan jasa jaringan jalan diintegrasikan dengan penyediaan
ruang bagi pejalan kaki dan jalur hijau.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-1

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

d. Mengoptimalkan penggunaan lahan.


e. Mendorong perkembangan pada ruang yang didorong perkembangannya serta
menghambat perkembangan pada ruang yang dibatasi pengembangannya.
f.

Pola grid pada zona perumahan ini diintegrasikan dengan pengembangan ruang
terbuka hijau dan selanjutnya diatur melalui peraturan zonasi.

Rencana pengembangan jaringan pergerakan di kawasan perencanaan terdiri dari


ruas jalan yang tersusun berdasarkan hirarki fungsi jalan, sebagaimana terlihat pada
Gambar 5.1.

5.1.1

Jaringan Jalan Arteri Primer

Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional
atau antara pusat kegiatan nasional (PKN) dengan pusat kegiatan wilayah (PKW).
Pengembangan jalan arteri primer harus sesuai persyaratan teknis meliputi:
a. Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
60 (enam puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit
11 (sebelas) meter.
b. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas
rata-rata.
c. Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas
ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
d. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa sehingga
ketentuan harus tetap terpenuhi.
e. Persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus
memenuhi ketentuan.
f.

Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan


pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.

Berdasarkan kebijakan dan strategi Nasional, Provinsi Kalimantan Timur terdapat


beberapa ruas jalan arteri primer yang akan dikembangkan menjadi jalan bebas
hambatan yang berfungsi untuk melayani pergerakan menerus, dengan kriteria lalu-

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-2

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

lintas cepat, jalan akses dibatasi, pengaturan jalan masuk dan gangguan samping
yang minimal.

Gambar 5.1
Peta Rencana Jaringan Jalan Kawasan Perencanaan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-3

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Pengembangan dan peningkatan jaringan jalan arteri primer dan jalan bebas
hambatan di kawasan perencanaan, meliputi:
1. Jalan bebas hambatan Balikpapan Samarinda Bontang Sangatta KIPI
Maloy.
2. Ruas jalan Bontang - Sangatta.

5.1.2

Jaringan Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan
nasional (PKN) dengan pusat kegiatan lokal (PKL), antar pusat kegiatan wilayah
(PKW), atau antara pusat kegiatan wilayah (PKW) dengan pusat kegiatan lokal (PKL).
Pengembangan jalan kolektor primer harus sesuai persyaratan teknis meliputi:
a. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
40 (empat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit
9 (sembilan) meter.
b. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas
rata-rata.
c. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan.
d. Persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dengan pengaturan tertentu.
e. Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
Pengembangan dan peningkatan jaringan jalan kolektor primer di kawasan
perencanaan, yaitu ruas jalan akses masuk Kota Bontang dari Nyerakat (Kelurahan
Bontang Lestari) ke arah Trans Kalimantan Timur, pengembangan jalan kota diarahkan
ke Kelurahan Bontang Lestari, dan pengembangan jalan lingkar pesisir (coastal road).

5.1.3

Jaringan Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-4

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan
lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
Pengembangan jalan lokal primer harus sesuai persyaratan teknis meliputi:
a. Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma
lima) meter.
b. Jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.
Pengembangan dan peningkatan jaringan jalan lokal primer di kawasan perencanaan,
yaitu:
1. Ruas jalan Simpang 3 Kantor Kecamatan Teluk Pandan- Kantor Kecamatan Teluk
Pandan;
2. Ruas jalan Simpang 3 Desa Sukarahmat- Kantor Simpang 3 Desa Sukarahmat.

5.1.4

Jaringan Jalan Lingkungan Primer

Jalan lingkungan primer menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan


perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Sedangkan jalan
lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.
Pengembangan jaringan jalan lingkungan primer dan jalan lingkungan sekunder yang
diarahkan untuk mengoptimalkan aksesibilitas antar zona, sehingga zona-zona
peruntukan tersebut terbentuk dalam suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan
sistem jaringan jalan tidak terputus. Pengembangan jaringan jalan lingkungan
direncanakan dengan lebar 10 m dengan perincian:
a. Kecepatan rencana maksimum 10 - 20 km/jam;
b. Jalur kendaraan dengan lebar 3 m;
c. Jalur hijau lebarnya 1 - 1,5 m didalamnya juga dipergunakan untuk penempatan
jaringan utilitas kota/perkotaan;
d. Saluran drainase, lebar 0,4 m terletak di bawah pedesterian atau di samping
pedesterian pada dikedua sisi jalan;

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-5

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

e. Saluran jaringan air bersih dan telepon dengan lebar 0,75 m di kedua sisi jalan
terletak dijalur hijau.

5.1.5

Jaringan Jalan Lainnya

A. Pengembangan Terminal Penumpang Tipe B


Terminal penumpang adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan
menurunkan dan menaikan penumpang, perpindahan intra/atau moda transportasi
serta mengatur kedatangan pemberangkatan kendaraan angkutan penumpang
umum.
Pengembangan terminal tipe B merupakan aspek yang dapat dipertimbangkan
dalam

perencanaan

prasarana

pada

jaringan

transportasi

di

kawasan

perencanaan, dengan dimaksud terminal di sini adalah terminal dengan jarak


wilayahnya tidak terlalu jauh maka tidak perlu dibuat sebuah terminal melainkan
cukup dengan pangkalan sementara dengan tujuan pelayanan sebagai akses antar
wilayah disekitarnya.
Pengembangan terminal penumpang tipe B di kawasan perencanaan, harus
memperhatikan ketentuan dan memenuhi persyaratan:
a. Terletak dalam jaringan trayek perkotaan dan perdesaan;
b. Terletak di jalan kolektor atau lokal dengan kelas jalan paling tinggi kelas IIIA;
c. Tersedia lahan sesuai dengan permintaan angkutan;
d. Mempunyai akses jalan masuk atau keluar ke dan dari terminal, sesuai
kebutuhan untuk kelancaran lalu lintas di sekitar terminal;
e. Kebutuhan terminal wilayah perencanaan adalah sekurang-kurangnya memiliki
luas layanan 2.000 m2;
f.

Di area pusat kegiatan pada unit lingkungan/kelurahan (30.000 penduduk)


sekurang-kurangnya harus ada tempat pemberhentian kendaraan umum antar
lingkungan dan juga pangkalan-pangkalan kendaraan yang dapat langsung
membawa penumpang ke daerah perumahan, misalnya: pangkalan becak,
bajaj, ojek, dan sejenisnya; dan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-6

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

g. Di area pusat kegiatan pada unit kecamatan (120.000 penduduk) sekurangkurangnya harus ada pangkalan kendaraan umum jenis angkutan kecil yang
dapat meneruskan penumpang ke pusat-pusat kegiatan atau ke pusat-pusat
lingkungan hunian dengan catatan tidak menerobos daerah perumahan dan
tidak mangkal di pusat lingkungan. Luas pangkalan angkot ini sekurangkurangnya 500 m2.
Berdasarkan ketentuan dan persyaratan diatas, rencana pengembangan terminal
penumpang tipe B dapat berlokasi pada simpul kegiatan dan mobilitas penduduk
pada kawasan perencanaan, dengan cakupan pelayanan angkutan perkotaan atau
angkutan perdesaan. Pengembangan terminal tipe B di kawasan perencanaan,
Kota Bontang bekerjasama dan berlokasi di Kabupaten Kutai Timur.
B. Rencana Pengembangan Halte
Halte adalah tempat perhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan
dan/atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Penempatan
halte diintegrasikan dengan pusat pusat bangkitan dan tujuan perjalanan (sekolah,
pasar, pertokoan, ruang terbuka publik dsb). Fungsi halte dikembangkan untuk
menampung kegiatan yang saling melengkali seperti telepon umum, kios minuman
dan koran, serta dilengkapi dengan bangku tempat duduk serta daftar rute
angkutan umum. Persyaratan umum penempatan halte adalah :
1) berada di sepanjang rute angkutan umum/bus;
2) terletak pada jalur pejalan (kaki) dan dekat dengan fasilitas pejalan (kaki);
3) diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau permukiman;
4) dilengkapi dengan rambu petunjuk;
5) tidak mengganggu kelancaran arus lalu-lintas.
Penentuan jarak antara halte dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Jarak Halte Terhadap Zona Kegiatan
Zona

Tata Guna Lahan

Pusat kegiatan sangat padat: pasar; pertokoan.

Padat: perkantoran, sekolah, jasa.

DRAFT LAPORAN AKHIR

CBD, Kota

Jarak Tempat Henti


(m)
200 300*)

Kota

300 400

Lokasi

5-7

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Kota

Jarak Tempat Henti


(m)
300 400

Campuran padat: perumahan, sekolah, jasa.

Pinggiran

300 500

Campuran jarang: perumahan, ladang, sawah, tanah kosong.

Pinggiran

500 1000

Zona

Tata Guna Lahan

Permukiman

4
5

Lokasi

Keterangan : *) Jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak umumnya 300 m.

Pengembangan tata letak halte terhadap ruang lalu lintas sebagai berikut:
a. Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah
100 meter.
b. Jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau bergantung pada
panjang antrean.
c. Jarak minimal gedung (seperti rumah sakit, tempat ibadah) yang membutuhkan
ketenangan adalah 100 meter.
d. Peletakan di persimpangan menganut sistem campuran, yaitu antara sesudah
persimpangan (farside) dan sebelum persimpangan (nearside), sebagaimana
Gambar 5.2. Peletakan di ruas jalan dapat dilihat Gambar 5.3. sedangkan
protoipe halte dapat dilihat Gambar 5.4.

Peletakan tempat perhentian di pertemuan jalan simpang


Peletakan
empat
tempat perhentian di pertemuan jalan simpang tiga

Gambar 5.2
Peletakan Tempat Perhentian (Halte)
Di Pertemuan Jalan Simpang Tiga dan Simpang Empat

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-8

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.3
Tata Letak Halte Pada Ruas Jalan

Gambar 5.4
Prototipe Tata Letak Halte Pada Ruas Jalan
C. Rencana Pengembangan Ruang Parkir
Parkir didalam kawasan direncanakan untuk ditampung pada parkir di dalam
halaman atau di dalam persil (off-street) dan parkir di dalam ruas milik jalan (onstreet).
a. Parkir di Dalam Persil (off street)
Pada ruas jalan kolektor primer dan ruas jalan lokal primer/sekunder,
penyediaan ruang parkir direncanakan dengan sistem off street di depan
pertokoan dan perkantoran yang dikembangkan di sepanjang jalan dengan
memanfaatkan ruang GSB. Hal ini dimaksudkan untuk memberi ruang yang
lebih luas kepada pejalan kaki. Konsekuensi daripada penataan ruang parkir ini
adalah pembentukan hubungan yang erat melalui pengaturan jalur pejalan kaki
antar kantong parkir dengan tujuan perjalanan.
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-9

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Penyediaan parkir di dalam persil (off-street) diatur, meliputi:


Parkir dalam persil merupakan kewajiban yang harus disediakan sesuai
dengan pemanfaatan ruang yang diisyaratkan kecuali rumah tinggal pada
peruntukan rumah taman, rumah renggang, dan rumah deret.
Pada peruntukan tanah ruang terbuka tidak diwajibkan menyediakan parkir
kecuali pada penggunaan rekreasi dan tempat pemakaman.
Parkir bersama dalam bentuk pelataran parkir, taman parkir, dan atau
gedung parkir dapat dibangun pada semua peruntukan tanah kecuali di
peruntukan tanah terbuka.
Penyediaan parkir tidak boleh mengurangi daerah-daerah penghijauan, dan
harus memperhatikan kelancaran sirkulasi keluar masuk kendaraan dan
pejalan kaki, keamanan, keselamatan, kesehatan dan kenyamanan.
Untuk parkir di bawah tanah (basement) harus sedemikian rupa sehingga
memenuhi batasan KDB dan KDH yang ditetapkan, dan harus menyediakan
fasilitas parkir bawah tanah berupa: ruang tunggu, toilet, mushola, kantin
dan fasilitas lain sesuai kebutuhan.
Parkir di luar jalan merupakan parkir yang tidak memanfaatkan badan jalan.
Jenis parkir ini antara lain adalah:
Pelataran Parkir (open space parking);
Bangunan Parkir (park building);
Parkir di Lantai Dasar (besement parking).
Ukuran lebar pintu keluar-masuk dapat ditentukan yaitu lebar 3 meter dan
panjangnya harus dapat menampung tiga mobil berurutan dengan jarak antar
mobil (spacing) sekitar 1,5 meter. Oleh karena itu panjang-lebar pintu keluarmasuk minimum 15 meter. Pergerakkan kendaraan di area parkir dapat
dibedakan menjadi jalur sirkulasi gang dan modul. Patokan umum yang dipakai
adalah:
1. Panjang sebuah jalur gang tidak lebih dari 100 meter.
2. Jalur gang yang dimaksudkan untuk melayani lebih dari 50 kendaraan
dianggap sebagai jalur sirkulasi. Lebar minimum jalur sirkulasi :
a. Untuk jalur satu arah = 3,5 meter
b. Untuk jalan dua arah = 6,5 meter
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-10

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Lebih jelasnya mengenai desain geometri di dalam persil (off street) dapat
dilihat Gambar 5.5 dan prototipe dapat dilihat Gambar 5.6.

Gambar 5.5
Desain Geometri Parkir Di Dalam Persil (Off-Street)
a. Bangunan Parkir

b. Pelataran Parkir

Gambar 5.6
Prototipe Bangunan Parkir dan Pelataran Parkir
b. Parkir di Ruas Milik Jalan (On-Street)
Parkir di ruang milik jalan diatur berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1. Parkir di ruang milik jalan, hanya diperkenankan pada:
a. jalan lokal dan kolektor;
b. kawasan dengan penggunaan lahan sekitarnya adalah perdagangan,
jasa dan perkantoran dengan ketentuan telah menyediakan parkir
bersama (baik berupa gedung parkir maupun taman parkir).
2. Penentuan parkir di jalan lokal dan kolektor ditentukan dengan keputusan
Bupati.
3. Penyediaan parkir tidak boleh mengurangi daerah-daerah penghijauan, dan
harus memperhatikan kelancaran sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki,
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-11

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Luas kebutuhan parkir on-street bergantung pada jumlah kendaraan yang


diharapkan parkir dan sudut parkir. Umumnya parkir jenis ini menggunakan
sudut parkir yang sejajar dengan badan jalan (bila jalannya kecil) atau
membentuk sudut apabila jalannya cukup lebar. Sudut parkir yang umum
digunakan adalah 30, 45, 60, 90. Tidak semua badan jalan dapat digunakan
sebagai media parkir, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.7
serta Gambar 5.8.
Tabel 5.2
Persyaratan Lebar Minimum Pemanfaatan Parkir On-Street
Arah Lalu Lintas

Sudut Parkir

Lebar Perkerasan Jalan Min. (m)


Satu Sisi

Dua Sisi

Satu Arah

Sejajar
< 30
< 45
< 60
< 90

6,00
8,00
9,50
11,50
13,50

9,00
13,50
18,00
18,50
10,50

Dua Arah

Sejajar
< 30
< 45
< 60
< 90

8,00
10,50
11,00
11,50
13,50

10,50
15,50
17,00
18,00
18,50

Sumber : diolah Tahun 2013.

Sejajar

30

90

45

60

Gambar 5.7
Desain Geometri Parkir Sisi Jalan (On-Street Parking)

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-12

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.8
Prototipe Parkir Pada Sisi Jalan (On-Street Parking)
D. Rencana Penyediaan Ruang Pejalan Kaki
Penyediaan ruang pejalan kaki di kawasan perencanaan dapat ditempatkan di
sepanjang

jalan

atau

pada

suatu

zona

maupun

subzona

yang

akibat

pertumbuhannya memerlukan ruang pejalan kaki, perlu memperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Agar dapat berfungsi dengan baik dan optimal, penyediaan prasarana dan
sarana ruang pejalan kaki harus memenuhi persyaratan yaitu keamanan,
kenyamanan, keindahan, kemudahan interaksi sosial, bagi semua pengguna
pejalan kaki termasuk yang memiliki keterbatasan fisik (penyandang cacat).
b. Ruang pejalan kaki sebaiknya diterapkan pada bahu jalan, dengan
pertimbangan ruang tersebut dapat diakses langsung oleh pejalan kaki. Dasar
pertimbangannya adalah lahan tersebut merupakan ruang publik, sementara
untuk penerapan di area non publik, sangat tergantung pada kesepakatan
dengan pemilik lahan.
c. Penyediaan ruang pejalan kaki dapat dikembangkan pada zona:
perdagangan dan jasa.
ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau (RTNH).
Khusus.
Perumahan.
Industri.
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-13

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Peruntukan campuran.
d. Penyediaan ruang pejalan kaki harus bersifat interzona dan intermoda, serta
menjadi salah satu syarat untuk memudahkan akses ke pusat-pusat kegiatan.
Rencana penyediaan minimal adalah 300-400 meter dari halte transit atau
sekitar 5-10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
e. Ruang pejalan kaki harus memiliki hirarki penggunaan. Pada umumnya berawal
dari satu titik ke titik lainnya seperti dari rumah ke kantor atau lokasi tujuan
akhir dan sebaliknya.
f.

Ruang pejalan kaki sebagai jalur utama harus memiliki sarana dan prasarana
untuk membantu mobilitas, seperti ram pejalan kaki untuk memberikan
kenyamanan dalam berjalan dan memandu para difable untuk dapat dengan
mudah melintas.

g. Untuk menghubungkan ruang pejalan kaki yang berseberangan dibangun


jembatan penyeberangan dan penyeberangan sebidang.
h. Perlu tersedia titik-titik yang menghubungkan ruang pejalan kaki dengan moda
transportasi seperti halte kendaraan umum.
i.

Penyediaan fasilitas sarana dan prasarana ruang pejalan kaki, harus


disesuaikan dengan kebutuhan.

j.

Standar penyediaan pelayanan ruang pejalan kaki sangat bervariasi, ukuran


dan dimensinya tergantung dari tingkat pelayanan (level of service) dan tingkat
volume pergerakan di ruang pejalan kaki.

k. Penyediaan sarana dan prasarana ruang pejalan kaki tergantung pada tipologi
ruang pejalan kaki. Tipologi ini disesuaikan dengan peruntukan ruang di
kawasan perencanaan.
Lebih jelasnya mengenai prototype pedestrian pada bahu/trotoar jalan dapat dilihat
Gambar 5.9.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-14

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.9
Prototipe Pedestrian (Ruang Pejalan Kaki) Pada Bahu Jalan/Trotoar

5.2

PENGEMBANGAN JARINGAN ENERGI/KELISTRIKAN

Sumber energi listrik saat ini umumnya berasal dari generator diesel yang sangat
terbatas pasokannya, untuk itu pada masa mendatang, dengan semakin meningkatnya
perkembangan kegiatan di kawasan ini, maka perlu dipertimbangkan sumber pasokan
dengan teknologi lain misalnya dengan memanfaatkan batubara ataupun energi
lainnya.
Sumber jaringan energi/ kelistrikan di kawasan perencanaan yang mudah dijangkau
oleh sistem jaringan listrik interkoneksi dengan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur, maka rencana pengembangan dan peningkatan sistem jaringan listrik di
kawasan perencanaan adalah sebagai berikut:
a. Pelayanan listrik di Kota Bontang pada saat ini mengandalkan Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD) yang terdiri dari dari empat buah PLTD yang dikelola oleh
PLN ranting Bontang Cabang Samarinda. Pelayanan listrik yang ada pada saat ini
sudah dapat menjangkau keseluruhan bagian kota, dengan jumlah pelanggan
sebanyak 15.320 pelanggan yang tersebar di seluruh Kelurahan. Berdasarkan data
terakhir, PLN di ranting Bontang memiliki kapasitas terpasang sebesar 10.176 KW,
daya mampu sebesar 9.600 KW, dengan produksi sebesar 20.049 KW.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-15

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

b. Pembangkit tenaga listrik di Kabupaten Kutai Timur terdiri atas :


1. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Kota Sangatta dan Sangkulirang di
Kecamatan Sangkulirang;
2. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sangatta di Kota
Sangatta;
3. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel di Muara Wahau Kecamatan
Muara Wahau dan Muara Bengkal di Kecamatan Muara Bengkal; dan
4. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tersebar pada
kampung-kampung, daerah tertinggal dan daerah terpencil.
Lebih jelasnya mengenai rencana pengembangan sistem jaringan prasarana energi
listrik di kawasan perencanaan dapat dilihat pada Gambar 5.10.

5.3

PENGEMBANGAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

Pengembangan jaringan telekomunikasi di kawasan perencanaan merupakan bagian


pengembangan telekomunikasi Kota Bontang-Kabupaten Kutai Timur yaitu:
a. Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Kota Bontang meliputi:
1. Rencana

pengembangan

penambahan

jumlah

jaringan

sambungan

telepon
rumah

terutama
tangga,

diarahkan

perdagangan,

untuk
jasa,

perkantoran dan industri.


2. Rencana pembangunan jaringan fiber optik untuk melayani kawasan kota baru
di Bontang Lestari.
3. Rencana

pengembangan

Menara

Telekomunikasi

(BTS)

diarahkan

ke

Kecamatan Bontang Lestari.


4. Perlunya pengawasan dan pemberian ijin khusus terhadap pihak operator yang
akan membangun dengan persyaratan yang disepakati secara bersama.
5. Mempertimbangkan kondisi kontur

dan ketinggian,

dan letak Menara

Telekomunikasi (BTS) tidak berdekatan dengan permukiman, perdagangan


jasa, perkantoran, dan pusat kota.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-16

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.10
Peta Pengembangan Jaringan Energi/kelistrikan Kawasan Perencanaan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-17

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

b. Pengembangan jaringan telekomunikasi di Kabupaten Kutai TImur terdiri atas :


1. Pembangunan jaringan kabel di Kota Sangatta dan Sangkulirang di Kecamatan
Sangkulirang dengan kapasitas 2.232 SST.
2. Jaringan nirkabel terdapat di seluruh kecamatan menggunakan jaringan tower
BTS (Base Transceiver Station) yang digunakan secara bersama menjangkau
ke pelosok perdesaan.
3. Jaringan satelit yaitu daerah terpencil di seluruh kecamatan.

5.4

PENGEMBANGAN JARINGAN AIR MINUM

Rencana pengembangan jaringan air minum di kawasan perencanaan sebagai berikut:


a. Mengembangkan jaringan air minum dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan minimal untuk memperluas jangkauan pelayanan air minum terutama
untuk masyarakat yang dilakukan secara bertahap.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan jaringan air minum.
c. Meningkatkan dan memperluas akses air yang aman melalui jaringan perpipaan
bagi masyarakat.
d. Mengembangkan penyediaan air minum yang terpadu dengan sistem sanitasi.
e. Mengembangkan pelayanan air minum dengan kualitas yang sesuai dengan
standar baku mutu.
Untuk

daerah

perkotaan/kawasan

mempertimbangkan

tertentu

kebutuhan domestik

kebutuhan

(pemukiman)

air

minum

non-domestik

harus

(kawasan

fungsional non pemukiman), seperti untuk : sosial, komersial, industri, dan sektor lain
serta kehilangan air.
Pengembangan jaringan air minum di kawasan perencanaan merupakan bagian
pengembangan jaringan air minum Kota Bontang-Kabupaten Kutai Timur yaitu:
a. Pengembangan sumberdaya air minum di Kota Bontang adalah sebagai berikut:
1. Sistem Pengelolaan Air Minum
Sistem jaringan yang dapat dikembangkan, yaitu sistem komunal dan sistem
publik. Sistem komunal hanya melayani sebagian kelompok masyarakat atau
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-18

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

sebagian wilayah kota, sedangkan sistem publik melayani seluruh kota sebagai
suatu yang terintegrasi. Untuk Kota Bontang alternatif pertama, yaitu sistem
komunal lebih tepat untuk dikembangkan dengan alasan, pertama, kelompok
permukiman industri telah dilayani oleh jaringan air bersih. Kedua, sumber air
yang digunakan adalah sumber air tanah yang tidak memerlukan pengolahan
khusus, disamping juga debit dari satu sumur yang tidak mungkin mencukupi
untuk kebutuhan seluruh kota, ketiga, topografi kota yang bergelombang.
Bentuk dari sistem komunal ini adalah pembentukan unit-unit pelayanan air
bersih dengan reservoir sebagai pusatnya. Reservoir diusahakan untuk berada
pada tempat yang paling tinggi di daerah yang dilayaninya. Hal ini untuk
menghemat biaya pemompaan, karena apabila sumber air terletak pada tempat
yang paling tinggi, maka air dapat mengalir ke tempat yang dilayaninya dengan
sistem gravitasi.
2. Pembagian Pengelolaan Air Minum
Pelayanan air bersih saat ini disediakan oleh beberapa pihak seperti
Pemerintah Daerah melalui PDAM, Swasta industri melalui PT. Pupuk Kaltim,
PT. Badak, dan Indominco, dan masyarakat melalui swadaya. Untuk itu,
pelayanan dan penyediaan air bersih ke depan juga dapat dikelola oleh ketiga
pihak tersebut dengan proporsi masing-masing.
b. Pengembangan sumberdaya air minum di Kabupaten Kutai Timur meliputi :
1. Peningkatan dan pengembangan pelayanan Instalasi Pengolahan Air (IPAM) di
Kota Sangatta, Sangkulirang di Kecamatan Sangkulirang, Muara Wahau di
Kecamatan Muara Wahau, dan Muara Bengkal di Kecamatan Bengkal;
2. Peningkatan dan pengembangan pelayanan jaringan perpipaan di pusat-pusat
kegiatan lokal; dan
3. Rencana sistem non perpipaan air minum tersebar di seluruh desa.
Lebih jelasnya mengenai rencana pengembangan sistem jaringan air minum di
kawasan perencanaan dapat dilihat pada Gambar 5.11.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-19

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.11
Peta Pengembangan Jaringan Air Minum Kawasan Perencanaan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-20

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

5.5

SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH

Penanganan air limbah di perumahan dan permukiman pada dasarnya merupakan


tanggung jawab masyarakat sendiri, sedangkan sarana penunjangnya dapat dibantu
atau disediakan oleh pemerintah daerah, baik dengan atau tanpa bantuan pemerintah
pusat maupun kerja sama dengan sektor swasta. Pembangunan saluran pembuangan
pada lingkungan perumahan dan permukiman yang belum mempunyai saluran sudah
tidak memungkinkan, seperti kondisi air limbah yang mendominasi di kawasan
perencanaan adalah air limbah domestik yang terdiri 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Black Water, yaitu air limbah manusia (human waste) yang berasal dari
toilet/jamban.
b. Gray Water, yaitu air buangan rumah tangga yang berasal dari kamar mandi,
dapur, dan tempat cuci (sullage).
Pengembangan sistem pengolahan air limbah di kawasan perencanaan (Kota
Bontang-Kabupaten Kutai Timur), yaitu:
1. Rencana sistem pengelolaan limbah di Kota Bontang meliputi:
a. Pengembangan

prasarana

pengolahan

air

limbah

di

Kota

Bontang

diprioritaskan pada pengembangan sistem pembuangan air rumah tangga


(sewerage) individu dan komunal. Pengembangan sistem pembuangan air
rumah tangga (sewerage) individu dikembangkan pada perumahan yang sudah
ada, sedangkan pengembangan sistem pembuangan air rumah tangga
(sewerage) komunal dikembangkan pada kawasan perumahan yang akan
dikembangkan dan kawasan perumahan di atas air di Bontang Kuala,
Selangan, Tihik-Tihik, Gusum, dan Melahing.
b. Pengembangan Instalasi Pengalolahan Limbah (IPAL) dalam hal ini pengolahan
Lumpur Tinja akan dilakukan di kawasan Bontang Lestari. Untuk air limbah
yang mengandung B3, setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3 harus
mengembangkan instalasi air limbahnya sebelum masuk ke jaringan air
buangan kota.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-21

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

2. Rencana sistem pengelolaan limbah di Kabupaten Kutai TImur meliputi:


a. Pembangunan sistem pembuangan limbah domestik komunal dan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) domestic di Kota Sangatta dan Sangkulirang di
Kecamatan Sangkulirang; dan
b. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Lebih jelasnya mengenai rencana pengembangan prasarana air limbah di kawasan
perencanaan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.12.

5.6

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH

Sistem pengelolaan sampah di kawasan perencanaan bertujuan untuk melayani


penduduk terhadap sampah yang dihasilkan, yang secara tidak langsung turut
memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat. Timbulan sampah di kawasan perencanaan dari tahun ke tahun semakin
meningkat, karena tingginya aktivitas yang berasal dari zona perumahan, zona industri,
zona perdagangan dan jasa, serta zona sarana pelayanan umum.
Pengembangan sistem pengelolaan sampah di kawasan perencanaan (Kota BontangKabupaten Kutai Timur), yaitu:
1. Pengelolaan persampahan di Kota Bontang, meliputi:
a. Pengembangan area pelayanan
1) Peningkatan

pelayanan

pengangkutan

persampahan

terutama

di

4 kelurahan yaitu Satimpo, Belimbing, Kanaan dan Bontang Lestari.


2) Peningkatan pelayanan pengangkutan persampahan di kelurahan lain
terutama dalam hal kecepatan pengangkutan dan frekuensi pengangkutan
tiap harinya dari 1-2 kali menjadi 3 kali sehari.
b. Pengembangan prasarana penampungan sampah
1) Pembangunan TPS (Tempat Penampungan Sementara) Sampah) pada tiap
kelurahan. Dengan kapasitas tiap TPS sebesar 6 m3, sampai akhir tahun
rencana dibutuhkan minimal 110 TPS.
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-22

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.12
Peta Pengembangan Jaringan Perpipaan Pengolahan Air Limbah Kawasan
Perencanaan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-23

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

2) Pengembangan

TPA

(Tempat

Pemrosesan

Akhir)

Sampah

yang

dialokasikan di Bontang Lestari. Operasional TPA Btg Lestari 20 th.


2. Pengelolaan persampahan di Kabupaten Kutai TImur terdiri atas :
a. Peningkatan pelayanan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Rantau Pulung
Kecamatan Rantau Pulung dengan sistem sanitary landfill;
b. Penyediaan Tempat Pengolahan Sementara Terpadu (TPST) di Kota Sangatta,
Sangkulirang di Kecamatan Sangkulirang, Muara Wahau di Kecamatan Muara
Wahau, dan Muara Bengkal di Kecamatan Muara Bengkal;
c. Pengembangan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga melalui pengurangan sampah dan penanganan sampah;
d. Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu dengan
menerapkan konsep 3 R (reduce, reuse, recycle) meliputi kegiatan pembatasan
timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan/atau pemanfaatan kembali
sampah;
e. Penanganan sampah sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi kegiatan
pemilahan, pengumpulan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke
TPST; dan
f.

Penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B 3) mengacu pada


peraturan perundang-undangan yang terkait.

5.7

PENGEMBANGAN JARINGAN DRAINASE

Pengembangan drainase pada dasarnya berfungsi untuk memindahkan air hujan


secepat mungkin dari suatu daerah ke badan air atau penerima. Drainase yang berada
di Kawasan Perencanaan merupakan saluran buatan yang direncanakan yang
dibangun

saluran

air

secara

permanen.

Pembangunan

prasarana

drainase

pengembangannya terutama diarahkan pada zona permukiman dan industri. Prioritas


pembangunan sistem drainase di Kawasan Perencanaan ini merupakan sebagai salah
satu terkonsentrasinya kegiatan masyarakat baik dalam kawasan Perencanaan dan
sekitarnya. Hal ini, berdampak permukaan tanah yang menghasilkan air limpasan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-24

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

hujan yang banyak (saat musim hujan) sehingga perlu dialirkan ke tempat
penampungan (berupa saluran).
Pengembangan jaringan drainase di kawasan perencanaan (Kota Bontang-Kabupaten
Kutai Timur), yaitu:
1. Pengembangan jaringan drainase di wilayah Kota Bontang diarahkan pada:
a. Perbaikan jaringan saluran drainase sekunder dan tersier di seluruh kawasan
Bontang;
b. Penambahan kapasitas dimensi pada saluran drainase.
2. Pengembangan jaringan drainase di wilayah Kabupaten Kutai Timur diarahkan
pada:
a. Sistem jaringan drainase yang dapat diterapkan pada wilayah Kabupaten kutai
Timur untuk pemakaian lahan dan permukiman padat, perlu dilakukan
penahanan bagian air run off di beberapa titik dengan pembuatan kolam
penampungan dan dapat berfungsi sebagai sumber air irigasi.
b. Saluran sekunder, berupa saluran penghubung saluran drainase jalan dengan
saluran primer sedangkan saluran tersier yang berupa saluran drainase yang
ada di sepanjang jalan utama Kota Sangatta dan Kota Sangkulirang serta jalan
kolektor primer dan lokal primer lainnya yang tersebar di seluruh kecamatan.
Lebih jelasnya mengenai rencana pengembangan prasarana drainase di kawasan
perencanaan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.13.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-25

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.13
Peta Pengembangan Jaringan Prasarana Drainase Kawasan Perencanaan

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-26

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

5.8

PENGEMBANGAN PRASARANA LAINNYA

5.8.1

Pengembangan Tempat Pemakaman Umum (TPU)

Pemakaman

Umum

adalah

salah

satu

bentuk

RTH

yang

belum

efektif

pemanfaatannya sebagai RTH. Pemakaman umum yang dianggap seram/angker,


gersang, kotor, dan semrawut belum dapat mendukung tercapainya fungsi RTH dalam
memberikan pelayanan dan fungsi yang baik bagi masyarakat kota pada umumnya
dan pengunjung pemakaman pada khususnya. Untuk itu diperlukan penataan TPU
yang dapat digunakan sebagai RTH.
Rencana lokasi pemakaman umum di kawasan perencanaan saat ini masih terpencar
dan menetapkan yang sudah ada. Lokasi pemakaman umum ini berfungsi lokal karena
luas area pemakaman yang terbatas, maka penggunaannya diperuntukan bagi
masyarakat setempat. Penyediaan pemakaman umum yang terpadukan RTH, maka
ketentuan bentuk pemakaman adalah sebagai berikut:
a. Ukuran makam 1 m x 2 m;
b. Jarak antar makam satu dengan lainnya minimal 0,5 m;
c. Tiap makam tidak diperkenankan dilakukan penembokan/perkerasan;
d. Pemakaman dibagi dalam beberapa blok, luas dan jumlah masing-masing blok
disesuaikan dengan kondisi pemakaman setempat;
e. Batas antar blok pemakaman berupa pedestrian lebar 150-200 cm dengan deretan
pohon pelindung disalah satu sisinya;
f.

Batas terluar pemakaman berupa pagar tanaman atau kombinasi antara pagar
buatan dengan pagar tanaman, atau dengan pohon pelindung;

g. Ruang hijau pemakaman termasuk pemakaman tanpa perkerasan minimal 70%


dari total area pemakaman dengan tingkat liputan vegetasi 80% dari luas ruang
hijaunya.
Lebih jelasnya mengenai rencana penataan pemakaman umum di kawasan
perencanaan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.14.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-27

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

Gambar 5.14
Rencana Penataan Pemakaman Umum

5.8.2

Pengembangan Ruang Evakuasi Bencana

Pengembangan evakuasi bencana di kawasan perencanaan (Kota Bontang-Kabupaten


Kutai Timur), yaitu:
1. Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jalur evakuasi bencana di
Kota Bontang meliputi :
a. Mengembangkan jalan eksisting dan menambah jalan baru.
b. Mengintegrasikan/menghubungkan jalan eksisting dan menambah jalan baru
sebagai rencana jalur penyelamatan dengan fasilitas perlindungan dan sistem
kota secara umum.
c. Meningkatkan kualitas jalan yang ada menjadi jalan evakuasi dengan cara
sebagai berikut :
1) Pelebaran jalan;
2) Perbaikan alignment jalan eksisting;
3) Peningkatan kualitas badan jalan;
4) Penambahan jalan-jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas;
5) Efektivitas dan efisiensi kota.
d. Mengintegrasikan/menghubungkan jalan eksisting tersebut dengan rencana
jalur penyelamatan yang merupakan urban sistem lama sehingga menjadi
suatu sistem kota yang terpadu dan dapat memitigasi bencana alam.
DRAFT LAPORAN AKHIR

5-28

Penyusunan Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Kawasan Perbatasan Antar Kabupaten / Kota

2. Penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jalur evakuasi bencana di


Kabupaten Kutai Timur meliputi :
a. Potensi kebencanaan di Kabupaten Kutai Timur antara lain adalah banjir,
longsor, dan gelombang pasang. Jalur-jalur evakuasi ini diintegrasikan dengan
standar pedoman evakuasi bencana yang dikeluarkan oleh Basarnas.
b. Jalur evakuasi bencana di Kabupaten Kutai TImur meliputi jalan setapak yang
menghubungkan antar kampung yang kemudian diintegrasikan dengan jalan
kolektor kabupaten menuju dataran yang aman dan terdekat. Untuk lebih
rincinya, jalur evakuasi bencana ini akan diatur dan direncanakan lebih lanjut di
dalam rencana rinci kawasan.

DRAFT LAPORAN AKHIR

5-29

Anda mungkin juga menyukai