TANJUNG PALAS
TIMUR
3.1. KEPUSTAKAAN
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
Lingkup pengaturan jalan untuk jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupeten, dan
jalan kota dibagi menjadi 2 garis besar yaitu Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan. Persyaratan Teknis Jalan adalah ketentuan teknis yang
harus dipenuhi oleh suatu ruas jalan agar jalan dapat berfungsi secara optimal
memenuhi Standar Pelayanan Minimal Jalan dalam melayani lalu lintas dan angkutan
jalan. Kriteria Perencanaan Teknis Jalan adalah ketentuan teknis jalan yang harus
dipenuhi dalam suatu perencanaan teknis jalan.
yaitu sistem jaringan jalan yang mempunyai peranan pelayanan distribusi barang
dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat
2. Fungsi Jalan
a) Jalan Arteri, adalah jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna
b) Jalan Kolektor adalah jalan yang digunakan untuk melayani angkuatan
pengumpul/pembagi dengan ciri jarak jarak sedang, kecepatan rata – rata sedang
dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c) Jalan Lokal adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan
setempat dengan ciri jarak dekat, kecepatan rendah.
d) Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
3. Kewenangan Jalan
a) Jalan Nasional adalah jalan arteri atau kolektor yang menghubungkan antar
ibukota provinsi dan jalan strategis nasional dan jalan tol.
b) Jalan Provinsi adalah jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten atau kota, antar kabupaten dan jalan strategis provinsi.
c) Jalan Kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak
termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibokota
kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antarpusat kegiatan lokal serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten.
d) Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan 8 ton;
d) Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton;
e) Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton
Kecepatan rencana dibatasi oleh batas paling rendah dan batas paling tinggi sesuai
Kriteria Perencanaan Teknis Jalan. Pemilihan kecepatan rencana diupayakan
mendekati batas paling tinggi dengan mempertimbangkan aspek keselamatan,
ekonomi, dan lingkungan. Batas paling rendah kecepatan rencana dipilih pada
keadaan dimana terdapat kendala topografi dan tataguna lahan atau kendala lain
yang tidak dapat dielakkan. Kecepatan rencana pada satu ruas jalan harus seragam
sepanjang ruas jalan, kecuali pada ruas jalan dengan kecepatan rencana 60 (enam
puluh) km/jam atau lebih terdapat segmen yang sulit untuk memenuhi kecepatan
rencana tersebut, maka kecepatan rencana pada segmen tersebut dapat diturunkan
paling besar 20 (dua puluh) km/jam. Penurunan kecepatan rencana harus seizin
penyelenggara jalan.
1) medan datar;
3) medan gunung.
Berikut ini adalah tabel hubungan kecepatan rencana terkait dengan spesifikasi
penyediaan prasarana jalan:
Untuk medan yang sulit kecepatan rencana jalan dapat diturunkan dengan syarat
penurunan kecepatan rencana tidak boleh lebih dari 20 km/jam.
b. bahu Jalan;
c. median; dan
d. pemisah jalur
Tabel 3.4 . Hubungan syarat lebar badan jalan minimum terhadap prasarana jalan
sistem jaringan jalan primer dan sekunder
- Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas yang dimaksud dapat terdiri dari satu atau lebih lajur jalan. Lebar satu
lajur jalan kecil untuk kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 1,5 (satu koma
lima) meter. Lebar lajur lalu lintas untuk Jalan bebas hambatan dan jalan raya diukur
dari sisi dalam marka membujur garis tepi jalan (garis menerus) atau sumbu marka
garis membujur pembagi lajur (garis terputus-putus) ke sisi dalam marka
membujur garis menerus atau ke sumbu marka membujur garis terputus- putus. Lebar
lajur lalu lintas untuk jalan sedang dan jalan kecil diukur dari sumbu marka membujur
ke sumbu marka membujur.
SYARAT PRASARANA JALAN TERHADAP JALUR LALU LINTAS RENCANA JARINGAN JALAN PRIMER
BERDASARKAN KECEPATAN RENCANA JALAN BEBAS HAMBATAN JALAN RAYA JALAN SEDANG JALAN KECIL
< 80 Km / jam 2x(4x3,5) 2x(3x3,5) 2x(2x3,5) 2x(4x3,5) 2x(3x3,5) 2x(2x3,5) 2x3,5 2x2,75
Tabel 3.5 . Hubungan syarat lebar jalur lalu lintas minimum terhadap prasarana jalan
sistem jaringan jalan primer
SYARAT PRASARANA JALAN TERHADAP JALUR LALU LINTAS RENCANA JARINGAN JALAN SEKUNDER
BERDASARKAN KECEPATAN RENCANA JALAN BEBAS HAMBATAN JALAN RAYA JALAN SEDANG JALAN KECIL
< 80 Km / jam 2x(4x3,5) 2x(3x3,5) 2x(2x3,5) 2x(4x3,5) 2x(3x3,5) 2x(2x3,5) 7,0 5,5
> 80 km/ jam 2x(4x3,6) 2x(3x3,6) 2x(2x3,6) 2x(4x3,6) 2x(3x3,6) 2x(2x3,6)
Tabel 3.6 . Hubungan syarat lebar jalur lalu lintas minimum terhadap prasarana jalan
sistem jaringan jalan sekunder
- Bahu Jalan
Bahu jalan harus diperkeras. Bahu jalan pada jalan bebas hambatan harus diperkeras
seluruhnya dengan perkerasan berpenutup yang berkekuatan 60% (enam puluh
persen) dari kekuatan perkerasan lajur lalu lintas. Bahu jalan pada jalan raya, pada
jalan sedang, dan pada jalan kecil harus diperkeras dengan paling sedikit perkerasan
tanpa penutup dalam hal ini bahu jalan bisa menggunakan agregat. Muka perkerasan
bahu jalan harus rata dengan muka perkerasan lajur lalu lintas dan diberi kemiringan
melintang untuk menyalurkan air hujan yang mengalir melalui permukaan bahu.
SYARAT PRASARANA JALAN TERHADAP LEBAR BAHU JALAN MINIMUM JARINGAN JALAN PRIMER
MEDAN RENCANA JALAN BEBAS HAMBATAN JALAN RAYA JALAN SEDANG JALAN KECIL
DATAR Bahu Luar 3,5 Bahu Dalam 0,5 Bahu Luar 2,0 Bahu Dalam 0,5 1,0 1,0
BUKIT Bahu Luar 2,5 Bahu Dalam 0,5 Bahu Luar 1,5 Bahu Dalam 0,5 1,0 1,0
PEGUNUNGAN Bahu Luar 2,0 Bahu Dalam 0,5 Bahu Luar 1,0 Bahu Dalam 0,5 0,5 0,5
Tabel 3.7 . Hubungan syarat lebar bahu jalan minimum terhadap prasarana jalan
sistem jaringan jalan primer
SYARAT PRASARANA JALAN TERHADAP LEBAR BAHU JALAN MINIMUM JARINGAN JALAN SEKUNDER
Tabel 3.8 . Hubungan syarat lebar bahu jalan minimum terhadap prasarana jalan
sistem jaringan jalan sekunder
- Median
Median digunakan pada jalan raya dan jalan bebas hambatan, berfungsi untuk
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah. Median dibagi menjadi dua jenis:
a. Memisahkan dua
aliran lalu lintas
yang
berlawanan arah
b. Ruang lapak tunggu bagi penyeberang jalan
c. Penempatan fasilitas jalan
d. Tempat parasarana kerja sementara
e. Penghijauan
f. Tempat berhenti darurat
g. Cadangan lajur jika cukup luas
h. Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah berlawanan
- Pemisah jalur
Pemisah jalur digunakan untuk memisahkan arus lalu lintas searah yang berbeda
kecepatan rencananya atau berbeda kecepatan operasionalnya atau berbeda
peruntukan jenis kendaraan yang diizinkan beroperasinya atau berbeda kelas fungsi
jalannya. Pemisah jalur terdiri atas:
Lebar pemisah lajur diukur sesuai dengan jarak antara sisi dalam marka garis tepi.
Lebar jalur pemisah paling kecil ditetapkan:
Kapasitas jalan untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh tingkat pelayanan yang
merupakan rasio antara volume lalu lintas terhadap kapasitas jalan (selanjutnya
disebut RVK) dan ditetapkan sebagai berikut:
a. RVK untuk jalan arteri dan kolektor paling tinggi 0,85 (nol koma delapan lima);dan
b. RVK untuk jalan lokal dan lingkungan ≤ 0,9 (nol koma sembilan).
Kapasitas jalan di indonesia mengacu pada MKJI (Manual Kapasitas Jalan Indonesia)
tahun 1997. MKJI (1997) mendefinisikan kapasitas sebagai arus maksimum yang
melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah
(kombinasi dua arah) , tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisah per arah
dan kapasitas ditentukan per lajur.
Dalam MKJI, kapasitas ruas jalan dibedakan untuk: jalan perkotaan (urban road), jalan
luar kota (inter-urban road), dan jalan bebas hambatan (motorway). Sebagai panduan
untuk membedakan antara jalan perkotaan dan jalan luar kota, buku MKJI
memberikan ciri/karakteristik jalan perkotaan/semi perkotaan yang dapat dilihat dari:
Jalan pada daerah perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa selalu
digolongkan dalam kelompok ini.
Jalan pada daerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000 jiwa digolongkan
dalam kelompok ini, jika mempunya kawasan terbangun secara permanen dan
menerus .
Memiliki karakteristik arus lalu-lintas jam puncak pagi dan sore hari lebih tinggi, dan
komposisi lalu-lintas sepeda motor dan kendaraan pribadi yang sangat dominan,
sementara komposisi jenis kendaraan truk adalah rendah.
Persamaan dasar untuk menghitung kapasitas ruas jalan dalam MKJI (1997) adalah
sebagai berikut:
Jalan Perkotaan:
C = Co x FCw x FCSP
Tipe alinyemen untuk jalan luar kota dan jalan bebas hambatan ditentukan dengan
mengacu pada kriteria yang disajikan pada tabel berikut;
Faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu-lintas (FCw) ditetapkan dengan
mengacu pada berikut;
Tabel 3.11 . Tabel faktor penentuan kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas MKJI.
Tabel 3.12 . Tabel faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah MKJI
Tabel 3.13 . Faktor bobot hambatan samping dan penentuan kelas hambatan samping MKJI
Tabel 3.14 . Faktor penyesuaian kapasitas kaibat hambatan samping dan faktor penyesuaian
terhadap hambatan samping untuk jalan luar kota MKJI
dimana:
FC 6,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping jalan 6 (enam) lajur
FC 4,SF = faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping jalan 4 (empat) lajur
Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCCS) khusus untuk jalan perkotaan,
ditetapkan dengan mengacu pada tabel berikut;
Persimpangan sebidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e dapat
merupakan pertemuan dua ruas jalan atau lebih dengan hirarki fungsi yang sama atau
berbeda satu tingkat.
Pembatasan jarak antarpersimpangan pada jalan arteri primer hanya berlaku pada
jalan baru. Untuk mempertahankan kecepatan operasional dan keseimbangan
kapasitas pada ruas jalan dan pada persimpangan, baik pada persimpangan jalan arteri
dengan jalan arteri maupun pada jalan arteri dengan jalan kolektor, jumlah lajur jalan
pada pendekat persimpangan dapat ditambah dan persimpangan diatur dengan alat
pengatur lalu lintas yang memadai. Lebar lajur pendekat persimpangan dapat
diperkecil paling sedikit 2,75 (dua koma tujuh lima) meter. Pengaturan lalu lintas
dapat berupa pengaturan prioritas, atau pengaturan dengan bundaran, atau
pengaturan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.
Fasilitas berputar balik harus dilengkapi dengan:
a. lajur perlambatan pada lajur pendekat masuk;
b. radius putar yang memadai untuk semua jenis kendaraan sesuai dengan kelas
penggunaan jalan; dan
a. fungsi jalan
b. kalsifikasi jalan
c. lebar median
d. lebar jalur lalu lintas
e. lebar bahu jalan
f. volume lalu lintas per lajur
g. jumlah kendaraan berputar balik per menit.
Putaran balik dijinkan pada lokasi yang memiliki lebar jalan yang cukup untuk
kendaraan melakukan putaran tanpa adanya pelanggaran ataupun kerusakan pada
bagian perkerasan.
Puran balik seharusnya tidak dijinkan pada lalu lintas menerus karena dapat
menimbulkan dampak pada operasi lalu lintas, antara lain berkurangnya kecepatan
dan kemungkinan terjadi kecelakaan.
Tabel 3.19 . Lebar median ideal apabila gerakanberputar balik dari lajur dalam menuju
lajur kedua jalur lawan
Tabel 3.20 . Lebar median ideal apabila gerakanberputar balik dari lajur dalam menuju
bahu kedua jalur lawan
Tabel 3.21 . Lebar median ideal apabila gerakanberputar balik dari lajur dalam menuju
lajur ke satu jalur lawan dengan penambahan lajur khusus
Tabel 3.22 . Lebar median ideal apabila gerakanberputar balik dari lajur dalam menuju
lajur kedua jalur lawan dengan penambahan lajur khusus
Tabel 3.23 . Lebar median ideal apabila gerakanberputar balik dari lajur dalam menuju
lajur ketiga jalur lawan dengan penambahan lajur khusus
Putaran balik dapat direncanakan pada ruas jalan dengan median yang memiliki
lebar kurang dari kebutuhan lebar median, dengan melakukan perluasan maupun
pelebaran pada lokasi putar balik.
Panjang lajur khusus putaran balik (L) adalah 60 meter. Apabila diketahui frekuensi
kendaraan yang melakukan gerakan putaran balik lebih dari 3 kendaraan/ menit,
maka L ditentukan dengan rumus:
L=(Qax Panjang kendaraan rencana) + (Qax1)
Dimana Qa adalah panjang antrian (kendaraan) yang didapt dari rumus berikut:
4 lajur 2 arah terbagi (4/2D)
Panjang antrian (Qa) = -1.29706+0.09778 waktu tunggu + 0,00214 vol a1
6 lajur 2 arah terbagi (6/2D)
Panjang antrian (Qa) = -1.50958+0,069203 median+0,008853 waktu tunggu
+0,001913 vol a1
Keterangan :
Vol a1 = volume lajur paling dalam pada jalur searah dengan kendaraan yang akan
memutar.
Kebtutuhan lahan harus disiapkan pada lokasi putaran balik sesuai dengan jenis
putaran balik yang dipilih sesuai dengan yang dipilih disajikan pada tabel berikut
ini.
7. Lansekap
Penataan lansekap pada lokasi putaran balik tidak diperkenankan ditanami
tanaman yang menghalangi pandangan. Sebaiknya digunakan tanaman rendah
berbentuk tanaman perdu dengan ketinggian < 0,8 m, dan jenisnya merupakan
tanaman berbunga atau berstruktur indah.
vertikal jembatan kebawah paling rendah 1 (satu) meter dari bagian terbawah
bangunan jembatan. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja) untuk jembatan di hulu
dan dihilir paling sedikit 100 (seratus) meter atau ditentukan berdasarkan sifat dan
morfologi sungai (5 kelokan). Ruang bebas vertikal dan horizontal di bawah
jembatan untuk lalu lintas navigasi disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan. Pada saat pengoperasian jalan, kendaraan dilarang berhenti di atas
jembatan. Permukaan jalan pendekat dan lantai jembatan harus direncanakan dan
dipelihara sedemikian sehingga tidak menyebabkan ketidak-rataan.
Keterangan Gambar :
a. Bangunan Atas
b. Landasan (Biasanya terletak pada pilar / abutment)
c. Bangunan Bawah (fungsinya : memikul beban – beban pada bangunan atas dan
pada bangunan bawahnya sendiri untuk disalurkan ke pondasi, kemudian dari
pondasi disalurkan ke tanah)
d. Pondasi
e. Oprit (terletak dibelakang abutmen, oleh karena itu tanah timbunan di
belakang abutment dibuat sepadat mungkin agar tidak terjadi penurunan
tanah dibelakang hari)
secara umun bentuk dan bagian-bagian suatu struktur jembatan dapat dibagi
dalam empat bagian utama, yaitu : struktur bawah, struktur atas, jalan pendekat,
bangunan pengaman.
B. Klasifikasi Jembatan
Karena sangat pentingnya, maka jembatan harus dibuat cukup kuat dan
tahan, tidak mudah rusak. Kerusakan pada jembatan dapat
menimbulkan gangguan terhadap kelancaran lalu lintas jalan, terlebih di
jalan yang lalu lintasnya padat seperti di jalan utama, di kota dan daerah
ramai lainnya.
2. Lintas Atas
Dalam hal bahu jalan tidak diadakan, maka harus disediakan lajur tepian di kiri
dan kanan jalur lalu lintas paling sedikit 0,5 (nol koma lima) meter. Di kedua sisi
badan jalan lintas atas, harus disediakan trotoar untuk pejalan kaki dalam
keadaan darurat dan untuk akses bagi petugas pemeliharaan dengan lebar paling
kecil 0,5 (nol koma lima) meter. Lebar badan jalan lintas atas paling sedikit 8
meter. Tinggi ruang bebas vertikal lintas atas paling rendah 5,1 (nol koma lima
satu) meter dari permukaan perkerasan jalan.
3. Lintas bawah
a. sistem drainase;
b. tempat pemasangan utilitas;
c. sistem penerangan jalan umum; dan d. fasilitas untuk keadaan darurat.
Fasilitas untuk keadaan darurat wajib diadakan pada lintas bawah dengan panjang
paling sedikit 500 (lima ratus) meter. Fasilitas untuk keadaan darurat mencakup:
Dalam hal bahu jalan tidak diadakan, maka harus disediakan lajur tepian di kanan
kiri jalur lalu lintas paling sedikit 0,5 (nol koma lima) meter. Lebar trotoar paling
kecil yang harus disediakan di kedua sisi badan jalan untuk pejalan kaki dalam
keadaan darurat dan untuk akses bagi petugas pemeliharaan adalah 0,5 (nol koma
lima) meter. Lebar badan jalan lintas bawah paling sedikit 8 (delapan)
meter.Tinggi ruang bebas vertikal lintas bawah paling rendah 5,1 (lima koma satu)
meter dari permukaan perkerasan jalan.
4. Jalan layang
a. sistem drainase;
d. tempat pemasangan utilitas;
b. sistem penerangan jalan umum; dan
c. fasilitas untuk keadaan darurat.
Fasilitas untuk keadaan darurat wajib diadakan pada lintas bawah dengan panjang
paling sedikit 500 (lima ratus) meter. Fasilitas untuk keadaan darurat mencakup:
Dalam hal bahu jalan tidak diadakan, maka harus disediakan lajur tepian di kanan
kiri jalur lalu lintas paling sedikit 0,5 (nol koma lima) meter. Lebar trotoar paling
kecil yang harus disediakan di kedua sisi badan jalan untuk pejalan kaki dalam
keadaan darurat dan untuk akses bagi petugas pemeliharaan adalah 0,5 (nol koma
lima) meter. Lebar badan jalan lintas bawah paling sedikit 8 (delapan) meter.
Tinggi ruang bebas vertikal lintas bawah paling rendah 5,1 (lima koma satu) meter
dari permukaan perkerasan jalan.
5. Terowongan
a. sistem drainase;
b. tempat pemasangan utilitas;
c. sistem aliran udara buatan;
d. sistem penerangan jalan umum; dan
e. fasilitas untuk keadaan darurat.
Gambar 3.18. Saluran bentuk V untuk meminimalisir luka fatal akibat kecelakaan
2. Gorong-gorong
Gorong-gorong merupakan saluran air di bawah permukaan jalan berfungsi
mengalirkan air dengan cara memotong badan jalan secara melintang. Gorong-
gorong harus dibangun dengan konstruksi yang awet dan harus direncanakan
untuk melayani paling sedikit 20 (dua puluh) tahun, serta mudah dipelihara
secara rutin. Konstruksi kepala gorong-gorong harus berbentuk sedemikian
sehingga tidak menjadi objek penyebab kecelakaan. Gorong-gorong harus mampu
mengalirkan debit air paling besar, sesuai dengan luas daerah tangkapan air
hujan:
a. Untuk tangkapan air hujan pada ruang milik jalan (Rumija), periode hujan
rencana yang diperhitungkan untuk dialirkan melalui gorong-gorong adalah:
1) paling sedikit 10 (sepuluh) tahunan untuk jalan arteri dan kolektor; dan
2) paling sedikit 5 (lima) tahunan untuk jalan lokal dan lingkungan.
b. Untuk air yang dialirkan melalui drainase lingkungan/saluran alam, maka
periode ulang hujan rencana yang diperhitungkan adalah 25 (dua puluh lima)
tahunan.
3.1.1.6.3. Bangunan pelengkap jalan sebagai fasilitas lalu lintas dan fasilitas pendukung
pengguna jalan meliputi:
a. jembatan penyeberangan pejalan kaki;
3. Pulau jalan
Pulau lalu lintas adalah bagian jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan, dapat
berupa marka jalan atau bagian jalan yang ditinggikan. Pulau lalu lintas berfungsi
untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas pada ruas jalan ataupun di
persimpangan jalan melalui pemisahan arus.
Termasuk dalam pengertian pulau adalah:
a. kanalisasi arus pada persimpangan untuk memisahkan arus lalu lintas dalam
rangka pengendalian konflik yang terjadi di persimpangan;
b. pulau pemisah jalan pada tempat penyeberangan pejalan kaki/pelican crossing;
c. median jalan;
d. bundaran lalu lintas;
e. marka chevron di persimpangan
Pulau jalan harus dibangun dengan konstruksi yang awet dan mudah
dipelihara. Sisi luar bangunan pulau jalan diharuskan menggunakan kerb. Bagian
dari pulau jalan terdiri atas marka garis, marka chevron, lajur tepian, dan bangunan
yang ditinggikan. Pulau jalan dapat dimanfaatkan untuk ruang hijau dan fasilitas
lainnya yang mempunyai nilai estetika sepanjang tidak mengganggu fungsi Jalan.
4. Trotoar
Trotoar merupakan bangunan yang ditinggikan sepanjang tepi jalan yang
diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. Trotoar harus dirancang dengan
memperhatikan :
a. aksesibilitas bagi penyandang cacat;
b. adanya kebutuhan untuk pejalan kaki; dan c. unsur estetika yang memadai.
Trotoar harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dalam
pemeliharaan. Bagian atas trotoar harus lebih tinggi dari jalur lalu lintas. Bagian sisi
dalam trotoar harus diberi kerb. Trotoar ditempatkan dalam Ruang Manfaat Jalan
(Rumaja) atau dalam Ruang Milik Jalan (Rumija), tergantung dari ruang yang
5. Tempat Parkir
Parkir merupakan tempat menempatkan dengan memberhentikan kendaraan
angkutan / barang (bermotor maupun tidak bermotor) pada suatu tempat dalam
jangka waktu tertentu (Taju,1996). Tempat dimana kendaraan diparkirkan
dinamakan fasilitas parkir. Penyediaan fasilitas yang baik tidak akan menimbulkan
konflik di ruas jalan sekitarnya. Permasalahan parkir pada dasarnya terjadi apabila
jumlah kebutuhan parkir lebih besar dari pada kapasitas parkir yang ada. Sehingga
kendaraan yang tidak tertampung pada tempat parkir akan mengganggu
kelancaran arus lalu lintas pada ruas jalan di sekitarnya dalam menentukan Satuan
Ruang Parkir. Sehingga untuk menentukan SRP didasarkan atas pertimbangan :
a. Dimensi kendaraan standar
b. Ruang bebas kendaraan parkir
Ruang bebas kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan longitudinal
kendaraan. Ruang bebas arah lateral ditetapkan pada saat posisi pintu
kendaraan dibuka, yang diukur dari ujung paling luar pintu kebadan kendaraan
parkir yang ada di sampingnya. Ruang bebas ini diberikan agar tidak terjadi
6. Teluk bus
Teluk Bus yang dilengkapi halte merupakan bangunan di sisi jalan berbentuk teluk
yang dilengkapi tempat berteduh, diluar jalur lalu lintas, diperuntukkan bagi bus
untuk berhenti sementara menurunkan dan menaikan penumpang, dan menunggu
calon penumpang bus. Ruas Jalan yang dilewati trayek angkutan umum dapat
dilengkapi teluk bus yang dilengkapi halte. Jarak antara teluk bus yang dilengkapi
halte, disepanjang koridor jalan yang potensi penggunaannya cukup banyak, paling
dekat 500 (lima ratus) meter. Fasilitas trotoar yang melintas teluk bus yang
dilengkapi halte, harus tetap ada dan menerus. Perkerasan jalan di dalam teluk bus
harus lebih kuat 1,5 (satu koma lima) kali dari perkerasan pada jalur lalu lintas.
e. pagar pengaman;
f. patok kilometer dan patok hektometer;
g. patok rumija;
h. pagar jalan;
i. peredam silau; dan
j. tempat istirahat.
1. Patok Pengarah
Patok pengarah berfungsi untuk memberi petunjuk arah yang aman dan batas jalur
jalan yang bisa digunakan sebagai pelayanan bagi lalu lintas. Patok pengarah
dipasang pada sisi luar badan jalan. Patok pengarah yang terbuat dari logam yang
jika tertabrak oleh kendaraan yang hilang kendali tidak membahayakan kendaraan
tersebut. Patok pengarah pada bagian ujungnya harus dilengkapi dengan bahan
bersifat reflektif.
2. Pagar Pengaman
Pagar pengaman berfungsi untuk melindungi daerah atau bagian jalan yang
membahayakan bagi lalu lintas, digunakan pada daerah seperti adanya:
a. jurang atau lereng dengan kedalaman lebih dari 5 (lima) meter;
b. tikungan pada bagian luar jalan dengan radius tikungan lebih dari 30 (tiga puluh)
meter; dan
c. bangunan pelengkap jalan tertentu.
enam) meter, di sepanjang koridor jalan pada setiap jarak 1 (satu) kilometer. Patok
kilometer secara fisik bisa berupa kolom beton atau papan rambu. Patok kilometer
dilengkapi warna dasar dan tulisan yang bisa terbaca dengan jelas. Diantara patok
kilometer harus dipasang patok hektometer yang berjarak setiap 100 (seratus)
meter.
Patok Rumija adalah patok pembatas antara lahan milik Jalan yang dikuasai
penyelenggara jalan atas nama negara dengan lahan di luar Rumija. Patok Rumija
dipasang dikedua sisi Jalan sepanjang koridor jalan, setiap jarak 50 (lima puluh)
meter. Patok Rumija secara fisik bisa berupa patok beton atau patok besi, diberi
warna dasar dan tulisan mengenai status Rumija yang bisa dibaca dengan jelas.
5. Pagar jalan
Pagar jalan berfungsi untuk melindungi bangunan atau daerah tertentu seperti:
a. bangunan pelengkap jalan,
b. jalur pejalan kaki,
c. daerah tertentu yang bisa membahayakan lalu lintas; dan d. rumija untuk jalan
bebas hambatan/Tol.
Pagar jalan dipasang sesuai dengan kebutuhan dan harus seijin penyelenggara
jalan.
7. Tempat istirahat
Tempat istirahat merupakan fasilitas yang disediakan untuk pengguna jalan arteri
primer. Tempat istirahat harus diadakan pada jalan arteri apabila dalam 25 (dua
puluh lima) kilometer tidak terdapat tempat perhentian atau permukiman atau
tempat umum yang lain yang dapat dipakai istirahat. Tempat istirahat paling sedikit
dilengkapi dengan jalan masuk dan jalan keluar ke jalan arteri, fasilitas tempat
parkir yang memadai untuk semua jenis kendaraan, dan fasilitas umum. Tempat
istirahat harus berada di luar Rumaja.
B. Perlengkapan jalan tidak wajib adalah lampu penerangan jalan umum, kecuali menjadi
wajib pada tempat sebagai berikut:
a. persimpangan;
b. tempat yang banyak pejalan kaki;
c. tempat parkir; dan
d. daerah dengan jarak pandang yang terbatas.
Tiang penerangan Jalan Umum dipasang di sisi luar badan Jalan dan/atau pada bagian
tengah median jalan. Ketentuan teknis perlengkapan jalan yang berkaitan
langsung dengan pengguna jalan baik wajib maupun tidak wajib berpedoman pada
ketentuan teknis yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintah dibidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Dasar perencanaan penerangan jalan
Perencanaan penerangan jalan terkait dengan hal-hal berikut ini :
sekitarnya;
h) Data kecelakaan dan kerawanan di lokasi.
Tabel 3.27 . Jenis lampu penerangan jalan menurut karakteristik dan penggunaanya
Jalan yang final untuk alternatif alinemen terpilih hasil kajian kelayakan
jalan;
2) perencanaan teknis rinci (Detail Engineering Design);
3) audit keselamatan jalan (AKJ); dan
4) perencanaan teknis akhir.
Setiap perencanaan teknis jalan baik yang dilakukan perorangan maupun oleh Badan
Hukum termasuk Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
harus mengacu kepada persyaratan teknis.
3.1.2.1. Fungsi jalan terdiri atas:
a. jalan arteri;
b. jalan kolektor;
c. jalan lokal;
d. jalan lingkungan.
3.1.2.2. Kelas jalan dibagi atas:
Rumaja merupakan bagian jalan yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan untuk
drainase permukaan, talud timbunan atau talud galian dan ambang pengaman jalan
yang dibatasi oleh tinggi dan kedalaman tertentu dari muka perkerasan. Rumaja
diperuntukan bagi perkerasan jalan, median, jalur pemisah jalan, bahu jalan,
trotoar, saluran tepi dan gorong-gorong, lereng tepi badan Jalan, bangunan
pelengkap jalan, dan perlengkapan jalan, yang tidak boleh dimanfaatkan untuk
prasarana perkotaan atau keperluan utilitas atau yang lainnya tanpa izin tertulis dari
B. Rumija
Rumija merupakan ruang sepanjang jalan, dibatasi oleh lebar yang ditetapkan oleh
penyelenggara jalan dan menjadi milik negara. Rumija harus memiliki lebar minimal
sesuai kelas penyediaan prasarana sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri ini, dikuasai oleh penyelenggara jalan dengan suatu hak tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, diberi tanda patok Rumija sebagai batas yang
ditetapkan oleh penyelenggara jalan. Rumija harus memiliki lebar paling sedikit sesuai
ketentuan Permen pu no 19/PRT/M/2011. Rumijaselain digunakan untuk ruang
manfaat jalan, bisa dimanfaatkan untuk;
a. pelebaran jalan atau penambahan lajur lalu lintas di masa yang akan datang;
b. kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan;
c. ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan;
d. kebutuhan ruang untuk penempatan utilitas.
C. Ruwasja
Ruwasja merupakan ruang tertentu di luar Rumija, dibatasi oleh lebar dan tinggi
tertentu, penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Ruwasja
diperuntukkan bagi pemenuhan pandangan bebas pengemudi, ruang bebas bagi
kendaraan yang mengalami hilang kendali, dan pengamanan konstruksi jalan serta
pengamanan fungsi jalan. Ruwasja pada daerah bagian jalan yang menikung
ditentukan oleh lebar daerah kebebasan samping jalan. Ruwasja, pada Jalan yang
melalui terowongan dan lintas bawah harus memiliki lebar yang disesuaikan dengan
kebutuhan pengamanan konstruksi. Lebar Ruwasja ditentukan dari sisi luar Rumija
dengan lebar paling sedikit sesuai ketentuan dalam Permen pu no 19/PRT/M/2011.
Dalam hal lebar Rumija terbatas, lebar Ruwasja dapat ditentukan dari tepi luar badan
jalan paling sedikit dengan ukuran sesuai ketentuan dalam Permen pu no
19/PRT/M/2011.
Dimensi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d Untuk setiap
perencanaan teknis jalan harus ditetapkan sesuai dengan kelas jalan. Dimensi jalan
terdiri dari badan jalan yang didalamnya memuat jalur lalu- lintas, bahu jalan, median,
dan jalur pemisah (jika diperlukan).
Dimensi jalan ditetapkan berdasarkan:
a. lalu lintas harian rata-rata tahunan yang direncanakan; dan
b. kelas jalan.
Lebar badan jalan ditetapkan sesuai dengan kebutuhan, dengan lebar paling kecil
serta konfigurasinya diatur dalam BAB II tentang Persyaratan Teknis Jalan.
a) volume lalu lintas harian rata-rata tahunan rencana yang dihitung berdasarkan
lalu lintas harian rata-rata saat ini yang diproyeksikan ke masa yang akan datang
sesuai dengan usia rencana dan faktor pertumbuhan lalu lintas; dan
b) volume lalu lintas jam perencanaan yang dihitung berdasarkan volume lalu lintas
harian rata-rata tahunan rencana dikalikan dengan faktor jam sibuk (faktor K).
Faktor K dan faktor pertumbuhan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh penyelenggara jalan berdasarkan kondisi pertumbuhan lalu lintas.
Volume lalu lintas rencana untuk perencanaan perkerasan jalan meliputi:
a) jumlah Kumulatif lalu lintas kendaraan yang dalam satuan lintasan ekuivalen
sumbu as tunggal 8,16 ton (18Kip Single Axle Load) yang diperkirakan akan
menggunakan Jalan tersebut selama usia perencanaannya;
b) jumlah Kumulatif lalu lintas kendaraan dinyatakan dalam jumlah kumulatif satuan
perusakan perkerasan oleh berat beban kendaraan yang melalui Jalan tersebut;
c) satuan perusakan perkerasan oleh kendaraan (vehicle damaging factor) ditetapkan
berdasarkan kondisi lalu lintas aktual yang diukur langsung dan dinyatakan dalam
satuan lintasan ekuivalen sumbu as tunggal 8,16 ton (18Kip Single Axle Load); dan
d) jika vehicle damaging factor tidak ditetapkan berdasarkan lalu lintas aktual, satuan
perusakan perkerasan oleh berat beban kendaraan ditetapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan disetujui oleh penyelenggara jalan.
Kapasitas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 adalah kemampuan Jalan
untuk melayani lalu lintas selama usia pelayanan dengan tingkat pelayanan yang
tidak melampaui batas RVK pada akhir usia pelayanannya.
C. Kapasitas Jalan
Pada saat RVK suatu ruas jalan sudah mencapai batas tingkat pelayanan sampai
dengan 100 (seratus) jam dalam setahun (1,14% (satu koma empat belas persen) dari
waktu pelayanan) atau rata-rata 16 (enam belas) menit dalam satu hari, maka
kapasitas ruas jalan tersebut harus ditingkatkan. Usia rencana tingkat pelayanan
ditentukan:
a) paling sedikit 10 (sepuluh) tahun untuk jalan arteri dan kolektor;
b) paling sedikit 5 (lima) tahun untuk Jalan lokal dan jalan lingkungan.
Persyaratan Geometrik jalan untuk setiap perencanaan Jalan harus mengikuti kaidah
geometrik Jalan yang berazaskan keselamatan lalu lintas. Elemen perencanaan
geometrik jalan yang meliputi alinemen horizontal, alinemen vertikal, dan potongan
melintang jalan diatur sesuai ketentuan yang tercantum dalam Permen pu no
19/PRT/M/2011. Pengecualian ketentuan elemen perencanaan geometrik jalan dapat
dilakukan dengan membuktikan bahwa pengecualian tersebut mampu memberikan
keselamatan bagi pengguna jalan dan atas persetujuan dari penyelenggara jalan.
Ada beberapa beberapa kriteria geometrik jalan raya yang harus dipenuhi antara lain:
1. Volume kendaraan rencana
2. Kecepatan rencana
3. Jari jari minimum
4. Tipe tikungan
5. Superelevasi pada tikungan
6. Kelandaian maksimum
7. Jarak pandang
8. Panjang bagian lurus maksimum
9. Pelebaran pada tikungan
Ruang bebas adalah ruang yang dikosongkan dari segala bentuk bangunan atau
penghalang atau bentuk muka tanah yang dapat mencederai berat pengguna jalan
atau memperparah luka akibat kecelakaan kendaraan yang keluar dari badan jalan.
Ruang bebas diukur mulai dari batas terluar badan jalan sampai dengan batas luar
Ruwasja. Penyelenggara jalan harus mengusahakan tersedianya ruang bebas.
Tata cara berlalu lintas berlaku untuk setiap jenis persimpangan. Misalnya,
kendaraan yang memasuki sebuah persimpangan harus memberi jalan pada
kendaraan dari arah kiri. Kendaraan yang berbelok ke kiri memiliki prioritas
dibandingkan kendaraan yang berbelok ke kanan. Tata cara berlalu lintas yang
dipahami dengan baik oleh semua pengguna jalan sangat penting bagi terciptanya
sebuah sistem lalu lintas yang berkeselamatan dan efisien. Tata-cara berlalu lintas
harus ditegakkan Polisi berperan vital di sini. Ahli teknik perlu memberi
kesempatan kepada Polisi untuk dapat menegakkan aturan secara efisien dengan
membangun persimpangan dan memasang rambu yang sesuai dengan praktek
yang benar dan tata-cara berlalu litas yang berlaku. Kanalisasi digunakan untuk
memperbaiki tata letak persimpangan dan membuat pergerakan lalu lintas lebih
teratur. Misalnya, dengan memasang pulau pemisah pada pendekat jalan minor
akan tercipta ruang untuk memasang duplikat rambu ”larangan berjalan terus
(Berhenti atau Beri Jalan)”. Ini membantu memperingatkan
pengemudi/pengendara di jalan minor. Variasi persimpangan sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain :
- Kecepatan kendaraan yang menghampiri.
- Jumlah kaki persimpangan.
- Sudut antar kaki persimpangan.
- Jarak pandang kendaraan yang menghampiri.
- Alinyemen.
- Jumlah lajur tambahan.
- Kanalisasi.
- Radius putar.
- Lampu penerangan.
- Lebar lajur dan bahu jalan.
- Jenis kendali persimpangan.
sepanjang jalur jalan dari kendaraan yang menghampiri hingga titik konflik,
diukur dari ketinggian 1,05 m ke ketinggian 1,05m (dari ketinggian mata
pengemudi yang satu keketinggian mata pengemudi lain). JPBP menyediakan
suatu jarak yang cukup bagi pengemudi di jalan utama, untuk melihat
kendaraan di jalan yang lebih kecil yang sedang melaju menuju titik tabrakan
(bahkan mungkin berhenti di tengah persimpangan), dan untuk mengurangi
kecepatannya hingga berhenti sebelum mencapai titik tabrakan. Pengemudi
di jalan minor diasumsikan berhenti 5 m di belakang garis henti (atau di ujung
jalan). JPBP memberikan jarak pandang yang cukup bagi sebuah kendaraan dari
jalan yang lebih kecil untuk melintasi jalan utama dengan selamat. Jika jalan
utama terdiri dari dua jalur, JPBP memungkinkan pengemudi untuk melakukan
penyeberangan dua tahap. Perlu diperhatikan agar peletakkan struktur atau
rambu di persimpangan, tidak mengganggu JPP dan JPBP.
Titik konflik adalah titik pada persimpangan dimana ruang jalan dibutuhkan
secara bersamaan oleh kendaraan dari kaki persimpangan yang berbeda.
Semakin banyak titik konflik di sebuah persimpangan, semakin besar risiko
terjadi tabrakan. Ada empat jenis manuver utama di persimpangan yang
menimbulkan konflik :
- Diverging-berpencar–kendaraan di belakangnya dipaksa untuk mengurangi
kecepatan
- Merging-Bergabung
- Crossing-Berpotongan
- Weaving-Merangkai
Meminimalkan jumlah titik konflik merupakan prasyarat utama bagi
persimpangan yang berkeselamatan. Diagram berikut ini menunjukkan bahwa
sebuah simpang empat memiliki 32 titik konflik.
berbeda- beda. Kebanyakan ahli teknik mengerti ancaman serius dalam kasus
tabrak depan, namun sedikit yang menyadari kecepatan tabrakan yang tinggi
juga muncul dalam kasus tabrak samping. Fakta ini penting untuk diingat –
tabrakan di persimpangan cenderung menimbulkan akibat yang parah karena
persimpangan merupakan lokasi dari banyak kasus tabrak samping.
Saat tabrakan terjadi pada kecepatan tinggi (seperti dijalan atar kota), tingkat
keparahan sangat tinggi dan umumnya menyebabkan kematian. Melintasi
persimpangan harus dilakukan pada atau mendekati sudut 90 derajat agar
kesalahan perkiraan pengemudi dapat diminimalkan. Namun, hal ini dapat
menghasilkan dampak kecepatan yang relatif tinggi. Oleh karena itu, penting
untuk mengurangi kecepatan pendekat. Memang tidak mudah, namun dapat
dilakukan dengan mengubah alinyemen di pendekat persimpangan, dengan
kanalisasi (termasuk bundaran), atau dengan memasang rambu atau APILL.
Konflik lain–manuver beruntun, bergabung, dan berpencar–harus dirancang
untuk kecepatan relatif yang rendah. Jika kecepatan relatif dapat dikendalikan,
pengemudiakan memperoleh celah antara kendaraan. Cara ini dapat
meningkatkan kapasitas, mengurangi tundaan, dan yang paling penting
meningkatkan keselamatan. Semua itu adalah sasaran yang diharapkan.
Diagram berikut menunjukkan kecepatan tabrakan relatif untuk berbagai
kecepatan perjalanan di berbagai jenis persimpangan. Diagram ini
menggambarkan tiga hal penting :
- Tabrakan samping berdampak parah
- Persimpangan Y berisiko sangat tinggi
- Bundaran lebih berkeselamatan
Akhirnya, kita harus memastikan bahwa marka konsisten dan jelas, dan bentuk
kendali persimpangan mudah terlihat.
i. Memberikan petunjuk yang jelas tentang prioritas pergerakan
Secara umum kebutuhan akan kendali lalu lintas di persimpangan meningkat
seiring peningkatan arus lalu lintas. Secara khusus, kebutuhan meningkat bila
rasio arus pada jalan utama dan arus pada jalan kecil juga meningkat.
Keselamatan di persimpangan akan maksimal jika setiap pengemudi
mengetahui dan mematuhi tata-cara berlalu lintas yang berlaku. Di bundaran,
setiap pengemudi mengetahui bahwa mereka harus memberi jalan pada lalu
lintas yang sudah berada di dalam bundaran, sebelum mereka masuk ke
bundaran. Selanjutnya mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar
melalui bundaran. Situasi ini dapat terwujud bila seluruh pengemudi
berpendidikan dan patuh, adanya penegakkan hukum oleh Polisi, dan ahli
teknik yang membangun dan menyediakan kendali lalu lintas yang sesuai
dengan tata-cara berlalu lintas di Indonesia. Keselamatan jalan merupakan
bidang yang membutuhkan kerja sama erat di antara beberapa lembaga
pemerintah bila ingin efektif.
- Gunakan tiang PJU yang ‘memaafkan’. Tiang PJU berbahaya dan harus
diletakkan di luar zona bebas, atau didesain untuk ‘memaafkan’. Secara
detail,tiang PJU yang ‘memaafkan’ .
- Meminimalkan pemasangan objek tetap di wilayah persimpangan.
Misalnya, pindahkan patok beton yang umumnya dipasang untuk
“melindungi” APILL tertabrak oleh kendaraan. Pengemudi sepeda
motor yang lepas kendali akan memiliki resiko keparahan tinggi bila
menabrak objek tersebut.
k. Memfasilitasi seluruh pergerakan kendaraan dan non-kendaraan
Banyak persimpangan yang tumbuh menjadi pusat kegiatan–orang-orang
berkerumun di sana untuk menunggu bis, taksi, becak, atau ojek. Ketika hal ini
terjadi, orang yang melihat peluang bisnis mulai memasang kios dan menjual
makanan atau barangbarang lainnya. Tak lama kemudian, jalur pejalan kaki
akan penuh sesak oleh pedagang liar dan pejalan kaki.
Bus berhenti dimanapun mereka dapat berhenti, terkadang menciptakan
kemacetan lalu lintas yang parah dan cenderung mengakibatkan risiko serius
Tabrak belakang.Persimpangan yang semula didesain cukup lebar, dengan
cepat akan menjadi sangat padat dan tidak teratur. Hal tersebut perlu
dipikirkan dalam perencanaan. Pendudukan ruang secara liar di persimpangan
tidak boleh dibiarkan dan pemerintah daerah/kota harus terus Hal tersebut
perlu dipikirkan dalam perencanaan. Pendudukan ruang secara liar di
persimpangan tidak boleh dibiarkan dan pemerintah daerah/kota harus terus
berupaya menjaga agar persimpangan terbebas dari pendudukan secara liar.
Ahli teknik dapat berperan dalam mencegah hal tersebut.Buatlah desain
rencana halte di lokasi yang agak jauh dari persimpangan untuk
mengakomodasi penumpang yang naik/turun. Buatlah lajur khusus (lay by)
untuk bus menaikkan/menurunkan penumpang. Buatlah trotoar yang cukup
lebar dan sediakan ruang untuk mengakomodasi warung dan gerobak tanpa
harusmengokupansi trotoar sehingga memaksa pejalan kaki berjalan di badan
jalan.
Jangan meletakkan pot beton di tengah trotoar– jagalah agar jalur pejalan kaki
cukup lebar, rata dan tanpa halangan. Turunkan tinggi kerb pada setiap titik
penyeberangan pejalan kaki. Berikan bukaan kecil pada median untuk
menunjukkan arah yang jelas bagi pejalan kaki. Pastikan bahwa ada jalur bebas
yang menerus di seluruh persimpangan.
l. Mengurangi beban pengemudi
Buatlah persimpangan sesederhana mungkin. Biarkan seluruh kaki simpang
terbuka, pastikan bahwa terdapat marka garis yang membantu pengemudi
berkendara pada lintasannya, dan pastikan bahwa rambu serta pengendali lalu
lintas terpasang dengan benar dan terlihat jelas.
m. Minimalkan tundaan
Perlu diupayakan untuk meminimalkan tundaan pengguna jalan. Jika
pengemudi merasa bahwa tundaanyang dialami mereka tidak terlalu besar,
sangat kecil kemungkinannya mereka melanggar lampu lalu
lintas. Untuk meminimalkan tundaan, perlu dipelajari dengan seksama volume
lalu lintas di masing-masing pendekat. Hitung besarnya tundaan dengan
menggunakan berbagai alternatif pengaturan simpang. Beberapa
persimpangan membutuhkan lajur tambahan jika dipasang APILL, untuk
menampung kendaraan pada saat lampu merah.
3. Bahaya Persimpangan Y
Indonesia memiliki banyak tipe persimpangan Y. Simpang Y adalah bentuk
persimpangan sangat sederhana yang muncul saat volume lalu lintas jauh lebih
kecil dibandingkan volume pada saat ini. Seiring dengan peningkatan volume,
persimpangan Y menjadi lokasi berisiko tinggi karena tidak memenuhi prinsip
dasar persimpangan yang berkeselamatan :
- Simpang Y memiliki ruang konflik yang luas
- Simpang Y memiliki kecepatan tabrakan relatif yang besar
- Simpang Y tidak memiliki prioritas yang jelas
Karena alasan diatas, seharusnya persimpangan Y tidak dibangun lagi.
Persimpangan Y yang sudah ada harus diinspeksi dan perlu disusun program
nasional untuk menghilangkan jenis simpang ini (atau setidaknya melengkapi
Gambar 3.50: Meningkatkan kecepatan pendekat dan kecepatan relatif untuk realinyemen dan
kanalisasi
Gambar 3.52: Persimpangan Y dengan alat kendali apiil untuk menghindari konflik
5. Bundaran
Bundaran adalah jenis khusus kendali persimpangan yang terdiri dari sebuah
pulau berbentuk bundar sebagai pusat persimpangan dimana lalu lintas harus
berjalan searah jarum jam mengitarinya. Sebelum masuk bundaran pengemudi
diwajibkan untuk memberi jalan kepada lalu lintas yang sudah berada di
bundaran. Sebagai bentuk kendali persimpangan, bundaran lebih berkeselamatan
karena :
- Menyederhanakan proses pengambilan keputusan oleh pengemudi;
- Mengurangi kecepatan tabrakan relatif;
- Mengurangi titik konflik dari 32 (di simpang empat) menjadi hanya 4 titik.
Gambar 3.53: Persimpangan Y dengan alat kendali apiil untuk menghindari konflik
tempat yang paling padat. APILL yang diaktifkan oleh kendaraan dapat memuat
tombol tekan pejalan kaki yang dapat meminta waktu sedinimungkin dalam
pergantian warna lampu. Anak-anak dan orang tua khususnya (dua kelompok
pejalan kaki yang paling rentan) membutuhkan APILL untuk membantu mereka.
Namun, ketika volume lalu lintas rendah (di luar jam sibuk) dan siklus waktu
panjang, beberapa pejalan kaki mungkin akan mengabaikan rambu itu. Ini
menimbulkan risiko yang lebih tinggi bagi pejalan kaki dan harus dimasukkan
dalam keputusan kita mengenai bentuk kendali dipersimpangan. Ketika harus
menyiapkan sebuah desain awal untuk memasang rambu persimpangan, kita pasti
menyiapkan gambar berskala 1 : 500. Di dalamnya termasuk perincian dasar
mengenai operasi yang
- Gunakan selalu APILL yang diaktifkan oleh kendaraan. APILL ini mengurangi
penundaan dan meningkatkan kerelaan pengemudi/ pengendara. Dibutuhkan
detektor yang dapat diandalkan dan pengendali yang canggih.
- Memberikan kendali penuh untuk belok kanan saat belok kanan harus
melewati tiga atau lebih lajur lalu lintas. Filterisasi belok kanan di
persimpangan berambu merupakan satu tindakan paling berbahaya yang
dilakukan seorang pengemudi/pengendara.
- Menjamin APILL terlihat dengan jelas di setiap pendekat sedikitnya 100 m di
muka. Gunakan sedikitnya sebuah rambu awal dan sebuah rambu kedua di
setiap persimpangan. Jika kejelasan rambu menjadi masalah di pendekat,
pasang sebuah duplikasi rambu awal atau sebuah tiang yang terjulur di
pendekat itu.
- Menjaga konsistensi dengan menempatkan tiang APILL di jarak yang sama
dari kerb dan dalam posisi yang sama dari garis berhenti.
- Selalu memberi marka garis Berhenti di samping landasan utama APILL.
- Selalu menggunakan setiap lajur lalu lintas – untuk jarak sedikitnya 50 m di
setiap pendekat. Menggunakan panah penunjuk lajur – sedikitnya dua set –
untuk menunjukkan kepada pengemudi/ pengendara arah yang harus mereka
lewati di sepanjang persimpangan.
- Di tempat sebuah lajur belok kanan akan dibuat, pastikan bahwa itu
dimasukkan ke dalam median. Jika jalan tidak terbelah, dilarang mendahului
(melalui marka garis) untuk 50 m terakhir di depan lajur belok dan dibangun
lajur belok kanan yang ditandai dengan jelas.
- Hindari lajur “perangkap”. Artinya, hindari membuat situasi lajur lurus
menjadi lajur belok eksklusif.
- Jika sebuah “lajur perangkap” sama sekali tidak dapat dihindari, kita harus
memasang rambu yang jelas jauh di depan untuk memperingatkan
pengemudi/pengendara akan keharusan memperhitungkan lajur yang
berubah.
- Bagaimanapun, jangan menimbulkan konflik. Jika ada fase belok kanan,
mustahil ada fase lawannya, belok kiri atau Belok Kiri Langsung.
a. Tabrakan di persimpangan
Sementara itu, tabrakan akibat gerakan awal yang terlalu dini terjadi saat
seorang pengemudi atau pengendara menurunkan kecepatan dan bahkan
berhenti di tempat rambu Beri Jalan atau Berhenti, namun lalu menerobos
celah yang tidak cukup besar di dalam lalu lintas. Kita mungkin bertanya-tanya
mengapa pengemudi atau pengendara menerobos celah sekecil itu, apakah
karena sedikit terhalang, karena kecepatan jalan besar yang berlebihan, atau
karena volume jalan besar begitu tinggi sehingga pengemudi merasa terpaksa
menerobos celah yang kecil. Tindakan pencegahan paling tepat untuk
tabrakan akibat gerakan awal yang terlalu dini biasanya lebih sulit
dikembangkan dan lebih mahal. Perlakuan lazim mencakup; bundaran, APILL,
atau meningkatkan garis pandang. Simpang empat terkenal dengan tabrakan
persimpangan dan dapat diperbaiki dengan beberapa jenis pencegahan,
bergantung pada klasifikasi fungsi jalan yang berpotongan, jenis pemakai jalan
di lokasi, juga berbagai batasan fisik dan/atau lingkungan lain.
Lajur belok kanan terpisah juga mengurangi tekanan dari pemakai jalan di
belakang yang mungkin tertahan oleh kendaraan yang belok kanan. Lajur
terpisah juga mengurangi potensi tabrakan depan-belakang.
Namun, di APILL, pejalan kaki dibantu dengan berbagai cara. Jenis tabrakan
pejalan kaki di persimpangan dengan APILL melibatkan konflik dengan
kendaraan belok kiri atau kanan. Adanya pejalan kaki memperumit kegiatan
mengemudi, terutama sebagai komponen pemecah perhatian dalam
lingkungan lalu lintas yang sudah sulit sejak awal.
Di persimpangan dengan APILL, kita dapat menggunakan fase belok kanan yang
terkendali atau pada fase separasi untuk memisahkan gerakan kendaraan dan
pejalan kaki dalam waktu. Di persimpangan tanpa APILL, peningkatan geometri
terbukti berhasil. Misal pulau pendekat pusat atau kerb menonjol yang dapat
mengurangi lebar jalan yang diseberangi, atau yang membuat pejalan kaki
lebih terlihat.
d. Tabrakan depan-belakang
Syarat paling jelas di APILL adalah kendaraan berhenti saat lampu merah.
Konsekuensinya adalah
- Membuat tampilan rambu mencolok agar terlihat jelas dari setiap laju
pendekat di depan persimpangan.
- Memelihara permukaan aspal sehingga berkemampuan antiselip yang
bagus dalam kondisi basah atau kering.
- Memberikan lajur belok eksklusif di persimpangan berambu dan tak
berambu untuk mengurangi konflik di antara kendaraan yang mendekat
dari arah yang sama.
Kita tidak akan tahu kapan, dimana, dan mengapa kendaraan akan melaju ke luar
jalan. Beberapa kemungkinan penyebabnya antara lain : kesalahan manusiawi
(kelelahan, kecepatan berlebihan, kurangkonsentrasi), cacat kendaraan
(kerusakan ban atau kemudi, rem tidak bekerja, kelebihan muatan), gangguan lalu
lintas (interaksi dengan kendaraan lain, binatang, pejalankaki), kondisi jalan
(lubang, kondisi jalan buruk, delineator dan rambu peringatan yang tidak
memadai) atau cuaca buruk.
Umumnya, jenis kecelakaan keluar-jalan (run off ) terjadi dalam kecepatan tinggi.
Bila kendaraan tersebut menabrak hazard sisi jalan maka akan mengakibatkan
dampak yang parah.
Gambar 3.55: Contoh hazard tebing berbatu curam tidak ada marka atau delineasi
Gambar 3.56: Contoh hazard papan iklan yang besar ditopang tiang
Salah satu peran ahli keselamatan jalan adalah mengidentifikasi berbagai hazard
potensial di sisi jalan dan melaksanakan alternatif yang lebih berkeselamatan
Program manajemen hazard sisi jalan dapat dilaksanakan untuk mengurangi
frekuensi dan keparahan jenis kecelakaan keluar-jalan (run off). Program ini telah
terbukti berhasil di berbagai negara.
berbagai hazard sisi jalan lain, termasuk saluran terbuka dan lereng yang tidak
dapat dilalui kendaraan. Akan lebih mudah mengidentifikasikan hazard sisi
jalan sebagai objek tetap dengan diameter 100 mm atau lebih.
Tabrakan dengan objek sisi jalan adalah masalah, bukan hanya karena
frekuensinya tetapi juga karena keparahannya. Jenis tabrakan ini lebih sering
menimbulkan cedera parah daripada kebanyakan jenis tabrakan lain. Perlu
Gambar 3.59: Model Keruntuhan dari Landasan Tiang Geser Slip dan
Tiang Pengabsorbsi Dampak
Terdapat berbagai jenis hazard pada sisi jalan. Setiap objek tetap yang
berada pada ruang bebas berisiko ditabrak oleh pengguna jalan.
iii. Tiang rambu
Rambu harus terlihat dan karena itu harus terletak dekat dengan jalan.
Terkadang ini berarti menempatkan rambu di dalam area ruang bebas.
Pada umumnya, semua penyangga rambu besar harus sepenuhny
mudah roboh. Ini dapat termasuk dasar lepas atau bergeser untuk
rambu besar.
Rencanakan lokasi rambu dengan berhati-hati dan hindari
penempatan tiang penyangga rambu yang besar dan kaku di area
divergen atau ujung depan median jalan kecepatan tinggi. Lokasi seperti
ini berisiko tinggi dan sulit dilindungi dengan pagar keselamatan.
Sejumlah pertanyaan tentang rambu, penyangga rambu, dan
penempatan rambu adalah :
- Apakah rambu ini benar-benar perlu?
- Apakah penyangga rambu berkeselamatan? Bahkan pipa kecil
untuk rambu kecil merupakan hazard besar bagi pengendara motor
dan terkadang pengendara sepeda.
- Dapatkah rambu ditempatkan di tiang/penyangga yang ada atau
berada di belakang pagar keselamatan?
- Apakah mekanisme lepas ataubergeser telah terpasang dengan
benar?
- Apakah sebaiknya tiang dilindungi pagar keselamatan?
iv. Pohon
Memutuskan tindakan yang tepat untuk pepohonan yang ditanam
dalam ruang bebas adalah tugas yang sulit dan sensitif. Usulan apa pun
untuk menebang pohon akan menimbulkan kekhawatiran publik dan
lingkungan. Saat menghadapi dilema ini, mungkin kita perlu
mempertimbangkan pilihan lain untuk meningkatkan keselamatan di
jalan itu.
v. Drainase
Drainase terbuka yang dalam dan bersisi curam merupakan ciri umum
sisi jalan di Indonesia. Begitu umum sampai banyak ahli teknik tidak
melihatnya sebagai hazard sisi jalan. Sayangnya drainase merupakan
vi. Jembatan
Ada banyak jembatan di Indonesia. Jembatan adalah bagian penting
jaringan jalan. Jembatan juga menimbulkan isu keselamatan khusus –
jembatan merupakan titik penyempitan di jalan dan juga memiliki
beragam hazard sisi jalan. Tembok ujung jembatan (tembok
fedada/parapet) adalah hazard sisi jalan yang umum di Indonesia. Cara
yang dapat diterima untuk melindungi pemakai jalan dari hazard ini
adalah memasang pagar semikaku di setiap pendekat ke jembatan,
yang secara terhubung kuat dengan tiang di ujung jembatan yang kaku.
Ini adalah satu hal yang tidak dilakukan secara berkeselamatan di
Indonesia dewasa ini. Kebanyakan jembatan kecil tidak memiliki pagar
sama sekali untuk melindungi parapet. Jika pagar baja profil W dipasang
Pagar keselamatan merupakan upaya terakhir dalam manajemen hazard sisi jalan.
Pagar keselamatan digunakan untuk menutupi objek berbahaya yang dapat
mencederai atau membunuh pemakai jalan yang menabraknya.
Pagar hanya boleh digunakan jika keparahan akibat menabrak pagar kurang dari
akibat menabrak hazard. Ini karena pagar keselamatan–terlepas dari namanya–
juga merupakan hazard sisi jalan. Saat benturan, pagar tabrakan dapat
mengakibatkan kerusakan/cedera parah bagi penumpang kendaraan kecil dan
sepeda motor. Akibat bergantung pada dinamika setiap kasus. Kendaraan besar
dengan titik berat tinggi, seperti truk dan bus, mungkin tidak akan tertahan
dengan aman oleh pagar–biasanya kendaraan ini menerobos atau jatuh
melompati pagar. Pagar keselamatan diuji (biasanya) untuk menahan mobil,
tetapi tidak diuji untuk menahan truk atau bus.
Pagar hanya digunakan pada lokasi yang memerlukan dan pemasangannya dapat
dilakukan dengan baik. Pemasangan dan pemeliharaan pagar keselamatan sangat
mahal. Karena itu, pada tahap perancangan jalan, lakukan segala upaya untuk
menghilangkan perlunya pagar keselamatan. Penggunaan dan pemasangan pagar
harus selalu diaudit dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pembuatnya.
Keputusan untuk memasang pagar sisi jalan juga harus memperhitungkan
bertambahnya kemungkinan tabrakan akibat pemasangan pagar sepanjang 30 m
(panjang minimal untuk performa yang memadai) untuk menutupi hazard (yang
lebarnya mungkin hanya satu meter!) Namun, tidak semua pagar keselamatan
dapat dihilangkan. Banyak lokasi di mana pagar keselamatan adalah satu- satunya
opsi untuk meningkatkan Keselamatan.
Ada tiga jenis pagar sesuai dengan kekakuannya :
Pagar beton memang efektif, tetapi perlu perhatian khusus untuk memastikan
bahwa ujungnya ditutupi dengan benar. Sudah banyak catatan kecelakaan di
mana kendaraan menabrak ujung pagar beton yang tidak tertutup, kebanyakan
menimbulkan korban tewas. Beberapa cara umum untuk mengakhiri pagar
kaku termasuk membelokkan pagar dengan radius 40 m (atau lebih) supaya
berakhir di luar ruang bebas, atau memasang crash cushion.
3. Pemeliharaan
Saat mengelola program manajemen hazard sisi jalan, ingatlah pentingnya
permeliharaan dalam keselamatan jalan. Semua perangkat jalan harus dipelihara
selama masih digunakan. Petugas pemeliharaan membutuhkan pelatiha
mengenai instalasi dan pemeliharaan pagar yang tepat dan perlakuan hazard lain
di sisi jalan. Semua perangkat jalan harus dipelihara saat masih digunakan.
Petugas pemeliharaan ada di jalan setiap hari. Mereka mengamati kerusakan
akibat tabrakan yang baru terjadi dan dapat memberikan peringatan dini jika ada
titik rawan kecelakaan yang mulai terbentuk. Pastikan petugas pemeliharaantahu
betapa pentingnya mereka dalam rekayasa keselamatan jalan. Pastikan bahwa
mereka terlatih dan didukung dalam aspek teknis pekerjaan ini.
- TEPERCAYA (Credible)
Pesan yang disampaikan oleh rambu harus diyakini oleh pengemudi atau
pengendara, atau mereka akan mengacuhkannya.
- KONSISTEN (Consistent)
Situasi lalu lintas yang sama harus diatur dengan menggunakan rambu dan atau
marka yang sama. Konsistensi mengurangi waktu reaksi pengemudi dan
pengendara, serta meningkatkan pemahaman pengemudi.
- BENAR (Correct)
Hanya ada satu rambu yang paling tepat bagi situasi tertentu. Beberapa rambu
tampak sama, dan memiliki arti yang hampir sama, namun hanya satu yang benar-
benar tepat.
2. Mulailah dengan standar yang berlaku
Penggunaan rambu dan marka standar di semua jalan di Indonesia harus
digalakkan. Pengemudi atau pengendara bereaksi lebih cepat dan tepat terhadap
rambu standar daripada rambu nonstandar. Pengambilan keputusan yang lebih
cepat dan akurat adalah salah satu kunci lalu lintas berkeselamatan.
Dengan memastikan penggunaan rambu dan marka standar, akan memberi
pengaruh positif pada keselamatan. Pada saat yang sama, ahli teknik harus
waspada untuk mengetahui kapan dan di mana mereka harus melebihi standar.
Ada beberapa situasi yang memerlukan rambu lebih banyak atau lebih besar. Ada
beberapa situasi lain di mana rambu yang lebih sedikit namun lebih jelas justru
lebih memadai. Untuk menentukan perbedaan, perlu pengalaman dan
pertimbangan–dua aset berharga bagi ahli rekayasa keselamatan jalan manapun.
Tetaplah objektif dalam menggunakan rambu untuk memecahkan masalah. Jika
memang ada masalah keselamatan, pertama carilah penyebab masalah itu.
Banyak masalah yang solusinya memerlukan perubahan fisik pada jalan. Misal
persimpangan berisiko mungkin lebih baik diberi APILL daripada rambu
peringatan. Solusi ini memang jauh lebih mahal, tetapi ahli rekayasa keselamatan
jalan perlu memutuskan apa yang akan berfungsi dan apa yang hanya akan
memboroskan sumber daya. Rambu peringatan dapat memberi manfaat
sementara selama kita mengupayakan solusi permanen.
mulai meninggalkan jalan. Dengan cara ini, bahu jalan diaspal dapat
mengurangi tabrakan “keluar jalan” dan juga tabrakan “depan-depan”. Bahu
jalan diaspal baik untuk keselamatan. Bahu jalan diaspal juga memberi
beragam manfaat lain, termasuk :
- Tempat untuk kendaraan yang harus berhenti dengan jarak yang aman
dari lajur lalu lintas;
- Akses atau tempat parkir kendaraan darurat atau pemeliharaan;
- Dukungan lateral bagi perkerasan dan membantu pemeliharaan
sublandasan.
Tindakan yang harus dilakukan jika pengemudi pengendara menggunakan
bahu jalan yang diaspal sebagai lajur tambahan adalah amati kemungkinan
masalah keselamatan. Jika hanya pengendara motor yang memakainya, ini
mungkin baik untuk keselamatan.
3. Jarak Pandang
Tujuan utama dari perancangan jalan adalah menjamin bahwa
pengemudi/pengendara, saat melaju dalam kecepatan rancana atau dibawah
kecepatan rencana, mampu melihat potensi bahaya di jalan dalam waku yang
cukup untuk mengambil tindakan menghindar.
Manusia membutuhkan waktu untuk bereaksi dan membutuhkan jarak untuk
mengambil tindakan menghindar. Semakin cepat mereka melaju saat melihat
objek berbahaya pertama kali, semakin besar jarak berhenti yang dibutuhkan.
Di sinilah konsep jarak pandang penting bagi keselamatan jalan. Konsep ini
didasarkan pada sejumlah asumsi tentang objek berbahaya, waktu reaksi, dan
4. Alinyemen horizontal
Alinyemen horizontal sebuah jalan adalah alinyemen pada bidang horizontal.
Faktor paling signifikan untuk mempertimbangkan keselamatan dalam
alinyemen horizontal adalah radius tikungan horizontal dan juga superelevasi
yang menujuke dalam dan keluar setiap tikungan.
Tikungan dengan radius lebih besar umumnya memberikan jarak pandang yang
lebih besar– pengemudi/pengendara dapat melihat melalui tikungan dan
membuat keputusan berkeselamatan lebih dini. Namun, manfaat keselamatan
ini dapat hilang jika tumbuhan dibiarkan tumbuh disisi jalan dandibiarkan
memotong garis pandang.
Tikungan dengan radius yang lebihpendek akan membatasi garis pandang dan
biasanya membatasi pengemudi serta pengendara yang rasional untuk
menurunkan kecepatan. Namun, jika muncul kecepatan tinggi yang tidak
realistis, mungkin perlu diterapkan manajemen kecepatan tambahan (batas
kecepatan dan penegakan hukum).
Pengemudi/pengendara akan terbiasa dengan alinyemen horizontal jalan. Jika
mereka ada dijalan berliku, mereka mengondisikan diri untuk mengemudi/
Harus di ingat juga bahwa perlakuan khusus mungkin diperlukan bagi tikungan
diujung jalan yang lurus panjang karena kecepatan tinggi dapat berkembang.
Tikungan ini sering membutuhkan delineasi yang lebih tegas misalnya rambu
peringatan pengarah tikungan (CAM), rambu peringatan dini, dan garis ujung
yang nyata.
Superelevasi
Superelevasi adalah gradien jalan pada perkerasan melengkung yang dirancang
untuk menambah gaya yang membantu kendaraan menjaga pergerakan
melingkar. Saat kendaraan melewati lengkung horizonal dalam suatu
kecepatan, kendaraan menghasilkan gaya menyamping yang cenderung
mengarahkannya kelingkar luar lengkungan. Untuk melawan efek ini,
perkerasan jalan di “naikkan” pada tepi lingkar luar jalur berkendara.
Pejalan kaki adalah satu-satunya kelompok pengguna jalan terbesar dan paling
rentan – siapa pun menjadi pejalan kaki begitu melakukan langkah pertama sebagai
bayi, berjalan selama masa kanak-kanak, dewasa, dan usia lanjut. Pejalan kaki tidak
perlu izin menggunakan jalan. Mereka selalu bergerak dan ada di mana pun, kapan
-pun. Mereka menyebar di jaringan jalan dan terlihat sepanjang waktu baik siang
maupun malam, di segala cuaca, dan di segala tipe jalan.
Pejalan kaki adalah pengguna jalan yang teramat rentan. Dalam kejadian tabrakan
dengan kendaraan bermotor, pejalan kaki paling berisiko cedera, sering kali parah.
Jika tabrakan terjadi dalam kecepatan lebih tinggi dari 40km/jam, terdapat 50%
kemungkinan pejalan kaki tewas. Sayangnya, di Indonesia pejalan kaki hanya
mendapat sedikit bantuan di jalan. Hanya sedikit jalur pejalan kaki yang bagus atau
bahu jalan yang diaspal bagi pejalan kaki di sepanjang jalan. Langkanya APILL tekan
atau APILL persimpangan yang membantu pejalan kaki menyeberangi jalan.
Dampak kecepatan yang lebih dari 40 km/jam, akan menyebabkan 50% pejalan kaki
meninggal dunia jika tertabrak.
Zebra cross dalam kondisi buruk dan sering diabaikan oleh pengemudi/pengendara.
Jembatan penyeberangan, dari beton atau baja, yang terdapat di kota besar tidak
disukai karena tinggi, licin saat basah, dan seringkali jauh dari tempat pejalan kaki
menyeberang.
Maka, dapat dikatakan bahwa kelompok terbesar pengguna jalan di negeri ini
justru yang paling dirugikan. Seorang ahli rekayasa keselamatan jalan dapat
mengubah keadaan secara positif dengan khusus memperhatikan kebutuhan
pejalan kaki akan keselamatan.
Bagian ini akan memfokuskan perhatian pada empat kelompok pejalan kaki: usia
muda, manula, difabel, dan pejalan kaki mabuk atau teler. Perincian fasilitas yang
berguna bagi pejalan kaki diuraikan bersama dengan beberapa inisiatif
meningkatkan keselamatan pejalan kaki. Juga ditawarkan beberapa saran untuk
membantu menjadikan jalan berkeselamatan bagi pengendara sepeda motor dan
pesepeda karena keduanya juga membutuhkan bantuan ahli rekayasa keselamatan
jalan. Melalui contoh konkret, bagian ini mendorong ahli rekayasa keselamatan
jalan untuk selalu ingat pada pengguna jalan yang rentan (pejalan kaki, pengendara
sepeda motor dan pesepeda) di dalam merekayasa keselamatan jalan.
Mustahil memastikan jumlah pejalan kaki yang tewas atau cedera dalam tabrakan
di jalan setiap tahun di Indonesia karena datanya tidak akurat. Kecil kemungkinan
untuk memastikan kelompok pejalan kaki yang paling banyak terlibat (usia muda,
manula, lelaki, perempuan) dalam tabrakan itu, di manakejadiannya (perkotaan,
perdesaan, jalan lingkungan, jalan arteri), atau kapan terjadinya (siang, malam, saat
hujan, saat kering).
begitu banyak sehingga warna hitam mendominasi peta. Maka, lahirlah istilah
“blackspot”. Kini istilah itu tetap digunakan untuk menggambarkan lokasi tempat
paling banyak terjadi tabrakan fatal atau tabrakan dengan korban cedera
terbanyak. Definisi tentang berapa banyak tabrakan terjadi di suatu lokasi agar
menjadi titik rawan kecelakaan berbeda antara satu negara dengan yang lain. Pada
bagian ini akan dibahas mengenai :
Bagian ini menjelaskan perbedaan mendasar antara investigasi blackspot dan audit
keselamatan jalan. Investigasi blackspot (proses reaktif) menggunakan data
kecelakaan untuk mencari pola tabrakan di suatu blackspot. Investigasi ini
kemudian mengembangkan tindakan terpadu yang biayanya murah untuk
mengurangi tingkat keparahan kecelakaan pada masa mendatang.
Banyak lokasi jalan di Indonesia menjadi tempat sejumlah tabrakan. Jalan itu dapat
berupa jalan raya atau jalan lokal, dan lokasinya dapat berupa persimpangan
ataupun tikungan, atau potongan blok tengah. Terkadang Polisi memiliki data
kecelakaan yang cukup detail yang pernah terjadi di “blackspot” ini, adakalanya
tidak ada data sama sekali. Salah satu tugas ahli rekayasa keselamatan jalan yang
paling berguna dan produktif adalah menyelidiki dan menangani blackspot.
Perbaikan yang biayanya murah dapat mengurangi angka kecelakaan pada lokasi
blackspot.
2. Blackspot di Indonesia
Apabila telah selesai mendata 30, 40, atau 50 tempat, urutkan semua lokasi dalam
sebuah tabel mulai jumlah nilai tertinggi hingga yang terendah. Lihat baik-baik jarak
nilai dan dana yang tersedia sehingga ada bayangan berapa banyak lokasi yang
dapat diperbaiki sepanjang program kerja tahunan.
Dengan cara itu daftar semua lokasi di Balai diperoleh, dimulai dari yang bernilai
tertinggi sampai yang terendah. Daftar lokasi kecelakaan itu digunakan untuk
memandu ahli rekayasa keselamatan jalan ke berbagai lokasi yang paling
berpotensi memperoleh manfaat dari tindakan pencegahan blackspot.
Contohnya ada sebuah simpang empat di jalan antar kota yang memiliki sejarah
terjadi kecelakaan sudut kanan yang melibatkan banyak bus dan sepeda motor
pada siang hari. Seorang ahli rekayasa keselamatan jalan yang tidak berpengalaman
mungkin akan merekomendasikan agar di lokasi itu dipasang penerangan jalan,
ditambah sebuah tempat penyeberangan dan sebuah rambu peringatan
perempatan. Dari perbaikan terpadu itu, penerangan jalan hanya akan memberikan
efek pada malam hari, dan tempat penyeberangan tidak akan bermanfaat bagi
tabrakan di sudut kanan. Hanya rambu peringatan yang mungkin berdampak
positif–dan seterusnya hanya sebuah dampak kecil karena pengurangan risiko dari
rambu peringatan sangat minimal.
Mungkin lebih efektif mengecat garis marka yang jelas di jalan utama, memasang
beberapa rambu penunjuk arah sebelum persimpangan (memperingatkan
pengemudi/pengendara akan kehadiran persimpangan dan memberi informasi
arah yang dituju), dan memindahkan halte bus lebih jauh dari persimpangan itu.
pada masa depan akan menggunakan jalan itu, dan apakah mereka mungkin
memiliki beberapa masalah keselamatan pada jalan baru. Tim audit harus
menempatkan diri mereka dalam kacamata.
Tim audit harus menempatkan diri mereka di dalam kacamata pengguna jalan pada
masa depan dan memeriksa bagaimana jalan berfungsi bagi mereka.
Pengguna jalan pada masa depan dan memeriksa bagaimana jalan befungsi bagi
mereka. Audit keselamatan jalan merupakan proses yang penting dan terstruktur
yang membutuhkan pemeriksaan terperinci terhadap sebuah skema jalan, sebuah
laporan tertulis dari tim audit, dan tanggapan balik oleh manajer proyek yang
menyatakan mengapa tindakan yang direkomendasikan telah/tidak dipakai.
Audit keselamatan jalan paling efektif bila dilaksanakan ditahap desain dan
perencanaan dari sebuah proyek jalan baru. Dengan demikian pada dasarnya audit
keselamatan jalan sangat berbeda dengan investigasi blackspot. Investigasi
blackspot berdasarkan pada data kecelakaan. Data ini memberikan sebuah
pandangan mengenai detail kecelakaan di lokasi dan, dengan tim penyelidik yang
berpengalaman, tindakan pencegahan kecelakaan yang biayanya murah dapat
dikembangkan dan dilaksanakan.
Audit keselamatan jalan biasanya dilakukan sebelum jalan dibangun. Oleh karena
itu tidak ada data kecelakaan. Namun, tim audit menggunakan keahlian dan
pengetahuan teknik yang sama dengan tim investigasi blackspot namun
menerapkannya dalam cara proaktif. Mereka berusaha untuk mengantisipasi jenis
tabrakan yang mungkin terjadi di jalan baru apabila jalan itu dibangun sebagaimana
yang ditunjukkan oleh desainnya.
Meskipun audit keselamatan jalan mungkin tidak membuat sebuah
jalan baru benar-benar berkeselamatan, namun audit itu dapat mengurangi risiko
dalam penggunaan jalan baru itu. Jadi, investigasi blackspot tidak sama dengan
audit. Audit tidak menggunakan data kecelakaan, dan bukan investigasi blackspot.
Keahlian yang terlibat dalam setiap kegiatan sama, namun prosesnya berbeda.
Banyak auditor keselamatan jalan memulai karir mereka di investigasi blackspot –
sebuah cara yang baik sekali untuk memperoleh wawasan mengenai tabrakan di
jalan yang sangat berharga untuk melakukan audit keselamatan jalan.
Tim desain jalan dan Manajer Proyek mencari solusi menyeluruh yang terbaik.
Namun, dalam upaya menyeimbangkan semua permintaan ini (seringkali dengan
bersaing), kompromi selalu diperlukan. Sayangnya, beberapa kompromi dapat
membawa sebuah risiko kecelakaan yang meningkat di sebuah jalan baru.
Meskipun tim ahli telah lama tersedia untuk membantu Manajer Proyek dengan
keputusan mengenai permintaan yang bersaing ini, ada anggapan umum bahwa
keselamatan jalan akan berjalan dengan sendirinya. Hal ini diasumsikan semua
orang karena proyek jalan baru dirancang sesuai dengan standar terbaru, dan akan
“lebih baik” dibandingan jalan “lama”.Setiap orang beranggapan bahwa tak ada lagi
yang perlu dilakukan untuk keselamatan.
kendaraan meningkat, dan hal ini meningkatkan risiko. Kecuali diambil tindakan
yang telah dipertimbangan secara hati-hati, tabrakan yang sering dan parah di jalan
akan meningkat.
Tim audit keselamatan jalan adalah sebuah grup para spesialis yang menyuntikan
keselamatan ke dalam desain jalan dan membantu Manajer Proyek untuk
menciptakan sebuah jalan seaman yang dapat dipraktikkan. Audit keselamatan
jalan memunculkan masalah keselamatan yang dihubungkan dengan proyek hingga
tingkat yang sama (atau lebih tinggi) dari masalah saingannya.
Ada enam tahap yang dikenal dimana audit keselamatan dilakukan : tahap
perencanaan, tahap desain awal, tahap detail desain, tahap perbaikan jalan, tahap
pra-pembukaan, dan sebuah audit terhadap jalan yang ada. Proyek jalan baru yang
lebar harus diaudit di setiap lima tahap. Meskipun demikian, untuk penggunaan
yang efisien dari sumber daya yang terbatas, proyek di jalan yang kurang sibuk dan
berkecepatan rendah dapat diaudit dengan tahap yang lebih sedikit.
Semakin dini proses audit desain sebuah proyek semakin baik. Audit yang dini
dapat menghasilkan jalan yang lebih keselamatan dengan biaya pemulihan yang
murah.
Tahap Perencanaan
Dalam bekerja dengan desain jalan awal yang sudah selesai, sebuah audit akan
memeriksa masalah khas termasuk alinyemen horizontal dan vertikal, tata letak
simpang empat dan persimpangan.
Tahap audit ini muncul dalam penyelesaian detail desain jalan namun sebelum
persiapan dokumen kontrak. Pertimbangan yang khas mencakup tata letak
geometris, markagaris, rambu, pencahayaan, perambuan, perincian persimpangan,
jarak pada obyek sisi jalan (rintangan/frangibility tabrakan) dan ketentuan bagi
pengguna jalan yang rentan. Perhatian terhadap detail dalam tahap desain ini
dapat mengurangi banyak biaya dan gangguan terkait dengan perubahan dimenit
terakhir yang kalau tidak dilakukan dapat menghasilkan sebuah audit pra-
pembukaan.
Tahap audit ini mencakup pemeriksaan keselamatan dari rencana manajemen lalu
lintas untuk berbagai tahap konstruksi untuk proyek jalan lebar (sebelum pekerjaan
dimulai), dan audit ini memeriksa Semakin dini sebuah proses desain sebuah
proyek diaudit semakin baik. Audit awal dapat menghasilkan jalan yang lebih
bekeselamatan dengan biaya pemulihan lebih murah. Keselamatan jalan di lokasi
pekerjaan jalan selama masa konstruksi. Masalah yang diperiksa termasuk
rambu/marka, batas kecepatan yang aman, pagar keselamatan sementara,
pencahayaan, rute pejalan kaki, dan apresiasi pengemudi terhadap jalur yang
benar.
Tahap Pra-pembukaan
Audit ini melibatkan inspeksi memerinci dari proyek jalan baru sebelum
pembukaannya. Jalan baru itu dilewati oleh tim audit dengan mobil, sepeda motor,
dan berjalan kaki (yang cocok) untuk menjamin bahwa keselamatan yang
dibutuhkan semua pengguna jalan sudah tersedia. Inspeksi pada malam hari sangat
penting, untuk memeriksa perambuan, delineasi, pencahayaan dan masalah terkait
malam hari/cahaya kurang.
Audit ini bertujuan untuk menjamin bahwa ciri-ciri keselamatan jalan sesuai dengan
klasifikasi fungsional jalan, dan untuk mengidentifikasi ciri-ciri apapun yang dapat
berkembang sesuai dengan waktu dalam sebuah masalah keselamatan (misalnya
pepohonan yang Menghalangi jarak pandang). Banyak masalah keselamatan yang
ditemukan di dalam tahap audit ini harus siap tanggulangi dengan praktik
pemeliharaan yang sederhana dengan biaya murah (seperti memotong pohon,
memperbaharui rambu dan marka garis, dan masalah objek berbahaya pada sisi
jalan).
Audit jalan yang ada berguna namun pekerjaan pemulihan membutuhkan dana.
Diperlukan ketersediaan sumber daya sebelum maju lebih jauh dengan sebuah
program yang meluas dari audit terhadap jalan yang ada.
Sekali diputuskan bahwa sebuah proyek harus diaudit keselamatan jalannya, maka
ada delapan langkah utama audit keselamatan jalan yang harus dilakukan.
Manajer Proyek, kecuali sebaliknya dipimpin oleh Klien, bertanggung jawab dalam
pemilihan tim audit keselamatan jalan.
Tim harus benar-benar independen dari desain dan proyek itu. Tim harus dipimpin
oleh seorang Auditor Keselamatan Jalan Senior yang terdaftar, dan harus memiliki
anggota tim (satu atau dua) dengan pengalaman dan keahlian keselamatan jalan.
Sebuah audit keselamatan jalan harus dilakukan oleh tim dari dua atau tiga orang
yang cukup berpengalanan dibidang rekayasa keselamatan jalan,penyelidikan dan
pencegahan tabrakan, rekayasa lalu lintas, dan desain jalan. Banyak manfaat dari
sebuah tim audit dibandingkan hanya seorang auditor termasuk :
Ada beberapa proyek, proyek kecil jalan yang tidak sibuk dan kecepatan yang
rendah, yang dapat diaudit oleh seorang auditor. Namun, jangan mengambil jalan
pintas dengan ”seorang” auditor keselamatan dan batas kecepatan untuk situasi
dimana risiko yang sangat mungkin rendah.
Manajer Proyek harus harus melengkapi tim audit keselamatan jalan dengan
seperangkat gambar yang komprehensif, ditambah laporan apapun yang relevan
dan informasi latar belakang terkait sehingga tim memperoleh pemahaman yang
baik mengenai proyek, sasaran utama, dan masalah terkait. Informasi yang
diberikan secara khusus mencakup :
audit, belajar darinya, dan tidak menganggap laporan itu sebagai bentuk kritik
personal apapun.
Ditahap yang berbeda dari sebuah proyek jalan, sebuah audit mungkin akan
mempertimbangkan jenis masalah keselamatan yang berbeda. Hal ini membutukan
seperangkat keahlian yang berbeda di satu tahap dibandingkan tahap yang lain.
Meskipun demikian, diperlukan kontinuitas tim audit melalui tahap yang berbeda
dalam sebuah proyek. Hal ini dapat dicapai dengan mempertahankan ketua audit
yang sama sepanjang proyek, sementara menukar auditor dengan keahlian khusus
di dalam tim audit.
Informasi latar belakang dapat diserahkan ke tim audit selama Rapat Permulaan.
Rapat ini diadakan oleh Manajer Proyek, dan bertujuan untuk :
Rapat itu memberikan kesempatan kepada tim audit untuk bertanya tentang
proyek dan membangun hubungan dengan orang yang relevan dalam proyek untuk
pertanyaan lebih lanjut.
Tim proyek dan tim audit perlu sama-sama memahami bahwa diperlukan
komunikasi selama audit dan hal ini umumnya positif. Bagaimanapun, tim audit
harus mengerti kebutuhan untuk tetap benar-benar independen dari proyek.
Misal, tim audit tidak dapat membiarkan sebuah masalah keselamatan tidak
dilaporkan sama sekali dalam berita verbal seorang Staf proyek.
Rapat Permulaan biasanya menjadi kurang perlu bila proses audit lebih
melembaga. Pada waktunya, sebagian besar audit dimulai dengan koneksi surel
(email contact) antara tim Proyek dengan auditor senior yang dipilih. Lazim bagi tim
audit dan Tim Proyek untuk membuat koneksi elektronik (electronic contact) alih-
alih melakukan rapat formal, baik di permulaan maupun diakhir audit.
Gambar 3.73: Sebuah tim audit menginspeksi lokasi sebuah usulan proyek
perbaikan jalan.
Tim audit keselamatan jalan kemudian melakukan audit, umumnya mulai dengan
sebuah evaluasi gambar kerja untuk semua materi yang diberikan Manajer Proyek.
Audit gambar kerja biasanya dilakukan sebelum inspeksi lokasi, dan keduanya
sering kali berlangsung tidak bersamaan.
Tim audit harus tetap focus pada masalah keselamatan.Tim itu tidak boleh
melantur ke persoalan seperti biaya, perbaikan alternatif, opsi desain yang
mungkin, atau persoalan lain terkait proyek.
Tim audit harus menginspeksi lokasi, lebih disukai pada pada siang dan malam hari.
Inspeksi lokasi penting bagi tim untuk memperoleh ide lengkap lingkungan dimana
proyek berada. Hal itu memungkinkan tim audit keselamatan jalan melihat
bagaimana usulan berinteraksi dengan kedaaan sekitar dan jalan yang berdekatan,
termasuk potongan jalan yang ada tepat di kedua sisi lokasi. Tim harus
menggunakan kesempatan ini untuk membayangkan potensi tabrakan antar
pemakai dan untuk mengantisipasi ciri-ciri yang berpotensi menyesatkan.
Tim audit keselamatan jalan “menempatkan dirinya dalam sepatu dari calon
pengguna jalan” dan mengemudikan, berjalan, dan bahkan naik sepeda di lokasi
agar potensi masalah keselamatan dapat diidentifikasi.
Seperangkat daftar periksa merupakan alat berharga bagi tim audit untuk
digunakan selama audit gambar kerja dan inspeksi lokasi. Bilaperlu, dan khusus
untuk proyek yang lebih besar, tim audit mungkin kembali ke lokasi berkali-kali dan
mengulangi audit gambar kerja beberapa kali hingga Auditor Senior puas karena
semua masalah keselamatan yang dapat diduga telah diidentifikasi dan
ditanggulangi.
bahwa Tim Proyek dan perancang akan berterima kasih bila menerima laporan
audit yang memudahkan mereka mengerti setiap masalah keselamatan, dan di
bagian mana dalam gambar hal itu ditemukan.
Rapat Penyelesaian harus melibatkan seluruh tim audit keselamatan jalan, Klien,
Manajer Proyek, dan staf di kantor proyek yang diperlukan untuk menjawab
laporan audit. Rapat itu memberikan kesempatan untuk mendiskusikan temuan
laporan audit, khususnya rekomendasi untuk tindakan perbaikan.
Rapat itu harus berjalan sehingga independensi tim audit tidak terpengaruh. Rapat
bukan merupakan kesempatan untuk tidak sependapat dengan temuan dan
rekomendasi temuan laporan audit keselamatan jalan, namun merupakan sebuah
kesempatan untuk diskusi bersama yang membangun.
Langkah ini sering kali terlupakan dalam proses audit keselamatan jalan. Namun
tanpa sebuah tanggapan tertulis, ada kemungkinan tim Proyek kemudian
melewatkan beberapa masalah keselamatan.
Manajer Proyek dan tim Proyek bertanggung jawab atas penyerahan proyek yang
sudah selesai pada Klien. Manajer Proyek harus mengikuti terus dari laporan
tanggapan dan menjamin bahwa perubahan yang sepakat untuk dibuat diproyek
mencerminkan secara akurat perbaikan yang diperinci di dalam laporan audit. Ahli
teknis independen dapat dipanggil untuk membantu langkah ini.
Ahli rekayasa jalan dan lalu lintas selalu memperhatikan masalah keselamatan, dan
selalu mendesain dengan memikirkan keselamatan. Namun, banyak proyek jalan
baru yang setelah dibuka langsung menjadi titik rawan kecelakaan. Melihat
bagaimana dan kenapa proyek semacam itu keliru melalui sistemtradisional dari
desain rekayasa dan hasil pemeriksaan.
- Terkadang sebuah desain mencakup standar yang tidak memadai untuk jenis
jalan itu.
- Dalam beberapa kasus, standar kuno mungkin digunakan dalam sebuah
rancangan.
- Kadang-kadang kombinasi berbagai unsure desain mungkin tidak memberikan
hasil terbaik dalam terminologi keselamatan.
- Seringkali, kompromi antara kapasitas dan keselamatan yang dibuat membawa
pada berkurangnya keselamatan.
Audit keselamatan jalan tidak perlu membuat setiap desain baru benar-benar
“berkeselamatan” namun audit meningkatkan keselamatan dalam agenda
pembuatan keputusan dan mengambil keputusan berdasarkan saran keselamatan
yang dipertimbangkan dengan hati-hati. Semakin dini audit dilaksanakan didalam
desain, semakin mudah dan murah mencapai perubahan. Semakin dini proses
desain sebuah proyekdiaudit semakin baik. Audit dini dapat mencapai hasil yang
lebih baik dalam biaya pemulihan yang jauh lebihmurah.
Otoritas jalan diingatkan bahwa proses audit keselamatan jalan lebih efektif jika
dilakukan diawal dalam proses desain jalan.Oleh karena itu harus tetap fokus dalam
audit ditahap desain. Bagaimanapun, audit keselamatan dari sebuah jalan yang ada
memungkinkan :
Hal ini dapat dilakukan dengan sedikit biaya esktra. Audit keselamatan jalan yang
ada dapat dilakukan dengan alasan-alasan berikut :
Negara menjamin persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara, laki-laki dan
perempuan. Dalam konstitusi dasar negara UUD 1945, misalnya, dikemukakan
jaminan negara atas persamaan hak bagi setiap warga dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1), pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27, ayat
2), usaha bela negara (Pasal 30) dan dalam memperoleh pendidikan (Pasal 31). Secara
lebih operasional, GBHN 1999 mengamanatkan perlu adanya lembaga yang mampu
mengemban kebijakan nasional untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Di samping itu, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi dunia
dan menandatangani sejumlah deklarasi internasional berkaitan dengan persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan, seperti:
1. Konvensi ILO No. 100 tahun 1950 dengan UU No. 80/1957 tentang Pengupahan
yang Sama bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;
2. Konvensi Hak Politik Perempuan (New York) dengan UU No 68/1958;
tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan baru mencapai 43,5%, sementara
TPAK laki-laki 72,6% (Susenas 1999), dan masih ditemui adanya pemberian upah yang
berbeda dengan pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama (RIPNAS PP 2000-2004).
Di bidang pemerintahan, pejabat perempuan yang menduduki jabatan
bupati/walikota masih amat terbatas, dan hingga kini belum ada yang terpilih menjadi
gubernur. Pada tingkat menteri, di samping amat terbatas, perempuan umumnya
menempati posisi jabatan stereotip.
Untuk memperkecil kesenjangan gender yang terjadi pada berbagai sektor kehidupan,
maka kebijakan dan program pembangunan yang dikembangkan saat ini dan di masa
mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi, pada seluruh kebijakan dan program pembangunan
nasional. Guna menjamin penyelenggaraan pembangunan seperti ini, pemerintah
menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah
non departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender
dalam kebijakan dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
Gender adalah “konstruksi sosial tentang peran lelaki dan perempuan sebagaimana
dituntut oleh masyarakat dan diperankan oleh masing-masing mereka” (Hafidz, 1995:
5). Gender berkaitan dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki
dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap
pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan
kebiasaan masyarakat (Buddi, dkk, 2000). Seperti halnya kostum dan topeng di teater,
gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Dan, ketika konstruksi sosial
itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena dianggap kodrati dan
alamiah, menjadilah itu ideologi gender.
Dalam praktiknya, menurut Fakih (1996), dikotomi peran ini kemudian ternyata
memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya marginalisasi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja yang lebih
panjang dan lebih banyak (burden) dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Cara pikir stereotipe tentang peran gender sangat mendalam merasuki pikiran
mayoritas orang. Sebagai contoh, perempuan dianggap lemah, tidak kompeten,
tergantung, irrasional, emosional, dan penakut, sementara laki-laki dianggap kuat,
mandiri, rasional, logis, dan berani (Suleeman, 2000) Selanjutnya ciri-ciri stereotipe ini
dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk lelaki dan perempuan (Wardah,
1995 : 20).
Seperti digambarkan pada Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang
responsif gender, terdapat tiga tahap utama, yaitu (1) melakukan analisis kebijakan
gender, (2) memformulasi kebijakan yang responsif gender, dan (3) menyusun rencana
aksi kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.
Tahap pertama dalam perencanaan, yaitu Analisis Kebijakan Gender, perlu dilakukan
karena pada umumnya kebijakan pemerintah hingga saat ini masih netral gender
(gender neutral) dan kadang-kadang, secara tidak sengaja, mempunyai dampak
kurang menguntungkan bagi salah satu jenis kelamin. Dengan menggunakan Data
Pembuka Wawasan kita dapat melihat bagaimana kebijakan dan program yang ada
ssat ini memberikan dampak berbeda kepada laki-laki dan perempuan. Tahap kedua,
Formulasi Kebijakan Gender, dilakukan untuk menyusun Sasaran Kebijakan Kesetaraan
dan Keadilan Gender yang menggiring kepada upaya mengurangi atau menghapus
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, tahap ketiga, Rencana Aksi
Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan Gender disusun sebagai suatu rencana aksi berupa
kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang perlu dilakukan untuk
mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Seluruh kegiatan dalam
rencana aksi harus sesuai dengan tujuan yang telah diidentifikasi dalam tahap
Formulasi Kebijakan Kesetaraan dan Keadilan Gender di atas. Rencana aksi kebijakan
ini perlu disertai dengan indikator keberhasilan untuk mengukur kinerja pemerintah
dalam mengimplemtasikan rencana aksi.
Tujuan :
a. Memastikan penyelenggaran infrastruktur yang responsif gender, telah
mempertimbangkan kebutuhan, kesulitan, aspirasi seluruh kelompok masyarakat
dgn kebutuhan khusus secara setara dan adil.
b. Memastikan seluruh jajaran penyelenggara jalan memahami konsep, prinsip
dan pelaksanaan PUG Bidang Jalan
Sasaran :
Pada Pekerjaan perencanaan teknis pembangunan jalan Long Apung – Sungai Barang –
Sungai Boh – Batas Kaltim Kabupaten Malinau akan mengacu pada kebijakan tersebut
terkait kebijakan dan peraturan yang berlaku di bidang jalan, persyaratan teknis jalan
dan kriteria perencanaan teknis jalan, dan panduan teknis rekayasa keselamatan jalan.
Sehingga diharapkan pada paket pekerjaan ini akan menghasilkan produk
perencanaan yang saling terintegrasi dan berkelanjutan. Kesimpulan dari peraturan
kebijakan bidang jalan yaitu :
Semangat yang muncul dari UU 38 Nomor 2004 adalah bagaimana cara
mewujudkan jalan yang handal dan aman, artinya lebih cenderung pada
kekuatan jalan yang mampu melayani repetisi beban lalulintas kendaraan
sampai umur perencanaan tercapai tanpa kerusakan berat sehingga efektif dan
efisien dalam penganggarannya.
Konsekuensi implementasi Pasal 8 UU 22/2009 bagi penyelenggara jalan adalah
harus mampu mewujudkan jalan yang berkeselamatan, yaitu:
d. Forgiving Road, artinya jalan masih mampu menyayangi jiwa pengguna
ketika melakukan kelalaian di jalan;
e. Self Explaining Road, artinya jalan harus mampu memberikan dan
menjelaskan informasi keselamatan kepada pengguna; dan
f. Self Regulating Road, artinya jalan harus mampu memenuhi standar
keamanan dan keselamatan. Dengan demikian jelas bahwa penyelenggara
jalan wajib melakukan upaya-upaya teknis untuk mencapai jalan
berkeselamatan, yang meliputi perbaikan geometrik, perkerasan jalan, dan
harmonisasi pemasangan fasilitas perlengkapan keselamatan jalan.
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional meliputi kebijakan dan
strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
1. Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksudmeliputi:
a. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan berhierarki;
Adapun Kebijakan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Kalimantan meliputi :
1) Kebijakan untuk mewujudkan kelestarian kawasan konservasi keanekaragaman
hayati dan kawasan berfungsi lindung yang bervegetasi hutan tropis basah paling
sedikit 45% (empat puluh lima persen) dari luas Pulau Kalimantan sebagai Paru-
paru Dunia yang meliputi meliputi:
a. pelestarian kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan
satwa endemik kawasan;
b. pengembangan koridor ekosistem antarkawasan konservasi;
sebagai dasar untuk memformulasi kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
provinsi;
memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW provinsi;
dan
sebagai dasar dalam penetapan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi.
Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arah tindakan yang harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah provinsi. Kebijakan
penataan ruang wilayah provinsi berfungsi:
sebagai dasar untuk memformulasikan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
sebagai dasar untuk merumuskan struktur dan pola ruang wilayah provinsi;
memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW provinsi;
dan
sebagai dasar dalam penetapan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi.
sebagai arahan untuk penyusunan rencana struktur ruang, rencana pola ruang,
dan penetapan kawasan strategis provinsi;
memberikan arahan bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW
provinsi; dan
sebagai arahan dalam penetapan arahan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi.
lainnya.