Anda di halaman 1dari 50

`

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Jalan dan Klasifikasi Jalan


Berdasarkan UU RI No 38 Tahun 2004 tentang Jalan mendefinisikan jalan
adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
Sedangkan berdasarkan UU RI No 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan Jalan yang diundangkan setelah UU No 38 mendefinisikan jalan adalah
seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi Lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, diatas
permu kaan tanah, di bawah permukaaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Jalan raya adalah jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia
dengan bentuk, ukuran dan jenis konstruksi nya sehingga dapat digunakan untuk
menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari
suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby, 1999).
Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus ditetapkan
sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang
optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari
perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan infrastruktur yang 5 aman,efisiensi
pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan biaya juga
memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.

Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus


diidentifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan, karena kriteria desain suatu
rencana jalan yang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi jalan
rencana. Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, suatu ruas
`

jalan dapat diklasifikasikan berdasarkan segi peninjauannya, yaitu berdasarkan segi


pelayanan, segi pengawasan dan pendanaan serta berdasarkan fungsinya.
2.1.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Pelayanan
Jalan raya dapat digolongkan dalam klasifikasi berdasarkan pelayanannyayang
mana mencakup dua golongan meliputi :
1) Jalan sosial/ekonomi (jalan umum); yaitu jalan raya yang diperuntukkan
melayani aktifitas sosial dan perekonomian masyarakat.
2) Jalan politik/militer (jalan khusus/jalan strategi); yaitu jalan yang diperuntukkan
melayani aktifitas politik dan militer. Pada ruas jalan ini aktifitas-aktifitas
lainnya tidak diperkenankan dan sangat tertutup.
2.1.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Pengawasan dan Pendanaan

Jalan raya dapat digolongkan dalam klasifikasi berdasarkan pengawasan dan


pendanaan yang mana mencakup beberapa golongan meliputi :
1) Jalan nasional; Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan
jalan strategis nasional, serta jalan tol.
2) Jalan provinsi; Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota,
atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategisprovinsi.
3) Jalan kabupaten; Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan
jalan primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan jalan provinsi, yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukotakecamatan, antar ibukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan
lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4) Jalan kota; Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan
antarpusat pemukiman yang berada di dalam kota.
5) Jalan desa; Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan atau antar pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan
`

2.1.3 Klasifikasi Jalan Menurut Sistem Jaringan


Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam
hubungan hirarki.
1) Sistem jaringan jalan primer; Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan
rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan
semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai
berikut:
a. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan;
b. Menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.

2) Sistem jaringan jalan sekunder; Sistem jaringan jalan sekunder disusun


berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang
menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer,
fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan
seterusnya sampai ke persil.
2.1.4 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsi
Jalan raya dapat digolongkan dalam klasifikasi berdasarkan fungsinya yang
mana mencakup dua golongan meliputi :
1) Jalan arteri; Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
2) Jalan kolektor; Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan lokal; Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-ratarendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4) Jalan lingkungan; Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi
`

melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah.
2.1.5 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Kelas Jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan (Pasal 11 PP No.43/1993), sebagai berikut:
1) Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
lebih besar dari 10 ton;
2) Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10
ton;
3) Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan 8 ton;
4) Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton;
5) Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yangdiizinkan
8 ton.
`

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


Muatan Sumbu Terberat
Fungsi Kelas
MST (ton)

I >10
Arteri II 10
III A 8
III A 8
Kolektor III B 8
III C 8
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997

2.1.6 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Medan Jalan


Klasifikasi Jalan Berdasarkan Medan Jalan Medan jalan diklasifikasikan
berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis
kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus memperhitungkan
keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan
perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.Klasifikasi
jalan berdasarkan medan dan besarnya kemiringan medan jalan sebagai berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Medan Jalan


No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1. Datar D <3
2. Berbukit B 3 – 25
3. Pegunungan G >25

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997

2.2 Parameter Desain Geometrik Jalan


Dalam perencanaan geomterik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan
yang harus dipahami seperti, kendaraan rencana, kecepatan rencana, volume dan
kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-
parameter ini merupakan penentuan tingkat kenyamanan dan keamanan yang
dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.
`

2.2.1 Kendaraan Rencana


Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai
sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.

Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana

Kategori Radius Putar Radius


Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm)
Kendaraan (cm) Tonjolan
Rencana (cm)
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min. Maks.

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410


Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997

2.2.2 Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana (Vr) adalah kecepatan pada suatu ruas jalan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak
pandang, dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi
menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itusepenuhnya
dari bentuk jalan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan
rencana antara lain:

1) Kondisi pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan

2) Sifat fisik jalan dan keadaan medan sekitarnya

3) Sifat dan penggunaan daerah

4) Cuaca

5) Adanya gangguan dari kendaraan lain

6) Batasan kecepatan yang diizinkan


`

Tabel 2.4 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan
Kecepatan Rencana (VR) km/jam
Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997

2.2.3 Volume Lalu Lintas

Volume lalu-lintas harian rata-rata (VLHR) adalah perkiraan volume lalulintas


harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam satuan mobil
penumpang per hari (smp/hari).

1) Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah angka satuan kendaraan dalam hal
kapasitas jalan, dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan
ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan ekivalen mobil
penumpang.

Tabel 2.5 Satuan Mobil Penumpang (SMP)


Jenis Kendaraan Nilai SMP
Sepeda 0,5
Mobil Penumpang / Sepeda Motor 1,0
Truk Ringan (< 5 ton) 2,0
Truk Sedang (> 5 ton) 2,5
Truk Berat (> 10 ton) 3,0
Bus 3,0
Kendaraan Tak Bermotor 7,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen
BinaMarga, 1997

2) Ekivalen Mobil Penumpang (EMP), faktor konservasi sebagai jenis kendaraan


dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan lainnya sehubungan
dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (Ekivalen mobilpenumpang =1,0).
`

Tabel 2.6 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP)


No. Jenis Kendaraan Datar / Bukit Gunung
1. Sedan, Jeep Station Wagon 1,0 1,0
2. Pick up, Bus kecil, Truck kecil 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5
3. Bus dan Truck besar 1,2 – 5,0 2,2 – 6,0
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen
BinaMarga, 1997

Satuan Volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan


jumlah dan lebar jalur adalah :
a. Lalu Lintas Harian Rata – rata Tahunan (LHRT) adalah jumlah lalu lintas
kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh
dari data satu tahun penuh.
jumlah lalu lintas dalam satu tahun (2.1)
LHRT =
365 hari

b. Lalu Lintas Harian Rata – Rata (LHR) adalah hasil bagi jumlah kendaraan
yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan.
jumlah lalu lintas dalam satu tahun
HRT =
365 hari (2.2)
(Silvia Sukirman, 1999)

2.2.4 Jarak Pandang

Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada
saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya
tersebut dengan aman (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997).

1) Panjang jalan didepan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik
kedudukan pengemudi, disebut dengan jarak pandang. Jarak pandang berguna
untuk: Menghindari terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan
dan manusia akibat adanya benda yang berukuran cukup besar, kendaraan yang
`

sedang berhenti, pejalan kaki, atau hewan-hewan yang beradadi jalur jalan.

2) Memberi kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak dengan


kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur sebelahnya.

3) Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai


semaksimal mungkin.
4) Sebagai pedoman pengatur lalu lintas yang diperlukan pada setiap segmen jalan
(Silvia Sukirman, 1999).
Syarat jarak pandang yang diperlukan dalam suatu perencanaan jalan raya
untuk mendapatkan keamanan setingi-tingginya bagi lalu lintas adalah sebagai
berikut:
1) Jarak Pandang Henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan pengemudi
untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah melihatadanya rintangan
pada jalur yang dilaluinya. Jarak ini merupakan dua 16 jarak yang ditempuh sewaktu
melihat benda hingga menginjak rem dan jarak untuk berhenti setelah menginjak rem.
Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi
halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan (Shirley L.Hendarsin, 2000).
Adapun jarak panjang henti terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
a. Jarak tanggap (Jht)
Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi
melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi
menginjak rem.

d1 = V x t (2.3)
Keterangan :
d1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m)
V = Kecepatan (km/jam)
T = Waktu reaksi (detik)
`

b. Jarak pengereman (Jhr)

Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikankendaraan


sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti. Jarak minimum ini harus
dipenuhi dalam setiap bagian jalan raya, besar yang diperlukan dilihat pada tabel
dibawah ini.

Tabel 2.7 Jarak Pandang Henti Minimum


V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2) Jarak Pandang Mendahului (Jd)

Jarak pandang mendahului yaitu jarak yang dibutuhkan pengemudi sehingga


dapat melakukan gerakan mendahului dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari
arah depan dengan bebas dinamakan jarak pandangan mendahului.
Jarak pandang mendahului (Jd) standar dihitung berdasarkan panjang jalan yang
diperlukan untuk dapat melakukan gerakan mendahului suatu kendaraan dengan
sempurna dan aman berdasarkan asumsi yang diambil. Apabila dalam suatu
kesempatan dapat mendahului dua kendaraan sekaligus, hal itu tidaklah merupakan
dasar dari perencanaan suatu jarak pandangan mendahului total. Jarak pandangan
mendahului (Jd) standar pada jalan dua lajur dua arah dihitung berdasarkan beberapa
asumsi terhadap sifat arus lalu lintas yaitu:
a. Kendaraan yang akan didahului harus mempunyai kecepatan yang tetap.

b. Sebelum melakukan gerakan mendahului, kendaraan harus mengurangi.

c. Kecepatannya dan mengikuti kendaraan yang akan disiap dengan kecepatan


yang sama.

d. Apabila kendaraan sudah berada pada lajur untuk mendahului, maka pengemudi
harus mempunyai waktu untuk menentukan apakah gerakan mendahului dapat
diteruskan atau tidak.

e. Kecepatan kendaraan yang mendahului mempunyai perbedaan sekitar 15


`

km/jam dengan kecepatan kendaraan yang didahului pada waktu melakukan


gerakan mendahului.

f. Pada saat kendaraan yang mendahului telah berada kembali pada lajur jalannya,
maka harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang bergerak dari arah yang
berlawanan.

g. Tinggi mata pengemudi diukur dari permukaan perkerasan menurut BinaMarga


(TPGJAK 1997) sama dengan tinggi objek yaitu 105 cm.

h. Kendaraan yang bergerak dari arah yang berlawanan mempunyai kecepatan


yang sama dengan kendaraan yang mendahului.

Adapun estimasi jarak pandangan mendahului diformulasikan dengan


persamaan sebagai berikut:

Jd = d1 + d2 + d3 + d4 (2.4)
Keterangan :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m)
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dariarah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)

d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan (m)
Adapun rumusan estimasi d1, d2, d3, dan d4 adalah sebagai berikut:
T1
d1 = 0,278 TI (VR − m + a. ) (2.5)
2

d2 = 0,278 VR T2 (2.6)

d3 = antara 3 − 100m (2.7)

2
d4 = 3 d2 (2.8)
`

Keterangan :

TI = waktu dalam (detik), = 2,12 + 0, 026 VR

T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), = 6,56 + 0,048 VR

A = percepatan rata-rata, (km/jam/detik), = 2,052 + 0,0036 VR


m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang mendahului dan kendaraan yang
didahului, (biasanya diambil 10 – 15 km/jam).

Tabel 2.8 Panjang Jarak Pandang Mendahului


VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

Tabel 2.9 Jarak Kendaraan Mendahului dengan Kendaraan Datang


VR (km/jam) 50 – 65 65 – 80 80 – 95 95 – 110
Jh minimum (m) 30 55 75 90
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

Gambar 2.1 Proses pergerakan mendahului untuk jarak pandang melalui

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997
`

Keterangan :
A = Kendaraan yang mendahului
B = Kendaraan yang berlawanan arah
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A

2.3 Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinyemen horizontal juga dikenal dengan nama ”situasi jalan”. Alinyemen horizontal
terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis
lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja atau busur lingkaran saja. Ditinjau secara umumpenempatan alinyemen
horizontal harus dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna jalan.
Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1) Sedapat mungkin menghindari broken back, artinya tikungan searah yang hanya
dipisahkan oleh tangen yang sangat pendek yang dapat mengurangi keamanan
dan kenyamanan bagi pengguna jalan.
2) Pada bagian yang relatif lurus dan pajang jangan tiba-tiba terdapat tikungan yang
tajam yang dapat membahayakan pengemudi.
3) Kalau tidak terpaksa jangan menggunakan radius minimum sebab jalan tersebut
akan sulit mengikuti perkembangan yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
4) Apabila terpaksa menghadapi tikungan ganda maka dalam perencanaan harus
diusahakan agar jari-jari (R1) lebih kecil atau sama dengan jari-jari lengkung
kedua (R2) x 1,5.
5) Hindari sedapat mungkin lengkung yang terbalik dengan mendadak.
6) Hindarkan lengkung yang tajam pada timbunan yang tinggi.

2.3.1 Penentuan Trase Jalan


Pada perencanaan alinyemen horizontal pada seluruh bagian harus dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan fungsinya serta keamanan dan
kenyamanan pengguna jalan. Untuk membuat jalan yang baik dan ideal, maka harus
memperhatikan syarat-syarat berikut:
`

1) Syarat Ekonomis
a) Penarikan trase jalan yang tidak terlalu banyak memotong kontur,
sehingga dapat menghemat biaya dalam pelaksanaan pekerjaan galian dan
timbunan nantinya.
b) Penyedia material dan tenaga kerja yang diharapkan tidak terlalu jauh dari
lokasi proyek sehingga dapat menekan biaya.
2) Syarat Teknis

Tujuannya adalah untuk mendapatkan jalan yang memberikan rasa


keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan keadaan topografi tersebut, sehingga dapat dicapai perencanaan
yang baik sesuai dengankeadaan daerah setempat.
2.3.2 Bagian Lurus
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna jalan, ditinjau dari
segi kelelahan pengemudi, maka maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh
dalam waktu ≤ 2,5 menit (sesuai VR)

Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum


Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi Jalan Datar (m) Bukit (m) Gunung (m)
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2.3.3 Tikungan
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan,
dimana terdapat gaya sentrifugal ini mendorong kendaraan secara radial keluar jalur.
Atas dasar ini maka perencanaan tikungan agar dapat memberikan keamanan dan
kenyamanan perlu memperhatikan hal-hal berikut:

1) Jari-jari Minimum
Agar kendaraan stabil pada saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu kemiringan
melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi. Pada saat kendaraan melalui
daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan
`

dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang dengan gaya
normal disebut koefisien gesekan melintang. Untuk menghindari terjadinya
kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu ditentukan jari- jari minimum untuk
superelevasi maksimum dapat dilihat pada tabel 2.11.

Tabel 2.11 Panjang Jari-Jari Minimum untuk emaks= 10%


V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum 600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2) Jenis-Jenis Tikungan
Didalam suatu perencanaan garis lengkung maka perlu diketahui hubungan
kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan (superelevasi) karena garis
lengkung yang direncanakan garis dapat mengurangi gaya sentrifugal secara
berangsur-angsur mulai dari nol sampai nol kembali. Bentuk tikungan dalam
perencanaan tersebut adalah:
a. Tikungan Full Circle (FC)
Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar
dan sudut tangan relatif kecil atas dasar ini maka perencanaan tikungan dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan bagi bagi pengguna jalan raya, dalam
merencanakan tikungan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Lengkung Peralihan

Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan diantara bagian lurus jalan
dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R, yang berfungsi mengantisipasi
perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung
jalan berjari-jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat
berjalan ditikungsn yang berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan
mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan
dapat berupa parabola atau spiral (clothoid). Panjang lengkung peralihan ditetapkan
atas pertimbangan bahwa :
`

a) Lama waktu perjalanan dilengkungan peralihan perlu dibatasi untuk


menghindarkan kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik
(pada kecepatan Vr)

b) Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan yang dapat diantisipasi berangsur
rangs]ur pada lengkung peralihan dengan aman.

c) Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan dari bentuk kelandaian normal


kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-maks yang ditetapkan
sebagai berikut:

Untuk Vr ≤ 70 km/jam, re-maks = 0.035 m/m/detik

Untuk Vr ≤ 80 km/jam, re-maks = 0.025 m/m/detik

d) Ls di tentukan dari 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar.
Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan
VR
Ls = 3.6 𝑥 T (2.9)

Dimana :

Ls = Lengkung peralihan fiktif

T = Waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 menit

VR = Kecepatan rencana (km/jam)

e) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal


𝑉𝑅 𝑉𝑅−𝑒
𝐿𝑠 = 0.022 𝑅𝑐.𝐶 − 2.727 (2.10)
𝐶

Dimana :

Ls = Lengkung peralihan fiktif

VR = Kecepatan rencana (km/jam)

Rc = Jari-jari busur lingkaran

C = Perubahan kecepatan, 0.3-1.0/dt3


`

E = Superelevasi

f) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian


𝑒𝑛
𝐿𝑠 = 𝑒𝑚 − 3.6Гe xVR (2.11)

Dimana :

Ls = Panajng minimum lengkung peralihan,m

VR = Kecepatan rencana (km/jam)

em = Kuperelevasi maksimal

en = Kuperelevasi normal

гe = Tingkat perubahan kemiringan melintang (m/m/det)

2) Kemiringan Melintang

Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi


perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut kelandaian
relatif. Pencapaian tikungan dengan full circle untuk dapat menggambarkan
pencapaian kemiringan dari lereng norml ke kemiringan penuh, kita harus hitung dulu
lengkung peralihan fiktif (Ls '). Adapun Ls ' dihitung berdasarkan landai relatif
maksimum, dan Ls ' dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Ls '= (e+en )x B x 1/m (2.12)

Dimana :

Ls = Panajng minimum lengkung peralihan,m

1/m = Landai relatif (%)

e = Superelevasi (m/m')

en = Kemiringan melintang normal (m/m')

B = Lebar Jalur (m)

3) Kebebasan Samping
`

Daerah bebas samping tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan


pandangan pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (kebebasan samping).
Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di
tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh M (m), diukur dari
garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh
terpenuhi. Daerah bebas samping ditikungan di hitung berdasarkan jarak pandang
henti.

M = R (1- cos θ) (2.13)

Berdasarkan jarak pandang mendahului

M = R (1- cos θ) + 1/2 (S – L) sin θ (2.14)

Dimana :

M = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m)

θ = Setengah sudut pusat sepanjang L ( ͦ )

R = Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)

S = Jarak pandang (m)

L = Panjang tikungan (m)


Jenis tikungan full circle ini merupakan jenis tikungan yang paling ideal ditinjau
dari segi keamanan dan kenyamanan pengendara dan kendaraannya,namun apabila
ditinjau dari penggunaan lahan dan biaya pembangunan yang relatif terbatas, jenis
tikungan ini merupakan pilihan yang sangat mahal. Adapun batasan dimana
diperbolehkan menggunakan full circle adalah sebagai berikut sesuai tabel 2.12.

Tabel 2.12 Jari-Jari yang Tidak Mememrlukan Lengkungan Peralihan


V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997
`

Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil dari angka diatas maka bentuk
tikungan yang dipakai adalah Spiral Circle Spiral.
Adapun rumus-rumus yang digunakan pada tikungan full circle, yaitu :

Tc = Rc Tan 2 (2.15)


Lc = 180 π Rc (2.16)

Rc
Ec = ∆ (2.17)
cos −Rc
2

1
𝐸𝑐 = 𝑇𝑐𝑥𝑇𝑎𝑛 ∆ (2.18)
4

Dimana:

 = Sudut busur lingkaran

O = Titik pusat lingkaran


Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau dari PI ke TC (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran (m)
Lc = Panjang busur lingkaran (m)

Gambar 2.2 Bentuk Tikungan Full Circle

Sumber:Saodang, 2010
`

b. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau pegunungan,
karena tikungan seperti ini memiliki lengkung peralihan yang memungkinkan
perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan tersebut menjadi aman.
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral-circle-spiral ini haruslah sesuai
dengan kecepatan dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang
melebihi harga maksimum yang ditentukan, yaitu:

1) Kemiringan maksimum antar jalan kota : 0,10

2) Kemiringan maksimum jalan dalam kota : 0,082

Adapun runus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-circle-spiral yaitu:


Ls 360
𝜃𝑠 = 2πR 𝑥 (2.19)
2𝜋

∆𝑐
∆𝑐 = 𝑥2𝜋𝑅 (2.20)
180

∆𝑐 = ∆ − 2𝜃𝑠 (2.21)

Ls2
Ys = (2.22)
6R

𝐿𝑠-2
𝑋𝑠 = 𝐿𝑠 − 20𝑥𝑅2 (2.23)

P = Ys − R(1 − cosθs) (2.24)


`

k = Xs − R sin θs (2.25)

1
Ts = (Rc = +p)Tan 2 ∆ + K (2.26)

1
Es = (R + p)Sec 2 ∆ − R (2.27)

Dimana:
θs = Sudut lengkung spiral. Dengan syarat 2 θs < β

Ls = Panjang lengkung peralihan

Rc = Jari-jari lingkaran
 = Sudut tikungan atau sudut tangen

Lc = Panjang busur lingkaran


Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen
Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC
P = Pergeseran tangen terhadap spiral
k = Absis dari “p” pada garis tangen spiral
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ST

TS = Titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk

Es = Jarak PI ke busur lingkaran

Kontrol :

Lc > 25 m

L = Lc + 2 Ts (2.28)

Jika L < 25 m, gunakan jenis tikungan spiral-spiral dan untuk Lc = 0, berarti


termasuk dalam tikungan full circle
`

Gambar 2.3 Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral

Sumber: Saodang, 2010

c. Tikungan spiral-spiral

Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang tajam. Adapun rumus-rumus
yang digunakan pada tikungan spiral-spiral, yaitu :
1
θs = 2 ∆ (2.29)

∆C = 0 (2.30)

Lc = 0 (2.31)

1
Yc = 6R xLS2 (2.32)

1
Xc = LS − 40 xLS2xR (2.33)

k = Xc − R sin θs (2.34)
`

P = Yc − R (1 − cos θs) (2.35)


Ts = (R + P)Tan 2 + k (2.36)

R+P
ES = ∆ −R (2.37)
Cos
2

L = LC + 2LS (2.38)

Dimana:
TS = Titik peralihan tangen – spiral
ST = Titik peralihan spiral – tangen
PI = Titik perpotongan horizontal
Ls = Panjang lengkung lingkaran
Δ = Sudut tangen / sudut perpotongan
T = Jarak antara TS – PI
R = Radius lengkung
P = Pergeseran tangen terhadap spiral

k = Absis dari p pada garis tangen spiral

Gambar 2.4 Bentuk Tikungan Spiral-Spiral

Sumber: Saodang, 2010


`

3) Superelevasi
Penggambaran superelevasi dilakukan untuk mengetahui kemiringan-
kemiringan jalan pada bagian tertentu, yang berfungsi untuk mempermudah dalam
pekerjaannya atau pelaksanaannya dilapangan.
a. Pencapaian Superelevasi, superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari
kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan
penuh (superelevasi) pada bagian lengkung.
1) Pada tikungan spiral-circle-spiral, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linier, diawali dari bentuk normal sampai lengkung peralihan (TS)
yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.
2) Pada bagian full circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier,
diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran
penuh sepanjang 1/3 Ls.
3) Pada tikungan spiral-spiral, pencapaian superelevasi seluruhnya
dilakukan pada bagian spiral.
4) Superelevasi tidak diperlukan jika radius cukup besar, untuk itu cukup
lereng luar diputar sebesar lereng normal (LN) atau bahkan tetap lereng
normal (LN).
Superelevasi maksimum dipengaruhi oleh :
a) Kondisi iklim/cuaca
b) Kondisi medan
c) Kondisi daerah
d) Kondisi lalu lintas
Dengan nilai superelevasi maksimum (emaks) :
a) Jalan licin, sering hujan, kabut emaks 8%
b) Jalan di perkotaan, sering macet emaks 4 – 6 %
c) AASHTO emaks 0,04; 0,06; 0,08; 0,10; 0,12
d) Bina marga ~ jalan luar kota emaks 10%; jalan dalam kota emaks 6%
`

Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari


lereng normal ke superelevasi penuh. Dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Untuk jalan tanpa median :
1. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu
2. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi sumbu
3. Memutar perkerasan terhadap tepi luar

Gambar 2.5 Lereng normal-diagram superelevasi dengan sumbu jalan sebagai


sumbu putar
Sumber: Standar Geometrik Jalan Perkotaan, RSNI T-14 2004, BSN, 2004

b) Untuk jalan yang memiliki median


1. Memutar perkerasan dengan sumbu masing – masing jalur jalan
sebagai sumbu putar (diperlakukan terpisah).
2. Memutar perkerasan sendiri – sendiri terhadap sisi – sisi median
sebagai sumbu putar, sedangkan median sendiri tetap dalam keadaan
datar.
3. Seluruhnya, termasuk median diputar sebagai bidang dengan sumbu
putar adalah sumbu median
`

Gambar 2.6 Lereng normal – diagram superelevasi dengan tepi dalam perkerasan
sebagai sumbu putar
Sumber: Standar Geometrik Jalan Perkotaan, RSNI T-14 2004, BSN, 2004

Untuk kecepatan rencana < 80 km/jam berlaku f= -0,00065 v + 0,192.


0,192 dan untuk kecepatan rencana antara 80-112 km/jam berlaku f=-0.00125 V
+ 0,24
Contoh perhitungan :
fm = -0,00125 X Vr + 0,24
= -0,00125 X 80 + 0,24
= 0.140 (2.39)
fm = -0,00065 X Vr + 0,192
= -0,00065 X 80 + 0,192
= 0.153 (2.40)
b. Diagram Superelevasi
1) Tikungan Full Circle (FC)

Gambar 2.7 Pencapaian Superelevasi Tikungan Full Circle


Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997
`

2) Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)

Gambar 2.8 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral-Circle-Spiral


Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

3) Tikungan Spiral-Spiral (SS)

Gambar 2.8 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral- Spiral


Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2.4 Desain Pelebaran


2.4.1 Pelebaran Tikungan
Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk
mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada
bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan
cinderung untuk keluar jalur akibat posisi roda depan dan roda belakang yang tidak
sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan. Pelebaran jalan di tikungan
mempertimbangkan :
`

1) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.


2) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saa kendaraan melakukan gerakan
melingkar.
3) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana.
Dalam melakukan pelebaran perlu memperhaikan beberapa faktor yaitu :
1) Pada tikungan tanpa spiral pelebaran dilakukan pada bagian dalam, dan
dilakukan ½ sampai 2/3 dibagian lurus dan sisanya pada tikungan.
2) Pada tikungan dengan spiral pelebaran dapat dilakukan pada bagian dalam atau
membagi 2 sama besar dan menempatkan di luar dan dalam tikungan.
3) Sebaiknya dilakukan sepanjang superelevation run off (panjang pencapaian
kemiringan), tetapi jarak yang lebih pendek sering dipergunakan.
4) Pelebaran harus dilakukan secara teratur sebelum memasuki tikungan.
5) Untuk penampakan tepi perkerasan, pelebaran harus merupakan lengkung
menerus dan bukan bagian-bagian yang lurus.
• Menurut PPGJR 1970 atau rumus

B = n (B1 + C) + (n − 1)x Td + z (2.41)

Keterangan:
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m)
n = Jumlah lajur lalu lintas
B1 = Lebar lintasan kendaraan truk di tikungan (m)
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan (m)
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi (m)
C = Perubahan kecepatan, diambil antara 0,3-1,0 m/s3 (disarankan 0,4 m/s3)

Gambar 2.10 Desain pelebaran


Sumber : PPGJR, 1997
`

• Menurut Tata cara perencanaan Geometrik Jalan Antar kota 1997


Pelebaran ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan besarnya
ditetapkan sesuai dengan tabel.
• Menurut Standar perencanaan Geometrik untuk jalan perkotaan 1992
Pelebaran ditentukan tipe jalan dan jari – jari, yang diberikan dalam bentuk
table. Pada jalan utama dengan lalin yang tinggi dipakai kendaraan rencana
truck semi trailer.
• Menurut AASHTO 1984

Pelebaran ditentukan oleh derajat lengkungnya. Dimana derajat lengkung


ini berhubungan dengan R dengan rumus :

1432,39
D= (2.41)
Rc

Penentuan lebar pelebaran jalur lalu lintas di tikungan ditinjau dari


elemenelemen; keluar jalur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di
tikungan.

Tabel 2.13 Pelebaran di Tikungan per Lajur (m) untuk Lebar Jalur 2 x (B) m, 2 Arah
atau 1 Arah.
Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
R
50 60 70 80 90 100 110 120
(m)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2
1500 0.3 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.5 0.0 0.6 0.0 0.1
1000 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.6 0.2 0.2
750 0.6 0.0 0.6 0.0 0.7 0.1 0.7 0.1 0.7 0.1 0.8 0.2 0.8 0.3 0.3
500 0.8 0.2 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.0 0.5
400 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5
300 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 0.5
250 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5 1.2 0.6
200 1.2 0.6 1.3 0.7 1.3 0.8 1.4
150 1.3 0.7 1.4 0.8
`

140 1.3 0.7 1.4 0.8


130 1.3 0.7 1.4 0.8
120 1.3 0.7 1.4 0.8 Keterangan
110 1.3 0.7 1.4 0.8 Kolom 1, untuk (B) = 3,00 m
100 1.4 0.8 Kolom 2, untuk (B) = 3,50 m
90 1.4 0.8
80 1.6 1.0
70 1.7 1.0
Sumber: Perencanaan Teknik Jalan Raya, Shirley L. Hendarsin, 2000

2.4.2 Daerah Bebas Samping Di Tikungan


Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandang di tikungan sehingga jarak pandang henti terpenuhi, dengan membebaskan
obyek – obyek penghalang sejauh E (meter), diukur dari garis tengah lajur dalam
sampai obyek penghalang. Terdapat dua kemungkinan keadaan, yaitu:
1) Jarak Pandang Henti < Panjang Tikungan (S < L)
2) Jarak Pandang Henti < Panjang Tikungan (S>L)
2.4.3 Tikungan Gabung/Majemuk
Terdapat dua macam tikungan gabungan yaitu:
1) Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan
arah putaran yang sama tetapi dengan jari – jari berbeda.

2) Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah
putaran berbeda. Penggunaan tikungan gabungan tergantung pada
perbandingan R1 dan R2:

𝑅1 2
𝑅2
< 3, tikugan gabungan searah di hindarkan n

𝑅1 2
𝑅2
< 3, tikugan gabungan harus dilengkapi dengan bagian lurus atau clothide
sepanjang paling tidak 20 m

Setiap tikungan balik arah harus dilengkapi dengan bagian harus diantara
kedua tikungan paling tidak 30 m
`

2.5 Alinyemen Vertikal

Alinyemen Vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang


permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui
tepi dalam masing – masing perkerasan untuk jalan dengan median, seringkali disebut
juga sebagai penampng memanjang jalan. Pada perencanaan alinyemen vertikal akan
ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga
kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua
lengkung tersebut ditemui juga kelandaian = 0 (datar) (Shirley L.Hendarsin, 2000).
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung. Ditinjau
dari titik awal perencanaan, bagian lurus dapat berupa :
• Landai positif (tanjakan)

• Landai (turunan)

• Landai nol (datar)

Sedangkan unuk bagian lengkung vertikal dapat berupa:

• Lengkung cekung

• Lengkung cembung

Perencanaan Alinyemen vertikal dipengaruhi:

• Kondisi tanah dasar

• Keadaan medan

• Fungsi jalan

• Muka air banjir dan muka air tanah

• Kelandaian yang masih memungkinkan

2.5.1 Landai Minimum

Lereng melintang jalan hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di
badan jalan, sedangkan untuk membuat kemiringan dasar saluran samping, yang
berfungsi membuang air permukaan sepanjangn jalan diperlukan suatu kalandaian
`

minimum. Dalam menentukan landau minimum ini, terdapat dua tinjauan, yaitu:
1) Kepentingan lalu lintas, yang ideal 0%

2) Kepentingan drainase, yang ideal jalan berlandai

Sehingga dalam perencanaan disarankan menggunakan :


1) Landai datar, untuk jalan di atas timbunan tanpa kerb

2) Landai 0,15%, untuk jalan di atas timbunan, medan datar dengan kerb

3) Landai min 0,3 – 0,5%, untuk jalan pada daerah galian dengan kerb

2.5.2 Landai Maksimum


Landai maksimum adalah kemungkinan kendaraan untuk terus bergerak tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti. Landai maksimum didasarkan pada kecepatan
truk bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan lebih dari
separuh kecepatan semula tanpa menggunakan gigi rendah. Untuk standar acuan yang
digunakan merencanakan landai maksimum adalah :

Tabel 2.14 Kelandaian Maksimum


VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2.5.3 Panjang Kritis

Panjang kritis merupakan panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan
kecepatan tidak lebih dari 1/2 Vr dan lama perjalanan ditetapkan 1 menit dengan beban
penuh dan kecepatan 15 – 20 km/jam saat mencapai panjang kritis. Dengan ketentuan:
• Untuk jalan utama dengan Vr > 60 km/jam, panjang kritis tanjakan adalah
jarak maksimum dimana truk/bus dapat mencapai 50% Vr
`

• Untuk jalan lokal dengan Vr 50 km/jam dan 40 km/jam. Penerapannya saat


ini digunakan untuk menentukan panjang kritis dengan memperhitungkan
segi ekonomisnya.

Tabel 2.15 Panjang Kritis Kelandaian


Kecepatan pada awal Kelandaian (%)
Tanjakan (km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2.5.4 Lajur Pendakian

Lajur pendakian adalah lajur khusus untuk truk bermuatan berat/kendaraan lain
yang berjalan dengan kecepatan lebih rendah, sehingga kendaraan lain dapat
mendahului tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
Lebar lajur pendakian umumnya 3 m atau sama dengan lajur rencana. Dimulai 30 m
dari awal perubahan kelandaian dengan serongan 45 m dan berakhir 50 m sesudah
puncak kelandaian.
Kelandaian yang memerlukan lajur pendakian adalah tanjakan dengan landai 5%
atau lebih (3% atau lebih untuk jalan dengan Vr >= 100 km/jam),Sedangkan
penempatannya dilakukan dengan ketentuan:
• Disediakan pada jalan arteri/kolektor

• Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR>15.000 SMP/hari dan


presentase truk >15%
Faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan lajur pendakian diantaranya:

• Tingkat pelayanan

• Kelandaian

• Panjang landau

• Volume lalu lintas rencana/kapasitas lalu lintas


`

• Komposisi kendaraan berat

2.5.5 Lengkung Vertikal

Tujuan adanya lengkung vertikal adalah untuk merubah secara bertahap


pergantian 2 macam kelandaian sehingga mengurangi shock dan menyediakan jarak
pandang henti yang dapat menyebabkan aman. Terdapat dua bentuk lengkung vertikal,
yaitu:
1) Lengkung vertikal cekung (Sag Vertikal Curve) adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2) Lengkung Vertikal Cembung (Crest Vertikal Curve) adalah lengkung dimana
titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan.

Gambar 2.11 Lengkung vertikal


Sumber: Bina Marga, 1997

Tabel 2.16 Panjang Lengkung vertikal


Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian
Panjang Lengkung (m)
(km/jam) Memanjang (%)
<40 1 20-30
40-60 0.6 40-80
>60 0.4 80-150
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam lengkung vertical :

𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


𝑔= 𝑋100% (2.43)
𝑆𝑇𝐴 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑆𝑇𝐴 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
`

A = g1 − g2 (2.44)

Vr
vr ( .6)^2
3
Jh = x6T + (2.45)
3 2gf

𝐴.𝐿𝑣
𝐸𝑣 = (2.46)
800

Lv.g1
X= (2.47)
A

1
Ax ( ^)2
Lv
y= (2.48)
200.Lv

Panjang lengkung Vertikal (Lv)


1) Syarat keluwesan bentuk
Lv = 0,6xV (2.43)
2) Syarat drainase
Lv = 40xA (2.43)
3) Syarat kenyamanan

AxV^2
Ev = (2.43)
390

Gambar 2.12 Persamaan lengkung vertikal


Sumber:Adrian, 2014
`

a. PLV : Peralihan lengkung vertikal

b. PPV : Pusat perpotongan vertikal

c. PTV : Peralihan tangen vertikal

d. L : Panjang proyeksi lengkung pada bidang horizontal (panjang


lengkung vertikal)
e. g1,g2 : Kelandaian bagian tangen (%)

f. Ev : Pergeseran vertikal dari PPV ke lengkung

1) Lengkung Vertikal Cekung

Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara


kedua tangen berada diatas permukaan jalan.
a. Jarak Pandangan Bebas di Bawah Bangunan

Merupakan jarak pandangan bebas pengemudi yang melintasi bangunan lain


yang terhalang oleh bagian bawah bangunan tersebut.
b. Jarak Penyinaran Lampu Kendaraan

Merupakan batas pandangan pengemudi pada malan hari (tinggi lampu 0,6
dan sudut penyebaran 1º)
c. Kenyamanan Pengemudi

Ditinjau dari adanya gaya sentrifugal dan gravitasi pada lengkung cekung.

Gambar 2.13 Lengkung vertikal cekung

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997
`

2) Lengkung Vertikal Cembung


Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada diatas permukaan jalan. Ditentukan berdasarkan :
a. Jarak Pandang

• Jarak pandang henti

• Jarak pandang menyiap (menyusul)

b. Kebutuhan Drainase

Ditentukan dengan memperhatikan bahwa lengkung vertikal cembung yang


panjang dan relatif datar, dapat menyebabkan kesulitan dalam drainase jika sepanjang
jalan dipasang kerb. Sehingga dibatasi untuk tidak melebihi L = 50A.
c. Kenyamanan Perjalanan

Pertimbangan secara visual sehingga tidak kelihatan melengkung, diambil


tidak kurang dari 3 detik perjalanan.

Gambar 2.14 Lengkung Vertikal Cembung

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997
Keterangan :

PLV = Titik awal lengkung parabola

PPV = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2

PTV = Titik akhir lengkung parabola


G = Kemiringan tangen ; (+) naik; (-) turun
`

Δ = Perbedaan aljabar landai (g1 - g2) %


EV = Pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV1 - m) meter
Lv = Panjang lengkung vertikal
V = Kecepatan rencana (km/jam)

Jh = Jarak pandang henti

f = Koefisien gesek memanjang menurut Bina Marga, f = 0,35

2.6 Koordinasi Alinyemen Vertikal dan Horizontal

Alinyemen horizontal dan vertikal harus dikoordinasikan sehingga


menghasilkan bentuk jalan yang baik, dalam arti memudahkan pengemudi
mengemudikan kendaraan dengan aman dan nyaman. Atau dengan kata lain
pengemudi dapat melihat bentuk jalan yang akan dilaluinya sehingga dapat antisipasi
dapat lebih awal. Ketentuan koordinasi alinyemen :
1) Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan vertikal dan secara ideal
alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal.
2) Tikungan tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau padabagian
atas vertikal cembung dihindarkan.
3) Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjangharus
dihindarkan.
4) Dua atau lebih vertikal cekung dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan.
5) Tikungan tajam diantara dua bagian lurus dan panjang harus dihindarkan.

2.7 Perencanaan Galian dan Timbunan

Dalam perencanaan jalan raya diusahakan agar volume galian sama dengan
volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen vertikal dan horizontal
memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan.
Langkah-langkah dalam perhitungan galian dan timbunan, antara lain :
`

1) Pendahuluan

Pekerjaan galian timbunan dilakukan apabila alinyemen vertikal dan horizontal


dan penomoran stasion telah pasti. Galian dan timbunan merupakan volume tanah
akibat adanya perbedaan ketinggian muka tanahasli dengan ketinggian rencana trase.
Volume galian dan timbunan akan menentukan harga pekerjaan pembangunan jalan
secara keseluruhan. Jenis tanah ikut dipertimbangkan dalam menentukan
penggunaanya sebagai timbunan.

2) Faktor Kembang Susut

Kembang susut adalah perubahan volume tanah akibat dari tanah tersebut telah
digali maupun tanah tersebut dipadatkan. Faktor kembang susut berbeda tiap tanah
bergantung dari jenis tanah.
3) Perhitungan Penampang

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk perhitungan penampang


bergantung dari bentuk penampang tanah tersebut. Untuk penampang yang tidak
beraturan luas penampang dicari dengan menggunakan alat planimeter atau bisa
gambar pada kertas millimeter. Sedangkan untuk penampang yang beraturan bisa
menggunakan rumus planimetri.
4) Perhitungan Volume

Metoda perhitungan volume galian timbunan yang lazim digunakanadalah


metode Average End Area Method. Dengan metoda ini, ditentukan luas galian dan
timbunan pada penampang – penampang. Volume galian (G) adalah luas galian rata
- rata dari dua penampang berurutan dikalikan dengan jarak antara kedua penampang
tersebut (0,5[G1+G2].d). Volume timbunan adalah rata – rata dari dua penampang
tersebut dikalikan dengan jaraknya (0,5[T1+T2].d)
5) Mass Diagram

Mass diagram adalah kurva untuk menggambarkan pemindahan tanah (haul),


pada suatu penampang melintang diatas atau dibawah profil jalan, mulai dari suatu
stasion tertentu sampai stasion berikutnya. Mass diagram dapat digunakan sebagai
beberapa alternatif untuk membandingkan nilai ekonomis dari sutu pekerjaan jalan
`

raya. Dengan membuat mass diagram dapat kita lihat pemindahan tanah dengan
overhaul, bisa menguntungkan atau tidak.

2.8 Stationing

Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah


memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan
(STA jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenali
lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu
tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan.
Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang jalan
secara keseluruhan. Setiap STA jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintangnya.
Adapun interval untuk masing-masing penomoran jika tidak adanya perubahan
arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal adalah sebagai
berikut :
1) Setiap 100 m, untuk daerah datar

2) Setiap 50 m, untuk daerah bukit

3) Setiap 25 m, untuk daerah gunung

Dengan format umum stationing X+YYY,ZZZ, dimana X menunjukkan besaran


kilometer, Y adalah besaran meter, dan Z adalah besaran per seribuan meter.
Stationing pada lengkung horizontal selain setiap jarak diatas, juga disesuaikan dengan
bentuk lengkungnya (FC,SCS,SS), karena perlu adanya penentuan station pada tempat
perubahan – perubahan lengkung.
Nomor jalan (STA jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km
disepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :
a. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang
umumnya terletak di Ibukota, Provinsi atau Kotamadya, sedangkan patok
STA merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan.
b. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar yang
`

berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama masa


pelaksanaan proyek jalan tersebut. Sistem penomoran jalan pada tikungan dapat
dilihat pada gambar 2.15.

Gambar 2.15 Sistem Penomoran Jalan

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997

2.9 Simpang Sebidang

Persimpangan adalah pertemuan dua atau lebih ruas jalan, yang didalamnya
terdapat penggunaan bersama kendaraan dari/ ke ruas-ruas tersebut. Persimpangan
dapat dibedakan :

1) Simpangan sebidang (At Grade)

2) Simpangan tidak sebidang/ simpang susun (Grade Separated)

3) Simpang susun dengan ramp

4) Simpang susun tanpa ramp

Dalam perancangan persimpangan banyak faktor yang harus dipertimbangkan


tapi pada intinya perencanaan harus memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan
pengguna jalan tersebut serta mendukung hirarki fungsi dan kelas jalan tersebut.
Adapun bentuk-bentuk persimpangan antara lain sebagai berikut.
`

Gamabar 2.16 Bentuk – bentuk persimpangan


sumber : Adrian, 2014
1) Jarak Pandang

Tipe jarak pandang dapat dibedakan :

a. Jarak pandang pendekat (JPP) disediakan pada masing – masing kaki dan lajur
belok persimpangan. JPP dihitung dari tinggi mata pengendarapermukaan jalan
(1,5 m).
b. Jarak pandang masuk (JPM) perlu ditentukan untuk persimpangan dengan
prioritas dan untuk pengendara di jalan Minor membelok ke kanan atau ke
kiri masuk ke jalan major.
c. Jarak pandang aman persimpangan disediakan untuk kendaraan di jalan major
cukup untuk menyeberang ke kaki persimpangan yang lainnya.
2) Alinyemen

Secara umum dapat dikatakan bahwa alinemen horizontal untuk jalan menerus
harus tetap bila melewati persimpangan. Lengkung yang tajam atau perubahan
`

alinyemen di dalam persimpangan baiknya dihindari. Jari – jari lengkung dan


alinyemen vertikal pada suatu persimpangan sebaiknya sama dengan bagian ruas jalan.
Alinyemen vertikal sebaiknya 2,5%, sejauh mana kondisi tepi jalan tersebut masih
aman dan lancer bagi lalu lintas. Disarankan jarak minimum bagian yang datar sama
dengan hasil perkalian banyaknya kendaraan yang berhenti dikalikan dengan headway
dalam satu cycle time.
3) Kaki/Lengan Persimpangan

Jumlah kaki/lengan persimpangan disarankan tidak lebih dari 4. Jalan baru


sebaiknya tidak dirancang untuk dihubungkan dengan suatu persimpangan yang telah
ada. Untuk hal – hal dimana kondisi medan sangat sulit maka persimpangan saling
tegak lurus sulit diperoleh, maka persimpangan bisa tidak saling tegak lurus. Panjang
daerah persimpangan ditentukan oleh perkiraan panjang antrian kendaraan yang
terjadi. Untuk simpang tiga ganda memiliki parameter perencanaan : Jarak antara
lengan persimpangan harus lebih kecil dari 40 m, lintasan lalu lintas utama dilayani
oleh jalur lurus. Jarak antara persimpangan harus sejauh mungkin, jarak minimum
harus lebih besar jumlah : panjang jalinan, perkiraan panjang antrian yang terjadi
selama satu siklus periode berhenti, panjang lajur perlambatan.
4) Jalur

Lajur merupakan bagian dari jalur yang memanjang, lebar lajur tergantung
kepada kecepatan rencana dan kendaraan rencana, terutama dalam melakukan
maneuver pergerakan membelok. Kebutuhan lajur membelok dan jumlah lajur di
persimpangan ditetapkan dengan mengacu pada MKJI. Pergeseran poros lajur
tambahan (jika diperlukan) harus dengan lengkung/taper yang tepat. Kaki/Lengan
persimpangan untuk lalu lintas menerus, lajur masuk dan lajur keluar harus berada
pada satu lintasan/poros garis lurus.
5) Kanal

Kanal adalah lajur khusus untuk belok kiri, lajur khusus belok kiri harus
dilengkapi pulau lalu lintas. Lebar kanal merupakan fungsi dari manuver kendaraan
rencana membelok. Selain itu kanal memiliki fungsi sebagai pengarah danpengontrol
arus lalu lintas. Kanalisasi ini secara fisik dapat berupa marka jalan atau kerb, pagar,
`

ataupun pagar pengaman, dan patok pengarah. Dan dalam perencanaanya perlu
dipertimbangkan luas lahan yang ada, jenis pengatur lalu lintas, kendaraan rencana,
kecepatan rencana dan volume lalu lintas. Karena faktor - faktor tersebut akan
menentukan panjang jari – jari kanal.

6) Palu Lalu Lintas

Pulau lalu lintas memiliki fungsi : mengatur lalu lintas, memperlancar arus lalu
lintas, bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlindung bagi pejalan kaki yang melakukan
penyeberangan jalan. Pulau lalu lintas dibagi dalam 3 kelompok yaitu pulau – pulau
kanal (pengatur lalu lintas), pulau pemisah (pemisah arus yang berlawanan atau
searah) dan pulau pengaman (untuk pejalan kaki).
7) Bundaran

Volume lalu lintas rencana yang digunkan dalam perencanaan bundaran adalah
volume lalu lintas seluruh kaki/lengan yang diperkiran akan memasuki bundaran pada
akhir umur rencana. Kendaraan rencana yang digunakan adalah kendaraan dengan
radius putar yang paling besar.

2.10 Standar Perencanaan Jalan Raya

2.10.1 Standar Perencanaan

Tabel daftar standar perencanaan geometric yang terdapat pada PPGJR 1970,
Standar perencanaan geometrik untuk jalan perkotaan 1992, Tata cara perencanaan
geometrik jalan antar kota 1997.
`

Tabel 2.17 Daftar Standar Perencanaan Geometrik

sumber: Syivia, 2014

2.10.2 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan dapat dibedakan berdasarkan fungsi dan volume serta sifat lalu
lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan tersebut. Dengan demikianklasifikasi
jalan dapat dibedakan berdasarkan :

1. Fungsi jalan

a) Berdasarkan PPGJR 1970

• Jalan utama = Kelas jalan I direncanakan untuk lalu lintas cepat dan
berat. Lalin pusat produksi ~ pusat eksport.

• Jalan sekunder = Kelas jalan IIA, IIB, IIC direncanakan untuk lalu lintas

• Jalan lokal = Kelas jalan III untuk keperluan aktivitas daerah


`

direncanakan untuk lalu lintas sedang. Lalin golongan yang sama.

b) Berdasarkan UU No.13/1980
• Jalan arteri = melayani perjalanan jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi
dengan jumlah jalan masuk dibatasi.
• Jalan kolektor = melayani perjalanan jarak sedang, kecepatan rata – rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
• Jalan lokal = melayani perjalanan jarak dekat, kecepatan rata – ratarendah
dan jumlah masuk tidak dibatasi.

c) Berdasarkan SPGJP 1992


• Jalan arteri primer = pusat kegiatan nasional ~ pusat kegiatan wilyah
• Jalan kolektor primer = pusat kegiatan wilayah~ pusat kegiatan lokal
• Jalan arteri sekunder = kawasan primer ~ kawasan sekunder I atau
kawasan sekunder I ~ kawasan sekunder I atau kawasan sekunder I ~
kawasan sekunder II.
• Jalan kolektor sekunder = kawasan sekunder II ~ kawasan sekunder III
atau kawasan sekunder II ~kawasan sekunder III
• Jalan lokal sekunder = kawasan sekunder I, II, III ~ perumahan cepat dan
tinggi. Lalin kota penting ~ kota yang lebih kecil.

2. Kelas Jalan

Kelas jalan Ps. 11 PP No. 43/1993

a. Arteri

b. Kolektor
`

3. Medan Jalan

Berdasarkan tata perencanaan geometrik jalan antar kota, PU,Ditjen Bina


Marga 1997.
a. Datar (D)

b. Perbukitan (B)

c. Pegunungan (G)

4. Wewenang Pemeliharaan

a. Jalan nasional

b. Jalan provinsi

c. Jalan kabupaten

d. Jalan desa

e. Jalan khusus

2.9.3 Parameter Perencanaan

1. Kendaraan rencana

Kendaraan rencana dalam geometrik digunakan untuk merencanakan bagian

-bagian jalan, dengan pengelompokan sebagai berikut :

• Standar desain geometrik jalan antar kota

• Kendaraan kecil, diwakili mobil penumpang

• Kendaraan sedang, diwakili truk 3 as tandem atau bus besar 2 as

• Kendaraan besar, diwakili truk semi trailer


`

Gamabar 2.17 Manuver Kendaraan

Sumber : Adrian, 2014

Standar desain geometrik jalan perkotaan

• Mobil penumpang

• Truk as tunggal

• Bis gandengan

• Truk semitrailer kombinasi sedang

• Truk semitrailer kombinasi besar

• Conventional school bus

• City transit bus


`

Gambar 2.18 Desain Kendaraan Perkotaan


sumber : Adrian, 2014

Dengan karakteristik kendaraan :

• Karakteristik statis, terdiri dari dimensi, berat dan kemampuan manuver.

• Karakteristik kinematis, terdiri kemampuan percepatan dan perlambatan.

• Karakteristik dinamis, karakteristik selama bergerak terdiri dari tahanan udara


(air resistance), tahanan tanjakan (grade resistance), tahanan gerak (rolling
resistance), tahanan menikung (curve resistance), tenaga yang
tersedia/dibutuhkan (power requirement) dan pengereman (braking).
2. Volume dan kapasitas jalan

a) Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati satu titik
pengamatan dalam satuan waktu.
b) LHR (lalu lintas harian rata – rata) adalah volume lalu lintas dalam satu
hari.
c) VJR (volume jam rencana) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam
`

sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP /jam. VJR dipakai
karena LHRT dan LHR tidak dapat memberikan informasi fluktuasi LL <
24 jam. Volume 1 jam yang digunakan sebagai VJR harus memenuhi
persyaratan yaitu tidak boleh terlalu sering terdapat dalam distribusi arus
LL setiap jam dalam 1 tahun, apabila terdapat yang melebihinya selisih
tidak terlalu besar, tidak mempunyai nilai yang sangat besar.
3. Tingkat pelayanan

Tingkat pelayanan adalah cara untuk mengukur kinerja suatu jalan. Tingkat
pelayanan jalan dinyatakan dengan nilai V/C (volume/capacity). Sehingga terdapat
beberapa tingkatan dari A (paling baik) s/d F (buruk) yang lainnya semakin besar
menurut rentang 0 – 1

Anda mungkin juga menyukai