Anda di halaman 1dari 145

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Esa, atas segala
nikmat yang telah Dia berikan, baik nikmat jasmani dan rohani, sehingga Laporan
Tugas Besar Perancangan Jalan Raya ini dapat diselesaikan. Laporan Tugas Besar
Perancangan Jalan Raya ini ditujukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani.

Dalam pembuatan laporan ini penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak yang terlibat. Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Ronni I.S Rono Hadinagoro, Ir., MT. selaku Ketua Jurusan Teknik
Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani.
2. Bapak Agus Juhara, ST., MT. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Perancangan Jalan Raya yang telah memberikan bimbingan dan banyak
memberikan masukan kepada penulis.
3. Bapak Hanafi, ST., MT selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Perancangan Jalan Raya yang telah memberikan masukan.
4. Seluruh Asisten yang yang telah memberikan masukan dan bimbingan.
5. Rekan – rekan mahasiswa dan sejumlah pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas besar ini.
6. Orangtua dan Seluruh Keluarga penulis yang telah memberikan moril, doa
dan kasih sayang.

Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis,
umumnya bagi semua insan yang membacanya.

Cimahi, Desember 2018


BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Peningkatan jumlah penduduk harus berbanding lurus dengan peningkatan prasarana
penunjangnya. Salah satu penunjang dalam berkembangnya Penduduk di suatu wilayah yaitu
prasarana Jalan raya. Berdasarkan UU RI Tahun 2004 Jalan raya merupakan prasarana
transportasi dar at yang meliputi segala bagian jalan,termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Jalan raya harus memiliki syarat-syarat
ekonomis menurut fungsi, volume serta sifat-sifatnya. Untuk itu diperlukan perencanaan jalan
raya yang memenuhi standar perencanaan jalan raya Bina Marga.

Dewasa ini para Engineer Sipil telah banyak mengenal dan menguasai bagaimana perencanaan
suatu sistem jalan yang baik dan juga mudah dikerjakan serta pola perencanaannya yang makin
sempurna. Meskipun perencanaan sudah semakin sempurna, namun sebagai seorang Engineer
sipil tetap selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu lintasan jalan yang paling efektif dan
efisien dari alternatif-alternatif yang ada, dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari
jalan. Dalam merencanakan suatu jalan raya perlu diupayakan pekerjaan yang relatif mudah
dengan menghindari pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang besar. Dilain pihak
kendaraan yang beroperasi di jalan raya pun menginginkan jalan yang nyaman relatif lurus, tidak
ada tanjakan atau turunan.

Perancangan Jalan Raya merupakan salah satu syarat kelulusan yang harus ditempuh bagi
Mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Sipil S1 Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI).
Dalam perancangan jalan raya didalamnya meliputi perencanaan Geometrik dan perkerasan yang
mengacu pada ketentuan dan Peraturan yang ada. Faktor yang menjadi dasar perencanaan
geometrik adalah sifat gerakan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak
kendaraannya, serta karakteristik arus lalu lintas. Hal tersebut haruslah menjadi bahan
pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak
kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. Sedangkan
perencanaan perkerasan akan sangat dipengaruhi oleh volume dan berat kendaraan yang

1
beroperasi atau melewati titik perencanaan jalan tersebut.
1.2 Tujuan Studi
Tujuan disusunnya tugas besar Perancangan Jalan Raya ini yaitu untuk memberikan pemahaman
kepada mahasiswa Teknik Sipil UNJANI dalam merencanakan jalan baru sebagai prasarana
transportasi darat berupa jalan raya sehingga diharapkan mampu mendorong perekonomian di
wilayah Kota Bandar Lampung. Disamping itu juga memberikan pemahaman bagi Mahasiswa
Teknik Sipil UNJANI dalam merencanakan geometrik jalan, merencanakan lapisan perkerasan
jalan, serta merencanakan sistem drainase di sepanjang ririk rencana jalan sesuai ketentuan dan
peraturan yang berlaku.

1.3 Ruang Lingkup Studi


Dalam tugas Perancangan Jalan Raya ini ruang lingkup perencanaan meliputi :
1. Perencanaan Geometrik Jalan yang mengacu kepada Standar Konstruksi dan Bangunan
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997
Perencanaan geometrik jalan ini meliputi:
a. Perencanaan Trase jalan
b. Alinyemen horizontal
c. Alinyemen vertikal
d. Penampang melintang
2. Perencanaan Lapisan Perkerasan Jalan yang mengacu kepada Manual Perkerasan Jalan
No.04/SE/Db/2017 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat
Jenderal Bina Marga.
3. Perencanaan Sistem Drainase yang mengacu Kepada Pedoman Konstruksi dan Bangunan
Pd.T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan.

1.4 Lokasi Studi


Lokasi studi yang Penyusun jadikan sebagai lokasi perancangan jalan yaitu berada di Kota
Bandar Lampung Provinsi Lampung. Berikut pada gambar 1.1 Penyusun sajikan peta Kota
Bandar Lampung sebagai lokasi rencana perancangan jalan baru.

3
Gambar 1 1 Peta Kontur dan Wilayah Kota Bandar Lampung
Sumber : Konsultan Perencana

4
BAB 2 Kajian Pustaka

2.1. Klasifikasi Kelas Jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton, dan kemampuan jalan tersebut dalam menyalurkan kendaraan
dengan dimensi meksismum tertentu.

Dalam Undang-Undang Jalan Raya No. 13/1980 bahwa jalan adalah suatu
prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas.

Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas
jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang
berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapatkan dari hasil survey lapangan,
kemudian dianalisis berdasarkan acuan persyaratan perencanaan geometrik yang
berlaku. Adapun perencanaan yang dimaksud adalah sesuai dengan standar
perencanaan geometrik yang dianut di Indonesia, salah satunya “Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No: 038/T/BM/1997”.

Tujuan dari perencanaan geometrik ini adalah untuk mendapatkan keseragaman


dalam merencanakan geometrik jalan antar kota, guna menghasilkan geometrik
jalan yang memberikan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pemakai
jalan

2.1.1. Fungsi Jalan


Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam klasifikasi menurut
fungsinya, dimana peraturan ini mencakup tiga golongan penting, yaitu jalan
utama, jalan sekunder, dan jalan penghubung.
1. Jalan Utama
Jalan raya yang melayani lalu lintas yang tinggi antara kota-kota yang
penting atau antara pusat-pusat produksi dan pusat-pusat eksport. Jalan-
jalan dalam golongan ini harus direncanakan untuk dapat melayani lalu
lintas yang cepat dan berat.
2. Jalan Sekunder
Jalan raya yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi antara kota-kota
penting dan kota-kota penting dan kota-kota kecil, serta melayani daerah-
daerah di sekitarnya.
3. Jalan Penghubung
Jalan untuk keperluan aktivitas daerah yang juga dipakai sebagai jalan
penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau yang
berlainan.

2.1.2. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan


Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:
1. Jalan Arteri
Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor
Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak
dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.1.3. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan terbagi atas:
1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton.

6
2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan

Muatan Sumbu
Fungsi Kelas
Terberat MST (ton)
I > 10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B

Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

2.1.4. Klasifikasi Menurut Medan Jalan


Klasifikasi menurut medan jalan terbagi atas:
1. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat
dilihat dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan

Kemiringan
No. Jenis Medan Notasi
Medan (%)
1. Datar D <3
2. Perbukitan B 3 - 25
3. Pegunungan G > 25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

3. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus


mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase
jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari
segmen rencana jalan tersebut.
2.1.5. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.26/1985 adalah
Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan
Khusus.
1. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi dan
jalan strategis nasional serta jalan tol.
2. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten.
3. Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan serta jalan
umum dalam jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten.
4. Jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
fungsinya menghubungkan pusat pelayanan kota, pusat pelayanan dengan
persil serta antar pemukiman dalam kota.
5. Jalan desa adalah jalan umum yang berfungsi menghubungkan wilayah
pemukiman dalam desa.
6. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.

2.2. Kriteria Perencanaan


2.2.1 Kendaraan Rencana

Tabel 2.3 Dimensi kendaraan rencana

Kategori Dimensi Kendaraan Tonjolan Radius Radius


Kendaraan (cm) (cm) Putar Tonjolan
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min. Maks. (cm)
Kendaraan
130 210 580 90 150 420 730 780
Kecil
Kendaraan
410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Sedang
Kendaraan
410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Besar
Sketsa dimensi kendaraan dapat dilihat dalam Gambar 2.1 sampai dengan Gambar 2.3 .

Gambar 2.1 Dimensi kendaraan kecil


Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

Gambar 2.2 Dimensi kendaraan sedang


Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

Gambar 2.3 Dimensi kendaraan berat


Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
Gambar 2.4 Jari-jari manuver kendaraan kecil
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
Gambar 2.5 Jari-jari manuver kendaraan sedang
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
Gambar 2.6 Jari-jari manuver kendaraan besar
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
2.3. Volume Lalu Lintas
Volume Lalu Lintas menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik
pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas dalam smp
ini menunjukkan besarnya jumlah Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) yang
melintasi jalan tersebut. Dari Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) yang didapatkan
kita dapat mengklasifikasi jalan tersebut seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.4 Klasifikasi kelas jalan

Lalu Lintas
No. Klasifikasi Jalan Kelas Harian (smp)
1. Jalan utama I >20.000
II A 6.000 – 20.000
2. Jalan sekunder II B 1.500 – 8.000
II C < 20.000

3. Jalan penghubung III -

Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

2.4. Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
Kecepatan rencana untuk masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel
2.5
Tabel 2.5 Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan medan jalan

Kecepatan Rencana (VR) km/jam


Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 100 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
Catatan:
Untuk kondisi medan yang sulit, kecepatan rencana suatu segmen jalan
dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih
dari 20 km/jam.
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
2.5 Satuan Mobil Penumpang
Satuan mobil penumpang adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas
jalan, di mana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu smp. Smp untuk jenis-
jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat dilihat dalam Tabel 2.6. Detail
nilai smp dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI)
No.036/TBM/1997
Tabel 2.6 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

Datar/
No. Jenis Kendaraan Pegunungan
Perbukitan
1. Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0
2. Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5
3. Bus dan Truck Besar 1,2 – 5,0 2,2 – 6,0
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

2.6 Jarak Pandang


Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada
saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan
yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari
bahaya tersebut dengan aman.

Jarak pandang henti terbagi menjadi dua, yaitu Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak
Pandang Mendahului (Jd).
1. Jarak Pandang Henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi
ketentuan jarak pandang henti. Jarak pandang henti diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15
cm diukur dari permukaan jalan. Jarak pandang henti terdiri atas 2 elemen
jarak, yaitu:
a. Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
b. Jarak pengereman (Jh) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
c. Jarak pandang henti (Jh) dalam satuan meter, dapat dihitung dengan
rumus:
𝑉
𝑉𝑅 ( 𝑅 )2
3,6
Jh = T+
3,6 2𝑔𝑓

Dari persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi:


a) Untuk jalan datar
𝑉2
Jh = 0,278 x VR x T + 254𝑅 𝑓

b) Untuk jalan dengan kelandaian tertentu


𝑅 𝑉2
Jh = 0,278 x VR x T + 254 (𝑓±𝐿)

Dimana:
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapakan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisen gesek memanjang perkerasan
aspal, ditetapkan 0.35-0,55
L = landai jalan dalam (%) dibagi 100
Syarat-syarat untuk menentukan jarak pandang henti minimum dapat dilihat
dalam Tabel 2.7 di bawah ini :
Tabel 2.7 Jarak Pandang Henti (Jh), minimum

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20


Jh, minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
2. Jarak pandang mendahului (Jd)
Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memungkinkan suatu
kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali ke lajur semula.

Jarak pandang diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi


adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.

Gambar 2.7 Jarak pandang mendahului

Jarak pandang mendahului (Jd), dalam satuan meter ditentukan sebagai


berikut:

Jd=d 1 +d 2 + d3 +d 4
Dimana:
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap, (m)
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur
semula, (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai, (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari daerah yang
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2/3 d2, (m).
Tabel 2.8Jarak Pandang (Jd)

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20


Jd, minimum (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997

2.7 Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.
Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”.
Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut “tangen”), yang
dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri
dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan saja ataupun busur
lingkaran saja.

Desain alinyemen horizontal sangat dipengaruhi oleh kecepatan rencana yang


ditentukan berdasarkan tipe dan kelas jalan. Umumnya tikungan terdiri dari tiga
jenis tikungan, yaitu Tikungan Full Circle (FC), Tikungan SpiralCircle-Spiral
(SCS), dan Tikungan Spiral-Spiral (SS).

2.7.1 Tikungan Full Circle (FC)


Full Circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran
saja. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang
besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan
superelevasi yang besar. Jari-jari tikungan untuk tikungan jenis Full Circle
ditunjukkan dalam Tabel 2.9
Tabel 2.9 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan

VR, 120 100 80 60 50 40 30 20


km/jam
Rmin, (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 660
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
TC EC

C CT
TC

RC

RC RC

2 2

Gambar 2.8 Tikungan Full Circle (FC)

Rumus yang digunakan pada tikungan Full Circle, yaitu:


𝜋
LC = 2x Δ
1
TC = R tan 2 Δ
1
EC = TC tan 4 Δ

Dimana:
Δ = suhu tangan, (°)
Tc = panjang lingkaran, (m)
Rc = jari-jari lingkaran, (m)
Ec = panjang luar P1 ke busur lingkaran, (m)
Lc = panjang busur lingkaran, (m)

2.7.2 Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau pegunungan,
karena tikungan jenis ini memiliki lengkung peralihan yang memungkinkan
perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan tersebut menjadi
aman.Lengkung spiral merupakan peralihan dari suatu bagian lurus ke bagian
lingkaran (Circle) yang panjangnya diperhitungkan dengan mempertimbangkan
bahwa perubahan gaya sentrifugal dari nol sampai mencapai bagian lengkung.
Jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral circle-spiral haruslah sesuai dengan
kecepatan rencana dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang
melebihi harga maksimum yang telah ditentukan.

.
Gambar 2.9 Tikungan Sprial-Circle-Spiral (SCS)

Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana ditentukan


berdasarkan:
1. Kemiringan tikungan maksimum
2. Koefisien gesekan melintang maksimum п

Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah sebagai
berikut:
𝐿𝑆 180
ϴS = .
2п п
Δc = Δ - 2ϴC
∆𝐶
Lc = . 2пR
360
𝐿𝑆 2
Yc =
6R
𝐿𝑠2
Xc = LS - 40𝑅

k = Xc – R sin ϴS
p = Yc – R(1 - cos ϴS)
Δ
Ts = (R + P) tan + k
2
(𝑅+𝑃)
Es = ∆ –R
cos
2

L = Lc + 2Ls

Dimana :
XS = absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC, (m)
YS = ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen, (m)
LS = panjang lengkung peralihan, (m)
L = panjang busur lingkaran (dari titik SC ke CS), (m)
Ts = titik dari tangen ke spiral, (m)
SC = titik dari spiral ke lingkaran, (m)
ES = jarak dari PI ke lingkaran, (m)
R = jari-jari lingkaran, (m)
p = pergeseran tangen terhadap spiral, (m)
k = absis dari p pada garis tangen spiral, (m)
Δc = sudut lengkung spiral, (˚)

2.7.3 Tikungan Spiral-Spiral (SS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada keadaan yang sangat tajam. Lengkung
horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran,
sehinnga SC berimpit dengan titik CS.

Gambar 2.10 Sketsa tikungan Spiral-Spiral (SS)


Adapun semua rumus dan aturannya sama seperti rumus Spiral-Circle-Spiral,
yaitu:

ϴS =
2
𝐿𝑆 2
Yc =
6R
k = Xc – R sin ϴS
p = Yc – R(1 - cos ϴS)
Δ
Ts = (R + P) tan + k
2
(𝑅+𝑃)
Es = ∆ –R
cos
2

L = 2Ls

Dimana:
ES = jarak dari PI ke busur lingkaran, (m)

TS = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST, (m)

TS = titik dari tangen ke spiral, (m)

SC = titik dari spiral ke lingkaran, (m)

R = jari-jari lingkaran, (m)

2.8 Penomoran Stationing


Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan
nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan (Sta. jalan)
dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenali lokasi yang
sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat.
Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan.
Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang
jalan secara keseluruhan. Setiap Sta. jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintangnya.

Adapun interval untuk masing-masing penomoran jika tidak adanya perubahan


arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal adalah sebagai
berikut:
1. Setiap 100 m, untuk daerah datar

2. Setiap 50 m, untuk daerah bukit

3. Setiap 25 m, untuk daerah gunung

Nomor jalan (Sta. jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km disepanjang
jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain:
a. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang
umumnya terletak di ibukota provinsi atau kotamadya, sedangkan patok Sta.
merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan.
b. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar
yang berlaku, sedangkan patok Sta merupakan patok sementara selama masa
pelaksanaan proyek jalan tersebut.

2.9 Superelevasi
Superelevasi adalah kemiringan melintang permukaan pada lengkung horizontal.
Superelevasi bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal. Semakin besar superelevasi, semakin besar
komponen berat kendaraan yang diperoleh. Superelevasi maksimum yang dapat
dipergunakan pada suatu jalan raya dibatasi oleh beberapa keadaan sebagai
berikut:
a) Keadaan cuaca.
b) Jalan yang berada didaerah yang sering turun hujan.
c) Keadaan medan daerah datar nilai superelevasi lebih tinggi daripada
daerah perbukitan.
d) Keadaan lingkungan, perkotaan atau luar kota. Superelevasi maksimum
sebaiknya lebih kecil di perkotaan daripada luar kota.
e) Komposisi jenis kendaraan dari arus lalu lintas.

Nilai-nilai e maksimum:
a) Untuk daerah licin atau berkabut, e maks = 8%.
b) Daerah perkotaan, e maks = 4% - 6%.
c) Di persimpangan, e maks sebaiknya rendah, bahkan tanpa superelevasi
d) AASHTO menganjurkan, jalan luar kota untuk V rencana = 30 km/jam e
maks = 8%, V rencana > 30 km/jam e maks = 10%.
e) Bina narga menganjurkan, e maks untuk jalan perkotaan = 6%.

Gambar 2.11 Pencapain superelevasi pada tikungan tipe FC

Gambar 2.12 Pencapain superelevasi pada tikungan tipe SCS

Gambar 2.13 Pencapain superelevasi pada tikungan tipe SS


2.10 Pelebaran Perkerasan Jalan pada Tikungan
Pelebaran pada tikungan dilakukan untuk mempertahankan konsistensi geometrik
jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan di bagian lurus.
Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan:
1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan
gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus
memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga
proyeksi kendaraan tetap pada lajumya.
3. Pelebaran yang lebih kecil dari 0,6 meter dapat diabaikan.

2.11 Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal yang melalui sumbu jalan
atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi
rendahnya jalan terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan
bermuatan penuh (untuk itu digunakan sebagai kendaraan standar), biasa nya juga
disebut dengan profil/penampang memanjang jalan (Saodang Hamirhan, 2004).

Perencanaan alinyemen vertikal sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
1. Kondisi tanah dasar
2. Keadaan medan
3. Fungsi jalan
4. Muka air banjir
5. Muka air tanah
6. Kelandaian yang masih memungkinkan

Selain hal tersebut diatas dalam perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui
kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga terdapat
suatu kombinasi yang berupa lengkung cembung dan lengkung cekung serta akan
ditemui pula kelandaian = 0, yang berarti datar. Gambar rencana suatu profil
memanjang jalan dibaca dari kiri ke kanan, sehingga landai jalan diberi tanda
positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan
dari kiri ke kanan.

2.11.1 Kelandaian Alinyemen Vertikal


1. Landai Minimum
Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng
melintang jalan dianggap sudah cukup untuk dapat mengalirkan air diatas
badan jalan yang selanjutnya dibuang ke lereng jalan.

Untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan


menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%,
yang dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan
membuangnya ke saluran tepi atau saluran pembuangan.

Sedangkan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai


kerb, kelandaian jalan minimum yang dianjurkan adalah 0,30 – 0,50 %.

2. Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang bearti. Kelandaian
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh dan
mampu bergerak, dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

Tabel 2.10 Kelandaian maksimum yang diijinkan

VR
120 110 100 80 60 50 40 <40
(km/jam)
Kelandaian
3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum
Sumber: Konstruksi Jalan Raya, Saodang Hamirhan, 2004
3. Panjang Kritis Suatu Kelandaian
Landai maksimum saja tidak cukup merupakan faktor penentu dalam suatu
perencanaan alinyemen vertikal, karena jarak yang pendek memberikan
faktor pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan jarak yang panjang
pada kelandaian yang sama. Kelandaian yang besar akan mengakibatkan
penurunan kecepatan pada kendaraan truk yang cukup berarti, jika
kelandaian tersebut dibuat panjang pada jalan yang cukup panjang, tetapi
sebaliknya akan kurang bearti jika panjang jalan dengan kelandaian
tersebut hanya pendek saja.

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan


agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatan sedemikian rupa,
sehingga penurunan kecepatan yang terjadi tidak lebih dari separuh
kecepatan rencana (VR). Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih
dari satu menit.

4. Lajur Pendakian
Pada lajur jalan dengan rencana volume lalu lintas tinggi, maka kendaraan
berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah
kecepatan rencana (VR), sedangkan kendaraan lainnya masih dapat
bergerak dengan kecepatan rencana. Dalam hal ini sebaliknya
dipertimbangkan untuk membuat lajur tambahan di sebelah kiri lajur jalan.

Gambar 2.14 Lajur pendakian tipikal


2.11.2 Lengkung Vertikal
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian berikutnya, dilakukan dengan
mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase. Jenis
lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang lurus (tangen),
adalah: Lengkung vertikal cekung, adalah suatu lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada dibawah permukaan jalan. Lengkung
vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen
berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan. Lengkung vertikal tipe a, b,
dan c dinamakan lengkung vertikal cekung, sedangkan lengkung vertikal d, e, dan
f dinamakan lengkung vertikal cembung.

Gambar 2.15 Tipikal lengkung vertikal bentuk parabola Rumus yang dipergunakan
𝐿 .𝑔1 𝐿 .𝑔1
x= =
𝑔1 − 𝑔2 𝐴

𝐿 .𝑔1 2 𝐿 .𝑔1 2
y= =
2(𝑔1 − 𝑔2 ) 2𝐴

Dimana:
x = jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada Stasiun (Sta.)
y = perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
stasiun.
L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak
proyeksi dari titik A dan titik Q (Sta.)
g1 = kelandaian tangen dari titik P, (%)

g2 = kelandaian tangen dari titik Q, (%)


Rumus diatas untuk lengkung simetris.
(g1 + g2) = A = adalah perbedaan aljabar untuk kelandaian (%). Kelandaian
menaik (pendakian), diberi tanda (+), sedangkan kelandaian menurun
(penurunan), diberi tanda (-). Ketentuan pendakian dan penurunan ditinjau dari
kiri ke kanan.
𝐴
Ev = 800 𝐿

Untuk : x = ½ L ; y=E

Gambar 2.16 Jenis lengkung vertikal dilihat dari PVI


Sumber : Konstruksi Jalan Raya, Saodang Hamirhan, 2004

2.11.3 Lengkung Vertikal Cembung

Tabel 2.11 Ketentuan tinggi untuk jenis jarak pandang

h1, (m) h2, (m)


Untuk jarak pandang
Tinggi Mata Tinggi Objek
Henti (Jh) 1.05 0.15
Medahului (Jd) 1.05 1.05

1) Panjang L, berdasarkan Jh
2
𝐴.𝐽ℎ
Jh < L , maka : L = 399
399
Jh > L , maka : L = 2Jh - 𝐴
2) Panjang L, berdasarkan Jd
2
𝐴.𝐽𝑑
Jd < L , maka : L = 840
840
Jd > L , maka : L = 2Jd - 𝐴

3) Panjang L, berdasarkan grafik


Grafik yang digunakan seperti tampak dibawah ini.

Gambar 2.17 Grafik panjang lengkung vertikal cembung


2.11.4 Lengkung Vertikal Cekung
Dalam menentukan lengkung vertical cekung kita harus memerhatikan hal sebagai
berikut :
1. Jarak penyinaran lampu kendaraan

2. Jarak pandangan bebas di bawah bangunan

3. Persyaratan drainase

4. Kenyaman mengemudi

5. Keluwesan bentuk
Gambar 2.18 Panjang lengkung vertikal cekung

1) Jarak penyinaran lampu kendaraan


Jangkauan lampu depan kendaraan pada lengkung vertikal cekung,
merupakan batas jarak pandangan yang dapat dilihat oleh pengemudi
pada malam hari. Di dalam perencanaan umumnya tinggi lampu
depan diambil setinggi 60 cm, dengan sudut penyebaran sebesar 1°.
Letak penyinaran lampu dengan kendaraan dapat dibedakkan dalam 2
kendaraan, yaitu:
• arak pandangan akibat penyinaran lampu depan < L

𝐴.𝑆 2
L= 150+3,5𝑆

• Jarak pandangan akibat penyinaran lampu depan > L


150+3.5𝑆
L = 2S - 𝐴
2) Jarak pandangan bebas dibawah bangunan pada lengkung vertikal
cekung
Jarak pandangan bebas pengemudi pada jalan raya yang melintasi
bangunan-bangunan lainnya seperti jalan raya lainnya, jembatan
penyeberangan, viduct, aquaduct, seringkali terhalang oleh bagian
bawah dari bangunan tersebut. Panjang lengkung vertikal cekung
minimum diperhitungkan berdasarkan jarak pandangan henti
minimum dengan mengambil tinggi mata pengemudi kendaraan truk,
yaitu 1.80 meter dan tinggi obyek 0,50 meter (tinggi lampu belakang
kendaraan). Ruang bebas vertikal minimum 5 meter. Dalam
perencanaan disarankan untuk mengambil ruang bebas ± 5,50 meter.
Untuk memberi kemungkinan adanya lapis tambahan (overlay) di
kemudian hari.
3) Kenyamanan mengemudi pada lengkung vertikal cekung
Adanya gaya sentrifugal dan gravitasi pada lengkung vertikal cekung,
menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi, akan
menyebabkan percepatan sentripetal. Panjang lengkung vertikal
cekung minimum adalah ditentukan oleh percepatan sentripetal itu
sendiri, yang dibatasi tidak melebihi 0,30 m/det2 , dengan demikian:

𝐴.𝑉 2
L = 390

4) Persyaratan drainase
Landai minimum untuk keperluan drainase adalah 0,5%. Jadi syarat
panjang maksimum adalah:
L = 40A
5) Keluwesan bentuk jalan pada lengkung cembung
Keluwesan bentuk jalan, dihubungkan terhadap kecepatan, yaitu
menurut AASHTO : L =3V, dimana L = panjang minimum lengkung
dalam feet, dan V = kecepatan rencana dalam mph. Sehingga bila L
dalam meter, dan V dalam km/jam, harus dikalikan faktor koreksi
terlebih dahulu.
2.12 Perkerasan Jalan
2.12.1 Parameter Perencanaan Tebal Lapisan Konstruksi Perkesarasan
Menurut Alamsyah (2001), lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan
menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada
konstruksi jalan itu sendiri. Dengan demikian memberikan kenyamanan kepada
para pengguna jalan raya selama masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam
perencanaan perlu dipertimbangkan seluruh faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan jalan, seperti:
1. Fungsi jalan;
2. Perkerasan jalan (pavement performance);
3. Umur rencana;
4. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan;
5. Sifat tanah dasar;
6. Kondisi lingkungan;
7. Sifat dan banyak material tersedia di lokasi; dan

8. Bentuk geometrik lapisan perkerasan.

2.12.2 Fungsi Jalan

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Jalan Nomor 38


tahun 2004, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan atas sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
1) Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan
pelayanan jasa distribusi untuk mengembangkan semua wilayah tingkat
nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud
kota.
2) Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota, ini
berarti sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan
pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan
yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi
sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya hingga
perumahan.
2.12.3 Perkerasan Jalan
Kinerja perkerasan jalan meliputi 3 hal, yaitu:
1) Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya
kontak antara ban dan permukaan jalan, besarnya gaya gesek yang
terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan
jalan, kondisi cuaca dan sebagainya.
2) Wujud perkerasan (structural pavement) berhungan dengan kondisi
fisik dari jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, alur,
gelombang dan sebagainya.
3) Fungsi pelayanan (functional performance), sehubungan dengan
bagaimana perkerasan tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai
jalan. Wujud perkerasan dan fungsi pelayanan umumnya merupakan
satu kesatuan yang dapat digambarkan dengan kenyamanan mengemudi
(riding quality).

2.12.3 Umur Rencana


Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural. Selama umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan
tetap harus dilakukan, seperti pelapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai
lapis aus. Umur rencana untuk perkerasan jalan baru umumnya diambil 20 tahun
dan peningkatan jalan selama 10 tahun (Alamsyah, 2001). Umur rencana yang
lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas
yang terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.

2.12.4 Lalu Lintas


Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban yang akan dipikul, berarti
dari arus lalu lintas yang hendak memakai jalan tersebut. Besarnya arus lalu
lintas dapat diperoleh dari:
1. Analisa lalu lintas saat ini hingga diperoleh data mengenai:
a) Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan;
b) Jenis kendaraan beserta jumlah tiap jenisnya
c) Konfigurasi sumbu dari setiap kendaraan
d) Beban masing-masing sumbu kendaraan.

Pada perencanaan jalan baru perkiraan volume lalu lintas ditentukan


dengan menggunakan hasil survei volume lalu lintas di dekat jalan
tersebut dan analisa pola lalu lintas di sekitar lokasi jalan tersebut.

2. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, antar


lain berdasarkan atas analisa ekonomi dan sosial daerah tersebut.
a. Volume Lalu Lintas
Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan dinyatakan
dalam volume lalu lintas. Volume lalu lintas didefinisikan
sebagai jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan
selama waktu satu tahun. Untuk perencanaan tebal lapisan
perkerasan, volume lalu lintas dinyatakan dalam
kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan
kendaraan/hari/1 arah untuk jalan satu arah atau 2 arah terpisah.
Data volume lalu lintas dapat diperoleh dari pospos rutin yang
ada di sekitar lokasi. Jika tidak terdapat pos-pos rutin di dekat
lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan volume lalu
lintas dapat dilakukan secara manual di tempat-tempat yang
dianggap perlu. Perhitungan dapat dilakukan selama 3×24 jam
atau 3×16 jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor
hari, bulan, musim dimana perhitungan dilakukan, dapat
diperoleh data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang
representatif.

b. Angka Ekivalen Beban Sumbu


Jenis kendaraan yang memakai jalan beraneka ragam, bervariasi
baik ukuran, berat total, konfigurasi dan beban sumbu, daya dan
lain lain. Oleh karena itu volume lalu lintas umumnya
dikelompokkan atas beberapa kelompok yang masing-masing
kelompok diwakili oleh satu jenis kendaraan. Pengelompokan
jenis kendaraan untuk perencanaan tebal perkerasan dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Mobil penumpang, termasuk semua kendaraan dengan berat
total 2 ton
b. Truk 2 as
c. Truk 3 as
d. Truk 5 as
e. Semi trailer

Konstruksi perkerasan jalan menerima beban lalu lintas yang


dilimpahkan melalui roda-roda kendaraan. Besarnya beban dilimpahkan
tersebut tergantung dari berat total kendaraan, konfigurasi sumbu,
bidang kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan dan
sebagainya. Dengan demikian efek dari masing-masing kendaraan
terhadap kerusakan yang ditimbulkan tidaklah sama. Oleh karena itu
perlu adanya beban standar sehingga semua beban lainnya dapat
diekivalensikan ke beban standar tersebut.

Beban standar merupakan beban sumbu tunggal beroda ganda seberat


18.000 pon (8,16 ton). Semua beban kendaraan lain dengan beban
sumbu berbeda di ekivalenkan ke beban sumbu standar dengan
menggunakan angka ekivalen beban sumbu (E). Angka ekivalen
kendaraan adalah angka yang menunjukkan jumlah lintasan dari sumbu
tunggal seberat 8,16 ton yang akan menyebabkan kerusakan yang sama
atau penurunan indeks permukaan yang sama apabila kendaraan
tersebut lewat satu kali.

a. Angka Ekivalen Kendaraan


Berat kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui roda
kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan.
Setiap jenis kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang
berbeda-beda. Sumbu depan merupakan sumbu roda tunggal,
sumbu belakang dapat berupa sumbu roda tunggal ataupun
sumbu ganda. Dengan demikian setiap jenis kendaraan akan
mempunyai angka ekivalen yang merupakan jumlah angka
ekivalen dari sumbu depan dan sumbu belakang. Beban masing-
masing sumbu dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan dan
bervariasi sesuai dengan muatan dari kendaraan tersebut.
b. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Jumlah kendaraan yang memakai jalan bertambah dari tahun ke
tahun. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas
adalah perkembangan daerah, bertambahnya kesejahteraan
masyarakat, naiknya kemampuan membeli kendaran dan
sebagainya. Faktor pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam
persen per tahun.
c. Lintas Ekivalen
Kerusakan perkerasan jalan raya pada umumnya disebabkan
oleh terkumpulnya air dibagian perkerasan jalan, dan karena
repetisi dari lintasan kendaraan. Oleh karena itu perlulah
ditentukan berapa jumlah repetisi beban yang akan memakai
jalan tersebut. Repetisi beban dinyatakan dalam lintasan sumbu
standard, yang dinamakan lintas ekivalen. Lintas ekivalen dapat
dibedakan atas:
1) Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (lintas
ekuivalen awal umur rencana atau LEP).
2) Lintas ekivalen pada akhir umur rencana adalah besarnya
lintas ekivalen pada saat jalan tersebut membutuhkan
perbaikan secara structural (lintas ekivalen akhir umur
rencana atau LEA).
3) Lintas ekivalen selama umur rencana yakni jumlah lintas
ekivalen yang akan melintasi jalan tersebut selama masa
pelayanan dari saat dibuka sampai akhir umur rencana.
d. Penggolongan Kelompok Jenis Kendaraan
Dalam tata cara pelaksanaan survei dan penghitungan arus lalu
lintas secara manual disebutkan, bahwa jumlah contoh yang
diambil adalah seluruh kendaraan yang lewat dan
dikelompokkan dalam:
1) Kendaraan ringan, yaitu kendaraan roda 2 atau 3 (motor
dan sejenisnya).
2) Kendaraan sedang (Light Vehicle, LV), adalah semua jenis
kendaraan bermotor roda empat, meliputi:
3) Mobil penumpang, yaitu kendaraan bermotor yang beroda
empat yang digunakan untuk angkutan penumpang dengan
maksimum sepuluh orang termasuk pengemudi (sedan,
station wagon, jeep, combi, opelet, dan sub urban).
4) Pick up, mobil hantaran, dan truk, dimana kendaraan jenis
ini beroda empat dan dipakai untuk angkutan barang
dengan berat total (kendaraan + barang) kurang dari 2,5
ton.

Kendaraan berat (Heavy Vehicle, HV), adalah semua jenis


kendaraan bermotor beroda empat atau lebih, meliputi:
a) Minibus, semua kendaraan yang digunakan untuk
angkutan penumpang dengan jumlah tempat duduk 20
buah (termasuk pengemudi).
b) Bus, semua kendaraan yang digunakan untuk angkutan
penumpang dengan jumlah tempat duduk untuk 40 orang
atau lebih (termasuk pengemudi).
c) Truk, termasuk dalam golongan dalam kendaran ini adalah
semua kendaraan angkutan bermotor beroda empat atau
lebih dengan berat total lebih dari 2,5 ton; misalnya truk 2
as, truk as, truk tanki, mobil gandeng, triller, dan semi
triller.
2.12.5 Sifat Tanah Dasar
Sub grade atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan tanah yang paling atas,
dimana diletakkan lapisan dengan material yang lebih baik. Sifat tanah dasar
ini mempengaruhi ketahanan lapisan diatasnya dan mutu jalan secara
keseluruhan. Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung
tanah dasar, dari cara sederhana sampai pada cara yang agak rumit seperti CBR,
Modulus Resilient (MR), dan DCP. Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk
kebutuhan perencanaan tebal lapisan perkerasan ditentukan dengan
mempergunakan CBR. Nilai CBR diperoleh dari pemeriksaan contoh tanah yang
telah disiapkan di laboratorium atau langsung di lapangan. Dalam perencanaan
perkerasan kaku CBR digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus
reaksi tanah dasar.

2.12.5 Kondisi Lingkungan


1. Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada mempengaruhi
lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar, antara lain:
2. Berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat
komponen material konstruksi perkerasan.
3. Pelapukan bahan material.
4. Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.
Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan adalah air
yang berasal dari hujan dan pengaruh perubahan temperatur akibat
perubahan cuaca.

2.12.6 Sifat Material


Perencanaan tebal lapsisan perkerasan ditentukan juga dari jenis lapisan
perkerasan. Hal ini ditentukan dari tersedianya material di lokasi dan mutu
material tersebut.

2.12.7 Bentuk Geometrik Lapisan Perkerasan


Bentuk geometrik lapisan perkerasan jalan mempengaruhi cepat atau lambatnya
aliran air meninggalkan lapisan perkerasan jalan. Pada umunya dapat dibedakan
atas:
1. Konstruksi berbentuk kotak (boxed construction)
Lapisan perkerasan diletakkan di dalam lapisan tanah dasar. Kerugian dari
jenis ini adalah air yang jatuh dari atas permukaan perkerasan dan masuk
melalui lubang-lubang pada perkerasan, lambat keluar karena tertahan oleh
material tanah dasar (Gambar 2.19).

Gambar 2 19 Konstruksi berbentuk kotak jalan


2. Konstruksi penuh sebadan jalan ( full width construction) Lapisan
perkerasan diletakkan di atas tanah dasar pada seluruh badan jalan.
Keuntungannya, air yang jatuh dapat segera dialirkan keluar lapisan
perkerasan (Gambar 2.20).

Gambar 2 20 Konstruksi penuh sebadan jalan

2.13 Kriteria Konstruksi Perkerasan Jalan


Konstruksi perkerasan jalan harus dapat memberikan rasa aman, nyaman kepada
penggunan jalan, oleh karena itu harus dipenuhi syarat sebagai berikut (Sukirman,
1995):

1. Syarat untuk lalu lintas


a) Permukaan harus rata, tidak bergelombang, tidak melendut, dan
tidak berlubang.
b) Permukaan cukup kaku, tidak mudah mengalami deformasi akibat
beban yang bekerja.
c) Permukaan cukup memiliki kekesatan sehingga mampu
memberikan tahanan gesek yang baik antara ban kendaraan dan
permukaan jalan.
d) Permukaan jalan tidak mengkilap (tidak menyilaukan jika terkena
sinar matahari).
2. Syarat kekuatan struktural
a) Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban lalu
lintas ke tanah dasar.
b) Kedap terhadap air sehingga air tidak mudah meresap kelapisan
dibawahnya.
c) Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang ada
dipermukaan jalan dapat cepat dialirkan.
d) Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanp a menimbulkan
deformasi permanen.

2.13.1 Perencanaan Perkerasan Jalan (Pavement Design)


Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar
(subgrade), yang berfungsi untuk yang menopang beban lalu lintas. Jenis
konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu:
1. Perkerasan lentur (flexible pavement)
2. Perkerasan kaku (rigid pavement)

Selain dari dua jenis tersebut sekarang telah banyak digunakan jenis gabungan (composite
pavement), yaitu perpaduan lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi perkerasan juga dapat
dibedakan

2.13.2 Lapisan Perkerasan Lentur


Konstruksi perkerasan lentur yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai
bahan pengikat lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan
beban lalulintas ke tanah. Adapun susunan lapisan-lapisan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.21

Gambar 2.21 Struktur perkerasan lentur

Konstruksi perkerasan lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan berlalu


lintas haruslah memenuhi syarat, seperti permukaan yang rata, tidak
bergelombang, tidak melendut dan tidak berlubang dan permukaan yang cukup
kaku sehingga tidak berubah bentuk akibat beban yang bekerja diatasnya.
Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan-lapisan yang makin
kebawah memiliki daya dukung yang semakin kecil. Lapisan-lapisan tersebut
adalah (Sukirman, 2010):
1. Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan jalan,
yang fungsi utamanya sebagai:
a. Lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan
harus memiliki stabilitas tinggi selama masa pelayanan.
b. Lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran
roda dari kendaraan yang mengerem.
c. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis
permukaan tidak meresap ke lapis di bawahnya.
d. Lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal
menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki daya
tahan selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat kontak langsung
dengan roda kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis paling atas cepat
menjadi aus dan rusak, sehingga disebut lapis aus.

Dengan demikian lapisan permukaan dapat dibedakan menjadi:


a. Lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang
kontak dengan roda kendaraan dan perubahan cuaca.
b. Lapis permukaan antara (binder course), merupakan lapis
permukaan yang terletak dibawah lapis aus dan di atas lapis pondasi.

Berbagai jenis lapis permukaan yang umum digunakan di Indonesia adalah:


a. Laburan aspal
b. Lapis tipis aspal pasir ( Latasir)
c. Lapis tipis beton aspal (Lataston)
d. Lapis beton aspal (Laston)
e. Lapis penetrasi macadam (Lapen)
f. Lapis asbuton agregat (Lasbutag)
2. Lapis Pondasi Atas (Base Course)
Lapis perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan
lapis pondasi bawah, maka lapis pondasi diletakan langsung di atas
permukaan tanah dasar.
Lapis pondasi atas berfungsi sebagai:
a. Bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban
kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya.
b. Lapis peresap untuk lapis pondasi bawah.
c. Bantalan atau perletakan lapis permukaan.

Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup
kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis
pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan aspal
sebagai pengikat.
Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:

a. Laston lapis pondasi (asphalt concrete base = AC-Base)

b. Lasbutag lapis pondasi

c. Lapis penetrasi macadam (lapen)

d. Lapis pondasi agregat

e. Lapis pondasi tanah semen

f. Lapis pondasi agregat semen (LFAS)


3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)

Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).
Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai:

a. Bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan


beban kendaraan ke lapis tanah dasar.
b. Efisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapis
diatasnya dapat dikurangi tebalnya.
c. Lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
d. Lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar,
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Atau lemahnya daya
dukung tanah dasar menahan roda alat berat.
e. Lapis filter untuk mencegah partikel - partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi.
4. Lapis Tanah Dasar (Subgrade Course)

Tanah dasar atau tanah asli adalah permukaan tanah semula sebelum
dilakukan pelaksanaan galian dan timbunan yang merupakan perletakan
bagian - bagian perkerasan lainnya. Adapun jenis-jenis lapis tanah dasar
dapat dilihat pada Gambar 2.22

Gambar 2.22 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli
Sumber : Sukirman, 2010

Berdasarkan elevasi muka tanah dimana struktur perkerasan jalan diletakan,


lapis tanah dasar dibedakan menjadi:
a. Lapis tanah dasar tanah asli adalah tanah dasar yang merupakan
muka tanah asli di lokasi jalan tersebut. Pada umumnya lapis tanah
dasar ini disiapkan hanya dengan membersihkan, dan memadatkan
lapis atas setebal 30 – 50 cm dari muka tanah dimana struktur
perkerasan direncanakan akan diletakan.
b. Lapis tanah dasar tanah urug atau tanah timbunan adalah lapis tanah
dasar yang lokasinya terletak di atas muka tanah asli.
c. Lapis tanah dasar tanah galian adalah lapis tanah dasar yang
lokasinya terletak di bawah muka tanah asli.
Adapun keuntungan menggunakan perkerasan lentur, yaitu (Sukirman,
2010):
a. Dapat digunakan pada daerah dengan penurunan (differential
statement) terbatas.
b. Mudah diperbaiki.

c. Tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja.

d. Memiliki tahanan geser yang baik.

e. Warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan.

f. Dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya


pembangunan terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.

Selain keuntungan, terdapat juga kerugian dalam menggunakan p erkerasan


lentur, yaitu (Sukirman, 2010):
a. Tebal total struktur perkerasan lebih tebal daripada perkerasan kaku.
b. Kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan.
c. Frekuensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan
perkerasan kaku.
d. Tidak baik digunakan jika sering tergenang air.
e. Membutuhkan agregat lebih banyak

2.14 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Metode AASHTO


1993
Adapun parameter-parameter yang ada dalam merencanakan tebal suatu
perkerasan lentur menggunakan Metode AASHTO 1993, adalah sebagai berikut:

2.14.1 Lalu Lintas


1. Reptisi beban lalu lintas
Dalam metode AASHTO 1993 beban lalu lintas dinyatakan dalam repetisi
intasan sumbu standar selama umur rencana ( 18).
W 18 = ∑LHRi x 365 x AE x DA x DL x N
Dimana:
W 18 = repitisi beban lalu lintas selama umur rencana
AE = angka ekivalen beban sumbu kendaraan
DA = faktor distribusi arah
DL = faktor distribusi lajur
N = faktor umur rencana
Sedangkan untuk kumulatif beban gandar standar selama umur rencana
diberikan pada persamaan berikut ini:
(1+𝑔)𝑛 −1
Wt = W18 x 𝑔

Dimana :
Wt = kumulatif beban gandar standar selama umur rencana
W18 = beban gandar standar pada awal tahun pertama
n = umur rencana perkerasan
g = tingkat pertumbuhan lalu lintas rata-rata per tahun

2. Angka ekivalen beban sumbu kendaraan


Untuk mencari angka ekivalen beban gandar sumbu kendaraan dilakukan
dengan menggunakan tabel berikut:

Tabel 2.12 Angka Ekivalen sumbu kendaraan (AE)

Beban Sumbu Angka Ekivalen sumbu kendaraan (AE)


(ton) STRT STRG STdRG STrRG
1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001
2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014
3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070
4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221
5 0,73503 0,14097 0,01743 0,00539
6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67697 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,79671
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081
3. Faktor umur rencana v
Faktor hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas
ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut

(1+𝑖)𝑈𝑅 − 1
N= 𝑖

Dimana:
N = faktor umur rencana
i = laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %
UR = umur rencana, (tahun)

Tabel 2 13 Faktor hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N)

Umur Lajur Pertumbuhan (i) per


Rencana tahun (%)
(tahun) 0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6

4. Faktor distribusi lajur (DL)

Faktor distribusi lajur ditentukan jumlah lajur dan lajur rencana. Lajur
rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan, yang
menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas
lajur, jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan sesuai tabel 2.15
Tabel 2.14 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan

Lebar Perkerasan Jumlah


(L) Lajur
L < 4,50 m 1
4,50 m L < 8,00 m 2
8,00 m L < 11,25 m 3
11,25 m L < 15,00 m 4
15,00 m L < 18,75 m 5
18,75 m L < 22,50 m 6

Tabel 2.15 Faktor distribusi lajur (DL)

Kendaraan Ringan Kendaraan Berat


Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,0 1,0 1,00 1,00
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,45
5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,40

5. Faktor distribusi arah


Digunakan untuk menunjukkan distribusi ke masing-masing arah. Jika
data lalu lintas yang digunakan adalah data satu arah, maka DA = 1. Jika
volume lalu lintas yang tersedia dalam dua arah, DA berkisar antara 0,3 -
0,7. Untuk perencanaan umumnya DA diambil sama dengan 0,5.

2.14.2 Reliabilitas
Reliabilitas dimaksudkan untuk mengakomodasi beberapa ketidakpastian
didalam melakukan perencanaan pada perkerasan lentur. Tingkat reliabilitas
yang tinggi merujuk pada lalu lintas yang padat dan begitu jugasebaliknya.
Dengan kata lain reliabilitas yang tinggi digunakan untuk merencanakan jalan
dengan klasifikasi yang tinggi dan tingkat reliabilitas yang rendah digunakan
untuk merencanakan jalan dengan klasifikasi yang rendah juga. Tabel 2.17
memberikan rekomendasi tingkat reliabilitas yang digunakan untuk berbagai
klasifikasi jalan.
Tabel 2.16 Nilai reliabilitas untuk berbagai klasifikasi jalan

Rekomendasi Tingkat
Klasifikasi Reliabilitas
Jalan (%)
Perkotaan Antar Kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 - 80

Tingkat reliabilitas seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas, berhubungan


dengan nilai deviasi standar (standard normal deviate) yang diberikan pada tabel
berikut ini.
Tabel 2.17 Deviasi standar normal (ZR)

Reliabilitas Standar Normal Reliabilitas Standar


(%) Deviate (ZR) (%) Normal
Deviate (ZR)
50 0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750

2.14.3 Indeks Permukaan


Kondisi permukaan jalan yang diharapkan pada saat jalan dibuka dinyatakan
sebagai Indeks Permukaan Awal (IPo). Indeks ini tergantung pada jenis
perkerasan yang digunakan sebagai lapis permukaan jalan. Dalam menentukan
Indeks Permukaan pada Awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis
permukaan perkerasan dan kondisinya seperti diberikan pada Tabel 2.19.

Indeks permukaan ini menyatakan nilai kenyamanan dan kekuatan perkerasan


yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Ada
2(dua) nilai Indeks Permukaan, yaitu Indeks Permukaan Akhir (IPt) dan Indeks
Permukaan Awal (IPo). Indeks Permukaan Akhir (IPt) adalah kondisi akhir
permukaan jalan setelah dilewati kendaraan selama umur rencananya. Dalam
menentukan indeks permukaan akhir (IPt) perlu dipertimbangkan faktor-faktor
klasifikasi fungsional jalan sebagaimana diberikan pada Tabel 2.20.

2.14.4 Tanah Dasar


Dalam perencanaan menggunakan Metode AASHTO 1993, kekuatan tanah dasar
diberikan dalam parameter Modulus Resilien. Modulus Resilien adalah
perbandingan antara nilai deviator stress, yang menggambarkan repetisi beban
roda dan recobale strain. Nilai MR dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar
air, derajat kejenuhan, kepadatan, temperatur, jumlah butir halus, dan gradasi. Ada
beberapa cara menentukan nilai Modulus Resilien tanah dasar ini, antara lain
dengan mengkorelasikannya dengan nilai CBR (California Bearing Ratio) sebagai
berikut:
MR= 1500 × CBR
Dimana:
MR = Modulus Resillen tanah dasar, (psi)

= Nilai CBR tanah dasar, (%)

2.14.5 Koefisien Kekuatan Relatif


Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi kekuatan relatif
dikelompokkan kedalam 5 kategori yaitu beton aspal (asphalt concrete), lapis
pondasi granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular
subbase), cement treated base, dan asphalt treated base. Untuk lapis permukaan
aspal beton, perkiraan koefisien kekuatan relatifnya didasarkan atas besaran
modulus elastisitasnya seperti diberikan pada Gambar 2-23. Satu hal yang perlu
diingat dalam hal ini adalah apabila modulus elastisitas nya lebih besar dari
440.000 psi agar berhatihati karena untuk modulus elastisitas yang sangat tinggi
lapisan beraspal akan bertambah kaku tetapi akan sangat rentan terhadap
terjadiinya retak lelah (fatigue cracks).
Gambar 2.23 Kurva koefisien kekuatan relatif (a1) campuran
Untuk lapis pondasi granular, koefisien kekuatan relatif a2 dapat diperkirakan
dengan menggunakan persamaan dibawah ini atau menggunakan Gambar 2.24
yang menghubungkan antara koefisien kekuatan relatif dan berbagai parameter
pengujian. EBS
ɑ2 = 0,249( log10EBS ) − 0,977
Dimana:

ɑ 2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular

EBS = modulus elastisitas lapis pondasi granular


Gambar 2.24 Koefisien kekuatan relatif (a2) lapis pondasi granular
Terlihat dari Gambar 2.24 bahwa untuk mendapatkan nilai koefisien kekuatan
relatif dari lapis pondasi granular dapat menggunakan hubungan terhadap nilai
modulus kekakuan ataupun menggunakan hubungan terhadap nilai CBR dari lapis
pondasi tersebut. Untuk mendapatkan nilai koefisien relatif dari lapis pondasi
bawah granular diberikan dengan menggunakan persamaan dibawah ini atau
menggunakan grafik pada Gambar 2.25 yang menghubungkan antara koefisien
kekuatan relatif dengan berbagai parameter pengujian.
ɑ3 = 0,227( log10EBS ) − 0,839
Gambar 2 25 Koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah granular
Sedangkan untuk koefisien relatif lapis pondasi bersemen dan lapis pondasi
beraspal ditunjukkan pada Gambar 2.26 dan Gambar 2.27 yang memberikan
hubungan antara koefisien relatif dan parameter-parameter pengujian.
Gambar 2.26 Koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bersemen

Gambar 2.27 Koefisien kekuatan relatif lapis pondasi beraspal


2.14.16Koefisien Drainase
Koefisien drainase adalah faktor yang digunakan untuk memodifikasi koefisien
kekuatan relatif sebagai fungsi yang menyatakan seberapa baiknya struktur
perkerasan dapat mengatasi pengaruh negatif masuknya air ke dalam strukur
perkerasan. Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan kualitas drainase
ditentukan berdasarkan kemampuan menghilangkan air dari struktur perkerasan.
Tabel 2.18 Kelompok kualitas drainase

Kualitas Drainase Air Hilang dalam


Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali Air tidak mengalir

Tabel 2.19 Koefisien drainase

Persen Waktu Struktur Perkerasan


Kualitas Dipengaruhi Kadar Oleh
Drainase Air yang Mendekati Jenuh
< 1% 1 – 5% 5 – 25% >25%
Baik sekali 1,40 - 1,30 1,35 - 1,30 1,30 - 1,20 1,20
Baik 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1,00 1,00
Sedang 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1,00 - 0,80 0,80
Jelek 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,80 - 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 - 0,95 0,80 - 0,75 0,60 - 0,40 0,40

2.14.17 Struktural Number (SN)


SN adalah angka yang menunjukkan jumlah tebal lapis perkerasan yang telah
disetarakan kemampuannya sebagai bagian kinerja jalan. SN digunakan untuk
menentukan tebal lapis pekerasan jalan dapat ditentukan dengan nomogram yang
dikeluarkan AASHTO 1993 atau dapat dicari dengan rumus:
𝑙𝑜𝑔 ∆𝑃𝑆𝐼
10⌈ ⌉
4,2−1,5
Log10(W18) = ZR x So + 9,36 x log10(SN + 1) – 0,20 + 1094 +
0,4+
(𝑆𝑁+1)5,19

2,32 x log10MR – 8,07

Dimana :
SN = Structural Number, angka struktural relatif perkerasan, (inchi)

W18 = repetisi beban lalu lintas selama umur rencana

ZR = simpangan baku normal

So = deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,4 – 0,5

∆𝑃𝑆𝐼 = perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana


= IP0 – IPt

MR = modulus resilient tanah dasar, (psi)


Selain dengan rumus diatas nilai Structural Number (SN) dapat dicari dengan
menggunakan nomogram dibawah ini.

Tabel 2.20 Nomogram penentuan indeks tebal perkerasan

2.14.18 Tebal Minimum Setiap Lapisan


Tebal minimum setiap lapis perkerasan ditentukan berdasarkan mutu daya dukung lapis
dibawahnya seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.29

Gambar 2.28 ilustrasi lapis perkerasan


Untuk menentukan tebal minimal masing-masing perkerasan digunakan
rumus dibawah.
SN = ɑ1D1 + ɑ2D2m2 + ɑ3D3m3
𝑆𝑁1
D*1 ≥
ɑ1
SN*1 = ɑ1D*1 ≥ SN1
𝑆𝑁2 −𝑆𝑁∗ 1
D*2 ≥
ɑ2m2
SN*2 = SN*1 + ( D*2 x ɑ2 x m2 )
𝑆𝑁3 −(𝑆𝑁∗ 1 +𝑆𝑁∗ 2
D*3 ≥
ɑ3m3

2.15 Lapisan Perkerasan Kaku


Lapisan perkerasan kaku (rigid pavement) merupakan perkerasan jalan beton
semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat (slab) beton
semen sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga tidak ada) di atas
tanah dasar. Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut sebagai
lapis pondasi karena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton di atasnya
yang berfungsi sebagai lapis permukaan.

Sebelum mulai melakukan perencanaan perkerasan kaku terlebih dahulu


diketahui secara garis besar tentang perkerasan kaku ini. Prosedur
perencanan perkerasan kaku didasarkan atas perencanan yang
dikembangkan oleh NAASRA (National Association of Australian State
Road Authorities). Susunan lapisan pada perkerasan kaku umumnya
seperti pada gambar di bawah ini:

Metode perencanaan yang diambil untuk menentukan tebal lapisan


perkerasan didasarkan pada perkiraan sebagai berikut:
a. Kekuatan lapisan tanah dasar yang dinamakan nilai CBR atau
modulus reaksi tanah dasar (k).
b. Kekuatan beton yang digunakan untuk lapisan perkerasan.

c. Prediksi volume dan komposisi lalu lintas selama usia rencana.

d. Ketebalan dan kondisi lapisan pondasi bawah (subbase) yang


diperlukan untuk menopang konstruksi, lalu lintas, penurunan
akibat air dan perubahan volume lapisan tanah dasar serta
sarana perlengkapan daya dukung permukaan yang seragam
dibawah dasar beton.

Adapun perkersan kaku terbagi dalam dua jenis yakni:


1. Perkerasan beton semen
Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai perkerasan yang
mempunyai lapisan dasar beton dari Portland Cement (PC)
menurut NAASRA ada lima jenis perkerasan kaku yaitu:
a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
c. Perkerasan beton semen menurus dengan tulangan
d. Perkerasan beton semen dengan tulangan serat baja (fiber)
e. Perkerasan beton semen pratekan
2. Perkerasan kaku dengan permukaan aspal
Jenis perkerasan kaku dengan permukaan aspal adalah salah
satu dari jenis komposit.
Ketebalan rencana permukaan aspal pada perkerasan kaku
dihitung dengan:
a. Menentukan ketebalan dari jenis perkerasan beton semen
yang tidak lazim digunakan metode detail yang baru
diperkenalkan ini (mengabaikan bahwa perkerasan
permukaannya menggunakan aspal).
b. Mengurangi ketebalan perkerasan beton semen setebal 10
mm untuk setiap 25 mm permukaan aspal yang digunakan.

2.16 Perencanaa Tabel Perkerasan Kaku dengan Metode AASTHO 1993


Adapun parameter – parameter yang ada dalam merencanakan tebal suatu
perkerasan kaku menggunakan AASHTO 1993, adalah sebagai berikut:

2.16.1 Umur Rencana


Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalu lintas, serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan.
Perkerasan kaku direncanakan untuk menampung volume lalu lintas yang tinggi
baik di wilayah jalan perkotaan maupun di wilayah jalan antar kota. Perkerasan
kaku dapat direncanakan dengan umur rencana yang lebih panjang dibandingkan
dengan perkerasan lentur. Umur rencana ditentukan berdasarkan petunjuk tabel
berikut:

Tabel 2.20 Penentuan umur rencana


Kondisi Jalan Umur Rencana
Jalan Kota Volume Tinggi 30 – 50
Jalan Antar Kota Volume Tinggi 20 – 50
Perkerasan Dengan Volume Rendah 15 – 25
Permukaan Agregat Dengan Volume Rendah 10 – 20

Berdasarkan pengalaman, untuk mencapai umur rencana, pada perkerasan jalan


perlu dilakukan suatu peningkatan kualitas atau perbaikan agar struktur perkerasan
dapat menahan beban lalu-lintas selama umur rencana. Salah satu perbaikan yang
dapat dilakukan adalah dengan merencanakan suatu lapis tambahan/overlay.
Perbaikan dengan cara ini dilakukan setelah masa layan struktur perkerasan
tercapai.

2.16.2 Lalu Lintas

Seluruh prosedur perencanaan perkerasan kaku didasarkan pada kumulatif 18-kip


equivalent single axle load (ESAL) selama umur rencana ). Besarnya
kumulatif 18-kip ESAL dapat ditentukan dari lamanya umur rencana dengan
menggunakan grafik pada Gambar 2.30

Gambar 2.29 Hubungan antara waktu dan kumulatif 18-Kip ESAL

12.6.3 Reliabilitas
Reliabilitas adalah nilai probabilitas dari kemungkinan tingkat pelayanan yang
dapat dipertahankan selama masa pelayanan dipandang dari sisi pemakai jalan.
Reliabilitas merupakan jaminan bahwa perkiraan beban lalu-lintas yang akan
menggunakan jalan tersebut dapat dipenuhi.Perkerasan kaku direncanakan dengan
menggunakan klasifikasi jalan yang tinggi karena perkerasan ini akan difungsikan
untuk menampung volume.

lalu-lintas yang cukup tinggi. Tingkat reliabilitas yang tinggi merujuk pada Ilalu
lintas yang padat dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain reliabilitas yang
tinggi digunakan untuk merencanakan jalan dengan klasifikasi yang tinggi dan
tingkat reliabilitas yang rendah digunakan untuk merencanakan jalan dengan
klasifikasi yang rendah juga. Informasi mengenai tingkat reliabilitas (R) yang bisa
digunakan dalam merencanakan perkerasakn kaku dapat dilihat dalam Tabel 2.21.
Tabel 2.21 Nilai reliabilitas untuk berbagai klasifikasi jalan

Rekomendasi Tingkat
Klasifikasi Reliabilitas
Jalan (%)
Perkotaan Antar Kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 - 80

Kriteria lain yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat reliabilitas adalah standar
deviasi (So). Tingkat reliabilitas seperti yang diterangkan diatas akan berhubungan
dengan nilai standard normal deviate seperti yang diberikan pada Tabel 2.22.
Tabel 2.22 Deviasi standar normal (ZR)

Reliabilitas Standar Normal Reliabilitas Standar


(%) Deviate (ZR) (%) Normal
Deviate (ZR)
50 0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750
12.6.4 Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi masa pelayanan jalan. Perubahan
temperatur dan kadar air dapat berpengaruh pada kekuatan lapisan perkerasan,
daya tahan terhadap beban lalu-lintas, dan lain-lain.

Faktor perubahan kadar air pada tanah berbutir halus memungkinkan tanah
tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) yang mengakibatkan kondisi
daya dukung tanah dasar menurun. Maka untuk mengatasi perubahan kondisi
lingkungan ini perlu dilakukan suatu perlakuan khusus/treatment pada
materialnya.

12.6.5 Indeks Permukaan


Nilai Indeks Permukaan (IP) didefinisikan sebagai kemampuan untuk melayani
setiap tipe lalu lintas (kendaraan ringan maupun berat) yang menggunakan
fasilitas jalan tersebut. Nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 5. Nilai ini
menyatakan kenyamanan dan kekuatan perkerasan

yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Semakin rendah nilai IP maka semakin sulit jalan untuk dilewati, dan semakin
tinggi nilai IP maka semakin mudah jalan untuk dilewati. Indeks Permukaan
merupakan salah satu dasar yang digunakan dalam merencanakan perkerasan
jalan.

Pada saat jalan baru dioperasikan, struktur perkerasan jalan diharuskan


memiliki nilai Indeks Permukaan Awal (IPo) sebesar 4,5 untuk perkerasan
kaku. Dan Penentuan nilai Indeks Permukaan Akhir (IPt) dilakukan pada saat
masa layan jalan sudah tercapai atau sebelum dilakukan perbaikan/rehabilitasi.
Untuk perencanaan jalan dengan volume yang tinggi, nilai Indeks Permukaan
Akhir (IPt) yang digunakan adalah 2,0 hingga 3,0.

Perubahan nilai IPo dan IPt ditentukan dari rumus berikut: ΔIP = IPo - IPt
Rumus ini berlaku untuk seluruh jenis perkerasan.
12.6.6 Kehilangan Daya Dukung
Faktor kehilangan daya dukung (LS) termasuk dalam perencanaan perkerasan
kaku untuk memperhitungkan potensi kehilangan daya dukung yang bertambah
akibat erosi lapisan pondasi bawah atau dan perubahan pergerakan partikel
tanah, untuk ini dikurangi nilai k efektif atau komposit berdasarkan ukuran
rongga yang mungkin terjadi dibwah pelat.

Faktor ini perlu dipertimbangkan karena adanya rongga dibawah perkerasan


akibat perbedaan pergerakan partikel tanah. Biasanya untuk tanah lempung
yang aktif mengembang atau daya beku yang berlebihan nilai LS harus
dipertimbangkan antara 2,0 dan 3,0.

13.1 Modulus Reaksi Tanah Dasar


Sebelum menentukan perencanaan ketebalan pelat beton, dianjurkan untuk
merencanakan nilai modulus efektif reaksi tanah dasarnya (k). Gambar-gambar
berikut dapat dijadikan acuan untuk merencanakan nilai modulus reaksi tanah
dasar (k).
Untuk menentukan nilai modulus reaksi tanah dasar, perlu dipertimbangkan
juga hal-hal berikut:
a. Jenis lapis pondasi bawah (subbase)
Jenis lapisan yang berbeda memiliki perbedaan kekuatan dalam
menahan beban lalu-lintas, dengan kata lain modulusnya berbeda- beda
b. Ketebalan lapis pondasi bawah
Ketebalan lapis pondasi bawah sebaiknya diperhitungkan/diidentifikasi
terlebih dahulu sehingga kefektifan biaya dapat diperoleh.

c. Kehilangan daya dukung (LS)


Nilai LS digunakan untuk memperhitungkan potensi kehilangan daya
dukung yang bertambah akibat erosi lapisan pondasi bawah. Nilai LS
didapat dari tabel di bawah ini.

Tabel 2.23 Nilai LS

No. Type Material LS


1 Cement Treated Granular Base (E = 1.000.000 - 0-1
2.000.000 psi)
2 Cement Aggregate Mixtures (E = 500.000 - 1.000.000 0–1
psi)
3 Asphalt Treated Base (E = 350.000 - 1.000.000 psi) 0–1
4 Bituminous Stabilized Mixtures (E = 40.000 - 300.000 0–1
psi)
5 Lime Stabilized (E = 20.000 - 70.000 psi) 1–3
6 Unbound Granular Materials (E = 15.000 - 45.000 psi) 1–3
7 Fine grained/Natural subgrade materials (E = 3.000 - 2 -
40.000 psi)
3

d. Kedalaman tanah keras

Jika kedalaman tanah keras berada sekitar 10 feet dari


permukaan lapisan tanah dasar untuk suatu panjang jalan maka
hal ini juga menjadi bahan yang harus diperhitungkan Untuk
mempertimbangkan pengaruh dari pondasi perkerasan kaku
disekitar permukaan

Untuk mempertimbangkan pengaruh dari pondasi perkerasan


kaku disekitar permukaan.
Gambar 2.30 Grafik untuk memperkirakan kerusakan

Gambar 2.31 Koreksi moulus efektif reaksi tanah dasar

1.15

Gambar 2.32 Grafik untuk mengubah modulus reaksi tanah dasar

13.2 Modulus Elastisitas Beton


Modulus elastis beton dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Dimana:

Ec= modulus elastis beton, (psi)

= kuat tekan beton, (psi)

13.3 Modulus Kelenturan Beton


Modulus kelenturan beton hanya digunakan untuk perencanaan perkerasan
kaku. Nilai modulus kelenturan beton yang digunakan adalah nilai rata-rata
kekuatan tarik lentur pada usia 28 hari. Jika digunakan konstruksi yang
spesifik, maka dalam penentuan modulus kelenturan betonnya ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan. Rumus berikut menunjukkan perhitungan
modulus kelenturan beton dengan konstruksi yang spesifik.

Dimana:

= modulus kelenturan beton, (psi)


Sc = konstruksi spesifik pada modulus kelenturan beton, (psi)

SDS = standar deviasi modulus kelenturan beton, (psi)


z = variasi normal standar

= 0,841, untuk Percent Serviceability (PS) = 20%

= 1,037, untuk PS = 15%

= 1,282, untuk PS = 10%

= 1,645, untuk PS = 5%

= 2,327, untuk PS = 1%

13.4 Koefisien Pelimpahan Beban


Koefisien pelimpahan beban (J) adalah faktor yang memperngaruhi
kemampuan perkerasan beton semen dalam melimpahkan atau
mendistribusikan beban pada daerah yang terputus seperti daerah sambungan
atau retakan.

Besarnya nilai J pada perkerasan beton dengan sambungan dan bahu yang
menyatu biasanya akan naik karena beban agregat akan menurun dengan
pengulangan beban. Untuk variasi nilai J maka nilai J yang lebih tinggi harus
digunakan untuk nilai k yang lebih rendah, koefisien suhu tinggi, dan variasi
suhu yang besar. Untuk penggunaan dowel, jarak dan ukuran harus ditentukan
berdasarkan pengalaman atau berdasarkan petunjuk yang ada. Sebagai
petunjuk umum, diameter dowel harus sama dengan tebal pelat dikalikan 1/8
inchi (panjang dan jarak dowel biasanya 12 dan 18 inchi). Tabel berikut dapat
digunakan untuk menentukan nilai J.
Tabel 2.24 Koefisien pelimpahan beban

Bahu Aspal Beton


Pelimpahan Beban Ya Tidak Ya Tidak
Jenis Perkerasan

Perkerasan bersambung
tanpa atau dengan tulangan 3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
(JCP / JRCP)
Perkerasan beton menerus
2,9 - 3,2 N/A 2,3 - 2,9 N/A
dengan tulangan (CRCP)

1) Perkerasan dengan Sambungan


Nilai J yang direkomendasikan untuk perkerasan kaku bersambung
tanpa atau dengan tulangan dengan berbagai jenis alat pelimpahan
beban adalah 3,2 (perkerasan dengan pelimpahan beban tanp a atau
dengan bahu yang menyatu).Untuk perkerasan dengan sambungan
dengan alat pelimpahan bebas pada sambungan maka nilai J tersebut
adalah 3,8 – 4,4.

Jika beton mempunyai koefisien panas yang tinggi, maka besarnya nilai
J harus dinaikkan. Dan sebaliknya jika jumlah berat yang diperkirakan
kecil seperti jalan dengan volume kecil maka nilai J harus diturunkan.

2) Perkerasan Beton Menerus dengan Tulangan


Nilai J yang direkomendasikan untuk perkerasan beton menerus tanpa
bahu yang bersatu adalah 2,9 – 3,2, tergantung kemampuan ikatan antar
agregat (untuk kemungkinan retak memanjang) dalam mengalihkan
beban.

3) Bahu yang Menyatu/Jalur Luar yang Diperlebar


Salah satu keuntungan menggunakan bahu jalan beton semen adalah
untuk mengurangi tegangan pelat dan menaikkan usia pelayanan. Untuk
memperhitungkan nilai tersebut maka nilai J yang lebih rendah dapat
digunakan baik untuk perencanaan perkerasan bersambung atau
menerus.

Bagi perkerasan beton menerus dengan bahu yang menyatu (ukuran


tulangan minimum dan jarak tulangan maksimum harus sama dengan
tulangan sambungan antar jalur), maka nilai variasi J adalah 2,3 – 2,9.
Nilai yang disarankan adalah 2,6 karena nilai ini lebih rendah daripada
perencanaan perkerasan kaku tanpa bahu yang menyatu karena
kemampuan pembagian beban perkerasan dengan bahu yang
bertambah. Adapun untuk perkerasan beton bersambung dengan dowel
dan bahu yang menyatu maka nilai J diantara 2,5 dan 3,1.

13.5 Koefisien Drainase


Pada metoda ini juga diberikan koefisien pengaruh dari drainase seperti
diberikan pada tabel berikut:
Tabel 2.25 Koefisien drainase

Persen Waktu Struktur Perkerasan Dipengaruhi Oleh


Kualitas Kadar Air yang Mendekati Jenuh
Drainase
< 1% 1% - 5% 5% - 25% > 25%
Baik sekali 1,25 – 1,20 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10
Baik 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00
Sedang 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90
Jelek 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80
Jelek sekali 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,80 - 0,70 0,80

13.6 Penentuan Ketebalan Pelat Beton


Ketebalan pelat beton dapat ditentukan dengan menggunakan rumus atau
gambar berikut:
Dimana:
D = tebal perkerasan kaku, (inci)

W18 = repetisi beban lalu lintas selama umur rencana

ZR = simpangan baku normal

S0 = deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,3 – 0,4

∆PSI = perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana

= P 0 - Pt

Pt = Indeks permukaan akhir

P0 = Indeks permukaan awal

Cd = Koefisien drainase

S’c = modulus kelenturan beton, (psi)

Ec = modulus elastisitas beton, (psi)

13.7 Sistem Drainase Jalan Raya


Drainase adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di
bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh
manusia. Dalam bahasa Indonesia, drainase bisa merujuk pada parit di
permukaan tanah atau gorong-

gorong di bawah tanah. Drainase berperan penting untuk mengatur suplai air demi
pencegahan banjir.
13.7.1 Jenis Drainase
Berdasarkan jenisnya draiase dibedakan menjadi beberapa bagian, diantaranya:

13.7.1.1 Menurut Sejarah Terbentuknya


1) Drainase Alamiah (Natural Drainage)
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat
bangunanbangunan penunjang seperti bangunan pelimpah,
pasangan batu/beton, gorong-gorong dan lain-lain. Saluran ini
terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena gravitasi yang
lambat laun membentuk jalan air yang permanen seperti sungai.
2) Drainase Buatan (Arficial Drainage)

Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu


sehingga memerlukan bangunan-bangunan khusus seperti
selokan pasangan batu/beton, gorong-gorong, pipa-pipa dan
sebagainya.

13.7.1.2 Menurut Letak Bangunan


1) Drainase Permukaan Tanah (Surface Drainage)

Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang


berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa
alirannya merupakan analisa open chanel flow.
2) Drainase Bawah Permukaan Tanah (Subsurface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan
permukaan melalui media dibawah permukaan tanah (pipa-
pipa), dikarenakan alasan-alasan tertentu. Alasan itu antara lain
Tuntutan artistik, tuntutan fungsi permukaan tanah yang tidak
membolehkan adanya saluran di dipermukaan tanah seperti
lapangan sepak bola, lapangan terbang, taman dan lain-lain.

13.7.1.3 Menurut Fungsi


1) Single Purpose

Yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air


buangan, misalnya air hujan saja atau jenis air buangan yang
lainnya seperti limbah domestik, air limbah industri dan lain –
lain.
2) Multi Purpose
Yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air
buangan baik secara bercampur maupun bergantian.
13.7.1.4 Menurut Konstruksi
1. Saluran Terbuka
Yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang
terletak di daerah yang mempunyai luasan yang cukup, ataupun
untuk drainase air non-hujan yang tidak membahayakan
kesehatan/ mengganggu lingkungan.
2. Saluran Tertutup
Yaitu saluran yang pada umumnya sering dipakai untuk aliran
kotor (air yang mengganggu kesehatan/lingkungan) atau untuk
saluran yang terletak di kota/permukiman.

Gambar 2.33 Drainase buatan

13.7.2 Drainase Jalan Raya


Salah satu aspek terpenting dalam perencanaan jalan raya adalah melindungi
jalan dari air permukaan dan air tanah. Dengan kata lain drainase merupakan
salah satu faktor terpenting dalam perencanaan pekerjaan jalan. Genangan air di
permukaan jalan memperlambat kendaraan dan memberikan andil terjadinya
kecelakaan akibat terganggunya pandangan oleh cipratan dana semprotan air.
Jika air memasuki struktur jalan, perkerasan dan tanah dasar menjadi lemah, dan
hal ini akan menyebabkan konstruksi jala lebih peka terhadap kerusakan akibat
lalulintas. Air juga berpengaruh kurang baik pada bahu jalan, lereng, saluran dan
bagian lain dari jalan. Kegagalan dapat terjadi pada saat pemotongan tebing atau
pembuatan tanggul dan jembatan karena sidapu oleh banjir.

Berdasarkan fungsinya drainase jalan dibedakan menjadi drainase permukaan dan


drainase bawah permukaan. Drainase permukaan ditujukan untuk menghilangkan
air hujan dari permukaan jalan sehinggga lalu-lintas dapat melaju dengan aman dan
efisien. Disamping itu untuk meminimalkan penetrasi air hujan ke dalam struktur
jalan. Sedangkan drainase bawah permukaan berfungsi untuk mencegah masuknya
air dalam struktur jalan dan atau menangkap dan mengeluarkan air dari struktur
jalan.

13.7.4 Drainase Permukaan

Langkah awal dalam perencanaan sistem drainase adalah analisis hidrologi. Dalam
analisis ini ditentukan karakteristik debit rencana dari senua bangunan drainase,
sungai, dan saluran yang berbeda di sekitar alinyemen jalan. Debit rencana dapat
dihitung berdasarkan dua pendekatan, tergantung pada data yang tersedia, yaitu
analisis data debit banjir dan permodelan aliran (rainfall-runoff model).

Sisten drainase permukaan pada jalan raya mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu:
a. Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuang air

b. Menampung air tanah dari subdrain dan air permukaan yang


mengalir menuju jalan
c. Membawa air menyebrang alinement jalan secara terkendali Dua fungsi
yang pertama dikendalikan oleh kompoen drainase memenjang,
sementara fungsi ketiga memerlukan bangunan drainase melintang,
seperti culvert, gorong – gororng dan jembatan.

Berikut tabel debit priode ulang rencana yang direkomendasikan untuk bangunan
drainase utama.
Tabel 2.26 Kebutuhan debit rencana

Periode Ulang
Kelas jalan
(tahun)
Jalan tol (expressways) 100
Jalan arteri (arterial roads) 50
Jalan pengumpul (collector roads) 50
Jalan penghubung (access roads) 25
Tabel 2.27 Koefisien pengaliran

No. Jenis Permukaan Koefisien (C)


1 Jalan aspal 0,70 - 0,95
2 Bahu jalan 0,70 - 0,85
3 Jalan beton 0,70 – 0,95
4 Talud timbunan 0,40 - 0,65
5 Daerah perkotaan 0,70 - 0,95
6 Daerah pinggir kota 0,60 - 0,70
7 Daerah pemukiman 0,40 - 0,60
8 Taman dan Kebun 0,20 - 0,40
9 Daerah persawahan 0,45 - 0,60

Tabel 2.28 Nilai Manning saluran

No. Jenis Permukaan Min. Normal Maks.


1 Gorong-gorong slab 0,018 0,025 0,030
2 Gorong-gorong beton, bebas 0,010 0,011 0,013
Kikisan
Gorong-gorong beton, salur-an
3 pembuang dengan bak kontrol, 0,013 0,015 0,017
apron dan lurus
4 Gorong-gorong baja bergelombang 0,013 0,016 0,017
Saluran tanah, lurus dan seragam,
5 0,016 0,018 0,020
bersih baru dibuat

1) Drainase Memanjang
Permukaan jalan harus dibuat dgn kemiringan melintang yg cukup utk
membuang air hujan secepatnya, dan permukaan jalan hrs berada di atas
permukaan air tanah setempat. Kemiringan memanjang utk bahu jalan
diharuskan tdk kurang dari 0,3% dan utk daerah yg sangat datar tidak
kurang dari 0,2%.

Saluran terbuka di tepi jalan dpt dibedakan berdasarkan fungsinya


menjadi:
a. Parit adalah saluran yg disediakan utk membuang aliran air dari
perkerasan jalan, bahu jalan dan slope galian. Kemiringan dindingnya
tdk boleh lebih dari 1:4 (1 vertikal : 4 horizontal).

b. Talang adalah saluran pada tepi perkerasan atau bahu jalan yang di
bentuk oleh curb. Talang dpt dilapisi beton, batu bata, batu kali dll.
Kemiringan memanjang dan kedalam air yang diizinkan sepanjang jalan
yang ber-curb.
c. Turnouts adalah saluran pendek yg menikung keluar dari tepi jalan yg
berfunsi utk membuang air dari saluran atau talang. Jarak antara
turnouts tergantung pada aliran, kemiringan yg diizinkan, dan
kemiringan daerahnya. Untuk menghindari aliran yang menimbulkan
erosi, ujung saluran hrs dilebarkan.
d. Chutes adalah adalah saluran terbuka berlining yg berfungsi untuk
membawa air dari parit menuruni lereng urugan. Inlet chutes hrs
direncanakan untuk mencegah terjadinya limpasan yang dapat
mengakibatkan erosi pada lereng.
e. Intercepting ditchs terletak dilahan alamiah didekat ujung lereng galian
utk menampung aliran dari bukin sebelum mencapai jalan. Berfungsi
utk menurunkan genangan pada jalan.

2) Drainase Melintang
Saluran melintang sering menelan biaya yg cukup besar, Sejauh dpt
memilih lokasi persilangan dgn sungai, dianjurkan utk meletakkan lokasi
persilangan pada:
a. bagian sungai yang lurus dan jauh dari tikungan;
b. sejauh mungkin dari pertemuan anak sungai yg cukup besar;
c. bagian sungai dengan tebing dan tanggul yangg bagus;
d. lokasi dimana dapat dibuat jalan lurus dengan pandangan yang
cukup luas;
e. lokasi dimana dapat dibuat persilangan tegak lurus.

Untuk menentukan tipe persilangan dengan drainase melintang


diperlukan data hidrologi, dan prediksi arus lalu lintas, dapat berupa:

1) Fords
2) Drifts
3) Gorong-gorong
4) Jembatan

13.7.6 Drainase Bawah Permukaan


Drainase bawah permukaan jalan raya terutama berfungsi untuk
menampung dan membuang air yang masuk ke dalam struktur jalan
sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada jalan.
1. Pengaruh Air pada Perkerasan Jalan
a) Air menurunkan kekuatan material butiran lepas dan tanah
subgrade.
b) Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan
beton yang dapat menyebabkan retakan dan kerusakan bahu
jalan. Tekanan hidrodinamik yang tinggi akibat pergerakan ken
daraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan
dasar perkerasan fleksibel yang mengakibatkan hilangnya daya
dukung.

c) Kontak dengan air yang menerus dapat menyebabkan


penelanjangan campuran.

d) Aspal dan daya tahan keretakan beton.

e) Air yang menyebabkan perbedaan tekanan tanah yang


bergelombang.
2. Metode Pengendalian Air Pada Perkerasan
a) Mencegah air masuk ke dalam perkerasan
b) Menyediakan sistem drainase yang dapat membuang air secepatnya
c) Membangun perkerasan yang cukup kuat untuk bertahan terhadap
kombinasi pengaruh beban dan air.
3. Pencegahan
a. Memerlukan penangkap air tanah (interceptor)
b. Memerlukan penutup permukaan perkerasan untuk meminimalkan
infiltrasi air permukaan ke dalam perkerasan, diperlukan sistem
drainase permukaan yang bagus. Untuk melayani drainase permukaan,
permukaan jalan ke arah melintang pada semua penampang dibuat
miring ke arah luar, kecuali superlelevasi pada tikungan yang
mengarahkan semua air ke arah dalam.
Tabel 2.29 Kemiringan melintang jalan

Bagian Konstruksi Jalan Kemiringan


- Perkerasan jalan 1,5 – 3 %
- Bahu jalan 3–6%
- Parit 25 – 50 %

13.7.7 Pembuangan Air

Pada peristiwa masuknya air ke dalam struktur perkerasan melalui infiltrasi atau air
tanah, air tersebut harus dibuang secepatnya sebelum menyebabkan kerusakan. Ada 3
jenis yang dapat diterapkan, secara individu atau kombinasi, yaitu lapisan drainase
atau blanket, drainase memanjang, dan drainase melintang.

Gambar 2.34 Pembuangan air


Lapisan drainase yang berfungsi menangkal infiltrasi permukaan dapat
dikombinasikan dengan drainase memanjang dan pipa outlet (Gambar a). Lapisan
drainase dapat diperpanjang sampai ke sisi paling luar dari jalan (Gambar b).
Untuk mengurangi intrusi material lembut, semua material di sekeliling
lapisan drainase dan drainase memanjang dilapisi filter.
a. Perkerasan yang Kuat
Penggunaan HMA (Hot Mixed Asphalt) dan PCC (Portland Cement
Concrete) yang tebal dapat mengurangi tekanan hidrodinamis dan
pengaruh perusaknya secara signifikan. Sangat dianjurkan untuk
membuat perkerasan aspal untuk keseluruhan ketebalan. Pergerakan
uap dapat menjadi penyebab utama masuknya kelengasan dan
menjenuhkan butiran dasar. Jika tak dilengkapi lapisan drainase,
perencanaan ketebalan harus berdasarkan tanah dasar jenuh.

Gambar 2.35 Perkerasan yang kuat


BAB 3 Metodologi Dan Analisis

3.1 Metodologi Perencanaan


Tahap perencanaan jalan raya dimulai dengan cara menentukan titik koordinat pada
setiap elevasi peta topografi dan menentukan trase untuk membuat alinyemen
horizontal dan vertical.

3.1.1 Metode Pengambilan Data


Data topografi yang digunakan dalam perencanaan ini diperoleh dari PT. Indec
Internusa dan data lalu lintas diperoleh dari pembimbing mata kuliah. Data – data
tersebut akan digunakan untuk menunjang dalam perencanaan jalan raya. Data
topografi akan digunakan untuk mendapatkan nilai elevasi pada permukaan tanah
serta sebagai gambaran dari jalan yang akan direncanakan. Sedangkan data lalu lintas
akn digunakan sebagai acuan untuk mengetahui klasifikasi dari jalan yang akan
direncanakan. Adapun data lalu lintas yang digunakan dalam perencanaan ini dapat
dilihat dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data Lalu Lintas Harian Rata – Rata

Golongan Kendaraan Angkutan Umum Angkutan Jumlah


Barang
Jam Sepeda Sedan Angkot Bus Pick Truk Kendaraan
Motor Jeep Minibus Sedang UP 3/4
Wagon Taksi
06.00 – 06.15 150 80 30 2 6 0 718
06.15 - 06.30 200 110 50 0 14 0 914
06.30 - 06.45 500 120 51 0 14 4 1380
06.45 - 07.00 300 150 67 0 18 18 1882
07.00 - 07.15 250 210 52 0 14 8 1896
07.15 - 07.30 300 197 29 0 16 2 1936
07.30 - 07.45 470 132 96 0 20 8 1968
07.45 - 08.00 300 120 74 4 18 10 1906
08.00 - 08.15 200 145 60 2 14 6 1346
08.15 - 08.30 890 132 50 0 12 2 1322
08.30 – 08.45 700 200 78 0 20 22 1352
08.45 – 09.00 996 121 60 0 30 10 1260
09.00 – 09.15 700 95 34 0 32 8 1312
09.15 – 09.30 300 120 50 0 32 18 1298
09.30 – 09.45 250 123 74 0 48 12 1334
09.45 – 10.00 100 132 42 0 36 14 1410
10.00 – 10.15 500 134 70 0 50 22 1510
10.15 – 10.30 230 110 62 0 30 14 1568
10.30 – 10.45 300 120 24 0 42 14 1414
10.45 – 11.00 150 109 34 0 38 10 1722
11.00 – 11.15 150 102 36 0 24 18 1482
11.15 – 11.30 490 124 40 0 34 18 1626
11.30 – 11.45 700 135 38 0 68 4 1526
11.45 – 12.00 500 102 74 0 30 10 1320
12.00 – 12.15 340 115 22 0 28 12 1444
12.15 – 12.30 674 200 44 0 28 16 1474
12.30 – 12.45 700 205 60 0 42 26 1436
12.45 – 13.00 350 134 54 0 34 26 1510
13.00 – 13.15 677 150 96 2 48 10 1382
13.15 – 13.30 343 112 12 4 22 4 1434
13.30 – 13.45 430 131 84 0 40 4 1308
13.45 – 14.00 200 109 92 0 52 8 1328
14.00 – 14.15 250 145 48 0 38 8 1514
14.15 – 14.30 200 130 58 2 34 8 1450
14.30 – 14.45 600 112 68 0 36 16 1642
14.45 – 15.00 557 200 60 0 46 20 1662
15.00 – 15.15 343 153 30 0 34 20 1578
15.15 – 15.30 300 298 28 0 36 14 1734
15.30 – 15.45 250 128 58 0 28 14 1544
15.45 – 16.00 500 107 50 0 36 10 1672
16.00 – 16.15 341 211 94 0 32 16 2064
16.15 – 16.30 120 100 56 0 34 6 1810
16.30 – 16.45 250 115 44 0 28 10 1786
16.45 – 17.00 150 90 50 0 28 12 1914
17.00 – 17.15 90 110 18 0 26 2 2262
17.15 – 17.30 644 153 22 2 30 16 1854
17.30 – 17.45 230 265 52 0 14 6 2450
17.45 – 18.00 300 124 30 2 12 4 2554
18.15.18.30 313 180 18 2 32 16 2140
18.30 – 18.45 240 211 52 0 12 4 2024
18.45 – 19.00 300 117 46 0 12 10 1604
19.00 – 19.15 234 276 30 0 22 0 1810
19.15 – 19.30 450 128 52 0 22 0 1756
19.30 – 19.45 200 231 50 0 18 6 1642
19.45 – 20.00 135 237 68 0 14 6 1816
20.00 – 20.15 350 175 56 0 8 4 1714
20.15 – 20.30 200 254 60 0 22 2 1578
20.30 – 20.45 250 110 34 0 6 4 1696
20.45 – 21.00 150 302 42 0 6 2 1524
21.00 – 21.15 100 142 58 0 18 0 1504
21.15 – 21.30 70 246 36 0 24 4 1500
21.30 – 21.45 10 216 62 0 20 0 1564
21.45 – 22.00 110 282 42 0 12 4 1430
22.00 – 22.15 200 198 36 0 8 0 1142
22.15 – 22.30 115 172 27 0 5 0 319
22.45 – 23.00 105 163 40 0 3 7 318
23.00 – 23.15 123 155 35 0 3 0 316
23.15 – 23.30 120 130 43 0 1 0 294
23.30 – 23.45 113 90 44 0 2 3 252
23.45 – 00.00 120 133 51 0 11 3 318
00.00 – 00.15 40 20 32 0 2 2 96
00.15 – 00.30 37 55 24 0 1 1 118
00.30 – 00.45 22 12 21 0 2 1 58
00.45 – 01.00 15 13 18 0 2 0 49
01.00 – 01.15 11 11 22 0 1 2 45
01.15 – 01.30 12 7 12 0 1 0 34
01.30 – 01.45 13 11 16 0 2 1 42
01.45 – 02.00 11 13 16 0 1 0 42
02.00 – 02.15 18 12 14 0 2 0 46
02.15 – 02.30 14 13 11 0 0 2 38
02.30 – 02.45 12 10 12 0 0 2 36
02.45 – 03.00 11 11 2 0 1 0 27
03.00 – 03.15 21 15 22 0 2 0 60
03.15 – 03.30 25 15 23 0 1 2 64
03.30 – 03.45 21 21 24 0 1 2 69
03.45 – 04.00 12 12 22 0 12 2 60
04.00 – 04.15 23 12 22 0 1 2 60
04.15 – 04.30 12 14 33 1 2 2 64
04.30 – 04.45 27 21 21 0 1 2 72
04.45 – 05.00 46 12 21 0 2 1 83
05.00 – 05.15 78 23 22 0 1 4 125
05.15 – 05.30 132 32 21 0 22 2 211
05.30 – 05.45 150 32 11 0 11 4 206
05.45 – 06.00 165 70 42 2 12 0 295
Total 23401 11335 3971 25 1810 650 106471

3.1.2 Metode Analisis Data


Metode analisis data akan menggunakan referensi dari Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997, dan MKJI 1997. Untuk
perencanaan perhitungan dalam analisis seperti perhitungan untuk alinyemen
horizontal, alinyemen vertical, perhitungan drainase juga akan mengacu pada
referensi yang sama.

Melakukan digitasi pada peta topografi yang bertujuan untuk menemukan titik – titik
easting dan northing, data – data tersebut akan diketik kembali pada Ms.Excel yang
kemudian akan dilakukan perhitungan secara analitis untuk mendapatkan nilai – nlai
yang diperlukan untuk merencanakan jalan pada software AutoCAD Land Desktop
2004.

3.1.3 Proses Digitasi Pada Peta Kontur/Topografi


Proses digitasi dilakukan untuk mengetahui nilai dari titik – titik koordinat northing,
easting, dan elevation. Proses digitasi pada peta kontur/topografi dilakukan pada
software AutoCAD Land Desktop 2009 dan kemudian untuk melakukan perhitungan
pada item – item tertentu akan menggunakan software Microsoft Excel. Adapun
tahapan dari perencanaan jalan raya dapat dilihat dalam diagram alir seperti di bawah
ini :
Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan Perancangan Jalan Raya

3.2 Kriteria Desain


Dalam suatu perencanaan jalan raya haruslah mempunyai kriteria desain yang pasti
karena dalam kriteria desain aka nada item – item yang diperlukan untuk melakukan
perencanaan selanjutnya. Dalam tahapan ini beberapa item yang akan diperlukan
untuk melakukan perencanaan geometric maupun perkerasan akan ditentukan dengan
megacu pada SNI atau MKJI.
3.2.1 Klasifikasi Medan
Klasifikasi medan dilakukan untuk mengetahui jenis medan pada jalan yang akan
direncanakan. Adapun jenis medan yang biasa dipakai untuk melakukan perencanaan
jalan dapat dilihat dalam tabel 3.2.
Tabel 3.2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan
No Jenis Medan Notasi Kemiringan
Medan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Pegunungan G >25
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997

Dari tabel di atas dapat ditentukan jenis medan berdasarkan kemiringan yang sudah
didapatkan. Untuk mendapatkan nilai kemiringan harus dilakukan perhitungan elevasi
dari peta kontur/topografi. Untuk dapat mendapatkan nilai elevasi dari peta
kontur/topografi bisa dilakukan pada software AutoCAD Land Desktop. Adapun nilai
elevasi dan kemiringan yang akan digunakan untuk penentuan dapat dilihat dalam
tabel 3.3 dibawah ini.
Rumus kelandaian adalah sebagai berikut :
Dimana :
A = Elevasi kanan/kiri tertinggi
B = Elevasi kanan/kiri terendah
Row = Daerah milik jalan
Dari hasil perhitungan di atas didapatkan nilai kelandaian sebesar (…) maka jalan
dapat medan dapat dikategorikan datar.

3.2.2 Kelas Jalan Dan Kecepatan Rencana


a. Kelas Jalan
Klasifikasi kelas jalan dilihat berdasarkan kemampuan jalan untuk menerima beban
yang diakibatkan oleh lalu lintas, dinyatakan oleh satuan terberat (MST) dalam
satuan ton.

Klasifikasi jalan yang digunakan dalam perencanaan dapat dilihat dalam tabel 3.3
seperti di bawah ini:
Tabel 3.3 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Muatan Sumbu Terberat


Fungsi Kelas
MST (Ton)

I > 10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Jalan direncanakan dengan fungsi arteri maka berdasarkan tabel 3.3. digunakan
kelas II A dengan sumbu terberat MST 10 ton.
b. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan yang ditentukan sebagai dasar dalam
perencanaan geometrik jalan yang bertujuan agar kendaraan dapat bergerak dengan
aman dan nyaman dengan kondisi lalu lintas yang lenggang. Kecepatan rencana
dapat ditetapkan dalam tabel 3.4 dibawah ini :
Tabel 3.4 Kecepatan Rencana

Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)


Fungsi
Datar Bukit Pegununga
n
Arteri 70 - 120 60 -80 40 – 70
Kolektor 60 - 90 50 - 30 – 50
60
Lokal 40 - 70 30 - 20 -30
50
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Berdasarkan tabel 3.4 maka dapat ditentukan kecepatan rencana arteri sebesar 80
km/jam.

3.2.3 Jarak Pandang Henti Dan Mendahului


a. Jarak Pandang Henti
Jarak pandang henti (Jh) ditentukan berdasarkan kecepatan rencana yang sudah
ditentukan sebelumnya. Adapun tabel untuk menentukan jarak pandang henti dapat
dilihat dalam tabel 3.5 di bawah ini.
Tabel 3.5 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Jh Minimum
(m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Berdasarkan tabel 3.5 jarak pandang henti minimum untuk kecepatan rencana 80
km/jam adalah 120 m.

b. Jarak Pandang Mendahului

Sama seperti jarak pandang henti, jarak pandang mendahului juga ditentukan
berdasarkan kecepatan rencana yang sudah direncanakan sebelumnya. Adapun tabel
untuk menentukan jarak pandang henti dapat dilihat dalam tabel 3.6 di bawah ini.
Tabel 3.6 Jarak Pandang Mendahului (Jd) Minimum

VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 15 100


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Dari tabel 3.6 didapatkan jarak pandang mendahului sebesar 550 m.

3.2.4 Kelandaian Maksimum


Tujuan dari ditentukannya kelandaian maksimum adalah untuk memungkinkan
kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian
maksimum ditentukan berdasarkan kecepatan rencana. Untuk menentukan kelandaian
maksimum dapat dilihat dalam tabel 3.7.
Tabel 3.7 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan

VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian
Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Dari tabel 3.7 di atas dapat diambil nilai kelandaian maksimum dengan melihat
kecepatan rencana sebesar 80 km/jam adalah 5%.

3.2.5 Panjang Kritis


Panjang kritis disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya,
sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Untuk menentukan
panjang kritis dapat dilihat dalam tabel 3.8.
Tabel 3.8 Panjang Kritis

Kecepatan pada Kelandaian (%)


awal tanjakan
4 5 6 7 8 9 10
(Km/Jam)
80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Dari tabel 3.8 di atas didapatkan panjang kritis sebesar 5%.

3.2.6 Penentuan Jumlah Lajur


a. Volume Lalu Lintas Rencana
Volune Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah perkiraan volume lalu lintas
harian yang dinyatakan dalam Smp/hari. Untuk perhitungan VLHR dapat dilihat
dalam tabel 3.9.
Tabel 3.9 Perhitungan VLHR

No Jenis Kendaraan LHR LHR x emp


1 Sepeda Motor 23401 11700.5
2 Sedan, Jeep, Wagon 11335 11335
3 Angkot, Minibus, Taksi 3971 3971
4 Bus Sedang 25 32.5
5 Pick Up 1810 1810
6 Truk ¾ 650 650
Total VLHR 29499
VLHRT = VLHR * (1 + I )^UR 64635.9
Dimana :
- Pertumbuhan pelayanan, (i) : 4%
- Umur Rencana (UR) : 20 tahun

Ekivalensi mobil penumpang (emp):


- Motorcycle (MC) = 0.5
- Kendaraan ringan =1
- Kendaraan Sedang = 1.3

Berdasarkan dari tabel 3.9 di atas didapatkan VLHR sebesar 65328.12


smp/hari. Nilai VLHR yang didapat akan digunakan untuk menentukan faktor F
dan K seperti yang terlihat dalam tabel 3.10.
Tabel 3.10 Penentuan Faktor F Dan K

VLHR Faktor K Faktor F


(smp/hari) (%) (%)
> 50000 4 s/d 6 0.90 s/d 1
30000 s/d 50000 6 s/d 8 0.80 s/d 1
10000 s/d 30000 6 s/d 8 0.80 s/d 1
5000 s/d 10000 8 s/d 10 0.60 s/d 0.80
1000 s/d 5000 10 s/d 12 0.60 s/d 0.80
< 1000 12 s/d 16 < 0.60

Volume Jalan Rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu lintas pada saat jam
puncak atau jam sibuk tahun rencana lalu lintas, VJR dinyatakan dalam smp/jam
dan dapat dihitung dengan rumus :
𝐾
VLHR x
𝐹
0.06
65328.12 x
1
= 5737,225403
Dimana :

VLHR = Volume Lalu Lintas Harian Rencana ( smp/jam)


K = Volume Lalu lintas jam sibuk (karena VLHR
nilainya > 50000 Maka diambil nilai 6 (%)

F = Faktor Variasi tingkat lalu lintas perserempat


jam, dalam satu Jam (Diambil nilai 0.8%)

b. Jalur Lalu Lintas


Jalur lalu lintas merupakan bagian jalan yang akan digunakan untuk jalur lalu lintas
kendaraan yang secara fisiknya berupa perkerasan jalan. Adapun tipe lalu lintas
yang digunakan dalam perencanaan ini adalah 4 lajur – 2 arah (4/2 B). Untuk
memastikan apakah tipe lajur bisa digunakan maka bisa dilakukan perhitungan
untuk mencari nilai Ds. Apabila nilai Ds < 0.75 maka tipe lajur bisa digunakan.
Adapun Ds bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
𝑉𝐽𝑅
DS =
𝐶
C = Co x Fcw x Fcsf x Fcsp
C = 7600 x 1,08 x 0,95 x 1 = 7797,6
5737,225403
DS = = 0,74
7797,6

Dimana :
D = Derajat Kejenuhan
C = Kapasitas
VJR = Volume Kendaraan (smp/jam)

c. Lebar Lajur
Lebar lajur dapat ditentukan dengan melihat tabel yang terdapat pada SNI dengan
mengacu pada VLHR yang sudah didapatkan. Tabel untuk menentukan lebar lajur
dapat dilihat dalam tabel 3.11 di bawah ini.
Tabel 3.11 Penentuan Lebar Lajur
ARTERI KOLEKTOR LOKAL
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
VLHR (Smp/hari) Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)

<3000
6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000-10000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10001-25000
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -

>25000 2nx3,5*) 2nx3,5*)


2,5 2x7,0*) 2,0 2,0 **) **) - - - -

Dengan melihat VLHR yang sudah didapatkan sebelumnya maka nilai dari lebar
lajur dapat ditentukan sebagai berikut :
- Lebar Jalur : 7 m
- Lebar Bahu : 2 m
Dari hasil analisis di atas maka dapat dibuat sebuah rekapitulasi yang dapat dilihat
dalam tabel 3.12 sebagai berikut:
Tabel 3.12 Rekapitulasi

Parameter Desain
1. Kelas Jalan Arteri
2. Medan Jalan Datar
3. Kecepatan Rencana 80 Km/Jam
4. Jalur Lalu Lintas 4 lajur – 2 arah (4/2 B)
5. Lajur 3.50 m
6. Jarak Pandang Henti 120 m
7. Jarak Pandang Mendahului 550 m
8. Kelandaian Maksimum 5%
9. Panjang Kritis 460

3.3 Analisis Geometrik


Analisis geometrik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk geometrik dari
jalan yang akan direncanakan baik itu secara horizontal maupun vertical. Dalam
melakukan perencanaan ini sebagian besar data yang akan digunakan adalah data
yang berasal dari peta kontur/topografi salah satunya adalah titik koordinat yang bisa
ditampilkan pada software AutoCAD Land Desktop. Selain titik koordinat masih ada
beberapa data lain yang akan digunakan dalam analisis geometrik ini seperti sudut
tikungan, dan jalan.

3.3.1 Pembuatan Trase Jalan


Trase jalan dibuat dengan cara mengikuti titik – titik acuan pada peta. Dalam
pembuatan trase jalan diusahakn untuk meminimalisir tanjakan dan membuat jalan
tetap landai.

3.3.2 Perhitungan Koordinat Jalan


Tititk koordinat untuk jalan yang direncanakan dapat dilihat dalam tabel 3.13 seperti
di bawah ini:
Tabel 3.13 Titik Koordinat Trase Jalan

No Titik X Y
1 0+000 -1903.6023 2799.9836
2 1+124.720 -2521.8423 3739.5444
3 1+802.397 -3182.133 3892.0654
4 2+581.820 -3385.7024 4644.4347
5 2+978.732 -3671.4362 4919.9254
6 3+483.306 -4125.7823 5139.3899
7 4+193.397 -4464.2243 5763.6385
8 4+618.569 -4878.5167 5859.2047
9 5+648.219 -5388.29 6753.8058
10 6+517.192 -6054.3327 7311.9286
11 7+356.494 -6890.2819 7386.8722
12 7+877.463 -7409.3543 7342.4579
13 8+638.488 -7806.7686 7991.4735
14 9+091.470 -8215.1395 8187.497
15 9+562.805 -8681.546 8255.4854
16 10+070.362 -8923.6882 8701.5576
17 10+714.635 -9495.4791 8998.447
18 11+487.356 -10268.0693 9012.6884

3.3.3 Perhitungan azimuth


Perhitungan azimuth bertujuan untuk mengetahui besaran delta pada tikungan yang
direncanakan, adapun perhitungan azimuth dapat dijelaskan dalam rumus dan gambar
3.2 seperti di bawah ini:
Gambar 3.2 Quadran Pemetaan Lahan
Adapun rumus untuk menghitung azimuth adalah sebagai berikut :
𝑋1−𝑋𝐴
αA-1 = ArcTg ( )
𝑌1−𝑌𝐴
−2521.8423−(−1903.6023)
= ArcTg ( )
3739.5444−2799.9836

= 103,007
𝑋2−𝑋1
α1-2 = ArcTg ( )
𝑌2−𝑌1
−3182.133−(−2521.8423)
= ArcTg ( )
3892.0654−3739.5444

= 164,86

3.3.4 Perhitungan Sudut Tikungan


Pada suatu tikungan pastinya memiliki sudut, oleh karena itu maka perhitungan sudut
tikungan harus dilakukan. Adapun perhitungan untuk sudut tikungan akan dijelaskan
dalam rumus di bawah ini:
Δ1 = αA1 – α12
= 103,007 - 164,86
= 61,8533

3.3.5 Perhitungan Jarak Antar Titik


dA1 = √(𝑋𝐴 − 𝑋1)2 + (𝑌1 − 𝑌𝐴)2
= √(−1903,6023 − (−2521,8423)2 + (3739,5444 − 2799,9836)2
=
3.3.6 Perencanaan Penentuan Tikungan
Setiap perencanaan tikungan memiliki persyaratan atau karakteristik tersendiri yang
sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Berikut adalah diagram alir dalam
penentuan tikungan yang dapat dilihat dalam gambar 3.3 di bawah ini.
Tikungan Spiral – Circle
Spiral

Ya
Lc < Tikungan Spiral – Spiral
20 m

Tidak

P< Tikungan Full-Circle


0,25m
Ya

Tidak

E < 0,04
atau 1,5 Tikungan Full-Circle
en Ya

Tidak

Tikungan Spiral-Circle-Spiral

Gambar 3.3 Diagram Alir Penentuan Jenis Tikungan


Data klasifikasi desain jalan yang direncanakan adalah sebagai berikut :
VR = 80 km/jam
emaks = 10 %
enormal =2%
Berikut adalah perhitungan untuk mendapatkan nilai fmaks dan Rmin:

 Untuk VR ≥ 80 km/jam maka fmaks dihitung dengan menggunakan


rumus :

Fmaks = -0.00125 x VR + 0,24

= -0.00125 x 80 + 0,24

= 0,14

 Rmin dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

𝑉𝑅 2
Rmin =
127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 )

802
=
127 (0.1+0.14)

= 209,9738

3.3.7 Perhitungan Tikungan Spiral – Circle – Spiral


Tikungan PI – 1dengan besaran sudut yang digunakan adalah Δ = 43,64804o yang
direncanakan menggunakan tikungan dengan tipe Spiral – Circle – Spiral.
Diketahui data tikungan sebagai berikut :
Δ1 = 43,64804o
VR = 80 km/jam
Rmin = 209,9738 m
Digunakan R = 286
emaks = 10 %
a. Perhitungan untuk lengkung peralihan (Ls)
1. Berdasarkan dari tabel Bina Marga dengan menggunakan VR = 80 km/jam
dan R = 286 maka didapat nilai Ls = 70 dan e = 9.3 %
2. Berdasarkan waktu tempuh maksimal di lengkung peralihan
𝑉𝑅
Ls = 𝑇
3,6
80
= 3
3.6
= 66,67
3. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal ( nilai C = 0,3 – 1,0 diambil 0,4 )
𝑉𝑅3 𝑉𝑅 𝑒
Ls = 0,022 – 2,727
𝑅𝐶 𝐶
803 80 𝑥 0,093
= 0,022 - 2,727
286 𝑥 0,4 0,4

= 47.739 m
4. Berdasarkan tingkat pencapaian perpindahan kelandaian
VR ≤ 70 km/jam re = 0,035
VR ≥ 80 km/jam re = 0,025
(𝑒𝑚 −𝑒𝑛 )𝑉𝑅
Ls =
3,6 𝑟𝑒
(0,1−0,02) 𝑥 80
=
3,6 𝑥 0,025

= 71,11
Nilai lengkung peralihan yang digunakan adalah Ls = 70 m yang didapat
dari tabel Bina Marga.
b. Perhitungan lengkap parameter tikungan spiral – circle – spiral (SCS).
90 𝐿𝑠 90 70
 ϴs = = 𝑥 = 7,011˚
п 𝑅 п 286

 Δc = Δ – 2 ϴs = 43,64804o – 2(7,011˚) = 29,626 ˚


Δc п 𝑅 29,626 ˚ x п 𝑥 286
 Lc = = = 147,882 m
180 180
𝐿𝑠 2 702
 Xc = Ls – (1 - 2
) = 70 – (1 - ) = 69,001 m
40𝑅 40 𝑥 2862
𝐿𝑠 2 702
 Yc = = = 0,285 m
6𝑅 6 𝑥 286
 P = Yc – R ( 1 – cos ϴs ) = 2,855 – 286 ( 1 – cos ( 7,011 ˚ )) = 0,71
m
𝐿𝑠 3 703
 K = Ls – ( 2
) – R sin ϴs = 70 – ( ) – 286 sin (7,011˚))
40𝑅 40 𝑥 2862
= 35,085 m
Δ 43,64804𝑜
 TS = (R+P) tan 2 + K = ( 286 + 0,71 ) tan( ) + 35,085
2
= 149,9037 m
(𝑅+𝑃) (286+0,71)
 Es = Δ –R = 43,64804 – 286 = 22,851
cos( ) cos( )
2 2

Syarat untuk tikungan tipe spiral – circle – spiral ( SCS ) :


Lc = 147,882 > 20 m (Memenuhi syarat)
P = 0,71 > 0,25 m (Memenuhi syarat)
Dari analisis di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tikungan dengan
tipe SCS dapat digunakan.

3.3.8 Perhitungan Tikungan Spiral – Spiral

Tikungan PI – 4 dengan besaran sudut yang digunakan adalah Δ = 18,172o


direncanakan menggunakan tikungan dengan tipe spiral – spiral.
Diketahui data seabagai berikut :
Δ = 18,172o
Rmin = 209,9738 m
Digunakan R = 247
emaks = 10 %
- Perhitungan lengkap parameter – parameter tikunga tipe spiral – spiral.
90 𝐿𝑠 90 70
 ϴs = = 𝑥 = 8,39˚
п 𝑅 п 239
 Δc = Δ – 2 ϴs = 18,172o – 2(8,39˚) = 1,392 ˚
Δc п 𝑅 1,392 ˚ x п 𝑥 239
 Lc = = = 5,80 m
180 180
Δ 18,172
 qs = = = 9,086
2 2
𝐿𝑠 2 702
 Xc = Ls – (1 - 2
) = 70 – (1 - ) = 69,002 m
40𝑅 40 𝑥 2392
𝐿𝑠 2 702
 Yc = = = 3,417 m
6𝑅 6 𝑥 239
 P = Yc – R ( 1 – cos ϴs ) = 3,417 – 239 ( 1 – cos ( 8,39 ˚))
= 0,858 m
𝐿𝑠 3 703
 K = Ls – ( 2
) – R sin ϴs = 70 – ( ) – 239 sin (8,39˚))
40𝑅 40 𝑥 2392
= 35,122 m
Δ 18,172𝑜
 TS = (R+P) tan 2 + K = ( 239 + 0,858 ) tan( ) + 35,122
2
= 131,1762 m

(𝑅+𝑃) (239+0,858)
 Es = Δ –R = 18,172 – 239 = 19,376 m
cos( ) cos( )
2 2

Syarat untuk tikungan tipe spiral – spiral (SS).


Lc = 5,80 < 20 m (Memenuhi syarat)
P = 0,858 > 0,25 m (Memenuhi syarat)
Dari hasil analisis di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tikungan
dengan tipe spiral – spiral dapat digunakan.
3.3.9 Rekapitulasi Tikugan
Dari hasil analisis kedua jenis tikungan tersebut bisa dibuat sebuah rekapitulasi
tikungan. Berikut adalah rekapitulasi tikungan yang dapat dilihat dalam tabel 3.14.
Tabel 3.14 Rekapitulasi Tikungan

Tikungan  e R Ls qs Lc Yc Xc k P Ts Es Jenis Tikungan


PI-1 43.64804 0.093 286 70 7.011721 147.8754 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 149.9037 22.85194 SCS
PI-2 61.85327 0.098 239 70 8.390595 188.0108 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 178.8268 40.61242 SCS
PI-3 30.90554 0.098 239 70 8.390595 58.91742 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 101.4287 9.854829 SCS
PI-4 18.17228 0.098 239 70 8.390595 5.802706 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 73.48247 3.906817 SS
PI-5 35.75316 0.098 239 70 8.390595 79.13846 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 112.4868 13.02669 SCS
PI-6 48.54587 0.093 286 70 7.011721 132.5012 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 164.3803 28.52096 SCS
PI-7 47.33468 0.098 239 70 8.390595 127.4489 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 140.2505 22.88562 SCS
PI-8 47.33468 0.082 358 70 5.601543 225.7603 2.281192 69.99904 35.05477 0.57166 192.213 33.50012 SCS
PI-9 20.36213 0.098 239 70 8.390595 14.93731 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 78.19841 4.69605 SCS
PI-10 34.83902 0.098 239 70 8.390595 75.32531 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 110.3797 12.38787 SS
PI-11 169.9865 0.093 286 70 7.011721 778.5116 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 3307.827 2999.276 SCS
PI-12 116.59 0.098 239 70 8.390595 416.336 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 423.4113 217.3992 SCS
PI-13 32.87782 0.098 239 70 8.390595 67.14446 3.417015 69.99786 35.12282 0.858831 105.8941 11.08167 SCS
PI-14 17.348 0.093 286 70 7.011721 16.59499 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 78.82645 4.033824 SCS
PI-15 53.21185 0.093 286 70 7.011721 195.6145 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 178.6998 34.6733 SCS
PI-16 34.06591 0.093 286 70 7.011721 100.0448 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 122.9242 13.86991 SCS
PI-17 26.38354 0.093 286 70 7.011721 61.69716 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 102.2911 8.487567 SCS
PI-18 40.21867 0.093 286 70 7.011721 130.7572 2.855478 69.9985 35.0858 0.716541 140.0621 19.32999 SCS
3.3.10 Diagram Superelevasi
1. Tikungan tipe Spiral – Circle – Spiral
Data tikungan diketahui sebagai berikut :
a. VR = 80 km/jam
b. Superelevasi maksimum = 10 %
c. Superelevasi normal = 2 %
d. Superelevasi penuh = 9,3 %

Contoh dari penerapan dari superelevasi maksimum dapat dilihat dalam tabel 3.15 di
bawah ini ;
Tabel 3.15 Superelevasi Maksimum

Tikungan R Superelevasi
(%)
PI-1 286 0.093

Gambar 3.4 Diagram Superelevasi tikungan SCS


2. Tikungan Spiral – Spiral
Data tikungan diketahui sebagai berikut :
a. VR = 80 km/jam
b. Superelevasi maksimum = 5 %
c. Superelevasi normal = 2 %
d. Superelevasi penuh = 9,8 %
Gambar 3.5 Diagram Superelevasi tikungan SS

3.3.11 Pelebaran Samping


Jalan yang direncanakan adalah jalan arteri dengan konfigurasi 4 lajur – 2 arah, lebar
lajur jalan yang direncanakan adalah 3,5 meter, maka pelebaran samping pada
tikungan dapat diketahui dengan cara menggunakan rumus di bawah ini.
B = n(b’+ c) + (n – 1 ) Td + Z
b’ = 2,4 + ( R - √R2 – P2)
Td = √R2 + A ( 2P + A) – R
Z = 0,105 VR √361
W =B–L
Dimana :
B = lebar perkerasan pada tikungan (m)
b' = lebar lintasan pada tikungan
n = jumlah jalur lalu lintas
Td = lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
c = kebebasan samping ( 0,4 – 0,8 m )
P = jarak muka dan ban belakang ( jarak antar gandar ) = 6,1 m
A = jarak ujung mobil dan ban depan = 1,2 m
VR = kecepatan rencana ( 80 km/jam )
R = jari – jari tikungan
L = lebar badan jalan ( kelas II = 4 x 3,5 m = 14 m )
Perhitungan pelebaran :
Tikungan PI – 1
Data – data yang dibutuhkan untuk perhitungan :
 R = 286 n =4
 VR = 80 km/jam c = 0,8 m
 P = 6,1 m L = 14 m
 A = 1,2 m
Perhitungan :
a. b' = 2,4 + ( 𝑅 − √𝑅 2 − 𝑃2 )

= 2,4 + ( 286 − √2862 − 6,12 )


= 2,465 m
b. Td = √𝑅 2 + 𝐴 (2𝑃 + 𝐴) − 𝑅

= √286 + 1,2 (2 𝑥 6,1 + 1,2) − 286


= 0,028 m
0,105 𝑉𝑅
c. Z =
√361
0,105 𝑥 80
=
√361

= 0,442
d. B = n ( b’ + c ) + ( n – 1 ) Td + Z
= 4 ( 2,465 + 0,8 ) + ( 4 -1 ) x 0,028 + 0,442
= 13,58 < 14 m
e. W =B–L
= 13,58 – 14
= -0,413 m
Dari analisis di atas maka dapat diambil kesimpulan maka pada tikungan PI-1 tidak
diperlukan adanya pelebaran samping. Untuk tikungan selanjutnya dapat dilihat
dalam tabel 3.16 di bawah ini.
Tabel 3.16 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Pelebaran Samping
No Tikungan R VR P A n c L b' Td Z B W
1 P1 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
2 P2 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
3 P3 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
4 P4 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
5 P5 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
6 P6 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
7 P7 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
8 P8 358 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.451973 0.022457 0.442105 13.51737 -0.48263
9 P9 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
10 P10 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
11 P11 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
12 P12 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
13 P13 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
14 P14 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
15 P15 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
16 P16 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
17 P17 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
18 P18 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332

Dari tabel 3.16 berikut maka dapat diketahui bahwa untuk semua tikungan tidak diperlukan pelebaran samping.
3.4 Perencanaan Alinyemen Vertical
3.4.1 Lengkung Vertical

Pergantian dari satu kelandaian berikutnya, dilakukan dengan menggunakan


lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan sedimikian rupa sehingga dapat
memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase.

Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang lurus
(tangens) , adalah :
1. Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada dibawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan.

A. Kelandaian Maksimum

Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak


terus tanpa harus kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian makimum,
untuk kecepatan 80 km/jam adalah 10%.

3.4.2 Tikungan PVI-1


Untuk tikungan PVI-1 merupakan lengkung vertikal cembung
Perhitungan :

g2 =1%

g1 =0%

A = g2 – g1 = 1 – 0 = 1

𝑆2 1202
Lmin = = = 35,5556 m
405 405

a. Perhitungan berdasarkan jarak pandang henti

 Jika jarak pandang henti lebih kecil dari lengkung vertikal (Jh < L )
𝐴𝐽ℎ 3 1.1203
L= = = 4266.67 m
399 399

 Jika jarak pandang henti lebih besar dari lengkung vertikal (Jh >L )

399 399
L = 2.Jh - = 2.Jh - = - 165 m
𝐴 1

 Berdasarkan syarat kenyamanan :

𝐴𝑉𝑅 3 1 . 803
L= = = 132.82 m
390 390

 Berdasarkan drainase :

L = 40A = 40 x 1 = 40 m

 Berdasarkan Grafik dapat dilihat dalam gambar 3.4 :

L = 180 m

Gambar 3.6 Grafik Lv Cembung


Berdasarkan hitungan di atas maka bisa didapatkan hasil :

a. Berdasarkan jarak pandang henti : 120 m


b. Berdasarkan syarat kenyamanan : 132,82 m

c. Berdasarkan Drainase : 40 m

d. Berdasarkan Grafik : 149 m

Maka nilai Lv diambil sebesar 180 m.

Sehingga bisa didapat nilai Ev :

𝐴.𝐿 1 𝑥 180
Ev = = = 0,225 m
800 800

1. Stationing lengkung vertical PV1

Sta A = Sta.PV1 – ½ Lv

= ( 0 + 500,317) – (½ x 180)

= 0 + 410.317

Sta B = Sta.PV1

= ( 0 + 500,317)

Sta C = Sta.PV1 + ½ Lv

= ( 0 + 500,317) + (½ x 180)

= 0 + 590.317

2. Elevasi lengkung vertical

Elevasi a = Elevasi PV1 – (1/2 Lv x g1)

= 34,00 – (1/2 x 180 x 0%)

= 34 m

Elevasi b = Elevasi PV1 – Ev

= 34,00 – 0,225

= 33,775 m
Elevasi c = Elevasi PV1 + (1/2 Lv x g1)

= 34,00 + (1/2 Lv x 1%)

= 34 m

Hasil dari analisis di atas dapat dibuat rekapitulasi seperti dalam tabel
3.16 di bawah ini :
Tabel 3.17 Elevasi Lengkung Vertikal PV1

Titik Sta Elevasi Sumbu Jalan


(m)

Sta A 0 + 410.317 33,1

Sta B 0 + 500,317 33,775

Sta C 0 + 590.317 34,9

3.4.2 Tikungan PVI-2


Untuk tikungan PVI-1 merupakan lengkung vertikal cekung
Perhitungan :

g2 =0%

g1 =1%

A = g2 – g1 = 0 – 1 = 1

𝑆2 1202
Lmin = = = 35,5556 m
405 405

 Perhitungan berdasarkan jarak pandang henti

Jika jarak pandang henti lebih kecil dari lengkung vertikal (Jh < L )

𝐴𝐽ℎ 3 1.1203
L= = = 4266.67 m
399 399

 Jika jarak pandang henti lebih besar dari lengkung vertikal (Jh >L )
399 399
L = 2.Jh - = 2.Jh - = - 165 m
𝐴 1

 Berdasarkan syarat kenyamanan :

L = V x t = 80 x 3 = 240 m

 Berdasarkan drainase :

L = 40A = 40 x 1 = 40 m

Berdasarkan Grafik dapat dilihat dalam gambar 3.5 :

L = 80 m

Gambar 3.7 Grafik Lv Cekung


Berdasarkan hitungan di atas maka bisa didapatkan hasil :

a. Berdasarkan syarat kenyamanan : 240 m

b. Berdasarkan Drainase : 40 m

c. Berdasarkan Grafik : 80 m

Maka nilai Lv diambil sebesar 80 m.

Sehingga bisa didapat nilai Ev :


𝐴.𝐿 1 𝑥 80
Ev = = = 0,1 m
800 800

1. Stationing lengkung vertical PV2

Sta A = Sta.PV2 – ½ Lv

= ( 1 + 000,345) – (½ x 80)

= 0 + 38,655

Sta B = Sta.PV2

= ( 1 + 000,345)

Sta C = Sta.PV1 + ½ Lv

= ( 1 + 000,345) + (½ x 80)

= 0 + 41,345

2. Elevasi lengkung vertical

Elevasi a = Elevasi PV2 – (1/2 Lv x g1)

= 29,40 – (1/2 x 80 x 1%)

= 29 m

Elevasi b = Elevasi PV2 – Ev

= 29,40 – 0,225

= 24,175 m

Elevasi c = Elevasi PV2 + (1/2 Lv x g1)

= 29,40 + (1/2 x 80 x 1%)

= 29,8 m

Hasil dari analisis di atas dapat dibuat rekapitulasi seperti dalam tabel
3.18 di bawah ini :
Tabel 3.18 Elevasi Lengkung Vertikal PV2

Titik Sta Elevasi Sumbu Jalan


(m)

Sta A 0 + 38,655 29

Sta B 1 + 000,345 24,175

Sta C 0 + 41,345 29,8

Berikut adalah seluruh hasil analisis lengkung vertical cekung dan


cembug yang dapat dilihat dalam tabel 3.19.
Tabel 3.19 Rekapitulasi Lengkung Vertikal Cembung dan Cekung

Kemiringan Jarak Pandang Jarak Pandang Panjang Kelandaian Berdasarkan syarat Berdasarkan Berdasarkan Perhitungan
NO STA KET VR L min Jh < Lv Jh > Lv
garis (A) Mendahului (m) Henti (m) Kritis Maksimum (%) kenyamanan Syarat Drainase Grafik Elevasi (m)
1 (0+500.317) Cembung 80 1 550 120 460 5 35.55556 35.55556 -165 240 40 180 0.225
2 (0+960.343) Cekung 80 1 550 120 460 5 35.55556 35.55556 -165 240 40 80 0.1
3 (1+150) Cekung 80 1.5 550 120 460 5 35.55556 53.33333 -30 240 60 80 0.15
4 (1+610) Cembung 80 1.5 550 120 460 5 35.55556 53.33333 -30 240 60 180 0.3375
5 (2+948.738) Cembung 80 2.49 550 120 460 5 35.55556 88.53333 77.3494 240 99.6 80 0.249
6 (3+408.245) Cekung 80 2.49 550 120 460 5 35.55556 88.53333 77.3494 240 99.6 80 0.249
7 (4+500) Cekung 80 2 550 120 460 5 35.55556 71.11111 37.5 240 80 80 0.2
8 (4+960) Cembung 80 2 550 120 460 5 35.55556 71.11111 37.5 240 80 180 0.45
9 (6+200) Cembung 80 2.5 550 120 460 5 35.55556 88.88889 78 240 100 180 0.5625
10 (6+656.589) Cekung 80 2.5 550 120 460 5 35.55556 88.88889 78 240 100 80 0.25
3.5 Galian Timbunan
Setelah alinyemen vertikal selesai dilakukan maka selanjutnya adalah melakukan
pekerjaan galian dan timbunan. Galian dan timbunan diotimalkan memiliki
jumlah volume yang seimbang. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan galian
ataupun timbunan bisa dilakukan secara optimal mengingat pekerjaan galian
terbilang cukup mahal.

Jumlah volume galian timbunan dilihat berdasarkan profil tanah asli dan
perencanaan alinement vertikal. Untuk total volume galian timbunan dapat dilihat
dalam tabel 3.20 di bawah ini.
Tabel 3.20 Galian Timbunan

Area Volumes Cumulative Volume

Station (m2) (m3) (m3)

Cut Fill Cut Fill Cut Fill

0 + 000 0.00 0.00 57.05 0.00 57.05 0.00

0 + 010 11.41 0.00 114.10 0.00 171.15 0.00

0 + 020 11.41 0.00 118.79 0.00 289.94 0.00

0 + 030 12.35 0.00 130.16 0.00 420.10 0.00

0 + 040 13.68 0.00 139.05 0.00 559.15 0.00

0 + 050 14.13 0.00 143.68 0.00 702.83 0.00

0 + 060 14.61 0.00 149.20 0.00 852.04 0.00

0 + 070 15.23 0.00 146.70 .0.00 998.74 0.00

0 + 080 14.11 0.00 134.62 0.00 1133.36 0.00

0 + 090 12.81 0.00 123.77 0.00 1257.13 0.00

0 + 100 11.94 0.00 116.04 0.00 1373.17 0.00

1 + 000 329.69 0.00 3320.02 0.00 77243.27 5564.38


5564.38
1 + 010 334.31 0.00 3365.77 0.00 80609.04
5564.38
1 + 020 338.84 0.00 3409.27 .0.00 84018.31
5564.38
1 + 030 343.01 0.00 3409.16 0.00 87427.47
5564.38
1 + 040 338.82 0.00 3345.85 0.00 907773.32
5564.38
1 + 050 330.35 0.00 3299.72 0.00 94073.04
5564.38
1 + 060 329.60 0.00 3281.51 0.00 97354.55
5564.38
1 + 070 326.71 0.00 3234.53 0.00 100589.08
5564.38
1 + 080 320.20 0.00 3152.81 0.00 103741.89
5564.38
1 + 090 310.36 0.00 3049.29 0.00 106791.18
5564.38
1 + 100 299.49 0.00 188.58 0.00 106979.76

11 + 000 62.86 0.00 597.54 0.00 1580801.55 559151.84


559151.84
11 + 020 48.45 0.00 474.11 0.00 1581275.66
559151.84
11 + 030 46.37 0.00 456.89 0.00 1581732.55
559151.84
11 + 040 45.01 0.00 439.43 0.00 1582171.97
559151.84
11 + 050 42.88 0.00 416.92 0.00 1582588.89
559151.84
11 + 060 40.50 0.00 401.48 0.00 1582990.38
559151.84
11 + 070 39.79 0.00 333.33 0.00 1583323.71
559151.84
11 + 080 26.87 0.00 217.55 0.00 1583541.26
559151.84
11 + 090 16.63 0.00 161.96 0.00 1583703.22
559151.84
11 + 100 15.76 0.00 157.51 0.00 1583860.73
559151.84
11 + 200 0.00 34.02 0.00 373.84 1584590.87
1584590.87 559151.84
11 + 300 0.00 139.75 0.00 1406.08
1584590.87 559151.84
11 + 310 0.00 141.46 0.00 165.39
1584590.87 559151.84
11 + 0.00 139.82 0.00 0.00
311.176

3.6 Perencanaan Perkerasan Jalan Raya


3.6.1 Peraturan Yang Digunakan
Perencanaan perkerasan jalan raya ini mengacu pada SNI 2002.
3.6.2 Spesifikasi Perencanaan
a. Klasifikasi Jalan : Arteri
b. Jumlah Lajur : 4 lajur 2 arah
c. Umur Rencana (UR) : 20 tahun
d. Data Lalu Lintas
 Kendaraan ringan 2 ton : 17116 kend/hari
 Bus sedang : 25 kend/hari
 Truk ringan : 650 kend/hari
e. Perkembangan Lalu Lintas :4%
f. CBR Tanah Dasar : 4.15 %
110
100
90
80
70
60
50 Series1
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

Tabel 3.21 Nilai CBR

No Sta CBR No Sta CBR No Sta CBR


(%) (%) (%)
1 0+100 12.35 41 4+100 6.07 81 8+100 5
2 0+200 9.32 42 4+200 6.16 82 8+200 5
3 0+300 17.6 43 4+300 5.17 83 8+300 16
4 0+400 13.4 44 4+400 4.52 84 8+400 17.56
5 0+500 9.75 45 4+500 4.19 85 8+500 10
6 0+600 7.6 46 4+600 4.44 86 8+600 15.5
7 0+700 6.21 47 4+700 6.09 87 8+700 4
8 0+800 6.51 48 4+800 3.92 88 8+800 13
9 0+900 12.16 49 4+900 4.26 89 8+900 11.5
10 1+000 3.68 50 5+000 4.34 90 9+000 7
11 1+100 5.98 51 5+100 9.16 91 9+000 9.5
12 1+200 5.36 52 5+200 3.68 92 9+100 16
13 1+300 5.14 53 5+300 5.95 93 9+200 15
14 1+400 5.94 54 5+400 5.36 94 9+300 10
15 1+500 8.3 55 5+500 5.14 95 9+400 4
16 1+600 6.22 56 5+600 5.94 96 9+500 9
17 1+700 7.42 57 5+700 6.3 97 9+600 7.5
18 1+800 5.63 58 5+800 6.22 98 9+700 9
19 1+900 8.15 59 5+900 4.42 99 9+800 15
20 2+000 6.31 60 6+000 5.63 100 9+900 6
21 2+100 9.95 61 6+100 4.15 101 10+000 9.5
22 2+200 6.85 62 6+200 6.31 102 10+100 6
23 2+300 6.16 63 6+300 3.95 103 10+200 7.89
24 2+400 3.17 64 6+400 6.07 104 10+300 15
25 2+500 4.52 65 6+500 11.34 105 10+400 8.35
26 2+600 4.35 66 6+600 10.32 106 10+500 4
27 2+700 5.44 67 6+700 19.5 107 10+600 3.2
28 2+800 8.75 68 6+800 14.39 108 10+700 8
29 2+900 3.92 69 6+900 9.75 109 10+800 12.9
30 3+000 4.26 70 7+000 8.6 110 10+900 11.2
31 3+100 4.34 71 7+100 7.21 111 11+000 14
32 3+200 6.37 72 7+200 16.51 112 11+100 8.5
33 3+300 4.23 73 7+300 18.16 113 11+200 9.6
34 3+400 4.47 74 7+400 3.68 114 11+300 8.43
35 3+500 7.36 75 7+500 5.95
36 3+600 7.27 76 7+600 5
37 3+700 8.55 77 7+700 16
38 3+800 8.51 78 7+800 7.5
39 3+900 8.2 79 7+900 14.35
40 4+000 8.35 80 8+000 16.5
Data CBR Maksimum 19,5
Data CBR Minimum 3,17
Rata – Rata 8,18

Berdasarkan keterangan di atas, maka CBR design untuk seluruh ruas jalan adalah
4,15%, akan tetapi jenis tanah dengan nilai CBR 4,15% merupakan tanah yang
tergolong lunak, sehingga sebenarnya diperlukan suatu treatment untuk
meningkatkan daya dukung tanah. Jadi pada perencanaan tebal lapis perkerasan
jalan digunakan / disyaratkan CBR design minimal 6%.

Jadi ruas jalan yang memiliki CBR kurang dari 6%, disarankan untuk melakukan
perbaikan terlebih dahulu sehingga CBR minimal mencapai 6%, dan baru hampar
lapisan berikutnya yaitu lapisan pondasi bawah / subbase. Pada bagian jalan yang
merupakan daerah embankment (selected material) yang memiliki kualitas baik,
sehingga CBR 6% dapat tercapai demikian juga pada daerah galian, bila ternyata
berdasarkan pengecekan CBR kurang dari 6% maka tanah tersebut harus dikeruk
terlebih dahulu dan diganti dengan tanah yang memiliki kualitas tanah yang lebih
baik.

Berdasarkan harga CBR design yang telah ditentukan, maka besar nilai dari DDT
dapat ditentukan dengan menggunakan grafik korelasi antara CBR dan DDT yang
dikeluarkan oleh Bina Marga. Dalam gambar 3.6 dapat dilihat nomogram untuk
menentukan nilai DDT.

Berdasarkan nomogram di atas maka nilai DDT yang ditentukan adalah 4,7.
3.6.3 Kriteria Desain Perencanaan Perkerasan Lentur
Adapun kriteria desain dalam perencanaan perkerasan lentur yang digunakan
adalah sebagai berikut ;
a. Susunan Perkerasan
Laston : 380000 Psi
Batu Pecah ( kelas C ) : 25000 Psi
Sirtu pitrun ( kelas C ) : 15000 Psi
b. Lalu Lintas
 Angka ekuivalen kendaraan
Kendaraan ringan 2 ton : 0,000226
Bus sedang : 0,019775 + 0,024148 = 0,043924
Truk ringan : 0,014304 + 0,017467 = 0,031772
 Faktor umur rencana

Tabel 3.22 Faktor Umur Rencana

Faktor Pertumbuhan (i)


UR
2% 4% 5% 6% 8% 10%
1 tahun 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 tahun 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 tahun 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 tahun 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 tahun 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 tahun 6,37 6,77 6,97 7,81 7,63 8,10
7 tahun 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 tahun 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 tahun 9,85 10,79 11,30 11,84 11,06 14,26
10 tahun 11,06 12,25 12,89 13,58 12,99 16,73
11 tahun 12,29 13,76 14,56 15,42 15,07 19,46
12 tahun 13,55 15,33 16,32 17,38 17,31 22,45
13 tahun 14,83 16,96 18,16 19,45 19,74 25,75
14 tahun 16,13 18,66 20,09 21,65 22,36 29,37
15 tahun 17,47 20,42 22,12 23,97 25,18 33,36
20 tahun 24,54 30,37 33,89 37,89 28,24 60,14
25 tahun 32,35 42,48 48,92 56,51 47,59 103,26
30 tahun 40,97 57,21 68,10 81,43 76,03 172,72
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Berdasarkan tabel 3.21 di atas yang dilihat berdasarkan umur rencana
sebesar 20 tahun dan faktor pertumbuhan sebesar 4% maka didapat faktor
umur rencana sebesar N = 30,37 namun setelah dilakukan perhitungan
kembali dengan menggunakan rumus maka didapat N sebesar 29,77.
c. Faktor Distribusi Arah
Nilai faktor distribusi arah diketahui sebesar 0.3 – 0.7, maka diambil
nilai DA sebesar 0.5.
d. Faktor Distribusi Lajur (DL)

Tabel 3.23 Faktor Distribusi Lajur

Jumlah Lajur % beban gandar standar dalam


Per arah lajur rencana
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Berdasarkan tabel 3.23 maka dapat diambil faktor distribusi lajur DL 90%.
e. Reabilitasi
Dalam tabel 3.24 akan dijelaskan mengenai nilai reabilitas yang akan
digunakan untuk berbagai klasifikasi jalan.
Tabel 3.24 Rekomendasi Tingkat Reabilitas Untuk Bermacam – macam
Klasifikasi Jalan

Klasifikasi Rekomendasi tingkat reabilitas


Jalan Perkotaan Antar Kota
Bebas Hambatan 85 – 99,99 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Berdasarkan tabel 3.23 maka didapat nilai tingkat reabilitas untuk jalan
arteri antar kota sebesar 75% - 90% dan diambil nilai sebesar 85%.
f. Standard Normal Deviate (ZR)
Dalam tabel 3.25 akan dijelaskan mengenai nilai deviasi standar
normal yang sesuai dengan angka reliabilitas yang sudah ditentukan.
Tabel 3.25 Nilai Penyimpangan Normal Standar Untuk Tingkat Reliabilitas
Tertentu

Reabilitas R (%) Deviasi Normal Standar


50 -0,000
60 -0,253
70 -0,524
75 -0,674
80 -0,841
85 -1,037
90 -1,282
91 -1,340
92 -1,405
93 -1,476
94 -1,555
95 -1,645
96 -1,751
97 -1,881
98 -2,054
99 -2,327
99,9 -3,090
99,99 -3,750
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Dari tabel 3.24 di atas dengan nilai reabilitas sebesar 85% maka
didapat nilai standar normal, ZR = -1,037. Sedangkan untuk nilai dari
deviasi standar (S0) secara keseluruhan untuk perkerasan lentur
bernilai antara 0,4 – 0,5. Dalam hal ini diambil nilai tengah sebesar
0,45.
g. Indeks Permukaan
Dalam tabel 3.26 dan 3.27 dapat dilihat nilai dari indeks permukaan
dalam perencanaan perkerasan.
Tabel 3.26 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Desain (IPt)

Klasifikasi Jalan
Bebas
Lokal Kolektor Arteri
Hambatan
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Keterangan :
IP = 2,5 : Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
IP = 2,0 : Menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang
masih mantap
IP = 1,5 : Menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih
mugkin
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga megganggu lalu-lintas kendaraan.
Tabel 3.27 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)

Ketidakrataan *) (IRI,
Jenis Lapis Perkerasan IP0
m/km)
LASTON ≥4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Dari kedua tabel di atas dapat diambil kesimpulan :
Indeks permukaan awal (IP0) = 3,7 %
Indeks permukaan akhir (IPt) = 2,5
h. Modulus Ressilen dan Koefisien Relatif (a)
Modulus ressilen adalah parameter yang digunakan dalam analisis
desain struktur perkerasan lentur.
 Modulus Ressilen tanah dasar (MR)
MR = 10 x CBR = 10 x 4,15 % = 41,5 MPa
MR = 1500 x CBR = 1500 x 4,15% = 6225 psi
i. Koefisien Drainase
Dalam tabel 3.28 dan tabel 3.29 akan ditentukan nilai koefisien
drainase.
Tabel 3.28 Definisi Kualitas Drainase

Kualitas drainase Air hilang dalam


Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali Air tidak akan mengalir
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002

Dari tabel di atas didapat kualitas drainase baik.


5 120
Peff = 24 𝑥 365 𝑥 0,125 𝑥 100

= 0,856% < 1%
Dalam tabel 3.29 akan dijelaskan koefisien drainase untuk
memodifikasi kekuatan relative material untreated base dan subbase
pada perkerasan lentur. Berikut adalah tabel 3.29 dapat dilihat di
bawah ini.
Tabel 3.29 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien relative material
unreated base dan subbase pada perkerasan lentur.

Kualitas Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh


Drainase kadar air yang mendekati jenuh
< 1% 1–5% 5 – 25% >25 %
Baik sekali 1.40 – 1.30 1.35 – 1.30 1.30 – 1.20 1.20
Baik 1.35 – 1.25 1.25 – 1.15 1.15 – 1.00 1.00
Sedang 1.25 – 1.15 1.15 – 1.05 1.00 – 0.80 0.80
Jelek 1.15 – 1.05 1.05 – 0.80 0.80 – 0.60 0.60
Jelek Sekali 1.05 – 0.95 0.08 – 0.75 0.60 – 0.40 0.40

Dari tabel di atas maka dapat diambil niali tengaj untuk menentukan
koefisien drainase sebesar 1,30.
3.6.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Dalam tabel 3.30 akan dijelaskan mengenai parameter – parameter perencanaan
tebal perkerasan lentur.
Tabel 3.30 Parameter – Parameter Yang Diperlukan Untuk Perencanaan Tebal
Perkerasan

No Parameter Desain
1 Lalu Lintas
 Faktor distribusi arah, (DA) 0,5
 Faktor distribusi lajur (DL) 90
 Faktor umur rencana (N) 29,77
2 Reability (R) 85
 Standar normal deviation (ZR) -1,037
 Standar deviaton (So) 0,45
3 Terminal serviceability (IPt) 2,5
 Intial serviccability (IPo) 3,7
 Serviccability (∆psi) (IPt – Ipo) 1,2
4 Modulus resilen tanah dasar (MR) 40 Mpa
Modulus resilen lapisan pondasi bawah 200 Mpa
(Es)
Modulus resilen lapisan pondasi (E2) 1500 Mpa
Modulus resilen lapisan aspal (E1) 3000 Mpa
5 Koefisien Relatif
 Koefisien Lapisan Aspal (a1) 0,42
 Koefisien Lapisan Pondasi (a2) 0,35
 Koefisien Lapisan Pondasi (a3) 0,17
6  Koefisien drainase (m2) 1,30
 Koefisien drainase (m3) 1,30
b. Perhitungan Lintas Untuk Tebal Perkerasan
Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur yang direncanakan bisa
menggunakan perumusan seperti di bawah ini :
W18 = ∑LHRi x 365 x AE x DA x DL x N
Berikut adalah analisis dari perhitungan kendaraan yang akan digunakan untuk
perencanaan tebal perkerasan jalan raya yang akan ditunjukan dalam tabel
3.30 di bawah ini.
Tabel 3.31 Perhitungan Beban Lalu Lintas

No Kendaraan Sumbu LHR D C TF GF Sum


Kend/Hari Esal
1 Kendaraan kecil 1 1 17116 365 0,45 0,6 0,000226 29,77808 11329,08781
2 ton
2 Bus sedang 1 2 25 365 0,45 0,7 0,043924 29,77808 3759,562349
3 Truk ringan 1 2 650 365 0,45 0,7 0,031772 29,77808 70705,46313
Total 17791 Total 85794,11329
b. Structural Number
Nilai Structural number didapatkan dengan cara melihat pada grafik yang
disesuaikan menggunakan parameter – parameter yang dibutuhkan. Setelah
melakukan plotting pada grafik maka nilai SN dapat diketahui sebagai berikut :
- SN 1 : 2,5
- SN 2 : 3,3
- SN 3 : 3,5

c. Tebal perkerasan lentur


 Menghitung D1 1 in = 2,54 cm
𝑆𝑁 1
D1 = 𝑎1
2,5
= 0,4

= 6,25 in
= 15,87 cm
SN 1* = a1 × D1
= 0,4× 6,25
= 2,5
 Menghitung D2

𝑆𝑁2−𝑆𝑁1∗ 3,3 −2,5


D2 = = 0,12 𝑥 1,30 = 5,12 in = 13cm
𝑎2𝑚2

SN2* = SN1* + (D2 x a2 x m2)


= 2,5+ (5,12 x 0,12 x 1,30 )
= 3,29

 Menghitung D3
𝑆𝑁3−(𝑆𝑁1∗ +𝑆𝑁2∗) 3,5−(2,5 +3,29)
D3 = = = -16,013 in = - 40,673 cm
𝑎3𝑚3 0,11 𝑥1,30

Dilihat dari analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa lapis pondasi D3 tidak
diperlukan karena hasil dari analisis yang tidak memungkinkan untuk dipakai.
Dalam gambar 3,6 dapat dilihat hasil dari tebal perkerasan yang akan digunakan.
LASTON

BATU PECAH KELAS C

Gambar 3.8 Desain Perkerasan


3.7 Perencanaan Sistem Drainase
Perencanaan sistem drainase mengacu pada Pedoman Perencanaan Drainase Jalan
Pt. T-02-2006-B.

3.7.1 Data Hidrologi


3.7.1.1 Data Curah Hujan
Data curah hujan harian maksimum (mm/hr) didapat dalam jangka 10 tahun
pada daerah tangkapan (catchment area) atau pada daerah yang berpengaruh
terhadap lokasi pekerjaan, data tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan
Geofisika dan instansi terkait di kota terdekat dari lokasi perencanaan.
Stasiun pengamatan klimatologi yang dipakai pada pekerjaan ini adalah stasiun
Banjar Agung. Rangkuman data curah hujan bulanan selama periode tahun
2005 sampai tahun 2014 dapat dilihat dalam 3.30 berikut ini :
Tabel 3.32 Curah Hujan Harian Maksimum Perbulan

Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
2005 52 46 50 46 51 20 50 56 40 0 45 20
2006 52 54 56 55 14 12 207 0 0 15 28 69
2007 100 39 60 36 42 28 18 26 0 27 50.5 69
2008 43 40 42 31 50 29 13 32 25 20 32 42
2009 43 40 42 18 47 77 24 18 6 56 26 50
2010 32 72 36 20 22 28 36 40 32 32 24 21
2011 22 54 66 21 18 12 16 0 30 38 24 64
2012 51 50 39 100 17 25 14 3 19 17 70 40
2013 48 38 48 40 25 26 42 23 27 40 51 104
2014 107 26 104 21 46 15 22 33 6 33 36 46

3.8 Analisis Data


Perencanaan drainase yang dilaksanakan mencakup:
 Perencanaan gorong-gorong, dan
 Perencanaan saluran tepi jalan (side ditch)
Pada prinsipnya, dalam mendesain drainase tersebut diperlukan perkiraan
intensitas curah hujan maksimum yang mungkin terjadi pada periode tertentu
(kala ulang). Dengan ditentukannya periode hujan maksimum dan diketahuinya
besar curah hujannya, maka dapat diketahui debit air maksimum rencana,
selanjutnya dapat ditentukan dimensi saluran sesuai dengan bentuk serta material
saluran terpilih.
Desain saluran drainase dilakukan dengan menggunakan metoda perancangan
standar yang memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Periode Hujan Maksimum
2. Intensitas Hujan
3. Limpasan (Run-Off)
4. Desain Saluran
5. Jaringan Drainase

3.8.1 Data Hidrologi


Analisis frekuensi curah hujan rencana dilakukan untuk menentukan curah hujan dengan
periode ulang tertentu yang kemudian dipakai untuk perencanaan. Metoda yang dipakai
ditentukan dengan melihat karakteristik distribusi hujan daerah setempat. Periode ulang
yang akan dihitung pada masing-masing metode adalah untuk periode ulang 2, 5, 10, 25,
50 dan 100 tahun.
Tujuan dari analisis frekuensi curah hujan ini adalah untuk memperoleh curah hujan
dengan beberapa perioda ulang. Pada analisis ini digunakan beberapa metoda untuk
memperkirakan curah hujan dengan periode kala ulang tertentu, yaitu:
a. Metoda Distribusi Normal
b. Metoda Distribusi Log Normal 2 Parameter
c. Metoda Distribusi Gumbel
d. Metoda Distribusi Pearson Type III
e. Metoda Distribusi Log Pearson Type III
a. Metoda Distribusi Log Normal
Distibusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu dengan
mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X. Untuk distribusi log normal
dua parameter mempunyai persamaan transformasi:
Log Xt = + K. SlogX
Dimana:
Xt = Besarnya curah hujan dengan periode t (mm)
Log Xt = nilai logaritmik curah hujan untuk periode ulang T tahun (mm)
= nilai logaritmik curah hujan maksimum rata-rata
SlogX = standar deviasi logaritmik nilai X
n

  Log X
t 1
t  Log X  2

= n 1
K = faktor frekuensi, sebagai fungsi dari koefisien variasi (cv) dengan periode
ulang t. Nilai k dapat diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi peluang kumulatif
dan periode ulang. (faktor variabel reduksi Gauss untuk distribusi Log Normal 2
Parameter)
CS = koefisien kepencengan = 3 CV + CV3
CK = koefisien kurtosis
= CV8 + 6CV6 + 15CV4 + 16CV2 + 3
CV = koefisien variasi
= deviasi standar populasi ln X atau log X
= rata-rata hitung populasi ln X atau log X

b. Metoda Gumbel
Fungsi distribusi komulatif (CDF) dari ditribusi Gumbel dirumuskan:
F ( x)  exp exp( y)
Dimana:
x
y

6
 S

  x  0.5772
Untuk x = xT maka
  1    Tr 
yT   Ln  Ln  yT   Ln  Ln 
  F ( xT  ,   Tr  1 
Menurut Gumbel persamaan peramalan dinyatakan sebagai berikut:

xT  x  KT S

6   Tr  
KT   0.5772  Ln Ln  
    Tr  1  
Dimana:
yN = reduced mean
SN = reduced standar deviasi

c. Metoda Log Pearson III


Fungsi distribusi kumulatif (CDF) dari distribusi Log Pearson dirumuskan:
c
 x   cx / 2
 f ( x)   po1   e
 a
dx

Dimana:
2 adalah varian dan ( (x) adalah fungsi gamma
Garis besar dalam menghitungnya:
Ubah data hujan X1, X2, X3,.......Xn menjadi LogX1, LogX2, LogX3,.......LogXn.
Distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson Tipe
III dengan menggantikan data menjadi nilai logaritmik. Persamaan distribusi Log Pearson
Tipe III dapat ditulis sebagai berikut :

Hitung nilai mean: log X 


log X 
N

Hitung standar deviasi: Slog = 


 LogX  Log X 
2

N 1

Hitung koefisien kemencengan:



 LogX  Log X 
2

N 1

CK = koefisien kurtosis

n 2  logX  logX 
4

=  n  1    n  2    n  3    S log X  4

Hitung logaritma hujan:

log X T  log X  Slog * KT


Hasil analisis dari metoda Log Normal, Gumbel, dan Log Pearson III dapat dilihat dalam
tabel 3.33 s.d 3.35 sebagai berikut :
Tabel 3.33 Hasil Analisis Metoda Log Normal
Curah Hujan Bulanan (mm)
Tahun CH Wilayah (X)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
2005 52 46 50 46 51 20 50 56 40 0 45 20 56 1.748188 0.03576 -0.00676
2006 52 54 56 55 14 12 207 0 0 15 28 69 207 2.31597 0.143398 0.054302
2007 100 39 60 36 42 28 18 26 0 27 50.5 69 100 2 0.003932 0.000247
2008 43 40 42 31 50 29 13 32 25 20 32 42 50 1.69897 0.056797 -0.01354
2009 43 40 42 18 47 77 24 18 6 56 26 50 77 1.886491 0.002581 -0.00013
2010 32 72 36 20 22 28 36 40 32 32 24 21 72 1.857332 0.006393 -0.00051
2011 22 54 66 21 18 12 16 0 30 38 24 64 66 1.819544 0.013864 -0.00163
2012 51 50 39 100 17 25 14 3 19 17 70 40 100 2 0.003932 0.000247
2013 48 38 48 40 25 26 42 23 27 40 51 104 104 2.017033 0.006359 0.000507
2014 107 26 104 21 46 15 22 33 6 33 36 46 107 2.029384 0.008481 0.000781
Jumlah 939 19.37291 0.281498 0.03351
Rata-Rata (X) 93.9 1.937291
Std.Deviasi (Sx) 0.141799
Skewnes (Cs) 1.632377
Faktor Frekuensi (KT2) 0
Faktor Frekuensi (KT5) 0.84
Faktor Frekuensi (KT10) 1.28
Faktor Frekuensi (KT25) 1.708333
Faktor Frekuensi (KT50) 2.05
Faktor Frekuensi (KT100) 2.33
R2 86.55482
R5 113.8682
R10 131.4602
R25 151.1929
R50 169.0361
R100 185.2181
Tabel 3.34 Hasil Analisis Metoda Gumbel
Curah Hujan Bulanan (mm)
Tahun CH Maksimum (Xn) (Xn-X)2 (Xn-X)3 (Xn-X)4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
2005 52 46 50 46 51 20 50 56 40 0 45 20 56 1436.41 -54439.9 2063274
2006 52 54 56 55 14 12 207 0 0 15 28 69 207 12791.61 1446731 1.64E+08
2007 100 39 60 36 42 28 18 26 0 27 50.5 69 100 37.21 226.981 1384.584
2008 43 40 42 31 50 29 13 32 25 20 32 42 50 1927.21 -84604.5 3714138
2009 43 40 42 18 47 77 24 18 6 56 26 50 77 285.61 -4826.81 81573.07
2010 32 72 36 20 22 28 36 40 32 32 24 21 72 479.61 -10503.5 230025.8
2011 22 54 66 21 18 12 16 0 30 38 24 64 66 778.41 -21717.6 605922.1
2012 51 50 39 100 17 25 14 3 19 17 70 40 100 37.21 226.981 1384.584
2013 48 38 48 40 25 26 42 23 27 40 51 104 104 102.01 1030.301 10406.04
2014 107 26 104 21 46 15 22 33 6 33 36 46 107 171.61 2248.091 29449.99
Jumlah 939 18046.9 1274371 1.7E+08
Rata-Rata (X) 93.9
Std.Deviasi (Sx) 44.77958364
Skewnes (Cs) 1.971166261
Kurtosis (Ck) 8.406672749
KT2 -0.164355363
KT5 0.719822335
KT10 1.305224906
KT25 2.044882607
KT50 2.593602943
KT100 3.138271614
R2 (Gumbel) 86.54023527
R5 (Gumbel) 126.1333445
R10 (Gumbel) 152.3474279
R25 (Gumbel) 185.4689917
R50 (Gumbel) 210.0404599
R100 (Gumbel) 234.4304962
Tabel 3.35 Hasil Analisis Metoda Log Pearson III
Curah Hujan Bulanan (mm)
Tahun CH Wilayah (X) Log X (logx - logx)^2 (logx - logx)^3
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
2005 52 46 50 46 51 20 50 56 40 0 45 20 56 1.748188 0.035760035 -0.006762338
2006 52 54 56 55 14 12 207 0 0 15 28 69 207 2.31597 0.143397846 0.054301764
2007 100 39 60 36 42 28 18 26 0 27 50.5 69 100 2 0.003932385 0.000246595
2008 43 40 42 31 50 29 13 32 25 20 32 42 50 1.69897 0.056797023 -0.013535938
2009 43 40 42 18 47 77 24 18 6 56 26 50 77 1.886491 0.002580695 -0.000131101
2010 32 72 36 20 22 28 36 40 32 32 24 21 72 1.857332 0.006393405 -0.000511209
2011 22 54 66 21 18 12 16 0 30 38 24 64 66 1.819544 0.013864434 -0.0016325
2012 51 50 39 100 17 25 14 3 19 17 70 40 100 2 0.003932385 0.000246595
2013 48 38 48 40 25 26 42 23 27 40 51 104 104 2.017033 0.006358798 0.000507064
2014 107 26 104 21 46 15 22 33 6 33 36 46 107 2.029384 0.008481031 0.000781039
Jumlah 939 19.37291 0.281498037 0.033509971
Rata-Rata (X) 93.9 1.937291
Std.Deviasi (Sx) 0.141799163
Skewnes (Cs) 1.632377342
(Gx) 0.968663478
K2 -0.158986156
K5 0.761447017
K10 1.33937327
K25 2.035165869
K50 2.528055248
K100 3.001474578
R2 82.17640936
R5 110.9848795
R10 134.0334739
R25 168.219401
R50 197.591102
R100 230.6204676
Dari hasil analisis curah hujan dengan menggunakan tiga metoda maka bisa
didapat hasil sebagai berikut :

Tabel 3.36 Rekapitulasi Analisis Curah Hujan

Periode Gumbel Log Pearson Log Normal


Ulang (mm/jam) III (mm/jam) (mm/jam)
2 86.54023527 82.17640936 86.5548215
5 126.1333445 110.9848795 113.868228
10 152.3474279 134.0334739 131.4601713
25 185.4689917 168.219401 151.1929365
50 210.0404599 197.591102 169.0361332
100 234.4304962 230.6204676 185.2180532

Tabel 3.37 Jenis Sebaran

Jenis Hasil
No. Syarat Kesimpulan
Distribusi Analisis
Cs = 3 1,632 Tidak
1 Log Normal
Cv + Cv3 = 12.497 19,406 Memenuhi
2 Log Pearson III Cs ≠ 0 1,632 Memenuhi
3 Gumbel Cs ≤ 1,1396 1,971 Tidak
Ck ≤ 5,4002 8,406 Memenuhi

Dari tabel di atas maka dapat diambil kesimpulan untuk distribusi curah hujan
rencana yang akan digunakan untuk perhitungan debit rencana adalah dengan cara
perhitungan distribusi Log Pearson III karena hasil yang didapatkan memenuhi
persyaratan yaitu nilai koefisien Skewness Cs ≠ 0.

3.9 Analisis Debit Banjir Rencana


Analisis debit banjir rencana dilakukan dengan cara menggunakan metode
rasional, dengan rumus umum seperti di bawah ini :
Q = 0,278 C.I.A
Dimana :
Q = Debit Aliran (m3/s)
C = Koefisien pengaliran rata – rata dari C1, C2, dan C3
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas daerah layanan (km2) terdiri dari A1, A2, dan A3.

1. Menentukan daerah layanan


a. Panjang segmen saluran, ditentukan dari rute jalan ditentukan
berdasarkan rute jalan yang sudah diplotkan di peta topografi yaitu
sepanjang L = 460 m.
b. Direncanakan jika aliran air akan dibuang menuju ke sungai dengan
melalui gorong – gorong melintang bahu jalan
c. Gorong – gorong adalah sebuah pipa yang terbuat dari beton
2. Kondisi eksisiting pada permukaan jalan
a. Panjang saluran drainase (L) = 460 m
b. Perkerasan jalan aspal (I1) = 7 meter
c. Bahu jalan (I2) = 2,5 meter
d. Bagian luar jalan (I3) = 15 meter
e. Nilai dari koefisien C dapat dilihat dalam tabel 3.36 di bawah ini :
Tabel 3.38 Harga koefisien pengaliran (C) dan harga faktor limpasan (fk)

No Kondisi Koefisien Faktor


Permukaan Tanah Pengaliran (C) Limpasan (fk)
Bahan
1 Jalan beton & jalan aspal 0,70 – 0,95 -
2 Jalan kerikil & jalan tanah 0,40 – 0,70 -
3 Bahu jalan :
- Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65 -
- Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20 -
- Batuan massif keras 0,70 – 0,85 -
- Batuan massif lunak 0,60 – 0,75 -

Tata Guna Lahan


1 Daerah perkotaan 0,70 – 0,95 2,0
2 Daerah pinggir kota 0,60 – 0,70 1,5
3 Daerah industry 0,60 – 0,90 1,2
4 Permukiman padat 0,40 – 0,60 2,0
5 Permukiman tidak padat 0,40 – 0,60 1,5
6 Taman dan kebun 0,20 – 0,40 0,2
7 Persawahan 0,45 – 0,60 0,5
8 Perbukitan 0,70 – 0,80 0,4
9 Pegunungan 0,75 – 0,90 0,3
Sumber : Pedoman perencanaan drainase jalan 2006
Dari tabel di atas maka dapat diambil hasil sebagai berikut :
- Aspal : I1 dengan koefisien C1 = 0,70
- Bahu Jalan : I2 dengan koefisien C2 = 0,55
- Taman dan kebun : I3 dengan koefisien C3 = 0,4
Faktor limpasan, Fk = 0,2
f. Perhitungan luasan daerah :
- Aspal A1 = 7 m x 460 m = 3220 m2
- Bahu jalan A2 = 2,5 m x 460 m = 1150 m2
- Taman dan kebun A3 = 15 m x 460 = 6900 m2
g. Perhitungan koefisien pengaliran rata – rata :
𝐶1 .𝐴1 + 𝐶2 .𝐴2 +𝐶3 .𝐴3 .𝐹𝑘
𝐶=
𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3
0,70 𝑥 3220 + 0,55 𝑥 1150 + 0,4 𝑥 6900 𝑥 0,2
𝐶=
3220 + 1150 + 6900
C = 0,30
3. Perhitungan waktu konsentrasi (Tc)
Waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam
menyalurkan aliran air secara simultan (runoff) setelah melewati titik – titik
tertentu.
Untuk melakukan perhitungan waktu konsentrasi (Tc) dapat digunakan
rumus sebagai berikut :
Tc = t1 + t2
2 𝑛𝑑 0,167
𝑡1 = ( 𝑥 3,28 𝑥 𝐼𝑜 𝑥 )
3 √𝑖𝑠
𝐿
𝑡2 = 60 𝑥 𝑉

Dimana :
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
t1 = Waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
t2 = Waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
Io = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
L = Panjang saluran (m)
nd = koefisien hambatan
is = kemiringan sauran memanjang
V = kecepatan air rata – rata pada saluran drainase (m/detik)
Tabel 3.39 Koefisien Hambatan (nd) berdasarkan kondisi permukaan

No Kondisi Lapis Permukaan nd


1 Lapisan semen dan aspal beton 0,013
2 Permukaan licin dan kedap air 0,020
3 Permukaan licin dan kokoh 0,100
4 Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan
0,200
sedikit kasar
5 Padang rumput dan rerumputan 0,400
6 Hutan gundul 0,600
7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumpt
0,800
jarang sampai rapat

a. Menghitung t1
2 0,013 0,167
- t1 Aspal = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 7,0 𝑥 ) = 1,039 menit
√0,025
2 0,013 0,167
- t1 Bahu = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 2,5 𝑥 ) = 0,825 menit
√0,05
2 0,400 0,167
- t1 Taman dan kebun = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 15 𝑥 ) = 1,973 menit
√0,05

Dari hasil analisis t1 di atas maka dapat diperoleh hasil :


t1 dari badan jalan = 1,864 menit
t1 dari taman dan kebun = 1,973 menit
b. Menghitung t2
460
t2 = 60 𝑥 1,5

= 5,1 menit
Adapun nilai kecepatan air rata – rata (V) sebesar 1,5 didapatkan dari tabel
3.40 di bawah ini :
Tabel 3.40 Kecepatan Aliran Air Yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material

Kecepatan air yang


No Jenis Bahan
Diizinkan
1 Pasir Halus 0.45
2 Lempung Kepasiran 0.5
3 Lanau Aluvial 0.6
4 Kerikil Halus 0.75
5 Lempung Kokoh 0.75
6 Lempung Padat 1.1
7 Kerikil Kasar 1.2
8 Batu – Batu Besar 1.5
9 Pasangan Batu 1.5
10 Beton 1.5
11 Beton Bertulang 1.5
Sumber : Pedoman Perencanaan Drainase Jalan 2006
Didapat Nilai Tc = t1 + t2
= 1,864 + 5,1
= 6,964 menit (dari badan jalan)
Didapat Nilai Tc = t1 + t2
= 1,973 + 5,1
= 7,073 menit (dari ambang jalan)

4. Perhitungan Intensitas Curah Hujan Maksimum


Perhitungan intensitas curah hujan maksimum (I) menggunakan curah hujan
rencana (R) dengan periode ulang 5 tahun yang diperoleh dari perhitungan
Log Pearson III sebesar 487.918 mm/jam, dan Tc yang digunakan adalah
nilai Tc dari badan jalan yaitu 6,964 menit = 0,116 jam.
𝑅 24 24 2
I = ( 24 ) 𝑥(𝑇𝑐)3
2
487.918 24
=( ) 𝑥(0,116 )3
24

= 711,166 mm/jam
5. Perhitungan besaran debit
A = ( A1 + A2 + A3 )
= ( 3220 + 1150 + 6900 )
= 11270 m2 = 0,01127 km2
C = 0,3
I = 711,166 mm/jam
Q = 0,278 C.I.A
= 0,278 x 0,3 x 711,166 x 0,01127
= 0,668 m3/detik

3.10 Perhitungan Saluran Drainase


Data – data yang akan digunakan untuk penentuan dimensi saluran, adalah sebagai
berikut :

1. Saluran direncanakan terbuat dari beton dengan kecepatan aliran yang


diizinkan adalah 1,50 m/detik
2. Material Drainase direncanakan menggunakan kerikil sehingga
kemiringan saluran yang diizinkan (Is) : 6
3. Tipe saluran yang direncanakan adalah saluran beton sehingga
berdasarkan tipe salurannya angka kekasaran manning diketahui sebesar
0,016
4. Bentuk penampang segi empat
5. Menghitung kecepatan saluran < kecepatan izin
- Vijin = 1,5 m/det
- Is = 5% (kemiringan memanjang jalan)
- n = 0,016 (saluran direncanakan menggunakan beton)
Menghitung dimensi saluran dengan menggunakan b = 0,6 dan h = 0,3
R = A/P
= 0,18/1,2
= 0,15
2 1
1
𝑉 = 𝑛
𝑥 𝑅 3 𝑥 𝐼𝑠 2
2 1
1
= 0,016 𝑥 0,1503 𝑥 0,062

= 4,322

Q=VxA
= 4,322 x 0,18
= 0,778 m3/detik
Dari perhitungan di atas dapat diketahui nilai Q = 0,778 lebih besar dari
nilai Qp = 0,668, maka dimensi saluran dengan b = 0,6 dan h = 0,3 dapat
digunakan.
Dimana :
V = Kecepatan rata – rata dalam saluran (m/detik)
Q = Debit banjir rencana (m3/dtk)
n = Koefisien kekasaran manning
R = Radius hidrolik
Is = Kemiringan saluran
A = Luas tampang basah (m2)
P = Keliling bash saluran (m)
6. Menghitung tinggi jagaan
W = √0.5 ℎ
= √0.5 𝑥 0.3
= 0,38 m
Dimensi saluran drainase yang didapt dari hasil perhitungan dapat dilihat
dalam gambar 3.7 seperti di bawah ini :

Gambar 3.9 Desain Penampang Saluran Drainase


3.11 Desain Dimensi Gorong – Gorong
Gorong – gorong adalah bangunan yang dipakai untuk membawa aliran air (dari
saluran irigasi atau saluran pembuang) melewati bawah jalan atau jalan kereta api.
Gorong – gorong mempunyai potongan melintang yang lebih kecil daripada luas
basah saluran hulu maupun hilir. Sebagian dari potongan melintang mungkin
berada di atas. Dalam hal ini gorong – gorong berfungsi sebagai saluran terbuka
dengan aliran bebas.
Untuk tujuan perencanaan, gorong – gorong mempunyai ketentuan :
 Kecepatan aliran :
Gorong – gorong pada saluran irigasi, v = 1,5 – 2,0 m/dt
Gorong – gorong pada saluran pembuang, v = 3,0 m/dt
 Ukuran standard :
Diameter pipa minimum dmin = 0,60 m (dipakai di saluran primer)
 Untuk gorong – gorong segi empat, dapat dibuat dari :
- Beton bertulang
- Pasangan batu dengan plat beton bertulang sebagai penutup
Gorong – gorong yang akan dihitung mempunyai data – data sebagai berikut :
 Data saluran :
Q = 0,778 m3/detik
b = 0,6 m
h = 0,3 m
A = 11270 m
w = 0,38 m
V = 0,7 m/dt (ditentukan dari pedoman perencanaan drainase 2006)
K = 40
 Data jalan :
Lebar jalan = 15,00 m (termasuk bahu jalan)
Lebar bahu jalan = 2,5 m (bahu jalan kiri + kanan)
Panjang gorong – gorong L = 15 m karena L < 20 m, maka gorong – gorong yang
direncanakan termasuk gorong – gorong pendek.
Vgorong direncanakan = 2,0 m/dt
𝑄 0,778
𝐴= = = 0,389 𝑚2
𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 2
Direncanakan gorong – gorong segi empat dari pasangan batu (K = 60) dengan
penutup dari plat beton bertulang. Gorong – gorong dianggap terisi penuh.
A = b x h ; dengan b = 2h
Maka, A = 2h2 ~ 0,389 = 2h2

0,389
ℎ= √ = 0,441 𝑚
2

dipakai, h = 0,5 m
b = 2h = 2 x 0,5 = 1 m
A = b x h = 1 x 0,5 = 0,5 m2
𝑄 0,778 𝑚
Kontrol kecepatan : 𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 = = = 1,556 𝑑𝑡 < 2 𝑚/𝑑𝑡
𝐴 0,5

Dari perhitungan diatas kecepatan gorong – gorong diketahui sebesar 1,556 m/dt
hasil tersebut lebih kecil dari kecepatan gorong – gorong yang diizinkan yaitu 2
m/dt. Maka dapat disimpulkan control kecepatan gorong – gorong sudah sesuai
dengan syarat yang ditentukan.
Menghitung keliling basah :
P = 2 ( b + h) = 2 (1 + 0,5) = 3 m
Menghitung jari – jari hidrolis :
𝐴 0,5
𝑅= = = 0,167 𝑚
𝑃 3
2 1
𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 = 𝐾 . 𝑅 3 . (𝐼𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 )2
𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 2 1,556
=[ 2 ] ==[ 2 ]2 = 0,0164
𝐾. 𝑅3 40 . 0,1673

Besarnya kehilangan energy yang terjadi untuk pipa persegi


𝑆. 𝐿 𝑣 2
𝑧 =(1+𝑎+ 𝜆 )
Δ𝐹 2𝑔
Dimana :
z = kehilangan tinggi energy pada gorong – gorong persegi (m)
F = Luas penampang basah gorong – gorong (m2) = A
L = Panjang gorong – gorong (m)
S = keliling basah gorong – gorong (m) = R
g = percepatan gravitasi = 10 m/dt2
v = kecepatan dalam gorong – gorong (m/dt)
a = 0,5
α = 1,5
0,0005078
maka, 𝜆 = (0,01989 + )𝛼
4 𝑥 𝐹𝐼 𝑆

0,0005078
= ( 0,01989 + 4 𝑥 0,5 ) 𝑥 1,5
0,167

= 0,298
𝑆. 𝐿 𝑣 2
𝑧 = (1+𝑎+ 𝜆 )
4𝐹 2𝑔
0,167 𝑥 15 1,5562
= ( 1 + 0,5 + 0,298 ) 2 𝑥 10
4 𝑥 0,5

= 0,186 m
Jadi kehilangan energy yang terjadi pada gorong – gorong tersebut adalah sebesar
0,186 m
Menghitung kemiringan gorong – gorong :
𝑉𝑥𝑛
𝐼𝑠 = ( 2 )2
𝑅3
1,556 𝑥 0,012
=( 2 )2
0,1673
= 0,0379 = 3,79 %
(masih dalam rentang yang diizinkan 0,5 % - 2% maka kemiringan OK)

0,3

Gambar 3.10 Desain Penampang Saluran Drainase


BAB 4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil Analisis dari perencanaan geometrik, perkerasan jalan raya, dan
Perencanaan drainase maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
A. Perencanaan Geometrik Jalan
1. Jenis jalan merupakan jalan arteri dengan klasifikasi medan berupa
datar
2. Kecepatan yang direncanakan adalah 80 km/jam dengan jarak pandang
henti 120 m, jarak pandang mendahului 550 m, dan kelandaian
maksimum untuk alinyemen vertikal sebesar 5%.
3. Jumlah lajur yang direncanakan adalah 4 lajur 2 arah terbagi (4/2 D)
dengan lebar perkerasan 4 x 3.5 m.
4. Terdapat 18 tikungan yang direncanakan dengan jenis tikungan Spiral
– Circle – Spiral dan Spiral – Spiral dengan Ls yang digunakan
sepanjang 70 m.
B. Perencanaan Perkerasan Jalan
1. Jenis perkerasan yang direncanakan adalah perkerasan lentur dengan
menggunakan metode AASHTO 1993.
2. Tebal perkerasan lentur yang sudah diperhitungkan adalah sebagai
berikut :
a. SN1 = 1,5
b. SN2 = 3,3
c. SN3 = 3,5
Sehingga didapat tebal perkerasan sebagai berikut :
a. D1 = 15,87 cm
b. D2 = 13 cm
c. D3 = - 40,673 cm
Nilai D3 tidak diperlukan, gambar perkerasan dapat dilihat di bawah ini
:
Gambar 4.1 Gambar Perkerasan

C. Perencanaan Sistem Drainase


1. Debit rencana yang direncanakan sebesar 0,778 m3/dt
2. Drainase direncanakan terbuat dari beton dan berbentuk segi empat,
dengan dimensi sebagai berikut :

Gambar 4.2 Penampang Drainase


3. Dari analisis perhitungan pada gorong – gorong maka didapatkan hasil :
a. Tinggi gorong – gorong (h) = 0,3 m
b. Diameter gorong – gorong = 0,6 m

0,3

Gambar 4.3 Penampang Gorong-gorong

Anda mungkin juga menyukai