Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Esa, atas segala
nikmat yang telah Dia berikan, baik nikmat jasmani dan rohani, sehingga Laporan
Tugas Besar Perancangan Jalan Raya ini dapat diselesaikan. Laporan Tugas Besar
Perancangan Jalan Raya ini ditujukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Jenderal Achmad Yani.
Dalam pembuatan laporan ini penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak yang terlibat. Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Ronni I.S Rono Hadinagoro, Ir., MT. selaku Ketua Jurusan Teknik
Sipil Universitas Jenderal Achmad Yani.
2. Bapak Agus Juhara, ST., MT. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Perancangan Jalan Raya yang telah memberikan bimbingan dan banyak
memberikan masukan kepada penulis.
3. Bapak Hanafi, ST., MT selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Perancangan Jalan Raya yang telah memberikan masukan.
4. Seluruh Asisten yang yang telah memberikan masukan dan bimbingan.
5. Rekan – rekan mahasiswa dan sejumlah pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas besar ini.
6. Orangtua dan Seluruh Keluarga penulis yang telah memberikan moril, doa
dan kasih sayang.
Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis,
umumnya bagi semua insan yang membacanya.
Dewasa ini para Engineer Sipil telah banyak mengenal dan menguasai bagaimana perencanaan
suatu sistem jalan yang baik dan juga mudah dikerjakan serta pola perencanaannya yang makin
sempurna. Meskipun perencanaan sudah semakin sempurna, namun sebagai seorang Engineer
sipil tetap selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu lintasan jalan yang paling efektif dan
efisien dari alternatif-alternatif yang ada, dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari
jalan. Dalam merencanakan suatu jalan raya perlu diupayakan pekerjaan yang relatif mudah
dengan menghindari pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang besar. Dilain pihak
kendaraan yang beroperasi di jalan raya pun menginginkan jalan yang nyaman relatif lurus, tidak
ada tanjakan atau turunan.
Perancangan Jalan Raya merupakan salah satu syarat kelulusan yang harus ditempuh bagi
Mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Sipil S1 Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI).
Dalam perancangan jalan raya didalamnya meliputi perencanaan Geometrik dan perkerasan yang
mengacu pada ketentuan dan Peraturan yang ada. Faktor yang menjadi dasar perencanaan
geometrik adalah sifat gerakan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak
kendaraannya, serta karakteristik arus lalu lintas. Hal tersebut haruslah menjadi bahan
pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak
kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan. Sedangkan
perencanaan perkerasan akan sangat dipengaruhi oleh volume dan berat kendaraan yang
1
beroperasi atau melewati titik perencanaan jalan tersebut.
1.2 Tujuan Studi
Tujuan disusunnya tugas besar Perancangan Jalan Raya ini yaitu untuk memberikan pemahaman
kepada mahasiswa Teknik Sipil UNJANI dalam merencanakan jalan baru sebagai prasarana
transportasi darat berupa jalan raya sehingga diharapkan mampu mendorong perekonomian di
wilayah Kota Bandar Lampung. Disamping itu juga memberikan pemahaman bagi Mahasiswa
Teknik Sipil UNJANI dalam merencanakan geometrik jalan, merencanakan lapisan perkerasan
jalan, serta merencanakan sistem drainase di sepanjang ririk rencana jalan sesuai ketentuan dan
peraturan yang berlaku.
3
Gambar 1 1 Peta Kontur dan Wilayah Kota Bandar Lampung
Sumber : Konsultan Perencana
4
BAB 2 Kajian Pustaka
Dalam Undang-Undang Jalan Raya No. 13/1980 bahwa jalan adalah suatu
prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas.
Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas
jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang
berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapatkan dari hasil survey lapangan,
kemudian dianalisis berdasarkan acuan persyaratan perencanaan geometrik yang
berlaku. Adapun perencanaan yang dimaksud adalah sesuai dengan standar
perencanaan geometrik yang dianut di Indonesia, salah satunya “Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No: 038/T/BM/1997”.
6
2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1
Muatan Sumbu
Fungsi Kelas
Terberat MST (ton)
I > 10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Kemiringan
No. Jenis Medan Notasi
Medan (%)
1. Datar D <3
2. Perbukitan B 3 - 25
3. Pegunungan G > 25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
Lalu Lintas
No. Klasifikasi Jalan Kelas Harian (smp)
1. Jalan utama I >20.000
II A 6.000 – 20.000
2. Jalan sekunder II B 1.500 – 8.000
II C < 20.000
Datar/
No. Jenis Kendaraan Pegunungan
Perbukitan
1. Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0
2. Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5
3. Bus dan Truck Besar 1,2 – 5,0 2,2 – 6,0
Sumber: Tata Cara Perencanaan Jalan Antar Kota, 1997
Jarak pandang henti terbagi menjadi dua, yaitu Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak
Pandang Mendahului (Jd).
1. Jarak Pandang Henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi
ketentuan jarak pandang henti. Jarak pandang henti diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15
cm diukur dari permukaan jalan. Jarak pandang henti terdiri atas 2 elemen
jarak, yaitu:
a. Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
b. Jarak pengereman (Jh) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
c. Jarak pandang henti (Jh) dalam satuan meter, dapat dihitung dengan
rumus:
𝑉
𝑉𝑅 ( 𝑅 )2
3,6
Jh = T+
3,6 2𝑔𝑓
Dimana:
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapakan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisen gesek memanjang perkerasan
aspal, ditetapkan 0.35-0,55
L = landai jalan dalam (%) dibagi 100
Syarat-syarat untuk menentukan jarak pandang henti minimum dapat dilihat
dalam Tabel 2.7 di bawah ini :
Tabel 2.7 Jarak Pandang Henti (Jh), minimum
Jd=d 1 +d 2 + d3 +d 4
Dimana:
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap, (m)
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur
semula, (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang
datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai, (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari daerah yang
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2/3 d2, (m).
Tabel 2.8Jarak Pandang (Jd)
C CT
TC
RC
RC RC
2 2
Dimana:
Δ = suhu tangan, (°)
Tc = panjang lingkaran, (m)
Rc = jari-jari lingkaran, (m)
Ec = panjang luar P1 ke busur lingkaran, (m)
Lc = panjang busur lingkaran, (m)
.
Gambar 2.9 Tikungan Sprial-Circle-Spiral (SCS)
Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah sebagai
berikut:
𝐿𝑆 180
ϴS = .
2п п
Δc = Δ - 2ϴC
∆𝐶
Lc = . 2пR
360
𝐿𝑆 2
Yc =
6R
𝐿𝑠2
Xc = LS - 40𝑅
k = Xc – R sin ϴS
p = Yc – R(1 - cos ϴS)
Δ
Ts = (R + P) tan + k
2
(𝑅+𝑃)
Es = ∆ –R
cos
2
L = Lc + 2Ls
Dimana :
XS = absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC, (m)
YS = ordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen, (m)
LS = panjang lengkung peralihan, (m)
L = panjang busur lingkaran (dari titik SC ke CS), (m)
Ts = titik dari tangen ke spiral, (m)
SC = titik dari spiral ke lingkaran, (m)
ES = jarak dari PI ke lingkaran, (m)
R = jari-jari lingkaran, (m)
p = pergeseran tangen terhadap spiral, (m)
k = absis dari p pada garis tangen spiral, (m)
Δc = sudut lengkung spiral, (˚)
L = 2Ls
Dimana:
ES = jarak dari PI ke busur lingkaran, (m)
Nomor jalan (Sta. jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km disepanjang
jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain:
a. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang
umumnya terletak di ibukota provinsi atau kotamadya, sedangkan patok Sta.
merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan.
b. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar
yang berlaku, sedangkan patok Sta merupakan patok sementara selama masa
pelaksanaan proyek jalan tersebut.
2.9 Superelevasi
Superelevasi adalah kemiringan melintang permukaan pada lengkung horizontal.
Superelevasi bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal. Semakin besar superelevasi, semakin besar
komponen berat kendaraan yang diperoleh. Superelevasi maksimum yang dapat
dipergunakan pada suatu jalan raya dibatasi oleh beberapa keadaan sebagai
berikut:
a) Keadaan cuaca.
b) Jalan yang berada didaerah yang sering turun hujan.
c) Keadaan medan daerah datar nilai superelevasi lebih tinggi daripada
daerah perbukitan.
d) Keadaan lingkungan, perkotaan atau luar kota. Superelevasi maksimum
sebaiknya lebih kecil di perkotaan daripada luar kota.
e) Komposisi jenis kendaraan dari arus lalu lintas.
Nilai-nilai e maksimum:
a) Untuk daerah licin atau berkabut, e maks = 8%.
b) Daerah perkotaan, e maks = 4% - 6%.
c) Di persimpangan, e maks sebaiknya rendah, bahkan tanpa superelevasi
d) AASHTO menganjurkan, jalan luar kota untuk V rencana = 30 km/jam e
maks = 8%, V rencana > 30 km/jam e maks = 10%.
e) Bina narga menganjurkan, e maks untuk jalan perkotaan = 6%.
Perencanaan alinyemen vertikal sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
1. Kondisi tanah dasar
2. Keadaan medan
3. Fungsi jalan
4. Muka air banjir
5. Muka air tanah
6. Kelandaian yang masih memungkinkan
Selain hal tersebut diatas dalam perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui
kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga terdapat
suatu kombinasi yang berupa lengkung cembung dan lengkung cekung serta akan
ditemui pula kelandaian = 0, yang berarti datar. Gambar rencana suatu profil
memanjang jalan dibaca dari kiri ke kanan, sehingga landai jalan diberi tanda
positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan
dari kiri ke kanan.
2. Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang bearti. Kelandaian
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh dan
mampu bergerak, dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
VR
120 110 100 80 60 50 40 <40
(km/jam)
Kelandaian
3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum
Sumber: Konstruksi Jalan Raya, Saodang Hamirhan, 2004
3. Panjang Kritis Suatu Kelandaian
Landai maksimum saja tidak cukup merupakan faktor penentu dalam suatu
perencanaan alinyemen vertikal, karena jarak yang pendek memberikan
faktor pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan jarak yang panjang
pada kelandaian yang sama. Kelandaian yang besar akan mengakibatkan
penurunan kecepatan pada kendaraan truk yang cukup berarti, jika
kelandaian tersebut dibuat panjang pada jalan yang cukup panjang, tetapi
sebaliknya akan kurang bearti jika panjang jalan dengan kelandaian
tersebut hanya pendek saja.
4. Lajur Pendakian
Pada lajur jalan dengan rencana volume lalu lintas tinggi, maka kendaraan
berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah
kecepatan rencana (VR), sedangkan kendaraan lainnya masih dapat
bergerak dengan kecepatan rencana. Dalam hal ini sebaliknya
dipertimbangkan untuk membuat lajur tambahan di sebelah kiri lajur jalan.
Gambar 2.15 Tipikal lengkung vertikal bentuk parabola Rumus yang dipergunakan
𝐿 .𝑔1 𝐿 .𝑔1
x= =
𝑔1 − 𝑔2 𝐴
𝐿 .𝑔1 2 𝐿 .𝑔1 2
y= =
2(𝑔1 − 𝑔2 ) 2𝐴
Dimana:
x = jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada Stasiun (Sta.)
y = perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada
stasiun.
L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak
proyeksi dari titik A dan titik Q (Sta.)
g1 = kelandaian tangen dari titik P, (%)
Untuk : x = ½ L ; y=E
1) Panjang L, berdasarkan Jh
2
𝐴.𝐽ℎ
Jh < L , maka : L = 399
399
Jh > L , maka : L = 2Jh - 𝐴
2) Panjang L, berdasarkan Jd
2
𝐴.𝐽𝑑
Jd < L , maka : L = 840
840
Jd > L , maka : L = 2Jd - 𝐴
3. Persyaratan drainase
4. Kenyaman mengemudi
5. Keluwesan bentuk
Gambar 2.18 Panjang lengkung vertikal cekung
𝐴.𝑆 2
L= 150+3,5𝑆
𝐴.𝑉 2
L = 390
4) Persyaratan drainase
Landai minimum untuk keperluan drainase adalah 0,5%. Jadi syarat
panjang maksimum adalah:
L = 40A
5) Keluwesan bentuk jalan pada lengkung cembung
Keluwesan bentuk jalan, dihubungkan terhadap kecepatan, yaitu
menurut AASHTO : L =3V, dimana L = panjang minimum lengkung
dalam feet, dan V = kecepatan rencana dalam mph. Sehingga bila L
dalam meter, dan V dalam km/jam, harus dikalikan faktor koreksi
terlebih dahulu.
2.12 Perkerasan Jalan
2.12.1 Parameter Perencanaan Tebal Lapisan Konstruksi Perkesarasan
Menurut Alamsyah (2001), lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan
menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada
konstruksi jalan itu sendiri. Dengan demikian memberikan kenyamanan kepada
para pengguna jalan raya selama masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam
perencanaan perlu dipertimbangkan seluruh faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan jalan, seperti:
1. Fungsi jalan;
2. Perkerasan jalan (pavement performance);
3. Umur rencana;
4. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan;
5. Sifat tanah dasar;
6. Kondisi lingkungan;
7. Sifat dan banyak material tersedia di lokasi; dan
Selain dari dua jenis tersebut sekarang telah banyak digunakan jenis gabungan (composite
pavement), yaitu perpaduan lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi perkerasan juga dapat
dibedakan
Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup
kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis
pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan aspal
sebagai pengikat.
Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).
Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai:
Tanah dasar atau tanah asli adalah permukaan tanah semula sebelum
dilakukan pelaksanaan galian dan timbunan yang merupakan perletakan
bagian - bagian perkerasan lainnya. Adapun jenis-jenis lapis tanah dasar
dapat dilihat pada Gambar 2.22
Gambar 2.22 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli
Sumber : Sukirman, 2010
Dimana :
Wt = kumulatif beban gandar standar selama umur rencana
W18 = beban gandar standar pada awal tahun pertama
n = umur rencana perkerasan
g = tingkat pertumbuhan lalu lintas rata-rata per tahun
(1+𝑖)𝑈𝑅 − 1
N= 𝑖
Dimana:
N = faktor umur rencana
i = laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %
UR = umur rencana, (tahun)
Tabel 2 13 Faktor hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N)
Faktor distribusi lajur ditentukan jumlah lajur dan lajur rencana. Lajur
rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan, yang
menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas
lajur, jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan sesuai tabel 2.15
Tabel 2.14 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan
2.14.2 Reliabilitas
Reliabilitas dimaksudkan untuk mengakomodasi beberapa ketidakpastian
didalam melakukan perencanaan pada perkerasan lentur. Tingkat reliabilitas
yang tinggi merujuk pada lalu lintas yang padat dan begitu jugasebaliknya.
Dengan kata lain reliabilitas yang tinggi digunakan untuk merencanakan jalan
dengan klasifikasi yang tinggi dan tingkat reliabilitas yang rendah digunakan
untuk merencanakan jalan dengan klasifikasi yang rendah juga. Tabel 2.17
memberikan rekomendasi tingkat reliabilitas yang digunakan untuk berbagai
klasifikasi jalan.
Tabel 2.16 Nilai reliabilitas untuk berbagai klasifikasi jalan
Rekomendasi Tingkat
Klasifikasi Reliabilitas
Jalan (%)
Perkotaan Antar Kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 - 80
Dimana :
SN = Structural Number, angka struktural relatif perkerasan, (inchi)
12.6.3 Reliabilitas
Reliabilitas adalah nilai probabilitas dari kemungkinan tingkat pelayanan yang
dapat dipertahankan selama masa pelayanan dipandang dari sisi pemakai jalan.
Reliabilitas merupakan jaminan bahwa perkiraan beban lalu-lintas yang akan
menggunakan jalan tersebut dapat dipenuhi.Perkerasan kaku direncanakan dengan
menggunakan klasifikasi jalan yang tinggi karena perkerasan ini akan difungsikan
untuk menampung volume.
lalu-lintas yang cukup tinggi. Tingkat reliabilitas yang tinggi merujuk pada Ilalu
lintas yang padat dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain reliabilitas yang
tinggi digunakan untuk merencanakan jalan dengan klasifikasi yang tinggi dan
tingkat reliabilitas yang rendah digunakan untuk merencanakan jalan dengan
klasifikasi yang rendah juga. Informasi mengenai tingkat reliabilitas (R) yang bisa
digunakan dalam merencanakan perkerasakn kaku dapat dilihat dalam Tabel 2.21.
Tabel 2.21 Nilai reliabilitas untuk berbagai klasifikasi jalan
Rekomendasi Tingkat
Klasifikasi Reliabilitas
Jalan (%)
Perkotaan Antar Kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 - 80
Kriteria lain yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat reliabilitas adalah standar
deviasi (So). Tingkat reliabilitas seperti yang diterangkan diatas akan berhubungan
dengan nilai standard normal deviate seperti yang diberikan pada Tabel 2.22.
Tabel 2.22 Deviasi standar normal (ZR)
Faktor perubahan kadar air pada tanah berbutir halus memungkinkan tanah
tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) yang mengakibatkan kondisi
daya dukung tanah dasar menurun. Maka untuk mengatasi perubahan kondisi
lingkungan ini perlu dilakukan suatu perlakuan khusus/treatment pada
materialnya.
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Semakin rendah nilai IP maka semakin sulit jalan untuk dilewati, dan semakin
tinggi nilai IP maka semakin mudah jalan untuk dilewati. Indeks Permukaan
merupakan salah satu dasar yang digunakan dalam merencanakan perkerasan
jalan.
Perubahan nilai IPo dan IPt ditentukan dari rumus berikut: ΔIP = IPo - IPt
Rumus ini berlaku untuk seluruh jenis perkerasan.
12.6.6 Kehilangan Daya Dukung
Faktor kehilangan daya dukung (LS) termasuk dalam perencanaan perkerasan
kaku untuk memperhitungkan potensi kehilangan daya dukung yang bertambah
akibat erosi lapisan pondasi bawah atau dan perubahan pergerakan partikel
tanah, untuk ini dikurangi nilai k efektif atau komposit berdasarkan ukuran
rongga yang mungkin terjadi dibwah pelat.
1.15
Dimana:
= 1,645, untuk PS = 5%
= 2,327, untuk PS = 1%
Besarnya nilai J pada perkerasan beton dengan sambungan dan bahu yang
menyatu biasanya akan naik karena beban agregat akan menurun dengan
pengulangan beban. Untuk variasi nilai J maka nilai J yang lebih tinggi harus
digunakan untuk nilai k yang lebih rendah, koefisien suhu tinggi, dan variasi
suhu yang besar. Untuk penggunaan dowel, jarak dan ukuran harus ditentukan
berdasarkan pengalaman atau berdasarkan petunjuk yang ada. Sebagai
petunjuk umum, diameter dowel harus sama dengan tebal pelat dikalikan 1/8
inchi (panjang dan jarak dowel biasanya 12 dan 18 inchi). Tabel berikut dapat
digunakan untuk menentukan nilai J.
Tabel 2.24 Koefisien pelimpahan beban
Perkerasan bersambung
tanpa atau dengan tulangan 3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
(JCP / JRCP)
Perkerasan beton menerus
2,9 - 3,2 N/A 2,3 - 2,9 N/A
dengan tulangan (CRCP)
Jika beton mempunyai koefisien panas yang tinggi, maka besarnya nilai
J harus dinaikkan. Dan sebaliknya jika jumlah berat yang diperkirakan
kecil seperti jalan dengan volume kecil maka nilai J harus diturunkan.
= P 0 - Pt
Cd = Koefisien drainase
gorong di bawah tanah. Drainase berperan penting untuk mengatur suplai air demi
pencegahan banjir.
13.7.1 Jenis Drainase
Berdasarkan jenisnya draiase dibedakan menjadi beberapa bagian, diantaranya:
Langkah awal dalam perencanaan sistem drainase adalah analisis hidrologi. Dalam
analisis ini ditentukan karakteristik debit rencana dari senua bangunan drainase,
sungai, dan saluran yang berbeda di sekitar alinyemen jalan. Debit rencana dapat
dihitung berdasarkan dua pendekatan, tergantung pada data yang tersedia, yaitu
analisis data debit banjir dan permodelan aliran (rainfall-runoff model).
Sisten drainase permukaan pada jalan raya mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu:
a. Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuang air
Berikut tabel debit priode ulang rencana yang direkomendasikan untuk bangunan
drainase utama.
Tabel 2.26 Kebutuhan debit rencana
Periode Ulang
Kelas jalan
(tahun)
Jalan tol (expressways) 100
Jalan arteri (arterial roads) 50
Jalan pengumpul (collector roads) 50
Jalan penghubung (access roads) 25
Tabel 2.27 Koefisien pengaliran
1) Drainase Memanjang
Permukaan jalan harus dibuat dgn kemiringan melintang yg cukup utk
membuang air hujan secepatnya, dan permukaan jalan hrs berada di atas
permukaan air tanah setempat. Kemiringan memanjang utk bahu jalan
diharuskan tdk kurang dari 0,3% dan utk daerah yg sangat datar tidak
kurang dari 0,2%.
b. Talang adalah saluran pada tepi perkerasan atau bahu jalan yang di
bentuk oleh curb. Talang dpt dilapisi beton, batu bata, batu kali dll.
Kemiringan memanjang dan kedalam air yang diizinkan sepanjang jalan
yang ber-curb.
c. Turnouts adalah saluran pendek yg menikung keluar dari tepi jalan yg
berfunsi utk membuang air dari saluran atau talang. Jarak antara
turnouts tergantung pada aliran, kemiringan yg diizinkan, dan
kemiringan daerahnya. Untuk menghindari aliran yang menimbulkan
erosi, ujung saluran hrs dilebarkan.
d. Chutes adalah adalah saluran terbuka berlining yg berfungsi untuk
membawa air dari parit menuruni lereng urugan. Inlet chutes hrs
direncanakan untuk mencegah terjadinya limpasan yang dapat
mengakibatkan erosi pada lereng.
e. Intercepting ditchs terletak dilahan alamiah didekat ujung lereng galian
utk menampung aliran dari bukin sebelum mencapai jalan. Berfungsi
utk menurunkan genangan pada jalan.
2) Drainase Melintang
Saluran melintang sering menelan biaya yg cukup besar, Sejauh dpt
memilih lokasi persilangan dgn sungai, dianjurkan utk meletakkan lokasi
persilangan pada:
a. bagian sungai yang lurus dan jauh dari tikungan;
b. sejauh mungkin dari pertemuan anak sungai yg cukup besar;
c. bagian sungai dengan tebing dan tanggul yangg bagus;
d. lokasi dimana dapat dibuat jalan lurus dengan pandangan yang
cukup luas;
e. lokasi dimana dapat dibuat persilangan tegak lurus.
1) Fords
2) Drifts
3) Gorong-gorong
4) Jembatan
Pada peristiwa masuknya air ke dalam struktur perkerasan melalui infiltrasi atau air
tanah, air tersebut harus dibuang secepatnya sebelum menyebabkan kerusakan. Ada 3
jenis yang dapat diterapkan, secara individu atau kombinasi, yaitu lapisan drainase
atau blanket, drainase memanjang, dan drainase melintang.
Melakukan digitasi pada peta topografi yang bertujuan untuk menemukan titik – titik
easting dan northing, data – data tersebut akan diketik kembali pada Ms.Excel yang
kemudian akan dilakukan perhitungan secara analitis untuk mendapatkan nilai – nlai
yang diperlukan untuk merencanakan jalan pada software AutoCAD Land Desktop
2004.
Dari tabel di atas dapat ditentukan jenis medan berdasarkan kemiringan yang sudah
didapatkan. Untuk mendapatkan nilai kemiringan harus dilakukan perhitungan elevasi
dari peta kontur/topografi. Untuk dapat mendapatkan nilai elevasi dari peta
kontur/topografi bisa dilakukan pada software AutoCAD Land Desktop. Adapun nilai
elevasi dan kemiringan yang akan digunakan untuk penentuan dapat dilihat dalam
tabel 3.3 dibawah ini.
Rumus kelandaian adalah sebagai berikut :
Dimana :
A = Elevasi kanan/kiri tertinggi
B = Elevasi kanan/kiri terendah
Row = Daerah milik jalan
Dari hasil perhitungan di atas didapatkan nilai kelandaian sebesar (…) maka jalan
dapat medan dapat dikategorikan datar.
Klasifikasi jalan yang digunakan dalam perencanaan dapat dilihat dalam tabel 3.3
seperti di bawah ini:
Tabel 3.3 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
I > 10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota N0. 038/TBM/1997
Jalan direncanakan dengan fungsi arteri maka berdasarkan tabel 3.3. digunakan
kelas II A dengan sumbu terberat MST 10 ton.
b. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan yang ditentukan sebagai dasar dalam
perencanaan geometrik jalan yang bertujuan agar kendaraan dapat bergerak dengan
aman dan nyaman dengan kondisi lalu lintas yang lenggang. Kecepatan rencana
dapat ditetapkan dalam tabel 3.4 dibawah ini :
Tabel 3.4 Kecepatan Rencana
Sama seperti jarak pandang henti, jarak pandang mendahului juga ditentukan
berdasarkan kecepatan rencana yang sudah direncanakan sebelumnya. Adapun tabel
untuk menentukan jarak pandang henti dapat dilihat dalam tabel 3.6 di bawah ini.
Tabel 3.6 Jarak Pandang Mendahului (Jd) Minimum
Volume Jalan Rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu lintas pada saat jam
puncak atau jam sibuk tahun rencana lalu lintas, VJR dinyatakan dalam smp/jam
dan dapat dihitung dengan rumus :
𝐾
VLHR x
𝐹
0.06
65328.12 x
1
= 5737,225403
Dimana :
Dimana :
D = Derajat Kejenuhan
C = Kapasitas
VJR = Volume Kendaraan (smp/jam)
c. Lebar Lajur
Lebar lajur dapat ditentukan dengan melihat tabel yang terdapat pada SNI dengan
mengacu pada VLHR yang sudah didapatkan. Tabel untuk menentukan lebar lajur
dapat dilihat dalam tabel 3.11 di bawah ini.
Tabel 3.11 Penentuan Lebar Lajur
ARTERI KOLEKTOR LOKAL
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
VLHR (Smp/hari) Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
<3000
6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0
3000-10000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0
10001-25000
7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - -
Dengan melihat VLHR yang sudah didapatkan sebelumnya maka nilai dari lebar
lajur dapat ditentukan sebagai berikut :
- Lebar Jalur : 7 m
- Lebar Bahu : 2 m
Dari hasil analisis di atas maka dapat dibuat sebuah rekapitulasi yang dapat dilihat
dalam tabel 3.12 sebagai berikut:
Tabel 3.12 Rekapitulasi
Parameter Desain
1. Kelas Jalan Arteri
2. Medan Jalan Datar
3. Kecepatan Rencana 80 Km/Jam
4. Jalur Lalu Lintas 4 lajur – 2 arah (4/2 B)
5. Lajur 3.50 m
6. Jarak Pandang Henti 120 m
7. Jarak Pandang Mendahului 550 m
8. Kelandaian Maksimum 5%
9. Panjang Kritis 460
No Titik X Y
1 0+000 -1903.6023 2799.9836
2 1+124.720 -2521.8423 3739.5444
3 1+802.397 -3182.133 3892.0654
4 2+581.820 -3385.7024 4644.4347
5 2+978.732 -3671.4362 4919.9254
6 3+483.306 -4125.7823 5139.3899
7 4+193.397 -4464.2243 5763.6385
8 4+618.569 -4878.5167 5859.2047
9 5+648.219 -5388.29 6753.8058
10 6+517.192 -6054.3327 7311.9286
11 7+356.494 -6890.2819 7386.8722
12 7+877.463 -7409.3543 7342.4579
13 8+638.488 -7806.7686 7991.4735
14 9+091.470 -8215.1395 8187.497
15 9+562.805 -8681.546 8255.4854
16 10+070.362 -8923.6882 8701.5576
17 10+714.635 -9495.4791 8998.447
18 11+487.356 -10268.0693 9012.6884
= 103,007
𝑋2−𝑋1
α1-2 = ArcTg ( )
𝑌2−𝑌1
−3182.133−(−2521.8423)
= ArcTg ( )
3892.0654−3739.5444
= 164,86
Ya
Lc < Tikungan Spiral – Spiral
20 m
Tidak
Tidak
E < 0,04
atau 1,5 Tikungan Full-Circle
en Ya
Tidak
Tikungan Spiral-Circle-Spiral
= -0.00125 x 80 + 0,24
= 0,14
𝑉𝑅 2
Rmin =
127 (𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 +𝑓𝑚𝑎𝑘𝑠 )
802
=
127 (0.1+0.14)
= 209,9738
= 47.739 m
4. Berdasarkan tingkat pencapaian perpindahan kelandaian
VR ≤ 70 km/jam re = 0,035
VR ≥ 80 km/jam re = 0,025
(𝑒𝑚 −𝑒𝑛 )𝑉𝑅
Ls =
3,6 𝑟𝑒
(0,1−0,02) 𝑥 80
=
3,6 𝑥 0,025
= 71,11
Nilai lengkung peralihan yang digunakan adalah Ls = 70 m yang didapat
dari tabel Bina Marga.
b. Perhitungan lengkap parameter tikungan spiral – circle – spiral (SCS).
90 𝐿𝑠 90 70
ϴs = = 𝑥 = 7,011˚
п 𝑅 п 286
(𝑅+𝑃) (239+0,858)
Es = Δ –R = 18,172 – 239 = 19,376 m
cos( ) cos( )
2 2
Contoh dari penerapan dari superelevasi maksimum dapat dilihat dalam tabel 3.15 di
bawah ini ;
Tabel 3.15 Superelevasi Maksimum
Tikungan R Superelevasi
(%)
PI-1 286 0.093
= 0,442
d. B = n ( b’ + c ) + ( n – 1 ) Td + Z
= 4 ( 2,465 + 0,8 ) + ( 4 -1 ) x 0,028 + 0,442
= 13,58 < 14 m
e. W =B–L
= 13,58 – 14
= -0,413 m
Dari analisis di atas maka dapat diambil kesimpulan maka pada tikungan PI-1 tidak
diperlukan adanya pelebaran samping. Untuk tikungan selanjutnya dapat dilihat
dalam tabel 3.16 di bawah ini.
Tabel 3.16 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Pelebaran Samping
No Tikungan R VR P A n c L b' Td Z B W
1 P1 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
2 P2 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
3 P3 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
4 P4 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
5 P5 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
6 P6 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
7 P7 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
8 P8 358 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.451973 0.022457 0.442105 13.51737 -0.48263
9 P9 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
10 P10 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
11 P11 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
12 P12 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
13 P13 239 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.477858 0.033638 0.442105 13.65445 -0.34555
14 P14 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
15 P15 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
16 P16 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
17 P17 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
18 P18 286 80 6.1 1.2 4 0.8 14 2.46506 0.028111 0.442105 13.58668 -0.41332
Dari tabel 3.16 berikut maka dapat diketahui bahwa untuk semua tikungan tidak diperlukan pelebaran samping.
3.4 Perencanaan Alinyemen Vertical
3.4.1 Lengkung Vertical
Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang lurus
(tangens) , adalah :
1. Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada dibawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan.
A. Kelandaian Maksimum
g2 =1%
g1 =0%
A = g2 – g1 = 1 – 0 = 1
𝑆2 1202
Lmin = = = 35,5556 m
405 405
Jika jarak pandang henti lebih kecil dari lengkung vertikal (Jh < L )
𝐴𝐽ℎ 3 1.1203
L= = = 4266.67 m
399 399
Jika jarak pandang henti lebih besar dari lengkung vertikal (Jh >L )
399 399
L = 2.Jh - = 2.Jh - = - 165 m
𝐴 1
𝐴𝑉𝑅 3 1 . 803
L= = = 132.82 m
390 390
Berdasarkan drainase :
L = 40A = 40 x 1 = 40 m
L = 180 m
c. Berdasarkan Drainase : 40 m
𝐴.𝐿 1 𝑥 180
Ev = = = 0,225 m
800 800
Sta A = Sta.PV1 – ½ Lv
= ( 0 + 500,317) – (½ x 180)
= 0 + 410.317
Sta B = Sta.PV1
= ( 0 + 500,317)
Sta C = Sta.PV1 + ½ Lv
= ( 0 + 500,317) + (½ x 180)
= 0 + 590.317
= 34 m
= 34,00 – 0,225
= 33,775 m
Elevasi c = Elevasi PV1 + (1/2 Lv x g1)
= 34 m
Hasil dari analisis di atas dapat dibuat rekapitulasi seperti dalam tabel
3.16 di bawah ini :
Tabel 3.17 Elevasi Lengkung Vertikal PV1
g2 =0%
g1 =1%
A = g2 – g1 = 0 – 1 = 1
𝑆2 1202
Lmin = = = 35,5556 m
405 405
Jika jarak pandang henti lebih kecil dari lengkung vertikal (Jh < L )
𝐴𝐽ℎ 3 1.1203
L= = = 4266.67 m
399 399
Jika jarak pandang henti lebih besar dari lengkung vertikal (Jh >L )
399 399
L = 2.Jh - = 2.Jh - = - 165 m
𝐴 1
L = V x t = 80 x 3 = 240 m
Berdasarkan drainase :
L = 40A = 40 x 1 = 40 m
L = 80 m
b. Berdasarkan Drainase : 40 m
c. Berdasarkan Grafik : 80 m
Sta A = Sta.PV2 – ½ Lv
= ( 1 + 000,345) – (½ x 80)
= 0 + 38,655
Sta B = Sta.PV2
= ( 1 + 000,345)
Sta C = Sta.PV1 + ½ Lv
= ( 1 + 000,345) + (½ x 80)
= 0 + 41,345
= 29 m
= 29,40 – 0,225
= 24,175 m
= 29,8 m
Hasil dari analisis di atas dapat dibuat rekapitulasi seperti dalam tabel
3.18 di bawah ini :
Tabel 3.18 Elevasi Lengkung Vertikal PV2
Sta A 0 + 38,655 29
Kemiringan Jarak Pandang Jarak Pandang Panjang Kelandaian Berdasarkan syarat Berdasarkan Berdasarkan Perhitungan
NO STA KET VR L min Jh < Lv Jh > Lv
garis (A) Mendahului (m) Henti (m) Kritis Maksimum (%) kenyamanan Syarat Drainase Grafik Elevasi (m)
1 (0+500.317) Cembung 80 1 550 120 460 5 35.55556 35.55556 -165 240 40 180 0.225
2 (0+960.343) Cekung 80 1 550 120 460 5 35.55556 35.55556 -165 240 40 80 0.1
3 (1+150) Cekung 80 1.5 550 120 460 5 35.55556 53.33333 -30 240 60 80 0.15
4 (1+610) Cembung 80 1.5 550 120 460 5 35.55556 53.33333 -30 240 60 180 0.3375
5 (2+948.738) Cembung 80 2.49 550 120 460 5 35.55556 88.53333 77.3494 240 99.6 80 0.249
6 (3+408.245) Cekung 80 2.49 550 120 460 5 35.55556 88.53333 77.3494 240 99.6 80 0.249
7 (4+500) Cekung 80 2 550 120 460 5 35.55556 71.11111 37.5 240 80 80 0.2
8 (4+960) Cembung 80 2 550 120 460 5 35.55556 71.11111 37.5 240 80 180 0.45
9 (6+200) Cembung 80 2.5 550 120 460 5 35.55556 88.88889 78 240 100 180 0.5625
10 (6+656.589) Cekung 80 2.5 550 120 460 5 35.55556 88.88889 78 240 100 80 0.25
3.5 Galian Timbunan
Setelah alinyemen vertikal selesai dilakukan maka selanjutnya adalah melakukan
pekerjaan galian dan timbunan. Galian dan timbunan diotimalkan memiliki
jumlah volume yang seimbang. Hal ini perlu diperhatikan agar pekerjaan galian
ataupun timbunan bisa dilakukan secara optimal mengingat pekerjaan galian
terbilang cukup mahal.
Jumlah volume galian timbunan dilihat berdasarkan profil tanah asli dan
perencanaan alinement vertikal. Untuk total volume galian timbunan dapat dilihat
dalam tabel 3.20 di bawah ini.
Tabel 3.20 Galian Timbunan
Berdasarkan keterangan di atas, maka CBR design untuk seluruh ruas jalan adalah
4,15%, akan tetapi jenis tanah dengan nilai CBR 4,15% merupakan tanah yang
tergolong lunak, sehingga sebenarnya diperlukan suatu treatment untuk
meningkatkan daya dukung tanah. Jadi pada perencanaan tebal lapis perkerasan
jalan digunakan / disyaratkan CBR design minimal 6%.
Jadi ruas jalan yang memiliki CBR kurang dari 6%, disarankan untuk melakukan
perbaikan terlebih dahulu sehingga CBR minimal mencapai 6%, dan baru hampar
lapisan berikutnya yaitu lapisan pondasi bawah / subbase. Pada bagian jalan yang
merupakan daerah embankment (selected material) yang memiliki kualitas baik,
sehingga CBR 6% dapat tercapai demikian juga pada daerah galian, bila ternyata
berdasarkan pengecekan CBR kurang dari 6% maka tanah tersebut harus dikeruk
terlebih dahulu dan diganti dengan tanah yang memiliki kualitas tanah yang lebih
baik.
Berdasarkan harga CBR design yang telah ditentukan, maka besar nilai dari DDT
dapat ditentukan dengan menggunakan grafik korelasi antara CBR dan DDT yang
dikeluarkan oleh Bina Marga. Dalam gambar 3.6 dapat dilihat nomogram untuk
menentukan nilai DDT.
Berdasarkan nomogram di atas maka nilai DDT yang ditentukan adalah 4,7.
3.6.3 Kriteria Desain Perencanaan Perkerasan Lentur
Adapun kriteria desain dalam perencanaan perkerasan lentur yang digunakan
adalah sebagai berikut ;
a. Susunan Perkerasan
Laston : 380000 Psi
Batu Pecah ( kelas C ) : 25000 Psi
Sirtu pitrun ( kelas C ) : 15000 Psi
b. Lalu Lintas
Angka ekuivalen kendaraan
Kendaraan ringan 2 ton : 0,000226
Bus sedang : 0,019775 + 0,024148 = 0,043924
Truk ringan : 0,014304 + 0,017467 = 0,031772
Faktor umur rencana
Klasifikasi Jalan
Bebas
Lokal Kolektor Arteri
Hambatan
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Keterangan :
IP = 2,5 : Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
IP = 2,0 : Menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang
masih mantap
IP = 1,5 : Menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih
mugkin
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga megganggu lalu-lintas kendaraan.
Tabel 3.27 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0)
Ketidakrataan *) (IRI,
Jenis Lapis Perkerasan IP0
m/km)
LASTON ≥4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pd. T-01-2002
Dari kedua tabel di atas dapat diambil kesimpulan :
Indeks permukaan awal (IP0) = 3,7 %
Indeks permukaan akhir (IPt) = 2,5
h. Modulus Ressilen dan Koefisien Relatif (a)
Modulus ressilen adalah parameter yang digunakan dalam analisis
desain struktur perkerasan lentur.
Modulus Ressilen tanah dasar (MR)
MR = 10 x CBR = 10 x 4,15 % = 41,5 MPa
MR = 1500 x CBR = 1500 x 4,15% = 6225 psi
i. Koefisien Drainase
Dalam tabel 3.28 dan tabel 3.29 akan ditentukan nilai koefisien
drainase.
Tabel 3.28 Definisi Kualitas Drainase
= 0,856% < 1%
Dalam tabel 3.29 akan dijelaskan koefisien drainase untuk
memodifikasi kekuatan relative material untreated base dan subbase
pada perkerasan lentur. Berikut adalah tabel 3.29 dapat dilihat di
bawah ini.
Tabel 3.29 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien relative material
unreated base dan subbase pada perkerasan lentur.
Dari tabel di atas maka dapat diambil niali tengaj untuk menentukan
koefisien drainase sebesar 1,30.
3.6.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Dalam tabel 3.30 akan dijelaskan mengenai parameter – parameter perencanaan
tebal perkerasan lentur.
Tabel 3.30 Parameter – Parameter Yang Diperlukan Untuk Perencanaan Tebal
Perkerasan
No Parameter Desain
1 Lalu Lintas
Faktor distribusi arah, (DA) 0,5
Faktor distribusi lajur (DL) 90
Faktor umur rencana (N) 29,77
2 Reability (R) 85
Standar normal deviation (ZR) -1,037
Standar deviaton (So) 0,45
3 Terminal serviceability (IPt) 2,5
Intial serviccability (IPo) 3,7
Serviccability (∆psi) (IPt – Ipo) 1,2
4 Modulus resilen tanah dasar (MR) 40 Mpa
Modulus resilen lapisan pondasi bawah 200 Mpa
(Es)
Modulus resilen lapisan pondasi (E2) 1500 Mpa
Modulus resilen lapisan aspal (E1) 3000 Mpa
5 Koefisien Relatif
Koefisien Lapisan Aspal (a1) 0,42
Koefisien Lapisan Pondasi (a2) 0,35
Koefisien Lapisan Pondasi (a3) 0,17
6 Koefisien drainase (m2) 1,30
Koefisien drainase (m3) 1,30
b. Perhitungan Lintas Untuk Tebal Perkerasan
Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur yang direncanakan bisa
menggunakan perumusan seperti di bawah ini :
W18 = ∑LHRi x 365 x AE x DA x DL x N
Berikut adalah analisis dari perhitungan kendaraan yang akan digunakan untuk
perencanaan tebal perkerasan jalan raya yang akan ditunjukan dalam tabel
3.30 di bawah ini.
Tabel 3.31 Perhitungan Beban Lalu Lintas
= 6,25 in
= 15,87 cm
SN 1* = a1 × D1
= 0,4× 6,25
= 2,5
Menghitung D2
Menghitung D3
𝑆𝑁3−(𝑆𝑁1∗ +𝑆𝑁2∗) 3,5−(2,5 +3,29)
D3 = = = -16,013 in = - 40,673 cm
𝑎3𝑚3 0,11 𝑥1,30
Dilihat dari analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa lapis pondasi D3 tidak
diperlukan karena hasil dari analisis yang tidak memungkinkan untuk dipakai.
Dalam gambar 3,6 dapat dilihat hasil dari tebal perkerasan yang akan digunakan.
LASTON
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
2005 52 46 50 46 51 20 50 56 40 0 45 20
2006 52 54 56 55 14 12 207 0 0 15 28 69
2007 100 39 60 36 42 28 18 26 0 27 50.5 69
2008 43 40 42 31 50 29 13 32 25 20 32 42
2009 43 40 42 18 47 77 24 18 6 56 26 50
2010 32 72 36 20 22 28 36 40 32 32 24 21
2011 22 54 66 21 18 12 16 0 30 38 24 64
2012 51 50 39 100 17 25 14 3 19 17 70 40
2013 48 38 48 40 25 26 42 23 27 40 51 104
2014 107 26 104 21 46 15 22 33 6 33 36 46
Log X
t 1
t Log X 2
= n 1
K = faktor frekuensi, sebagai fungsi dari koefisien variasi (cv) dengan periode
ulang t. Nilai k dapat diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi peluang kumulatif
dan periode ulang. (faktor variabel reduksi Gauss untuk distribusi Log Normal 2
Parameter)
CS = koefisien kepencengan = 3 CV + CV3
CK = koefisien kurtosis
= CV8 + 6CV6 + 15CV4 + 16CV2 + 3
CV = koefisien variasi
= deviasi standar populasi ln X atau log X
= rata-rata hitung populasi ln X atau log X
b. Metoda Gumbel
Fungsi distribusi komulatif (CDF) dari ditribusi Gumbel dirumuskan:
F ( x) exp exp( y)
Dimana:
x
y
6
S
x 0.5772
Untuk x = xT maka
1 Tr
yT Ln Ln yT Ln Ln
F ( xT , Tr 1
Menurut Gumbel persamaan peramalan dinyatakan sebagai berikut:
xT x KT S
6 Tr
KT 0.5772 Ln Ln
Tr 1
Dimana:
yN = reduced mean
SN = reduced standar deviasi
Dimana:
2 adalah varian dan ( (x) adalah fungsi gamma
Garis besar dalam menghitungnya:
Ubah data hujan X1, X2, X3,.......Xn menjadi LogX1, LogX2, LogX3,.......LogXn.
Distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson Tipe
III dengan menggantikan data menjadi nilai logaritmik. Persamaan distribusi Log Pearson
Tipe III dapat ditulis sebagai berikut :
N 1
N 1
CK = koefisien kurtosis
n 2 logX logX
4
= n 1 n 2 n 3 S log X 4
Jenis Hasil
No. Syarat Kesimpulan
Distribusi Analisis
Cs = 3 1,632 Tidak
1 Log Normal
Cv + Cv3 = 12.497 19,406 Memenuhi
2 Log Pearson III Cs ≠ 0 1,632 Memenuhi
3 Gumbel Cs ≤ 1,1396 1,971 Tidak
Ck ≤ 5,4002 8,406 Memenuhi
Dari tabel di atas maka dapat diambil kesimpulan untuk distribusi curah hujan
rencana yang akan digunakan untuk perhitungan debit rencana adalah dengan cara
perhitungan distribusi Log Pearson III karena hasil yang didapatkan memenuhi
persyaratan yaitu nilai koefisien Skewness Cs ≠ 0.
Dimana :
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
t1 = Waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
t2 = Waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
Io = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
L = Panjang saluran (m)
nd = koefisien hambatan
is = kemiringan sauran memanjang
V = kecepatan air rata – rata pada saluran drainase (m/detik)
Tabel 3.39 Koefisien Hambatan (nd) berdasarkan kondisi permukaan
a. Menghitung t1
2 0,013 0,167
- t1 Aspal = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 7,0 𝑥 ) = 1,039 menit
√0,025
2 0,013 0,167
- t1 Bahu = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 2,5 𝑥 ) = 0,825 menit
√0,05
2 0,400 0,167
- t1 Taman dan kebun = ( 3 𝑥 3,28 𝑥 15 𝑥 ) = 1,973 menit
√0,05
= 5,1 menit
Adapun nilai kecepatan air rata – rata (V) sebesar 1,5 didapatkan dari tabel
3.40 di bawah ini :
Tabel 3.40 Kecepatan Aliran Air Yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material
= 711,166 mm/jam
5. Perhitungan besaran debit
A = ( A1 + A2 + A3 )
= ( 3220 + 1150 + 6900 )
= 11270 m2 = 0,01127 km2
C = 0,3
I = 711,166 mm/jam
Q = 0,278 C.I.A
= 0,278 x 0,3 x 711,166 x 0,01127
= 0,668 m3/detik
= 4,322
Q=VxA
= 4,322 x 0,18
= 0,778 m3/detik
Dari perhitungan di atas dapat diketahui nilai Q = 0,778 lebih besar dari
nilai Qp = 0,668, maka dimensi saluran dengan b = 0,6 dan h = 0,3 dapat
digunakan.
Dimana :
V = Kecepatan rata – rata dalam saluran (m/detik)
Q = Debit banjir rencana (m3/dtk)
n = Koefisien kekasaran manning
R = Radius hidrolik
Is = Kemiringan saluran
A = Luas tampang basah (m2)
P = Keliling bash saluran (m)
6. Menghitung tinggi jagaan
W = √0.5 ℎ
= √0.5 𝑥 0.3
= 0,38 m
Dimensi saluran drainase yang didapt dari hasil perhitungan dapat dilihat
dalam gambar 3.7 seperti di bawah ini :
0,389
ℎ= √ = 0,441 𝑚
2
dipakai, h = 0,5 m
b = 2h = 2 x 0,5 = 1 m
A = b x h = 1 x 0,5 = 0,5 m2
𝑄 0,778 𝑚
Kontrol kecepatan : 𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 = = = 1,556 𝑑𝑡 < 2 𝑚/𝑑𝑡
𝐴 0,5
Dari perhitungan diatas kecepatan gorong – gorong diketahui sebesar 1,556 m/dt
hasil tersebut lebih kecil dari kecepatan gorong – gorong yang diizinkan yaitu 2
m/dt. Maka dapat disimpulkan control kecepatan gorong – gorong sudah sesuai
dengan syarat yang ditentukan.
Menghitung keliling basah :
P = 2 ( b + h) = 2 (1 + 0,5) = 3 m
Menghitung jari – jari hidrolis :
𝐴 0,5
𝑅= = = 0,167 𝑚
𝑃 3
2 1
𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 = 𝐾 . 𝑅 3 . (𝐼𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 )2
𝑉𝑔𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔 2 1,556
=[ 2 ] ==[ 2 ]2 = 0,0164
𝐾. 𝑅3 40 . 0,1673
0,0005078
= ( 0,01989 + 4 𝑥 0,5 ) 𝑥 1,5
0,167
= 0,298
𝑆. 𝐿 𝑣 2
𝑧 = (1+𝑎+ 𝜆 )
4𝐹 2𝑔
0,167 𝑥 15 1,5562
= ( 1 + 0,5 + 0,298 ) 2 𝑥 10
4 𝑥 0,5
= 0,186 m
Jadi kehilangan energy yang terjadi pada gorong – gorong tersebut adalah sebesar
0,186 m
Menghitung kemiringan gorong – gorong :
𝑉𝑥𝑛
𝐼𝑠 = ( 2 )2
𝑅3
1,556 𝑥 0,012
=( 2 )2
0,1673
= 0,0379 = 3,79 %
(masih dalam rentang yang diizinkan 0,5 % - 2% maka kemiringan OK)
0,3
0,3