Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geometrik jalan dititikberatkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga
menghasilkan infrastruktur yang aman, pelayanan lalu lintas yang efisien dan
biaya pelaksanaan yang ekonomis. Laju pertumbuhan jalan yang tidak sesuai
dengan pertumbuhan pemakai jalan dapat menimbulkan berbagai masalah serius
jika tidak ditangani sejak dini. Masalah geometrik tikungan misalnya,
perencanaan tikungan yang tidak ideal dapat menimbulkan masalah seperti
kecelakaan lalu lintas. Untuk mengetahui kelayakan tersebut perlu adanya
peninjauan untuk mencari solusinya.
Jalan memiliki peranan penting dalam kehidupan diantaranya memperlancar
arus distribusi barang dan jasa, sebagai akses penghubung antar daerah yang satu
dengan daerah yang lain serta dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidup
masyarakat. Perkembangan ekonomi dapat tercapai dengan dukungan prasarana
jalan yang memadai. Dukungan tersebut dapat diwujudkan melalui usaha-usaha
antara lain menetapkan kondisi jalan dan pembangunan jalan yang memenuhi
standar perencanaan. Pembangunan jalan baru maupun peningkatan jalan yang
diperlukan sehubungan dengan penambahan kapasitas jalan raya, tentu akan
memerlukan metode yang efektif dalam perancangan agar diperoleh hasil yang
terbaik dan ekonomis, memenuhi unsur keamanan dan kenyamanan bagi
pengguna jalan.
Pelayanan jalan yang baik, aman, nyaman dan lancar akan terpenuhi jika
lebar jalan yang cukup dan tikungan-tikungan dibuat berdasarkan persyaratan
teknis geometrik jalan raya, baik alinyemen vertikal, alinyemen horizontal serta
tebal perkerasan itu sendiri, sehingga kendaraan yang melewati jalan tersebut
dengan beban dan kecepatan rencana tertentu dapat melaluinya dengan aman dan
nyaman. Oleh karena itu, pembangunan prasarana jalan bukalah hal yang mudah,
disamping membutuhkan dana yang tidak sedikit, juga diperlukan perencanaan
yang baik.

1
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Tujuan dari perencanaan geometrik ini adalah :
1. Mengetahui tata cara perencanaan geometrik jalan.
2. Mengetahui hasil perhitungan perencanaan geometrik jalan.
1.2.2 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari perencanaan geometrik ini adalah :
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan dalam merencanakan suatu
geometrik.
2. Sebagai salah satu bahan bacaan dalam merencanakan geometrik jalan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Geometrik

2.1.1 Pengertian
Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan route dari
suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang
dirancang berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapatkan dari hasil survey
lapangan, kemudian dianalisis berdasarkan acaun persyaratan perencanaan
geometrik yang berlaku. Acuan perencanaan yang dimaksud adalah sesuai dengan
standar perencanaan tersebut, dibuat oleh Direktorat Jendral Bina Marga.
(Hamirhan Saodang, 2010: 20)
2.1.2 Data lalu lintas
Data lalu lintas adalah data utama yang diperlukan untuk perencanaan
teknik jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung dari
komposisi lalu lintas yang akan menggunakan jalan pada suatu segmen jalan yang
ditinjau.
Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan
jumlah dan lebar lajur pada suatu jalur jalan dalam penentuan karakteristik
geometrik, sedangkan jenis kendaraan akan menentukan kelas beban atau MST
(Muatan Sumbu Terberat) yang berpengaruh langsung pada perencanaan
konstruksi perkerasan.
Analisis data lalu lintas pada intinya dilakukan untuk menentukan
kapasitas jalan, akan tetapi harus dilakukan bersamaan dengan perencanaan
geometrik dan lainnya karena saling berkaitan satu sama lain. (Shirley L.
Hendarsin, 2000: 64)
2.1.3 Survei topografi
Maksud survey topografi dalam perencanaan teknik jalan raya yaitu
pengukuran route yang dilakukan dengan tujuan memindahkan kondisi permukaan
bumi dari lokasi yang diukur pada kertas yang berupa peta planimetri. Peta ini
akan digunakan sebagai peta dasar untuk plotting perencanaan geometrik jalan
raya, dalam hal ini perencanaan alinyemen horizontal.
Kegiatan pengukuran untuk rencana teknik jalan raya ini sama dengan
pengukuran untuk rencana bangunan teknik sipil lainnya yang intinya adalah
melakukan pengukuran sudut dan jarak (horizontal) serta pengukuran beda tinggi
(vertikal). Akan tetapi pengukuran untuk rencana teknik jalan raya ini
mempertimbangkan pula jarak yang panjang, sehingga pengaruh bentuk lengkung
permukaan bumi juga diperhitungkan.
Sebaiknya pengukuran detail ini dilakukan sekitar 100 m - 200 m
dibelakang regu survey pemiliha route, agar dapat memberikan masukan (koreksi)
kepada regu pendahuluan mengenai route yang dipilih. (Shirley L. Hendarsin,
2000: 30)

2.2 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus


diidentifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan. Karena kriteria desain
suatu rencana jalan yng ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi
jalan rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar desain (baik untuk
jalan dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan kepada klasifikasi jalan
menurut undang-undang dan peraturan pamerintah yang berlaku. Klasifikasi jalan
dibagi menjadi beberapa kelompok (TCPGJAK, 1997), yaitu :
2.2.1 Klasifikasi jalan menurut fungsinya
Klasifikasi jalan, menurut fungsinya terbagi menjadi :
1) Jalan Arteri
Jalan arteri merupakan jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-
ciri perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
2) Jalan Kolektor
Jalan kolektor melayani angkutan dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan Lokal
Jalan lokal merupakan jalan yang melayani angkutan dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
4) Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan merupakan jalan angkutan lingkungan (jarak pendek dan
kecepatan rendah).
2.2.2 Klasifikasi jalan menurut kelas jalan
Klasifikasi jalan menurut kelasnya, terbagi menjadi dua, yaitu klasifikasi
jalan menurut kelas jalan dalam MST dan klasifikasi jalan menurut kelas jalan
dalam perhitungan LHR antara lain :
1) Klasifikasi jalan menurut kelas jalan dalam MST
Klasifikasi jalan menurut kelas jalan dalam MST (Muatan Sumbu
Terberat), merupakan penentuan kelas jalan bersarkan keampuan suatu
jalan dalam menerima beban lalu lintas yang ada pada jalan tersebut. MST
ini dinyatakan dalam satuan ton.
Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan dalam MST
Muatan Sumbu Terberat MST
No Fungsi Kelas
(ton)
I >10
1 Arteri II 10
III A 8
III A
2 Kolektor 8
III B
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2) Klasifikasi jalan menurut kelas jalan dalam LHR


Klasifikasi jalan menurut kelas jalan dalam LHR merupakan penentuan
kelas jalan berdasarkan kapasitas lalu lintas harian yang dilayani dalam
satuan smp.
Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan Dalam LHR
No Fungsi Kelas LHR dalam smp
1 Arteri I > 20.000
II A 6.000 sampai 20.000

Kolektor II B 1500 sampai 8000


2
II C <20.000
3 Lokal III -

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


a) Kelas I :
Kelas jalan ini mencangkup semua kelas jalan utama dan dimaksudkan
untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. Dalam kondisi lalu
lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
Jalan raya dalam kelas jalan ini merupakan jalan-jalan raya berlajur
banyak dengan kontruksi perkerasan dari jenis yang terbaik dalam arti
tingginya tingkatan dalam pelayanan lalu lintas.
b) Kelas II :
Kelas jalan ini mencangkup semua jalan-jalan sekunder. Dalam komposisi
lalu lintas terdapat lalu lintas lambat. Kelas jalan ini, selanjutnya
berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya, dibagi dalam tiga kelas,
yaitu : II A, II B dan II C.
 Kelas II A
Jalan Kelas II A adalah jalan-jalan raya sekunder dua lajur atau lebih
dengan konstruksi permukaan jalan dari sejenis aspal beton (hot mix)
atau yang setaraf, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat
kendaraan lambat dan tidak bermotor. Untuk lalu lintas lambat
disediakan jalur tersendiri.
 Kelas II B
Jalan Kelas II B adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan
kontruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf
dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat tanpa
kendaraan tidak bermotor.
 Kelas II C
Jalan Kelas II C adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan
kontruksi permukaan jalan dari penetrasi tunggal dimana dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak
bermotor.
c) Kelas III :
Kelas jalan ini mencangkup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan
kontruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Kontruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah peleburan dengan aspal.
2.2.3 Klasifikasi jalan menurut medan jalan
Klasifikasi jalan menurut medan jalan merupakan pengelompokan jalan
berdasarkan kondisi jalan sebagai besar kemiringan medan jalan yang diukur
tegak lurus garis kontur. Klasifiksi jalan menurut medan jalan ini dapat dilihat
pada tabel 2.3 sebagai berikut :

Tabel 2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan


Kemiringan
No. Jenis Medan Notasi Medan
Jalan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 - 25
3 Pegunungan G > 25

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


2.3 Bagian-Bagian Jalan

a. Lebar Jalur (Wc)


Lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas, tidak termasuk bahu jalan.
b. Lebar Bahu (Ws)
Lebar bahu disamping jalur lalu lintas direncanakan sebagai ruang untuk
kendaraan yang sekali-sekali berhenti, pejalan kaki dan kendaraan lambat.
c. Median (M)
Daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada suatu segmen jalan, terletak
pada bagian tengah (direndahkan / Ditinggikan).
Saluran
Samping

Lebar bahu Lebar jalur lalu lintas Lebar bahu

2 / 2 TB

Gambar 2.1 Tipikal Potongan Melintang Normal dan Denah Untuk 2 / 2 TB

Saluran
Samping

Lebar bahu Lebar jalur lalu lintas Median Lebar jalur lalu lintas Lebar bahu

4/2B

Gambar 2.2 Tipikal Potongan Melintang Normal dan Denah Untuk 4 / 2 B


Tabel 2.4 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan (m)

Arteri Kolektor Lokal


VLHR
Smp/hari Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu

< 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0

3.000 – 10.000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0

10.001 – 25.000 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 MENGACU PADA
TIDAK
2nx3, PERSYARATAN
> 25.000 2nx3,5 2,0 2x7,0 2,0 2,0 DITENTUKAN
5 IDEAL

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997)

2.3.1 Ruang penguasaan jalan

1) Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)

Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar, tinggi (min 5 meter) dan kedalaman tertentu (min 1,5 meter dari
permukaan jalan) yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan yang terdiri
atas badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman. (Peraturan
Pemerintah RI No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan).
2) Ruang Milik Jalan (Rumija)
Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tertentu di
luar ruang manfaat jalan. Ruang milik jalan diperuntukan bagi ruang
manfaat jalan , pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa
yang akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
(Peraturan Pemerintah RI No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan).
3) Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)
Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tertentu di
luar ruang manfaat jalan. Ruang milik jalan diperuntukan bagi ruang
manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa
yang akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
(Peraturan Pemerintah RI No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan).
RUMIJA
Batas Ketinggian Rumaja
RUMAJA
ambang
saluran
bahu
Jalur Lalu Lintas

Patok
batas
RUMIJA
BATAS KEDALAMAN RUMAJA

RUWASJA
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.3 Rumaja, Rumija, Ruwasja di Lingkungan Jalan Antar Kota

2.4 Kriteria Perencanaan

Untuk melakukan suatu perencanaan teknik jalan diperlukan beberapa


criteria sebagai pertimbangan utnuk mengoptimalkan hasil perencanaan.
Dampak lingkungan dan tata guna lajam di sepanjang jalan juga
merupakan pertimbangan dalam perencanaan, untuk mengantisipasi masalah yang
akan timbul dengan adanya jalan, baik masalah sosial maupun teknis. (Shirley
L.Hendarsin, 2000: 63)
Menurut (Shirley L. Hendarsin, 2000: 64-68) berikut ini adalah kriteria
yang digunakan dalam perencanaan antara lain :
2.4.1 Kendaraan rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran,
dan daya dari kendaraan-kendaraan yang mempergunakan jalan, kendaraan-
kendaraan tersebut umumnya dikelompokkan menjadi beberapa macam, seperti
mobil penumpang, bus/truk, semi trailer dan trailer.
Kendaraan rencana dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1) Kendaraan kecil diwakili oleh mobil penumpang.
2) Kendaraan sedang diwakili oleh truk tiga as tandem atau oleh bus besar
dua as.
3) Kendaraan besar diwakili truksemi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing katagori kendaraan rencana
ditunjukkan dalam tabel 2.5 dan sketsa dimensi kendaraan rencana pada gambar
2.2, 2.3 dan 2.4
Tabel 2.5 Dimensi Kendaraan Rencana
Kategori Radius Putar Radius
Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm)
Kendaraan (cm) Tonjolan
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min. Maks. (cm)
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.4 Dimensi Kendaraan Kecil


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.5 Dimensi Kendaraan Sedang

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.6 Dimensi Kendaraan Besar

2.4.2 Kecepatan rencana


Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan
yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalulintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing-masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari tabel 2.6
Tabel 2.6 Kecepatan Rencana (VR), Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan
Kecepatan Rencana (VR - km/jam )
Fungsi Jalan Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.4.3 Volume lalulintas


Volume lalu-lintas harian rata-rata (VLHR) adalah perkiraan volume lalu-
lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam satuan
mobil penumpang per hari (smp/hari). Berikut ini merupakan volume lalu lintas
antara lain :
1) Satuan Mobil Penumpang (SMP )
Satuan mobil penumpang adalah angka satuan kendaraan dalam hal
kapasitas jalan, dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi
kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan
ekivalen mobil penumpang.
Tabel 2.7 Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Jenis Kendaraan Nilai SMP
Sepeda 0,5
Mobil Penumpang / Sepeda 1,0
Motor
Pickup combi 1,2
Truk Ringan (< 5 ton ) 2,0
Truk Sedang (>5 ton ) 2,5
Truk Berat (>10 ton ) 3,0
Bus 3,0
Kendaraan Tak Bermotor 7,0
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2) Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Menurut (Silvia Sukirman, 1999) Faktor konservasi sebagai jenis
kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan lainnya
sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (Ekivalen mobil
penumpang = 1,0).
Tabel 2.8 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp)

No. Jenis Kendaraan Datar / Gunung


Bukit
1. Sedan, Jeep Station Wagon 1,0 1,0
2. Pick up, Bus kecil, Truck 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5
kecil
3. Bus dan Truck besar 1,2 – 5,0 2,2 – 6,0

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.4.4 Faktor laju pertumbuhan lalulintas


Faktor pertumbuhan laulintas berdasarkan data pertumbuhan series
(historical growth data) atau formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan yang
berlaku. Jika tidak tersedia data maka tabel faktor laju pertumbuhan lalu lintas
dapat digunakan (2015-2035) menurut manual desain perkerasan jalan (revisi Juni
2017) nomor 04/SE/Db/2017.
Tabel 2.9 Faktor Laju Pertumbuhan Lalulintas (i) (%)
Rata-rata
Jawa Sumatera Kalimantan
Indonesia
Arteri dan Perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75

Kolektor rural 3,50 3,50 3,50 3,50

Jalan desa 1,00 1,00 1,00 1,00


(Sumber : Manual desain perkerasan jalan, 2017)

2.4.5 Jarak pandang


Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada
saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan
yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari
bahaya tersebut dengan aman. (Shirley L.Hendarsin, 2000: 89-92)
Menurut ketentuan Bina Marga, jarak pandang terbagi menjadi dua antara
lain sebagai berikut :
1) Jarak pandang henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan
pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah
melihat adanya rintangan pada jalur yang dilaluinya. Jarak ini merupakan
dua jarak yang ditempuh sewaktu melihat benda hingga menginjak rem
dan jarak untuk berhenti setelah menginjak rem. Jh diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan
15 cm diukur dari permukaan jalan. Adapun jarak pandang henti terdiri
atas dua elemen jarak, yaitu:

a) Jarak tanggap (Jht)

Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak


pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem.
b) Jarak pengereman (Jhr)
Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
Jarak minimum ini harus dipenuhi dalam setiap bagian jalan raya.
Jh = Jht + Jhr ............................................................................ (2.1)
VR 2
VR ( )
3,6
Jh = . T + ........................................................ (2.2)
3,6 2 . g . Fp

Untuk persamaan (2.3) dapat disederhanakan menjadi :


Untuk jalan datar :
𝑉𝑅²
Jh = 0,278 . 𝑉𝑅 . 𝑇 + ........................................... (2.3)
254 . 𝐹𝑝

Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :


𝑉𝑅²
Jh = 0,278 . 𝑉𝑅 . 𝑇 + ................................... (2.4)
254 . ( 𝐹𝑝 ±𝐿 )

Keterangan :
VR = Kecepetan rencana (km/jam)
T = Waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
G = Percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det
Fp = Koefisien gesek memanjang antara badan kendaraan
dengan perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,28 – 0,45
(menurut AASHTO), fp akan semakin kecil jika
kecepatan (VR) semakin tinggi dan sebaliknya (menurut
Bina Marga, fp = 0,35 - 0,55).
L = Landai jalan dalam (%) dibagi 100

Tabel 2.10 menampilkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan


persamaan 2.3 dengan pembulatan-pembulatan untuk berbagai VR.
Tabel 2.10 Jarak Pandang Henti Minimum
V(km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum 250 175 120 75 55 40 27 16

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2) Jarak Pandang Mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memungkinkan suatu
kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali ke lajur semula.

TAHAP PERTAMA

A A C C

A B

d1 1/3 d2
2/3 d2
TAHAP KEDUA

C C A

A B B

d1 d2 d3 d4

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.7 Proses Gerakan Mendahului
Keterangan:
A = Kendaraan yang mendahului
B = Kendaraan yang berlawanan arah
C = Kendaraan yang didahului kendaraan A
Tabel 2.11 Jarak Kendaraan Mendahului dengan Kendaraan Datang
VR(km/jam) 50-65 65-80 80-95 95-110
Jh minimum (m) 30 55 75 90
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Tabel 2.12 Panjang Jarak Pandang Mendahului
VR(km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.5 Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.


Alinyemen horizontal juga dikenal dengan nama ”situasi jalan”. Alinyemen
horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis
lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah
busur peralihan, busur peralihan saja atau busur lingkaran saja. (Hamirhan
Saodang, 2010: 57)
Pada perencanaan alinyemen horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis
bagian jalan, yaitu bagian lurus dan bagian lengkung antara lain sebagai berikut:
(Shirley L.Hendarsin, 2000: 93)
a. Bagian lurus
Panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus dapat ditempuh dalam
waktu ≤ 2,5 menit (sesuai VR). Dengan memprtimbangkan keselamatan
pengemudi akibat dari kelelahan. (Shirley L.Hendarsin, 2000: 93)

b. Bagian Tikungan
Bagian tikungan terdiri dari :
1) Jari-jari Minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan
menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil.
Untuk mengimbangi gaya setrifugal tersebut, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi.
(Shirley L.Hendarsin, 2000: 93)
Jari – jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut :
𝑉²
Rmin = .............................................. (2.5)
127 . (𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠+𝑓 𝑚𝑎𝑘𝑠)

Keterangan :
Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)
V = kecepatan rencana (km/jam)
Emaks = superelevasai maksimum (%)
Fmaks = koefisien gesek (%)
Panjang Jari-jari tingkungan minimum (Rmin) dapat juga ditetapkan
dengan menggunakan tabel dibawah ini:
Tabel 2.13 Panjang Jari-Jari Minimum (Dibulatkan)
S
VR, 120 100 90 80 60 50 40 30 20
S (km/jam)
S Rmin (m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15
S
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2) Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya perubahan
alinyemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran (R = tak
terhingga R = Rc), jadi lengkung peralihan ini diletakkan antara bagian
lingkaran (circle), yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk
busur lingkaran. Lengkung peralihan dengan bentuk spiral (clotoid)
banyak digunakan juga oleh Bina Marga. Dengan adanya lengkung
peralihan, maka tikungan menggunakan jenis SCS. (Shirley
L.Hendarsin, 2000: 93)
Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Raya Antar Kota (TPGJAK) 1997, diambil nilai yang
terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
a) Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik) di lengkung
peralihan
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = . 𝑇 ................................................................................ (2.6)
3,6
b) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
𝑉𝑅³ 𝑉𝑅 . 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 . − 2,727 ........................................... (2.7)
𝑅. 𝐶 𝐶

c) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian


(𝑒𝑚−𝑒𝑛)
𝐿𝑠 = . 𝑉𝑅 .................................................................... (2.8)
3,6 . 𝑟𝑒

Keterangan:
T = waktu tempuh (3 detik)
R = jari-jari busur lingkaran
C = perubahan percepatan, 0,3 - 1,0 disarankan 0,4 m/det²
VR = kecepatan rencana (km/jam)
e = superelevasi
em = superelevasi maksimum
re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,
sebagai berikut :
untuk VR ≤ 70 km/jam re maks = 0,035 m/m/det
untuk VR ≥ 80 km/jam re maks = 0,025 m/m/det

Tabel 2.14 Jari-Jari yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan

V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Tabel 2.15 Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan Superlevasi
yang Dibutuhkan (e Maksimum = 10% Metoda Bina Marga)

(Sumber : Metode Bina Marga)


2.5.1 Menentukan titik koordinat

Berdasarkan gambar trase jalan rencana yang telah dibuat, setelah itu dapat
menentukan posisi titik koordinat. Posisi koordinat titik dari jalan diperoleh
dengan menggunakan program Google earth dan AutoCAD.
2.5.2 Menghitung panjang garis tangen

Perencanaan geometrik jalan raya merupakan perencanaan bentuk fisik


jalan dalam tiga dimensi. Untuk mempermudah dalam penggambaran bagian-
bagian perencanaan, maka bentuk fisik jalan digambarkan dalam bentuk
alinyemen horizontal atau trase jalan, alinyemen vertikal atau penampang jalan
dan potongan melintang.
Adapun perhitungan jarak titik-titik penting yang diperoleh dari pemilihan
rencana alinyemen horizontal dapat menggunakan rumus berikut ini.
d = √(X2 − X1 )2 + (Y2 − Y1 )2 .................................................... (2.9)
Keterangan:
d = Jarak titik A ke titik P1
X2 = Koordinat titik PI.1 pada sumbu X
X1 = Koordinat titik A pada sumbu X
Y2 = Koordinat titik PI.1 pada sumbu Y
Y1 = Koordinat titik A pada sumbu Y

(Sumber : Kontruksi jalan raya, 2004)


Gambar 2.8 Panjang Trase dari Titik A ke Titik B
2.5.3 Menghitung sudut azimuth dan sudut antara dua tangent (Δ)

Setelah menentukan koordinat dan menghitung panjang garis tangen maka


selanjutnya menghitung sudut azimuth dan sudut antara dua tangen dengan rumus
berikut ini :
XP1 −XA
αA = arc tg ............................................................. (2.10)
YP1 −YA

Azimuth A = 180° – αA .................................................................... (2.11)


XP2 −XP1
αP1 = arc tg ............................................................ (2.12)
YP2 −YP1

Azimuth P1 = 180° – αP1 ................................................................... (2.13)

∆1 = Azimuth αA (terbesar) – Azimuth αP1 (terkecil) ...... (2.14)

(Sumber : Kontruksi jalan raya, 2004)


Gambar 2.9 Sudut Azimuth dan Sudut Tangen
2.5.4 Menghitung medan jalan
Berdasarkan perhitungan rata-rata dari ketinggian muka tanah lokasi
rencana, maka dapat diketahui lereng melintang yang digunakan untuk
menentukan golongan medan, dapat dilihat pada tabel 2.3 apakah medan jalan
tersebut datar, perbukitan atau pegunungan.
2.5.5 Jenis-jenis tikungan
Pada perencanaan alinyemen horizontal umumnya digunakan tikungan
yang terdiri dari tiga jenis tikungan yang digunakan, yaitu: Full Circle (FC),
Spiral Circle Spiral (SCS), Spiral-Spiral (SS) antara lain sebagai berikut :

1) Tikungan Full Circle (FC)


Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan)
yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka
diperlukan superelevasi yang besar. (Shirley L.Hendarsin, 2000: 96)

Rumus yang digunakan pada tikungan Full Circle yaitu:

Fm = - 0,00065.Vr + 0,192 (untuk kec. < 80 km/jam) ................. 


𝑒𝑝+𝑒𝑛 𝑥+𝑒𝑛
= 3
𝐿𝑠 𝐿
4 𝑠
3
(𝑒𝑝+𝑒𝑛 ) . .𝐿
4 𝑠
X= – 𝑒𝑛 ............................................................. 
𝐿𝑠

𝑉2
Rmin = ................................................................... 
127(𝑒𝑚𝑎𝑥+𝐹𝑚)
181913,53(emaks+fmaks)
Dmax = .................................................... 
V2

1432,4
D = ................................................................................... 
R

𝑒𝑚𝑎𝑥 2 .𝑒𝑚𝑎𝑥
e =− 𝐷2 + 𝐷 .............................................. 
𝐷2 𝑚𝑎𝑥 𝐷𝑚𝑎𝑥


𝜃𝑠 = ........................................................................................... 
2

Tc =R . tan ½ 

Ec =Tc . tan ¼ (2.23)

𝝅
Lc = . ∆ . R ............................................................................... (2.24)
180

Kontrol = 2 . 𝑇𝒄 > 𝐿𝒄 ........................................................................... (2.25)


Keterangan :
Δ = Sudut tikungan atau sudut tangen
Tc = Jarak tangen jarak dari Tc ke PI ke CT (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
Ec = Panjang Luar PI ke busur lingkaran (m)
Lc = Panjang busur lingkaran (m)
Ts PI

Ec
Lc
CT
TC

∆/2 ∆/2

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.10 Bentuk Tikungan Full Circle

2) Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau
pegunungan, karena tikungan jenis ini memiliki lengkung peralihan uang
memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan
tersebut menjadi aman.
Lengkung Spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle
(transition curve) yang panjangnya diperhitungkan dengan
mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentrifugal dari nol sampai
mencapai bagian lengkung. Jari-ari yang diambil untuk tikungan Spiral
Circle Spiral haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak
mengakibatkan kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang
telah ditentukan.
Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah
sebagai berikut :
Fm = - 0,00065 . Vr + 0,192 (untuk kec. < 80 km/jam) ............... 

𝑉2
Rmin = ................................................................... 
127(𝑒𝑚𝑎𝑥+𝐹𝑚)
181913,53 (emaks+fmaks)
Dmax = ................................................... 
V2

1432,4
D = ................................................................................... 
R

𝑒𝑚𝑎𝑥 2 . 𝑒𝑚𝑎𝑥
e =– 𝐷2 + 𝐷 .................................................. 
𝐷2 𝑚𝑎𝑥 𝐷𝑚𝑎𝑥

Untuk menentukan nilai 𝐿𝑠 dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai


berikut :
a) Berdasarkan tabel Bina Marga
𝐿𝑠 1 = 50 m ..................................................................................... 
b) Berdasarkan waktu tempuh maksimum 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 2 = . T ................................................................................... 
3,6

c) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal


𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 3 = 0,022 – 2,727 ...................................................... 
𝑅. 𝐶 𝐶
d) Berdasarkan tingkat pencapaian kelandai
(𝑒𝑚−𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 4 = . V ........................................................................ 
3,6 . 𝑟𝑒

Berdasarkan dari 𝐿𝑠 Alternatif a, b, c, dan d diambil nilai yang terbesar

90 . 𝐿𝑠
Θs = ................................................................................... (2.35)
Π. R
∆c = ∆ – 2 . 𝜃𝑠 .............................................................................. (2.36)
𝐿𝑠 2
P = – R (1 – Cos 𝜃𝑠) ............................................................ (2.37)
6. 𝑅
𝐿𝑠 3
k = Ls – – R . sin 𝜃𝑠 ........................................................ (2.38)
40 . 𝑅 2

Ts = (R+P) tan 2 + k ..................................................................... (2.39)
( 𝑅+𝑃 )
Es = 1 – R ............................................................................. (2.40)
cos ∆
2

∆ − 2 . 𝜃𝑠
Lc = 𝜋 . 𝑅 ........................................................................ (2.41)
180
Ltotal = Lc + 2 . Ls ............................................................................ (2.42)
𝐿𝑠2
Xs = Ls (1 − ) ...................................................................... (2.43)
40 𝑅 2

𝐿𝑠 2
Ys = ....................................................................................... (2.44)
6. 𝑅
Kontrol = Ltotal < 2 . Ts ....................................................................... (2.45)
Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS-SC
(jarak lurus lengkung peralihan), (m)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, (m)
Ls = panjang lengkung peralihan (jarak TS-SC atau CS-ST),
(m)
Lc = panjang busur lingkaran (jarak SC-CS), (m)
Ts = jarak tangen dari PI ke TS atau ST, (m)
Es = jarak dari PI ke puncak busur lingkaran, (m)
∆ = sudut tikungan, (⁰)
∆c = sudut lengkung circle (⁰)
θs = sudut lengkung spiral, (⁰)
R = jari-jari tikungan, (m)
p = pergeseran tangen terhadap spiral, (m)
k = absis p pada garis tangen spiral, (m)
Ltotal = panjang tikungan SCS, (m)
PI

Ts Xs
Es

Ys k
SC
CS
TS ST
s
s
R p
R

c

O
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.11 Bentuk Tikungan Spiral Circle Spiral

3) Tikungan Spiral-Spiral (SS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang tajam. Lengkung
horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran,
sehingga SC berimpit dengan titik CS. Adapun rumus- rumus yang
digunakan pada tikungan spiral-spiral, yaitu :
Fm = - 0,00065.Vr + 0,192 (untuk kec. < 80 km/jam) ................. 

𝑉2
Rmin = .................................................................. 
127(𝑒𝑚𝑎𝑥+𝐹𝑚)

181913,53(emaks+fmaks)
Dmax = .................................................. 
V2

1432,4
D = ................................................................................... 
R
𝑒𝑚𝑎𝑥 2 .𝑒𝑚𝑎𝑥
e =– 2 𝐷2 + 𝐷𝑚𝑎𝑥
𝐷 ................................................... 
𝐷 𝑚𝑎𝑥

𝜃𝑠 = ............................................................................................. (2.51)
2

Untuk menentukan nilai 𝐿𝑠 dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai


berikut :
a) Berdasarkan tabel Bina Marga
𝐿𝑠 1 = 50 m ..................................................................................... 
b) Berdasarkan waktu tempuh maksimum 3 detik
𝑉
𝐿𝑠 2 = 3,6𝑅 . T .................................................................................... 

c) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal


𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 3 = 0,022 – 2,727 ...................................................... 
𝑅. 𝐶 𝐶
d) Berdasarkan tingkat pencapaian kelandai
(𝑒𝑚−𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 4 = . V ........................................................................ 
3,6 . 𝑟𝑒

𝐿𝑠 yang digunakan adalah sebagai berikut :


𝜃𝑠 . 𝜋 . 𝑅
𝐿𝑠 5 = .............................................................................. (2.56)
90
𝐿𝑠 5 > 𝐿𝑠 min, maka 𝐿𝑠 yang digunakan 𝐿𝑠 5

Misalkan s = 31,33° , maka dari tabel 2.16 Besaran p* dan k* didapat :

s = 31° p* = 0,0486115 k* = 0,4947620

s = 31,5° p* = 0,0495022 k* = 0,4945798

Interpolasi :

0,0495022 − 0,0486115
p* = 0,0486115 + x (31,33° - 31°)
31,5−31
= 0,0491993

0,4947620−0,4945798
k* = 0,4947620 + x (31,33° - 31°)
31,5−31

= 0,4948822
P = p* x Ls .................................................................................. (2.57)

K = k* x Ls .................................................................................. (2.58)


Ts = (R + P) tan 2+ K ................................................................... (2.59)

(𝑅+𝑃)
Es = 1 − 𝑅 ........................................................................... (2.60)
cos . 𝛥
2

Ltotal = 2 . Ls ..................................................................................... (2.61)

Kontrol = 2 . 𝐿𝑠 < 2 . 𝑇𝑠 ........................................................................ (2.62)


Keterangan:
Es = Jarak dari P1 ke busur lingkaran
Ts = Panjang tangent dari titik ke P1 ke titik TS atau ke titik
ST (m)
TS = Titik dari tangent ke spiral (m)
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m)
Rc = Jari-jari lingkaran (m)
Ɵs = Sudut Spiral
Δ = Sudut pertemuan antara tangent utama

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.12 Bentuk Tikungan Spiral Spiral
Tabel 2.16 Besaran p* dan k* Untuk Ls = 1 m

(Sumber: Konstruksi jalan raya, Geometrik jalan menurut J.Barnett)


2.5.6 Superelevasi
1) Pencapaian Superelevasi
Menurut (Shirley L.Hendarsin, 2000: 101) pencapaian superelevasi antara
lain sebagai berikut :
 Superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh
(superelevasi) pada bagian lengkung.
 Pada tikungan spiral-circle-spiral, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linier, diawali dari bentuk normal sampai lengkung peralihan
(TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.
 Pada tikungan full circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara
linier, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls.
 Pada tikungan spiral-spiral, pencapaian superelevasi seluruhnya
dilakukan pada bagian spiral.
 Superelevasi tidak diperlukan jika radius cukup besar (R), untuk itu
cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LN) atau bahkan tetap
 lereng normal (LN).

(Sumber: Perencanaan teknik jalan raya, 2000)


Gambar 2.13 Perubahan Kemiringan Melintang Pada Tikungan
2) Diagram Superelevasi
Berikut ini merupakan contoh diagram elevasi untuk tiap-tiap jenis
tikungan:
a) Tikungan Full Circle (FC)

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997)
Gambar 2.14 Pencapaian Superleveasi Tikungan Full Circle
b) Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997)
Gambar 2.15 Pencapaian Superleveasi Tikungan Spiral Circle Spiral
c) Tikungan Spiral- Spiral (SS)

(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/BM/1997)
Gambar 2.16 Pencapaian Superleveasi Tikungan Spiral Spiral

2.5.7 Daerah kebebasan samping di tikungan


Sesuai dengan panjang jarak pandangan yang dibutuhkan baik jarak
pandangan henti maupun jarak pandangan menyiap, maka pada tikungan perlu
diadakan jarak kebebasan samping. Jarak kebebasan samping ini merupakan jarak
yang diukur dari suatu as jalan ke suatu penghalang pandangan, misalnya
bangunan, kaki bukit, pohon dan hutan.
Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
pandangan di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E
(m), yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai ke objek penghalang
pandangan sehingga memenuhi persyaratan Jh.
Daerah bebas samping ditikungan di hitung berdasarkan jarak pandang
henti menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
1) Jika Jh < Lt
90 . 𝐽ℎ
E = R (1 – cos ) .................................................................. (2.63)
R
Keterangan :
E = jarak bebas samping (m)
R = jari-jari tikungan (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)

Tabel 2.17 Nilai E Untuk Jh < Lt


R VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
(m) J = 16 27 40 55 75 120 175 250
5000 1,6
3000 2,6
2000 1,9 3,9
1500 2,6 5,2
1200 1,5 3,2 6,5
1000 1,8 3,8 7,8
800 2,2 4,8 9,7
600 3,0 6,4 13,0
500 3,6 7,6 15,5
Rmax =
400 1,8 4,5 9,5
500
Rmax =
300 2,3 6,0
350
250 1,5 2,8 7,1
Rmax =
200 1,9 3,5
210
175 2,2 4,0
150 2,5 4,7
130 1,5 2,9 5,4
120 1,7 3,1 5,8
110 1,8 3,4 Rmax =
115
R VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
(m) J = 16 27 40 55 75 120 175 250
100 2,0 3,8
90 2,2 4,2
80 2,5 4,7
Rmax =
70 1,5 2,8
80
60 1,8 3,3
50 2,3 3,9
Rmax x =
40 3,0
50
Rmax =
30
30
20 1,6
15 2,1
Rmax =
15
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997).

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.17 Daerah Bebas Samping Ditikungan Untuk Jh < Lt
2) Jika Jh > Lt
90 . 𝐽ℎ 𝐽ℎ−𝐿𝑡 90 . 𝐽ℎ
E = R (1 − 𝐶𝑜𝑠 )+ ( 𝑆𝑖𝑛 ) .............................. (2.64)
𝑅 2 𝑅

Keterangan :
E = jarak bebas samping (m)
R = jari-jari tikungan (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)

Tabel 2.18 Nilai E Untuk Jh > Lt


R VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
(m) J = 16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1,6
5000 1,9
3000 1,6 3,1
2000 2,5 4,7
1500 1,5 3,3 6,2
1200 2,1 4,1 7,8
1000 2,5 4,9 9,4
800 1,5 3,2 6,1 11,7
600 2,0 4,2 8,2 15,6
500 2,3 5,1 9,8 18,6
Rmax =
400 1,8 2,9 6,4 12,2
500
Rmax =
300 1,5 2,4 3,9 8,5
350
250 1,8 2,9 4,7 10,1
Rmax =
200 2,2 3,6 5,8
210
175 1,5 2,6 4,1 6,7
150 1,7 3,0 4,8 7,8
130 2,0 3,5 5,5 8,9
120 2,2 3,7 6,0 9,7
Rmax =
110 2,4 4,1 6,5
115
100 2,6 4,5 7,2
90 1,5 2,9 5,0 7,9
R VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
(m) J = 16 27 40 55 75 120 175 250
80 1,6 3,2 5,6 8,9
Rmax =
70 1,9 3,7 6,4
80
60 2,2 4,3 7,4
50 2,6 5,1 8.8
Rmax x =
40 3,3 6,4
50
30 4,4 8,4
Rmax =
20 6,4
30
15 8,4
Rmax =
15
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)


Gambar 2.18 Daerah Bebas Samping Ditikungan Untuk Jh > Lt

2.5.8 Pelebaran perkerasan di tikungan


Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk
mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada
bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada
tikungan cinderung untuk keluar jalur akibat posisi roda depan dan roda belakang
yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan. (Shirley L. Hendarsin,
2000: 106)

Gambar 2.19 Bentuk Dimensi Kendaraan

Keterangan :
p = jarak antar gandar = 6,5 meter

A = tonjolan depan kendaraan = 1,5 meter

b = lebar kendaraan = 2,5 meter

Adapun rumus-rumus yang digunakan untuk perhitungan pelebaran jalan


pada tikungan menurut buku dasar-dasar perencanaan geometrik jalan (Silvia
Sukirman) sebagai berikut:

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

= √{√𝑅𝑐 2 − 64 + 1,25} + 64 √(𝑅𝑐 2 − 64) + 1,25 ............. (2.65)

Keterangan :
B = Lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan
ditikungan pada lajur sebelah dalam (m)
Rc = Radius lengkung untuk lintasan luar roda depan.

Untuk lintasan luar roda depan (Rc) dapat dicari dengan menggunakan
rumus dibawah ini :
1 1
Rc = R - Bn + b ............................................................................ (2.66)
4 2
Keterangan :
R = Jari-jari busur lingkaran pada tikungan (m)
Bn = Lebar total perkerasan pada bagian lurus (m)
b = Lebar Kendaraan Rencana (m)
Bt = n ( B + C ) + Z ............................................................................. (2.67)
Keterangan :
n = Jumlah jalur lalu lintas
B = Lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan
ditikungan pada lajur sebelah dalam (m)
C = Lebar kebebasan samping kiri dan kanan kendaraan1,0 m
Z = Lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi ditikungan
Dimana nilai lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi ditikungan (Z)
dapat dicari dengan menggunakan rumus dibawah ini :
𝑉
Z = 0,015 ........................................................................................ (2.68)
√𝑅
Keterangan :
V = Kecepatan Rencana (km / jam)
R = Jari-jari tikungan
∆b = Bt – Bn ........................................................................................ (2.69)
Keterangan :
∆b = Tambahan lebar perkerasan ditikungan (m)
Pelebaran perkerasan pada tikungan ini dimaksudkan untuk mengurangi
kemungkinan kendaraan akan keluar dari jalurnya karena dipicu dengan kecepatan
yang terlalu tinggi. Pelebaran ini dilakukan sepanjang pencapaian superelevasi.

2.6. Alinyemen Vertikal

Menurut (Hamirhan Saodang, 2010: 108) Alinyemen vertikal adalah


perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui
sumbu jalan, yang umumnya biasa disebut dengan profil/penampang memanjang
jalan.
2.6.1 Kelandaian alinyemen vertikal
Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi kelandaian alinyemen
vertikal antara lain :
1) Landai Minimum
Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng
melintang jalan dianggap sudah cukup untuk dapat mengalirkan air diatas
badan jalan yang selanjutnya dibuang ke lereng jalan.
Untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan
menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%
yang dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan
membuangnya ke saluran tepi atau saluran pembuangan. Sedangkan untuk
jalan-jalan didaerah galian atau jalan yang memakai kerb, kelandaian jalan
minimum yang dianjurkan adalah 0,30% – 0,50%. Lereng melintang jalan
hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan,
sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar
saluran samping, untuk membuang air permukaan sepanjang jalan.
(Hamirhan Saodang, 2010: 109)
2) Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kenderaan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian
maksimum didasarkan dikecepatan truk yang bermuatan penuh yang
mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. (Hamirhan
Saodang, 2010: 109)

Tabel 2.19 Kelandaian Maksimum


Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian Maksimum% 3 3 4 5 8 9 10 10
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

3) Panjang kritis suatu kelandaian


Panjang kritis yaitu panjang landau maksimum yang harus disediakan agar
kenderaan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh Vr. Lama perjalanan tersebut
ditetapkan tidak lebih dari satu menit. (Hamirhan Saodang, 2010: 110)
Tabel 2.20 Panjang Landai Kritis
Ke epatan pada awal Kelandaian (%)
tanjakan (km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

4) Lajur Pendakian
Pada jalur jalan dengan rencana volume lalu lintas yang tinggi, maka
kendaraaan berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan di
bawah kecepatan rencana (VR), sedangkan kendaraan lainnya masih dapat
bergerak dengan kecepatan rencana. Dalam hal ini sebaiknya dipertimbang
kan untuk membuat lajur tambahan di sebelah kiri lajur jalan. (Hamirhan
Saodang, 2010: 111)

Tabel 2.21 Lajur Pendakian Pada Kelandaian Khusus Jalan Luar Kota (2/2 TB)
Ambang arus lalulintas (kend/jam) tahun 1,
Jam puncak
Panjang
Kelandaian
3% 5% 7%
0,5 km 500 400 300
> 1 km 325 300 300
(Sumber : Konstruksi jalan raya, 2010)
2.6.2 Lengkung vertikal
Pergantian dari suatu kelandaian ke kelandaian berikutnya, dilakukan
dengan mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase.
(Hamirhan Saodang, 2010: 113)
Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang
lurus (tangen). Lengkung vertikal terbagi menjadi dua antara lain :
1) Lengkung vertikal cembung, adalah suatu lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada diatas permuakaan jalan.
PPV

Ev
y
+g1% -g2%

PLV PTV
x

Lv/2
Lv
(Sumber: Konstruksi jalan raya, 2010)
Gambar 2.20 Lengkung Vertikal Cembung

Keterangan :
G1 dan G2 = Besarnya kelandaian (%)
Tanda (+) = Pendakian
Tanda (-) = Penurunan
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
PPV = Titik perpotongan vertikal

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.21 Jarak Pandang Lengkung Vertikal Cembung

Untuk menentukan Panjang lengkung vertikal cembung, Lv dapat juga di


tentukan berdasarkan Grafik I pada Gambar 2.22 (untuk jarak pandang henti) dan
Grafik II dan III pada Gambar 2.23 dan 2.24 (untuk jarak pandang mendahului)
dibawah ini
(Sumber: Perencanaan teknik jalan raya, 2000)
Gambar 2.22 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan
Jarak Pandang Henti (Jh)
(Sumber: Perencanaan teknik jalan raya, 2000)
Gambar 2.23 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan
Jarak Pandang Mendahului
2) Lengkung vertikal cekung, adalah suatu lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangen berada dibawah permukaan jalan.

(Sumber: Konstruksi jalan raya, 2010)


Gambar 2.24 Lengkung Vertikal Cekung

Keterangan :
G1 dan G2 = Besarnya kelandaian (%)
Tanda (+) = Pendakian
Tanda (-) = Penurunan
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
PPV = Titik perpotongan vertikal

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.25 Jarak Pandang Lengkung Vertikal Cekung


(Sumber: Perencanaan teknik jalan raya, 2000)
Gambar 2.26 Grafik Panjang Lengkung Vertikal Cekung
2.7 Perencanaan Galian dan Timbunan

Didalam perencanaan jalan antar kota diusahakan agar volume galian sama
dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen horizontal dan
alinyemen vertikal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume
galian dan timbunan.
Langkah-langkah perhitungan galian dan timbunan :
a. Penentuan stasioning sehingga diperoleh panjang horizontal jalan dari
alinyemen horizontal (trase).
b. Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) untuk memperlihatkan
perbedaan tinggi muka tanah asli dengan tinggi muka perkerasan yang
akan direncanakan.
c. Gambarkan profil melintang pada tiap titik stasioning sehingga dapat luas
penampang galian dan timbunan.
d. Hitung volume galian dan timbunan dengan mengkalikan luas penampang
rata-rata dari galian atau timbunan dengan jarak antar patok.
3.1 Pehitungan Alinyemen Horizontal
Pada perhitungan alinyemen horizontal, diawali dengan penentuan trase jalan, adapun
gambar trase jalan rencana dapat dilihat pada gambar 3.1 sebagai berikut:

Gambar 3.1 Trase Rencana

3.3.1 Menentukan titik koordinat


Berdasarkan gambar trase jalan rencana yang telah dibuat, setelah itu dapat menentukan
posisi titik koordinat. Posisi koordinat titik dari jalan diperoleh dengan menggunakan program
Google earth dan AutoCAD, dan hasil pembacaan koordinat dimasukan pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Koordinat Titik Pengukuran


Koordinat

Titik X (m) Y (m)

A 133.0139 3787.9579

P1 1172.514 4507.7578

P2 3169.3385 4139.4819

P3 4340.7489 3230.6036

P4 6039.8006 2602.887

P5 7612.4362 4291.1998
Koordinat

Titik X (m) Y (m)

P6 9375.1307 4849.3838

B 9777\.1267 6115.7413

(Sumber : Hasil perhitungan 2021)

3.3.2 Perhitungan panjang trase jalan


Berikut ini menentukan dan menghitung panjang trase ataupun panjang garis tangen dari
titik A ke B adalah sebagai berikut :

Gambar 3.2 Panjang Trase dari Titik A ke Titik B

1) Jarak titik A ke titik P1

D1 = √(𝑥𝑃1 − 𝑥𝐴)2 + (𝑦𝑃1 − 𝑦𝐴)2


=√(1172,514 − 133,0139)2 + (4507,7578 − 3787,9579)2
= 1264,39 m
2) Jarak titik P1 ke titik P2

D2 = √(𝑥𝑃2 − 𝑥𝑃1)2 + (𝑦𝑃2 − 𝑦𝑃1)2


=√(3169,3385 − 1172,514)2 + (4139,4819 − 4507,7578)2
= 2030,50 m
3) Jarak titik P2 ke titik P3
D3 = √(𝑥𝑃3 − 𝑥𝑃2)2 − (𝑦𝑃3 − 𝑦𝑃2)2

= √(4340,7489 − 3169,3385)2 + (3230,6036 − 4139,4819)2


= 1482,65 m
4) Jarak titik P3 ke titik P4

D4 = √(𝑥𝑃4 − 𝑥𝑃3)2 + (𝑦𝑃4 − 𝑦𝑃3)2


= √(6039,8006 − 4340,7489)2 + (2602,887 − 3230,6036)2
= 1811,30 m
5) Jarak titik P4 ke titik P5

D5 = √(𝑥𝑃5 − 𝑥𝑃4)2 + (𝑦𝑃5 − 𝑦𝑃4)2


= √(7612,4362 − 6039,8006)2 + (4291,1998 − 2602,887)2
= 2307,29 m
6) Jarak titik P5 ke titik P6

D6 = √(𝑥𝑃6 − 𝑥𝑃5)2 − (𝑦𝑃6 − 𝑦𝑃5)2


= √(9375,1307 − 7612,4362)2 + (4849,3838 − 4291,1998)2
= 1848,96 m
7) Jarak titik P6 ke titik B

D7 = √(𝑥𝐵 − 𝑥𝑃6)2 − (𝑦𝐵 − 𝑦𝑃6)2


= √(9777,1267 − 9375,1307)2 + (6115,7413 − 4849,3838)2
= 1328,63 m

Tabel 3.3 Jarak Antar Titik Pengukuran


Jarak (m)

A – P1 1264,39

P1 – P2 2030,50

P2 – P3 1482,65

P3 – P4 1811,30

P4 – P5 2307,29
P5 – P6 1848,96

P6 – B 1328,63

(Sumber : Hasil perhitungan 2019)

3.3.3 Perhitungan sudut azimuth dan sudut antara dua tangen (Δ)
Berikut ini merupakan perhitungan sudut azimuth dan sudut antara dua tangen sebagai
berikut :
1) Sudut azimuth
𝑥𝑃1 − 𝑥𝐴
αA = arc tg ( )
𝑦𝑃1 − 𝑦𝐴
1172,514 − 133,0139
= arc tg ( )
4507,7578 − 3787,9579
+ 1039,5001
= arc tg ( )
+ 719,7999
= 55,29°
Sudut Azimuth (Kuadran I)
Azimuth A = α
= 55,29°

Gambar 3.3 Sudut Azimuth A


𝑥𝑃2 − 𝑥𝑃1
αP1 = arc tg ( )
𝑦𝑃2 − 𝑦𝑃1
3169,3385 − 1172,514
= arc tg ( )
4139,4819 − 4507,7578
+ 1996,8245
= arc tg ( )
− 368,2759
= - 79,55°
Sudut Azimuth (Kuadran II)
Azimuth P1 = 180° – 79,55°
= 100,45°

Gambar 3.4 Sudut Azimuth P1

𝑥𝑃3 − 𝑥𝑃2
αP2 = arc tg ( )
𝑦𝑃3 − 𝑦𝑃2
= arc tg 4340,7489 − 3169,3385
( )
3230,6036 − 4139,4819
+ 1171,4104
= arc tg ( )
− 908,8783
= - 52,19°
Sudut Azimuth (Kuadran II)
Azimuth P2 = 180° – 52,19°
= 127,81°

Gambar 3.5 Sudut Azimuth P2

𝑥𝑃4 – 𝑥𝑃3
αP3 = arc tg ( )
𝑦𝑃4 – 𝑦𝑃3
6039,8006 − 4340,7489
= arc tg ( )
2602,887 − 3230,6036
+ 1699,057
= arc tg( )
− 627,7166
= - 69,72°
Sudut Azimut (Kuadran II)
Azimuth P3 = 180° – 69,72°
= 110,28°
Gambar 3.6 Sudut Azimuth P3

𝑥𝑃5 – 𝑥𝑃4
αP4 = arc tg ( )
𝑦𝑃5 – 𝑦𝑃4
7612,4362 − 6039,8006
= arc tg ( )
4291,1998 − 2602,887
= arc tg + 1572,6356
( )
+ 1688,3128
= 42,96°
Sudut Azimuth (Kuadran I)
Azimuth P4 = α
= 42,96°

Gambar 3.7 Sudut Azimuth P4


𝑥𝑃6 – 𝑥𝑃5
αP5 = arc tg ( )
𝑦𝑃6 – 𝑦𝑃5
9375,1307 − 7612,4362
= arc tg ( )
4849,3838 − 4291,1998
= arc tg + 1762,6945
( )
+ 558,184
= 72,42°
Sudut Azimuth (Kuadran I)
Azimuth P5 = α
= 72,42°

Gambar 3.8 Sudut Azimuth P5

𝑥𝐵 – 𝑥𝑃6
αP6 = arc tg ( )
𝑦𝐵 – 𝑦𝑃6
9777,1267 − 9375,1307
= arc tg ( )
6115,7413 − 4849,3838
+ 401,996
= arc tg( )
+ 1266,3575
= 17,61°
Sudut Azimuth (Kuadran I)
Azimuth P6 = α
= 17,61°
Gambar 3.9 Sudut Azimuth P6

2) Sudut antara duatangen / bearing (Δ)


Δ1 = Azimuth A – Azimuth P1
= 100,45° – 55,29°
= 45,16°
Gambar 3.10 Sudut Bearing (Δ1)

Δ2 = Azimuth P2 – Azimuth P1
= 127,81° – 100,45°
= 27,36°
Gambar 3.11 Sudut Bearing (Δ2)

Δ3 = Azimuth P2 – Azimuth P3
= 127,81° – 110,28°
= 17,53°
Gambar 3.12 Sudut Bearing (Δ3)

Δ4 = Azimuth P4 – Azimuth P3
= 110,28° – 42,96°
= 67,32°
Gambar 3.13 Sudut Bearing (Δ4)

Δ5 = Azimuth P4 – Azimuth P5
= 72,42° – 42,96°
= 29,46°
Gambar 3.14 Sudut Bearing (Δ5)

Δ6 = Azimuth P6 – Azimuth P5
= 72,42° – 17,61°
= 54,81°
Gambar 3.15 Sudut Bearing (Δ6)

Tabel 3.4 Perhitungan Antara Sudut Dua Tangen


Jenis
No. Sudut Azimuth Sudut tangent (Δ)
Tikungan

1. A 55,29°
Δ1 45,16° SS

2. P1 100,45°

Δ2 27,36° SCS

3. P2 127,81°

Δ3 17,53° FC

4. P3 110,28°
Δ4 67,32° SS
5. P4 42,96°

Δ5 29,46° SCS

6. P5 72,42°

Δ6 54,81° SS
7. P6 17,61°

(Sumber : Hasil perhitungan 2019)

3.3.4 Perhitungan Tikungan


1) Tikungan 1
Jenis Tikungan Spiral – Spiral (SS)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emaks) = 10 %
 R = 150 m
 Δ (Bearing) = 45,16°
 Koefisien gesek (fm)
fm = 0,192 - 0,00065 . V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 - 0,00065 . 60 km/jam = 0.153
 Ls’ (Lengkung Peralihan fiktif) = 50 m(Tabel Metoda Bina Marga)
Penyelesaian :
V2 602
Rmin = = = 112,041 m < 150 m ok
127 (emax+Fm) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 9,55°
R 150
emax 2 .emax
e =– D2 + D
D2max Dmax
10% 2 . 10%
= –( . 9,55²) + ( . 9,55)
12,782 12,784

= 0,093 = 9,3 %

𝜃𝑠 = = 45,16° = 22,58°
2 2

Untuk menentukan nilai 𝐿𝑠 dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:


1. Berdasarkan waktu tempuh maks 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = .T
3,6
60
= .3
3,6
= 50 m
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 – 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
603 60 . 0,093
= (0,022 ) – (2,727 )
150 .0,4 0,4

= 40,91 m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 = .V
3,6 . 𝑟𝑒
(0,10 − 0,02)
= . 60
3,6 .0,035
= 38,10 m
𝐿𝑠yang digunakan adalah sebagai berikut :
𝜃𝑠 . 𝜋 . 𝑅
𝐿𝑠 =
90
22,58° . 𝜋 . 150
=
90
= 118,23 m
𝐿𝑠 > 𝐿𝑠min, maka 𝐿𝑠 yang digunakan 118,23 m
P = p* . Ls

= 0,0491993 . 118,23 m
= 4,03 m
K = k* . Ls

= 0,4948822 . 118,23 m

= 58,79 m

𝑇𝑠 = (R + P) tan + k
2
45,16°
= (150 + 4,03) tan ( ) + 58,79
2

= 122,85 m
( 𝑅+𝑃 )
𝐸𝑠 = 1 –R
cos2 . ∆

( 150 + 4,03 )
= 1 – 150
cos 2 . 45,16°

= 16,82 m
Ltotal = 2 . Ls
= 2 . 118,23 m
= 236,45 m
Kontrol = 2 . 𝐿𝑠 < 2 . 𝑇𝑠
= 2 . 118,23 m < 2 . 122,85 m
= 236,45 m < 245,69 m (OK )
2) Tikungan 2
Jenis Tikungan Spira – Circle - Spiral (SCS)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emax) = 10 %
 R = 200 m
 Δ (Bearing) = 27,36°
 Koefisien gesek
fm = 0,192 - 0,000652. V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 – 0,000652 . 60 km/jam = 0,153
Penyelesaian :
V2 602
Rmin = = = 112,041 m < 200 m ok
127 (emax+fm) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 7,162°
𝑅 200
emax 2 .emax
e =− D2 + D
D2max Dmax
10% 2 . 10%
= −( 2
. 7,1622) + ( . 7,162)
12,78 12,78

= 0,081 = 8,1 %

Untuk menentukan Ls dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :


1. Berdasarkan waktu tempuh maks 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = .T
3,6
60
= .3
3,6
= 50 m

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal


𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 − 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
603 60 . 0,081
= (0,022 ) − (2,727 )
200 .0,4 0,4

= 26,41 m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 = .V
3,6 . 𝑟𝑒
(0,10 − 0,02)
= . 60
3,6 . 0,035
= 38,10 m
4. Berdasarkan table Bina Marga Ls di dapat = 50 m
Berdasarkan dari Ls 1, 2, 3, dan 4 diambil nilai yang terbesar = 50 m
90 𝐿𝑠
𝜃𝑠 = .
𝜋 𝑅
90 50
= .
𝜋 200
= 7,165°
∆c = ∆ – 2 . 𝜃𝑠
= 27,360 – 2 . 7,1650
0
= 13,02
𝐿𝑠2
P = – R (1 – cos 𝜃𝑠)
6𝑅
502 – 200 (1 –
= cos 7,165)
6 .200
= 0,52 m
𝐿𝑠3
k = Ls – – R . sin 𝜃𝑠
40 . 𝑅 2
503
= 50 – – 200 .
sin 7,165
40 . 2002
= 24,97 m
𝛥
Ts = (R + P) tan + k
2
27,36
= (200 + 0,52) tan + 24,97
2
= 73,78 m
( ∆ − 2 . 𝜃𝑠)
Lc = . 𝜋 .𝑅
180
( 27,36 − 2 . 7,165)
= . 𝜋 . 200
180
= 45,46 m
( 𝑅+𝑃 )
Es = 1 –R
cos2 ∆

( 200+0,52 )
= – 200
cos1 . 27,36
2

= 6,38 m
Ltotal = Lc + 2 . Ls
= 45,46 + 2 . 50
= 145,46 m
𝐿𝑠2 𝐿𝑠2
x = Ls (1– 40 . 𝑅2) y =
6. 𝑅
502 502
= 50 (1– ) =
40 . 2002 6 . 200

= 49,92 m = 2,08 m

Kontrol
Ltotal < 2 . Ts
145,46 m < 2 . 73,78 m
145,46 m < 147,56 m (OK)
3) Tikungan 3
Jenis Tikungan Full Circle (FC)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emax) = 10 %
 R = 500 m
 Δ (Bearing) = 17,53°
 Koefisien gesek
fm = 0,192 - 0,000652. V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 – 0,000652 . 60 km/jam = 0,153
Penyelesaian :
Berdasarkan tabel 2.15, untuk tipe lengkung Full Circle dengan kecepatan rencana (V) =
60 km/jam dan jari-jari (R) = 1100 m maka didapat ep = 2 % dan Ls = 50 m

Menentukan kemiringan titik pada TC6 dan CT6

𝑒𝑝+𝑒𝑛 𝑥+𝑒𝑛
=
𝐿𝑠 3
. 𝐿𝑠
4
3
(𝑒𝑝+𝑒𝑛) . 𝐿𝑠
X = 4 – 𝑒𝑛
𝐿𝑠
3
(2 % + 2 %) . 50
X = 4 – 2%
50
X = 1%
3
Ls 1 Ls
4 4 ep = 2%

X=1%
Sumbu Jalan

en = 2%
Gambar 3.1 Perhitungan Nilai X Sada Superelevasi

𝑉2 602
Rmin = = = 112,041 m < 500 m ok
127 (𝑒𝑚𝑎𝑥+𝐹𝑚) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 2,86°
𝑅 500
𝑒𝑚𝑎𝑥 2 .𝑒𝑚𝑎𝑥
e =− 𝐷2 + 𝐷
𝐷2𝑚𝑎𝑥 𝐷𝑚𝑎𝑥
10% 2 .10%
= −( 2
. 2,862) + ( . 2,862)
12,78 12,78

= 0,039 = 3,9 %

𝜃𝑠 = = 17,53° = 8,77°
2 2
1
𝑇𝒄 = R . tan ∆
2
1
= 500 . tan . 17,53°
2
= 77,09 m
1
𝐸𝒄 = 𝑇𝒄 . tan . ∆
4
1
= 77,09 . tan . 17,53°
4
= 5,90 m
𝝅
𝐿𝒄 = . ∆ .R
180
𝝅
= . 17,53 . 500
180
= 152,90 m
Kontrol = 2 . 𝑇𝒄 > 𝐿𝒄
= 2 . 77,09 m > 152,90 m
= 154,18 m > 152,90 m (OK)

4) Tikungan 4
Jenis Tikungan Spiral – Spiral (SS)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emaks) = 10 %
 R = 150 m
 Δ (Bearing) = 67,32°
 Koefisien gesek (fm)
fm = 0,192 - 0,00065 . V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 - 0,00065 . 60 km/jam = 0.153
 Ls’ (Lengkung Peralihan fiktif) = 50 m(Tabel Metoda Bina Marga)
Penyelesaian :
V2 602
Rmin = = = 112,041 m < 150 m ok
127 (emax+Fm) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 9,55°
R 150
emax 2 .emax
e =– D2 + D
D2max Dmax
10% 2 . 10%
= –( . 9,55²) + ( . 9,55)
12,782 12,784

= 0,093 = 9,3 %

𝜃𝑠 = = 67,32° = 33,66°
2 2
Untuk menentukan nilai 𝐿𝑠 dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Berdasarkan waktu tempuh maks 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = .T
3,6
60
= .3
3,6
= 50 m
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 – 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
603 60 . 0,093
= (0,022 ) – (2,727 )
150 .0,4 0,4

= 40,91 m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 = .V
3,6 . 𝑟𝑒
(0,10 − 0,02)
= . 60
3,6 .0,035
= 38,10 m
4. 𝐿𝑠yang digunakan adalah sebagai berikut :
𝜃𝑠 . 𝜋 . 𝑅
𝐿𝑠 =
90
33,66° . 𝜋 . 150
=
90
= 176,24 m
𝐿𝑠 > 𝐿𝑠min, maka 𝐿𝑠 yang digunakan 176,24 m
P = p* . Ls

= 0,0491993 . 176,24 m
= 9,36 m
K = k* . Ls

= 0,4948822 . 176,24 m

= 87,02 m

𝑇𝑠 = (R + P) tan + k
2
67,32°
= (150 + 9,36) tan ( ) + 87,02
2

= 193,14 m
( 𝑅+𝑃 )
𝐸𝑠 = 1 –R
cos2 . ∆

( 150 + 9,36 )
= 1 – 150
cos 2 . 67,32°

= 41,46 m
Ltotal = 2 . Ls
= 2 . 176,24 m
= 352,48 m
Kontrol = 2 . 𝐿𝑠 < 2 . 𝑇𝑠
= 2 . 176,24 m < 2 . 193,14 m
= 352,48 m < 386,27 m (OK)
5) Tikungan 5
Jenis Tikungan Spira – Circle - Spiral (SCS)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emax) = 10 %
 R = 200 m
 Δ (Bearing) = 29,46°
 Koefisien gesek
fm = 0,192 - 0,000652. V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 – 0,000652 . 60 km/jam = 0,153
Penyelesaian :
V2 602
Rmin = = = 112,041 m < 200 m ok
127 (emax+fm) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 7,162°
𝑅 200
emax 2 .emax
e =− D2 + D
D2max Dmax
10% 2 . 10%
= −( . 7,1622) + ( . 7,162)
12,782 12,78

= 0,081 = 8,1 %
Untuk menentukan Ls dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :
1. Berdasarkan waktu tempuh maks 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = .T
3,6
60
= .3
3,6
= 50 m

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal


𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 − 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
603 60 . 0,081
= (0,022 ) − (2,727 )
200 .0,4 0,4

= 26,41 m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 = .V
3,6 . 𝑟𝑒
(0,10 − 0,02)
= . 60
3,6 . 0,035
= 38,10 m
4. Berdasarkan table Bina Marga Ls di dapat = 50 m
Berdasarkan dari Ls 1, 2, 3, dan 4 diambil nilai yang terbesar = 50 m
90 𝐿𝑠
𝜃𝑠 = .
𝜋 𝑅
90 50
= .
𝜋 200
= 7,165°
∆c = ∆ – 2 . 𝜃𝑠
= 29,460 – 2 . 7,1650
0
= 15,13
𝐿𝑠2
P = – R (1 – cos 𝜃𝑠)
6𝑅
502
– 200 (1 –
= cos 7,165)
6 .200
= 0,52 m
𝐿𝑠3
k = Ls – – R . sin 𝜃𝑠
40 . 𝑅 2
503
= 50 – – 200 .
sin 7,165
40 . 2002
= 24,97 m
𝛥
Ts = (R + P) tan + k
2
29,46
= (200 + 0,52) tan + 24,97
2
= 77,69 m
( ∆ − 2 . 𝜃𝑠)
Lc = . 𝜋 .𝑅
180
( 29,46 − 2 . 7,165)
= . 𝜋 . 200
180
= 52,78 m
( 𝑅+𝑃 )
Es = 1 –R
cos2 ∆

( 200+0,52 )
= – 200
cos1 . 29,46
2

= 7,34 m
Ltotal = Lc + 2 . Ls
= 52,78 + 2 . 50
= 152,78 m
𝐿𝑠2 𝐿𝑠2
x = Ls (1– 40 . 𝑅2) y =
6. 𝑅
502 502
= 50 (1– ) =
40 . 2002 6 . 200

= 49,92 m = 2,08 m

Kontrol
Ltotal < 2 . Ts
152,78 m < 2 . 77,69 m
152,78 m < 155,38 m (OK)
6) Tikungan 6
Jenis Tikungan Spiral – Spiral (SS)
Dengan :
 Kecepatan rencana (V) = 60 km/jam
 Miring tikungan normal (en) =2%
 Miring tikungan maksimum (emaks) = 10 %
 R = 150 m
 Δ (Bearing) = 54,81°
 Koefisien gesek (fm)
fm = 0,192 - 0,00065 . V (kecepatan < 80 Km/jam)
fm = 0,192 - 0,00065 . 60 km/jam = 0.153
 Ls’ (Lengkung Peralihan fiktif) = 50 m(Tabel Metoda Bina Marga)
Penyelesaian :
V2 602
Rmin = = = 112,041 m < 150 m ok
127 (emax+Fm) 127 (0,10+0,153)
1432,4 1432,4
Dmax = = = 12,78°
Rmin 112,04

1432,4 1432,4
D = = = 9,55°
R 150
emax 2 .emax
e =– D2 + D
D2max Dmax
10% 2 . 10%
= –( . 9,55²) + ( . 9,55)
12,782 12,784

= 0,093 = 9,3 %

𝜃𝑠 = = 54,81° = 27,41°
2 2

Untuk menentukan nilai 𝐿𝑠 dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut:


1. Berdasarkan waktu tempuh maks 3 detik
𝑉𝑅
𝐿𝑠 = .T
3,6
60
= .3
3,6
= 50 m
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
𝑉3 𝑉. 𝑒
𝐿𝑠 = 0,022 – 2,727
𝑅. 𝐶 𝐶
603 60 . 0,093
= (0,022 ) – (2,727 )
150 .0,4 0,4

= 40,91 m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian kelandaian
(𝑒𝑚 − 𝑒𝑛 )
𝐿𝑠 = .V
3,6 . 𝑟𝑒
(0,10 − 0,02)
= . 60
3,6 .0,035
= 38,10 m
4. 𝐿𝑠yang digunakan adalah sebagai berikut :
𝜃𝑠 . 𝜋 . 𝑅
𝐿𝑠 =
90
27,41° . 𝜋 . 150
=
90
= 143,49 m
𝐿𝑠 > 𝐿𝑠min, maka 𝐿𝑠 yang digunakan 143,49 m
P = p* . Ls

= 0,0491993 . 143,49 m
= 6,04 m
K = k* . Ls

= 0,4948822 . 143,49 m
= 71,16 m

𝑇𝑠 = (R + P) tan + k
2
54,81°
= (150 + 6,04) tan ( ) + 71,16
2

= 152,07 m
( 𝑅+𝑃 )
𝐸𝑠 = 1 –R
cos2 . ∆

( 150 + 6,04 )
= 1 – 150
cos 2 . 54,81°

= 25,77 m
Ltotal = 2 . Ls
= 2 . 143,49 m
= 286,98 m
Kontrol = 2 . 𝐿𝑠 < 2 . 𝑇𝑠
= 2 . 143,49 m < 2 . 152,07 m
= 286,98 m < 304,13 m (OK )
3.3. 5 Perhitungan Kontrol Overlapping

Untuk mengetahui apakah hasil perencanaan geometrik alinyemen horizontal tidak terjadi
overlapping, maka diperlukan perhitungan kontrol overlapping antara lengkung horizontal yang
satu dengan yang lain.
a. Titik awal proyek (A) dengan Tikungan 1 (S-S)
TS1 + 30m <d1
122,85 + 30 m < 1264,39 m
152,85 m < 1264,39 m → OK

b. Tikungan 1 (S-S) dengan Tikungan 2 ( S-C-S)


(S-S) →(S-C-S)
TS1 + TS2 + 30m <d2
122,85 + 73,78 + 30m <2030,50 m
226,63 <2030,50 m → OK

c. Tikungan 2 (S-C-S) dengan Tikungan 3 (F-C)


(S-C-S) → (F-C)
3
TS2 + TC3 + 4 𝐿𝑠 ′ + 30m <d3
3
73,78 + 77,09 + 50 + 30m <1482,65 m
4

218,37 m <1482,65 m → OK

d. Tikungan 3 (F-C) dengan Tikungan 4 (S-S)


(F-C) → (S-S)
3
TC3 + TS4 + 4 𝐿𝑠 ′ + 30m <d4
3
77,09 + 193,14 + 50 + 30m <1811,30 m
4

337,73 m <1811,30 m → OK

e. Tikungan 4 (S-S) dengan Tikungan 5 (S-C-S)


(S-S) → (S-C-S)
3
TS4 + TS5 + 4
𝐿𝑠 ′ + 30m <d6
3
193,14 + 77,69 + 4
50 + 30 m <1326,388 m

338,33 m <1326,388 m → OK

f. Tikungan 6 (S-C-S) dengan Titik akhir proyek (B)


TS6 + 30m <B

152,07 + 30 m <1328,63 m

182,07 m <1328,63 m → OK
3.3.6 Penentuan Stasioning
Awal proyek STA A = 10+000
a. Tikungan 1 ( Spiral –Spiral )
dA – PI.1 = 1264,39 m
STA TS1 = STA titik A + ((dA – PI.1) –TS1)
= (0 + 000) + (1264,39– 122,85)
= 0 + (000 + 1141,54)
= 1+ 141,54m
= 1 +141,54 m
STA ST1 = STA TS1 + Ltotal
= 1141,54 + 236,45
= 1377,99m
= 1 + 377,99

b. Tikungan 2 ( Spiral – Circle – Spiral )


d PI.1 – PI.2 = 2030,50 m
STA TS2 = STA ST1 + (d PI.2 – d PI.3) – (TS1 + TC2)
= 1377,99 + (2030,50) – (73,78+ 152,90)
= 3181,72 m
= 3 + 181,72
STA SC2 = STA TS2 + Ls
= 3181,72+ 50
= 3231,72 m
= 3 + 231,72
STA CS2 = STA SC2 + Lc
= 3231,72 + 45,46
= 3277,18 m
= 3 + 277,18
STA ST2 = STA CS2 + Ls
= 3277,18 + 50
= 3327,18m
= 3 + 327,18
c. Tikungan 3 ( Full Circle)
d PI.2 – PI.3 = 1482,65 m
STA TS3 = STA ST2 + (d PI.2 – d PI.3) – (TS2 + TC3)
= 3327,18+ (1482,65)– (73,78 + 77,09)
= 4658,96m
= 4 + 658,96
STA ST3 = STA ST3 + Lc
= 4658,96+ 152,90
= 4811,86m
= 4 + 811,86

d. Tikungan 4 ( Spiral –Spiral )


dPI.3 – PI.4 = 1811,30 m
STA TS4 = STA TS3+ ((d3 – P4.1) –TS4)
= 4811,86 + (1811,30 – 193,14)
= 6430,02 m
= 6 + 430,02
STA ST4 = STA TS4 + Ltotal
= 6430,02 + 352,48
= 6782,50 m
= 6 + 782,50

e. Tikungan 5 ( Spiral – Circle – Spiral )


d PI.4 – PI.5 = 2307,29 m
STA TS5 = STA ST4 + (d PI.4 – d PI.5) – (TS4 + TS5)
= 6782,50 + (2307,29) - (193,14 +77,69)
= 8818,96 m
= 8 + 818,96
STA SC5 = STA TS5 + Ls
= 8818,96 + 50
= 8868,96 m
= 8 + 868,96
STA CS5 = STA SC5 + Lc
= 8868,96 + 52,78
= 8921,74 m
= 8 + 921,74
STA ST5 = STA CS5 + Ls
= 8971,74 + 50
= 8971,74 m
= 8 + 971,74

f. Tikungan 6 ( Spiral –Spiral )


dPI.5 – PI.6 = 1848,96 m
STA TS6 = STA TS6 + ((dA – PI.1) –TS6)
= 8971,74 + (1848,96– 152,07)
= 10668,63 m
= 10 + 668,63
STA ST6 = STA TS6 + Ltotal
= 10668,63 + 286,98
= 10955,61 m
= 10 + 955,61

Akhir proyek STA B


d PI.6 – B = 1328,63 m
STA B = STA ST6 + (d PI.6 – B) – TS6)
= 10955,61 + (1328,63 – 152,07)
= 12132,17 m
= 12 + 132,17
3.3.7 Perhitungan Kebebasan Samping Pada Tikungan
Kebebasan samping pada tikungan dapat ditinjau berdasarkan yaitu jarak pandang henti:
1. Berdasarkan jarak pandang henti
Perhitungan berdasarkan jarak pandang henti ini diambil 3 jenis tikungan yang mewakili dari
tikungan Full Circle, Spiral-Circle-Spiral, Spiral-Spiral. Selanjutnya perhitungan akan dibuat
dan ditampilkan dalam bentuk tabel untuk semua jenis tikungan. Adapun untuk perhitungan
kebebasan samping pada tikungan berdasarkan jarak pandang henti adalah sebagai berikut :

a. Tikungan 1 (Spiral- Spiral)

Vr = 60 km/jam

R = 150 m
Jh = 75 m (dari Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Tabel II.10)
Perhitungan :
90x Jh
θ =( )
xR
90x 75
θ =( )
 x 150
= 14,324

E = R {1 – cos θ }

= 150 {1 – cos 14,324}

= 4,66 m

b. Tikungan 2 (Spiral-Circle-Spiral)

Vr = 60 km/jam

R = 250 m
Jh = 75 m (dari Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Tabel II.10)
Perhitungan :
90x Jh
θ =( )
xR
90x 75
θ =( )
 x 250
= 8,594
E = R {1 – cos θ }

= 250 {1 – cos 8,594}


= 2,81 m

c. Tikungan 3 (Full Circle)

Vr = 60 km/jam

R = 750 m
Jh = 75 m (dari Tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
Tabel II.10)
Perhitungan :
90x Jh
θ =( )
xR
90x 75
θ =( )
 x 750
= 2,86

E = R {1 – cos θ }

= 750 {1 – cos 2,86}


= 0,93 m
Untuk perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3.12.
Tabel 3.10 Hasil Perhitungan Kebebasan Samping Berdasarkan Jh
Tikungan Vr Jh R 𝛉 E
Tikungan 1 60 75 150 14,32 4,66

Tikungan 2 60 75 250 8,59 2,81


Tikungan 3 60 75 750 2,86 0,93
Tikungan 4 60 75 150 14,32 4,66

Tikungan 5 60 75 250 8,59 2,81


Tikungan 6 60 75 150 14,32 4,66

(Hasil Perhitungan 2019)


3.3.8 Perhitungan Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk mempertahankan
kendaraan tetap pada lintasannya.

1. Tikungan 1 ( Spiral - Spiral )


Didalam perencanaan digunakan:
V = 60 km/jam
R = 150 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)

Perhitungan :
1 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 150 – (7) + ( 2,5)
4 2
= 149,5 m

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√149,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √149,5 2 − 64 +1,25

= 2,712 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,514 m
√R √150

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,712 + 1,0) + 0,514
= 7,938 m

Δb = Bt – Bn
= 7,938 m – 7 m
= 0,938 m > 0,6 ( perlu pelebaran)

2. Tikungan 2 ( Spiral – Circle - Spiral )

Didalam perencanaan digunakan:


V = 60 km/jam
R = 250 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)

Perhitungan :

1 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 250 – (7) + ( 2,5) = 149,5 m
4 2

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√249,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √249,5 2 − 64 +1,25

= 2,67 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,398 m
√R √250

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,67 + 1,0) + 0,398
= 7,738 m

Δb = Bt – Bn
= 7, 738 m – 7 m
= 0,73 m > 0,6 ( perlu pelebaran)

3. Tikungan 3 ( Full Circle )


Didalam perencanaan digunakan:
V = 60 km/jam
R = 750 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)

Perhitungan :
7 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 750 – (7) + ( 2,5)
4 2
= 749,5 m

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√749,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √749,5 2 − 64 +1,25

= 2,54 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,23 m
√R √750

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,54 + 1,0) + 0,23
= 7,31 m

Δb = Bt – Bn
= 7, 31 m – 7 m
= 0,31 m < 0,6 ( Tidak perlu pelebaran)

4. Tikungan 4 ( Spiral - Spiral )


Didalam perencanaan digunakan:
V = 60 km/jam
R = 150 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)
Perhitungan :
1 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 150 – (7) + ( 2,5)
4 2
= 149,5 m

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√149,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √149,5 2 − 64 +1,25

= 2,712 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,514 m
√R √150

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,712 + 1,0) + 0,514
= 7,938 m

Δb = Bt – Bn
= 7,938 m – 7 m
= 0,938 m > 0,6 ( perlu pelebaran)

5. Tikungan 5 ( Spiral – Circle - Spiral )

Didalam perencanaan digunakan:


V = 60 km/jam
R = 250 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)

Perhitungan :
1 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 250 – (7) + ( 2,5) = 149,5 m
4 2

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√249,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √249,5 2 − 64 +1,25

= 2,67 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,398 m
√R √250

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,67 + 1,0) + 0,398
= 7,738 m

Δb = Bt – Bn
= 7, 738 m – 7 m
= 0,73 m > 0,6 ( perlu pelebaran)

6. Tikungan 6 ( Spiral - Spiral )


Didalam perencanaan digunakan:
V = 60 km/jam
R = 150 m
n = 2 lajur
Bn = 7 m
C = 1,0 m
b = 2,5 m
p = Jarak antar gandar (6,5 m)
A = Tonjolan depan kendaraan (1,5 m)

Perhitungan :
1 1
Rc = R – Bn + b
4 2
1 1
= 150 – (7) + ( 2,5)
4 2
= 149,5 m

1 2 1
B = √(√Rc 2 − (p + A)2 + 2 b) + (p + A)2 − √Rc 2 − (p + A)2 + 2 𝑏

2
= √(√Rc 2 − 64 + 1,25) + 64 − √Rc 2 − 64 +1,25

2
= √(√149,5 2 − 64 + 1,25) + 64 − √149,5 2 − 64 +1,25

= 2,712 m
0,105 × V 0,105 × 60
Z = = = 0,514 m
√R √150

Bt = n (B + C) + Z
= 2 (2,712 + 1,0) + 0,514
= 7,938 m

Δb = Bt – Bn
= 7,938 m – 7 m
= 0,938 m > 0,6 ( perlu pelebaran)
Hasil perhitungan pelebaran perkerasan pada tikungan-tikungan selanjutnya dapat dilihat pada
tabel 3.9 Sebagai berikut :

Tabel 3.11 Perhitungan pelebaran perkerasan pada tikungan

V R Rc C B Z Bt ∆b
No Keterangan
(km/jam) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
1 60 150 149,5 1 2,71 0,51 7,93 0,93 Perlu pelebaran
2 60 250 149,5 1 2,67 0,398 7,738 0,73 Perlu pelebaran
3 60 750 749,5 1 2,54 0,23 7,31 0,31 perlu pelebaran
4 60 150 749,5 1 2,54 0,23 7,31 0,31 Tidak Perlu pelebaran
5 60 250 149,5 1 2,67 0,398 7,738 0,73 perlu pelebaran
6 60 150 149,5 1 2,71 0,51 7,93 0,93 perlu pelebaran
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dalam pembuatan Tugas Besar ini ada beberapa kesimpulan yang dapat
penulis sampaikan antara lain :
1. Pada perencanaan geometrik ini terdapat 6 buah tikungan yang terdiri dari 1
buah jenis tikungan Full-Circle (FC), 2 buah jenis tikungan
Spiral-Circle-Spiral (SCS), dan 3 buah jenis tikungan Spiral-Spiral (SS).

4.2 Saran
Dalam pembuatan Tugas Besar ini ada beberapa saran yang dapat penulis
sampaikan antara lain :
1. Dalam perencanaan jalan harus diperhatikan aspek geometrik sehingga jalan
dapat digunakan dengan aman dan nyaman oleh pengguna jalan.
2. Pada perencanaan trase jalan sebaiknya dalam mendesain tikungannya
jangan terlalu terlalu pendek, karena selain jarak pandangnya akan semakin
pendek, maka akan membuat pengguna jalan merasa tidak nyaman dalam
berkendara dan akan menibulkan potensi kecelakaan.

Anda mungkin juga menyukai