Anda di halaman 1dari 72

MODUL

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

POKOK BAHASAN :
PENDAHULUAN

MATERI KULIAH :
Pengertian, Latar belakang perencanaan geometrik, dasar hukum, pentahapan
pembangunan jalan dan penampang melintang jalan
PENDAHULUAN

1.1. PENGERTIAN

Perancangan jalan terdiri dari dua bagian yaitu perencanaan geometrik dan tebal
perkerasan jalan.

Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian perencanaan jalan yang dititik


beratkan pada perencanaan bentuk fisik, sehingga dapat memenuhi fungsinya untuk
memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan akses dari rumah ke rumah.
Dalam lingkup pekerjaan ini termasuk pula dimensi perkerasan, tetapi bukan pada
perencanaan tebal perkerasannya.

Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan, sifat pengemudi
dalam mengendalikan gerakan kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas.

Sedangkan perencanaan tebal perkerasan mempunyai lingkup perencanaan bahan dan


perencanaan tebal perkerasan menurut suatu metoda tertentu .

1.2. LATAR BELAKANG PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Beberapa alasan mengapa perlu perencanaan geometrik jalan adalah sbb :

Disain jalan membutuhkan elemen-elemen perancangan yang spesifik seperti jumlah


lajur, lebar lajur, type dan lebar median, panjang lajur pendakian untuk truk dalam
menerima perubahan kelandaian (superelevasi), dan jari-jari tikungan.

Kesemuanya dipengaruhi oleh karakteristik kendaraan yang lewat. Sehingga dipikirkan


suatu kendaraan rencana yang mewakili performance dan dimensi fisik kendaraan untuk
mengatasi kompleksnya prosedur perencanaan dan sebagai kompromi.

Selanjutnya disain standart harus berubah dari waktu ke waktu untuk merespons
perubahan-perubahan dimensi dan performance kendaraan serta bukti-bukti yang nyata
dalam perencanaan.

Standart perencanaan ditentukan secara detail dalam A policy on geometric Design of


highway and streets 1984 (AASHTO 84).

Elemen perencanaan geometrik terdiri atas Alinyemen horisontal, Alinyemen vertikal,


dan Penampang Melintang jalan.
1.3. DASAR HUKUM

1. Departemen Pekerjaan Umum, Standar Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan,


Dept. PU, 1988
2. Departemen Pekerjaan Umum, Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik
Jalan Luar Kota, dept. PU, 1990
3. AASHTO, A policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, 1984 or
1990
4. Dirjen Bina Marga, PPGJR, 1970

Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat


dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian
jalan termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-
lintas (UU No.38/2004)

2. KLASIFIKASI JALAN
Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu:
klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi
menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan (Bina
Marga 1997).

2.1. Klasifikasi menurut fungsi jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:

1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.

3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.

2. 2 Klasifikasi menurut kelas jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.
Tabel 2.1. Klasifikasi jalan raya menurut kelas jalan

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST


(ton)
Arteri I >10
II 10
IIIA 8
Kolektor III A 8
III B

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga,
1997.

Pengelompokan Jenis Kendaraan Menurut Karakteristik Kendaraan

Berdasar jenis kendaraan yang dilayani jalan raya, Peraturan Pemerintah


Nomor 43 Tahun 1993 mengelompokan jenis kendaraan dengan sistem
kelas kendaraan sebagai berikut:

Kendaraan kelas I, yaitu kendaraan berukuran lebar 2.50 meter,


panjang 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) > 10 ton.

Kendaraan kelas II, yaitu kendaraan berukuran lebar 2.50 meter,


panjang 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) 10 ton.

Kendaraan kelas IIIA, yaitu kendaraan berukuran lebar 2.50 meter,


panjang 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) 8 ton.

Kendaraan kelas IIIB, yaitu kendaraan berukuran lebar 2.50 meter,


panjang 12 meter dan muatan sumbu terberat (MST) 8 ton.

Kendaraan kelas IIIC, yaitu kendaraan berukuran lebar 2.10 meter,


panjang 9 meter dan muatan sumbu terberat (MST) 8 ton.

2.3 Klasifikasi menurut medan jalan


Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang
diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut
rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil
dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2..2. Klasifikasi Menurut Medan Jalan:

No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)


1 Datar D <3
2 Berbukit B 3-25
3 Pegunungan G >25

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga
1997.

2. 4 Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan

Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional, Jalan


Provinsi,Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.

Jalan Nasional, Jalan Nasional dibawah pembinaan Pemerintah Pusat (Menteri


Pemukiman dan Prasarana Wilayah atau Pejabat yang ditunjuk

Jalan Propinsi, Jalan Propinsi dibawah pembinaan Pemda Tingkat I atau Instansi
yang ditunjuk

JalanKabupaten/Kotamadya/Kota, Jalan Kabupaten/Kotamadya (Kota) dibawah


pembinaan Pemda Tingkat II/ Kota atau Instansi yang ditunjuk

Jalan Desa, Jalan Desa dibawah pembinaan Pemerintah Desa/Kelurahan

Jalan Khusus, Jalan Khusus dibawah pembinaan Pejabat atau orang yang ditunjuk

Konsep Fungsi Klasifikasi Jalan Hirarki Pergerakan dan Komponennya


Ada enam (6) pergerakan dalam hubungannya dengan konsep fungsi klasifikasi
jalan yaitu, pergerakan utama, transisi, distribusi, koleksi dan pergerakan akses
ke terminal

Jalan Akses

Jalan Arteri

Rumah/ terminal/ kantor

Jalan lokal

Gambar Hirarki pergerakan kendaraan di jalan

Jalan kolektor
Hubungan Fungsi Klasifikasi Jalan
Desa Desa

Kecamatan

Ibukota Propinsi Ibukota Propinsi

Ibukota Kabupaten

Gambar Garis Perjalanan (Desire lines)


Jalan lokal

Desa Desa

Jalan kolektor

Ibukota Propinsi Kecamatan Ibukota Propinsi


Jalan kolektor

Jalan arteri Jalan arteri

Ibukota Kabupaten

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam konsep dasar hirarki
sistem jaringan jalan antara lain adalah: jarak antar simpang, penentuan
jaringan yang baik dan efesien

2.4.STANDARD PERENCANAAN

Standard yang dipakai adalah sesuai dengan daftar I pada PPGJR70, yang pada
tahap selanjutnya diperbaharui menjadi Tabel 2 pada Standar perenc. Geometrik untuk jalan
perkotaan 1992 dan Tabel II.7 Tata cara perenc. Geometrik jalan antar kota 1997
Standard tersebut berlaku sebagai syarat batas dalam perencanaan yang penggunaannya
dibatasi sesedikit mungkin, agar dapat menghasilkan jalan yang memuaskan.

TABEL 1: DAFTAR I STANDART PERENCANAAN GEOMETRIK


Jalan
JR. Utama Jalan raya sekunder
Klasifikasi jalan penghubung
I IIA IIB IIC III
Klasifikasi
D B G D B G D B G D B G D B G
medan
LHR dlm smp >20.000 6000-20000 1500-8000 <2000 -
Kec.
12 10 10
Rencana(Km/ja 80 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30
0 0 0
m)
Lebar daerah
pengauasaan 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20
min.
Lebar 2x3,5 atau
Min 2(2x3,75) 2x3,5 2x3,0 3,5-6,00
perkerasan 2(2x3,5)
Lebar median
10 1,5** - - -
minimum
3, 2, 2, 2, 2, 2, 1,
Lebar bahu 3 3 3 3 1 1,5-2,5**
5 5 5 5 5 5 5
Lereng
melintang 2% 2% 2% 3% 4%
perkerasan
Lereng mel.
4% 4% 6% 6% 6%
bahu
Pen.
Jenis lapis Aspal Paling tinggi Paling tinggi
Aspal beton Berganda
perm. jalan beton(hotmix) pen tunggal pelab. aspal
atau setara
Miring tik.
10% 10% 10% 10% 10%
Maks.
56 35 21 35 21 11 21 11 11 11
Jari2 lengk. min 50 50 30 50 30
0 0 0 0 0 5 0 5 5 5
Landai 3 5 6 4 6 7 5 7 8 6 8 10 6 8 12
maksimum % % % % % % % % % % % % % % %

* =Menurut keadaan setempat


** =untuk 4 jalur

3
. PENAMPANG MELINTANG JALAN
Penampang melintang merupakan potongan melintang tegak lurus sumbu jalan,

sehingga dapat terlihat bagian-bagian jalan.

Bagian jalan yang utama dapat dikelompokkan :

A. Bagian yang langsung berguna untuk lalin (Jalur lalin, lajur lalin, bahu jalan, trotoar,
median)

Jalur lalin : Keseluruhan bagian perkerasan yang diperuntukkan untuk lalu lintas
kendaraan dan dapat terdiri dari beberapa lajur. Type-type jalur yang umumnya ada
adalah: 2/2 TB, 2/1 TB, 4/2 B, n/2 B.

Lebar jalur ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya. Penjelasan lebih
detail dapat dilihat pada gambar 1.1 di bawah atau gambar II.12-13 reff 3.

Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type anatara lain:
a) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
b) 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)
c) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
d) 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B)

Keterangan: TB = tidak terbagi.


B = terbagi

Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)


Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)

Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)


Lajur lalin : Bagian jalur yang khusus diperuntukkan untuk dilewati serangkaian
kendaraan roda 4 atau lebih dalam 1 arah dan dibatasi oleh marka lajur jalan.

Lebar lajur ditentukan oleh kecepatan dan kendaraan rencana yang dalam hal ini
dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan

Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal

FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR


IDEAL (m)
I 3,75
Arteri
II, III A 3,50
Kolektor III A, III B 3,00
Lokal III C 3,00
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Bahu jalan : bagian daerah manfaat jalan yang berdampingan dg jalur lalin untuk
menampung kendaraan yang berhenti sementara, keperluan darurat dan untuk
pendukung samping bagi lapis pondasi dan lapis permukaan. Kemiringan normal
bahu jalan berkisar antara 3% - 5%.

Trotoar : Jalur yang disediakan untuk pejalan kaki berdampingan dg jalur lalin, dan
lebarnya tergantung volume pejalan kaki. Untuk keamanan dibuat terpisah dg kerb
(curb).

Median : jalur pembagi jalan dalam masing-masing arah, yang berfungsi sebagai:

Daerah netral yang cukup lebar untuk pengemudi mengontrol kendaraan


saat darurat

Menyediakan jarak yang cukup untuk mengurangi silau lampu kendaraan


dari arah berlawanan

Menambah kebebasan samping dari masing-masing arah serta kelegaan,


kenyamanan dan keindahan saat mengemudi.

Tempat penempatan fasilitas jalan serta tempat prasarana kerja


sementara

Terdapat 2 jenis median, yaitu median yang ditinggikan (min 2,0 m) dan median
yang direndahkan (min 7,0 m). Sedangkan lebar minimum median terdiri atas jalur
tepian selebar 0,25 0,50 m.

B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan (saluran samping, kemiringan melintang

jalur lalin, kemiringan melintang bahu, kemiringan lereng)

Bagian-bagian tersebut, secara lebih detail bisa dilihat pada gambar 1.2 mengenai
potongan jalan. (atau gambar 2.2 pada reff.2)Bagian Pelengkap jalan (Kerb, pengaman
tepi untuk ketegasan tepi badan jalan)

Kerb merupakan penonjolan atau peninggian tepi perkerasan, untuk keperluan


drainase, mencegah keluarnya kendaraan ke tepi perkerasan serta memberi
ketegasan tepi perkerasan.

Pengaman tepi umumnya digunakan pada jalan yang menyusuri jurang, pada
jalan dari tanah timbunan dengan tikungan tajam atau tinggi timbunan > 2,5 m
serta jalan dengan kecepatan tinggi.

C. Bagian konstruksi jalan (Lapis permukaan, pondasi atas, pondasi bawah, tanah dasar)

Bagian konstruksi jalan, memerlukan suatu perencanaan tersendiri dengan melihat data
volume lalu lintas yang akan dilewatkan pada jalan tersebut dan usia guna yang
direncanakan, sehingga dapat diperhitungkan jenis perkerasan yang akan dipakai
maupun ketebalannya.

D. Daerah manfaat jalan (DAMAJA)

Merupakan daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepian jalan dan ambang
pengaman. Jadi DAMAJA dibatasi oleh :

Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan

Tinggi 5 m diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan

Kedalaman ruang bebas 1,5 m di bawah permukaan jalan

E. Daerah milik jalan (DAMIJA)

Daerah yang meliputi seluruh daerah manfaat jalan dan daerah yang diperuntukkan bagi
pelebaran jalan dan penambahan jalur lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan
ruang untuk pengaman jalan.

Atau dengan kata lain Damija dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah
ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1,5 m.

F. Daerah pengawasan jalan

Merupakan lajur lahan yang berada di bawah pngawasan penguasa jalan, ditujukan
untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan bebas pengemudi kendaraan
bermotor dan untuk pengamanan konstruksi jalan dalam hal ruang damija tidak
mencukupi.

Secara singkat dapat didefinisikan sebagai ruang sepanjang jalan di luar damaja yang
dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagaimana gambar 1.3
(atau gambar II.7 reff 3)
Untuk setiap hirarki jalan, Dawasja memiliki panjang penguasaan yang berbeda yaitu
sebagai berikut:

Jalan arteri minimum 20 meter

Jalan kolektor, minimum 15 meter

Jalan local, minimum 10 meter

Sedangkan di daerah tikungan, Dawasja ditentukan oleh jarak pandangan bebas


dengan alasan keselamatan.
Ruang Pengawasan Jalan ( Ruwasja )
Ruwasja merupakan sejalur tanah tertentu yang terletak di luar Rumija, yang
penggunaannya diawasi oleh pembina jalan, dengan maksud agar
tidakmengganggu pandangan pengemudi dan konstruksi bangunan jalan, dalam hal
tidak cukup luasnya Rumija.
MODUL
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

POKOK BAHASAN :
ASPEK PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

MATERI KULIAH :
Parameter perencanaan (kendaraan rencana, kecepatan, volume lalin, tingkat
pelayanan, jarak pandangan)
ASPEK PERENCANAAN
GEOMETRIK JALAN

2.3. PARAMETER PERENCANAAN


Parameter yang dipakai merupakan penentu tingkat kenyamanan dan keamanan
yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.

KENDARAAN RENCANA:

Beberapa parameter perencanaan geometrik dari unsur karateristik kendaraan


antara lain :
Dimensi Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaran yang dimensi dan radius putarnya dipakai
sebagai acuan dalam perencanaan geometrik.

Kendaraan rencana dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu :


1. Kendaraan ringan / kecil adalah kendaraan yang mempunyai 2 as dengan
empat roda dengan jarak as 2,00 3,00 meter. (Mobil penumpang, Mikrobus,
Pick Up, dan Truk Kecil
2. Kendaraan sedang adalah kendaraan yang mempunyai dua as gandar, dengan
jarak as 3,5 5,00 meter.
3. Kendaraan Berat / Besar
4. Bus besar yaitu Bus dengan dua atau tiga gandar, dengan jarak as 5,00 6,00
meter.
5. Truk besar, yaitu truk dengan tiga gandar dan truk kombinasi tiga, dengan jarak
gandar (gandar pertama ke gandar kedua) < 3,5 meter.
6. Sepeda motor, yaitu kendaraan bermotor dengan dua atau tiga roda (sepeda
motor dan kendaraan roda tiga)
Tabel 4 Dimensi kendaraan rencana

Jenis Dimensi Kendaraan (m) Dimensi Tonjolan (m) Radius


Kendaraaan Putar
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum
(m)
Mobil 1,3 2,1 5,8 0,9 1,5 7,31
Penumpang
Bus 3,2 2,4 10,9 0,8 3,7 11,86
Truk 2 as 4,1 2,4 9,2 1,2 1,8 12,80
Truk 3 as 4,1 2,4 12,0 1,2 1,8
Truk 4 as 4,1 2,4 13,9 0,9 0,8 12,20
Truk 5 as 4,1 2,5 16,8 0,9 0,6 13,72
Dimensi dasar untuk masing-masing kendaraan rencana dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 1 - Dimensi mobil penumpang

Passenger Car (P)

Gambar 2 - Dimensi bus


Single-Unit (SU) Truck

Gambar 3 - Kendaraan truk 2 as


Gambar 4 - Kendaraan truk 3 as
Gambar 5 - Kendaraan truk 4 as
Gambar 6 - Kendaraan truk 5 as

Interstate Semitrailer (WB-12, WB-15, WB-19, WB-20)


B. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Adalah unit satuan kendaraan untuk dimensi kapasitas jalan, dalam hal mana
sebagai referensi mobil penumpang dinyatakan mempunyai nilai satu SMP.
Nilai emp kendaraan rencana untuk geometrik jalan perkotaan, menurut Standar
Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992) adalah sebagai berikut:
No Kendaraan SMP
1 Sepeda motor 0.5
2 Kend. Penumpang/kend. bermotor roda tiga 1.0
3 Truk kecil (berat < 5 ton), bus mikro 2.5
4 Truk sedang (berat > 5 ton) 2.5
5 Bus, Truk berat ( berat < 10 ton) 3.0
6 Truk berat, trailer ( berat > 10 ton) 5.0

KECEPATAN RENCANA :
Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
geometrik jalan, yang memungkinkan kendaraan dapat bergerak dengan aman dan
nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas lengang dan pengaruh samping jalan
tidak berarti. Untuk perencanaan jalan antar kota, nilai VR ditetapkan dengan
berdasar pada klasifikasi (fungsi) dan medan jalan, Sedangkan untuk perencanaan
jalan perkotaan, nilai VR ditetapkan dengan berdasar tipe (fungsi) jalan &
kelasnya,
Tabel Kecepatan Rencana (VR), Menurut Klasifikasi Fungsi dan Medan Untuk Jalan
Antar Kota

FUNGSI JALAN KECEPATAN RENCANA (VR - km/jam)


DATAR BUKIT GUNUNG
Arteri 70 120 60 - 80 40 70
Kolektor 60 90 50 - 60 30 50
Lokal 40 70 30 - 50 20 30
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

VOLUME DAN KAPASITAS JALAN:

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan
dalam satuan waktu.
Volume berhubungan dengan lebar perkerasan sehingga tercipta keamanan dan
kenyamanan. Biasanya volume lalu lintas dinyatakan dalam satuan yang umum
digunakan. Yaitu : lalu lintas harian rata-rata, volume jam perencanaan dan kapasitas

LHR (Lalu lintas Harian Rata-rata):

Volume lalu lintas harian merupakan volume lalu lintas dalam satu hari. Dari
cara memperoleh data ada 2 cara untuk menyatakan nilainya. Yaitu lalu lintas
harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata (LHR)

1. LHRT = jumlah LL dalam 1 tahun/365

2. LHR = jumlah LL selama pengamatan/lamanya pengamatan

VJR

Volume Jam Rencana dipakai karena LHRT dan LHR tidak dapat memberikan
informasi fluktuasi LL < 24 jam. Terutama untuk menyatakan kondisi jalan pada
perkotaan.

Volume 1 jam yang digunakan sebagai VJR harus memenuhi persyaratan yaitu
tidak boleh terlalu sering terdapat dalam distribusi arus LL setiap jam dalam 1
tahun, apabila terdapat yang melebihinya selisih tidak terlalu besar, tidak
mempunyai nilai yang sangat besar sehingga jalan jadi lengang dan biayapun
mahal. Besarnya VJR dapat diambil dari nilai LHR, sebagaimana rumus berikut.

VJR = (K/F) x LHR,

K (factor LL jam sibuk) merupakan faktor VJR yang dipengaruhi oleh pemilihan jam
sibuk ke berapa dan lokasi jalan tersebut( jalan dalam kota atau luar kota).
Sedangkan F, meruapakan factor variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam 1
jam. Penentuan nilai VJR untuk jalan antar kota dapat dilihat pada referensi 3
Tabel II.5.

Kapasitas

Merupakan jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintas pada suatu


penampang jalan selama 1 jam dengan kondisi arus lalu lintas tertentu.

TINGKAT PELAYANAN:

Tingkat pelayanan adalah cara untuk mengukur kinerja suatu jalan. Tingkat
pelayanan jalan dinyatakan dengan nilai V/C (volume/capacity). Sehingga terdapat
beberapa tingkatan dari A (paling baik) s/d F (buruk) yang nilainya semakin besar
menurut rentang 0 1.

Batasan nilai dari setiap tingkat pelayanan dipengaruhi oleh fungsi jalan dan dimana
jalan tersebut berada.

PerMenHub no.14/2006

JARAK PANDANGAN:

Merupakan panjang jalan di depan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan
jelas diukur dari tempat kedudukan pengemudi.

Jarak pandang adalah panjang bagian suatu jalan di depan pengemudi yang masih
dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi. Kemungkinan untuk
melihat ke depan adalah faktor penting dalam suatu operasi di jalan agar tercapai
keadaan yang aman dan efisien. Untuk itu harus diadakan jarak pandangan yang cukup
panjang, sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan kendaraan terbaik dan tidak
menghantam benda yang tak terduga di atas jalan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pandangan adalah:
Waktu PIEV (Percepatan, Intellection, Emotion, Volition), adalah waktu sadar dan
reaksi dari masing-masing pengemudi.
Waktu yang diperlukan untuk menghindari bahaya dalam keadaan tertentu yang
beresiko terhadap keselamatan.
Kecepatan kendaraan.
Jarak pandang berguna untuk menghindarkan tabrakan,memberi kemungkinan
mendahului, menambah efisiensi jalan sehingga volume pelayanan dapat dicapai
semaksimal mungkin. Dilihat dari kegunaannya dibagi atas :

1. Jarak pandang henti (Jh)

2. jarak pandang menyiap (Jd)

Jarak pandangan pada malam hari dipengaruhi oleh kemampuan penyinaran dan
ketinggian letak lampu besar serta hal lain yang sifatnya pemantulan (akan dibahas
lebih lanjut pada modul alinyemen vertical)

Jarak pandang Henti : Jarak minimum yang diperlukan setiap pengemudi


untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya
halangan di depan. Asumsi tinggi mata pengemudi 105 cm dan tinggi halangan
15 cm dari permukaan jalan. Jh terdiri atas 2 elemen : jarak tanggap (dari
melihat halangan sampai mengerem) dan jarak pengereman (menginjak rem
sampai berhenti). TPGJA 1997, merumuskan dalam meter dan mentabelkannya
sbb :

Jh = 0,694 Vr + 0,004 Vr2/ f


Dimana f= koefisien gesek memanjang (0,35-0,55)

Vr(km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Jh min (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

Jarak PIEV, adalah jarak yang ditempuh kendaraan dari saat pengemudi melihat
suatu penghalang sampai saat pengemudi mulai menginjak rem.
Jarak mengerem, adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan
dengan menggunakan atau memakai rem.
Jarak pandang mendahului : Jarak yang memungkinkan suatu kendaraan
mendahului kendaraan lain dengan aman, sampai kendaraan tersebut kembali
ke lajur semula. Asumsi tinggi mata pengemudi dan halangan sama yaitu 105
cm.

Jd dinyatakandalam rumus dan tabel sebagai berikut:


Jd = d1 + d2 + d3 + d4

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

POKOK BAHASAN :

DASAR PERENCANAAN ALINYEMEN HORISONTAL

MATERI KULIAH :

Gaya sentrifugal, gaya gesekan melintang, landai relatif, lengkung peralihan, diagram
superelevasi, nilai-nilai batasan perencanaan
DASAR PERENCANAAN
ALINYEMEN HORIZONTAL
(Horizontal Alignment)
PROYEK K P / THN PROVINSI JML LEMBAR LEMBAR NO

KP2T JALAN/JEMBATAN
2006 NAD 120 13
PROVINSI NAD

PENAMPANG MEMANJANG JALAN (SEKSI 02)


STA. 3+403,35 - 4+000

VERTIKAL = 1 : 100
HORIZONTAL = 1 : 1000

PI 1

BRG
PI 2
TANGGAL

PI 3
PI 4
OLEH

DADANG
ANTO

24
34,782 30,206
NOTASI BANGUNAN DIPERIKSA

7,784
TC CT TC CT TC CT
6 (+) 6 (+) 6 (+)
PATOK-PATOK DIPERIKSA
KEMIRINGAN DIPERIKSA
PEKERJAAN

22 0%
-2 %
0%
-2 %
0%
-2 %

6 (-) 6 (-) 6 (-)


DIGAMBAR
DIUKUR

6,789 2,263 2,263 6,789 31,432 10,477 10,477 31,432 31,432 10,477 10,477 31,432
9,052 W 41,909 W 41,909 53,633 W 53,633
20 9,052

12,122
TC CT
6 (+)
MEMANJANG
POTONGAN

0%
-2 %
18
BUKU UKUR
NOMOR

6 (-)

16,093 5,364 5,364 16,093


21,458 W 21,458

16
7 0. 0000 m VC

50. 00 00m VC

50. 00 00m VC

6 0. 0000 m VC
BVCE: 10.353
BVCS: 3+425

EVCE: 10.237
EVCS: 3+495

14

EVCS: 3+814.39
BVCS: 3+764.39
BVCS: 3+656.50

EVCE: 9.501
EVCS: 3+706.50

BVCE: 9.442
BVCE: 9.205

EVCE: 9.165

BVCS: 3+990

BVCE: 9.073

EVCS: 4+050

EVCE: 8.999
12
PVI 1
10

PVI 3
PVI 2
8 PVI 4

2
10.286

10.444

10.233

9.788

9.382

9.153

9.062

9.542

9.495

9.044
9.333

9.405

9.000

9.000
10.388

10.205

9.886

9.247

9.139

9.521

9.414

9.293

9.171

9.051
9.566

9.374

8.999
3+403,35 3+500 3+600 3+700 3+800 3+900 4+000
STA

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.


Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama "situasi jalan" atau "trase
jalan". Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan
dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur
lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja ataupun busur
lingkaran saja.
1. GAYA SENTRIFUGAL

Apabila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap V pada bidang datar
atau miring dengan lintasan berbentuk suatu lengkung seperti lingkaran, maka
pada kendaraan tersebut bekerja gaya kecepatan V dan gaya sentrifugal F.
Gaya sentrifugal mendorong kendaraan secara radial keluar dari lajur jalannya,
berarah tegak lurus terhadap gaya kecepatan V. Gaya ini menimbulkan rasa
tidak nyaman pada si pengemudi.

Gaya sentrifugal(F) yang terjadi F = m a

dimana:

G

m =massa g

G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi bumi

a = percepatan sentrifugal
2
V

R
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari lengkung lintasan

Dengan demikian besarnya gaya sentrifugal dapat ditulis sbb :

2
G xV
F=
gxR

untuk dapat mempertahankan kendaraan tersebut tetap pada sumbu lajur


jalannya, maka perlu adanya gaya yang dapat mengimbangi gaya tersebut
sehingga terjadi suatu keseimbangan.
Gambar . Gaya seirtrifugal pada lemgkung horizontal

Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugat tersebut dapat berasal dari .

1. gaya gesekan melintang antara ban kendaraan dengan permukaan


jalan.
2. komponen berat kendaraan akibat kemiringan melintang permukaan
jalan.

2 Gaya Gesekan Melintang (Fs) Antara Ban Kendaraan Dengan Permukaan Jalan.

Gaya gesekan melintang (Fs) adalah besarnya gesekan yang timbul antara
ban dan permukaan jalan dalam arah melintang jalan yang berfungsi untuk
rnengimbangi gaya sentrifugal

Perbandingan antara gaya gesekan melintang dan gaya normal yang bekerja
disebut koefisien gesekan melintang. Besarnya koefisien gesekan'melintang
dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban,
kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan dan keadaan
cuaca.
Gambar 4.3. Koefien gesekan melintang maksimum untuk desain (berdasarkan TEH'92 dalam
satuan SI).

Untuk kecepatan rencana < 80 km/jam berlaku f = - 0,00065 V + 0,192


dan untuk kecepatan rencana antara 80 - lI2 kn/jam berlaku f = - 0,00125 V
+ 0,24
3. Kemiringan melintang permukaan pada lengkung horizontal (Superelevasi)

Komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya sentrifugal diperoleh dengan


membuat kemiringan melintang jalan Kemiringan melintang jalan pada lengkung
horizontal yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan guna
mengimbangi gaya sentrifugal biasanya disebut superelevasi. Semakin besar
superlelevasi semakin besar pula komponen berat kendaraan yaqg diperoleh.
Kemiringan melintang permukaan pada lengkung horizontal
(Superelevasi)

Komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya sentrifugal diperoleh dengan


membuat kemiringan melintang jalan Kemiringan melintang jalan pada lengkung
horizontal yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan guna
mengimbangi gaya sentrifugal biasanya disebut superelevasi. Semakin besar superlelevasi
semakin besar pula komponen berat kendaraan yaqg diperoleh.

Superelevasi maksimum yang dapat dipergunakan pada suatu jalan raya dibatasi oleh
beberapa keadaan seperti :

keadaan cuaca, seperti sering turun hujan, berkabut. Di daerah yang memiliki 4
musim, superelevasi maksimum yang dipilih dipengaruhi juga oleh sering dan
banyaknya salju Yang turun.

Jalan yang berada didaerah yang sering turun hujan berkabut, atau sering turun
salju, superelevasi maksimum lebih rendah dari pada jalan yang berada didaerah
yang selalu bercuaca baik'

keadaan medan, seperti datar, berbukit-bukit atau pergunungan.


Didaerah datar superelevasi maksimum dapat dipilih lebih tinggi dari pada didaerah
berbukit-bukit,atau didaerah pegunungan. Dalam hal ini batasan superelevasi
"maksimum yang dipilih lebih ditentukan dari kesukaran yang dialami dalam hal
pembuatan dan pelaksanaan dari jalan, dengan superelevasi maksimum yang besar'
Di samping itu superelevasi maksimum yang terlalu tinggi
akan manyebabkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi yang mengendarai
kendaraannya dengan kecepatan rendah.

Untuk daerah yang licin akibat sering turun hujan atau kabut sebaiknya e
maksimum 8% dan di daerah perkotaan di mana sering kali terjadi kemacetan
dianjurkan menggunakan e maksimum 4 6% Indonesia pada saat ini umumnya
mengambil nilai 0,08 dan 0,10. Bina Marga (luar kota) menganjurkan superelevasi
maksimum 10% untuk kecepatan rencana > 30 km/jam dan 8% untuk kecepatan
rencana 30 km/jam, sedangkan untuk jalan di dalam kota dapat dipergunakan
superelevasi maksimum 6%
Rumus Umum Lengkung Horizontal

Gesekan melintang antara ban kendaraan dengan permukaan jalan bersama-


sama dengan komponen berat kendaraan akibat adanya kemiringan melintang
lengkung horizontal digunakan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang
timbul.

Gaya-gaya yang bekerja digambarkan seperti pada gambar 4.4) yaitu gaya
sentrifugal F, berat kendaraan G, dan gaya gesekan antara ban dan permukaan
jalan Fs.

Gambar : Gaya gaya yang bekerja pada lengkung horizontal

V2
e+ f =
gR

Jika V dinyatakan dalam km/jam, g : 9,81 m/det2, dan R dalam m, maka


diperoleh

V2
e+ f =
127 R

Derajat lengkung adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 rn
(Gambar 4.5).
Semakin besar R semakin kecil D dan semakin tumpul lengkung horizontal rencana.
Sebaliknya semakin kecil R" semakin besar D dan semakin tajam lengkung horizontal yang
direncanakan.

Ini berarti :

25
D= x 3600
2 R

1432,39
D=
R

R dalam m
Gambar 4.5. Korelasi antara derajat lengkung (D) dan radius lengkung (R).

Radius minimum atau derajat lengkung


Dari persamaan e + f = V2/127 R terlihat bahwa besarnya radius lengkung horizontal
dipengaruhi oleh nilai e dan f serta nilai kecepatan yang ditetapkan. Ini berarti
terdapat nilai radius minimum atau derajat lengkung maksimurn untuk nilai
superelevasi maksimum dan koefisien gesekan melintang maksimum. Lengkung
tersebut dinamakan lengkung tertajam yang dapat direncanakan untuk satu nilai
kecepatan rencana yang dipilih pada'satu nilai superelevasi maksimum.

R minimum dapat ditentukan dengan mempergunakan rumus dibawah ini :

V2
R min
127(e maks+ f maks)

181913,53(e maks+ f maks)


atau D maks
V2

Dimana :
R = Jarijari lengkung minimum (m)
Vr = Kecepatan rencana (km/jam)
e = Kemiringan tikungan (%)
f = Koefisien gesekan melintang
Tabel 4.1. memberikan nilai R minimum yang dapat dipergunakan untuk superelevasi
maksimum 87o dan 10%o serta untuk koefisien gesekan melintang maksimum sehubungan
dengan nilai kecepatan rencana yang dipilih. Koefisien gesekan melintang maksimum
diperoleh dari gambar 4.3. Tabel 4.l
besarnya R minimum dan D maksimum untuk beberapa kecepatan rencana dengan
mempergunakan Persaoaan (1) dan (2)

Kecepatan Rmin Rmin D maks


e maks
Rencana f maks (perhitungan) desain desain
m/m'
km/jam m m (o)
0,10 41,363 41 30,48
40 0,166
0,08 5r,213 51 28,09 .
0,10 75,858 76 18,85
50 0,160
0,08 82,192 82 17,47
0,10 112,041 l12 12,79
60 0,153
0,08 izr,659 122 11,74
0,10 156,522 157 9,12
70 0,147
0,08 170,343 110 8,43
80 0,10 0,140 209,974 2lo 6,82
0,08 229,062 229 6,25
90 0,10 280,3s0 280 5,12
0,128
0,08 307,371 307 4,67
0,10 366.,233 366 3,91
100 0,115
0,08 403,796 404 3,55
0,10 470,497 470 3,05
110 0,103
0,08 522,O58 522 2,74
0,10 569,768 597 2,40
120 0,090
0,08 666,975 I1667 2,15

Sebagai contoh diambil kecepatan rencana 60 km/jam dan


superelevasi maksimum 10%.
Berdasarkan gambar 4.3
diperoleh f maksimum : 0,153

V2
e maks+ f maks=
127 Rmin

Diperoleh R minimum = I15 m

Pencapaian Superelevasi
1. Super elevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal

pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada

bagian lengkung.

2. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear,

( lihat gambar 2.5) diawali dari bentuk normal ( ) sampai awal lengkung

peralihan (TS) yang berbentuk ( ) Pada bagian lurus jalan, lalu

dilanjutkan sampai superelevasi penuh ( ) pada akhirnya bagian

lengkung peralihan (SC).

3. Pada tikungan FC pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali

dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh

sepanjang 1/3 Ls. Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya

dilakukan pada bagian spiral.

Diagram Superelevasi (Diagram kemiringan melintang)

Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang memperlihatkan panjang

yang digunakan untuk merubah kemiringan melintang dari normal sampai

superelevasi penuh dan juga memperlihatkan besarnya superelevasi yang

terjadi pada setiap bagian tikungan.

Yang dimaksud dengan superelevasi penuh adalah kemiringan

maksimum yang harus dicapai pada suatu titik tikungan tergantung dari

kecepatan rencana yang digunakan. Untuk merubah penampang melintang

dari normal sampai superelevasi penuh ada 3 macam cara yaitu :

1. Perubahan dengan as jalan sebagai sumbu putar.

2. Perubahan dengan tepi luar jalan sebagai sumbu putar.


3. Perubahan dengan tepi jalan sebagai sumbu putar.

Yang akan dijelaskan disini hanya dengan 1 cara karena cara ini sering

digunakan di Indonesia khususnya cara Bina Marga.


4.4 BENTUK LENGKUNG HORIZONTAL
Ada 3 bentuk lengkung horizontal yaitu :
1. lengkung busur lingkaran sederhana (circle)
2. lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (spiral- circle - spiral)
3. lengkung peralihan saja (spiral-spiral)

1. lengkung busur lingkaran sederhana (circle)


Lengkung busur lingkaran sederhana hanya dapat dipilih untuk radius lengkung yang
besar dimana superelevasi yang dibutuhkan kurang atau sama dengan 3%.

Garnbar 4.20. Lengtrung busur lingkaran sederhana


Keterangan :
PI : Point of Intersection ( titik perpotongan Tangen )
Rc : Jari-jari Circle/jarak O ke TC atau ke CT atau kesetiap busur lingkaran ( m )
: Sudut tangen ( 0 )
TC : Tangen Circle ( titik awal tikungan )
CT : Circle Tangen ( titik akhir tikungan )
T : Jarak antara TC dan PI atau PI dan CT ( m )
LC : Panjang bagian lengkung Circle ( m )
E : Jarak PI ke lengkung Circle ( m )

Gambar 4.20 menunjukkan lengkung horizontal berbentuk busur lingkaran


sederhana. Bagian lurus dari jalan (dikiri TCa tau di kanan CT) dinamakan bagian
"TANGEN"' Titik peralihan dari bentuk tangen ke bentuk busur lingkaran (Circle)
dinamakan titik TC dan titik peralihan dari busur lingkaran (Cicle) ke Tangen
dinamakan titik CT

Jika bagian-bagian lurus dari jalan tersebut diteruskan akan memotong titik yang
diberi nama PH ( Perpotongan Horizontal) sudut yang dibentuk oleh kedua garis

lurus tersebut dinamakan "sudut perpotongan", bersimbul Jarak antara TC - PH

diberi simbol Tc Ketajaman lengkung dinyatakan oleh radius Rc. Jika lengkung yang
dibuat simetris maka garis 0-PH merupakan garis bagi sudut TC-O-CT. Jarak antara
t itik PH dan busur lingkaran dinamakan Ec. Lc adalah panjang busur lingkaran.

1
Tc=Rc tg
2

1

2
1cos

Rc
Ec=

1
Ec=Tctg
4


Lc= Rc , dalam derajat
180
Lc=0 , 01745 Rc , dalam derajat

Lc= Rc , dalamradial

Bina Marga menempatkan Ls' dibagian lurus (kiri TC atau Kanan CT) dan Ls'
ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).

AASHTO menempatkan 2/3 Ls' dibagian lurus (kiri TC atau Kanan CT) dan 1/3 Ls'
ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).

Tabel 4.7.Tabel Panjang lengkung peralihan minimum dan superelevasi yang


dibutuhkan (e maksimum = 10 % rnetoda Bina Marga)
Keterangan :
LN = lereng jalan normal diasumsikan = 2%
LP = lereng luar diputar sehingga perkerasan mendapat superelevasi sebesar lereng
jalan normal = 2%
Ls = diperhitungkan dengan mempertimbangkan rumus modifikasi Shortt, landai
relatif maksimum (gambar 12)' jarak tempuh 2 detik dan lebar Perkerasan 2 x
3,75 m'
-

Contoh perhitungan :
Kecepatan rencana: 60 km/jam
e maksimum: 0,10 dan sudut :20o
Lebar jalan 2 x 3,75 m tanpa median
Kemiringan melintang norrnal = 2 %
Direncanakan lengkung berbentuk lingkaran sederhana
dengan R: 716 m.
tabel 4,7 didapat e = 2,9% Ls = 50 m

Metoda Bina Marga


Dari tabel 4.7. (metoda Bina Marga) diperoleh e = 0,029 dan Ls = 50m.

1
Tc=Rc tg
2

Tc=76 tg 10o

Tc=126, 25 m

1
Ec=Tctg
4

1 o
Ec=Tctg 5
4

Ec=11,05m

Lc=0 , 01745 Rc , dalam derajat

Lc=0 , 01745 20.176

Lc=249.884 m

Data lengkung untuk lengkung busur lingkaran sederhana tersebut diatas :

V = 60 km/jam Lc=249,88 m
=20o
e=2,9
R=716 m
Ec=11.05m
Tc=126,25 m
Gambar 4.21 Lengkung lingkaran sederhana untuk = 20 R = 716 m , e maks = 10%

Gambar 4.22 Perhitungan bentuk penempang melintang di TC


Dari gambar 4.22 diperoleh
3
Ls ' ( X +2)
4 = (2,9+2) X =1,675
Ls '

Terlihat potongan melintang di awal lengkung , yaitu titik TC, sudah mempunyai
superelevasi
Garnbar 4.23. Diagram superelevasi berdasarkan Bina Marga untuk contoh lengkung busur
lingkaran sederhana (contoh perhitungan).

Gambar 4.24. landai relatif (contoh perhitungan).

B(en+ e)
Landai relatif =
Ls

( 3.75 ) (0.02+ 0,029)


Landai relatif =
50
Landai relatif =0.003675

Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan


( Spiral Lingkaran Spiral)

Spiral Circle Spiral adalah suatu jenis tikungan yang didalamnya terdapat lengkung
peralihan yang berfungsi untuk menghindari terjadinya perubahan alinyemen yang tiba-tiba
dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran

Gambar 4. 27 menggambarkan sebuah lengkung spiral lingkaran spiral (S-C-S) simetris


(panjang lengkung peralihan dari TS ke SC sama dengan dari CS ke ST (= Ls)

Gambar 4.27. Lengkung spirat-lingkaran-spiral simetris.

Lengkung TS-SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang


rnenghubungkan bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan
bagian berbentuk lingkaran dengan radius : Rc diakhir spiral (kanan SC). Titik TS adaiah
titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalah titik peralihan
bagian spiral ke bagian lingkaran.

Ls .90
QS=
.R

Qc= 2Qs

Qc
Lc= x 2 Rc>20 m
360

L=Lc+ 2 Ls

dari persamaan (20) dan (21) diperoleh


2
Ls
p= Rc (1cos Qs)
6 Rc

Ls 3
k =Ls 2
Rc sinQs
40 Rc

1
Es= ( Rc + p ) Sec Rc
2

1
Ts=( Rc+ p ) tg +k
2
Contoh Perhitungan :
Kecepatan rencana = 60 km/jam. em maksimum : 10% dan sudut = 20 o Lebar
jalan 2 x 3,75 m tanpa median. Kemiringan melintang normal jalan : 2% ' jalan
belok ke kanan direncanakan berbentuk lengkung spiral lingkaran-spiral dengan
Rc = 318 m' untuk metoda Bina Marga (luar kota) dari tabel 4.7 diperoleh e = 0,059
dan Ls = 50 m dari Persamaan 18, diperoleh:

Ls .90 50 .90
QS= = =4,504 o 4
. R . 318

Qc= 2Qs=202 . 4,504=10,99o

Qc 10,99
Lc= x 2 Rc= 318=60,996 m> 20 m
360 360

L=Lc+ 2 Ls=60,996+100=160,996 m

dari persamaan (20) dan (21) diperoleh


2
Ls
p= Rc (1cos Qs)
6 Rc

2
50
p= 318(1cos 4,504 )
6 318

p=0,328 m

3
Ls
k =Ls 2
Rc sinQs
40 Rc

3
50
k =50 2
318 sin 4,504
40 318

k =24,99 m

1
Es= ( Rc + p ) Sec Rc
2
1
Es= (318+ 0,328 ) Sec 10318
2
Es=5,239 m
1
Ts=( Rc+ p ) tg +k
2

Ts=( 318+0,328 ) tg 10o +24,99

Ts=81,12 m

Data lengkung untuk lengkung spiral-lingkaran-spiral tersebut di atas adalah =

V = 60 km/jam L = 160,996 m
= 20o e = 5,9 %
Qs = 4,504o Ls = 50 m
Rc = 318 m Lc = 60,996 m
Es = 5,239 m p = 0,328 m
Ts = 81,12 m k = 24,99 m

B(en+ e)
Landai relatif =
Ls

( 3.75 ) (0.02+ 0,059)


Landai relatif =
50
Landai relatif =0.00593
Garnbar 4.28. Contoh lengkung spiral-lingkaran-spiral untuk B = 20o dan R = 318 m

Gambar 4.29. Diagram superelevasi untuk spiral lingkaran - spiral


(contoh perhitungan).
Gambar 4.30. Landai relatif (contoh perhitungan).

lengkung spiral - spiral

Lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran,


sehingga titik SC berhimpit dengan titik CS Panjang busur lingkaran Lc = 0, dan Qs

1
QS= .
2 Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan

rebih besar dari Ls yang menghasilkan landai relatif minimum yang di saryatkan
Jadi dalam hal ini tabel 4.6 s/d table 4.9 hanya dipergunakan untuk rnenentukan
besarnya supererevasi yang dibutuhkan saja.
Panjang lengkung peralihan Ls. yang dipergunakan haruslah yang diperoleh dari
persamaan 18, sehingga bentuk lengkung adalah lengkung spiral dengan sudut

1
QS= .
2

Rumus_rumus untuk lengkung berbentuk spiral - lingkaran - spiral dapat


dipergunakan juga untuk lengkung spiral spiral asalkan memperhatikan hal yang
tersebut di atas.
Contoh perhitungan :
Data yang dipergunakan sama dengan contoh perhitungan untuk lengkung _spiral
lingkaran_spiral.
Jika tetap dipergunakan R = 318 m, maka :

1
QS= =10 o
2

Qs . . Rc 10 . .318
Ls= = =111,0 m
90 90

Ls minimum berdasarkan randai reratif menurut metoda Bina Marga adalah


Ls minimum=m ( en+e ) . B

m = 125 m ( gambar 4.12 atau table 4.5)


Ls minimum=m ( en+e ) . B

Ls minimum=125 ( 0.02+0.059 ) .3.75=37.03 m

Ls>ls minimum , tetapi terlalu besar, karena itu dicoba dengan mempergunakan R

= 159 m, dari table 4.7 diperoleh e = 0,091


Qs . . Rc 10 . .159
Ls= = =55,50 m
90 90

Control terhadap persyaratan lengkung peralihan lainnya :

1. Ls minimum=m ( en+e ) . B

Ls minimum=125 ( 0.02+0.091 ) .3 .75=52,03 m

Ls > Ls minimum, maka Rc untuk lengkung berbentuk spiral spiral dapat


dipergunakan R = 159 m

2. Panjang perjalanan selama 3 detik dengan kecepatan 60 km/jam yaitu :


1000
3 x 60 x m=50 m
3600
Ls>50 m , maka Rc = 159 m dapat dipergunakan
Mencari nilai p dan k dengan table
Qs = 10o dari table didapat p* = 0,01474 dan k* = 0,4994880
p = p* . Ls = 0,01474 x 55,5 = 0,82 m
k = k*. Ls = 0,4994880 x 55,5 = 27,72 m
jika dengan rumus dari persamaan (20) dan (21) diperoleh

Ls 2
p= Rc (1cos Qs)
6 Rc

2
55,5
p= 159(1cos 10)
6 159

p=0,82 m

Ls 3
k =Ls Rc sinQs
40 Rc 2

55,53
k =55,5 159 sin 10
40 1592

k =27,72m

L=2 Ls=2 x 55,5=111,0 m

1
Ts=( Rc+ p ) tg +k
2

o
Ts=( 159+0,82 ) tg10 + 27,72

Ts=55,90 m

1
Es= ( Rc + p ) Sec Rc
2

Es= (159+ 0,82 ) sec10159


Es=3,29 m

Data lengkung dari lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral adalah sbb:

V = 60 km/jam L = 111,0 m
= 20o e = 9,1 %
Qs = 10o Ls = 55,50 m
Rc = 159 m Lc = 0 m
Es = 3,29 m p = 0,82 m
Ts = 55,90 m k = 27,72 m
Gambar 35 - Pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC
Gambar 34 - Pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS
Gambar 36 - Pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SS

Pelebaran Tikungan

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali tak
dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan.
Hal ini disebabkan karena :
1. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama hanya roda depan, sehingga
lintasan roda belakang agak keluar jalur (Off Tracking).
2. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan belakang
kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan roda
belakang kendaraan.
3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya tetap
pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada kecepatan yang
tinggi.
Untuk menghindari hal tersebut diatas maka pada tikungan tajam perlu
perkerasan jalan diperlebar. Pelebaran-pelebaran ini merupakan faktor dari jari-jari
lengkung, kecepatan kendaraan, jenis, dan ukuran kendaraan rencana yang
dipergunakan sebagai dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang
dibutuhkan.
Gambar dari pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 2.9 : Pelebaran Perkerasan Pada
Perhitungan Pelebaran Tikungan
Tikungan

Dalam merencanakan suatu jalan, rumus yang umum digunakan adalah sebagai

berikut :

Rc = R ( * lebar perkerasan ) + ( * b ) (m)

Rc 2
2
64 1,25 64 Rc 2

64 1,25
B = (m)

0,105 .V
Rc
Z = (m)

Bt = n ( B + C ) + z (m)

b = Bt Bn (m)

Keterangan :

B = Lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan

sebelah kanan pada jalur.

n = Jumlah jalur lalu-lintas.

b = Lebar kendaraan rencana diambil 2,5 m

C = Lebar kebebasan samping kiri dan kanan kendaraan

z = Lebar tambahan akibat kesukaran pada tikungan

b = Pelebaran Tikungan

Bn = Lebar total perkerasan pada jalan lurus (normal)


Bt = Lebar total perkerasan pada tikungan

Rc = R lebar perkerasan + b

Anda mungkin juga menyukai