Anda di halaman 1dari 50

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Jalan


Definisi jalan menurut Undang-undang Jalan No. 38 tahun 2004, jalan
adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
yang diperuntukkan bagi lalulintas umum, yang berada pada permukaan tanah,
diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah atau air, serta diatas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.(Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)
2.2 Klasifikasi Jalan
2.2.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:
1. Jalan Arteri
Jalan arteri memiliki fungsi melayani lalu lintas utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan tinggi dengan jumlah jalan masuk / akses
dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor
Jalan kolektor berfungsi sebagai pengumpul (collector) dan sebagai
pendistribusi (distributor) arus lalu lintas dari dan ke jalan arteri atau dari
dan ke jalan lokal. Cirinya adalah perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang dan jumlah akses dibatasi.
3. Jalan Lokal
Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk
tidak dibatasi.
2.2.2 Klasifikasi menurut kelas jalan
1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton.
2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (ton)


I >10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Lokal III C 8
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Berdasarkan peraturan perancangan geometrik jalan yang dikeluarkan oleh


Bina Marga, jalan dibagi dalam kelas berdasarkan fungsinya salah satunya
dengan mempertimbangkan Lalu Lintas Harian Rata-rata (smp). Kelas
jalan menurut Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR)
No.13/1970 dapat dilihat dalam tabel 2.2
Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan dalam LHR

No. Fungsi Kelas Lalu Lintas Rata-rata


1. Arteri I >20.000
II A 6.000-20.000
2. Kolektor II B 1.500-8.000
II C <2.000
3. Lokal III -
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.2.3 Klasifikasi menurut medan jalan


1. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat
dilihat dalam tabel 2.3
Tabel 2.3 Klasifikasi menurut medan jalan
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1. Datar D <3
2. Perbukitan B 3-25
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
3. Pegunungan G >25
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota , 1997)

2.2.4 Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


a) Wewenang Perencanaan Teknis
Wewenang perencanaan teknis dan pembangunan jalan untuk masing -
masing klasifikasi jalan adalah sebagai berikut :
1. Jalan arteri pada jaringan primer ada pada Menteri KIMPRASWIL atau
diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara Jalan Tol.
2. Jalan kolektor pada jaringan jalan primer ada pada Menteri KIMPRASWIL
atau diserahkan kepada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota
3. Jalan lokal pada jaringan jalan primer diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota
4. Jalan pada jaringan jalan sekunder ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota
5. Jalan khusus ada pada pejabat/instansi di Kimpraswilsat/daerah atau badan
hukum atau perorangan yang bersangkutan.
b) Wewenang Pemeliharaan Jalan
Pelaksanaan pemeliharaan jalan untuk masing-masing klasifikasi jalan adalah
sebagai berikut :
1. Jalan arteri pada jaringan jalan primer ada pada Menteri KIMPRASWIL atau
dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi atau kepada Badan Usaha Milik
Negara Jalan Tol
2. Jalan kolektor pada jaringan jalan primer ada pada Menteri KIMPRASWIL
atau dilimpahkan kepada pejabat atau instansi di daerah atau Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Kabupaten atau Kota
3. Jalan lokal pada jaringan jalan primer diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota
4. Jalan pada jaringan sekunder ada pada Pemerintah Kabupaten atau Kota
2.3 Dasar Perencanaan Jalan
Dasar Perencanaan jalan meliputi perencanaan alinyemen horizontal,
perencanaan alinyemen vertikal, dan superelevasi sesuai klasifikasi Bina Marga.
Dalam perencanaan jalan sangat diperlukan data-data pendukung seperti data
lalulintas (LHR), dan peta topografi (peta kontur), data CBR, data curah hujan,
angka pertumbuhan mobilisasi kendaraan, dan data pendukung lainnya.
2.3.1 Kecepatan Rencana
Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan kemiringan jalan, jarak
pandang, dan lain-lain. Kecepatan yang ditentukan tersebut adalah kecepatan
tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan
itu sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan.
Tabel 2.4 Kecepatan Rencana
Kecepatan Rencana (Vr), km/jam
Fungsi Jalan
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70-120 60-80 40-70
Kolektor 60-90 50-60 30-50
Lokal 40-70 30-50 20-30
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No.038/TBM/1997)
2.3.2 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintas di satu titik
pengamatan dalam satu-satuan waktu (hari, jam atau menit). Volume lalu lintas
membutuhkan lebar perkerasan yang lebih besar, sehingga terciptanya
kenyamanan dan keamanan. Satuan lalu lintas yang digunakan dalam penentuan
jumlah dan lebar lajur adalah :

a) Lalu Lintas Harian Rata-Rata


Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu
hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis Lalu Lintas Harian
Rata-Rata, yaitu Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT). LHRT adalah
jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu lajur jalan selama 24
jam dan diperoleh dari rata-rata selama 1 tahun penuh. Sedangkan LHR adalah
jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dibandingkan atau dibagi
dengan lamanya pengamatan.
b) Volume Jam Perencanaan (VJP)
Volume jam perencanaan adalah volume lalu lintas tertingggi dalam satu
tahun dinyatakan dalam satuan smp/jam yang digunakan untuk menghitung
jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas yang diperlukan. Nilai VJP ini didapat
dari hasil kali antara LHRT dengan nilai k (faktor k). Dimana nilai k berkisar
antara 0.07-0.12 menurut MKJI 1997.

Tabel 2.5 Nilai faktor k berdasarkan MKJI 1997


Tipe kota dan jalan Faktor k (%)
Tipe kota > 1 juta penduduk
Jalan-jalan pada daerah komersial dari jalan arteri 7-8 %
Jalan-jalan pada daerah permukiman 8-9 %
Tipe kota < 1 juta penduduk
Jalan-jalan pada daerah komersial dari jalan arteri 8-10 %
Jalan-jalan pada daerah permukiman 9-12 %
(Sumber : MKJI 1997, halaman 2-20)

2.3.3 Kendaraan Rencana


Kendaraan rencana dalah kendaraan yang mewakili dari kelompoknya
yang dipergunakan untuk merencanakan bagian–bagian dari penampang
melintang jalan (Ismono Kusmaryono, S.T., 2021). Kendaraan yang
mempergunakan jalan dikelompokkan menjadi kelompok mobil penumpang, bus /
truk, semi trailer dan trailer. Ukuran kendaraan rencana masing- masing kelompok
diambil ukuran yang terbesar untuk mewakili kelompoknya. Kendaraan rencana
yang dipilih sebagai dasar perencanaan fungsi jalan, jenis kendaraan dominan
yang memakai jalan tersebut dan pertimbangan biaya.

a) Kendaraan rencana untuk jalan perkotaan


Dimensi kendaraan rencana untuk jalan perkotaan disajikan dalam tabel
2.6 sebagai berikut :
Tabel 2.6 Dimensi kendaraan rencana untuk jalan perkotaan
Dimensi Radius
Dimensi Kendaraan
Jenis kendaraan Tonjolan Putar
Tinggi Lebar Panjang Tinggi Lebar Minimum
Truk as tunggal 4.1 2.4 9 1.1 1.7 12.8
Dimensi Radius
Dimensi Kendaraan
Jenis kendaraan Tonjolan Putar
Tinggi Lebar Panjang Tinggi Lebar Minimum
City bus transit 3.2 2.5 12 2 2.3 12.8

Bis gandengan 3.4 2.5 18 2.5 2.9 12.1


(Sumber : Rekayasa Jalan Raya Edisi 1,2021)

Gambar 2.1 Dimensi truk as tunggal


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)

Gambar 2.2 Dimensi city bus transit


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)

Gambar 2.3 Dimensi bis gandengan


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)

b) Kendaraan rencana untuk jalan luar kota


Dimensi kendaraan rencana untuk jalan perkotaan disajikan dalam tabel
2.7 sebagai berikut :
Tabel 2.7 Dimensi kendaraan rencana untuk jalan luar kota
Dimensi Kendaraan Dimensi Tonjolan Radius Roda
Jenis
kendaraan Panjan Belakan
Tinggi Lebar Depan Belakang Depan
g g
Kendaraan
130 2.1 5.8 1.1 1.7 4.2 7.3
kecil
Kendaraan
410 2.6 12 1.5 1.98 8.64 12.74
sedang
Kendaraan
410 2.6 21 1.2 0.98 2.9 14
besar
(Sumber : Rekayasa Jalan Raya Edisi 1,2021)

Gambar 2.4 Dimensi kendaraan kecil


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)

Gambar 2.5 Dimensi kendaraan sedang


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)

Gambar 2.6 Dimensi kendaraan besar


(Sumber : Ismono Kusmaryono, S.T., 2021)
2.3.3 Kapasitas
Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu
penampang jalan pada suatu jalur selama 1 jam dengan kondisi serta arus lalu
lintas tertentu (Silvia Sukirman, „Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan‟,
2003.)
2.3.4 Derajat Kejenuhan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), derajat kejenuhan
adalah perbandingan rasio arus lalulintas (smp/jam) terhadap kapasitas (smp/jam)
dan digunakan sebagai faktor kunci dalam menentukan masalah kapasitas suatu
segmen jalan. Besarnya nilai derajat kejenuhan secara teoritis tidak lebih nilai 1
(satu), yang apabila nilai tersebut mendekati nilai 1 maka kondisi lalu lintas sudah
mendekati kategori jenuh.(MKJI, 1997)
2.4 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus
sumbu jalan (Sukirman, 2003). Pada potongan melintang jalan dapat terlihat
bagian-bagian jalan, bagian-bagian tersebut dikelompokkan sebagai berikut :
2.4.1 Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas (carriageway/travel way) adalah bagian penampang
melintang jalan yang digunakan untuk lewat kendaraan. Bagian ini terdiri dari atas
beberapa lajur (lane), tergantung volume lalu lintas yang akan ditampung
(Sukirman, 2003). Beberapa hal yang diperhatikan berkenaan dengan jalur lalu
lintas adalah :

a) Permukaan jalur harus diusahakan selalu rata, tidak licin dan tidak kasar
serta tahan dalam segala cuaca.
b) Kemiringan jalur untuk memberikan kemungkinan drainase permukaan.
Air yang jatuh diatas permukaan jalan dapat segera dialirkan ke saluran
samping, untuk itu perkerasan dibuat miring ke sebelah luar. Besar
kemiringan umumnya berkisar antara 1.5% - 3% untuk lapis permukaan
yang menggunakan bahan aspal atau beton.
c) Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang secara
keseluruhan merupakan bagian dari lebar manfaat yang digunakan untuk
dilewati lalu lintas.
Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa tipe :
1. 1 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)
2. 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)
3. 2 jalur – 4 lajur – 2 arah (4/2 TB)
4. 2 jalur – n lajur – 2 arah (dimana n = jumlah lajur)
Keterangan : TB = tidak terbagi
B = terbagi

Dalam menentukan jalur lalu lintas, maka perlu juga menentukan lebar
lajur. Lebar lajur merupakan lebar kendaraan ditambah dengan ruang bebas antara
kendaraan yang besarnya sangat ditentukan oleh keamanan dan kenyamanan yang
diharapkan. Lebar lajur sangat ditentukan oleh jumlah dan lajur permukaannya
(Tata Cara Perencanaan Antar Kota, 1997). Berikut tabel dari lebar lajur
berdasarkan kelas jalan dan VLHR.

Tabel 2.6 Penentuan Lebar Lajur


Arteri Kolektor Lokal
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
VLHR
Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
(smp/hari) Lebar
jalur lajur lajur lajur lajur
jalur (m)
(m) (m) (m) (m) (m)
<3000 6 4.5 6 4.5 6 4.5
3000-10000 7 6 7 6 7 6
10000-25000 7 7 7 **) - -
>25000 2nx 3.5* 2 x 7* 2n x 3.5* **) - -
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Keterangan : **) = Mengacu pada persyaratan ideal
*) = 2 lajur terbagi, masing-masing n x 3.5m, n = jumlah lajur
- = Tidak ditentukan
2.4.2 Bahu Jalan
Bahu jalan merupakan bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas
dan harus diperkeras. Fungsi bahu jalan menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 15 tahun 2005 adalah sebagai berikut (Republik Indonesia,
2005) :
a) Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan
b) Ruangan untuk menghindarkan diri dari saat-saat darurat
c) Memberikan kelegaan pada pengemudi
d) Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.
e) Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau
pemerihaan jalan.
f) Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patrol, ambulans, yang sangat
dibutuhkan pada keadaan darurat.
Berdasarkan tipe berdasarkannya, bahu jalan dapat dibedakan atas :
a) Bahu yang tidak diperkeras
b) Bahu yang diperkeras
Dilihat dari letaknya bahu terhadap arah lalu lintas, maka bahu jalan dapat
dibedakan atas :
a) Bahu kiri/bahu luar (left shoulder/ outer shoulder)
b) Bahu kanan/bahu dalam (right/inner shoulder)
Adapun lebar bahu jalan dapat dipengaruhi oleh :
a) Fungsi jalan
b) Volume lalu lintas
c) Kegiatan sekitar jalan
d) Ada atau tidwawk adanya trotoar
e) Biaya yang tersedia
2.4.3 Trotoar atau Jalur Pejalan Kaki (Side Walk)
Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas
yang khusus dipergunakan untuk pejalan kaki (pedestrian). Untuk keamanan
pejalan kaki, maka trotoar ini harus dibuat terpisah dari jalur lalu lintas oleh
struktur fisik berupa kerb. Perlu atau tidaknya trotoar yang disediakan sangat
tergantung dari volume pedestrian dan volume lalu lintas pemakai jalan
tersebut.(Sukirman, 2003)

Tabel 2.9 Lebar Trotoar Minimum(m)


Fungsi Jalan Minimum Minimum Khusus *)
Arteri Primer
Kolektor Primer 1.50 1.50
Arteri Sekunder
Kolektor Sekunder
1.50 1.00
Lokal Sekunder
(Sumber : Rekayasa Jalan Raya Edisi 1, 2021)

Catatan : *) digunakan pada jembatan dengan bentang >50 m atau di dalam


terowongan dengan volume lalu lintas pejalan kaki 300-500 orang per 12 jam.

2.4.4 Median
Pada arus lalu lintas yang tinggi seringkali dibutuhkan median guna
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah. Jadi median adalah jalur yang
terletak ditengah jalan untuk membagi jalan dalam masing-masing
arah.(Sukirman, 2003)

Gambar 2.7 Tipe median yang diturunkan


(Sumber : Sukirman, 2003)

Gambar 2.8 Tipe median yang ditinggikan


(Sumber : Sukirman, 2003)
Tabel 2.9 Lebar Jalur Median
Lebar Median Jalan (m) Lebar Jalur
Kelas Jalan Tepian
Minimum Minimum Khusus
Minimum
I,II 2.5 1.00 0.25
1.00
III A, III B, III C 1.5 0.40 (median 0.25
datar)
(Sumber : Rekayasa Jalan Raya Edisi 1, 2021)
2.5 Alinyemen Horizontal
Alinyemen Horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinyemen horizontal juga dikenal sebagai “situasi jalan” atau “trase
jalan”. Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan
dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur
lingkaran ditambah busur peralihan, busur peralihan saja ataupun busur lingkaran
saja. (Sukirman, 2003)
Ditinjau secara umum penempatan alinyemen horizontal harus dapat
menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna jalan. Untuk itu perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
a) Sedapat mungkin menghindari broken back, artinya tikungan searah yang
hanya dipisahkan oleh tangen yang sangat pendek yang dapat mengurangi
keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan.
b) Pada bagian yang relatif lurus dan pajang jangan tiba-tiba terdapat tikungan
yang tajam yang dapat membahayakan pengemudi.
c) Kalau tidak terpaksa jangan menggunakan radius minimum sebab jalan
tersebut akan sulit mengikuti perkembangan yang akan terjadi dimasa yang
akan datang.
d) Apabila terpaksa menghadapi tikungan ganda maka dalam perencanaan
harus diusahakan agar jari-jari (R1) lebih kecil atau sama dengan jari-jari
lengkung kedua (R2) x 1,5.
e) Hindari sedapat mungkin lengkung yang terbalik dengan mendadak.
f) Hindarkan lengkung yang tajam pada timbunan yang tinggi.
2.5.1 Penentuan Trase Jalan
Pada perencanaan alinyemen horizontal pada seluruh bagian harus dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan fungsinya serta keamanan dan
kenyamanan pengguna jalan.
Untuk membuat jalan yang baik dan ideal, maka harus memperhatikan
syarat-syarat berikut :

a) Syarat ekonomis
1) Penarikan trase jalan yang tidak terlalu banyak memotong kontur,
sehingga dapat menghemat biaya dalam pelaksanaan pekerjaan galian dan
timbunan nantinya.
2) Penyedian material dan tenaga kerja yang diharapkan tidak terlalu jauh
dari lokasi proyek sehingga dapat menekan biaya.
b) Syarat teknis
Tujuannya adalah untuk mendapatkan jalan yang memberikan rasa
keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan keadaan topografi tersebut, sehingga dapat dicapai perencanaan yang
baik sesuai dengan keadaan daerah setempat.
2.5.2 Bagian Lurus
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna jalan, ditinjau
dari segi kelelahan pengemudi, maka maksimum bagian jalan yang lurus harus
ditempuh dalam waktu ≤ 2,5 menit (sesuai VR). Nilai panjang bagian lurus
maksimum dapat dilihat pada tabel 2.10 berikut :
Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Panjang Bagian Lurus Maksimum


Fungsi Jalan
Datar (m) Bukit (m) Gunung (m)
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.5.3 Tikungan
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian
tikungan, dimana terdapat gaya sentrifugal ini mendorong kendaraan secara radial
keluar jalur. Atas dasar ini maka perencanaan tikungan agar dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan perlu memperhatikan hal-hal berikut :

1. Jari-Jari Minimum
Agar kendaraan stabil pada saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi. Pada saat
kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan
antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan
melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan melintang.

Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan


tertentuditentukan jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dapat dilihat
pada tabel 2.11 berikut :

Tabel 2.11 Panjang Jari-Jari Minimum untuk emaks = 10%

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2. Jenis-Jenis Tikungan
Didalam diketahui suatu perencanaan garis lengkung maka perlunya
hubungan kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan (superelevasi)
karena garis lengkung yang direncanakan garis dapat mengurangi gaya sentrifugal
secara bertahap-angsur mulai dari nol sampai nol kembali. Bentuk tikungan dalam
perencanaan tersebut adalah :

a. Tikungan Full Circle (FC)


Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari
besar dan sudut tangan relatif kecil atas dasar ini maka perencanaan tikungan
dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi bagi pengguna jalan raya,
dalam merencanakan tikungan harus memperhatikan hal-hal berikut :
1. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian
lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R, yang berfungsi
mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga)
sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang
bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan yang berubah secara berangsur-
angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan
tikungan.

Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid).


Panjang lengkung peralihan ditetapkan atas pertimbangan bahwa :
a) Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk
menhindarkan kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3
detik (pada kecepatan Vr)
b) Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi
berangsur- angsur pada lengkung peralihan dengan aman
c) Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan dari bentuk kelandaian
normal kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-maks
yang ditetapkan sebagai berikut:
Untuk Vr ≤ 70 km/jam, re-maks = 0.035 m/detik
Untuk Vr ≤ 80 km/jam, re-maks = 0.025 m/detik
d) Ls ditentukan dari 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar:
Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan
…………………………………………...(2.)

Dimana:
T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 menit
VR = kecepatan rencana (km/jam)
e) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal Ls

…………………………(2.)

Dimana :
Rc = Jari-jari busur lingkaran
C = Perubahan kecepatan, 0.3-1.0 m/dt3 (disarankan 0.4 m/dt3)
f) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
LS = x VR………………………………….......(2.)

Dimana :
VR = Kecepatan Rencana (km/jam)
em = Superelevasi Maksimum
en = Superelevasi Normal
re = Tingkat Perubahan Kemiringan Melintang
2. Kemiringan Melintang
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi
perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut kelandaian
relatif. Pencapaian tikungan dengan full circle untuk dapat menggambarkan
pencapaian kemiringan dari lereng normal ke kemiringan penuh, kita harus hitung
dulu lengkung peralihan fiktif (Ls). Adapun Ls dihitung berdasarkan landai relatif
maksimum, dan Ls 'dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

( )
LS = …………………………………………….(2.)

Dimana :
m = landai relatif (%)
e = superelevasi (m/m‟)
en = kemiringan melintang normal (m/m‟)
B = Lebar jalur (m)
3. Kebebasan Samping
Daerah bebas samping tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandangan pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (kebebasan
samping). Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh M
(m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan
sehingga persyaratan Jh terpenuhi.
4. Berdasarkan jarak pandang henti
M = R (1-cos Ꝋ)……………………………………………(2.)
5. Berdasarkan jarak pandang mendahului
M = R (1-cos Ꝋ) + ½ (S-L) sin Ꝋ…………………………..(2.)
Dimana :
M = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m)
Ꝋ = Setengah sudut pusat sepanjang L (0)
R = Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)
S = Jarak pandangan (m)
L = Panjang tikungan (m)

Jenis tikungan full circle ini merupakan jenis tikungan yang paling ideal
ditinjau dari segi keamanan dan kenyamanan pengendara dan kendaraannya,
namun apabila ditinjau dari penggunaan lahan dan biaya pembangunan yang
relatif terbatas, jenis tikungan ini merupakan pilihan yang sangat mahal.

Adapun batasan dimana diperbolehkan menggunakan full circle adalah


sebagai berikut sesuai tabel 2.12

Tabel 2.12 Jari-Jari Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan


V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil dari angka diatas maka bentuk
tikungan yang dipakai adalah Spiral Circle Spiral. Adapun rumus-rumus yang
digunakan pada tikungan full circle, yaitu :

T = R tan ………………………………………………..(2.)

E = T tan ………………………………………………..(2.)

Lc = ………………………………………………...(2.)

Dimana :

= Sudut tikungan atau sudut tangen


Tc = Jarak TC ke PI
R = Jari-jari
Ec = Jarak PI ke busur lingkaran
Lc = Panjang busur lingkaran
Ls = Lengkung peralihan fiktif
D = Derajat lengkung
V = Kecepatan
B = Lebar jalan
C = Perubahan kecepatan
Fm = Koefisien gesekan melintang = 0.19 – 0.000625 V
m = Landai relatif = 2.V+40

Gambar 2.9 Bentuk Tikungan Full Circle


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

b. Tikungan Spiral Circle Spiral


Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau
pegunungan, karena tikungan seperti ini memiliki lengkung peralihan yang
memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan
tersebut menjadi aman.
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral-circle-spiral ini
haruslah sesuai dengan kecepatan dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan
tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditentukan, yaitu:

1) Kemiringan maksimum antar jalan kota : 0,10


2) Kemiringan maksimum jalan dalam kota : 0,08

Adapun rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-circle-spiral,


yaitu:

2 s = x 360…………………………………………… (2.)
c = - 2 s………………………………………………..(2.)
( )
Lc = x R…………………………………………..(2.)

Yc = …………………………………………………….(2.)

Xc = Ls - …………………………………………….(2.)

p = Yc – R (1 – cos s)…………………………………...(2.)

k = Xc – R sin s………………………………………...(2.)

Ts = (R+p) tan +K……………………………………..(2.)

Es = (R+p) sec +R……………………………………...(2.)

Dimana:

= Sudut tikungan atau sudut tangen


Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral
R = Jari-jari
Es = Jarak PI ke busur lingkaran
Lc = Panjang busur lingkaran
Ls = Lengkung peralihan fiktif
D = Derajat lengkung
V = Kecepatan
B = Lebar jalan
C = Perubahan percepatan Fm
Fm = Koefisien gesekan melintang = 0,19 – 0,000625 V
m = Landai relatif = 2.V + 40
Kontrol :
Lc > 25 m
L > 2 Ts
Jika L < 25 m, gunakan jenis tikungan spiral-spiral

Gambar 2.10 Bentuk Tikungan Spiral Circle Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

c. Tikungan Spiral-Spiral

Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang tajam. Adapun rumus-
rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral, yaitu:
s = ………………………………………………......(2.)

Ls = x 2 x s………………………………………....(2.)

p = p‟ x Ls………………………………………………(2.)

k = k‟ x Ls………………………………………………(2.)

Ts = (R+p) tan k………………………..........................(2.)

Es = (R+p) sec – R……………………………………...(2.)

Ltot = 2 x Ls ………………………………………………(2.)

Dimana:

= Sudut tikungan atau sudut tangen

Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral

R = Jari-jari

Es = Jarak PI ke busur lingkaran

Lc = Panjang busur lingkaran

Ls‟ = Lengkung peralihan fiktif

D = Derajat lengkung

V = Kecepatan

B = Lebar jalan

C = Perubahan percepatan

Fm = Koefisien gesekan melintang = 0,19 – 0,000625 V

m = Landai relatif = 2.V + 40


Gambar 2.11 Bentuk Tikungan Spiral-Spiral
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

3. Superelevasi
Penggambaran superelevasi dilakukan untuk mengetahui kemiringan-
kemiringan jalan pada bagian tertentu, yang berfungsi untuk mempermudah dalam
pekerjaannya atau pelaksanaannya dilapangan.

a. Pencapaian Superelevasi
Superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang
normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi)
pada bagian lengkung.

1) Pada tikungan spiral-circle-spiral, pencapaian superelevasi dilakukan


secara linier, diawali dari bentuk normal sampai lengkung peralihan (TS)
yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.
2) Pada bagian full circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier,
diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran
penuh sepanjang 1/3 Ls.
3) Pada tikungan spiral-spiral, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan
pada bagian spiral.
4) Superelevasi tidak diperlukan jika radius cukup besar, untuk itu cukup
lereng luar diputar sebesar lereng normal (LN) atau bahkan tetap lereng
normal (LN).
b. Diagram superelevasi
a. Tikungan Full Circle

Gambar 2.12 Pencapaian Superelevasi Tikungan Full Circle


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
b. Tikungan Spiral Circle Spiral

Gambar 2.13 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral-Circle-Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

c. Tikungan Spiral-Spiral

Gambar 2.14 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral-Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.5.4 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk
mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada
bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada
tikungan cinderung untuk keluar jalur akibat posisi roda depan dan roda belakang
yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.

Penentuan lebar pelebaran jalur lalu lintas di tikungan ditinjau dari


elemen-elemen ; keluar jalur (off tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di
tikungan.

Tabel 2.13 Pelebaran di Tikungan per Lajur (m) untuk


Lebar Jalur 2 x (B) m, 2 Arah atau 1 Arah
Kecepatan Rencana, VR (km)/jam
R
50 60 70 80 90 100 110 120
(m)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2
1500 0.3 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.0 0.5 0.0 0.6 0.0 0.1
1000 0.4 0.0 0.4 0.0 0.4 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.5 0.1 0.6 0.2 0.2
750 0.6 0.0 0.6 0.0 0.7 0.1 0.7 0.1 0.7 0.1 0.8 0.2 0.8 0.3 0.3
500 0.8 0.2 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.0 0.5
400 0.9 0.3 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5
300 0.9 0.3 1.0 0.4 1.0 0.4 1.1 0.5 0.5
250 1.0 0.4 1.1 0.5 1.1 0.5 1.2 0.6
200 1.2 0.6 1.3 0.7 1.3 0.8 1.4
150 1.3 0.7 1.4 0.8
140 1.3 0.7 1.4 0.8
130 1.3 0.7 1.4 0.8
120 1.3 0.7 1.4 0.8
110 1.3 0.7 1.4 0.8
100 1.4 0.8
90 1.4 0.8
80 1.6 1.0
70 1.7 1.0
(Sumber : Perencanaan Teknik Jalan Raya, Shirley L. Hendarsin, 2000)

2.6 Alinyemen Vertikal


Alinyemen Vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap
titik yang ditinjau, berupa profil memanjang.
Pada perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui kelandaian positif
(tanjakan) dan kelandaian negatof (turunan), sehingga kombinasinya berupa
lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut
ditemui juga kelandaian = 0 (datar) (Hendarsin, 2000).
2.6.1 Landai Maksimum dan Panjang Landai Maksimum
a. Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
b. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari
separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
c. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam
tabel 2.14

Tabel 2.14 Kelandaian Maksimum

VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian Maksimum
3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

d. Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan
tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit.
e. Panjang kritis dapat ditetapkan dari tabel :

Tabel 2.14 Panjang Kritis Kelandaian

Kelandaian
Kecepatan Pada Awal (%)
Tanjakan (km/jam)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.6.2 Lengkung Vertikal
1. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan :
a. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.
b. Menyediakan jarak pandang henti.
2. Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel 2.15 yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang.

Tabel 2.15 Panjang Lengkung Vertikal


Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung
(km/jam) Memanjang (%) (m)
<40 1 20-30
40-60 0.6 40-80
>60 0.4 80-150
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam lengkung vertikal :


( )
g = 100%............................................
( )

A = g1 - g2……………………………………………………...

( )
Jh = T ……………………………………………………

x = ………………………………………………………….

( )
y = ………………………………………………………..

Panjang lengkung vertikal (Lv)


a. Syarat keluasan bentuk
Lv = 0.6 x V………………………………………………………
b. Syarat drainase
Lv = 40 x A……………………………………………………….
c. Syarat kenyamanan

Ev = …………………………………………………………
1) Lengkung Vertikal Cekung
Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada
diatas permukaan jalan.

Gambar 2.15 Lengkung Vertikal Cekung


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2) Lengkung Vertikal Cembung


Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada
diatas permukaan jalan.

Gambar 2.16 Lengkung Vertikal Cembung


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Keterangan :

PLV = titik awal lengkung parabola.


PPV = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = titik akhir lengkung parabola.
g = kemiringan tangen ; (+) naik; (-) turun.
Δ = perbedaan aljabar landai (g1 - g2) %.
EV = pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV1 - m) meter.
Lv = Panjang lengkung vertikal
V = kecepatan rencana (km/jam)
Jh = jarak pandang henti
f = koefisien gesek memanjang menurut Bina Marga, f = 0,35

2.6.3 Perencanaan Galian dan Timbunan


Dalam perencanaan jalan raya diusahakan agar volume galian sama
dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen vertikal dan
horizontal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan
timbunan. Langkah-langkah dalam perhitungan galian dan timbunan, antara lain :

a. Penentuan stationing (jarak patok) sehingga diperoleh panjang horizontal jalan


dari alinyemen horizontal (trase jalan).
b. Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) yang memperlihatkan
perbedaan beda tinggi muka tanah asli dengan muka tanah rencana.
c. Gambar potongan melintang (cross section) pada titik stationing, sehingga
didapatkan luas galian dan timbunan.
d. Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rata-
rata dari galian atau timbunan dengan jarak patok.

2.6.4 Penomoran Panjang Jalan (Stationing)


Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah
memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor
jalan (STA jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat
mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk
lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan
perencanaan. Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi
tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap STA jalan dilengkapi dengan
gambar potongan melintangnya.

Adapun interval untuk masing-masing penomoran jika tidak adanya


perubahan arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal
adalah sebagai berikut :
a) Setiap 100 m, untuk daerah datar
b) Setiap 50 m, untuk daerah bukit
c) Setiap 25 m, untuk daerah gunung Nomor

Nomor jalan (STA jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km


disepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :
a. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang
umumnya terletak di ibukota provinsi atau kotamadya, sedangkan patok
STA merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir
pekerjaan.
b. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar
yang berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama
masa pelaksanaan proyek jalan tersebut. Sistem penomoran jalan pada
tikungan dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2.17 Sistem Penomoran Jalan


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.6.5 Data Penunjang Lainnya
Data-data lain yang perlu diperhatikan diantaranya data tentang drainase.
Peninjauan drainase meliputi data meteorologi dan geofisika untuk kebutuhan
analisis data dari stasiun yang terletak pada daerah tangkapan tidak memiliki data
curah hujan, maka dapat dipakai data dari stasiun di luar daerah tangkapan yang
dianggap masih dapat mewakili.

Selain itu data penunjang lain yaitu peta topografi, sumbu jalan rencana
diplotkan pada peta dasar (peta topografi atau peta rupa bumi), sehingga
gambaran topografi daerah yang akan dilalui rute jalan dapat dipelajari. Peta ini
juga digunakan untuk memperkirakan luas daerah tangkapan pada sistem sungai
maupun terrain sepanjang trase jalan rencana (Hendarsin, 2000).
2.7 Perencanaan Tebal Perkerasan
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah
dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalulintas. Jenis
konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu perkerasan lentur
(flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement) (Hendarsin, 2000).

Secara umum perkerasan jalan mempunyai persyaratan yaitu kuat, awet,


kedap air, rata, tidak licin, murah dan mudah dikerjakan. Oleh karena itu bahan
perkerasan jalan yang paling cocok adalah pasir, kerikil, batu dan bahan pengikat
(aspal atau semen). Perkerasan akan mempunyai kinerja yang baik, bila
perencanaan dilakukan dengan baik dan komponen utama dalam sistem
perkerasan berfungsi dengan baik pula. Menurut Federal Highway Administration
(FHWA) dalam (Hariyatmo Christady, 2015) komponen-komponen perkerasan
meliputi :
a. Lapis aus (wearing course) yang memberikan cukup kekesatan, tahanan
gesek dan penutup kedap air atau drainase di permukaan.
b. Lapisan perkerasan terikat atau tersementasi (aspal dan beton) yang
memberikan daya dukung yang cukup dan sekaligus sebagai penghalang
air yang masuk ke dalam material tak terikat di bawahnya.
c. Lapis pondasi (base course) dan lapisan pondasi bawah (sub-base course)
tak terikat yang memberikan tambahan kekuatan khususnya untuk
perkerasan lentur dan ketahanan terhadap pengaruh air yang merusak
struktur perkerasan, serta pengaruh degradasi yang lain (erosi dan instrusi
butiran halus)
d. Tanah dasar (subgrade) yang memberikan cukup kekakuan, kekuatan yang
seragam dan merupakan landasan yang stabil bagi lapisan material
perkerasan di atasnya.
e. Sistem drainase yang dapat membuang air dengan cepat dari sistem
perkerasan, sebelum air menurunkan kualitas lapisan material granuler tak
terikat dan tanah dasar

2.7.1 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Beberapa keuntungan dari perkerasan kaku antara lain adalah:
a. Struktur perkerasan lebih tipis kecuali untuk area tanah lunak yang
membutuhkan struktur pondasi jalan lebih besar dari pada perkerasan
kaku.
b. Pekerjaan Kostruksi dan pengendalian mutu yang lebih mudah untuk
daerah perkotaan yang tertutup termasuk jalan dengan lalu lintas rendah.
c. Biaya pemeliharaan lebih rendah jika dilaksanakan dengan baik :
keuntungan signifikan untuk area perkotaan dengan Lintas Harian Rata –
Rata Tahunan (LHRT) tinggi.
d. Pembuatan campuran lebih mudah (contoh : tidak perlu pencucian pasir).
Kerugiannya antara lain:
a. Biaya konstruksi lebih mahal untuk jalan dengan lalu lintas rendah.
b. Rentan terhadap retak jika dilaksanakan di atas tanah lunak.
c. Umumnya memiliki kenyamanan berkendara yang lebih rendah (Bina
Marga, 2010).

Prosedur perkerasan kaku mengikuti ketentuan Pd T-14-2003 Perencanaan


Tebal Perkerasan Jalan Beton Semen. Dengan catatan bahwa spektrum beban lalu
lintas hendaklah mengikuti ketentuan seperti dinyatakan pada Lampiran D yang
ditetapkan berdasarkan beban aktual. Beban sumbu berdasarkan spektrum beban
menurut Pd T-14 - 2003 adalah untuk kondisi beban terkendali.

Tabel 2.16 Perkerasan Kaku untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Berat
Struktur
R1 R2 R3 R4 R5
Perkerasan
Kelompok
Sumbu
<4.3 <8.6 <25.8 <43 <86
Kendaraan Berat
(Overloaded)
Dowel dan tahu
Ya
beton
Struktur Perkerasan (mm)
Tebal plat beton 265 275 285 295 305
Lapis Pondasi
100
LMC
Lapis Drainase
(dapat mengalir 150
dengan baik)
(Sumber : Manual Perkerasan Jalan, 2017)

Perencana harus menerapkan kelompok sumbu kendaraan niaga dengan


beban yang aktual. Bagan beban di dalam Pd T-14-2003 tidak boleh digunakan
untuk desain perkerasan karena didasarkan pada ketentuan berat kelompok
kendaraan yang tidak realistis dengan kondisi Indonesia. Lampiran D memberikan
pembebanan kelompok sumbu yang mewakili kondisi Indonesia (Sihombing,
2017).
2.7.2 Persyaratan Teknis Perencanaan Perkerasan Kaku
Menurut Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen 2003,
terdapat beberapa persyaratan dalam merencanakan perkerasan kaku, yaitu :
a. Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai
dengan SNI 03-1731-1989 atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 03-1744-
1989, masing-masing untuk perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan
jalan baru. Apabila tanah dasar mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2%, maka
harus dipasang pondasi bawah yang terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concrete)
setebal 15 cm yang dianggap mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5%.
Penentuan nilai CBR dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara
grafis dan analitis.
1) Cara Grafis
Langkah – langkah pengerjaannya sebagai berikut :
a. Tentukan nilai CBR terendah
b. Tentukan beberapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari
masing – masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabel garis mulai
dari nilai CBR terkeceil sampai terbesar
c. Angka terbanyak diberi nilai 100% angka yang lain merupakan presentase
dari 100%
d. Buat kurva hubungan antara harga CBR dan presentase jumlah tadi
e. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90% (Hendra Suryadharma,
2009)
2) Cara Analis
Cara Analitis Adapun rumus yang digunakan pada CBR analitis adalah :
CBR = CBR – (CBRmaks – CBRmin)/R…………………………….(2.)
Nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam satu segmen.

Tabel 2.17 Nilai R untuk Perhitungan CBR Segmen


Jumlah Titik Pengamatan Nilai R
2 1.41
3 1.91
4 2.24
5 2.48
6 2.57
7 2.83
8 2.96
9 3.08
>10 3.18
(Sumber : Hendra Suryadharma, 1999)

b. Pondasi
Bahan pondasi bawah dapat berupa :
- Bahan berbutir.
- Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete)
- Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan
beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan
penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan
pengembangan yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar
sampai ke tepi luar lebar jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi prilaku
tanah ekspansif.

Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai


mutu sesuai dengan SNI No. 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03-
17431989. Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji,
pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). Tebal lapis
pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada gambar 2.18 dan
CBR tanah dasar efektif didapat dari gambar 2.19

Gambar 2.18 Tebal Pondasi Bawah Minimum untuk Beton Semen


(Sumber : Putranto, Yonandika Pandu. Ridwansyah, 2016)
Gambar 2.19 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah
(Sumber : Putranto, Yonandika Pandu. Ridwansyah, 2016)

1) Pondasi bawah material berbutir


Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya
dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah dengan
penyimpangan ijin 3% - 5%. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah
untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5% adalah 15 cm dengan derajat
kepadatan lapis pondasi bawah minimum 100%.
2) Pondasi bawah dengan bahan pengikat (bound sub-base)
Pondasi bawah dengan bahan pengikat dapat digunakan salah satu dari :
a) Stabilisasi material berbutir dengan kadar bahan pengikat sesuai dengan
hasil perencanaan untuk menjamin kekuatan campuran dan ketahanan
terhadap erosi.
b) Campuran beraspal bergradasi rapat (dense-graded asphalt).
c) Campuran beton kurus giling padat harus mempunyai kuat tekan
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5,5 Mpa (55 kg/cm2).
3) Pondasi bawah campuran beton kurus (lean-mix concrete)
Campuran Beton Kurus (CBK) harus mempunyai kuat tekan beton
karakteristik pada umur 28 hari minimum 5 MPa (50 kg/cm2) tanpa
menggunakan abu terbang atau 7 MPa (70 kg/cm2) bila menggunakan abu
terbang, dengan tebal minimum 10 cm.
4) Lapis pemecah ikatan pondasi bawah dan pelat
Perencanaan ini didasarkan bahwa antara pelat dengan pondasi bawah tidak
ada ikatan.

Tabel 2.18 Nilai Koefisien Gesekan ( )


No Lapis Pemecah Ikatan Koefisen Gesekan
Lapis resap ikat aspal
1. diatas permukaan 1.0
pondasi bawah
Laburan parafin tipis
2. 1.5
pemecah kilat
3. Karet kompon 2.0
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton, 2016)

c. Beton Semen
Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural
strength) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan
pembebanan tiga titik yang besarnya secara tipikal sekitar 3 - 5 MPa (30 - 50
kg/cm2). Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat
seperti serat baja, aramit atau serat karbon, harus mencapai kuat tarik lentur 5 - 5,5
Mpa (50 – 55 kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik
lentur karakteristik yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.

Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton


dapat didekati dengan rumus berikut :
Fcf = K (f‟c)0.50 dalam Mpa atau………………………………………..(2.)
Fcf = 3.13 K (f‟c)0.50 dalam kg/cm2…………………………………….(2.)
Dimana :
fc‟ = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah
d. Lalu Lintas
Penentuan beban lalulintas rencana untuk perkerasan beton semen,
dinyatakan dalam jumlah sumbu kendaraan niaga (commercial vehicle), sesuai
dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana selama umur rencana. Lalulintas
harus dianalisis berdasarkan hasil perhitungan volume lalulintas dan konfigurasi
sumbu menggunakan data terakhir atau data 2 tahun terakhir. Kendaraan yang
ditinjau untuk perencanaan perkerasan beton semen adalah yang mempunyai berat
total minimum 5 ton.
1) Lajur rencana dan koefisien distribusi
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalulintas dari suatu ruas jalan
raya yang menampung lalulintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak
memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C)
kendaraan niaga dapat ditentukan dari lebar perkerasan.

Tabel 2.19 Jumlah Lajur Kendaraan Niaga


Jumlah Koefisien Distribusi
Lebar Perkerasan
Lajur 1 Arah 2 Arah
LP<5,50 m 1 Lajur 1 1
5,50 m LP < 8,25 m 2 Lajur 0,70 0,50
8,25 m LP < 11,25 m 3 Lajur 0,50 0,475
11,23 m Lp < 15,00 m 4 Lajur - 0,45
15,00 m Lp < 18,75 m 5 Lajur - 0,425
18,75 m Lp < 22,00 m 6 Lajur - 0,40
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen,2003)

2) Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalulintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan dapat
ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio, Internal Rate of Return,
kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang tidak terlepas dari pola
pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan
dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.

3) Pertumbuhan Lalu Lintas


Volume lalulintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau
sampai tahap di mana kapasitas jalan dicapai denga faktor pertumbuhan lalulintas
yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
( )
R = ……………………………………………………………(2.)
Dimana :
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
i = Laju pertumbuhan lalu lintas pertahun (%)
UR = Umur Rencana (tahun)

Tabel 2.20 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas


Umur Laju Pertumbuhan (i) per tahun %
Rencana
0 2 4 6 8 10
(Tahun)
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,8
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)

4) Lalu Lintas Rencana


Lalu lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga lajur
rencana selama umur rencana meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada
setiap jenis sumbu kendaraan. Beban suatu jenis sumbu dikelompokkan dalam
interval 10 kN (1 ton) bila diambil dari survei beban. Jumlah sumbu kendaraan
niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut :

JSKN = JSKNH x 365 x R x C……………………………………………(2.)


Dimana :
JSKN = jumlah sumbu kendaran niaga selama umur rencana
JSKNH = jumlah sumbu kendaran niaga harian, saat jalan dibuka
R = faktor pertumbuhanlalulintas yang besarnya berdasarkan faktor
pertumbuhan lalulintas tahunan (i) dan umur rencana (n).
C = koefisien distribusi kendaraan.
5) Faktor Keamanan Beban
Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor
keamanan beban (FKB).
Tabel 2.21 Faktor Keamanan Beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai FKB
Jalan bebas hambatan utama (major
freeway) dan jalan berlajur banyak, yang
aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta
volume kendaraan niaga yang tinggi. Bila
1. menggunakan data lalulintas dari hasil 1,2
survey beban (weight-in-motion) dan
adannya kemungkinan route alternatif,
maka nilai faktor keamanan beban dapat
dikurangi menjadi 1,15.
Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan
2. arteri dengan volume kendaraan niaga 1.1
menengah.
Jalan dengan volume kendaraan niaga
3. 1.0
rendah.
(Sumber : Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)

e. Bahu Jalan
Bahu terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan
penutup beraspal atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu
dengan jalur lalulintas akan memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal
ini dapat diatasi dengan bahu beton semen, sehingga meningkatkan kinerja
perkerasan dan mengurangi tebal pelat. Yang dimaksud dengan bahu beton semen
adalah bahu yang dikunci dan diikatkan dengan lajur lalulintas dengan lebar
minimum 1,50 m atau bahu yang menyatu dengan lajur lalulintas selebar 0,60 m
yang juga dapat mencakup saluran dan kerb.
2.7.3 Perencanaan Penulangan
Tujuan utama penulangan untuk :
a. Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan
b. Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih Panjang agar dapat
meningkatkan kenyamanan
c. Mengurangi biaya pemeliharaan
Jumlah tulangan yang diperlukan itu dipengaruhi oleh jarak sambungan
susut, sedangkan dalam hal beton bertulang menerus, diperlukan jumlah tulangan
yang cukup untuk mengurangi sambungan susut (Departemen Pemukiman dan
Prasarana Wilayah, 2003). Jenis perkerasan beton semen terbagi menjadi :
a) Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan
Pada perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan, ada
kemungkinan penulangan perlu dipasang guna mengendalikan retak. Bagian-
bagian pelat yang diperkirakan akan mengalami retak akibat konsentrasi tegangan
yang tidak dapat dihindari dengan pengaturan pola sambungan, maka pelat harus
diberitulangan. Penerapan tulangan umumnya dilaksanakan pada :
1) Pelat dengan bentuk tak lazim (odd- shaped slabs), pelat disebut besar
dari 1,25 atau bila pola sambungan pada pelat tidak benar-benar
berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. Tidak lazim bila
perbadingan antara panjang dengan lebar lebih.
2) Pelat dengan sambungan tidak sejalur (miss matched joints).
3) Pelat berlubang (pitsor structures).
b) Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan
Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut :

As = ………………………………………………………(2.)

Dimana :

As = luas penampang tulangan baja (mm2/m lebar pelat)

Fs = kuat-tarik ijin tulangan (MPa), biasanya 0,6 kali tegangan leleh

g = gravitasi (m/detik)

h = tebal pelat beton (m)

L = jarak antara sambungan tidak diikat atau tepi bebas pelat (m)

M = berat persatuan volume pelat (kg/m3)

μ = koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah

Luas penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan

bujur sangkar ditunjukkan pada tabel 2.22


Tabel 2.22 Luas Penampang tulangan
Tulangan Luas Penampang Berat Per
Tulangan Melintang
Memanjang Melintang Satuan
Diameter Jarak Diamater Jarak Memanjang Melintang Luas
(mm) (mm) (mm2/m) (kg/m2)
Empat Persegi Panjang
12,5 100 8 200 1227 251 11,606
11,2 100 8 200 986 251 9,707
10 100 8 200 785 251 8,138
9 100 8 200 636 251 6,967
8 100 8 200 503 251 5,919
7,1 100 8 200 396 251 5,091
9 200 8 250 318 201 4,076
8 200 8 250 251 201 3,552
Bujur Sangkar
8 100 8 100 503 503 7,892
10 200 10 200 393 393 6,165
9 200 9 200 318 318 4,994
8 200 8 200 251 251 3,946
7,1 200 7,1 200 198 198 3,108
6,3 200 6,3 200 156 156 2,447
5 200 5 200 98 98 1,547
4 200 4 200 63 63 0,987
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)

c) Perkerasan Beton Semen Menerus dengan Tulangan


1) Penulangan Memanjang
Tulangan memanjang yang dibutuhkan pada perkerasan beton semen
bertulang menerus dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut :

( )
Ps = ………………………………………………………….(2.)

Dimana :

Ps = Persentase luas tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap luas


penampang (%)

Fct = kuat tarik langsung beton = (0,4–0,5fcf) (kg/cm2)

fy = tegangan leleh rencana baja (kg/cm2)

n = angka ekivalensi antara baja dan beton (Es/Ec), dapat dilihat pada table 2.23

= koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya


Es = modulus elastisitas baja = 2,1x106(kg/cm2)

Ec = modulus elastisitas beton =1485√f‟c(kg/cm2)

Tabel 2.23 Hubungan Kuat Tekan Beton dan Angka Ekivalen Baja/Beton
f‟c(kg/cm2) N
175-225 10
235-285 8
290-keatas 6
(Sumber : Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen, 2003)

Persentase minimum dari tulangan memanjang pada perkerasan beton


menerus adalah 0,6% luas penampang beton. Jumlah optimum tulangan
memanjang, tulangan perlu dipasang agar jarak dan lebar retakan dapat
dikendalikan. Secara teoritis jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus
dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut :

Lcr = ………………………………………………..(2.)
( )

Dimana :
Lcr = jarak teoritis antara retakan (cm)
P = perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas Penampang beton
u = perbandingan keliling terhadap luas tulangan = 4/d
fb = tegangan lekat antara ulangan dengan beton = (1,97√f‟c)/d. (kg/cm2)
εs = koefisien susut beton = (400.10-6)
fct = kuat tarik langsung beton = (0,4–0,5fcf)(kg/cm2)
n = angka ekivalensi antara baja dan beton = (Es/Ec)
Ec = modulus Elastisitas beton = 14850√f‟c(kg/cm2)
Es = modulus Elastisitas baja = 2,1x106(kg/cm2)
2) Penulangan Melintang
Luas tulangan melintang (As) yang diperlukan pada perkerasan beton
menerus dengan tulangan dihitung menggunakan persamaan rumus 2.52.
Tulangan melintang direkomendasikan sebagai berikut:
a) Diameter batang ulir tidak lebih kecil dari 12 mm.
b) Jarak maksimum tulangan dari sumbu-ke-sumbu 75 cm.
3) Penempatan tulangan
Penulangan melintang pada perkerasan beton semen harus ditempatkan
pada kedalaman lebih besar dari 65 mm dari permukaan untuk tebal pelat ≤ 20cm
dan maksimum sampai sepertiga tebal pelat untuk tebal pelat > 20cm. Tulangan
arah memanjang dipasang diatas tulangan arah melintang.(Departemen
Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

2.7.4 Sambungan

Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :


a) Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalulintas.
b) Memudahkan pelaksanaan.
c) Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan kaku terdapat beberapa jenis sambungan yaitu :
1) Sambungan Memanjang dengan Batang Pengikat (tie bars)
2) Sambungan Pelaksanaan Memanjang
3) Sambungan Susut Memanjang Sambungan
4) Sambungan Susut dan Sambungan Pelaksanaan Melintang
5) Sambungan Susut Melintang
6) Sambungan Pelaksanaan Melintang
7) Sambungan Isolasi Sambungan
8) Pola Sambungan
9) Penutup Sambungan
2.8 Manajemen Proyek

Manajemen proyek adalah pendekatan terstruktur untuk merencanakan,


melaksanakan, mengawasi, dan menyelesaikan sebuah proyek dengan efisien dan
efektif. Tujuan utama dari manajemen proyek adalah untuk mencapai hasil yang
diinginkan dalam batas waktu, anggaran, dan sumber daya yang tersedia. Ini
melibatkan sejumlah aktivitas yang berfokus pada pengorganisasian,
pengendalian, dan koordinasi berbagai aspek proyek (Hajek, 1994).
Berikut ini adalah fungsi-fungsi utama dalam manajemen proyek (Hajek,
1994) :

1) Perencanaan (Planning): Ini adalah langkah awal dan salah satu fungsi
terpenting dalam manajemen proyek. Pada tahap ini, manajer proyek dan
timnya merencanakan seluruh proyek, termasuk menetapkan tujuan,
mengidentifikasi ruang lingkup, menentukan sumber daya yang
diperlukan, membuat jadwal kerja, dan merencanakan anggaran.
2) Pelaksanaan (Execution): Setelah perencanaan selesai, proyek dimulai
dengan melaksanakan rencana yang telah disusun. Ini melibatkan
pengalokasian sumber daya, perekrutan tim, dan pelaksanaan tugas sesuai
dengan jadwal.
3) Pengendalian (Monitoring and Controlling): Fungsi ini melibatkan
pemantauan proyek secara berkala untuk memastikan bahwa proyek
berjalan sesuai dengan rencana. Jika ada perubahan atau masalah yang
muncul, manajer proyek harus mengidentifikasinya dan mengambil
tindakan korektif. Pengendalian juga mencakup pengukuran kinerja
proyek dan pelaporan ke- pada pemangku kepentingan.
4) Pengukuran Kinerja (Performance Measurement): Ini melibatkan
pengukuran sejauh mana proyek telah mencapai tujuan yang ditetapkan,
termasuk dalam hal biaya, waktu, dan kualitas. Pengukuran kinerja
membantu dalam menilai apakah proyek berjalan sesuai dengan harapan.
5) Komunikasi (Communication): Manajer proyek bertanggung jawab untuk
menjalankan komunikasi yang efektif antara tim proyek dan pemangku
kepentingan lainnya. Hal ini melibatkan pelaporan status proyek,
pertemuan proyek, dan komunikasi secara umum untuk memastikan
pemahaman yang jelas dan berbagi informasi yang tepat waktu.
6) Penutupan (Closure): Setelah proyek selesai dan tujuan telah tercapai,
proyek harus ditutup secara resmi. Ini melibatkan penyelesaian tugas
terakhir, menutup akun-akun, mengevaluasi pembelajaran dari proyek, dan
merilis sumber daya yang digunakan selama proyek.
7) Manajemen Risiko (Risk Management): Manajemen risiko adalah fungsi
yang berfokus pada identifikasi, evaluasi, dan pengelolaan risiko-risiko
yang dapat mempengaruhi proyek. Ini melibatkan upaya untuk
mengurangi dampak risiko negatif dan memanfaatkan peluang positif.
2.8.1 Daftar Harga Satuan Alat dan Bahan
Daftar satuan bahan dan upah adalah harga yang dikeluarkan oleh Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga tempat proyek berada karena tidak setiap daerah
memiliki standart yang sama. Penggunaan daftar upah ini juga merupakan
pedoman untuk menghitung perancangan anggaran biaya pekerjaan dan upah yang
dipakai kontraktor. Adapun harga satuan dan upah adalah harga yang termasuk
pajak – pajak.
2.8.2 Analisa Harga Satuan Pekerjaan
Menurut Ashworth (1988) dalam (Febriyanto, 2022), analisis harga satuan
pekerjaan merupakan nilai biaya material dan upah tenaga kerja untuk
menyelesaikan satu satuan pekerjaan tertentu. Harga bahan didapat dipasaran,
dikumpulkan dalam satu daftar yang dinamakan daftar harga satuan bahan. Upah
tenaga kerja didapat dilokasi, dikumpulkan dan dicatat dalam satu daftar yang
dinamakan daftar harga satuan upah.

2.8.3 Perhitungan Volume Pekerjaan


Menurut Fathansyah, dalam (Agus Gunawan, 2019) Perhitungan volume
pekerjan adalah bagian paling esensial dalam tahap perencanaan proyek.
Pengukuran kualitas atau volume pekerjaan merupakan suatu proses pengukuran,
perhitungan terhadap kuantitas item–item pekerjaan sesuai dengan lapangan.
Dengan mengetahui jumlah volume pekerjaan maka akan diketahui berapa banyak
biaya yang akan di perlukan dalam pelaksanaan proyek.

Perhitungan volume pekerjaan memiliki beberapa cara perhitungan yang


tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Salah satu Rumus perhitungan
volume item pekerjaan antara lain :
a) Volume untuk luasan item pekerjaan
(m2) = Panjang x Lebar
b) Volume untuk kubikasi item pekerjaan
(m3) = Panjang x Lebar x Tinggi
c) Volume untuk panjang item pekerjaan
(m‟) = Panjang
d) Volume untuk borongan
(ls, unit, buah) = sesuai dengan kesepakatan antara dua buah pihak

2.8.4 Perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB)


Rencana anggaran biaya adalah merencanakan banyaknya biaya yang akan
digunakan serta susunan pelaksanaannya dalam perencanaan anggaran biaya perlu
dilampirkan analisa harga satuan bahan dari setiap pekerjaan agar jelas jenis-jenis
pekerjaan dan bahan yang digunakan. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya ini
juga bertujuan untuk mengetahui jumlah biaya yang dibutuhkan, mengontrol
pengeluaran per item pekerjaan, mencegah adanya keterlambatan atau
pemberhentian pekerjaan, dan meminimalisir pemborosan biaya yang mungkin
terjadi pada saat dilaksanakannya pekerjaan (Agus Gunawan, 2019).

2.8.5 Rekapitulasi Biaya


Rekapitulasi adalah jumlah total masing-masing sub pekerjaan, seperti
pekerjaan persiapan, pekerjaan pondasi, atau pekerjaan beton. Kedua sub
pekerjaan tersebut dapat diuraikan lagi secara lebih detail. Setiap pekerjaan
kemudian ditotalkan sehingga didapatkan jumlah total biaya pekerjaan. Di dalam
menghitung biaya rekapitulasi ini, bisa juga bisa ditambahkan biaya Pajak
Pertambahan Nilai atau yag sering kita sebut PPN yaitu sebesar 10% dari total
nilai pekerjaan seluruhnya (Agus Gunawan, 2019).

2.8.6 Rencana Kerja (Time Schedule)


Time Schedule adalah suatu bentuk rancangan kerja yang dibutuhkan
untuk penyesesaian suatu pekerjaan. Dalam time schedule menganduung batasan
alokasi waktu penyelesaian masing-masing item pekerjaan secaara runtut yang
dittetapkan sebagai acuan dalam penyelesaian suatu proyek pekerjaan (Agus
Gunawan, 2019).
Ada beberapa bentuk time schedule yang biasa digunakan dalam proyek
konstruksi pembangunan, antara lain :

1) Kurva S
Kurva S adalah grafik yang merepresentasikan kumulatif dari keseluruhan
kegiatan proyek. Visualisasi kurva S memberikan informasi mengenai kemajuan
proyek dengana membandingkan antara kurva S rencana dengan realisasi.
Formulasi kurva S adalah penjumlahan persentase kumulatif bobot masing-
masing kegiatan pada suatu periode diantara durasi proyek dan diplotkan terhadap
sumbu vertikal sehingga jika garis-garis tersebut dihubungkan, maka akan
membentuk huruf S (Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Republik Indonesia, 2022).

Gambar 2.20 Contoh Kurva S


(Sumber : www.pengadaan.web.id,2016)

2) Barchart
Barchart (bagan balok) diperkenalkan pertama kali oleh Henry L. Gantt
pada tahun 1917 semasa Perang Dunia I. Oleh karena itu, Bar Chart sering disebut
juga dengan nama Gantt Chart sesuai dengan nama penemunya. Sebelum
ditemukannya metode ini, belum ada prosedur yang sistematis dan analitis dalam
aspek perencanaan dan pengendalian proyek. Gantt menciptakan teknik ini untuk
memeriksa perkiraan durasi tugas versus durasi aktual. Sehingga dengan melihat
sekilas, pemimpin proyek dapat melihat kemajuan pelaksanaan proyek (Arianto,
2005).
Dalam Barchart (Bagan Balok), kegiatan digambarkan dengan balok
horizontal. Panjang balok menyatakan lama kegiatan dalam skala waktu yang
dipilih. Bagan balok terdiri atas sumbu y yang menyatakan kegiatan atau paket
kerja dari lingkup proyek dan digambarkan sebagai balok, sedangkan sumbu x
menyatakan satuan waktu dalam hari, minggu, atau bulan sebagai durasinya
(Arianto, 2005). Di sini, waktu mulai dan waktu akhir masing-masing pekerjaan
adalah ujung kiri dan kanan dari balok-balok yang bersangkutan.

Gambar 2.21 Contoh Barchart (bagan balok)


(Sumber : www.researchgate.net,2021)

3) Network Planning (NWP)


Menurut Tubagus Haedar Ali (1995 : 38) dalam (Iwano et al., 2016)
network planning adalah salah satu model yang digunakan dalam
penyelenggaraan proyek yang produknya adalah informasi mengenai kegiatan-
kegiatan yang ada dalam network diagram proyek yang bersangkutan.

Adapun kegunaan dari NWP ini adalah :

a) Merencanakan, scheduling dan mengawasi proyek secara logis.


b) Memikirkan secara menyeluruh, tetapi juga secara mendetail dari proyek.
c) Mendokumenkan dan mengkomunikasikan secara scheduling (waktu) dan
alternatif-alternatif lain penyelesainnya proyek dengan tambahan waktu.
d) Mengawasi proyek dengan lebih efisien, sebab hanya jalur-jalur kritis
(critical path) saja yang perlu konsentrasi pengawasan ketat.
Gambar 2.22 Sketsa Network Planning
(Sumber : Arianto, 2005)

Anda mungkin juga menyukai