Anda di halaman 1dari 29

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Jalan dan Klasifikasi Jalan


2.1.1 Pengertian jalan
Definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk semua bagian pelengkap dan perlengkapannya yang
tujuannya untuk lalu lintas, yang berada di permukaan tanah diatas permukaan
tanah, di bawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali
jalan rel kereta api dan jalan kabel ( UU.No.38 tahun 2004 tentang jalan). Jalanan
umum adalah jalanan yang melayani bagi lalu lintas umum,sedangkan jalanan
khusus adalah jalanan yang dibangun oleh suatu instansi atau badan usaha.
Adapun bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik
jalan dan ruang pengawasan jalan.
1. Ruang manfaat jalan terdiri dari badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang
pengamannya.
2. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejaur tanah tertentu
diluar manfaat jalan.
3. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu diluar ruang milik jalan
yang berada dibawah pengawasan penyelenggara jalan.
Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat, gerakan, ukuran
kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerakan kendaraannya dan
karakteristik lalu lintas. Hal– hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan
perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak
kendaraan yang memenuhi tingkat keamanan dan kenyamanan yang diharapkan.
Perencanaan konstruksi jalan raya membutuhkan data–data perencanaan
yang meliputi data lalu lintas, data topografi, data penyelidikan tanah, data
penyelidikan material dan data penunjang lainnya. Semua data ini sangat
diperlukan dalam merencanakan suatu konstruksi jalan raya, karena data ini
memberikan gambaran yang sebenarnya dari kondisi suatu daerah dimana ruas
jalan ini akan dibangun. Dengan adanya data – data ini, kita dapat menentukan
geometrik dan tebal perkerasan yang diperlukan dalam merencanakan suatu
konstruksi jalan raya (Sukirman, 1999).

2.1.2 Klasifikasi jalan


Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus di
identifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan. Karena kriteria desain
suaturencana jalan yang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi
jalan rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar desain (baik untuk
jalan dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan pada klasifikasi jalan

4
menurut undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Klasifikasi jalan
raya dibagi dalam beberapa kelompok (TPGJAKNo.038/T/BM/1997), yaitu :
1. Klasifikasi menurut fungsi jalan,terbagi atas:
a. Jalan Arteri
Adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien.
b. Jalan Kolektor
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan
jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
d. Jalan Lingkungan.
Adalah jalan yang melayani lingkungan setempat dengan ciri perjalanan
jarak dekat,kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.

2. Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan


Raya ( PPGJR, 1970).
Dapat dikelompokan berdasarkan kapasitas lalu lintas harian rata-rata (LHR)
yang dilayani dalam satuan smp. Klasifikasi jalan berdasarkan lalu lintas harian
rata-rata dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jenis Jalan

Fungsi Volume Lalu Lintas Kelas


dalam (SMP)

PRIMER: Arteri - I
Kolektor >10.000 I
<10.000 II
SEKUNDER:
Arteri >20.000 I
<20.000 II
Kolektor >6000 II
<6000 III
Jalan Lokal >500 III
<500 IV
Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1988 )

5
3. Klasifikasi menurut kelas jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan
untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton (Pasal 11, PP. No.43/1993). Klasifikasi Jalan Menurut
Kelas Jalan dapat dilihat di table di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


No. Fungsi Kelas Muatan Sumbu TerberatMST(ton)
I >10
1. Jalan Arteri II 10
IIIA 8

IIIA
2. Jalan Kolektor IIIB 8

Sumber : Tata Cara Perencanaan Jalan geometrik Antar Kota ( 1997)

4. Klasifikasi menurut medan jalan


a. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
b. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan


No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan(%)
1 Datar D <3
32 Perbukitan
Perbukitan B
B 33 -- 25
25
2 Perbukitan G 3 - 25
3 Pegunungan G >25
Sumber:
3 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
Pegunungan >25 (1997)

5. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.26/1985
adalah jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kotamadya, jalan desa, dan
jalan khusus.
a. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang memhubungkan antar ibu kota propinsi dan jalan
strategis nasional sertajalan tol.
b. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibu kota propinsi dan ibu kota kabupaten.
c. Jalan kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang

6
menghungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan serta jalan
umum dalam jaringan jalan sekunder dalam suatu wilayah kabupaten.
d. Jalan kota merupakan jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
fungsinya menghubungkan pusat pelayanan dalam kota, pusat pelayanan
dengan persil serta antar permungkiman dalam kota.

2.2 Parameter Perencanaan


Dalam perancangan jalan, bentuk geometrik jalan terdapat parameter-
parameter perencanaan yang merupakan penentu tingkat kenyamanan dan
keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan. Oleh karena itu
diperlukan standar perencaan jalan yang bertujuan sebagai acuan dari parameter
perencanaan jalan itu tersendiri.
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan
dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan.
Standar perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia biasanya
menggunakan peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina
Marga tentang perencanaan geometrik jalan raya.

2.2.1 Kendaraan rencana


Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Untuk perencanaan, setiap
kelompok diwakili oleh satu ukuran standar. Dan ukuran kendaraan rencana untuk
masing-masing kelompok adalah ukuran terbesar yang mewakili kelompoknya.
Berdasarkan dari bentuk, ukuran, dandaya dari kendaraan-kendaraan yang
mempergunakan jalan kendaraan-kendaraan tersebut dikelompokkan menjadi tiga
kategori (TPGJAK,1997):
a. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.
b. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem dan bus besar 2as
c. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer

Tabel 2.4. Dimensi kendaraan rencana


Kategori DimensiKendaraan Tonjolan Radius Radius
Radius Putar Tonjolan
(cm) (cm)
Putar
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min Maks (cm)
Kendaraan
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Kendaraan
sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

7
Kendaraan
Besar 410 260 2100 1.2 90 290 1400 1370

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota ( 1997)

Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana


ditunjukkan dalam tabel 2.1, tabel 2.2 tabel 2.3 sampai dengan tabel 2.4 ,
gambar 2.1 dan gambar 2.2 menampilkan sketsa dimensi kendaraan rencana
tersebut.

Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Besar


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

2.2.2 Kecepatan rencana


Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti: tikungan, kemiringan jalan, jarak
pandang, kelandaian jalan, dan lain–lain. Kecepatan rencana tersebut merupakan
kecepatan tertinggi menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan
keamanan itu sepenuhnya bergantung dari bentuk jalan.

8
Kecepatan rencana tergantung kepada:
a. Kondisi pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan
b. Sifat fisik jalan dan keadaan medan disekitarnya
c. Cuaca
d. Adanya gangguan dari kendaraan lain
e. Batasan kecepatan yang diijinkan

Kecepatan rencana inilah yang dipergunakan untuk dasar perencanaan


geometrik (alinyemen). Kecepatan rencana dari masing–masing kendaraan dapat
ditetapkan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan
Kecepatan Rencana(VR), km/jam
Fungsi Jalan
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 -120 60 -80 40 –70
Kolektor 60 -90 50 -60 30 –50
Lokal 40 -70 30 -50 20 –30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

2.3 Perencanaan Alinyemen Horizontal


Alinyemen horizontal atau trase jalan merupakan gambaran badan jalan
yang tegak lurus bidang. Pada gambar tersebut akan terlihat apakah jalan tersebut
akan merupakan jalan lurus, berbelok kekiri atau kekanan. Pada perencanaan
alinyemen horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis bagian jalan, yaitu bagian
lurus, dan bagian lengkung yang disebut tikungan.
Jenis tikungan yang umumnya digunakan dalam perencanaan suatu jalan raya
antara lain :

2.3.1 Tikungan Spiral-Spiral (SS)


Bentuk tikungan ini digunakan pada keadaan yang sangat tajam. Lengkung
horizontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran,
sehingga SC berimpit dengan titik CS. Gambar tikungan S-S dapat dilihat pada
gambar 2.3.

9
Gambar 2.3. Lengkung Spiral-Spiral
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Menurut Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan oleh Silvia Sukirman
dan penyelesaian soal perencanaan trase jalan raya oleh Bukhari.R.A dan
Maimunah, maka rumus yang digunakan :
s = 1/2  .............................................................................................. (2.1)
s
Ls   Rc
90 ........................................................................................ (2.2)
2
Ls
 Rc (1  cos s)
p = 6 Rc ..................................................................... (2.3)
Ls 3
Ls   Rc sin s
k = 40 Rc 2 ............................................................... (2.4)
Ts = ( Rc + p) tg 1/2  + k. ................................................................... (2.5)
Es = (Rc + p) cos ½  - Rc ................................................................ (2.6)
L = 2 Ls ............................................................................................ (2.7)
Lsmin = m (e +en) B ................................................................................ (2.8)

Keterangan :
∆ = Sudut tangen
Θs = Budut putar
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Ls = Banjang lengkung spiral (m)
Tc = Jarak antara TC dan PI (m)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST(m)
TS = Titik dari tangen ke spiral (m).
SC = Titik dari spiral ke lingkaran (m).
Rc = Jari-jari lingkaran (m).

10
2.3.2 Tikungan spiral– circle– spiral (S-C-S)
Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau
pegunungan, karena tikungan jenis ini memilki lengkung peralihan yang
memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan
tersebut menjadi aman.
Lengkung spiral merupakan peralihan dari suatu bagian lurus ke bagian
lingkaran (circle) yang panjangnya diperhitungkan dengan mempertimbangkan
bahwa perubahan gaya sentrifugal dari nol sampai mencapai bagian lengkung.
Jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral-circle- spiral haruslah sesuai dengan
kecepatan rencana dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang
melebihi harga maksimum yang telah ditentukan.
Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana ditentukan
berdasarkan:
a. Kemiringan tikungan maksimum.
b. Koefisien gesekan melintang maksimum.
Ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan ini adalah
sebagai berikut:
Ls.90
θs =  .Rc .........................................................................................................(2.9)
θc = ∆ - 2 θs......................................................................................................(2.10)
c
Lc = 2Rc
360 0 ................................................................................................(2.11)
L = Lc + 2Ls ..............................................................................................(2.12)
P = Ls x p*.........................................................................................................(2.13)
K = Ls x k*.........................................................................................................(2.14)
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k ................................................................................(2.15)
Es = ( Rc  p) sec1 / 2   Rc ............................................................................(2.16)
sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia Sukirman, dan
penyelesaian soal perencanaan trase jalan raya oleh Bukhari.R.A dan Maimunah.

11
PI
B

Es
Ts

SC CS
p' Lc p'
k Ls Ls
Øc

TS Øs Øs ST

Rc Rc

1 1
2B 2B

Gambar 2.4 Tikungan Spiral-Circle-Spiral


Sumber: ( Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,1997)

keterangan:
Rc = jari–jari lengkung yang direncanakan (m)
∆ = sudut tangen
θs = sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Ls = panjang lengkung spiral (m)
Lc = panjang lengkung circle (m)
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dan titik TS ke SC(m).
Ys = koordinat titik SC pada garis tegak lurus pada garis tangen (m).
Ls = panjang lengkung peralihan (m).
L’ = panjang busur lingkaran (dari titik SC ke CS) (m).
Ts = panjang tangen (dan titik PI keTS atau ke ST) (m).
TS = titik dari tangen ke spiral (m).
SC = titik dari spiral kelingkaran (m).
P = pergeseran tangen terhadap spiral (m).
K = absis dari p pada garis tangen spiral (m)..
S = sudut lengkung spiral (º)

2.3.3 Tikungan full-circle (F-C)


Full circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu
lingkaran saja. Tikungan full circle hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan)
yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan
super elevasi yang besar. Jari-jari tikungan untuk tikungan jenis full circle
ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

12
Tabel 2.6 Jari-jari Tikungan yang tidak memerlukanLengkung Peralihan
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130
60
Sumber: ( Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,1997)

Gambar 2.5 Tikungan Full Circle


Sumber: ( Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,1997)

Rumus yang digunakan pada tikungan full circle yaitu :


Tc =Rctan1/2Δ.................................................................................................(2.17)
Ec= Tc x tg x ¼ ∆,...............................................................................................(2.18)
LC = 0,01745 × ∆×RC...........................................................................................(2.19)

Dimana:
Δ = sudut tangen (º).
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT (m).
Rc = jari-jari lingkaran (m).
Ec = jarak luar dari PI kebusur lingkaran (m).
Lc = panjang busur lingkaran (m).

2.3.4 Super elevasi


Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah tikungan. Untuk
bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang yang biasa disebut
lereng normal atau normal trawn yaitu diambil minimum 2 % baik sebelah kiri
maupun sebelah kanan AS jalan. Harga elevasi (e) yang menyebabkan kenaikan

13
elevasi terhadap sumbu jalan di beri tanda (+) dan yang menyebabkan penurunan
elevasi terhadap jalan di beri tanda (-).

Kemiringan Normal Pada Bagian Jalan Lurus

Kemiringan Melintang Pada Tikungan Belok Kanan

Kemiringan Melintang Pada Tikungan Belok Kiri


Gambar 2.6. Superelevasi
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Sedangkan yang dimaksud diagram superelevasi adalah suatu cara untuk


menggambarkan pencapaian superelevasi dan lereng normal ke kemiringan
melintang (Superelevasi). Diagram superelevasi pada ketinggian bentuknya
tergantung dari bentuk lengkung yang bersangkutan.

14
a. Diagam superelevasi berbentuk Spiral Spiral

Gambar 2.7. Diagram Superelevasi Sipral Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

b. Tikungan spiral-circle-spiral

Gambar 2.8 Diagram Super elevasi pada Tikungan Tipe S-C-S


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

15
s = emak + en/2...............................................................................................(2.20)
Dimana:
s = pencapaian kemiringann

d = lebar jalan..................................................................................................(2.21)

c. Tikungan full circle

3/4 1/4

Gambar 2.9 Diagram Superelevasi pada Tikungan Tipe FC


Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

{e mak  e n}B
d
2s ........................................................................................ (2.22)

Dimana :

d = lebar jalan (m).

s = kemiringan jalan

B = perubahan pelebaran jalan(m).

1/2 b
enormal = e mak =
{1/2b  b'} ................................................................................(2.23)

Harga emaks dan en didapat dari tabel berasarkan harga Ls yang dipakai:

Ls’ =B. em.m .....................................................................................................(2.24)

Adapun ketentuan-ketentuan dalam pencapaian super elevasi untuk semua


jenis tikungan tersebut antara lain :

a. Super elevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal


pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (super elevasi) pada
bagian lengkung.

16
b. Pada tikungan S-C-S, pencapaian super elevasi dilakukan secara linear,
diawali dari bentuk normal ( ) sampai awal lengkung peralihan
(TS) pada bagian lurus jalan.

c. Pada tikungan F-C, pencapaian super elevasi dilakukan secara linear,


diawali dari bagian lurus sepanjang 3/4 Ls sampai dengan bagian lingkaran
penuh sepanjang 1/4 Ls.

d. Super elevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk itu cukup
lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan tetap lereng
normal (LN).

Gambar 2.10 Pencapaian superelevasi

2.3.5 Pelebaran perkerasan jalan pada tikungan


Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan, dilakukan untuk
mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada
bagian lurus. Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada
tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda belakang
yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan (Shirley,2000).

Gambar 2.11 Pelebaran perkerasan jalan pada tikungan


Sumber: ( Silvia Sukirman : 1994 )

17
Pelebaran perkerasan jalan padatikungan sangat tergantung pada:
R = jari-jari tikungan
= sudut tangen
V = kecepatan rencana

Adapun rumus-rumus yang berlaku untuk menghitung pelebaran


pada tikungan :
B = ( Rc 2  ( P  A) 2  1 2 b) 2  ( P  A) 2  Rc 2  ( P  A) 2  1 2 b
….......(2.25)
Rc = R – ¼ x lebar perkerasan + ½ b...............................................................(2.26)
V
Z = 0,105 .
R …………………………………………….…....….......…(2.27)
Bt = n (B+C) + Z .............................................................................................(2.28)
Dari persamaan di atas di dapatkan lebarnya perkerasan pada tikungan adalah :
 b = Bt – Bn ...................................................................................................(2.29)
B = Lebar kendaraan, (m)
Rc = radius lengkung untuk lintasan luar roda depan yang
dipengaruhi oleh sudut∝ (m)
R = Radius lajur sebelah dalam / jari – jari tikungan , (m)
V = kecepatan, (km/jam)
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan, (m)
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus,(m)
n = jumlah lajur
B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan ditikungan pada lajur
sebelah dalam, (m)
C = kebebasan samping kiri dan kanan jalan ,1 m, untuk lebar lajur 6m, 1, 0 untuk
lebar lajur 7 m, dan 1,25 untuk lebar lajur 7,5 m
∆ = tambahan lebar perkerasan di tikungan, (m)

Pelebaran perkerasan pada tikungan ini dimaksudkan untuk mengurangi


kemungkinan kendaraan akan keluar dari jalurnya karena kecepatan yang
terlalu tinggi.

2.3.6 Kebebasan samping pada tikungan


Daerah bebas samping ditikungan adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandangan pengemudi dari halangan benda-benda disisi jalan (daerah
bebas samping). Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan pandangan ditikungan dengan membebaskan obyek- obyek

18
penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek
penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi. Padatikungan ini tidak
selalu harus dilengkapi dengan kebebasan samping (jarak pembebasan). Hal ini
tergantung pada:
a) Jari-jari tikungan (R).
b) Kecepatan rencana (Vr) yang langsung berhubungan dengan jarak pandang
(S).
c) Keadaan medan lapangan.
Seandainya pada perhitungan diperlukan adanya kebebasan samping akan
tetapi keadaan memungkinkan, maka diatasi dengan memberikan atau memasang
rambu peringatan sehubungan dengan kecepatan yang diizinkan. Daerah bebas
samping ditikungan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
- Berdasarkan jarak pandang henti (Jh<Lt)
d1 = Jarak yang di tempuh dalam waktu standar.
d1 = 0.278 x T1 x ................................................................(2.30)
d2 =Jarak pengereman
d2 = 0,278 x Vr x T2.......................................................................................(2.31)
E = Dari titik penghalang ke sumbu lajur dalam
E=R ……………………………………………(2.32)

- Berdasarkan jarak pandang mendahului


Jd = d1 + d2 + d3 + d4 ………………………..………..............................(2.33)
T1= 2.120 + 0.026 x Vr (waktu dalam)…………...............………………(2.34)
T2 = 6.560 + 0.048 x vr (waktu kendaraan berada di jalurlawan)..............(2.35)
a = 2.052 + 0.0036 x Vr (percepatan rata-rata)………...…..................…(2.36)
m = perbedaan kecepatan kendaraan yang menyiap dan yang disiap (biasanya
di ambil 10-15 km/jam)
d1 = 0.278 x T1 x ( V – m + )…………………..………......................(2.37)
d2 = 0.278 x Vr x T2 ……………………………..…....…........................ (2.38)
d3 = Dilihat dari table kecepatan rencana
d4 = 2/3 d2 ……………………………………….......................…......... (2.39)
jd = d1 + d2 + d3 +
d4……………….……………….........................…....(2.40)
E = +½ (Jd– Lt) sin ..........................................................(2.41)
Dimana:
E = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m)
R = Radius sumbu lajur sebelah dalam (m)
Jh = Jarak pandangan henti (m)
Jd = Jaran pandangan meniap (m)

19
Lt = panjang tikungan (m)
Tabel 2.7 Jarak Pandang Mendahului
V Jarak Jarak
Renc. Pandgn Pandgn
Km/jam A t1 d1 t2 d2 d3 d4 Menyiap Menyiap
Standar Minimum
Km/j/d det m Det m m m M M
30 216 29 15 8 67 20 44 146 109
40 2196 316 25 848 94 25 63 207 151
50 2232 342 37 896 125 30 83 274 196
60 2268 368 50 944 157 40 105 353 250
70 2304 394 65 992 13 50 129 437 307
80 234 42 82 104 231 60 154 527 368
100 2412 472 119 1136 316 75 211 720 496
120 2484 524 162 1232 411 90 274 937 638
Sumber : Silvia Sukirman (1994)

Gambar 2.12 jarak kebebasan samping

2.4 Perencanaan Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal yang melalui sumbu
jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi
rendahnya jalan terhadap keadaan muka tanah asli, sehingga memberikan
gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan
penuh (untuk itu truk digunakan sebagai kendaraan standar).
Alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan biaya konstruksi
jalan, biaya penggunaan kendaraan dan jumlah lalu lintas. Jika pada alinyemen
horizontal (bagian tikungan), maka pada alinyemen vertikal yang merupakan
bagian kritis justru pada bagian yang lurus. Kemampuan pendakian dari

20
kendaraan truk dipengaruhi oleh panjang pendakian (panjang kritis landai) dan
juga besarnya landai (Sukirman, 1999).
Dalam perencanaan alinyemen vertikal harus dipertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a) Kondisi tanah dasar.
b) Keadaan medan.
c) Fungsi jalan.
d ) Muka air banjir.
e ) Muka air tanah.
f ) Kelandaian yang masih memungkinkan.

2.4.1 Landai maksimum dan panjang maksimum


Berdasarkan kepentingan arus lalu lintas, landai ideal adalah landai diatas
0%. Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang
ideal. Dalam perencanaan disarankan menggunakan:
a) Landai datar untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan yang tidak mempunyai
kereb. Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk mengalirkan air diatas
badan jalan dan kemudian kelereng jalan.
b) Landai 0,15% dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan
medan datar dan menggunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu
mengalirkan air hujan kesaluran pembuangan.
c) Landai maksimum sebesar 0,3–0,5% dianjurkan dipergunakan untuk jalan
didaerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang hanya cukup
untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan,sedangkan landai
jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran samping. kelandaian
maksimum dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.8 Kelandaian Maksimum
VR(km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian maks 3 3 4 5 8 9 0 10
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

Panjang kritis landai adalah panjang yang masih dapat diterima tanpa
mengakibat kangangguan lalu lintas (panjang ini mengakibatkan pengurangan
kecepatan maksimum sebesar 25 km/jam. Panjang kritis untuk kelandaian
maksimum dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.9 Panjang Kritis

landai Max (%) 3 4 5 6 7 8 10 12


Panjang Kritis (m) 480 330 250 200 170 150 135 120
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

21
2.4.2 Lengkung vertikal
Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkungan vertikal yang
harus memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase yang baik. Adapun
lengkung vertikal yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana
(Sukirman,1999).
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan bagian lurus
(tangen) adalah :
1. Lengkung vertikal cembung
Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan.lekung vertical cembung pada
perpotongan tangen dan lapang.
Adapun langkah perhitungan untuk lengkung vertikal cembung:
- Hitung perbedaan aljabar kelandaian (A), dengan rumus A = g1-g2
Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari gambar 2.7 didapat nilai Lv
Gambar grafik Lv 2.7
- Kemudian dihitung nilai Ev
Rumus yang dingunakan adalah :
A = [g1-g2]................................................................................................(2.42)
LV= A.jh2/399............................................................................................(2.43)
Lv = 2.jh-399/A..........................................................................................(2.44)
AxLv
Ev =
800 ................................................................................................(2.45)
sumber: Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah,
(2005)
dengan:
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
g1 = aljabar kelandaian lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua
A = perbedaan aljabar kelandaian (%)
Lv = panjang lengkung (m)

Gambar 2.10 lengkung vertikal cembung dilihat dari titik perpotongan tangen
Sumber : Sukirman (1999)

22
Jarak pandang henti

Gambar 2.13 Contoh jarak pandang henti


Sumber: (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2. Lengkung vertikal cekung


Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimanan titik perpotongan
antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan. lekung vertical cekung
pada perpotongan tange dan lapang.
Adapun langkah-langkah perhitungannya Untuk lengkung vertikal cekung:
a. Dihitung perbedaan aljabar kelandaian (A)
b. Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari gambar 2.10 didapat nilai Lv
c. Kemudian dihitung nilai Ev

Rumus yang dingunakan adalah :


Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
g1 = aljabar kelandaian lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua
A = perbedaan aljabar kelandaian (%)
Lv = panjang lengkung (m)

Gambar 2.14 lengkung vertikal cemkung dilihat dari titik perpotongan tangen
Sumber: Silvia Sukirman (1999)

23
Gambar 2.15 Contoh jarak pandang henti
Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)

Lengkung vertikal direncanakan untuk merubah secara bertahap perubahan


dari dua macam kelandaian arah memanjang jalan pada setiap lokasi yang
diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti yang cukup, untuk kenyamanan
dan keamanan.

2.5 Stasioning Dan Galian Timbunan


2.5.1 Stationing
Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah
memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor
jalan (Sta jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat
mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk
lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan
perencanaan. Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi
tentang panjang jalan secara keseluruhan. SetiapSta jalandilengkapi dengan
gambar potongan melintangnya.
Nomor jalan (Sta jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km
disepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :
a. Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang
umumnya terletak di ibukota provinsi atau kota madya, sedangkan patok Sta
merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan.
b. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar
yang berlaku, sedangkan patok Sta merupakan patok sementara selama
masa pelaksanaan proyek jalan tersebut (Sukirman, 1999).

24
Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik
Jalan” oleh Silvia Sukirman penentuan sation dapat di tentukan seperti sketsa di
bawah ini.

T T ST
CS
SC
TS
d1
CT
Lc Ts
TC
d2
A

Gambar 2.16 sketsa perhitungan stationing dan penjelasannya

STA TS = ST + (d1) – TS...............................................................(2.46)


STA SC = STA TS + Ls.................................................................(2.47)
STA ES = STA SC + ½ LC...........................................................(2.48)
STA CS = STA ES + ½ LC............................................................(2.49)
STA ST = STA CS + Ls................................................................(2.50)
STA TC = STA ST + d2 – TS - TS ...............................................(2.51)
STA PL = STA TC + ½ LC...........................................................(2.52)
STA CT = STA PL + ½ LC............................................................(2.53)
STA TS = STAC+(d3)–Ts-TC.......................................................(2.54)
STA SC = STA TS + Ls................................................................(2.55)
STA ST = STA SC + Ls................................................................(2.56)
STA Akhir = STA CT + d4 – TS3.... ................................................(2.57)

2.5.2 Galian dan timbunan


Dengan cara mengunakan sketsa jalan, dapat dilihat bagian jalan yang
terletak pada bagian galian dan timbunan. Pada jalan yang terletak pada bagian
yang tersambung dapat dicari volumenya secara menyeluruh. Seperti bagian
antara titik awal (A) dengan titik perpotongannya muka tanah dengan rencana
lintasan jalan, dicari dulu luas – luas tampang melintang, volume adalah luas
tampang dikalikan jarak antara kedua penampang, apabila diantarai oleh dua luas
tampang yang tertentu maka harus dicari luas tampang melintang rata-rata dan
dikalikan jarak antara kedua penampang yang bersangkutan.
Adapun rumus-rumus yang digunakan adalah rumus-rumus luas segitiga,
segiempat, trapesium dan untuk keadaan tertentu dipakai rumus interpolasi serta
untuk perhitungan volume digunakan rumus kubus dan kerucut.
a) Luas segiempat
A = P x L…………………………………....………………...…..... (2.58)
dengan:
A = luas segiempat (m2)

25
P = panjang (m)
L = lebar (m)
b) Luas segitiga
A = ½ a x t ……………………………………………......……….....(2.59)
dengan:
A = luas segitiga(m2)
a = panjang sisi alas (m)
t = panjang sisi tegak (m)
c) Luas trapesium
A = ½ (a + b) x t ..................................................................................(2.60)
dengan:
A = luas segitiga(m2)
a = panjang sisi atas (m)
b = panjang sisi bawah (m)
t = panjang sisi tegak (m)
d) Interpolasi

Timbunan

Gambar 2.17 sketsa perhitungan galian dan timbunan


a:b = (L-x) : x
ax = b. L – b . x
ax + bx = b. L
(a + b)x = b. L
bxL
x =
a  b ……………………………………………...…………..…(2.61)

2.6 Drainase Permukaan Jalan


Secara umum dikenal ada 2 jenis bangunan drainase permukaan yaitu:
a. Selokan Samping
b. Gorong-Gorong.
Fungsi kedua jenis bangunan ini adalah sebagai “jalan air” agar air hujan
segera keluar dari permukaan jalan untuk menghindarkan perkerasan jalan dari
kerusakan-kerusakan akibat genangan air. Proses terbuangnya air (hujan) dari
lapis permukaan ke areal di luar badan jalan atau ke selokan samping kemudian

26
melalui gorong-gorong dibuang keluar dari badan jalan atau ke tempat buangan
air yang telah ditentukan, semuanya diupayakan didasarkan atas hukum gravitasi.
Air bergerak ke tempat yang lebih rendah, prinsip inilah yang digunakan dalam
mendesain drainase jalan. Kecepatan bergerak dari air tersebut akan tergantung
dari seberapa besar grade (%) yang harus dilalui, makin tinggi grade yang harus
dilalui, jika bangunan drainase terbuat dari tanah, akan makin mudah bangunan
drainase tersebut digerus oleh air.

2.7 Perhitungan Tebal Lapisan Perkerasan


Untuk merencanakan Lapisan Tebal Perkerasan pada perencanaan konstruksi
jalan raya, data-datanya yaitu :
a) Komposisi kendaraan awal umur rencana
b) Klasifikasi Jalan
c) Jenis Jalan
d) Lebar Jalan
e) Arah Jalan
f) Umur Rencana
g) Pertumbuhan lalu lintas
h) Curah hujan rata-rata pertahun
i) Kelandaian jalan
j) Jenis lapisan perkerasan yang digunakan
k) Data CBR

2.7.1 Menghitung LHR ( Lintas Harian Rata-Rata)


LHR di dapat dari data volume lalu lintas yang dapat diperoleh dari pos-
pos rutin yang ada di sekitar lokasi perencanaan. Jika tidak terdapat pos-pos rutin
di dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan volume lalu lintas dapat
dilakukan secara manual ditempat-tempat yang di anggap perlu.
Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan”
oleh Silvia Sukirman.

Rumus : Jumlah lalu lintas dalam 1 tahun


LHR = 365 ………………………..(2.62)

2.7.2 Menentukan angka ekivalen


Angka ekivalen kendaraan adalah angka yang menunjukkan jumlah
lintasan dari sumbukendaraan yang akan menyebabkan kerusakan yang sama
apabila kendaraan tersebut lewat satu kali. Angka ekivilen per sumbu dapat

27
dihitung dengan menggunakan rumus dari bina marga (1976) serta irmawan dan
mochtar (1990) dibawah ini :
E sumbu tunggal = (Beban sumbu tunggal (ton)/8.16)4..........................(2.63)
E sumbu ganda = 0.086 x (beban ganda(ton)/8.16)4............................(2.64)
E sumbu tripel = 0.01 x (beban sumbu tunggal(ton)/8.16)4...................(2.65)

2.7.3 Menentukan LEP


Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) ditentukan dari jumlah rata-rata dari
sumbu tunggal pada jalur rencana yang diperkirakan terjadi pada awal umur
rencana
Rumus :
.........................................................................(2.66)

Dengan :
Cj = Koefisien distribusi kendaraan pada jalur rencana
Ej = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis kendara

Tabel 2.11 koefisien distribusi kendaraan (C)


Kendaraan Kendaraan
Jumlah Ringan*) Berat**)
Lajur 1 1 2
Arah 2 Arah Arah Arah
1 Lajur 1.00 1.00 1.00 1.000
2 Lajur 0.60 0.50 0.70 0.500
3 Lajur 0.40 0.40 0.50 0.475
4 Lajur - 0.30 - 0.450
5 Lajur - 0.25 - 0.425
6 Lajur - 0.20 - 0.400

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan


Metode Analisa Komponen (1987)

2.7.4 Menentukan LEA


Lintas Ekivalen Akhir (LEA) ditentukan dari jumlah lalu lintas harian rata-
rata dari sumbu tunggal yang diperkirakan terjadi pada akhir umur rencana.
Rumus :
n
LEA   LHR j (1  i )UR xC j xE j
j i
...........................................(2.67)

28
Dengan :
i = Perkembangan lalu lintas
UR = Umur rencana
Cj = Koefisien distribusi kendaraan pada jalur rencana
Ej = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis
kendaraan

2.7.5 Menentukan LET


Lintas ekivalen tengah dapat dicari dengan menggunakan rumus :

Rumus :
LET = (LEP + LEA) / 2
…………………………..….....…(2.68)

2.7.6 Menentukan LER


Lintas Ekivalen Rencana (LER) dapat dihitung dengan menggunakan
Rumus :
LER = LET x FP
……………….......…..................…………………..........(2.69)
Dengan :
FP = Faktor Penyesuaian

2.7.7 Penentuan harga CBR


Subgrade atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan yang paling atas,
atas mana diletakkan lapisan dengan material yang lebih baik. Di indonesia daya
dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan ditentukan
engan menggunakan pemeriksaan CBR. Setelah didapatkan data CBR untuk
kemudian dicari nilai CBR segmennya. Dapat digunakan rumus :

CBR segmen = CBR rata-rata – CBR max – CBR min


………………....…(2.70)
R
Untuk nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam 1 segmen.
Besarnya nilai R dapata di lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.12 Nilai R Untuk Perhitungan CBR Segmen


Jumlah titik pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24

29
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
>10 3,18

2.7.8 Menentukan tebal lapisan perekerasan


a) menentukan nilai DDT (daya dukung tanah)
Dari hasil pemeriksaan data CBR, kita dapat menentukan nilai DDT
dengan rumus :
DDT = 4,3 x Log CBR Segmen + 1,7............................................................(2.71)
b) Menentukan faktor regional (FR)
Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan nilai FR, terlebih dahulu
harus didapatkan nilai persen kendaraan berat. Data-data untuk menghitung %
kendaraan berat didapat dari data komposisi kendaraan rencana awal. Dapat
digunakan rumus:
% kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 % ………..............(2.72)
Jumlah semua kendaraan

Nilai FR dapat kita lihat pada tabel dibawah :


Tabel 2.13 Faktor Regional
Kelandaian II Kelandaian III
K kelandaian I ( < 6 %)
Curah (6-10%) (> 6 %)
Hujan % kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I <
2,0 –
900 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5
2,5
mm/th
Iklim II
3,0 –
> 900 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5
3,5
mm/th

Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan


metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)

c) CBR tanah dasar rencana


Nilai CBR yang di dapat melalui metode grafis dan analisis.

30
d) Indeks permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari nilai LER dan tabel indeks
permukaan dapat di lihat di tabel 2.14

Tabel 2.14 Indeks Permukaan pada akhir umur rencana


Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan
Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan
metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum ( 1987)

e) Indeks permukaan pada awal umur rencana (ITP)


ITP dapat ditentukan melalui grafik nomogram. Untuk menentukan ITP
dari grafik nomogram di perlukan data sebagai berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan
FR. Untuk mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.15 Indeks Permukaan pada awal umur rencana


Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (mm/km)
LASTON ≥4
3,9-3,5
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 1000
3,4 – 3,0 >1000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 >2000
BURDA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
BURTU 3,4 – 3,0 >2000
LAPEN 3,4 – 3,0 < 2000
2,9 – 2,5 < 2000
LATASBUM 2,9 – 2,5 ≤ 3000
BURAS 2,9 – 2,5 >3000
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan
metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)

f) Menetapkan tebal perkerasan

31
Variabel-variabel untuk menetapkan lapisan tebal perkerasan dilihat pada
tabel 2.16 , “A.5.
Untuk rumus perhitungan lapisan perkerasan adalah
ITP = a1 x d1 + a2 x d2 + a3 x d3 ................................................................. ....(2.73)

Tabel 2.16 Batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan untul lapis permukaan
Tebal Minimum
ITP Bahan
(cm)
< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag,
6,71 – 7,49 7,5
Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan
metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum ( 1987)

32

Anda mungkin juga menyukai