Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, maasiswa akan dapat memahami arti dan
tujuan perencanaan jalan raya khususnya perencanaan geometrik.

Tujuan Khusus : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa akan dapat memahami arti
dan tujuan perencanaan geometrik, kedudukan perencanaan geometrik pada perencanaan jalan
raya dan syarat teknis perencanaan geometric jalan raya.

1. Arti dan Tujuan Perencanaan Geometrik

Perencanaan geometrik adalah bagian dari peencanaan jalan yang dititik beratkan pada
perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan
pelayanan yang optimum pada arus lalu-lintas. Geometrik merupakan dimensi yang nyata dari suatu
jalan beserta bagian-bagian disesuaikan dengan tuntutan dan sifat-sifat lalu-lintas jalan tersebut.

Melalui perencanaan geometrik diharapkanterciptanya hubungan yang baik antara ruang dan
waktu sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi,
keamanan dan kenyamanan yang optimal dalam batas-batas ekonomi yang masih layak.

Secara umum perencanaan geometrik menyangkut aspek-aspek perencanaan bagian-bagian


jalan seperti lebar, tikungan, landai dan jarak pandang serta ombinasi dari bagian tersebut, baik
untuk jalannya sendiri ataupun pertemuan-pertemuan yang bersangkutan. Perencanaan geometrik
ini secara tidak langsung menyangkut aspek-aspek perencanan serta pelaksanaan konstruksi jalan
yang bersangkutan, hal ini hanya diperhatikan apabila pada kenyataan dilapangan aspek-aspek
tersebut kan memberikan pengaruh yang berarti pada bentuk fisik dari jalan tersebut.

Perencanaan geometrik ini berkaitan dengan arus lalu-lintas sedangkan perencanaan


konstruksi berkaitan dengan beban dari lalu-lintas tersebut. Didalam proses perencanaan geometrik
ada beberapa faktor mempengaruhi dan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Faktor yang
dimaksud yaitu keadaan fisik dan topografi daerah, data lalu-lintas dan kendaran yang
bersangkutan, kapasitas keamanan dan kenyamanan, analisa ekonomi.

Hal – hal tersebut sangat menentukan antara lain dalam menentukan lokasi yang paling
tepat, syarat-syarat perencanaan yang paling sesuai dan type jalan yang paling tepat dalam
memenuhi kebutuhan lalu-lintas.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


1
2. Syarat Teknis Perencanaan Geometrik Jalan Raya

Untuk membuat suatu perencanaan geometrik jalan raya yang utama adalah memenuhi
persyaratan teknis yaitu ketentuan-ketentuan dasar pada Standar Perencanaan Geometrik Jalan
Perkotaan (1992) untuk jalan-jalan didalam kota dan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota (1997) untuk jalan antar kot yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga.

Elemen-elemen dari perencanaan geometrik jalan adalah :

1. Alinyemen Horizontal (Trase Jalan)


Pada bagian ini akan ditunjukkan suatu bentuk proyeksi dari rencana sumbu jalan tegak
lurus pada bidang datar (peta). Pada gambar akan terlihat apakah suatu jalan itu lurus, berbelok
kekanan atau kekiri. Sumbu jalan terdiri dari serangkaian garis lurus, lengkung dengan bentuk
tertentu. Pada perencanaan geometrik jalan dititik beratkan pada pemilihan letak dan panjang dari
bagian-bagian tersebut sehingga akan terpenuhi tuntutan kebutuhan lalu-lintas sesuai dengan
kondisi medan dan juga keamanan ditinjau dari jarak pandang dan sifat mengemudikan kendaraan
di tikungan.

2. Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan
perkerasan jalan melelui sumbu jalan. Alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan
besarnya biaya pembangunan, biaya pengguanaan kendaraan, serta jumlah kecelakaan lalu-lintas.
Rencana alinyemen vertikal sebaiknya mengikuti medan dengan memperhatikan sifat operasi
kendaraan, keamanan jarak pandang dan fungsi jalan.

3. Penampang Melintang Jalan


Penampang melintang jalan menunjukkan bagian-bagian jalan yang terdiri dari : jalur lalu
lintas, median dan jalur tepian (jika ada), bahu, jalur pejalan kaki, drainase dan lereng.

Buku ajar ini merupakan pengetahuan dasar dari perencanaan geometrik jalan, sehingga
untuk pemakaiannya harus didampingi buku-buku standard an spesifikasi teknis yang berlaku.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


2
BAB II
KETENTUAN-KETENTUAN PERENCANAAN

Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa akan dapat memehami dan
dapat menjelaskan ketentuan-ketentuan perencanaan jalan raya.

Tujuan Khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat memahami dan dapat
menjelaskan klasifikasi jalan, kriteria perencanaan, bagian-bagian jalan, penampang melintang
dan jarak pandangan.

2.1 Klasifikasi Jalan


2.1.1 Jalan Perkotaan
Berdasarkan peraturan geometrik jalan perkotaan yang lebih menitikberatkan pada jalan
urban memberikan klasifikasi jalan :
A. Berdasarkan jenis hambatannya jalan-jalan perkotaan dibagi dalam 2 tipe, yaitu :
1. Tipe I : Pengaturan jalan masuk secara penuh
2. Tipe II : Sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.

B. Kelas Perencanaan :
Jalan-jalan tipe I terbagi dalam 2 kelas, dan jalan tipe II terbagi 4 kelas sesuai dengan
klasifikasi fungsional dan perencanaan volume lalu lintas.

Fungsi Kelas
Primer Arteri 1
Kolektor 2
Sekunder Arteri 3

Tabel 2.1 Jalan Tipe I

Fungsi LHR Kelas


(dalam SMP)
Primer Arteri 1
Kolektor > 10.000 1
< 10.000 2
Sekunder Arteri > 20.000 1
< 20.000 2
Kolektor > 6.000 2
< 6.000 3
Jalan lokal > 500
< 500
Tabel 2.2 Jalan Tipe II

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


3
Dasar klasifikasi perencanaan :

TIPE I

Kelas 1 : Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu-lintas cepat Antar-regional
atau antar kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.

Kelas 2 : Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu-lintas cepat antar regional
atau didalam melayani lalu-lintas cepat antar regional atau didalam kota-kota
metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.

TIPE II

Kelas 1 : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 lane atau lebih, memberikan
pelayanan Angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota, dengan
kontrol.

Kelas 2 : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 2 atau 4 lane dalam memberikan
pelayanan Angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota, terutama
untuk persimpangan tanpa lampu lalu-lintas.

Kelas 3 : Standar menengah bagi jalan dengan 2 jalur dalam memberikan pelayanan
Angkutan dalam distrik dengan kecepatan sedang, terutama untuk persimpangan
tanpa lampu lalau-lintas.

Kelas 4 : Standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan dengan jalan-jalan
lingkungan MHT.

2.1.2 Jalan Antar Kota

Berdasarkan peraturan geometrik jalan antar kota klasifikasi jalan berdasarkan:

A. Klasifikasi menurut fungsi jalan


1. Jalan Arteri : Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor : Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal : Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak
dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


4
B. Klasifikasi menurut kelas jalan
1. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban
lalu-lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.
2. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut
fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.3 (Pasal 11, PP No. 43/1993).

Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat,


MST (ton)
I > 10
Arteri II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B

Tabel 2.3. Klasifikasi menurut kelas jalan

C. Klasifikasi menurut medan jalan


1. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang
diukur tegak lurus garis kontur.
2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat pada Tabel
2.4

No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1 Datar D <3

2 Perbukitan B 3 – 25

3 Pegunungan G > 25

Tabel 2.4. Klasifikasi menurut medan jalan

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


5
3. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman
kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada
bagian kecil segmen rencana jalan tersebut.

D. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP. No. 26/1985 adalah
jalan Nasional, Jalan Protokol, Jalan Kabupaten / Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan Khusus.

2.2 Kriteria Perencanaan Geometrik Jalan Raya

Dalam perencanaan geometrik jalan, terdapat beberapa parameter perencanaan yaitu


kendaraan rencana, volume dan kapasitas jalan dan tingkat pelaynan yang diberikan oleh jalan
tersebut. Parameter ini adalah penentu tingkat kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh
suatu bentuk geometrik jalan.

2.2.1 Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana merupakan kendaraan yang mempergunakan jalan dan kendaraan


tersebut dikelompokkan menjadi beberapa keolompok yang kemudian digunakan untuk
perencanaan geometrik jalan. Ukuran lebar kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar jalur yang
dibutuhkan, kendaraan rencana mana yang akan dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan
ditentukan oleh fungsi jalan dan jenis kendaraan yang menggunakan jalan tersebut. Kendaraan
rencana menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997) dikelompokkan
kedalam 3 kategori :

1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.


2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh Bus Besar 2 as.
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


6
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana ditunjukkan pada tabel
berikut :

KATEGORI DIMENSI TONJOLAN RADIUS RADIUS


KENDARAAN KENDARAAN (cm) (cm) PUTAR (cm) TONJOLAN
RENCANA (cm)
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min. Maks.
Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Kendaraan Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Kendaraan Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

Tabel 2.1. Dimensi Kendaraan Rencana

2.2.2. Satuan Mobil Penumpang (SMP)

Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan,
dimana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu SMP.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


7
Satuan Mobil Penumpang untuk jenis-jenis kendaran dan kondisi medan lainnya untuk jalan
antar kota dapat dilihat dalam tabel 2.2. detail nilai SMP dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas
Jalan Indonesia (MKJI) No. 036/T/BM/1997.

No. Jenis Kendaraan Datar / Perbukitan Pegunungan

1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0

2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5

3 Bus dan Truck Besar 1,2 – 5,0 2,2 - 6,0

Tabel 2.6. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

Dalam standar perencanaan untuk jalan perkotaan pada kondisi jalan pada daerah datar
adalah sebagai berikut :

1. Sepeda Motor : 0.5


2. Kendaraan Penumpang / Kendaraan Bermotor : 1.0
3. Truck kecil (berat < 5 ton) Bus – Mikro : 2.5
4. Truck sedang (berat > 5 ton) : 2.5
5. Bus : 3.0
6. Truck berat (berat < 10 ton) : 3.0

Pada kondisi medan berbukit / gunung faktor koefisien diatas dapat diperbesar. Kendaraan
tak bermotor seperti : sepeda, becak dan kendaraan yang ditarik oleh hewan tidak dapat diberikan
koefisien seperti diatas karena pengaruhnya terhadap lalu-lintas sangat dipengaruhi oleh jumlah
volume kendaraan sesaat.

Becak pada prinsipnya dapat disamakan dengan sepeda dalam hal perencanaan geometrik,
namun bila jumlah cukup besar untuk memberikan pengaruha pada lalu-lintas secara menyeluruh,
perlu diberikan pengkajian khusus tentang besaran „ruang kendaraan‟ bagi kedua jenis kendaraan
ini.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


8
2.2.3 Volume Lalu Lintas

Sebagai pengukur jumlah dari arus lalu-lintas digunakan volume. Volume lalu-lintas
menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam suatu satuan waktu
(hari, jam, menit)

Volume lalu-lintas yang tinggi, membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar
sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume
lalu-lintas yang rendah cenderung membahayakan. Satuan umum volume lalu-lintas yang umum
dipergunakansehubungan dengan jumlah dan lebar lajur adalah :

A. Volume lulu-lintas rencana (VLHR)

Adalah jumlah lalu-lintas dalam satu tahun dibagi hari-hari dalam setahun dinyatakan dalam
SMP/hari. Lalu-lintas harian rata-rata tidak memberikan gambaran perubahan-perubahan penting
lalu-lintas yang terjadi pada berbagai bulan dalam satu tahun, hari dalam satu minggu dan jam
dalam satu hari.

B. Volume perjan perencanaan

LHR merupakan volume lalu-lintas dalam satu hari per volume harian, sehingga nilai LHR
tidak dapat memberikan gambaran tentang fluktuasi arus lalu-lintas lebih pendek dari 24 jam, maka
suatu interval waktu yang layak dan cukup menunjukkan keadaa arus lalu-linta s harus ditetapkan,
untuk dipergunakan sebagai satuan volume. Volume dalam 1 jam yang dipakai untuk perencanaan
adalah volume perjam perencanaan. Pada buku standar perencanaan Jalan Antar Kota, volume
perjam perencanaan disebut dengan Volume Jam Rencana (VJR) dan pada buku standar
Perencanaan Jalan Perkotaan disebut dengan Volume Perjam Perencanaan (DHV).

B.1. Volume Jam Rencana (VJR)

Volume Jam rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu-lintas pada jam sibuk tahun
rencana lalu-lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus :

dengan : K = faktor volume lalu-lintas jam sibuk

F = faktor variasi tingkat lalu-lintas per seperempat jam dalam satu


jam

VJR dipergunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu-lintas lainnya yang
diperlukan. Tabel berikut akan menyajikan faktor-K dan faktor-F sesuai dengan VLHR-nya :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


9
VLHR FAKTOR-K FAKTOR-F
(%) (%)

> 50.000 4–6 0.9 – 1


30.000 – 50.000 6–8 0.8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0.8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0.6 – 0.8
1.000 – 5000 10 – 12 0.6 – 0.8
< 1.000 12 – 16 < 0.6

Tabel 2.7 Faktor – K dan faktor – F berdasarkan VLHR rata-rata

B.2. Volume Perjam Perencanaan (DHV)

Volume Perjam Perencanaan (DHV) dalam buku Standar perencanaan geometrik jalan
perkotaan dinyatakan dalam SMP yang menyatakan volume harian lalu-lintas kedua arah. Volume
perjam di hitung sebagai berikut :

Untuk jalan-jalan 2 jalur :

DHV = DTV * (K/100)

Untuk jalan-jalan berjalur banyak :

DHV = DTV * (K/100) * (D/100)

dengan :

DHV : Volume perjam perencanaan (PCU/2 arah/jam) untuk jalan 2 jalur.

(PCU/arah/jam untuk jalan berjalur banyak.

DTV : Volume Lalu Lintas Rencana (PCU/2arah/hari)

K : Koefisien Puncak (%), biasanya diambil 10%,

D : Koefisien Arah (%), dapat digunakan 60

C. Kapasitas Jalan

Kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu penumpang
jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus lalu-lintas tertentu.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


10
2.2.4 Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan. Setiap
bagian jalan seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandangan dan lain-lain.

Standar Perencanaan Geometrik Jalan untuk jalan perkotaan memberikan batasan kecepatan bagi
jalan-jalan perkotaan haruslah sesuai dengan tipe dan kelas jalan yang bersangkutan.

Tipe Kelas Kecepatan Rencana (Km/Jam)

Tipe I Kelas 1 100,80


Kelas 2 80,60

Tipe II Kelas 1 60
Kelas 2 60,50
Kelas 3 40,30
Kelas 4 30,20

Tabel 2.8. Kecepatan Rencana Untuk Jalan Perkotaan

Kecepatan rencana (VR) jalan antar kota haruslah sesuai dengan fungsi jalan dan klasifikasi
medan jalan. Kecepatan rencana jalan antar kota terlihat pada table berikut :

Kecepatan Rencana (VR)


Fungsi (Km/Jam)
Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70

Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50

Lokal 40 – 70 30 - 50 20 – 30

Tabel 2.9 Kecepatan Rencana Jalan Antar Kota

2.3 Bagian-Bagian Jalan

Bagian-bagian Jalan meliputi daerah-daerah sebagai berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


11
2.3.1 Daerah Manfaat JAlan (Damaja)

Damaja adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang
pengaman. Damaja dibatasi oleh : (lihat gambar 2.2)

a. Lebar antara ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan.


b. Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan.
c. Kedalaman ruang bebas 1.5 meter dibawah muka jalan.

2.3.2 Daerah Milik Jalan (Damija)

Damija adalah daerah yang meliputi seluruh daerah manfaat jalan dan daerah yang
diperuntukkan bagi pelebaran jalan dan penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Ruang Daerah Milik Jalan dibatasi oleh lebar yang
sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan
kedalaman 1.5 meter.

2.3.3 Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja)

Dawasja adalah lajur lahan yang berada dibawah pengawasan penguasa jalan, ditujukan
untuknpenjagaan terhadap terhalangnya pandangan bebas pengemudi kendaraan bermotor dan
untuk pengamanan konstruksi jalan dalam hal ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.

Ruang Dawasja adalah ruang sepanjang jalan diluar damaja yang dibatasi oleh tinggi dan lebar
tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut :

1. Jalan Arteri minimum 20 meter


2. Jalan Kolektor minimum 15 meter
3. Jalan Lokal minimum 10 meter.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


12
Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang
bebas.

2.4 Penampang Melintang Jalan

2.4.1 Komposisi Penampang Melintang

Penampang melintang jalan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut :

Untuk Jalan Antar kota :

1. Jalur lalu-lintas
2. Median dan Jalur tepi (jika ada0
3. Bahu
4. Jalur pejalan kaki
5. Selokan
6. Lereng

Untuk Jalan Perkotaan ;

1. Jalur Lalu-lintas (traveled way)


2. Median
3. Bahu Jalan (shoulder)
4. Trotoir (side walk)
5. Jalur Sepeda (bike way)
6. Jalur pepohonan/hijau (planted strip)
7. Jalur Pembatas (frontage road)
8. Batas Luar Jalan (outer separation)

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


13
Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”
14
Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”
15
2.4.2 Jalur Lalu Lintas

Jalur Lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang
secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau
jalan dan separator. Untuk jalan Type I dan II kecuali Type II kelas IV pada jalan perkotaan terdiri
dari jalur belok, jalur tanjakan, jalur percepatan/perlambatan dan jalur parkir. Jalur lalu lintas pada
Type II kelas IV merupakan bagian jalur kendaraan dimana arus lalu lintas kedua arah
diperkenankan.

Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur. Jalur lalu-lintas dapat terdiri beberapa type :
1 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)

1. 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)


2. 2 jalur – 4 lajur – 2 arah (4/2 B)
3. Jalur – n lajur – 2 arah (n/2B), dengan : n = jumlah lajur
TB = Tidak Terbagi
B = Terbagi

Lebar jalur lalu lintas sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya.

VLHR ARTERI KOLEKTOR LOKAL


(smp/hari)

ideal minimum ideal minimum ideal Maksimum


Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar Lebar
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
(m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m) (m)
< 3.000 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.0 4.5 1.0
3000 – 7.0 2.0 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.0
10.000
10.001 – 7.0 2.0 7.0 2.0 7.0 2.0 Mengacu
25.000 Persyaratan Tiada ditentukan
> 25.00 2nx3.5 2.5 2x7.0 2.0 2nx3. 2.0 Ideal
5

Tabel 2.10 Lebar jalur dan bahu Jalan Untuk jalan Antar Kota

Untuk jalan perkotaan, jumlah jalur dimana volume lalu lintas rencana yang lebih kecil dari
nilai pada table 2.6 kolom ke-2 sebaiknya 2 jalur kecuali jumlah jalur belok dan jalur
percepatan/perlambatan. Jumlah jalur pada jalan-jalan lainnya yang tidak termasuk pada yang
dimaksud sebaiknya 4 jalur atau lebih. Jumlah jalur haruslah ditentukan oleh perbandingan antara
volume kendaraan untuk perencanaan dengan standar perencanaan LHR per jalur (kolom ke-3).

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


16
Klasifikasi Standard Standard Lebar Jalur
perencanaan Perencanaan Rencana Lalu- Lalu Lintas
Lalu-lintas harian lintas harian (m)
(SMP) (SMP)
Type I Kelas 1 20.000 15.000 3.5
Kelas 2 20.000 15.000 3.5
Type II Kelas 1 18.000 13.000 3.5
Kelas 2 17.000 13.000 3.25
Kelas 3 15.000 12.000 3.25, 3.00

Tabel 2.11 Jumlah jalur dan Lebar Jalur berdasarkan LHR Untuk jalan perkotaan

2.4.3 Lajur

Pengertian lajure adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, dalam hal ini dinyatakan dalam
fungsi dan kelas jalan. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu pada MKJI (Manual Kapasitas
Jalan Indinesia) berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan dimana untuk setiap ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.
untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus memerlukan
kemiringan melintang normal sebagai berikut :

1. 2 – 3 % untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton


2. 4 – 5 % untuk perkerasan kerikil.

FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR IDEAL


(m)
Arteri I 3,75
II,III A 3.50
Kolektor III A, III B 3.00
Lokal III C 3.00

Tabel 2.12 Lebar Lajur Jalan Ideal Jalan Antar Kota

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


17
2.4.4 Bahu Jalan (Shoulder)

Bahu jalan adalah struktur yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk melindungi
perkerasan, pengamanan kebebasan samping dan menyediakan ruang untuk tempat berhenti
sementara, parker dan pejalan kaki.

Menurut letaknya, bahu jalan dibedakan :

1. Bahu kiri/bahu dalam (left shoulder/inner shoulder), yaitu bahu jalan yang dibuat pada tepi
kiri/dalam dari jalur lalu lintas.
2. Bahu kanan/bahu luar (right shoulder/outer shoulder), yaitu bahu jalan yang dibuat pada
tepi kanan/luar jalur lalu lintas.

Lebar bahu jalan untuk jalan antar kota dapat dilihat pada table 2.6, sedangkan untuk jalan
perkotaan dapat dilihat pada table berikut :

Klasifikasi Lebar Bahu Kanan (Luar) Lebar


Perencanaan Bahu
Tidak Ada Trotoar Ada Kiri
Standar Pengecualian Lebar yang Trotoar (Dalam)
Minimum Minimum Diinginkan
TIPE I Kelas 1 2.0 1.75 3.25 - 1.00
Kelas 2 2.0 1.75 2.5 - 0.75
TIPE II Kelas 1 2.0 1.5 2.5 0.5 0.50
Kelas 2 2.0 1.5 2.5 0.5 0.50
Kelas 3 2.0 1.5 2.5 0.5 0.50
Kelas 4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.50

Table 2.13 Lebar Bahu Jalan untuk Jalan Perkotaan

2.4.5 Median

Median adalah bagian bangunan jalan yang secar fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang
berlawanan arah. Pada jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median.

Fungsi Median adalah untuk :

1. Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah.


2. Ruang lapak tunggu penyeberangan jalan.
3. Penempatan fasilitas jalan.
4. Tempat prasarana kerja sementara.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


18
5. Penghijauan.
6. Tempat berhenti darurat jika cukup luas.
7. Cadangan Jalur jika cukup luas.
8. Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan yang berlainan.

Median dapat dibedakan atas beberapa macam type :

1. Median direndahkan : Terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang
direndahkan.
2. Median ditinggikan: Terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah yang ditinggikan.

Lebar minimum median sesuai dengan kelas perencanaan jalan. Bila fasilitas jalan terpasang
pada median, maka penetapan lebar median haruslah diperhitungkan lebar bebas jalan per arah.
Pada umjumnya median terdiri dari jalur tepian dan pemisah tengah. Lebar jalur tepian sebesar 0.25
– 0.75 meter. Pemisah dengan lebar sampai 5.0 meter sebaiknya ditinggikan dengan kereb atau
dilengkapi dengan pembatas phisik agar tidak dilanggar kendaraan.

Kelas Perencanaan Lebar Lebar Lebar Garis


Minimum Minimum Tepi median (m)
Standar (m) Khusus (m)
Type I Kelas 1 2.50 2.50 0.75
Kelas 2 2.0 2.0 0.5
Type II Kelas 1 2.0 1.0 0.25
Kelas 2 2.0 1.0 0.25
Kelas 3 1.5 1.0 0.25

Tabel 2.14 Lebar Minimum Median dan Lebar Garis Tepi Median

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


19
2.4.6 Fasilitas Pejalan Kaki

Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari jalur lalu lintas kendaraan
guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas. Jika fasilitas pejalan kaki
diperlukan, maka perencanaannya mengacu pada Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan
Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga 1992.

2.5 Jarak Pandangan

Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan suatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan
dua Jarak Pandang, yaitu Jarak pandang henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd).

2.5.1 Jarak Pandang Henti (Jh)

Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi
untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan didepan. Setiap
titik disepanjang jalan harus memenuhi Jarak Pandang Henti. Jarak Pandang Henti diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm di
ukur dari permukaan jalan.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


20
Jarak Pandang Henti terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu :

1. Jarak Tanggap (Jht)


Adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi melihat suatu halangan yang
menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
2. Jarak Pengereman (Jhr)
Adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak
rem sampai kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti dalam satuan meter dapat dihitung dengan rumus :

Jh = Jht + Jhr

T+

2g . fp

Dengan :

VR = kecepatan rencana (km/jam)

T = waktu tanggap, ditetapkan 2.5 detik

G = percepatan gravitasi, ditetapkan 9.8 m/det2

Fp = koefisiensi gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0.35 – 0.55

Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi :

Jh = 0.278 VR T + VR2 untuk jalan datar

254 fp

Jh = 0.278 VR T + VR2 untuk jalan dengan kelandaian tertentu

254 (fp + L) dimana L = landai jalan dalam %

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


21
Tabel 2.11 berisi Jh minimum yang dihitung berdasarkan persamaan dengan pembulatan-
pembulatan untuk berbagai VR.

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh, minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

Tabel 2.15 Jarak Pandang Henti (Jh) minimum

2.5.2 Jarak Pandang Mendahului (Jd)

Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memumngkinkan suatu kendaraan mendahului
kendaraan lain didepannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Jarak
Pandang Mendahului diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tinggi halangan adalah 105 cm. jarak Pandang Mendahului dalam satuan meter ditentukan berikut :

Jd = d1 + d2 + d3 + d4
Dengan :

d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)

d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula (m)

d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang dating dari arah
berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)

d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah berlawanan, yang besarnya
diambil sama dengan 2/3d2 (m).

Rumus-rumus yang dipakai untuk memperoleh :

d1 = 0.278 T1 (VR – m + T1/2)

d2 = 0.278 VR T2

d3 = antara 30 – 100 meter

VR (km/jam) 50 -65 65 - 80 80 - 95 95 - 100


d3 (m)
30 55 75 90

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


22
d4 = 2/3 d2

dengan : T1 = waktu (dalam detik)

T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan (detik)

= 6.56 + 0.048 VR

a = Percepatan rata-rata (km/jam/detik)

= 2.052 + 0.0036 VR

m = Perbedaan percepatan dari kendaraan yang menyiap dan kendaraan yang disiap
biasanya dimbil 10 – 15 km/jam.

Jarak Pandang Mendahului yang sesuai dengan VR ditetapkan dari tabel 2.12 berikut :

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

Tabel 2.16 Panjang Jarak Pandang Mendahului

Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30%
dari panjang total ruas jalan tersebut.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


23
BAB III

ALINYEMEN HORIZONTAL

Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa akan dapat merencanakan
suatu alinyemen horizontal.

Tujuan Khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat merencanakan alinyemen
horizontal bentuk lingkaran, Spiral-Circle-Spiral dan Spiral-Spiral, menggambarkan diagram
superelevasi dan menghitung pelebaran perkerasan pada tikungan.

3.1 Pengertian Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen
horizontal dalam istilah lain disebut juga “trase jalan” atau “situasi jalan”. Alinyemen horizontal
terdiri dari bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan).

Alinyemen horizontal pada jalan perkotaan (urban road) harus diatur sedemikian rupa dan
hendaknya dipertimbangkan sesuai hal-hal berikut :

1. Disesuaikan dengan keadaan topografi dan geografi daerah sekitar.


2. Kemantapan alinyemen
3. Koordinasi antara alinyemen horizontal dan vertikal
4. Perspektif yang dapat disetujui
5. Keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, penumpang dan pejalan kaki.
6. Keterbatasan-keterbatasan pada pelaksanaan pembangunannya.
7. Keterbatasan anggaran pembangunan pada pelaksanaan pembangunannya.

Dalam merencanakan alinyemen horizontal faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah


menentukan besarnya kecepatan rencana, jari-jari lengkung dan hubungannya dengan koefisien
melintang (fm) dan kemiringan jalan.

3.2 Bagian Lurus (Bagian Tangen)

Tangen adalah merupakan bagian-bagian lurus dari suatu trase jalan. Dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi,
maka panjang maksimum bagian lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebuh dari 2.5 menit
(sesuai VR).

Panjang bagian lurus untuk jalan antar kota Dapat ditetapkan pada tabel berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


24
FUNGSI Panjang bagian Lurus Maksimum (m)

Datar Perbukitan Pegunungan


Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500

Tabel 3.1 Panjang Bagian lurus Maksimum

3.3 Bagian Lengkung Horisontal

3.3.1 Jari – Jari Minimum

Perencanaan Geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya


Sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan dengan kecepatan VR. Sedangkan untuk
keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus diperhitungkan.

Gaya sentrifugal yang timbul pada saat kendaraan berjalan pada lengkung horizontal
menyebabkan kendaraan cenderung terlempar keluar. Gaya yang akan mengimbangi gaya
sentrifugal tersebut berasal dari komponen berat kendaraan akibat kemiringan melintang tikungan,
serta gesekan melintang antara ban kendaraan dengsn perkerasan jalan.

Pada gaya sentrifugal masih seimbang dengan gaya gesekan melintang, berlaku hubungan :

Fm = V2

127 R

Dimana : fm = Koefisien gesekan melintang antara ban dengan perkerasan jalan.

V = Kecepatan rencana

R = Jari – jari tikungan

Pada keadaan gaya sentrifugal tidak cukup diimbangi kemiringan melintang baik karena
naiknya kecepatan kendaraan atau jari – jari tikungan, gaya gesekan antara ban dengan perkerasan
akan timbul. Dalam hal ini kemiringan dan gaya gesekan bersama – sama mengimbangi gaya
sentrifugal, maka berlaku hubungan :

i + fm = V2

127 R

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


25
Koefisien gesekan maksimum terjadi pada saat akan terjadi slip. Besarnya tergantung antara
lain pada kecepatan kendaraan, jenis perkerasan (kasar atau licin), keadaan permukaan (basah atau
kering) dan keadaan ban. Sedangkan meskipun secara teoritis kemiringan melintang dapat dibuat
beberapa saja, tetapi pembatasan harus tetap diadakan. Hal ini karena variasi kecepatan kendaraan
yang cukup besar serta variasi cuaca, sehingga kemiringan melintang dbatasi nilai maksimumnya.
Besarnya kemiringan maksimum membatasi jari – jari lengkung minimum untuk suatu kecepatan
rencan. Maka rumus jari – jari lengkung adalah :

Rmin = V2

127 (i + fm)

Jari – jari minimum atau derajat maksimum adalah harga batas dari suatu tikungan untuk
suatu kecepatan rencana. Besaran ini sedapat mungkin dihindarkan pda perencanaan alinyemen
horizontal suatu jalan. Kecuali bila keadaan jalan tidak mengijinkan untuk mengadakan tikungan
yang lebih tumpul.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


26
Grafik 3.1 Nilai untuk e maks 6%, 8% dan 10% menurut AASTHO.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


27
Untuk pertimbangan perencaan, dugunakan e mak = 10% dri fmak sesuai gambar 3.1 Yng
hasilnya dibulatkan. Untuk berbagai variasi kecepatan dapat digunakan tabel 3.2 (lihat tabel).

VR (km/jam) 120 100 90 80 60 50 40 30 20

Rmin(m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15

Tabel 3.2 Panjang Jari – jari miimum (dibulatkan) untuk emak = 10 %

3.3.2 Lengkung Peralihan

Lengkung peralihan adalah lenkung pada tikungan yang dipergunakan untuk mengadakan
peralihan dari bagian jalan yang lurus ke bagian jalan yang mempunyai jari-jari lengkung dengan
miring tertentu atau sebaliknya.

Panjang kemiringan lengkung peralihan pada umumnya ditentukan oleh jarak. Yang
diperlukan untuk perubahan miring tikungan yang tergantung pada besarnya landau relative
maksimum pada kedua sisi perkerasan. Pada umumnya ketajaman sebuah lengkung melingkar
ditunjukkan oleh radiusnya dan bias juga dengan sudut kelengkungan (degree of curve) yaitu sudut
pusat yang dibentuk oleh lengkung.

Sudut kelengkungan berbanding terbalik dengan jari – jari daan hubungannya dinyatakan
dengan Rumus :

D = 1432.39

Dimana : D = Sudut kelengkungan

R = Jari – jari (m)

Rumus diatas memberikan hubungan antara kecepatan, Jari –jari lengkung lingkar, koefisien
gesekan samping dan superelevasi untuk tujuan perencanaan persamaan dinyatakan dengan
perumusan dibawah ini :

Dmax = 181913.53 (e + fm)

V2

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


28
dengan : Dmax = Sudut kelengkungan paling tajam diijinkan

V = Kecepatan Rencana

e = Koefisien gesekan maksimum

fm = Koefisien gesekan melintang

Bentuk lengkung melingkar mempunyai kelemahn berupa perubahan arah yang mendadak.
Untuk menghindari ini diperlukan adanya suatu lengkung yang memberikan peralihan arah dari
lurus melingkar. Pengertian peralihan yaitu perubahan jari – jari, perubahan berangsur-angsur dari
tak terhingga dari tangan sampai mencapai jari – jari tertentu yang sama besarnya dengan jari-jari
busur lingkaran yang bersangkutan.

Panjang lengkung pealihan (Ls), menurut tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997, diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :

(a). Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan maka
panjang lengkung :

(b). Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus modifikasi Shortt sebagai berikut :

(c). Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian,

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


29
dengan :

T = waktu tempuh = 3 detik e = superelevasi

Rc = jari-jari busur ligkaran em = superelevasi maks

C = perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 en = superelevasi normal

disarankan 0,4 m/det3

re = tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai berikut :

Untuk VR < 70 km/jam re = 00,035 m/m/det

Untuk VR > 80 km/jam re = 0,025 m/m/det

3.3.3 Macam-Macam Lengkung

Pada bagian tikungan, ada 3 bentuk lengkung horizontal :

1. Lengkung Busur Lingkaran sederhana (Full Circle)


2. Spiral – Circle – Spiral (S-C-S)
3. Spiral – Spiral (S – S)
Penjelasan ketiga bentuk lengkung horizontal tersebut adalah sebagai berikut :

3.3.3.1 Lengkung Busur Lingkaran sederhana (Full Circle)

Adalah lengkung yang menghubungkan dua garis yang perpotongannya sebagai garis
singgung lingkarang yang berjari-jari tetap. Tidak semua lengkung dapat berbentuk busur lingkaran
sederhana, hanya lengkung yang dengan radius besar yang diperbolehkan. Jika digunakan radius
yang kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


30
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60

Tabel. 3.3 Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan

Rumus-rumus yang digunakan :

Tc = R . tg ½

Ec = Tc . tg ¼

Lc =

2 Tc > Lc

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


31
3.3.3.2 Spiral – Circle – Spiral (S - C - S)

Adalah lengkung yang terdiri dari ruas spiral – lingkar – spiral dimana sudut spiral simetris
dan panjang jari-jari tetap dimana sudut spiral simetris dan panjang jari – jari tetap.

Keterangan :

Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus lengkung peralihan)

Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada
lengkung.

Ls = panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)

Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)

Ts = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST

TS = titik dari tangen ke spiral

SC = titik dari spiral ke tangen

Es = jarak dari PI ke busur lingkaran

Өs = sudut lengkung spiral

Rc = jari-jari lingkaran

P = pergeseran tangen terhadap spiral

k = absis dari p pada garis tangen spiral

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


32
Rumus yang digunakan :

Xs = Ls

Ys =

Өs =

p =

k =

Ts = (Rc+p) tan ½ Δ + k

Es = (Rc+p) sec ½ Δ – Rc

Lc = x π x Rc

Ltot= Lc + 2Ls

Jika diperoleh Lc<25m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S, tetapi digunakan
lengkung S-S, yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung peralihan.

Jika p yang dihitung dengan rumus , maka ketentuan tikungan yang


digunakan bentuk FC

Untuk : Ls = 1,0 meter, maka p=p‟ dan k=k‟

Untuk : Ls = Ls, maka p=p‟ x Ls dan k=k‟ x Ls

Nilai p‟ dan k‟, dapat diambil dari tabel 5.6

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


33
3.3.3.3 Spiral – Spiral (S-S)

Adalah lengkung yang berbentuk dari dua ruas spiral dengan panjang spiral (LS) yang simetris

Untuk bentuk spiral-spiral ioni berlaku rumus sebagai berikut :

Lc = 0 dan Өs = ½ Δ

Ltot= 2 Ls

Untuk menentukan Өs dapat menggunakan rumus

p, k, Ts dan Es, dapat menggunakan rumus-rumus seperti pada S-C-S

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


34
3.4 Pencapaian Superelevasi

3.4.1 Pengertian Superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi


gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan dengan kecepatan
VR.

Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng normal ke


superelevasi penuh, sehingga dengan mempergunakan diagram superelevasi dapat ditentukan
bentuk penampang melintang pada setiap titik di suatu lengkung lengkung horisontal yang
direncanakan.

Pada jalan lurus kemiringan melintang jalan diambil 2%. Kemiringan ini disebut dengan
kemiringan normal (en).

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


35
Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10% untuk jalan antar kota. Sedangkan untuk jalan
perkotaan superelevasi maksimum ditetapkan 10% untuk type I dan 6% untuk type II.
Pengecualian untuk jalan perkotaan, jalan-jalan type II yang sudah mapan bisa tidak diberikan
superelevasi dalam hal ini kemiringan normal tetap diperlukan.

Harga superelevasi untuk jalan perkotaan sebaiknya sesuai dengan kecepatan rencana dan
jari-jari tikungannya, dalam hal ini disajikan dalam tabel berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


36
3.4.2 Cara Penggambaran Diagram Supereleasi

Diagram superelevasi digambar berdasarkan elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Elevasi
tepi perkerasan diberi tanda positif atau negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan. Tanda positif
untuk elevasi tepi perkerasan yang terletak lebih tinggi dari sumbu jalan dan tanda negatif untuk
elevasi tepi perkerasan yang terletak lebih rendah dari sumbu jalan .

Pada tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S), pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) pada bagian lurus jalan, lalu
dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada bagian lengkug peralihan (SC).

Pada tikungan Full Circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari
bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian
panjang Ls.

Pada tikungan Spiral-Spiral (S-S) pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada


bagian spiral.

Ada tiga cara untuk mendapatkan superelevasi yaitu :

a. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.

b. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.

c. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar.

Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk itu cukup lereng luar
diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan tetap lereng normal (LN). Lihat tabel 3.6 di
bawah, contoh dibuat untuk Vr = 60km/jam.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


37
Catatan dari tabel 3.6 di atas :

1. Untuk VR = 60km/jam maka Rmin = 115m

Untuk berbagai variasi VR, besaran Rmin sesuai dengan tabel 5.4.

2. Untuk VR = 60km/jam, maka Rmin = 500m untuk keadaan dimana tikungan berbentuk FC,
yang tidak memerlukan lengkung peralihan Besaran Rmin = 500m ini, jika D = 2,860
dengan kemiringan melintang 4% (ketentuan 1997, ketentuan 1990 = 3% → Rmin = 700m).
Untuk berbagai variasi VR besaran Rmin sesuai dengan tabel 3.3.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


38
3.4.3 Landai Relatif

Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar
dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Presentase kelandaian ini
disesuaikan dengan kecepatan rencana dan jumlah lajur yang ada.

Untuk praktis, dapat digunakan besaran pada tabel 3.7 atau dihitung dengan rumus :

Dimana : = landai relatif (%)

e = superelevasi (m/m)

en = kemiringan melintang normal (m/m)

B = lebar jalur (m)

3.5 Pelebaran Tikungan

Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan dilakukan untuk mempertahankan
kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian lurus. Hal ini terjadi
karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cendrung untuk keluar lajur akibat
posisi roda depa dan roda belakang yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.

Penentuan pelebaran jalur lalu lintas di tikungan ditinjau dari elemen-elemen : keluar lajur (off
tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


39
Untuk praktis, besaran lebar untuk pelebaran di tikungan, pada tabel 3.8 dapat digunakan.

3.6 Daerah Bebas Samping di Tikungan

Jarak pandang pengemudi pada lengkung horisontal (di tikungan), adalah pandangan bebas
pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping).

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


40
 Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang di
tikungan sehingga Jh dipenuhi.
 Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandang di tikungan
dengan membebaskab obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari garis tengah lajur
dalam sampai obyek penghalang pandang sehingga persyaratan Jh dipenuhi. (lihat gambar
3.7 dan gambar 3.8)
 Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai berikut :

(1). Jika Jh < Lt :

(2). Jika Jh > Lt :

Tabel 3.9 menampilkan nilai E dalam satuan meter, yang dihitung menggunakan persamaan
dengan pembulatan-pembuatan untuk Jh < Lt.

Sedangkan tabel 3.10 digunakan untuk Jh > Lt, yang dihitung dari persamaan
. Tabel 3.10a untuk (Jh-Lt = 25m) dan tabel 3.10b
untuk (Jh-Lt = 50m).

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


41
Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”
42
3.7 Tikungan Gabungan

Pada perencanaan alinyemen horisontal, kemungkinan akan ada/ditemui perencanaan tikungan


gabungan karena kondisi topografi pada route jalan yang akan direncanakan sedemikian rupa
sehingga terpaksa (tidak dihindari) harus dilakukan rencana tikungan gabungan, yang terdiri dari
tikungan gabungan searah dan tikungan berbalik.

(1) Tikungan Gabungan Searah

R1>1,5 R2 → tikungan gabungan searah yang harus dihindari, jika terpaksa dibuat tikungan
dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada gambar di bawah.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


43
(2). Tikungan Gabungan Berbalik

Tikungan gabungan yang berbalik secara tiba-tiba, hanya dihindari, karena dalam kondisi ini
pengemudi sangat sulit untuk mempertahankan kendaraan pada lajurnya. Jika terpaksa
dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada gambar di
bawah.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


44
Tikungan gabungan yang berbalik, akan menemui kesukaran dalam pelaksanaan
(konstruksi) kemiringan melintang jalan, terutama pada konstruksi timbunan yang tinggi,
tikungan semacam ini sedapat mungkin harus dihindari.

3.8 Stationing

Untuk mempermudah penggambaran dan kedudukan titik-titik pada trase jalan diperlukan
penandaan. Pada perencanaan geometrik jalan hal ini disebut dengan stationing.

Stationing dimulai dari titik awal proyek dengan nomor station : 0 + 000. Angka sebelah kiri
tanda + menunjukan kilometer, sedangkan sebelah kanan tanda + merupakan meter.

Angka station bergerak keatas dan setiap 50 meter dituliskan pada gambar perencanaan.
Kemudian nomor station pada titik-titik utama tikungan, yaitu : TS, SC, ST atau TC, serta PI harus
dicantumkan, pemberian nomor diakhiri pada titik akhir proyek.

Cara menentukan stationing adalah sebagai berikut :

Terlebih dahulu harus diketahui koordinat titik awal proyek pada STA 0+000 dan koordinat
titik-titik PI1, PI2 ..... dan seterusnya, maka dapat dihitung jarak-jarak d1, d2, d3 ..... dan seterusnya.

Jarak-jarak d ini untuk menghitung station-station PI, sebagai berikut :

PI1 STA .... + .... = (STA 0 + 000) + d1

PI2 STA .... + .... = (PI1 STA .... + .... ) + d2

TS STA .... + .... = (PI1 STA .... + .... ) - Tt

SC STA .... + .... = (TS STA .... + .... ) - Ls

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


45
CS STA .... + .... = (SC STA .... + .... ) - Lc

ST STA .... + .... = (CS STA .... + .... ) - Ls

Kemudian untuk lengkungan yang kedua juga dihitung dari (PI2 STA .... + ....), jadi :

TS STA .... + .... = (PI2 STA .... + .... ) - Ts

SS STA .... + .... = (TS STA .... + .... ) + Ls

ST STA .... + .... = (SS STA .... + .... ) + Ls

Untuk stationing selanjutnya sampai dengan station akhir, cara melakukannya sama dengan
cara sebelumnya. (dihitung dulu STA PI).

CONTOH-CONTOH PERHITUNGAN

1. Diketahui :

Direncanakan suatu ruas jalan Antar Kota seperti tergambar dibawah ini :

 Titik A dianggap berimpit dengan BM 0 sebagai awal Proyek Sta 0+000, dengan koordinat
dan elevasi seperti pada gambar di atas.
 Titik PI dengan koordinat seperti pada gambar diatas, merupakan tikungan pertama yang
akan direncanakan.
 Titik B adalah titik akhir (sembarang) yang ditinjau, terletak pada sumbu jalan rencana.
 Jalan yang akan direncanakan berupa jalan arteri pada daerah perbukitan.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


46
Data dan Ketentuan :

 Dari tabel 2.5 → VR = 60-80 km/jam, diambil VR = 60 km/jam


 Dari rumus → Rmin =

 Dari grafik 3.1, untuk emak = 10% maka fmak = 0.153


 Diperoleh →

(Rmin dapat dilihat pada tabel 3.2 dan tabel 3.3)

Perencanaan Tikungan :

(1) Mencari jarak lurus (A-PI) dan (PI-B)

= 232,13m

= 267,04m

(2) Mencari besar sudut tikungan Δ

Sudut azimuth = arc tan

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


47
(3) Perhitungan

ALTERNATIF 1

Menggunakan tikungan jenis SCS dengan R = 150m > Rmin = 115m

1) menghitung komponen tikungan

R = 150m, Δ = 38,010

Dari tabel 2.5 → Ls = 60m

Dari rumus →

= = 59,76m

Dari rumus →

Dari rumus →

Dari rumus →

= 1,010068m

Dari rumus →

= 29,9600

Dari rumus → Ts = (Rc + p)tan ½ Δ+k

Ts = (150 + 1,010068)tan ½ (38,015) + 29,9600

= 81,979m

Dari rumus → Es = (Rc + p)sec ½ Δ-Rc

Es = (150 + 1,010068)sec ½ (38,015)-150

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


48
= 9,7185m

Dari rumus →

Lc =

= 39,524m

Ltot = Lc + 2Ls

= 39,524+1(60)

= 159,524m

2). Mencari posisi titik-titik tikungan

Jika titik A adalah awal proyek, maka :

Sta = 0+000

Sta PI = Sta A + dA-PI

Sta TS = Sta A + dA-PI – Ts

= (0 + 000) + 232,13 – 81,979 = 0 + 150,151

Sta SC = Sta Ts + Ls

= (0 + 150,151) + 60 = 0 + 210,151

Sta CS = Sta SC + Lc

= (0 + 210,151) + 39,524 = 0 + 249,675

Sta ST = Sta CS + Ls

= (0 + 249,675) + 60 = 0 + 309,675

` Sta B = Sta ST – Ts + dPI-B

= (0 + 309,675) – 81,979 + 267,04 = 0 + 494,736

Jadi panjang jalan rencana dari A-B adalah 494,736m

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


49
ALTERNATIF 2

Menggunakan tikungan jenis FC dengan R=700m>Rmin untuk FC (tabel 3.3)

1) Menghitung komponen tikungan

Rc=600m, Δ=38,017°

Dari rumus → Tc = Rc tan ½ Δ

= 600 tan ½ (38,017) = 206,696m

Dari rumus → Ec = Tc tan ¼ Δ

= 206,696 tan ¼ (38,017) = 34,605m

Dari rumus → Lc =

2) Mencari posisi titik-titik tikungan

Sta = 0 + 000

Sta TC = Sta A + dA-PI - Tc

= (0 + 000) + 232,13 – 206,696 = 0 + 025,434

Sta CT = Sta TC + Lc

= (0 + 025,434) + 398,113 = 0 + 423,547

Sta B = Sta CT – Tc + dPI-B

= (0 + 423,547) – 206,696 + 267,04 = 0 + 483,891

Jadi panjang jalan rencana dari A-B adalah 483,891m

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


50
BAB IV

ALINYEMEN VERTIKAL

Tujuan umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa akan merencanakan suatu
alinyemen vertikal.

Tujuan khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat merencanakan alinyemen
vertikal.

4.1 Pengertian Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan


perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing
perkerasan untuk jalan dengan median.

Pertimbangan perrencanaan alinyemen vertikal meliputi :

1. Besarnya biaya pembangunan yang tersedia.


2. Persyaratan yang berhubungan dengan fungsi jalan.
3. Kondisi tanah dasar.
4. Kondisi medan.
5. Muka air banjir.
6. Muka air tanah.
7. Kelandaian yang masih memungkinkan.

Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau
dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau
landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa
lengkung cekung atau lengkung cembung.

4.2 Kelandaian pada Alinyemen Vertikal

Kelandaian jalan adalah naik atau turunnya jalan yang dinyatakan dalam ± %. Kelandaian + ...
% berarti jalan itu naik. Kelandaian - ... % berarti jalan itu turun. Antara kelandaian-kelandaian
tersebut dihubungkan dengan suatu lengkung vertikal yang berbentuk lengkung parabola
sederhana simetris.

Kelandaian ideal pada alinyemen vertikal menurut kepentingan berlalu lintas adalah 0%
(datar). Namun demikian untuk kepentingan drainase disarankan untuk memberikan kelandaian
agar dapat mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


51
Landai minimum

Landai minimum sebenarnya tidak merupakan syarat mutlak dalam perencanaan jalan,
apalagi dilihat dari sudut teknik lalu lintas, karena landai yang datar pun tidaklah merupakan suatu
keberatan, bahkan merupakan keadaan yang ideal.

Landai maksimum

Landai maksimum hanya digunakan apabila pertimbangan biaya pembangunan adalah


sangat memaksa dan hanya untuk jarak pendek. Dalam perencanaan landai maksimum perlu
diperhatikan panjang landai tersebut yang masih tidak menghasilkan pengurangan kecepatan yang
dapat mengganggu kelancaran jalannya lalu lintas. Landai maksimum dimaksud untuk
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian
maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagi VR ditetapkan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


52
4.3 Panjang Kritis Kelandaian pada Alinyemen Vertikal

Panjang pendakian yang dianggap maksimum atau biasa disebut istilah panjang kritis adalah
panjang pendakian yang menyebabkan pengurangan kecepatan kendaraan truk yang bermuatan
penuh sampai suatu batas tertentu yang dianggap tidak akan memberikan pengaruh yang berarti
pada jalannya arus lalu lintas secara keseluruhan. Panjang kritis dimaksudkan sebagai panjang
pendakian yang diukur pada bagian tangen dari suatu alinyemen vertikal.

Panjang kritis harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih
dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan pada tabel berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


53
4.4 Jalur Pendakian

Pada jalur tanjakan dengan landai lebih dari 5% atau lebih (3% atau lebih untuk jalan yang
kecepatan rencana 100 Km/jam atau lebih), jalur pendakian untuk kendaraan berat hendaknya
disediakan, tergantung pada panjang landai dan karakteristik lalu lintas.

Pada jalan-jalan dengan volume lalu lintas tinggi, seringkali kendaraan berat yang bergerak
dengan kecepatan rencana menjadi penghalang kendaraan lain yang bergerak di sekitar kecepatan
rencana, oleh sebab itu diperlukan jalur lain agar kendaraan tersebut dapat mendahului tanpa
mempergunakan jalur lawan. Lebar jalur pendakian umumnya 3.0 m.

4.5 Lengkung Vertikal

Lengkung Vertikal pada jalan raya merupakan lengkung yang dipakai untuk mengadakan
peralihan secara berangsur-angsur dari suatu landai ke landai berikutnya.

Lengkung Vertikal disebut cembung apabila titik potong antara kedua tangen yang
bersangkutan (PVI) ada diatas permukaan jalan dan disebut cekung apabila titik perpotongannya
(PVI) berada di bawah permukaan jalan.

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian
dengan tujuan :

1. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan


2. Menyediakan jarak pandang henti.

Lengkung vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola sederhana. Hal ini didasarkan
kepada pertimbangan-pertimbangan :

 Volume pekerjaan tanah.


 Panjang jarak pandang yang dapat diperoleh pada setiap titik pada lengkung vertikal.
 Kenyamanan untuk pemakai jalan
 Perhitungannya mudah

Panjang lengkung vertikal untuk jalan antar kota ditetapkan sebagai berikut :

a. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung.

b. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


54
Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus :

Lv = A Y

dimana:

Lv = panjang lengkung vertikal (m)

A = Perbedaan Aljabar Landai/Grade (m)

Jh = Jarak Pandangan Henti (m)

Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10cm dan tinggi
mata 120cm.

Y yang diperlukan oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan dan penampilan Y
ditentukan sesuai Tabel berikut :

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel berikut yang didasarkan
pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang.

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


55
4.5.1 Lengkung Vertikal Cembung

Keterangan :

Titik PLV = titik awal lengkungan parabola

Titik PVI = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2

Titik PTV = titik akhir lengkungan parabola

Titik PLV – PVI dan PVI – PTV adalah garis tangen kelandaian g1 dan g2

Pada gambar 4.1 :

g1 = naik, jadi harganya + %

g2 = turun, jadi harganya - %

A = Perbedaan Aljabar Landai = g2-g1 dalam %

Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran

Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara horisontal

Xi = Jarak horisontal titik i, dihitung dari PLV ke titik i secara horisontal

Yi = Pergeseran vertikal titik i, dihitung dari titik pada tangen/kelandaian ke titik i pada
lengkung secara vertikal

Titik i = Titik lengkungan

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


56
Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung unsur-unsur pada lengkungan parabola
cembung adalah :

dimana:

A = g1-g2 dalam %

Lv = Panjang lengkung vertikal (m)

Yi =

Jika Xi = ½ Lv, maka Yi = Ev

Tinggi titik-titik PVI, PLV, dan PTV dilihat dari peta perencanaan (tinggi garis kontur).

4.5.2 Lengkung Vertikal Cekung

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


57
Keterangan :

Titik PLV = titik awal lengkung parabola

Titik PVI = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2

Titik PTV = titik akhir lengkungan parabola

Titik PLV-PVI dan PVI-PTV adalah garis tangen kelandaian g1 dan g2

Pada Gambar 4.1 :

g1 = turun, jadi harganya - %

g2 = naik, jadi harganya + %

A = Perbedaan Aljabar Landai = g1-g2 dalam %

Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran

Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara horisontal

Xi = Jarak horisontal titik i, dihitung dari PLV ke titik i secara horisontal

Yi = Pergeseran vertikal titik i, dihitung dari titik pada tangen/kelandaian ke titik i pada
lengkung secara vertikal

Titik i = Titik lengkungan

Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung unsur-unsur pada lengkungan parabola


cekung sama dengan lengkung parabola cembung yaitu :

dimana:

A = g1-g2 dalam %

Lv = Panjang lengkung vertikal (m)

Yi =

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


58
Jika Xi = ½ Lv, maka Yi = Ev

Tinggi titik-titik PVI, PLV, dan PTV dilihat dari peta perencanaan (tinggi garis kontur).

4.5.3 Menghitung Tinggi Titik-Titik di Lengkungan Parabola

Untuk menghitung tinggi titik-titik di lengkungan parabola cembung maupun cekung dapat
digunakan rumus-rumus sebagai berikut :

Dimana :

Tx = Tinggi suatu titik di lengkung parabola yang berjarak horisontal sebesar X meter dari titik
PLV.

TPLV = tinggi titik PLV (m)

g1 = kelandaian dalam %

X = jarak horisontal suatu titik pada lengkung dari titik PLV

Y =

A = Perbedaan Aljabar Landai

Lv = panjang horisontal lengkung vertikal parabola (m)

Menghitung tinggi PLV, PTV dari PVI atau sebaliknya adalah sebagai berikut :

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


59
CONTOH-CONTOH PERHITUNGAN :

PPV diketahui berada pada Sta 0 + 260 dan mempunyai elevasi + 100 m.

Perubahan kelandaian terjadi dari -8% (menurun dari kiri) ke kelandaian sebesar -2% (menurun kek
kiri), dan panjang lengkung vertikal direncanakan sepanjang 150 m.

Pertanyaan :

1. Berapakah tinggi rencana sumbu jalan pada Sta 0 + 150 m ?


2. Berapakah tinggi rencana sumbu jalan pada Sta 0 + 200 m ?
3. Berapakah tinggi rencana sumbu jalan pada Sta 0 + 260 m ?
4. Berapakah tinggi rencana sumbu jalan pada Sta 0 + 300 m ?
5. Berapakah tinggi rencana sumbu jalan pada Sta 0 + 350 m ?

Penyelesaian :

g1 = -8%

g2 = -2%

A = g1-g2 = -8 – (-2) = -6%

L = 150 m

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


60
Persamaan Umum Lengkung Vertikal :

yi =

yi =

yi =

Y dihitung dari garis tangennya.

Bertanda negatif berarti ke atas dari garis tangen (lengkung vertikal cekung). Untuk persamaan
lengkung di kanan PPV, x tidak boleh dihitung dari titik PLV. Hal ini disebabkan kelandaian tidak
menerus, tetapi berubah di titik PPV. Jadi x dihitung dari titik PTV.

Elevasi disembarang titik pada alinyemen vertikal ditentukan dari kelandaian dan ordinat y.

Sta PLV berada pada Sta 0 + 260 – ½ Lv, yaitu Sta 0 + 185

Sta PTV berada pada Sta 0 + 260 + ½ Lv, yaitu Sta 0 + 335

Sta 0 + 150 Terletak pada bagian lurus berlandai -8%

Berada sejauh (260-150) m = 110 m di kiri titik PPV

PPV mempunyai ketinggian + 100 m.

Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 150 m = + 100 + (8% 100)

= + 108.80 m

Sta 0 + 200 Terletak pada lengkung vertikal sebelah kiri titik PPV.

Elevasi bagian tangen pada Sta 0 + 200 = + 100 + 8% (260-200)

= + 104.80 m

Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 200 m adalah elevasi bagian tangennya
dikurangi yi untuk xi sejauh (200 – 185) m = 15 m dari PLV.

Elevasi sumbu jalan = + 104.80 + 152/5000 = + 104.845 m

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


61
Sta 0 + 260 Terletak pada posisi PPV.

Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 260 m = elevasi pada PPV + Ev = 100 +
752/5000 = + 101.125 m

Sta 0 + 300 Terletak pada lengkung vertikal sebelah kanan titik PPV.

Elevasi bagian tangen pada Sta 0 + 300 = + 100 – 2% (300-260)

= + 99.20 m

Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 300 m adalah elevasi bagian tangennya
dikurangi yi untuk xi sejauh (335-300) m = 35 m dari PTV.

Elevasi sumbu jalan = 99.20 + 352/5000 = + 99.445 m

Sta 0 + 350 Terletak pada bagian lurus berlandai – 2%

Berada sejauh (350-260) m = 90 m di kanan PTV

PPV mempunyai ketinggian + 100 m.

Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 350 = + 100 – (20%.90)

= + 98.20 m

Buku Ajar “KONSTRUKSI JALAN RAYA I”


62

Anda mungkin juga menyukai