PENDAHULUAN
Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, maasiswa akan dapat memahami arti dan
tujuan perencanaan jalan raya khususnya perencanaan geometrik.
Tujuan Khusus : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa akan dapat memahami arti
dan tujuan perencanaan geometrik, kedudukan perencanaan geometrik pada perencanaan jalan
raya dan syarat teknis perencanaan geometric jalan raya.
Perencanaan geometrik adalah bagian dari peencanaan jalan yang dititik beratkan pada
perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan
pelayanan yang optimum pada arus lalu-lintas. Geometrik merupakan dimensi yang nyata dari suatu
jalan beserta bagian-bagian disesuaikan dengan tuntutan dan sifat-sifat lalu-lintas jalan tersebut.
Melalui perencanaan geometrik diharapkanterciptanya hubungan yang baik antara ruang dan
waktu sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi,
keamanan dan kenyamanan yang optimal dalam batas-batas ekonomi yang masih layak.
Hal – hal tersebut sangat menentukan antara lain dalam menentukan lokasi yang paling
tepat, syarat-syarat perencanaan yang paling sesuai dan type jalan yang paling tepat dalam
memenuhi kebutuhan lalu-lintas.
Untuk membuat suatu perencanaan geometrik jalan raya yang utama adalah memenuhi
persyaratan teknis yaitu ketentuan-ketentuan dasar pada Standar Perencanaan Geometrik Jalan
Perkotaan (1992) untuk jalan-jalan didalam kota dan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota (1997) untuk jalan antar kot yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga.
2. Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan
perkerasan jalan melelui sumbu jalan. Alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan
besarnya biaya pembangunan, biaya pengguanaan kendaraan, serta jumlah kecelakaan lalu-lintas.
Rencana alinyemen vertikal sebaiknya mengikuti medan dengan memperhatikan sifat operasi
kendaraan, keamanan jarak pandang dan fungsi jalan.
Buku ajar ini merupakan pengetahuan dasar dari perencanaan geometrik jalan, sehingga
untuk pemakaiannya harus didampingi buku-buku standard an spesifikasi teknis yang berlaku.
Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa akan dapat memehami dan
dapat menjelaskan ketentuan-ketentuan perencanaan jalan raya.
Tujuan Khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat memahami dan dapat
menjelaskan klasifikasi jalan, kriteria perencanaan, bagian-bagian jalan, penampang melintang
dan jarak pandangan.
B. Kelas Perencanaan :
Jalan-jalan tipe I terbagi dalam 2 kelas, dan jalan tipe II terbagi 4 kelas sesuai dengan
klasifikasi fungsional dan perencanaan volume lalu lintas.
Fungsi Kelas
Primer Arteri 1
Kolektor 2
Sekunder Arteri 3
TIPE I
Kelas 1 : Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu-lintas cepat Antar-regional
atau antar kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.
Kelas 2 : Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu-lintas cepat antar regional
atau didalam melayani lalu-lintas cepat antar regional atau didalam kota-kota
metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.
TIPE II
Kelas 1 : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 lane atau lebih, memberikan
pelayanan Angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota, dengan
kontrol.
Kelas 2 : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 2 atau 4 lane dalam memberikan
pelayanan Angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota, terutama
untuk persimpangan tanpa lampu lalu-lintas.
Kelas 3 : Standar menengah bagi jalan dengan 2 jalur dalam memberikan pelayanan
Angkutan dalam distrik dengan kecepatan sedang, terutama untuk persimpangan
tanpa lampu lalau-lintas.
Kelas 4 : Standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan dengan jalan-jalan
lingkungan MHT.
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Pegunungan G > 25
Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan,
dimana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu SMP.
Dalam standar perencanaan untuk jalan perkotaan pada kondisi jalan pada daerah datar
adalah sebagai berikut :
Pada kondisi medan berbukit / gunung faktor koefisien diatas dapat diperbesar. Kendaraan
tak bermotor seperti : sepeda, becak dan kendaraan yang ditarik oleh hewan tidak dapat diberikan
koefisien seperti diatas karena pengaruhnya terhadap lalu-lintas sangat dipengaruhi oleh jumlah
volume kendaraan sesaat.
Becak pada prinsipnya dapat disamakan dengan sepeda dalam hal perencanaan geometrik,
namun bila jumlah cukup besar untuk memberikan pengaruha pada lalu-lintas secara menyeluruh,
perlu diberikan pengkajian khusus tentang besaran „ruang kendaraan‟ bagi kedua jenis kendaraan
ini.
Sebagai pengukur jumlah dari arus lalu-lintas digunakan volume. Volume lalu-lintas
menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam suatu satuan waktu
(hari, jam, menit)
Volume lalu-lintas yang tinggi, membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih lebar
sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume
lalu-lintas yang rendah cenderung membahayakan. Satuan umum volume lalu-lintas yang umum
dipergunakansehubungan dengan jumlah dan lebar lajur adalah :
Adalah jumlah lalu-lintas dalam satu tahun dibagi hari-hari dalam setahun dinyatakan dalam
SMP/hari. Lalu-lintas harian rata-rata tidak memberikan gambaran perubahan-perubahan penting
lalu-lintas yang terjadi pada berbagai bulan dalam satu tahun, hari dalam satu minggu dan jam
dalam satu hari.
LHR merupakan volume lalu-lintas dalam satu hari per volume harian, sehingga nilai LHR
tidak dapat memberikan gambaran tentang fluktuasi arus lalu-lintas lebih pendek dari 24 jam, maka
suatu interval waktu yang layak dan cukup menunjukkan keadaa arus lalu-linta s harus ditetapkan,
untuk dipergunakan sebagai satuan volume. Volume dalam 1 jam yang dipakai untuk perencanaan
adalah volume perjam perencanaan. Pada buku standar perencanaan Jalan Antar Kota, volume
perjam perencanaan disebut dengan Volume Jam Rencana (VJR) dan pada buku standar
Perencanaan Jalan Perkotaan disebut dengan Volume Perjam Perencanaan (DHV).
Volume Jam rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu-lintas pada jam sibuk tahun
rencana lalu-lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus :
VJR dipergunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu-lintas lainnya yang
diperlukan. Tabel berikut akan menyajikan faktor-K dan faktor-F sesuai dengan VLHR-nya :
Volume Perjam Perencanaan (DHV) dalam buku Standar perencanaan geometrik jalan
perkotaan dinyatakan dalam SMP yang menyatakan volume harian lalu-lintas kedua arah. Volume
perjam di hitung sebagai berikut :
dengan :
C. Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu penumpang
jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus lalu-lintas tertentu.
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan. Setiap
bagian jalan seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandangan dan lain-lain.
Standar Perencanaan Geometrik Jalan untuk jalan perkotaan memberikan batasan kecepatan bagi
jalan-jalan perkotaan haruslah sesuai dengan tipe dan kelas jalan yang bersangkutan.
Tipe II Kelas 1 60
Kelas 2 60,50
Kelas 3 40,30
Kelas 4 30,20
Kecepatan rencana (VR) jalan antar kota haruslah sesuai dengan fungsi jalan dan klasifikasi
medan jalan. Kecepatan rencana jalan antar kota terlihat pada table berikut :
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 - 50 20 – 30
Damaja adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang
pengaman. Damaja dibatasi oleh : (lihat gambar 2.2)
Damija adalah daerah yang meliputi seluruh daerah manfaat jalan dan daerah yang
diperuntukkan bagi pelebaran jalan dan penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Ruang Daerah Milik Jalan dibatasi oleh lebar yang
sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan
kedalaman 1.5 meter.
Dawasja adalah lajur lahan yang berada dibawah pengawasan penguasa jalan, ditujukan
untuknpenjagaan terhadap terhalangnya pandangan bebas pengemudi kendaraan bermotor dan
untuk pengamanan konstruksi jalan dalam hal ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.
Ruang Dawasja adalah ruang sepanjang jalan diluar damaja yang dibatasi oleh tinggi dan lebar
tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut :
1. Jalur lalu-lintas
2. Median dan Jalur tepi (jika ada0
3. Bahu
4. Jalur pejalan kaki
5. Selokan
6. Lereng
Jalur Lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang
secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau
jalan dan separator. Untuk jalan Type I dan II kecuali Type II kelas IV pada jalan perkotaan terdiri
dari jalur belok, jalur tanjakan, jalur percepatan/perlambatan dan jalur parkir. Jalur lalu lintas pada
Type II kelas IV merupakan bagian jalur kendaraan dimana arus lalu lintas kedua arah
diperkenankan.
Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur. Jalur lalu-lintas dapat terdiri beberapa type :
1 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)
Lebar jalur lalu lintas sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya.
Tabel 2.10 Lebar jalur dan bahu Jalan Untuk jalan Antar Kota
Untuk jalan perkotaan, jumlah jalur dimana volume lalu lintas rencana yang lebih kecil dari
nilai pada table 2.6 kolom ke-2 sebaiknya 2 jalur kecuali jumlah jalur belok dan jalur
percepatan/perlambatan. Jumlah jalur pada jalan-jalan lainnya yang tidak termasuk pada yang
dimaksud sebaiknya 4 jalur atau lebih. Jumlah jalur haruslah ditentukan oleh perbandingan antara
volume kendaraan untuk perencanaan dengan standar perencanaan LHR per jalur (kolom ke-3).
Tabel 2.11 Jumlah jalur dan Lebar Jalur berdasarkan LHR Untuk jalan perkotaan
2.4.3 Lajur
Pengertian lajure adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, dalam hal ini dinyatakan dalam
fungsi dan kelas jalan. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu pada MKJI (Manual Kapasitas
Jalan Indinesia) berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan dimana untuk setiap ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.
untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus memerlukan
kemiringan melintang normal sebagai berikut :
Bahu jalan adalah struktur yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk melindungi
perkerasan, pengamanan kebebasan samping dan menyediakan ruang untuk tempat berhenti
sementara, parker dan pejalan kaki.
1. Bahu kiri/bahu dalam (left shoulder/inner shoulder), yaitu bahu jalan yang dibuat pada tepi
kiri/dalam dari jalur lalu lintas.
2. Bahu kanan/bahu luar (right shoulder/outer shoulder), yaitu bahu jalan yang dibuat pada
tepi kanan/luar jalur lalu lintas.
Lebar bahu jalan untuk jalan antar kota dapat dilihat pada table 2.6, sedangkan untuk jalan
perkotaan dapat dilihat pada table berikut :
2.4.5 Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secar fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang
berlawanan arah. Pada jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median.
1. Median direndahkan : Terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur yang
direndahkan.
2. Median ditinggikan: Terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah yang ditinggikan.
Lebar minimum median sesuai dengan kelas perencanaan jalan. Bila fasilitas jalan terpasang
pada median, maka penetapan lebar median haruslah diperhitungkan lebar bebas jalan per arah.
Pada umjumnya median terdiri dari jalur tepian dan pemisah tengah. Lebar jalur tepian sebesar 0.25
– 0.75 meter. Pemisah dengan lebar sampai 5.0 meter sebaiknya ditinggikan dengan kereb atau
dilengkapi dengan pembatas phisik agar tidak dilanggar kendaraan.
Tabel 2.14 Lebar Minimum Median dan Lebar Garis Tepi Median
Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari jalur lalu lintas kendaraan
guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas. Jika fasilitas pejalan kaki
diperlukan, maka perencanaannya mengacu pada Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan
Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga 1992.
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan suatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan
dua Jarak Pandang, yaitu Jarak pandang henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului (Jd).
Jarak pandang henti adalah jarak pandang minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi
untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan didepan. Setiap
titik disepanjang jalan harus memenuhi Jarak Pandang Henti. Jarak Pandang Henti diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm di
ukur dari permukaan jalan.
Jh = Jht + Jhr
T+
2g . fp
Dengan :
254 fp
Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memumngkinkan suatu kendaraan mendahului
kendaraan lain didepannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Jarak
Pandang Mendahului diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tinggi halangan adalah 105 cm. jarak Pandang Mendahului dalam satuan meter ditentukan berikut :
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
Dengan :
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang dating dari arah
berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah berlawanan, yang besarnya
diambil sama dengan 2/3d2 (m).
d2 = 0.278 VR T2
= 6.56 + 0.048 VR
= 2.052 + 0.0036 VR
m = Perbedaan percepatan dari kendaraan yang menyiap dan kendaraan yang disiap
biasanya dimbil 10 – 15 km/jam.
Jarak Pandang Mendahului yang sesuai dengan VR ditetapkan dari tabel 2.12 berikut :
Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30%
dari panjang total ruas jalan tersebut.
ALINYEMEN HORIZONTAL
Tujuan Umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa akan dapat merencanakan
suatu alinyemen horizontal.
Tujuan Khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat merencanakan alinyemen
horizontal bentuk lingkaran, Spiral-Circle-Spiral dan Spiral-Spiral, menggambarkan diagram
superelevasi dan menghitung pelebaran perkerasan pada tikungan.
Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen
horizontal dalam istilah lain disebut juga “trase jalan” atau “situasi jalan”. Alinyemen horizontal
terdiri dari bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan).
Alinyemen horizontal pada jalan perkotaan (urban road) harus diatur sedemikian rupa dan
hendaknya dipertimbangkan sesuai hal-hal berikut :
Tangen adalah merupakan bagian-bagian lurus dari suatu trase jalan. Dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi,
maka panjang maksimum bagian lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebuh dari 2.5 menit
(sesuai VR).
Panjang bagian lurus untuk jalan antar kota Dapat ditetapkan pada tabel berikut :
Gaya sentrifugal yang timbul pada saat kendaraan berjalan pada lengkung horizontal
menyebabkan kendaraan cenderung terlempar keluar. Gaya yang akan mengimbangi gaya
sentrifugal tersebut berasal dari komponen berat kendaraan akibat kemiringan melintang tikungan,
serta gesekan melintang antara ban kendaraan dengsn perkerasan jalan.
Pada gaya sentrifugal masih seimbang dengan gaya gesekan melintang, berlaku hubungan :
Fm = V2
127 R
V = Kecepatan rencana
Pada keadaan gaya sentrifugal tidak cukup diimbangi kemiringan melintang baik karena
naiknya kecepatan kendaraan atau jari – jari tikungan, gaya gesekan antara ban dengan perkerasan
akan timbul. Dalam hal ini kemiringan dan gaya gesekan bersama – sama mengimbangi gaya
sentrifugal, maka berlaku hubungan :
i + fm = V2
127 R
Rmin = V2
127 (i + fm)
Jari – jari minimum atau derajat maksimum adalah harga batas dari suatu tikungan untuk
suatu kecepatan rencana. Besaran ini sedapat mungkin dihindarkan pda perencanaan alinyemen
horizontal suatu jalan. Kecuali bila keadaan jalan tidak mengijinkan untuk mengadakan tikungan
yang lebih tumpul.
Lengkung peralihan adalah lenkung pada tikungan yang dipergunakan untuk mengadakan
peralihan dari bagian jalan yang lurus ke bagian jalan yang mempunyai jari-jari lengkung dengan
miring tertentu atau sebaliknya.
Panjang kemiringan lengkung peralihan pada umumnya ditentukan oleh jarak. Yang
diperlukan untuk perubahan miring tikungan yang tergantung pada besarnya landau relative
maksimum pada kedua sisi perkerasan. Pada umumnya ketajaman sebuah lengkung melingkar
ditunjukkan oleh radiusnya dan bias juga dengan sudut kelengkungan (degree of curve) yaitu sudut
pusat yang dibentuk oleh lengkung.
Sudut kelengkungan berbanding terbalik dengan jari – jari daan hubungannya dinyatakan
dengan Rumus :
D = 1432.39
Rumus diatas memberikan hubungan antara kecepatan, Jari –jari lengkung lingkar, koefisien
gesekan samping dan superelevasi untuk tujuan perencanaan persamaan dinyatakan dengan
perumusan dibawah ini :
V2
V = Kecepatan Rencana
Bentuk lengkung melingkar mempunyai kelemahn berupa perubahan arah yang mendadak.
Untuk menghindari ini diperlukan adanya suatu lengkung yang memberikan peralihan arah dari
lurus melingkar. Pengertian peralihan yaitu perubahan jari – jari, perubahan berangsur-angsur dari
tak terhingga dari tangan sampai mencapai jari – jari tertentu yang sama besarnya dengan jari-jari
busur lingkaran yang bersangkutan.
Panjang lengkung pealihan (Ls), menurut tata cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota,1997, diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
(a). Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan maka
panjang lengkung :
(b). Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus modifikasi Shortt sebagai berikut :
Adalah lengkung yang menghubungkan dua garis yang perpotongannya sebagai garis
singgung lingkarang yang berjari-jari tetap. Tidak semua lengkung dapat berbentuk busur lingkaran
sederhana, hanya lengkung yang dengan radius besar yang diperbolehkan. Jika digunakan radius
yang kecil maka diperlukan superelevasi yang besar.
Tc = R . tg ½
Ec = Tc . tg ¼
Lc =
2 Tc > Lc
Adalah lengkung yang terdiri dari ruas spiral – lingkar – spiral dimana sudut spiral simetris
dan panjang jari-jari tetap dimana sudut spiral simetris dan panjang jari – jari tetap.
Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus lengkung peralihan)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada
lengkung.
Rc = jari-jari lingkaran
Xs = Ls
Ys =
Өs =
p =
k =
Ts = (Rc+p) tan ½ Δ + k
Es = (Rc+p) sec ½ Δ – Rc
Lc = x π x Rc
Ltot= Lc + 2Ls
Jika diperoleh Lc<25m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S, tetapi digunakan
lengkung S-S, yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung peralihan.
Adalah lengkung yang berbentuk dari dua ruas spiral dengan panjang spiral (LS) yang simetris
Lc = 0 dan Өs = ½ Δ
Ltot= 2 Ls
Pada jalan lurus kemiringan melintang jalan diambil 2%. Kemiringan ini disebut dengan
kemiringan normal (en).
Harga superelevasi untuk jalan perkotaan sebaiknya sesuai dengan kecepatan rencana dan
jari-jari tikungannya, dalam hal ini disajikan dalam tabel berikut :
Diagram superelevasi digambar berdasarkan elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Elevasi
tepi perkerasan diberi tanda positif atau negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan. Tanda positif
untuk elevasi tepi perkerasan yang terletak lebih tinggi dari sumbu jalan dan tanda negatif untuk
elevasi tepi perkerasan yang terletak lebih rendah dari sumbu jalan .
Pada tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S), pencapaian superelevasi dilakukan secara linear
diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) pada bagian lurus jalan, lalu
dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada bagian lengkug peralihan (SC).
Pada tikungan Full Circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari
bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian
panjang Ls.
Superelevasi tidak diperlukan jika radius (R) cukup besar, untuk itu cukup lereng luar
diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan tetap lereng normal (LN). Lihat tabel 3.6 di
bawah, contoh dibuat untuk Vr = 60km/jam.
Untuk berbagai variasi VR, besaran Rmin sesuai dengan tabel 5.4.
2. Untuk VR = 60km/jam, maka Rmin = 500m untuk keadaan dimana tikungan berbentuk FC,
yang tidak memerlukan lengkung peralihan Besaran Rmin = 500m ini, jika D = 2,860
dengan kemiringan melintang 4% (ketentuan 1997, ketentuan 1990 = 3% → Rmin = 700m).
Untuk berbagai variasi VR besaran Rmin sesuai dengan tabel 3.3.
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar
dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Presentase kelandaian ini
disesuaikan dengan kecepatan rencana dan jumlah lajur yang ada.
Untuk praktis, dapat digunakan besaran pada tabel 3.7 atau dihitung dengan rumus :
e = superelevasi (m/m)
Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan dilakukan untuk mempertahankan
kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian lurus. Hal ini terjadi
karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cendrung untuk keluar lajur akibat
posisi roda depa dan roda belakang yang tidak sama, yang tergantung dari ukuran kendaraan.
Penentuan pelebaran jalur lalu lintas di tikungan ditinjau dari elemen-elemen : keluar lajur (off
tracking) dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.
Jarak pandang pengemudi pada lengkung horisontal (di tikungan), adalah pandangan bebas
pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping).
Tabel 3.9 menampilkan nilai E dalam satuan meter, yang dihitung menggunakan persamaan
dengan pembulatan-pembuatan untuk Jh < Lt.
Sedangkan tabel 3.10 digunakan untuk Jh > Lt, yang dihitung dari persamaan
. Tabel 3.10a untuk (Jh-Lt = 25m) dan tabel 3.10b
untuk (Jh-Lt = 50m).
R1>1,5 R2 → tikungan gabungan searah yang harus dihindari, jika terpaksa dibuat tikungan
dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada gambar di bawah.
Tikungan gabungan yang berbalik secara tiba-tiba, hanya dihindari, karena dalam kondisi ini
pengemudi sangat sulit untuk mempertahankan kendaraan pada lajurnya. Jika terpaksa
dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti pada gambar di
bawah.
3.8 Stationing
Untuk mempermudah penggambaran dan kedudukan titik-titik pada trase jalan diperlukan
penandaan. Pada perencanaan geometrik jalan hal ini disebut dengan stationing.
Stationing dimulai dari titik awal proyek dengan nomor station : 0 + 000. Angka sebelah kiri
tanda + menunjukan kilometer, sedangkan sebelah kanan tanda + merupakan meter.
Angka station bergerak keatas dan setiap 50 meter dituliskan pada gambar perencanaan.
Kemudian nomor station pada titik-titik utama tikungan, yaitu : TS, SC, ST atau TC, serta PI harus
dicantumkan, pemberian nomor diakhiri pada titik akhir proyek.
Terlebih dahulu harus diketahui koordinat titik awal proyek pada STA 0+000 dan koordinat
titik-titik PI1, PI2 ..... dan seterusnya, maka dapat dihitung jarak-jarak d1, d2, d3 ..... dan seterusnya.
Kemudian untuk lengkungan yang kedua juga dihitung dari (PI2 STA .... + ....), jadi :
Untuk stationing selanjutnya sampai dengan station akhir, cara melakukannya sama dengan
cara sebelumnya. (dihitung dulu STA PI).
CONTOH-CONTOH PERHITUNGAN
1. Diketahui :
Direncanakan suatu ruas jalan Antar Kota seperti tergambar dibawah ini :
Titik A dianggap berimpit dengan BM 0 sebagai awal Proyek Sta 0+000, dengan koordinat
dan elevasi seperti pada gambar di atas.
Titik PI dengan koordinat seperti pada gambar diatas, merupakan tikungan pertama yang
akan direncanakan.
Titik B adalah titik akhir (sembarang) yang ditinjau, terletak pada sumbu jalan rencana.
Jalan yang akan direncanakan berupa jalan arteri pada daerah perbukitan.
Perencanaan Tikungan :
= 232,13m
= 267,04m
ALTERNATIF 1
R = 150m, Δ = 38,010
Dari rumus →
= = 59,76m
Dari rumus →
Dari rumus →
Dari rumus →
= 1,010068m
Dari rumus →
= 29,9600
= 81,979m
Dari rumus →
Lc =
= 39,524m
Ltot = Lc + 2Ls
= 39,524+1(60)
= 159,524m
Sta = 0+000
Sta SC = Sta Ts + Ls
= (0 + 150,151) + 60 = 0 + 210,151
Sta CS = Sta SC + Lc
Sta ST = Sta CS + Ls
= (0 + 249,675) + 60 = 0 + 309,675
Rc=600m, Δ=38,017°
Dari rumus → Lc =
Sta = 0 + 000
Sta CT = Sta TC + Lc
ALINYEMEN VERTIKAL
Tujuan umum : Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa akan merencanakan suatu
alinyemen vertikal.
Tujuan khusus : Setelah diberikan materi ini, mahasiswa akan dapat merencanakan alinyemen
vertikal.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau
dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau
landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa
lengkung cekung atau lengkung cembung.
Kelandaian jalan adalah naik atau turunnya jalan yang dinyatakan dalam ± %. Kelandaian + ...
% berarti jalan itu naik. Kelandaian - ... % berarti jalan itu turun. Antara kelandaian-kelandaian
tersebut dihubungkan dengan suatu lengkung vertikal yang berbentuk lengkung parabola
sederhana simetris.
Kelandaian ideal pada alinyemen vertikal menurut kepentingan berlalu lintas adalah 0%
(datar). Namun demikian untuk kepentingan drainase disarankan untuk memberikan kelandaian
agar dapat mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan.
Landai minimum sebenarnya tidak merupakan syarat mutlak dalam perencanaan jalan,
apalagi dilihat dari sudut teknik lalu lintas, karena landai yang datar pun tidaklah merupakan suatu
keberatan, bahkan merupakan keadaan yang ideal.
Landai maksimum
Panjang pendakian yang dianggap maksimum atau biasa disebut istilah panjang kritis adalah
panjang pendakian yang menyebabkan pengurangan kecepatan kendaraan truk yang bermuatan
penuh sampai suatu batas tertentu yang dianggap tidak akan memberikan pengaruh yang berarti
pada jalannya arus lalu lintas secara keseluruhan. Panjang kritis dimaksudkan sebagai panjang
pendakian yang diukur pada bagian tangen dari suatu alinyemen vertikal.
Panjang kritis harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih
dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan pada tabel berikut :
Pada jalur tanjakan dengan landai lebih dari 5% atau lebih (3% atau lebih untuk jalan yang
kecepatan rencana 100 Km/jam atau lebih), jalur pendakian untuk kendaraan berat hendaknya
disediakan, tergantung pada panjang landai dan karakteristik lalu lintas.
Pada jalan-jalan dengan volume lalu lintas tinggi, seringkali kendaraan berat yang bergerak
dengan kecepatan rencana menjadi penghalang kendaraan lain yang bergerak di sekitar kecepatan
rencana, oleh sebab itu diperlukan jalur lain agar kendaraan tersebut dapat mendahului tanpa
mempergunakan jalur lawan. Lebar jalur pendakian umumnya 3.0 m.
Lengkung Vertikal pada jalan raya merupakan lengkung yang dipakai untuk mengadakan
peralihan secara berangsur-angsur dari suatu landai ke landai berikutnya.
Lengkung Vertikal disebut cembung apabila titik potong antara kedua tangen yang
bersangkutan (PVI) ada diatas permukaan jalan dan disebut cekung apabila titik perpotongannya
(PVI) berada di bawah permukaan jalan.
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian
dengan tujuan :
Lengkung vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola sederhana. Hal ini didasarkan
kepada pertimbangan-pertimbangan :
Panjang lengkung vertikal untuk jalan antar kota ditetapkan sebagai berikut :
a. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung.
b. Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung.
Lv = A Y
dimana:
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10cm dan tinggi
mata 120cm.
Y yang diperlukan oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan dan penampilan Y
ditentukan sesuai Tabel berikut :
Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel berikut yang didasarkan
pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang.
Keterangan :
Titik PLV – PVI dan PVI – PTV adalah garis tangen kelandaian g1 dan g2
Yi = Pergeseran vertikal titik i, dihitung dari titik pada tangen/kelandaian ke titik i pada
lengkung secara vertikal
dimana:
A = g1-g2 dalam %
Yi =
Tinggi titik-titik PVI, PLV, dan PTV dilihat dari peta perencanaan (tinggi garis kontur).
Yi = Pergeseran vertikal titik i, dihitung dari titik pada tangen/kelandaian ke titik i pada
lengkung secara vertikal
dimana:
A = g1-g2 dalam %
Yi =
Tinggi titik-titik PVI, PLV, dan PTV dilihat dari peta perencanaan (tinggi garis kontur).
Untuk menghitung tinggi titik-titik di lengkungan parabola cembung maupun cekung dapat
digunakan rumus-rumus sebagai berikut :
Dimana :
Tx = Tinggi suatu titik di lengkung parabola yang berjarak horisontal sebesar X meter dari titik
PLV.
g1 = kelandaian dalam %
Y =
Menghitung tinggi PLV, PTV dari PVI atau sebaliknya adalah sebagai berikut :
PPV diketahui berada pada Sta 0 + 260 dan mempunyai elevasi + 100 m.
Perubahan kelandaian terjadi dari -8% (menurun dari kiri) ke kelandaian sebesar -2% (menurun kek
kiri), dan panjang lengkung vertikal direncanakan sepanjang 150 m.
Pertanyaan :
Penyelesaian :
g1 = -8%
g2 = -2%
L = 150 m
yi =
yi =
yi =
Bertanda negatif berarti ke atas dari garis tangen (lengkung vertikal cekung). Untuk persamaan
lengkung di kanan PPV, x tidak boleh dihitung dari titik PLV. Hal ini disebabkan kelandaian tidak
menerus, tetapi berubah di titik PPV. Jadi x dihitung dari titik PTV.
Elevasi disembarang titik pada alinyemen vertikal ditentukan dari kelandaian dan ordinat y.
Sta PLV berada pada Sta 0 + 260 – ½ Lv, yaitu Sta 0 + 185
Sta PTV berada pada Sta 0 + 260 + ½ Lv, yaitu Sta 0 + 335
= + 108.80 m
Sta 0 + 200 Terletak pada lengkung vertikal sebelah kiri titik PPV.
= + 104.80 m
Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 200 m adalah elevasi bagian tangennya
dikurangi yi untuk xi sejauh (200 – 185) m = 15 m dari PLV.
Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 260 m = elevasi pada PPV + Ev = 100 +
752/5000 = + 101.125 m
Sta 0 + 300 Terletak pada lengkung vertikal sebelah kanan titik PPV.
= + 99.20 m
Elevasi sumbu jalan pada Sta 0 + 300 m adalah elevasi bagian tangennya
dikurangi yi untuk xi sejauh (335-300) m = 35 m dari PTV.
= + 98.20 m