Anda di halaman 1dari 31

i

1
BAB I

PENDAHULUAN

Jalan raya merupakan suatu jalur yang dapat dilalui oleh lalu-lintas dari
suatu tempat ketempat lain, dengan memberikan rasa aman dan nyaman bagi
pemakai jaln selama umur rencana denan memenyhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Salah satu bagian yang sangat penting dari perencanaan jalan adalah
perencaan geometri yang meliputi perencaan pelebaran jalan, tikungan, jarak
pandang serta hubungan satu dengan yang lainnya. Bentuk geometri yang harus
dibuat sedemikian rupa sehingga jalan yang direncanakan dapat memberikan
pelayanan yang optimal pada lalu-lintas sesuai dengan fungsinya. Pada tinjauan
perencanaan geometri jalan raya ini penulis merencanakan 3 (buah) tikungan
yaitu, Spiral-Cirle-Spiral (S-C-S), Full Cirle (FC), dan Spiral Spiral (SS)

1.1 Latar Belakang

Jalan raya adalah hal yang terpenting dalam kelancaran perekonomian


masyarakat pada umumnya, juga sebagai penghubung suatu wilayah ke wilayah
lainnya. Pembangunan jalan tersebut demi mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur. Demi mensejahterakan kehidupan, Pemerintah Republik Indonesina
terus berupaya meningkatkan pembagunan di segala bidang terutama di bidang
transportasi. Salah satu sector di bidang transportasi adalah sarana jalan raya.

Dalam merencanakan geometrik jalan raya yang meliputi pada


perencanaan Alinyemen Horizontal dan Alinyemen Vertikal dengan ini
berpedoman pada buku Konstruksi Jalan Raya, Dasar-Dasar Perencanaan
Geometrik , Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Lhokseumawe. Untuk Lebih
Jelasnya tentang perencanaan Geometrik Jalan ini dapat diikuti pada uraian bab-
bab berikutnya.

1
2

1.1 Tujuan Perencanaan Jalan Raya


Tujuan dari Perencanaan geometrik jalan raya adalah untuk merencanakan
bagian jalan seperti perencanaan tikungan, kelandaian, jarak pandang, dan
kelengkapan lainnya. Juga untuk merencanakan suatu jalan yang baik, guna
mendapatkan suatu keamanan bagi pengguna jalan serta merencanakan tikungan
yang sesuai dengan ketentuan Bina Marga.
BAB II

DASAR TEORI

Dalam proses pembangunan suatu infrastruktur diperlukan suatu


perencanaan yang harus dipersiapkan secara matang dan memahami perencanaan
suatu infrastruktur tersebut. Ada banyak hal yang harus dipahami dalam suatu
perencanaan terutama pada perencanan geometrik jalan raya.

Perencanaan geometric jalan raya adalah suatu bagian perencanaan jalan


yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi
fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu-
lintas . Geometrik atau demensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-
bagianya disesuaikan dengan tuntutan serta sfiat-sfat lalu-lintas. Perencanaan
geometrik jalan raya dipengaruhi oleh factor lalu-lintas, keadaan topografi
keamanan dan kapasitas jalan seperti pada faktor topografi jalan yang ditentukan
oleh klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang.

2.1 Pengertian Jalan Raya

Banyak ahli bahasa mendefinisikan jalan raya sebagai suatu jalur lalu-
lintas yang dilalui oleh kendaraan. Menurut Sivia Sukirman jalan raya atau jalur
lalu-lintas ( tranvelled way = carriage way ) adalah keseluruhan bagian
perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu-lintas kendaraan. Jalur lalu-lintas
terdiri dari beberapa lajur ( lane ) kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari
lajur lalu-lintas yang khusus diperuntukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian
kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah. Jadi Jumlah jalur minimal
untuk jalan 2 arah dan pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur
lalu-lintas untuk satu arah minimal 1 lajur lalu-lintas.

3
4

Pada Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Jalur lalu-lintas
adalah :
1) Bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu-lintas kendaraan yang
secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu-lintas dapat
berupa : median, bahu, trotoar, pulau jalan, separator.
2) Dapat terdiri atas beberapa lajur.
3) Dapat terdiri atas beberapa tipe,
 1 jalur – 2 lajur – 2 arsh (2/2 TB)
 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)
 2 jalur – 4 lajur – 2 arah (4/2 B)
 2 jalur – n lajur – 2 arah (n12 B), dimana n = jumkah lajur.
Keterangan : TB = Tidak terbagi
B = Ternagi
4) Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
peruntukannya.

2.2 Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus


sumbu jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian - bagian jalan.
Bagian – bagian jalan yang utama dapat dikelompokkan sebagai berikut :

A. Bagian yang langsung berguna untuk lalu-lintas

1. Jalur lalu- lintas


2. Lajur lalu-lintas
3. Bahu jalan
4. Trotoar
5. Median
5

B. Bagian yang berguna untuk drainase jalan

1. Saluran samping
2. Kemiringan Melintang jalur lalu-lintas
3. Kemiringan melintang bahu
4. Kemiringan lereng

C. Bagian pelengkap jalan

1. Kereb
2. Pengaman tepi

D. Bagian konstruksi jalan

1. Lapisan perkerasan jalan


2. Lapisan pondasi atas
3. Lapisan pondasi atas
4. Lapisan tanah dasar

E. Daerah manfaat jalan ( damaja )


F. Daerah milik jalan (damija )
G. Daerah pengawasan jalan

2.3 Klasifikasi Jalan


Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Klasifikasi Jalan
dibagi atas :
1. Klasifikasi menurut fungsi jalan
Adapun klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas :
1) Jalan Arteri : Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri –
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien.
6

2) Jalan Kolektor : jalan yang melayani angkutan


pengumpul/pembagi dengan cii – ciri perjalan jarak sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.

3) Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan setempatndengan ciri


– ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata – rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2. Klasifikasi menurut kelas jalan


Adapaun klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan
untuk menerima beban lalu – lintas, dinyatakan dlam muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton. Ketentuan dapat dilihat pada table 2.1 (pasal 11,
PP, No.43/1993)

Tabel 2.1 klasifikasi menurut kelas jalan

Muatan Sumbu Terberat


Fungsi Kelas
MST (Ton)
I >10
Arteri II 10
III A 8
III A 8
Kolektor
III B 8

3. Klasifikasi menurut kelas jalan


Adapun klasifikasi menurut medan jalan yaitu berdasarkan kosini sebagian
besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Dapat
dilihat pada table 2.2
Tabel 2.2 klasifikasi menurut medan jalan

Kemeringan medan
No Jenis medan Notasi
(%)
1 Datar <3 D
2 Perbukitan 3 - 25 B
3 Pengunungan > 25 G
7

4. Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan


Sedang klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP.
No.26/1985 adalah Jalan Nasional, jalan Provinsi, Jalan Kabupaten /
Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan Kh0usus.
5. Kecepatan rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan
jalan
Kecepatan Rencana, VR, Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Pengunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

2.4 Penentuan Trase Jalan


Sebelum menentukan trase jalan, perencana harus melengkapkan data
dasar untuk perencanaan geometrik, yang berupa :
1. Peta topografi berkontur yang akan menjadi peta dasar perencanaan
jalan, dengan skala tidak lebih kecil dari 1 : 10.000 ( Skala yang lain
misalnya 1 : 2.500 dan 1 : 5.000 ). Perbedaan tinggi setiap garis kontur
disarankan tidak lebih dari 5 meter.
2. Peta geologi memuat informasi daerah labil dan daerah stabil.
3. Peta tata guna lahan yang memuat informasi ruang peruntukan jalan.
4. Peta jaringan lahan yang ada.
Setelah perencana memperoleh data dasar, maka tahapan selanjutnya
adalah menetapkan :
1. Kelas medan jalan
2. Titik awal dan akhir perencanaan
3. Dibuat beberapa alternative alinyemen horizontal ( lebih dari
satu )
4. Dari beberapa alternative alinyemen horizontal yang telah
direncakan, maka dipilhlah salah satu alternatif yang dipandang
dapat memenuhi kriteria perencana.
8

2.5 Penentuan Titik Koordinat


Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), metode yang digunakan dalam
perhitungan titik koordinat atau jarak dari titik PI ke titik PI lainnya dapat
menggunakan persamaan Phytagoras, yaitu :

2.6 Menentukan Sudut Putar


Menurut Soetomo Wongsotjitro (1980), Bahwa sudut putar pada tikungan
dapat diselesaikan dengan persamaan di bawah ini :
9

2.7 Perencanaan Alinyemen Horizontal


Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar
didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi ketika berubah arah,
menurut Silvia Sukirman (1994), bentuk lengkung Horizontal yang digunakan
dalam perencanaan geometrik jalan raya. Ada tiga bentuk, antara lain yaitu :
1. Lengkung Full Circle
2. Lengkung Spiral Cirle Spiral, dan
3. Lengkung Spiral Spiral

2.7.1 Bentuk Lengkung Full Cirle (FC)


Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan.
Untuk Menghitung Lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut

Tabel 2.3 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)

Kecepatan Rencana Jari - jari lengkung minimum (Rc) m


120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley .L Hendarsin (2000)
10

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.1 berikut :

2.7.2 Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral (S-C-S)


Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki
peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengamalami gaya sentrifugal
terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang digunakan pada
lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.4 :

Tabel 2.4 : Batasan kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Batasan rencana v Jari - jari lengkung minimum (Rc)
(Km/jam) (m)
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15
Sumber : Shirley .L Hendarsin (2002)
11

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar


2.2 berikut :

Gambar 2.2 : bentuk lengkung spiral cricle spiral (S-C-S)


12

2.7.3 Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (S-S)


13

Gambar 2.3 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral

2.8 Menentukan Jarak Pandang


Menetukan tata cara perencanaan geometrik jalan antar kota, jarak
pandang adlah suatau jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedekimian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya
tersebut dengan aman. Sedangkan menurut Silva Sukirman (1994) Jarak pandang
adalah jalan didepan kendaraan yang masih dpat dilihat dengan jelas diukur dari
titik kedudukan pengemudi. Jarak pandang pada jalan raya dibedakan atas dua,
yaitu jarak pandang henti (JPH) dan jarak pandang menyiap (JPM).
14

2.8.1 Jarak Pandang Henti


Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan di depan. Jarak pandang henti mwnurut Silva Sukirman (1994)
terdiri dari dua elemen yaitu jarak yang ditempuh sesudah sementara pengemudi
menginjak rem sampai kendaraan berhenti, dihitung dengan menggunakan rumus:
Menurut Silva Sukirman (1994), Jarak pandang menyiap dapat dihitung
dengan persamaan berikut :

2.8.2 Jarak pandang menyiap


Jarak pandang menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi sehingga
dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat kendaraan lain
dari depan dengan bebas.
Menurut Silva Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
15
16

Gambar 2.4 Jarak pandang menyiap

2.9 Pelebaran perkerasan pada tikungan


Untuk mendapatkan tingkat pelayanan suatu jalan yang baik dan selalu
tetap sama, baik pada bagian lurus maupun pada bagian tikungan maka perlu
adanya pelebaran pada tikungan dan meghindari kemungkinan kendaraan akan
keluar dari jalurnya karena kecepataan terlalu tinggi.
Menurut Silva Sukirman (1994), Besarnya pelebaran perkerasan pada
tikungan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
17

2.10 Kebebasan Samping Pada Tikungan


Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah satu syarat yang
paling penting sehubungan dengan keamanan bagi pengguna jalan. Menurut
Djamal Abdat (1981), kebebasan samping pada tikungan terdapat dua kasus yaitu:
18

2.11 Stationing
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang di
peroleh ,maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silviana Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval
tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu,pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut dilapangan . pada tikungan
, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat Sta titik TC
dan Sta titik CT pada tinkungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman (1994),
Metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar
b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung.

2.12 Diagram superelevasi


Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang menggambarkan panjang
ruang yang diperlukan untuk merubah kemiringan melintang (superelevasi) dari
keadan normal sehingga superelevasi penuh dan juga memperlihatkan besarnya
superelevasi yang terjadi pada setiap bagian tikungan. Superelevasi penuh adalah
kemiringan maksimum yang harus dicapai pada suatu tikungan tergantung
kecepatan rencana yang dipergunakan.
Menurut Silvia Sukirman (1994), peubahan kemiringan melintang
(superelevasi) dapat dilakukan dengan tiga cara :
a. Dengan menggunakan sumbu jalan sebagai sumbu putar.
b. Dengan menggunaan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar.
c. Dengan menggunaan tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar.
19

Gambar 2.6 : Diagram Superelevasi Full_Circle


Sumber : Silvia Sukirman (1994)

Gambar 2.7 : Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral


Sumber Silvia Sukirman (1994)
20

Gambar 2.8 : Diagram Superelevasi Spiral-Spiral


Sumber : Silvia Sukirman (1994)

2.13 Alinyemen Vertikal


Menurut Silva Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah
perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median . sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Dengan demikian , alinyemen vertikal menyatakan bentuk geometrik jalan
dalam arah vertikal. Bentuk dari penampang memanjang sangat menentukan jalan
kendaraan yang melewati jalan tersebut, karena memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap kecepatan,kemampuan,percepatan,kemampuan perlambatan
,kemampuan untuk berhenti ,jarak pandangan dan kenyamanan pengemudi
kendaraan tersebut. Maka berbeda dengan alinyemen horizontal, pada alinyemen
vertikal tidak hanya ditunjukan pada bagian yang lengkung,tetapi justru pada yang
penting yaitu bagian badan jalan yang lurus yang pada umumnya merupan suatu
kelandain.
21

2.13.1 Kelandaian jalan


Menurut Silva Sukirman (1994), landai jalan adalah garis lurus yang dapat
berupa mendatar, mendaki ataupun menrun yang dinyatakan dalam persen. Pada
umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca dari kiri ke kanan . Maka,landai
jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan diberi tanda
negatif untuk penurunan dari kiri.

Kelandaian jalan pada alinyemen vertikal terdiri tas dua bagian,yaitu:


a. Landai minimun, yaitu landai datar atau landai ideal (0%) dan dalam
perencanaan disarankan menggunakan :
1. Landai datar atau jalan- jalan diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb.
2. Landai 15% yang dianjurkan untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan
dengan medan datar dan mempergunaan kereb.
3. Landai minimum sebesar 0,3% -0,5% yang dianjurkan untuk
jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kereb.
b. Landai maksimum, yaitu kelandaian diatas landai datar atau landai datar
atau landai ideal dan mulai memberikan pengaruh kepada gerak kendaraan
mobil penumpang walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan
truck yang terbebani penuh. Panjang maksimum landai yang masih dapat
diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas yang
berarti atu biasa disebut dengan panjang kritis landai, adalah panjang yang
mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25% Km/Jam.
Kelandaian maksimum dan panjang kritis landai tersebut seperti
diperlihatkan pada tabel 2.5 dan 2.6 dibawah ini
Tabel 2.5 Kenlandaian Maksimum
Kecepatan Rencana (Km/jam) 80 60 50 40 30 20
Kelandaian maks standart (%) 4 5 6 7 8 9
Kelandaian maks Mutlak (%) 8 9 10 11 12 13
Sumber: Spesifikasi Standart Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar
kota (Rancangan Akhir) 1990
22

Tabel 2.6 Panjang Kritis Untuk Kelandaian – Kelandaian Yang melebihi


Maksimum Standart
Kecepatan Rencana (Km/jam)
80 60 50 40 30 20
5 % 500 m 6 % 500 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10 % 250 m
6 % 600 m 7 % 500 m 8 % 420 m 9 % 340 m 10 % 250 m 11 % 250 m
7 % 500 m 8 % 340 m 9 % 340 m 10 % 250 m 11 % 250 m 12 % 250 m
8 % 420 m 9 % 340 m 10 % 250 m 11 % 250 m 12 % 250 m 13 % 250 m
Sumber : Standart Spesifikasi Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya luar
Kota (Rancangan Akhir), 1990

Lajur Pendakian
Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan khusus untuk truk
bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan dengan kecepatan lebih rendah,
sehingga kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat tanpa
menggunakan lajur rawan. Lajur pendakian harus disediakan pad ruas jalan yang
mempunyai kelandaian besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat.

Penepatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :


1) Disediakan pada jalan arteri dan kolektor
2) Apabila panjang kritis terlampui, jalan memiliki VLHR > 15.000
SMP/hari, dan persentase truk > 15%.

Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Dan lajur
pendakiandimulai 30 meter awal perubahan kelandaian dengan
serongan panjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak
kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter.
23

2.13.2 Lengkung Vertikal


Alinyemen vertikal terdiri dari dua buah lengkung, yaitu :
a. Lengkug Vertikal Cekung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen
yang berada di bawah permukaan jalan yang disebut juga lengkung
vertikal positif (+)

Gambar 2.10 : Lengkung Vertikal Cekung


Sumber : Silvia Sukirman (1994)

b. Lengkung Vertikal Cembung, yaitu titik perpotongan antara kedua tangen


yang berada di atas permukaan jalan yang biasa dilambangkan dengan
negatif (-).

Gambar 2.11 : Lengkung Vertikal Cembung


Sumber : Silvia Sukirman (1994)
24

Bentuk Lengkung Vertikal yang umum dipergunakan adalah berbentuk


lengkung parabola sederhana. Titik A merupakan titik peralihan dari bagian
tangen ke bagian lengkung vertikal yang diberikan simbol PLV. Titik B
merupakan titik peralihan dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen dan di
beri simbol PTV.
Titik PPV adalah titik kedua bagian tangen. Letak titik-titik pada lengkung
vertikal dinyatakan dengan X dan Y terhadap sumbu koordinant yang melalui titik
A.
Menurut Djamal Abdat (1981), untuk menentukan perbedaan aljabar
landai dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut ini:
25

2.14 Koordinat Alinyemen Vertikal dan Aliyemen Horizontal


Koordinat alinyemen vertical dan alinyemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
a.) Alinyemen horizontal sebaiknya berhimpit dengan alinyemen vertikal,
dan secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
aliyemen vertikal;
b.) Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung
atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
c.) Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan;
d.) Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal
harus dihindarkan;
e.) Tikungan yang tajam di anatar 2 bagian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.

2.15 Drainase

Dalam merencanakan drainase, data pendukung yang harus ada lain data
curah hujan dan daerah yang mempengaruhi pengaliran.
26

terhadap saluran. Hal ini akan mempengaruhi terhadap besarnya penampang yang
harus di dimensi, dimana penampang ini harus ekonomis dan juga harus mampu
menampunh air secara baik.

A. Analisa intensitas hujan


Perhitungan besarnya intensitas hujan sangat dipegaruhi oleh
konsentrasi (tc), yaitu lamanya air yang mengalir dari tempat yang terjauh
kesaluran pembuang dan juga tergantung pada lokasi daerah pengaliran.
Untuk menghitung besarnya data curah hujan rata-rata dapat
menggunakan persamaan berikut ini ;

Menurut Standar Nasional Indonesia ( SNI – 03 – 242 – 1994 ), Untuk


mengitung besarnya curah hujan digunakan persamaan berikut :
27

Dengan demikian untuk perencanaan drainase, data- data tersebut diatas


sangat mempengaruhi saluran yang akan dibuat sepanjang jalur jalan.

B. Analisa ukuran penampang saluran


Dalam perencanaan ukuran penampang saluran, yang diinginkan, yang
diinginkan adalah saluran yang mampu menampung dan mengalirkan air hujan
secepatnya agar pengaruh buruk gerusan air terhadap badan jalan dapat dihindari.
Walaupun demikian diusahakan agar saluran dapat lebih ekonomis. Menurut
Standar Nasional Indonesia (SNI – 03 – 342 – 1994 ), untuk merencanakan debit
aliran dapat digunakan persamaan berikut :
28

Berdasarkan debit aliran, maka dapat direncanakan besarnya penampang


saluran. Untuk merencanakannya dapat menggunakan persamaan seperti dibawah
ini :

2.16 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
kesemuanya ini harus diperhitungkan sedekimian rupa sehingga efesien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari timbunan, karena
hasil dari penggalian dapat digunakan sebagai timbunan.
Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metode
geometric (sering juga disebut dengan metode trapesium), maka masing – masing
bagian dibagi – bagi luasnya sehingga menjadi bentuk – bentuk geometrik
sederhana. Untuk perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan
pada gambar 2.13 serta persamaan yang digunakan dibawa ini :
29

Gambar 2.15 : Bentuk – Bentuk Luas Penampang Galian Dan Timbunan


Sumber : Ir . Sunggono K.H (1979)

2.17 Mass Curve Diagram


Menurut Carl F. Meyer dan David W. gibson (1994), bahwa mass curve
diagram merupakan suatu cara untuk mengetahui besarnya perbandingan volume
galian serta timbunan, sehingga didapatkan volume komulatif dari kedua volume
di atas. Mass curve diagram dari pekerjaan tanah adalah grafik kontinue dari
jumlah netto dan diplotkan dengan station – station sebagai sumbu absis dari
jumlah aljabar galian serta timbunan sebagai koordinat. Biasanya, volume galian
diberi tanda positif sedangkan timbunan diberi tanda negatif

Anda mungkin juga menyukai