Anda di halaman 1dari 28

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Jalan


Berdasarkan UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan mendefinisikan jalan
adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.
Sedangkan berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan
Angkutan Jalan yang diundangkan setelah UU No. 38 mendefinisikan jalan
adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
yang diperuntukkan bagi Lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah,
diatas permukaan tanah, di bawah permukaaan tanah atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Prasarana lalu lintas dan angkutan jalan adalah ruang lalu lintas, terminal
dan perlengkapan jalan yang meliputi marka, rambu, alat pemberi isyarat lalu
lintas, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan
pengamanan jalan serta fasilitas pendukung.

2.2 Klasifikasi Jalan


Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

(TPGJAK ; 1997), klasifikasi jalan terbagi menjadi:

2.2.1. Klasifikasi menurut fungsi jalan dimana:

1) Jalan Arteri
Jalan Arteri adalah Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien.

STT NUSA PUTRA


6

2) Jalan Kolektor
Jalan Kolektor adalah Jalan yang melayani angkutan
pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan Lokal
Jalan Lokal adalah Jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.2.2. Klasifikasi menurut kelas jalan


Pada SNI tentang Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
1997, kelas jalan dijelaskan sebagai berikut :
1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan
jalan untuk menerima beban lalulintas, dinyataan dalam muatan
sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.
2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya
dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1

Sumber : Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar


Kota 1997 ;4
2.2.3. Klasifikasi menurut medan jalan
1) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebgaian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus kontur.
2) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat
dilihat pada tabel 2.2

STT NUSA PUTRA


7

Sumber : Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar


Kota 1997 ;5

2.2.4. Klasifikasi menurut pengawasannya


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No.
34/2006 pasal 25 adalah jalan Nasional, jalan Provinsi, jalan
Kabupaten, jalan Kota dan jalan Desa.

2.3 Jalan Perkotaan


2.3.1. Definisi Jalan Perkotaan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan
perkotaan merupakan segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara
permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan.

2.3.2. Tipe Jalan Perkotaan


Tipe jalan pada jalan perkotaan adalah sebagai berikut :
1) Jalan dua lajur dua arah tak terbagi (2/2 UD).
2) Jalan empat lajur dua arah.
a. Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD)
b. Terbagi (dengan median) (4/2 D)
3) Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D)
4) Jalan satu arah (1-3/1)

STT NUSA PUTRA


8

Sumber : http//www.google.com
Gambar 2.1 Contoh Tipe Jalan 2 Lajur-2 Arah

Menurut Highway Capacity Manual (HCM) 1994, jalan perkotaan


dan jalan luar kota adalah jalan bersinyal yang menyediakan pelayanan lalu
lintas sebagai fungsi utama, dan juga menyediakan akses untuk
memindahkan barang sebagai fungsi pelengkap.
Indikasi penting lebih lanjut tentang daerah perkotaan atau semi
perkotaan adalah karakteristik arus lalu-lintas puncak pada pagi dan sore
hari, secara umum lebih tinggi dan terdapat perubahan komposisi lalu-
lintas (dengan persentase kendaraan pribadi dan sepeda motor yang lebih
tinggi, dan persentase truk berat yang lebih rendah dalam arus lalu-lintas).
Peningkatan arus yang berarti pada jam puncak biasanya
menunjukkan perubahan distribusi arah lalu-lintas (tidak seimbang), dan
karena itu batas segmen jalan harus dibuat antara segmen jalan luar kota dan
jalan semi perkotaan. Dengan cara yang sama, perubahan arus yang berarti
biasanya juga menunjukkan batas segmen. Indikasi lain yang membantu
(walaupun tidak pasti) yaitu keberadaan kereb: jalan luar kota jarang
dilengkapi kereb.

2.4 Karakteristik Jalan


Karakteristik utama jalan yang akan mempengaruhi kapasitas dan kinerja
jalan jika jalan tersebut dibebani arus lalu lintas. Karakteristik jalan tersebut
menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 antara lain: geometrik jalan,

STT NUSA PUTRA


9

komposisi arus pemisah arah, pengaturan lalu lintas, dan aktivitas samping
jalan.
2.4.1 Geometrik jalan
a. Tipe Jalan :
Berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda pada
pembebanan lalu-lintas tertentu; misalnya jalan terbagi dan tak-
terbagi; jalan satu arah dan jalan dua arah.

b. Lebar jalur lalu-lintas :


Kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan
pertambahan lebar jalur lalu-lintas.

c. Kereb :
Kereb sebagai batas antara jalur lalu-lintas dan trotoar
berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas
dan kecepatan. Kapasitas jalan dengan kereb lebih kecil dari jalan
dengan bahu.

d. Bahu jalan :
Bahu jalan perkotaan tanpa kereb pada umumnya mempunyai bahu
pada kedua sisi jalur lalu-lintasnya. Lebar dan kondisi
permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa
penambahan kapasitas, dan kecepatan pada arus tertentu, akibat
pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan
samping yang disebabkan kejadian di sisi jalan seperti kendaraan
angkutan umum berhenti, pejalan kaki dan sebagainya.

e. Median :
Median yang direncanakan dengan baik meningkatkan kapasitas.

STT NUSA PUTRA


10

f. Alinyemen jalan :
Lengkung horisontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan
arus bebas. Tanjakan yang curam juga mengurangi kecepatan arus
bebas. Karena secara umum kecepatan arus bebas di daerah
perkotaan adalah rendah maka pengaruh ini diabaikan.

2.4.2 Komposisi Arus dan Pemisahan Arah


a. Pemisahan Arah Lalu-lintas :
Kapasitas jalan dua arah paling tinggi pada pemisahan arah 50 - 50,
yaitu jika arus pada kedua arah adalah sama pada periode waktu
yang dianalisa (umumnya satu jam).
b. Komposisi lalu-lintas:
Komposisi lalu-lintas mempengaruhi hubungan kecepatan-
arus jika arus dan kapasitas dinyatakan dalam kend/jam, yaitu
tergantung pada rasio sepeda motor atau kendaraan berat dalam
arus lalu-lintas. Jika arus dan kepasitas dinyatakan dalam satuan
mobil penumpang (smp), maka kecepatan kendaraan ringan dan
kapasitas (smp/jam) tidak dipengaruhi oleh komposisi lalu-lintas.

Tabel 2.3 Nilai Normal Komposisi Lalu Lintas

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2.4.3 Pengaturan Lalu lintas


Batas kecepatan jarang diberlakukan di daerah perkotaan di
Indonesia, dan karenanya hanya sedikit berpengaruh pada kecepatan arus
bebas. Aturan lalu-lintas lainnya yang berpengaruh pada kinerja lalu-lintas

STT NUSA PUTRA


11

adalah: pembatasan parkir dan berhenti sepanjang sisi jalan; pembatasan


akses tipe kendaraan tertentu; pembatasan akses dari lahan samping jalan
dan sebagainya.
2.4.4 Aktivitas Samping Jalan
Banyak aktivitas samping jalan di Indonesia sering menimbulkan
konflik, kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu-lintas.
Pengaruh konflik ini "hambatan samping", diberikan perhatian utama dalam
MKJI 1997 dikarenakan hambatan samping berpengaruh pada kapasitas dan
kinerja jalan perkotaan jika dibandingkan dengan manual Negara Barat.

Tabel 2.4 Kelas Hambatan Samping Untuk Jalan Perkotaan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Hambatan samping yang seringkali ada diantanya yaitu :


a. Pejalan kaki;
b. Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti;
c. Kendaraan lambat (misalnya becak, kereta kuda);
d. Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan

STT NUSA PUTRA


12

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar
Bahu (FCSF) Pada Jalan Perkotaan Dengan Bahu

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997


Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan,
tingkat hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari
sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian
hambatan samping sepanjang segmen jalan yang diamati. Photo khusus
juga ditunjukkan dalam manual untuk memudahkan pemilihan kelas
hambatan samping yang digunakan dalam analisa.
Tabel 2.5 Rasio Hambatan Samping

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

STT NUSA PUTRA


13

2.5 Perilaku Lalu lintas


Perilaku lalu lintas menyatakan ukuran kuantitas yang menerangkan
kondisi yang dinilai oleh pembina jalan. Perilaku lalu lintas pada ruas jalan
meliputi kapasitas, derajat kejenuhan, waktu tempuh, dan kecepatan tempuh
rata-rata (MKJI 1997).

2.5.1 Derajat Kejenuhan (DS)


Menurut MKJI 1997, derajat kejenuhan merupakan rasio arus lalu lintas
terhadap kapasitas pada bagian jalan tertentu, digunakan sebagai faktor
utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai
derajat kejenuhan untuk ruas jalan adalah 0-0,75. Angka tersebut
menunjukkan apakah segmen jalan yang diteliti memenuhi kriteria
kelayakan dengan angka derajat kejenu han dibawah 0,75 atau sebaliknya.

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997


Gambar 2.2 Grafik derajat Kejenuhan

STT NUSA PUTRA


14

Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai derajat kejenuhan adalah


sebagai berikut :
DS = Q/C Persamaan 2.1
Keterangan:
DS = derajat kejenuhan
Q = arus total sesungguhnya (smp/jam)
C = kapasitas sesungguhnya (smp/jam)

2.5.2 Kecepatan dan Waktu Tempuh


1) Kecepatan dinyatakan sebagai laju dari suatu pergerakan kendaraan
dihitung dalam jarak persatuan waktu (km/jam) (F.D Hobbs, 1995).
Pada umumnya kecepatan dibagi menjadi tiga jenis sebagai berikut
ini.
a. Kecepatan setempat (Spot Speed), yaitu kecepatan kendaraan
pada suatu saat diukur dari suatu tempat yang ditentukan.
b. Kecepatan bergerak (Running Speed), yaitu kecepatan kendaraan
rata-rata pada suatu jalur pada saat kendaraan bergerak dan
didapat dengan membagi panjang jalur dibagi dengan lama waktu
kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut.
c. Kecepatan perjalanan (Journey Speed), yaitu kecepatan efektif
kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara dua tempat dan
merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama waktu
kendaraan menyelesaikan perjalanan antara dua tempat tersebut.

MKJI 1997 menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama


kinerja segmen jalan. Kecepatan tempuh merupakan kecepatan rata-rata
(km/jam) arus lalu lintas dari panjang ruas jalan dibagi waktu tempuh rata-
rata kendaraan yang melalui segmen jalan tersebut.
Kecepatan tempuh merupakan kecepatan rata-rata dari perhitungan
lalu lintas yang dihitung berdasarkan panjang segmen jalan dibagi dengan
waktu tempuh rata-rata kendaraan dalam melintasinya (HCM, 1994).

STT NUSA PUTRA


15

Kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan,


karena mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting
untuk biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan rata-rata
ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan:
V=L/TT Persamaan 2.2

Keterangan:
V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)
L = Panjang segmen (km)
TT = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

2) Sedangkan waktu tempuh (TT) adalah waktu rata-rata yang


dipergunakan kendaraan untuk menempuh segmen jalan dengan panjang
tertentu, termasuk tundaan, waktu henti, waktu tempuh rata-rata kendaraan
didapat dari membandingkan panjang segmen jalan L (km) (MKJI 1997,
disadur dari tugas akhir Handayani Nur A, 2007).
Waktu tempuh didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan oleh
kendaraan untuk melewati suatu ruas jalan yang merupakan perbandingan
antara panjang jalan atau segmen jalan dengan kecepatan kendaraan. Waktu
tempuh (TT) dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut:

TT=L/V Persamaan 2.3

Keterangan:
TT = Waktu tempuh (jam)
L = Panjang jalan (km)
V = Kecepatan (km/jam)

Waktu tempuh merupakan waktu rata-rata yang dihabiskan


kendaraan saat melintas pada panjang segmen jalan tertentu, termasuk di
dalamnya semua waktu.

STT NUSA PUTRA


16

2.6 Volume Lalu Lintas


Sebagai pengukur jumlah dari arus lalu lintas yang digunakan ”volume”.
Volume lalu lintas menunjukan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik
pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit).
Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang
lebih besar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang
terlalu besar untuk volume lalu lintas yang rendah cenderung membahayakan,
karena pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang
lebih tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan, dan disamping
itu mengakibatkan biaya pembangunan yang jelas tidak pada tempatnya.

Tabel 2.6 Ekivalen Mobil Penumpang Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu
Arah

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Untuk menghitung volume arus kendaraan bermotor digunakan rumus :


Q= [ (empLV x LV) + (empHV x HV) + empMC x MC)] Persamaan 2.4
Keterangan :
Q = jumlah arus kendaraan dalam smp
LV = kendaraan ringan
HV = kendaraan berat
MC = sepeda motor

STT NUSA PUTRA


17

Satuan volume lalu lintas yang umumnya dipergunakan sehubungan


dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah :
a. Lalu lintas harian rata – rata
b. Volume jam perencanaan
c. Kapasitas

2.6.1 Lalu Lintas Harian Rata - Rata


Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam
satu hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal 2 jenis lalu lintas
harian rata–rata, yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu
lintas harian rata–rata (LHR).
LHR adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati
satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun
penuh.
Jumlah lalu lintas harian rata−rata
LHR= Persamaan 2.5
365
LHRT dinyatakan dalam smp/hari/2 arah atau kendaraan/hari/2 arah
untuk 2 jalur 2 arah, smp/hari/1 arah atau kendaraan/hari/1 arah untuk jalan
berlajur banyak dengan median, atau dengan kata lain lalu lintas harian juga
didapat dari rumus :

Jumlah lalu lintasharian rata−rata


LHRT = Persamaan 2.6
Lamanya pengamatan

2.6.2 Volume Jam Perencanaan


LHR dan LHRT adalah volume lalu lintas dalam 1 hari, sehingga nilai
LHR dan LHRT itu tidak dapat memberikan gambaran tentang fluktuasi
arus lalu lintas lebih pendek dari 24 jam.
Arus lalu lintas bervariasi dari jam ke jam berikutnya dalam 1 hari, maka
sangatlah cocok jika volume lalu lintas dalam 1 jam dipergunakan untuk
perencanaan. Volume dalam 1 jam dipakai untuk perencanaan dinamakan
”Volume Jam Perencanaan (VJP)”.

STT NUSA PUTRA


18

2.6.3 Kapasitas
Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu
penampang jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus
lalu lintas tertentu.
Perbedaan antara VJP dengan kapasitas adalah VJP menunjukkan jumlah
arus lalu lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang jalan
selama 1 jam, sedangkan kapasitas menunjukkan jumlah arus lalu lintas
yang maksimum dapat melewati penampang tersebut dalam waktu 1 jam
sesuai dengan kondisi jalan (sesuai dengan lebar lajur, kebebasan samping,
kelandaian, dll). Nilai kapasitas dapat diperoleh dari penyesuaian kapasitas
dasar dengan kondisi jalan yang direncanakan.
Menurut Oglesby dan Hicks (1993), kapasitas suatu ruas jalan dalam
suatu sistem jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang memiliki
kemungkinan yang cukup untuk melewati ruas jalan tersebut (dalam satu
maupun dua arah) dalam periode waktu tertentu dan di bawah kondisi jalan
dan lalu lintas yang umum.

C = C0 X FCw X FCsp X FCcs Persamaan 2.7

Keterangan:
C = Kapasitas
C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota

STT NUSA PUTRA


19

 Kapasitas dasar
Tabel 2.7 Kapasitas Dasar (C0) Jalan Perkotaan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

 Faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas (FCw)


Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas FCw Untuk Lebar Jalur Lalu
Lintas

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisahan arah (FCwb)


Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Pemisahan Arah (FCwb)

STT NUSA PUTRA


20

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997


 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCcs)
Tabel 2.10 Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Ukuran Kota (FCcs) Pada
Jalan Perkotaan

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2.6.4 Arus Lalu Lintas


Arus dan Komposisi Lalu Lintas :
Menurut MKJI 1997, nilai arus lalu lintas mencerminkan komposisi
lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (SMP).
Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil
penumpang (SMP) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang
(EMP) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan berikut ini.
1. Kendaraan ringan (LV), termasuk mobil penumpang, minibus,
pick up, truk kecil, jeep.
2. Kendaraan berat (HV), termasuk truk dan bus.
3. Sepeda motor (MC).
4. Kendaraan tidak bermotor (UM).
Ukuran arus lalu lintas meliputi besaran – besaran di bawah ini :
a. Volume ( Q ) adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik
tertentu pada saat tertentu.
b. Besar arus ( q ) adalah besaran jumlah kendaraan yang melewati
suatu titik tertentu dalam waktu satu jam.
c. Waktu antara ( ht ) atau time headway adalah selisih waktu dua
buah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu.
d. Waktu antara rata-rata ( ht-av) adalah rata-rata semua waktu
antara yang dinyatakan dalam detik per kendaraan.

STT NUSA PUTRA


21

e. Running Speed adalah kecepatan rata-rata suatu kendaraan pada


sebuah potongan jalan dan dihitung dari jarak yang ditempuh
dibagi dengan waktu tempuh.
2.6.5 Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas adalah bagian dari jalan yang dipergunakan untuk lalu
lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Batas jalur lalu
lintas dapat berupa :
- Median
- Bahu
- Trotoar

Sumber : https://www.google.co.id/search/gambar+potongan+jalan
Gambar 2.3 Batas jalur lalu lintas

Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur, dan juga terdiri dari
beberapa tipe, diantaranya :
 1 jalur – 2 lajur – 2 arah
 1 jalur – 2 lajur – 1 arah
 2 jalur – 4 lajur – 2 arah
 2 jalur – n lajur – 2 arah, dimana n = jumlah lajur.

STT NUSA PUTRA


22

2.6.6 Lajur Lalu Lintas


Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh
marka jalur jalan, memiliki lebar jalur yang cukup dilewati suatu
kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana,yang
dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan. Jumlah lajur
ditetapkan dengan mengacu pada MKJI 1997 berdasarkan tingkat kinerja
yang direncanakan, dimana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh rasio
antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.

2.7 Tingkat Pelayanan (LOS)


Perilaku lalu lintas diwakili oleh tingkat pelayanan (LOS), yaitu ukuran
kualitatif yang mencerminkan persepsi para pengemudi dan penumpang
mengenai karakteristik kondisi operasional dalam arus lalu lintas
(HCM,1994).
Menurut HCM Special Report 1994, tingkat pelayanan adalah
kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk menampung lalu-
lintas pada keadaan tertentu.
Enam tingkat pelayanan diabatasi untuk setiap tipe dari fasilitas lalu
lintas yang akan digunakan dalam prosedur analisis, yang disimbolkan
dengan huruf A sampai dengan F, dimana Level of Service (LOS) A
menunjukkan kondisi operasi terbaik, dan LOS F paling jelek. Kondisi
LOS yang lain ditunjukkan berada diantaranya. Di Indonesia, kondisi pada
tingkat pelayanan (LOS) diklasifikasikan atas berikut ini.
1. Tingkat Pelayanan A
a. Kondisi arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan
tinggi.
b. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat
dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan
maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan.
c. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya
tanpa atau dengan sedikit tundaan.

STT NUSA PUTRA


23

2. Tingkat Pelayanan B
a. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai
dibatasi oleh kondisi lalu lintas,
b. Kepadatan lalu lintas rendah, hambatan internal lalu lintas belum
mempengaruhi kecepatan,
c. Pengemudi masih cukup punya kebebasan yang cukup untuk
memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.
3. Tingkat Pelayanan C
a. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan
oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi,
b. Kepadatan lalu lintas meningkat, dan hambatan internal meningkat;
c. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah
lajur atau mendahului.
4. Tingkat Pelayanan D
a. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan
kondisi arus,
b. Kepadatan lalu lintas sedang, fluktuasi volume lalu lintas dan
hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
besar,
c. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini
masih dapat ditolerir untuk waktu yang sangat singkat.
5. Tingkat Pelayanan E
a. arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu
lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah,
b. kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas
tinggi,
c. pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.
6. Tingkat Pelayanan F
a. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang,

STT NUSA PUTRA


24

b. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
kemacetan untuk durasi yang cukup lama,
c. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

Tabel 2.11 Standarisasi Tingkat Pelayanan (VCR)

Sumber : Indonesian Highway Capacity Model 1997

2.8 Kerapatan
Kerapatan (density) didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang
menempati suatu panjang jalur atau lajur, dan secara umum dinyatakan
dalam kendaraan per kilometer atau kendaraan per kilometer per lajur
(HCM, 1994).
Sedangkan menurut MKJI 1997, kerapatan adalah rasio
perbandingan arus terhadap kecepatan rata-rata, dinyatakan dalam
kendaraan (smp) per kilometer (km).
Arus, kecepatan, dan kerapatan merupakan unsur dasar pembentuk aliran
lalu lintas. Pola hubungan yang diperoleh dari ketiga unsur tersebut adalah:
1. arus dengan kerapatan,
2. kecepatan dengan kerapatan,
3. arus dengan kecepatan.

STT NUSA PUTRA


25

Hubungan antara kecepatan, arus, dan kerapatan akan ditunjukkan


pada Gambar 2.4 berikut ini.

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997


Gambar 2.4 Hubungan Kecepatan, Arus dan Kerapatan

Pada penelitian ini digunakan MKJI 1997 sebagai pedoman untuk


analisisnya, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institut
Teknologi Bandung pada tahun 80-an ditunjukkan bahwa penggunaan
manual kapasitas negara barat memberikan hasil yang tidak sesuai karena
komposisi lalu lintas dan perilaku pengemudi di Indonesia yang berbeda
(MKJI 1997).

2.9 Hubungan Antara kecepatan, volume, dan kepadatan lalu lintas


Dalam ilmu teknik lalu lintas telah dipahami bahwa untuk
mempelajari suatu arus lalu lintas, terdapat 3 variabel utama yang
menentukan, yaitu volume (flow), kecepatan (speed) dan kepadatan
(density). Secara teoritis terdapat hubungan yang mendasar antara 3
variabel tersebut.

Dalam praktiknya, hubungan antara kecepatan dan volume ini dapat


dipakai untuk banyak keperluan dalam perencanaan, pengelolaan dan

STT NUSA PUTRA


26

penentuan kebijakan dalam bidang transportasi, misalnya sebagai


pedoman dalam menentukan nilai matematis kapasitas jalan pada kondisi
ideal.

2.9.1 Pengertian Elemen Lalu Lintas

Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam aliran lalu lintas pada


suatu ruas jalan tiga variabel utama yang digunakan untuk mengetahui
karakteristik arus lalu lintas, yaitu sebagai berikut:

a. Volume (flow), yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang


melewati suatu titik tinjau tertentu pada ruas jalan per satuan waktu
tertentu . satuan yang biasa digunakan dalam kendaraan/jam atau
kendaraan/hari.

b. Kecepatan (speed), yaitu jarak yang dapat ditempuh suatu kendaraan


pada suatu ruas jalan persatuan waktu. Satuan yang umum digunakan
adalah kilometer/jamatau meter/detik.

c. Kepadatan (density), adalah jumlah kendaraan persatuan panjang jalan


pada suatu waktu tertentu. Satuan yang sering digunakan adalah
kendaraan/kilometer.

2.9.2 Hubungan antara Volume, Kecepatan, dan Kepadatan

Dalam ilmu teknik lalu lintas, persamaan fundamental untuk


menggambarkan suatu arus lalu lintas adalah:

V = D . US Persamaan 2.8
dengan: V = volume lalu lintas (kendaraan/jam)

D = kepadatan (kendaraan/km)

Us = kecepatan rata-rata (km/jam)

Hubungan dasar antara volume, kecepatan, dan kepadatan tersebut


dapat digambarkan secara grafis sebagaimana diperlihatkan pada gambar
2.3. Hubungan antara kecepatan dan kepadatan diasumsikan linier guna

STT NUSA PUTRA


27

penyederhanaan. Jadi, kecepatan akan berkurang jika kepadatan lalu lintas


bertambah. Kecepatan arus bebas free-flow speed (Uf) akan terjadi saat
kepadatan sama dengan nol dan ketika terjadi kemacetan jam density (Dj)
kecepatan akan sama dengan nol.

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Gambar 2.5 Hubungan dasar antara kecepatan (US), volume (V), dan
kepadatan lalu lintas (D)
Hubungan antara kecepatan dan volume menunjukan bahwa
dengan bertambahnya volume lalu lintas maka kecepatan akan berkurang,
sampai volume maksimum tercapai. Jika kepadatan terus bertambah maka
kecepatan baik volume akan berkurang. Jadi, kurva ini akan
menggambarkan dua kondisi yang berbeda, bagian atas untuk kondisi arus
yang stabil, sedangkan bagiaan bawah menunjukan kondisi arus padat.

Sementara itu, hubungan antra volume dan kepadatan


memperlihatkan bahwa volume akan bertambah apabila kepadatannya juga
bertambah. Volume maksimum (Vmaks) terjadi pada saat kepadatan
mencapai titik Dm (kapasitas jalur sudah tercapai). Setelah mencapai titik
ini volume akan kembali menurun walaupun kepadatan bertambah sampai
terjadi kemacetan di titik Dj.

STT NUSA PUTRA


28

2.10 MODEL LINEAR GREENSHIELDS

Model ini adalah model paling awal yang tercatat dalam usaha
mengamati perilaku arus lalu lintas. Pada 1934, Greenshields mengadakan
studi pada jalur jalan luar Kota Ohio, dengan kondisi arus lalu lintas
memenuhi syarat karena tanpa gangguan dan bergerak secara bebas (steady
state condition). Greenshields mendapatkan hasil bahwa hubungan antara
kecepatan dan kepadatan bersifat linear. Hubungan linear kecepatan dan
kepadatan ini menjadi hubungan yang paling populer dalan tinjauan
pergerakan arus lalu lintas, mengingat fungsi hubungannya yang paling
sederhana sehinga mudah diterapkan. Model ini dapat dijabarkan sebagai
berikut.

Us = U f – (U f / Dj) D Persamaan 2.9


dengan: Us = kecepatan rata-ratap

Uf = kecepatan pada arus bebas (free-flow speed)

Dj = kepadatan pada saat macet (jam density)

D = kepadatan rata-rata

Dari persamaan 2.9 terlihat bahwa model ini mempunyai dua


parameter, yaitu Uf dan Dj. Kedua parameter tersebut masing-masing dapat
dinyatakan sebagai kecepatan arus bebas yang pengendara dapat memacu
kendaraannya sesuai dengan keinginannya dan kepadatan pada saat macet
yang kendaraannya tidak dapat bergerak sama sekali.

Hubungan antara volume dan kepadatan didapat dengan mengubah


persamaan 2.1 menjadi bentuk Us =V/D kemudian di substitusikan ke
persamaan 2.2 yang menghasilkan:

V = Uf . D – (Uf / Dj) . D2 Persamaan 2.10


Persamaan ini merupakan persamaan parabola V = f(D).

Apabila persamaan 2.3 diturunkan terhadap D diperoleh sebagai berikut:

STT NUSA PUTRA


29

dV
=0
dD

dV Uf
=Uf −2 D=0
dD Dj

Dj
D=
2

Selanjutnya:

V =Uf
Dj Uf Dj

2 Dj 2
²
[ ]
Uf Dj Uf Dj
V= −
2 4

Uf Dj
V maks=
4

Dj
Dengan D menjadi Dm =
2

Dm = kepadatan optimum saat volume mencapai maksimum (Vmaks)

Bila D = V/Us yang didapat dari persamaan 2.1 disubstitusikan ke


persamaan 2.2 maka didapat hubungan volume dan kecepatan, yaitu:

V = Dj . Us – (Dj / Uf) . Us2 Persamaan 2.11


Persamaan ini juga merupakan fungsi parabola V = f(Us).

Apabila persamaan 2.4 diturunkan terhadap Us diperoleh sebagai berikut:

dV
=0
dU s

dV Dj
=D j−2 U s=0
dU s Uf

Uf
U s=
2

Selanjutnya:

STT NUSA PUTRA


30

V =Dj
Uf Dj Uf

2 Uf 2
²
[ ]
Dj Uf Dj Uf
V= −
2 4

Dj Uf
V m aks=
4

Uf
Dengan Us menjadi: Um=
2

Us = kepadatan optimum saat volume mencapai maksimum (Vmaks)

Vmaks dapat ditulis:

Dj Uf
V maks= =DmUm
4

Dengan kata lain Vmaks adalah luas segi empat yang dilansir
seperti pada gambar 2.1.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa jika terdapat hubungan linear


antara kecepatan dan kepadatan maka hubungan antara volume dengan
kecepatan maupun volume dengan kepadatan merupakan fungsi parabolik.

2.11 MODEL LOGARITMIK GREENBERG

Hubungan ini didapatkan dengan mengasumsikan bahwa arus lalu


lintas mempunyai kesamaan dengan arus fluida. Greenberg pada 1959
mengadakan studi yang dilakukan di terowongan lincoln dan menganalisa
hubungan antara kecepatan dan kepadatan dengan menggunakan persamaan
kontinuitas dari gerakan benda cair. Dengan asumsi tersebut, Greenberg
mendapatkan hubungan antara kecepatan dan kepadatan berbentuk
logaritma seperti berikut.

Us = Um . ln (Dj / d) Persamaan 2.12


Dengan Um = kecepatan pada saat volume maksimum.

STT NUSA PUTRA


31

Untuk mendapatkan nilai dua parameter Um dan Dj persamaan 2.5 terlebih


dahulu dijadikan persamaan linear antara Us dan ln (D) menjadi berikut:

Us = Um . ln (Dj) - Um . ln (D) Persamaan 2.13


Hubungan antara volume dengan kepadatan didapat dengan memasukan
bentuk Us = V/D dari persamaan 2.1 ke persamaan 2.1, akan diperoleh:

V = Um . D . ln) - (Dj / D) Persamaan 2.14


Dan untuk mendapatkan hubungan antara volume dan kecepatan, bentuk D
= V/Us disubstitusikan ke persamaan 2.5 sehingga diperoleh:

V = Us . Dj . exp - (Us / Um) Persamaan 2.15


Kelemahan dari model Greenberg ini adalah tidak cocok untuk
digunakan pada kondisi kepadatan arus lalu lintas yang rendah. Hal ini
dapat dilihat dengan memasukan nilai kepadatan yang sama dengan nol (D
= 0) pada persamaan 2.5 maka akan didapat harga kecepatan, tanpa pernah
dapat mencapainya. Namun model ini sangat cocok untuk kondisi kepadatan
arus yang tinggi karena dapat menghasilkan nilai kecepatan pada saat terjadi
macet total (D = Dj) yang kecepatannya sama dengan nol (Us= 0).

2.12 EKSPONENSIAL UNDERWOOD

Underwood mengemukakan suatu hipotesis bahwa hubungan antara


kecepatan dan kepadatan adalah suatu fungsi eksponensial, dengan bentuk
persamaan:

Us = Uf . exp - (D / Dm) Persamaan 2.16


dengan: Uf = kecepatan pada kondisi arus bebas

Dm = kepadatan pada saat volume maksimum

Untuk mendapatkan nilai Uf dan Dm, persamaan 2.9 diubah menjadi


persamaan linear antara ln (Us) dengan D. Jika persamaan 2.9 diatas diambil
nilai logaritmanya maka didapatkan:

ln Us = ln Uf – D / Dm Persamaan 2.17

STT NUSA PUTRA


32

Sekarang, jika persamaan 2.1 dalam bentuk Us = V/D disubstitusikan ke


persamaan 2.9 maka untuk hubungan volume dan kepadatan akan didapat:

V = D .Uf . exp (-D / Dm) Persamaan 2.18


Sementara itu, untuk mendapatkan hubungan antara volume dan kecepatan
maka persamaan D = V/Us disubstitusikan ke persamaan 2.9 sehingga
diperoleh:

V = Us . Dm . ln (Uf / Us) Persamaan 2.19


Model underwood berlaku atau dapat diterima pada kondisi
kepadatan arus lalu lintas yang rendah karena dapat menghasilkan harga
kecepatan sama dengan kecepatan pada arus bebas (U s = Uf). Hal ini dapat
dilihat dengan memasukan nilai kepadatan sama dengan nol (D = 0) pada
persamaan 2.9.

STT NUSA PUTRA

Anda mungkin juga menyukai