Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Geometrik jalan dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga menghasilkan
infrastruktur yang aman, pelayanan lalu lintas yang efisien dan biaya pelaksanaan yang
ekonomis. Laju pertumbuhan jalan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan pemakai jalan
dapat menimbulkan berbagai masalah serius jika tidak ditangani sejak dini. Masalah
geometrik tikungan misalnya, perencanaan tikungan yang tidak ideal dapat menimbulkan
masalah seperti kecelakaan lalu lintas. Untuk mengetahui kelayakan tersebut perlu adanya
peninjauan untuk mencari solusinya.

Ditinjau dari letaknya, Ruas jalan Telaga Pange dapat dihubungkan langsung dengan
Jalan Lintas Hitu yang merupakan jalan kolektor sehingga dapat mengefisiensi waktu
tempuh kendaraan tujuan Telaga Kodok, Hitu, Hunuth dan sekitarnya dari arah Telaga
Pange, Laksda Leo Wattimena begitupun dari arah jalan Lintas Hitu menuju Telaga Pange
dan Jalan Dusun Keranjang Wayame. Akses jalan ini juga bisa menjadi pilihan alternatif
para pengguna jalan untuk menghindari kemacetan yang terjadi di sekitar daerah Rumah
tiga. Semakin bertambahnya pengguna jalan serta kondisi medan Telaga Pange yang
berbukit dikhawatirkan menimbulkan masalah seperti kecelakan lalu lintas jika tidak
direncanakan geometrik jalan yang sesuai dengan standart dan aturan yang berlaku.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat juga


mempengaruhi bidang perencanaan konstruksi, salah satunya perencanaan konstruksi jalan
raya termasuk perencanaan geometrik 2 jalan. Pemakaian program Autocad Civil 3D dalam
perencanaan geometrik jalan sangat diperlukan karena mempunyai manfaat diantaranya
ialah dapat mengefisiensi waktu perencanaan karena hanya membutuhkan satu kali
penginputan data ukur jalan ataupun kontur topografi untuk kemudian di desain sesuai
kebutuhan. Desain yang dapat dilakukan secara berkala juga berpengaruh pada tinggi
rendahnya biaya pekerjaan galian timbunan karena perencana dapat memilih desain dengan
biaya yang paling ekonomis tanpa mengesampingkan faktor kenyamanan pengendara.
Penggunaan program kini menjadi pilihan karena memiliki tingkat ketelitian yang lebih
tinggi dibandingkan perhitungan manual.

1
1.2 PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat di identifikasi beberapa permasalahan


sebagai berikut:

1. Karakter ruas jalan rencana yang tergambar pada peta 4 Trase Jalan D menuju ke
H adalah berkelok, menanjak dan sedikit menurun, sehingga hal ini perlu
diwaspadai bagi pengguna kendaraan bermotor.
2. Tanjakan sebelum tikungan yang cukup terjal membuat kendaraan berat kurang
dapat menyeimbangkan laju kendarannya.
3. Adanya lembah pada trase jalan sehingga rencana jalan semakin Panjang karena
perlu penyesuaikan terhadap kontur yang existing.
4. Jarak pandangan di tikungan yang pendek dikarenakan daerah bebas
samping di tikungan yang terlalu pendek.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 PENGERTIAN JALAN DAN KLASIFIKASI JALAN

2.1.1 Pengertian Jalan

Menurut UU nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan, disebutkan bahwa jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk di dalamnya
bangunan pelengkap dan perlengkapan-nya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Silvia Sukirman (1994) menyebutkan bahwa jalan adalah jalur-jalur yang di atas
permukaan bumi yang dengan sengaja dibuat oleh manusia dengan berbagai bentuk,
ukuran-ukuran dan konstruksinya untuk dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas
orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang-barang dari tempat yang satu ke
tempat yang lainnya dengana cepat dan mudah.
Hendarsin (2000) menyebutkan bahwa perkerasan jalan adalah serangkaian kontruksi
yang dibangun di atas lapisan tanah dasar untuk menopang jalur lalu lintas. Perkerasan jalan
memungkinkan permukaan jalan lebih awet dan tahan terhadap perubahan cuaca
dibandingkan jalan tanpa perkerasan.
Di zaman modern dengan perkembangan transportasi yang semakin maju, manusia
membutuhkan jalan tidak hanya untuk dilalui oleh pejalan kaki namun juga oleh kendaraan
dengan roda. Perkembangan selanjutnya manusia mampu jalan dengan perkerasan beton dan
aspal.

2.1.2 Klasifikasi serta Bagian-bagian Jalan Menurut Peraturan Pemerintah No. 34


Tahun 2006 tentang Jalan

Bagian-bagian jalan terdiri atas :


1. Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)
Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasai oleh
lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan,
median, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang
pengaman, gorong-gorong, dan bangunan pelengkap lainnya. Dalam rangka
menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan konstruksi

3
jalan, badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas. Lebar ruang bebas yang dimaksud
sesuai dengan lebar badan jalan. Tinggi ruang bebas bagi jalan arteri dan jalan
kolektor paling rendah 5 meter. Sedangkan kedalaman ruang bebas paling rendah
1,5 meter dari permukaan jalan.
Saluran tepi jalan adalah saluran yang diperuntukkan bagi penampungan dan
penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Ukuran saluran tepi jalan
ditetapkan sesuai dengan lebar permukaan jalan dan keadaaan lingkungan. Saluran
tepi jalan juga dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan.
Ambang pengaman jalan dapat berupa bidang tanah dan/atau konstruksi
bangunan pengaman yang berada di antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat
jalan yang hanya diperuntukkan bagi pengamanan konstruksi jalan.

2. Ruang Milik Jalan (Rumija)


Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar ruang manfaat jalan. Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang
diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu
lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
Adapun sejalur tanah tertentu yang dimaksud dapat dimanfaatkan sebagai ruang
terbuka hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan. Ruang milik jalan paling sedikit
memiliki lebar sebagai berikut:
a) jalan bebas hambatan 30 m;
b) jalan sedang 15 m;
c) jalan raya 25 m;
d) jalan kecil 11 m.
e) Jalan arteri sekunder 15 m
f) Jalan kolektor sekunder 5 m
g) Jalan lokal sekunder 3 m
h) Jalan lingkungan sekunder 2 m
i) Jembatan 100 m ke arah hilir dan hulu

3. Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)


Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan
yang penggunaanya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan yang
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan
4
serta pengamanan fungsi jalan yang di batasi oleh lebar dan tinggi tertentu. Jika ruang
milik jalan tidak cukup luas, lebar luar pengawasan jalan ditentukan dari tepi badan
jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut:

Gambar 1.1. Hubungan antara Rumaja, Rumija, dan Ruwasja

Sumber : TPGJK No.038/

5
2.1.3 Fungsi Hierarki dan Kelas Jalan

Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Jalan diklasifikasikan menurut:
1. Klasifikasi jalan menurut sistem jaringan
A. Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Sistem jaringan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan
jalan skunder :
 Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
terwujud pusat-pusat kegiatan.
B. Sistem jaringan jalan skunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan
C. Menurut PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Sistem jaringan jalan merupakan suatu kesatuan jaringan jalan skunder yang
terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan di susun dengan
mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan
keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan
perbedaan.
 Sistem jaringan jalan primer di susun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembanagan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut :
I. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan.
II. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
 Sistem jaringan jalan sekunder di susun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dst, hingga ke parsil.

6
2. Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan
A. Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
 Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk di batasi secara berdaya guna.
 Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk di batasi.
 Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak di batasi.
 Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata
rendah.

B. Menurut PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan


 Jalan arteri menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan
nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.
Jalan arteri menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder ke
satu, kawasan sekunder ke satu dengan kawasan sekunder ke dua.
 Jalan kolektor menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan wilayah, atau
antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Jalan kolektor
sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder
ketiga.
 Jalan lokal menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal
dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan.
Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder ke satu dengan
perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan.

7
 Jalan lingkungan primer menghubungkan antar pusat kegiatan di dalam
kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Jalan
lingkungan sekunder menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan.

3. Klasifikasi jalan menurut medan


a) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
b) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat
dalam

Tabel 1.1 Klasifikasi Menurut Medan Jalan

No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan


(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Pegunungan G > 25
Sumber: TPGJAK No.083/TBM/1997

c) Keseragaman medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman


kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-
perubahan pada bagian-bagian kecil dari segmen jalan tersebut.

8
2.2 PARAMETER PERENCANAAN

2.2.1 Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai
acuan dalam perencanaan geometrik jalan. Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3
kategori, yaitu :
a) Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang
b) Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau bus besar 2 as
c) Kendaraan besar , diwakili oleh truk semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan dalam
Tabel 1.2 dan Gambar 1.2 s.d. Gambar 1.4 yang menampilkan sketsa dimensi kendaraan
rencana tersebut.

Tabel 1.2 Dimensi Kendaraan Rencana

Kategori Dimensi Kendaraan Tonjolan Radius Radius


Kendaraa (cm) (cm) Putar Tonjola
n (cm) n
Rencana Ting Leba Panjan Depa Belakan Mi Mak
gi r g n g n s
Kendaraa 130 210 580 90 15 42 730 780
n Kecil 0
Kendaraa 410 260 1210 210 240 74 128 1410
n Sedang 0 0
Kendaraa 410 260 2100 1,2 90 29 140 1370
n Besar 0 0
Sumber: TPGJAK No.083/TBM/1997
Gambar 1.2. Dimensi Kendaraan Kecil

9
Gambar 1.2. Dimensi kendaraan kecil

Gambar 1.3. Dimensi Kendaraan Sedang

Gambar 1.4. Dimensi Kendaraan Besar

Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997

2.2.2 Kecepatan Rencana (VR)

10
Kecepatan rencana (VR), pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan kendaraan
bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang,
dan pengaruh samoing jalan yang tidak berarti. Pada tabel 1.3 dibawah menunjukkan VR
untuk masing-masing fungsi jalan.

Tabel 1.3 Kecepatan Rencana, VR sesuai klasifikasi fungsi dan medan jalan
Fungsi Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

2.2.3 Volume Lalu-lintas Harian Rencana (VLHR)

Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas
harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari. Volume Jam
Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu
lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:

K
VJR=VLHR x .................(1.1)
F
di mana:
K (disebut faktor K) : faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan
F (disebut faktor F) : faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam (jam)
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya
yang diperlukan.
Tabel 1.4 berikut ini menyajikan faktor K dan faktor F yang sesuai dengan
VLHR-nya.
Tabel 1.4 Penentuan faktor –K dan faktor – F berdasarkan VLHR
VLHR Faktor K (%) Faktor F (%)

11
> 50.000 4–6 0,9 – 1
30.000 – 50.000 6–8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 10.000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 – 16 < 0,6
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
2.3 PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.


Alinyemen horizontal juga dikenal dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”.
Alinyeman Horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan). Perencanaan geometri pada bagian lengkung dimaksudkan untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada
kecepatan tertentu dengan membentuk superelevasi. Gaya sentrifugal adalah gaya yang
mendorong kendaraan secara radial keluar dari lajur jalannya. Sedangkan superelevasi
adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya
sentrifugal yang diterima oleh kendaraan.

Hal-hal yang mempengaruhi perencanaan alinyemen horizontal antara lain :


I. Jarak Pandang Henti dan Jarak Pandang Mendahului
 Jarak Pandang Henti, Jh
Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu ia melihat adanya halangan di
depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm
diukur dari permukaan jalan. Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
1) jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
2) jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untukmenghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti. Jh,
dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:

12
( )
2
VR
VR 3,6 ...................(1.2)
Jh= xT +
3,6 2 gf

dimana :

VR = kecepatan rencana (km/jam)

T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik

G = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2

f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-


0,55.

Persamaan tersebut disederhanakan menjadi :

2
VR
JBhB=0,694 x VB RB+ 0,004 ...................(1.3)
F

Tabel 1.5. Jarak Pandang Henti Minimum (Jhmin)


VR 120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Jhmin 250 175 120 75 55 40 27 16
(m)
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997

 Jarak Pandang Mendahului Jd


Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain
di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula
(lihat Gambar 1.3). Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm.

Gambar 1.5 Sketsa Jarak Pandang Mendahului

13
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997

Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :


Jd=d 1+ d 2+ d 3+ d 4 .................................(1.4)

Dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari

arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m),


d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan,yang
besarnya diambil sama dengan 213.d2 (m).
Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum
30% dari panjang total ruas jalan tersebut.
II. Tikungan
Alinyemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (yang disebut juga
tikungan) yang dapat berupa :

A. LENGKUNG BUSUR LINGKARAN SEDERHANA (FULL CIRCLE)


Lengkung full circle digunakan untuk Rrencana yang besar dan nilai superelevasi (e)
lebih kecil atau sama dengan 3%. FC (Full Circle), adalah jenis tikungan yang hanya
terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari

14
tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan
superelevasi yang besar.

Gambar 1.5 Full Circle (FC)

Keterangan :
∆ = sudut tikungan
O = titik pusat lingkaran
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc= jari-jari lingkaran
Lc = panjang busur lingkaran
Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Rumus yang digunakan :
1
Tc=Rc tan ∆ ............................................... (1.5)
2
1
Ec=Tc tan ∆ ............................................... (1.6)
4
∆ 2 π Rc
Lc= ............................................... (1.7)
360 °

B. LENGKUNG BUSUR LINGKARAN DENGAN LENGKUNG PERALIHAN


(SPIRAL – CIRCLE – SPIRAL)
15
Secara umum lengkung spiral – circle –spiral digunakan jika nilai superelevasi e ≥3%
dan panjang Ls > 20 meter. Lengkung Spiral-Circle-Spiral (SCS) Lengkung SCS dibuat
untuk menghindari terjadinya perubahan alinemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke
bentuk lingkaran ( Rc=∞  R=Rc),jadi lengkung ini diletakkan antara bagian lurus dan
bagian lingkaran (circle) yaitu pada sebelum dan sesudah tikungan berbentuk busur
lingkaran.
Gambar 1.6 Spiral Circle Spiral (SCS)

Sumber : Shirley L. Hendarsin,Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung
peralihan)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik

SC pada lengkung
Ls = panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)
Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = panjang tangen dari titik P1 ke titik TS atau ke titik ST
TS = titik dari tangen ke spiral
SC = titik dari spiral ke lingkaran
Es = jarak dari P1 ke busur lingkaran

16
θs = sudut lengkung spiral
Rc = jari-jari lingkaran
P = pergeseran tangen terhadap spiral
k = absis dari p pada garis tangen spiral
Rumus yang digunakan :

[ ]
2
Ls
Xs=Ls 1− ............................................ (1.8)
40 Rc

2
Ls
Ys= ............................................ (1.9)
6 Rc

90 Ls
θs= ............................................ (1.10)
π Rc

2
Ls
p= −Rc (1−cos θs) ............................................ (1.11)
6 Rc

3
Ls
k =Ls− 2
−Rc sin θs ............................................ (1.12)
40 Rc

1
Ts=( Rc + p ) tan ∆+ k ............................................ (1.13)
2

1
Es=( Rc+ p ) sec ∆+ k ............................................ (1.14)
2

(∆+2 θs)
Lc= x π x Rc ............................................ (1.15)
180

Ltot=Lc +2 Ls ............................................ (1.16)

C. LENGKUNG SPIRAL - SPIRAL


Secara umum lengkung spiral – spiral digunakan jika nilai superelevasi e ≥
3% dan panjang Ls ≤ 20 meter. Bentuk lengkung dapat dilihat pada Gambar 2-10.
Gambar 1.7 Spiral - Spiral (SS)

17
Sumber : Shirley
Rumus yang digunakan :
Lc=0 ............................................ (1.17)

1
θs= ∆ ............................................ (1.18)
2

tot=2 Ls ............................................ (1.19)

θs π Rc
Ls= ............................................ (1.20)
90

p, k, Ts, dan Es dapat menggunakan rumus (1.11) sampai (1.14).

SKEMA PEMILIHAN TIKUNGAN

Gambar 1.9 Flowchart Pemilihan Jenis Tikungan

TIKUNGAN S-C-S

Lc < 20 M TIKUNGAN S - S
18
III. Pelebaran Lalu Lintas di Tikungan
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan
konsistensigeometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama
dengan dibagian lurus. Pelebaran jalan di tikungan dalam Tabel 1.6
mempertimbangkan:
a) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
b) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan
melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi
gerakperputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap
padalajumya.
c) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana.
d) Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.
e) Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 1.6 harus dikalikan 1,5.
f) Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai harus dikalikan 2.

Tabel 1.6. Pelebaran di Tikungan


Lebar jalur 20.50 m, 2 arah atau 1 arah
R Kecepatan Rencana, VR (km/jam)

19
(m)
50 60 70 80 90 100 110 120
1500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1
1000 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2
750 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,3 0,3
500 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
400 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,5
300 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
250 0,4 0,5 0,5 0,6
200 0,6 0,7 0,8
150 0,7 0,8
140 0,7 0,8
130 0,7 0,8
120 0,7 0,8
110 0,7
100 0,8
90 0,8
80 1,0
70 1,0
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997

Tabel 1.7 (lanjutan) Pelebaran di Tikungan


Jalur 2x3.00 m, 2 arah atau 1 arah
R Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
(m) 50 60 70 80 90 100 110
1500 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,6
1000 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6
750 0,6 0,6 0,7 0,5 0,7 0,8 0,8

20
500 0,8 0,9 0,9 0,7 1,0 1,1 0,1
400 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1
300 0,9 1,0 1,0 1,1
250 1,0 1,1 1,1 1,2
200 1,2 1,3 1,3 1,4
150 1,3 1,4
140 1,3 1,4
130 1,3 1,4
120 1,3 1,4
110 1,3
100 1,4
90 1,6
80 1,6
70 1,7
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997

IV. Kebebasan Samping di Tikungan


Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan), adalah pandangan
bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan.

 Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan


pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi.
 Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di
tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari
garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga
persyaratan Jh dipenuhi (lihat gambar 1.10-gambar 1.11 ).

 Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai


berikut:
a) Jika Jh < Lt :

21
Gambar 1.10 Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh<Lt)

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

Rumus yang digunakan :

[
E=R' 1−cos
R ' )]
( 28 ,65 Jh
.............................(1.21)

Keterangan:
E = panjang objek penghalang yang harus dihilangkan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)

b) Jika Jh > Lt :
22
Gambar 1.11 Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh > Lt)

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

[
E=R' 1−cos ( 28 ,R65' Jh )]+[( Jh−¿
2 ) ( R ' )]
sin
28 ,65 Jh
.....................(1.22)

dimana :
E = panjang objek penghalang yang harus dihilangkan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)
Nilai – nilai E untuk Jh<Lt dan Jh>Lt dapat dilihat pada Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK No.038/TBM/1997)
hal. 24-26, tabel 11.12 – 11.14. Tabel tersebut berisi nilai pembulatan E yang
dihitung dengan persamaan (1.21) untuk kondisi Jh<Lt dan persamaan (1.22)
untuk kondisi Jh>Lt yang dapat di pakai dalam perencanaan geometrik jalan di
tikungan.

c) Jari – jari tikungan Jari - jari tikungan


Jari – jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut:
2
V
Rmin= ...............................................(1.23)
127( emaks + f maks)

23
dimana :
Rmin = Jari jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
fmaks = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f=0,14-0,24

Tabel 1.8 Panjang Jari-jari Minimum (dibulatkan)


VR 120 100 80 60 50 40 30 20
(km/
jam)
Rmin 600 370 210 110 80 50 30 15
(m)
Sumber:TPGJAK NO.038/TBM/1997

d) Tikungan Gabungan
Pada perencanaan alinemen horizontal, kemungkinan akan ada ditemui
perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada route jalan
yang akan direncanakan sedemikian rupa sehingga terpaksa (tidak dapat
dihindari) harus dilakukan rencana tikungan gabungan, yang terdiri dari
tikungan gabungan searah dan tikungan gabungan berbalik. a) tikungan
gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah putaran
yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda; b) tikungan gabungan
berbalik, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran yang berbeda.
Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :
 tikungan gabungan searah harus dihindarkan, jika
R1 2
> ................................................(1.24)
R2 3

apabila R1 > 1,5 R2 tikungan gabungan harus dihindarkan, namun jika terpaksa,
dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti
gambar dibawah ini :

24
Gambar 1.12 Tikungan gabungan searah, R1 >1,5 R2

Sumber :
Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

 tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoide sepanjang paling
tidak 20 meter, jika
R1 2
< ................................................ (1.25)
R2 3

Gambar 1.13 Tikungan gabungan searah dengan sisipan bagian lurus

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis PerencanaanTeknik Jalan Raya

 Setiap tikungan gabungan berbalik harus dilengkapi dengan bagian lurus di antara
kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m.

25
Gambar 1.15 Tikungan gabungan berbalik, R1 > 1,5 R2

Sumber : Shirley L. Hendarsin,


Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

Gambar 1.16 Tikungan gabungan dengan sisipan bagian lurus >20 m

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

26
Gambar 1.17 Tikungan gabungan dengan sisipan bagian spiral

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

e) Superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang


berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat
berjalan melalui tikungan pada kecepatan VR.Nilai superelevasi maksimum
ditetapkan 10%.
Gambar 1.18 Perubahan kemiringan melintang pada tikungan

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

27
 Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada
bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada
bagian lengkung.
 Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat
Gambar 1.19), diawali dari bentuk normal . Sampai awal
lengkung peralihan (TS) yang berbentuk
 pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh

 pada akhir bagian lengkung peralihan (SC).


 Pada tikungan FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat
Gambar 1.20), diawali dari bagian lurus sepanjang 213 LS sampai dengan
bagian lingkaran penuh sepanjang 113 bagian panjang LS.
 Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian
spiral. (Lihat Gambar 1.21 )
 Diagram superelevasi :

Gambar 1.19 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

28
Gambar 1.20 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis PerencanaanTeknik Jalan Raya

Gambar 1.21 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SS

Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya

2.4 PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL

Alinyemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung. Ditinjau dari
titik awal perencanaan, bagian lurus dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai
negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa
lengkung cekung atau lengkung cembung.Kemungkinan pelaksanaan pembangunan
secara bertahap harus dipertimbangkan, misalnya peningkatan perkerasan, penambahan
lajur, dan dapat dilaksanakan dengan biaya yang efisien. Sekalipun demikian, perubahan
alinemen vertikal dimasa yang akan datang sebaiknya dihindarkan.

29
a. Jenis Lengkung Vertikal

Gambar 1.22 Alinyemen Vertikal Cembung

Gambar 1.23
Alinyemen Vertikal Cekung
Sumber : Silvia Sukirman, Dasar–Dasar Perencanaan Geometrik Jalan
b. Persamaan Lengkung Vertikal

Gambar 1.24 Alinyemen Vertikal Cembung

30
Sumber : Silvia Sukirman “Dasar–Dasar Perencanaan Geometrik Jalan”

Titik A, titik peralihan dari bagian tangent ke bagian lengkung vertical.


Biasa diberi symbol PLV (Peralihan lengkung vertical)l Titik B, titik peralihan
dari bagian lengkung vertikal ke bagian tangen (peralihan tangent vertical =
PTV). Titik perpotongan kedua bagian tangent diberi nama titik PPV (pusat
perpotongan vertical). Letak titik pada lengkung vertical dinyatakan dengan
ordinat Y dan X terhadap sumbu koordinat yang melalui titik A. Pada
penurunan rumus lengkung vertical terdapat beberapa asumsi yang dilakukan,
yaitu :

 Panjang lengkung vertical sama dengan panjang proyeksi lengkung pada


bidang horizontal = L
 Perubahan garis singgung tetap (d2Y/dx2 = r)
 Besarnya kelandaian bagian tangent dinyatakan dengan g1% dan g2%.
Kelandaian diberi tanda positif jika pendakian, dan diberi tanda negatif
jika penurunan, yang ditinjau dari kiri.

A=g 1 – g 1

Ev = Pergeseran vertical dari titik PPV ke bagian lengkung Rumus umum


parabola dy2/dx2

= r (konstanta) dy/dx = rx +C

dY
X =0 → =g 1 →C=g 1 …..............(1.26)
dx

dY
X =L→ =g 2→ C=g 2 ...................(1.27)
dx

g 2−g 1
r= ...................(1.28)
L

dY g 1−g 2
Y= = x+g1 ...................(1.29)
dx L

'
X =0 kalauY =0 , sehingga C =0

31
2
g 2−g 1 x
Y= + g 1. x +C ' ....................(1.30)
L 2

2
g 2−g 1 x
Y= + g 1. x ....................(1.31)
L 2

Dari sifat segitiga sebangun diperoleh :

( y +Y ) x
=
1 1
g 1. L L
2 2

y +Y =g 1. x

g 1. x= y+ Y

−( g1−g 2) 2
Y= x +Y + y
2L

(g 1−g 2) 2
y= x .....................(1.32)
2L

A 2
y= x ......................(1.33)
200 L

Jika A dinyatakan dalam persen


Untuk x=1/2 L dan y=Ev, diperoleh :
AL
Ev= .......................(1.34)
800

Persamaan di atas berlaku baik untuk lengkung vertikal cembung maupun lengkung
vertical cekung. Hanya bedanya, jika Ev yang diperoleh positif, berarti lengkung
vertical cembung, jika negatif, berarti lengkung vertical cekung.

a). Berdasarkan jarak pandang henti (Jh) :

Jh < L :

2
A . Jh
L= .............................(1.35)
399

Jh > L :

32
399
L=2. Jh− .............................(1.36)
A

a). Berdasarkan jarak pandang menyiap (Jd) :

Jd < L :

2
A . Jd
L= ..............................(1.37)
840

Jd > L :

840
L=2. Jd− .............................(1.38
A

a) Kelandaian Jalan dan Panjang Landai Kritis


Kelandaian jalan maksimum
 Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan
kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
 Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang
bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan
tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harusmenggunakan
gigi rendah.
 Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat
dalam tabel 1.9.
Tabel 1.9 Kelandaian maks yang diizinkan
VR 120 110 100 80 60 50 40 <40
(km/jam)
Kelandaian 3 3 4 5 6 8 10 10
Maks
(%)
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
Tabel 1.10 Panjang Kritis (m)
Kec. Kelandaian (%)
Awal 4 5 6 7 8 9 10
Tanjakan
(km/
jam)

33
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 160 160 120 110 90 80
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

Kurva Alinyemen Vertikal


a) Grafik Lengkung Vertikal Cembung
Gambar 1.26, Grafik 1.2 Panjang lengkung min. vertikal cekung

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

34
b) Grafik Lengkung Vertikal Cekung
Gambar 1.26 Grafik 1.2 Panjang lengkung min. vertikal cekung

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997


c) Jarak Pandang Pada Alinyemen Vertikal
 Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan
kelandaian dengan tujuan :
i. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian
ii. Menyediakan jarak pandang henti.
 Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana,

35
i. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung,
panjangnya ditetapkan dengan rumus:
Tabel 1.12 Penentuan faktor penampilan kenyamanan
Kecepatan Rencana, VR Faktor Penampilan Kenyamanan,
(km/jam) Y
< 40 1,5
40 – 60 3
> 60 8
Sumber:TPGJAK No.038/TBM/1997
Gambar 1.27 Lengkung vertikal cembung

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997


Gambar 1.28 Lengkung vertikal cekung

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997


2. Koordinasi Alinyemen Vertikal Dan Alinyemen Horizontal
Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen - elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan

36
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman.
Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan
atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya
sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara
ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal.
b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
d. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan.
e. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 1.23 s.d. Gambar 1.25 menampilkan contoh contoh
koordinasi alinyemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.
Gambar 1.29

Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan vertical yang berimpit
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
Gambar 1.29

37
Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertical menghalangi pandangan pengemudi
pada saat mulai memasuki tikungan pertama.
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
Gambar 1.31

Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997

2.4.1 Pekerjaan Galian dan Timbunan

Perhitungan Penampang Tanah Metode untuk mencari luas penampang


galian/timbunan pada setiap patok, dapat dilakukan dengan cara :

38
a. Untuk penampang yang tidak beraturan, luas penampang dicari dengan menggunakan
alat planimeter, atau dengan cara sederhana, yaitu menggambarkan penampang
melintang untuk dicari luas galian/timbunannya.
Gambar 1.32 Menghitung luas penampang

Sumber : Hamirhan Saodang “ Konstruksi Jalan Raya Buku 1 ”


b. Untuk penampang yang beraturan, gunakan rumus planimetri biasa.
Gambar 1.33 Metode luas ujung

Sumber : Hamirhan Saodang “ Konstruksi Jalan Raya Buku 1 ”


c. Metode perhitungan volume tanah pada lengkungan
Gambar 1.34 Perhitungan volume tanah pada lengkungan

Sumber : Hamirhan Saodang “ Konstruksi Jalan Raya Buku 1 ”


d. Perhitungan volume tanah pada pekerjaan galian/timbunan, biasa dilakukan dengan
metode Double End Areas (Luas Ujung Rangkap), yaitu dengan mengambil rata-rata
luas kedua ujung penampang dari sta.1 dan sta.2, kemudian dikalikan jarak kedua

39
stasiun (gambar 1.33). Ini dilakukan untuk semua titik stasiun yang berada pada
rancangan trase jalan.

2.4.2 Volume galian/timbunan

A 1+ A 2
( STA 1−STA 2 )= x J arak (STA 1−STA 2)
2

40

Anda mungkin juga menyukai