PENDAHULUAN
Geometrik jalan dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga menghasilkan
infrastruktur yang aman, pelayanan lalu lintas yang efisien dan biaya pelaksanaan yang
ekonomis. Laju pertumbuhan jalan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan pemakai jalan
dapat menimbulkan berbagai masalah serius jika tidak ditangani sejak dini. Masalah
geometrik tikungan misalnya, perencanaan tikungan yang tidak ideal dapat menimbulkan
masalah seperti kecelakaan lalu lintas. Untuk mengetahui kelayakan tersebut perlu adanya
peninjauan untuk mencari solusinya.
Ditinjau dari letaknya, Ruas jalan Telaga Pange dapat dihubungkan langsung dengan
Jalan Lintas Hitu yang merupakan jalan kolektor sehingga dapat mengefisiensi waktu
tempuh kendaraan tujuan Telaga Kodok, Hitu, Hunuth dan sekitarnya dari arah Telaga
Pange, Laksda Leo Wattimena begitupun dari arah jalan Lintas Hitu menuju Telaga Pange
dan Jalan Dusun Keranjang Wayame. Akses jalan ini juga bisa menjadi pilihan alternatif
para pengguna jalan untuk menghindari kemacetan yang terjadi di sekitar daerah Rumah
tiga. Semakin bertambahnya pengguna jalan serta kondisi medan Telaga Pange yang
berbukit dikhawatirkan menimbulkan masalah seperti kecelakan lalu lintas jika tidak
direncanakan geometrik jalan yang sesuai dengan standart dan aturan yang berlaku.
1
1.2 PERMASALAHAN
1. Karakter ruas jalan rencana yang tergambar pada peta 4 Trase Jalan D menuju ke
H adalah berkelok, menanjak dan sedikit menurun, sehingga hal ini perlu
diwaspadai bagi pengguna kendaraan bermotor.
2. Tanjakan sebelum tikungan yang cukup terjal membuat kendaraan berat kurang
dapat menyeimbangkan laju kendarannya.
3. Adanya lembah pada trase jalan sehingga rencana jalan semakin Panjang karena
perlu penyesuaikan terhadap kontur yang existing.
4. Jarak pandangan di tikungan yang pendek dikarenakan daerah bebas
samping di tikungan yang terlalu pendek.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
Menurut UU nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan, disebutkan bahwa jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk di dalamnya
bangunan pelengkap dan perlengkapan-nya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Silvia Sukirman (1994) menyebutkan bahwa jalan adalah jalur-jalur yang di atas
permukaan bumi yang dengan sengaja dibuat oleh manusia dengan berbagai bentuk,
ukuran-ukuran dan konstruksinya untuk dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas
orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang-barang dari tempat yang satu ke
tempat yang lainnya dengana cepat dan mudah.
Hendarsin (2000) menyebutkan bahwa perkerasan jalan adalah serangkaian kontruksi
yang dibangun di atas lapisan tanah dasar untuk menopang jalur lalu lintas. Perkerasan jalan
memungkinkan permukaan jalan lebih awet dan tahan terhadap perubahan cuaca
dibandingkan jalan tanpa perkerasan.
Di zaman modern dengan perkembangan transportasi yang semakin maju, manusia
membutuhkan jalan tidak hanya untuk dilalui oleh pejalan kaki namun juga oleh kendaraan
dengan roda. Perkembangan selanjutnya manusia mampu jalan dengan perkerasan beton dan
aspal.
3
jalan, badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas. Lebar ruang bebas yang dimaksud
sesuai dengan lebar badan jalan. Tinggi ruang bebas bagi jalan arteri dan jalan
kolektor paling rendah 5 meter. Sedangkan kedalaman ruang bebas paling rendah
1,5 meter dari permukaan jalan.
Saluran tepi jalan adalah saluran yang diperuntukkan bagi penampungan dan
penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Ukuran saluran tepi jalan
ditetapkan sesuai dengan lebar permukaan jalan dan keadaaan lingkungan. Saluran
tepi jalan juga dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan.
Ambang pengaman jalan dapat berupa bidang tanah dan/atau konstruksi
bangunan pengaman yang berada di antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat
jalan yang hanya diperuntukkan bagi pengamanan konstruksi jalan.
5
2.1.3 Fungsi Hierarki dan Kelas Jalan
Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Jalan diklasifikasikan menurut:
1. Klasifikasi jalan menurut sistem jaringan
A. Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Sistem jaringan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan
jalan skunder :
Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
terwujud pusat-pusat kegiatan.
B. Sistem jaringan jalan skunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan
C. Menurut PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Sistem jaringan jalan merupakan suatu kesatuan jaringan jalan skunder yang
terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan di susun dengan
mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan
keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan
perbedaan.
Sistem jaringan jalan primer di susun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembanagan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut :
I. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan.
II. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
Sistem jaringan jalan sekunder di susun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dst, hingga ke parsil.
6
2. Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan
A. Menurut UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk di batasi secara berdaya guna.
Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk di batasi.
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak di batasi.
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata
rendah.
7
Jalan lingkungan primer menghubungkan antar pusat kegiatan di dalam
kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Jalan
lingkungan sekunder menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan.
8
2.2 PARAMETER PERENCANAAN
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai
acuan dalam perencanaan geometrik jalan. Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3
kategori, yaitu :
a) Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang
b) Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau bus besar 2 as
c) Kendaraan besar , diwakili oleh truk semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan dalam
Tabel 1.2 dan Gambar 1.2 s.d. Gambar 1.4 yang menampilkan sketsa dimensi kendaraan
rencana tersebut.
9
Gambar 1.2. Dimensi kendaraan kecil
10
Kecepatan rencana (VR), pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan kendaraan
bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang,
dan pengaruh samoing jalan yang tidak berarti. Pada tabel 1.3 dibawah menunjukkan VR
untuk masing-masing fungsi jalan.
Tabel 1.3 Kecepatan Rencana, VR sesuai klasifikasi fungsi dan medan jalan
Fungsi Kecepatan Rencana, VR (km/jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas
harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari. Volume Jam
Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu
lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:
K
VJR=VLHR x .................(1.1)
F
di mana:
K (disebut faktor K) : faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan
F (disebut faktor F) : faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam (jam)
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya
yang diperlukan.
Tabel 1.4 berikut ini menyajikan faktor K dan faktor F yang sesuai dengan
VLHR-nya.
Tabel 1.4 Penentuan faktor –K dan faktor – F berdasarkan VLHR
VLHR Faktor K (%) Faktor F (%)
11
> 50.000 4–6 0,9 – 1
30.000 – 50.000 6–8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 10.000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 – 16 < 0,6
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
2.3 PERENCANAAN ALINYEMEN HORIZONTAL
12
( )
2
VR
VR 3,6 ...................(1.2)
Jh= xT +
3,6 2 gf
dimana :
2
VR
JBhB=0,694 x VB RB+ 0,004 ...................(1.3)
F
13
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
Dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari
14
tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan
superelevasi yang besar.
Keterangan :
∆ = sudut tikungan
O = titik pusat lingkaran
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc= jari-jari lingkaran
Lc = panjang busur lingkaran
Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Rumus yang digunakan :
1
Tc=Rc tan ∆ ............................................... (1.5)
2
1
Ec=Tc tan ∆ ............................................... (1.6)
4
∆ 2 π Rc
Lc= ............................................... (1.7)
360 °
Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung
peralihan)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik
SC pada lengkung
Ls = panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)
Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = panjang tangen dari titik P1 ke titik TS atau ke titik ST
TS = titik dari tangen ke spiral
SC = titik dari spiral ke lingkaran
Es = jarak dari P1 ke busur lingkaran
16
θs = sudut lengkung spiral
Rc = jari-jari lingkaran
P = pergeseran tangen terhadap spiral
k = absis dari p pada garis tangen spiral
Rumus yang digunakan :
[ ]
2
Ls
Xs=Ls 1− ............................................ (1.8)
40 Rc
2
Ls
Ys= ............................................ (1.9)
6 Rc
90 Ls
θs= ............................................ (1.10)
π Rc
2
Ls
p= −Rc (1−cos θs) ............................................ (1.11)
6 Rc
3
Ls
k =Ls− 2
−Rc sin θs ............................................ (1.12)
40 Rc
1
Ts=( Rc + p ) tan ∆+ k ............................................ (1.13)
2
1
Es=( Rc+ p ) sec ∆+ k ............................................ (1.14)
2
(∆+2 θs)
Lc= x π x Rc ............................................ (1.15)
180
17
Sumber : Shirley
Rumus yang digunakan :
Lc=0 ............................................ (1.17)
1
θs= ∆ ............................................ (1.18)
2
θs π Rc
Ls= ............................................ (1.20)
90
TIKUNGAN S-C-S
Lc < 20 M TIKUNGAN S - S
18
III. Pelebaran Lalu Lintas di Tikungan
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan
konsistensigeometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama
dengan dibagian lurus. Pelebaran jalan di tikungan dalam Tabel 1.6
mempertimbangkan:
a) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.
b) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan
melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi
gerakperputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap
padalajumya.
c) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana.
d) Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.
e) Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 1.6 harus dikalikan 1,5.
f) Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai harus dikalikan 2.
19
(m)
50 60 70 80 90 100 110 120
1500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1
1000 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2
750 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,3 0,3
500 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
400 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,5
300 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5
250 0,4 0,5 0,5 0,6
200 0,6 0,7 0,8
150 0,7 0,8
140 0,7 0,8
130 0,7 0,8
120 0,7 0,8
110 0,7
100 0,8
90 0,8
80 1,0
70 1,0
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
20
500 0,8 0,9 0,9 0,7 1,0 1,1 0,1
400 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1
300 0,9 1,0 1,0 1,1
250 1,0 1,1 1,1 1,2
200 1,2 1,3 1,3 1,4
150 1,3 1,4
140 1,3 1,4
130 1,3 1,4
120 1,3 1,4
110 1,3
100 1,4
90 1,6
80 1,6
70 1,7
Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997
21
Gambar 1.10 Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh<Lt)
[
E=R' 1−cos
R ' )]
( 28 ,65 Jh
.............................(1.21)
Keterangan:
E = panjang objek penghalang yang harus dihilangkan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)
b) Jika Jh > Lt :
22
Gambar 1.11 Daerah bebas samping di tikungan (kondisi Jh > Lt)
[
E=R' 1−cos ( 28 ,R65' Jh )]+[( Jh−¿
2 ) ( R ' )]
sin
28 ,65 Jh
.....................(1.22)
dimana :
E = panjang objek penghalang yang harus dihilangkan (m)
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam (m)
Jh = jarak pandang henti (m)
Lt = panjang tikungan (m)
Nilai – nilai E untuk Jh<Lt dan Jh>Lt dapat dilihat pada Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK No.038/TBM/1997)
hal. 24-26, tabel 11.12 – 11.14. Tabel tersebut berisi nilai pembulatan E yang
dihitung dengan persamaan (1.21) untuk kondisi Jh<Lt dan persamaan (1.22)
untuk kondisi Jh>Lt yang dapat di pakai dalam perencanaan geometrik jalan di
tikungan.
23
dimana :
Rmin = Jari jari tikungan minimum (m),
VR = Kecepatan Rencana (km/j),
emax = Superelevasi maximum (%),
fmaks = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal f=0,14-0,24
d) Tikungan Gabungan
Pada perencanaan alinemen horizontal, kemungkinan akan ada ditemui
perencanaan tikungan gabungan karena kondisi topografi pada route jalan
yang akan direncanakan sedemikian rupa sehingga terpaksa (tidak dapat
dihindari) harus dilakukan rencana tikungan gabungan, yang terdiri dari
tikungan gabungan searah dan tikungan gabungan berbalik. a) tikungan
gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan arah putaran
yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda; b) tikungan gabungan
berbalik, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah putaran yang berbeda.
Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :
tikungan gabungan searah harus dihindarkan, jika
R1 2
> ................................................(1.24)
R2 3
apabila R1 > 1,5 R2 tikungan gabungan harus dihindarkan, namun jika terpaksa,
dibuat tikungan gabungan dari dua busur lingkaran (FC), disarankan seperti
gambar dibawah ini :
24
Gambar 1.12 Tikungan gabungan searah, R1 >1,5 R2
Sumber :
Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya
tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoide sepanjang paling
tidak 20 meter, jika
R1 2
< ................................................ (1.25)
R2 3
Setiap tikungan gabungan berbalik harus dilengkapi dengan bagian lurus di antara
kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m.
25
Gambar 1.15 Tikungan gabungan berbalik, R1 > 1,5 R2
26
Gambar 1.17 Tikungan gabungan dengan sisipan bagian spiral
e) Superelevasi
27
Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada
bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada
bagian lengkung.
Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat
Gambar 1.19), diawali dari bentuk normal . Sampai awal
lengkung peralihan (TS) yang berbentuk
pada bagian lurus jalan, 'lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh
28
Gambar 1.20 Metoda pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung. Ditinjau dari
titik awal perencanaan, bagian lurus dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai
negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa
lengkung cekung atau lengkung cembung.Kemungkinan pelaksanaan pembangunan
secara bertahap harus dipertimbangkan, misalnya peningkatan perkerasan, penambahan
lajur, dan dapat dilaksanakan dengan biaya yang efisien. Sekalipun demikian, perubahan
alinemen vertikal dimasa yang akan datang sebaiknya dihindarkan.
29
a. Jenis Lengkung Vertikal
Gambar 1.23
Alinyemen Vertikal Cekung
Sumber : Silvia Sukirman, Dasar–Dasar Perencanaan Geometrik Jalan
b. Persamaan Lengkung Vertikal
30
Sumber : Silvia Sukirman “Dasar–Dasar Perencanaan Geometrik Jalan”
A=g 1 – g 1
= r (konstanta) dy/dx = rx +C
dY
X =0 → =g 1 →C=g 1 …..............(1.26)
dx
dY
X =L→ =g 2→ C=g 2 ...................(1.27)
dx
g 2−g 1
r= ...................(1.28)
L
dY g 1−g 2
Y= = x+g1 ...................(1.29)
dx L
'
X =0 kalauY =0 , sehingga C =0
31
2
g 2−g 1 x
Y= + g 1. x +C ' ....................(1.30)
L 2
2
g 2−g 1 x
Y= + g 1. x ....................(1.31)
L 2
( y +Y ) x
=
1 1
g 1. L L
2 2
y +Y =g 1. x
g 1. x= y+ Y
−( g1−g 2) 2
Y= x +Y + y
2L
(g 1−g 2) 2
y= x .....................(1.32)
2L
A 2
y= x ......................(1.33)
200 L
Persamaan di atas berlaku baik untuk lengkung vertikal cembung maupun lengkung
vertical cekung. Hanya bedanya, jika Ev yang diperoleh positif, berarti lengkung
vertical cembung, jika negatif, berarti lengkung vertical cekung.
Jh < L :
2
A . Jh
L= .............................(1.35)
399
Jh > L :
32
399
L=2. Jh− .............................(1.36)
A
Jd < L :
2
A . Jd
L= ..............................(1.37)
840
Jd > L :
840
L=2. Jd− .............................(1.38
A
33
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 160 160 120 110 90 80
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
34
b) Grafik Lengkung Vertikal Cekung
Gambar 1.26 Grafik 1.2 Panjang lengkung min. vertikal cekung
35
i. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung,
panjangnya ditetapkan dengan rumus:
Tabel 1.12 Penentuan faktor penampilan kenyamanan
Kecepatan Rencana, VR Faktor Penampilan Kenyamanan,
(km/jam) Y
< 40 1,5
40 – 60 3
> 60 8
Sumber:TPGJAK No.038/TBM/1997
Gambar 1.27 Lengkung vertikal cembung
36
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman.
Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan
atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya
sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara
ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal.
b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada
bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
d. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan.
e. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 1.23 s.d. Gambar 1.25 menampilkan contoh contoh
koordinasi alinyemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.
Gambar 1.29
Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan vertical yang berimpit
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
Gambar 1.29
37
Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertical menghalangi pandangan pengemudi
pada saat mulai memasuki tikungan pertama.
Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997
Gambar 1.31
38
a. Untuk penampang yang tidak beraturan, luas penampang dicari dengan menggunakan
alat planimeter, atau dengan cara sederhana, yaitu menggambarkan penampang
melintang untuk dicari luas galian/timbunannya.
Gambar 1.32 Menghitung luas penampang
39
stasiun (gambar 1.33). Ini dilakukan untuk semua titik stasiun yang berada pada
rancangan trase jalan.
A 1+ A 2
( STA 1−STA 2 )= x J arak (STA 1−STA 2)
2
40