Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perencanaan Geometrik


Perencanaan geometrik adalah merupakan bagian dari perencanaan jalan
keseluruhan. Ditinjau secara keseluruhan perencanaan geometrik harus dapat
menjamin keselamatan maupun kenyamanan dari pemakai jalan. Untuk dapat
menghasilkan suatu rencana jalan yang baik dan mendekati keadaan yang
sebenarnya diperlukan suatu data dasar yang baik pula.
Perencanaan geometrik jalan juga merupakan bagian dari perencanaan
jalan yang di titik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat
memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimal pada
arus lalu-lintas. Jadi tujuan dari perencanaann geometrik jalan adalah
menghasilkan infrastruktur yang aman dan efisien pelayanan arus lalu lintas serta
memaksimalkan biaya pelaksananaan ruang, bentuk dan ukuran. Jalan dapat
dikatakan baik apabila dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai
jalan.
Secara geometrik, perencanaan jalan dibagi menjadi 2, yaitu perencanaan
alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal. Alinyemen horizontal atau trase
suatu jalan adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta, yang
biasa disebut tikungan atau belokan. Sedangkan Alinyemen vertikal adalah garis
potong yang dibentuk oleh bidang vertikal melalui sumbu jalan dengan bidang
permukan pengerasan jalan, yang biasa disebut puncak tanjakan dan lembah
turunan (jalan turun).
Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan
yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal sehingga
dapat memenuhi fungsi dasar dari jalan itu sendiri yang memberikan kenyamanan
yang optimal pada arus lalu lintas sesuai dengan kecepatan yang direncanakan.
Perencanaan geometrik ini secara umum terdiri dari aspek-aspek perencanaan
trase jalan, badan jalan yang terdiri dari bahu jalan dan jalur lalu lintas, tikungan,
drainase, kelandaian jalan serta galian dan timbunan. Saat ini jalan merupakan
salah satu sektor yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Pemilihan

5
Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

terhadap penggunaan jalan pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain jangkauan yang relatif lebih luas, dan biaya oprasional yang lebih murah.
Perencanaan konstruksi dan geometrik jalan raya membutuhkan data-data
perencanaan yang meliputi data lalu lintas, data topografi, data penyelidikan
tanah, data penyelidikan material dan data penunjang lainnya. Semua data ini
sangat diperlukan dalam merencanakan suatu konstruksi jalan raya, karena data
ini memberikan gambaran yang sebenarnya dari kondisi surtu daerah dimana ruas
jalan ini akan dibangun. Dengan adanya data-data ini, kita dapat menentukan
geometrik dan tebal perkerasan yang diperlukan dalam merencanakan suatu
konstruksi jalan raya (Sukirman, 1999).
Tujuan perencanaan geometrik jalan adalah untuk menghasilkan kondisi
geometrik jalan yang mampu memberikan pelayanan lalu lintas secara optimum
sesuai dengan fungsi jalan. Disamping itu, fungsi dari perencanaan ini adalah
berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan dalam berlalu lintas bagi pemakai
jalan.

2.1 Bagian-Bagian Jalan


Menurut RSNI T-14-2004 tentang Geometri Jalan Perkotaan, jalan
memiliki bagian-bagian yang diberi nama daerah manfaat jalan (damaja), daerah
milik jalan (damija), dan daerah pengawasan jalan (dawasja).

2.1.1 Daerah manfaat jalan (Damaja)


Daerah manfaat jalan merupakan ruas sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar, tinggi dan kedalaman ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh pembina
jalan dan diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu.
jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman timbunan dan galian,
gorong-gorong perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya. Damaja
(daerah manfaat jalan) dibatasi oleh Gambar 2.1:
1. Batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan.
2. Tinggi minimum 5m di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan.
3. Kedalaman minimum 1,5 meter di bawah permukaan perkerasan jalan.
Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta
pengamanan konstruksi jalan, badan jalan dilengkapi dengan daerah bebas. Lebar

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 6


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

daerah bebas yang dimaksud sesuai dengan lebar badan jalan. Tinggi ruang bebas
bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah 5 meter. Sedangkan kedalaman
daerah bebas paling rendah 1,5 meter dari permukaan jalan.

2.1.2 Daerah milik jalan (Damija)


Daerah milik jalan adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar
dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh pembina jalan dengan suatu hak tertentu.
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Damija merupakan
ruang yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan damaja ditambah ambang
pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1,5 meter,
Biasanya pada jarak tiap 1 km dipasang patok damija berwarna kuning.
Daerah milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran
jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan
ruangan untuk pengamanan jalan dan diberi tanda batas ruang milik jalan yang
ditetapkan oleh penyelenggara jalan. Adapun daerah milik jalan yang di
peruntukan dalam pembuatan jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut:
1. Jalan bebas hambatan 30 meter.
2. Jalan raya 25 meter.
3. Jalan sedang 15 meter.
4. Jalan kecil 11 meter.

2.1.3 Daerah pengawasan jalan (Dawasja)


Daerah pengawasan jalan (dawasja) adalah sejalur tanah tertentu yang
terletak di luar daerah milik jalan (ruas sepanjang jalan di luar damija) yang
penggunanya diawasi oleh pembina jalan dengan maksud agar tidak mengganggu
pandangan pengemudi dan konstruksi bangunan jalan dalam hal tidak cukup
luasnya daerah milik jalan. Dawasja ditentukan berdasarkan kebutuhan terhadap
pandangan pengemudi, yang ditetapkan oleh pembina jalan. Daerah pengawasan
jalan dibatasi oleh lebar diukur dari as jalan. Berikut ini ketentuan lebar daerah
pengawasan jalan:
1. Jalan arteri primer tidak kurang dari 20 meter.
2. Jalan arteri sekunder tidak kurang dari 20 meter.
3. Jalan kolektor primer tidak kurang dari 15 meter.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 7


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

4. Jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 meter.


5. Jalan lokal primer tidak kurang dari 10 meter.
6. Jalan lokal sekunder tidak kurang dari 4 meter.
7. Jembatan tidak kurang dari 100 meter ke arah hulu dan hilir.
Untuk keselamatan pemakai jalan, dawasja di daerah tikungan ditentukan
oleh jarak pandangan pengemudi yang ditetapkan sebagai daerah bebas samping
di tikungan. Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya
didasarkan pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan
dalam hal pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh pembina jalan. Berikut
ini merupakan gambar hubungan damaja, damija, dan dawasja.

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Jalan


(Sumber : TPGJK No.038/TBM/1997)
2.1.4 Penampang utilitas
Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam damaja dengan ketentuan
sebagai berikut (Pasal 21 Ayat (3) Peraturan Pemerintah RI No.26/1985 tentang
Jalan);
1. Untuk utilitas yang berada di atas muka tanah ditempatkan paling tidak 0,60
meter dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan.
2. Untuk utilitas yang berada di bawah muka tanah harus ditempatkan paling 2
tidak 1,50 m dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 8


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

2.2 Fungsi Hirarki dan Kelas Jalan


Undang-undang republik Indonesia nomor 38 tahun 2004 disebutkan
bahwa jalan adalah suatu prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau
air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
Jalan mempunyai peranan penting terutama yang menyangkut perwujudan
perkembangan antar wilayah yang seimbang, pemerataan hasil pembangunan serta
pemantapan pertahanan dan keamanan nasional dalam rangka mewujudkan
pembangunan nasional.
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan
dijelaskan bahwa penyelenggaraan jalan yang konsepsional dan menyeluruh perlu
melihat jalan sebagai suatu kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan
menghubungkan pusat-pusat kegiatan. Sebagaimana dikenal sebagai sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Setiap sistem jaringan
jalan diadakan pengelompokan jalan menurut fungsi, status, dan kelas jalan.

2.2.1 Klasifikasi jalan menurut sistem jaringan


Pengelompokan jalan berdasarkan status memberikan kewenangan kepada
Pemerintah untuk menyelenggarakan jalan yang mempunyai layanan nasional dan
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan jalan di wilayahnya sesuai dengan
prinsip-prinsip otonomi daerah. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu
pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan
antarkawasan dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Berdasarkan
sistem jaringan jalan, maka dikenal 2 istilah, yaitu:
1. Sistem jaringan jalan primer
Jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 9


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

b. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.


Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang
menghubungkan antarkawasan perkotaan, yang diatur secara berjenjang
sesuai dengan peran perkotaan yang dihubungkannya. Untuk melayani lalu
lintas menerus maka ruas-ruas jalan dalam sistem jaringan jalan primer
tidak terputus walaupun memasuki kawasan perkotaan.
2. Sistem jaringan jalan sekunder
Jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah
kabupaten atau kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke
persil. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang
menghubungkan antarkawasan di dalam perkotaan yang diatur secara
berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang dihubungkannya.

2.3.2 Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan


Klasifikasi jalan atau hirarki jalan merupakan pengelompokan jalan
berdasarkan fungsi jalan itu sendiri berdasarkan administrasi pemerintah dan
berdasarkan muatan sumbu yang menyangkut dimensi dan berat kendaraan.
Penentuan klasifikasi jalan ini terkait dengan besarnya volume lalu lintas,
besarnya kapasitas jalan, serta pembiayaan pembangunan dan perawatan jalan.
Berdasarkan pasal 8 UU No. 38 tahun 2004, menurut fungsinya jalan
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu:
1. Jalan arteri
Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor
Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 10


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

3. Jalan lokal
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah.

2.3.3 Klasifikasi jalan menurut status jalan


Sesuai dengan undang-undang republik Indonesia nomor 38 tahun 2004
tentang jalan dan peraturan pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan, maka
sesuai dengan kewenangan atau status, maka jalan umum dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Jalan nasional
Penyelenggaraan jalan nasional merupakan kewenangan kementerian
pekerjaan umum dan perumahan rakyat, yaitu di direktorat jenderal bina
marga yang dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan jalan nasional
dibentuk balai besar pelaksanaan jalan nasional sesuai dengan wilayah
kerjanya masing-masing. Jalan nasional terdiri dari pembagian yaitu:
a. Jalan arteri primer.
b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi.
c. Jalan tol.
d. Jalan strategis nasional.
2. Jalan provinsi
Penyelenggaraan jalan provinsi merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Jalan provinsi terdiri dari:
a. Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten atau kota.
b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten atau
kota.
c. Jalan strategis provinsi.
3. Jalan kabupaten

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 11


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Penyelenggaraan jalan kabupaten merupakan kewenangan pemerintah


kabupaten. jalan kabupaten terdiri dari:
a. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan
provinsi.
b. Jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antar ibukota
kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antar desa.
c. Jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi dan jalan sekunder
dalam kota.
d. Jalan strategis kabupaten.
4. Jalan kota
Jalan kota adalah jalan umum pada jaringan jalan sekunder di dalam kota,
merupakan kewenangan pemerintah kota. ruas-ruas jalan kota ditetapkan oleh
walikota dengan surat keputusan walikota.
5. Jalan desa
Jalan desa adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak
termasuk jalan kabupaten di dalam kawasan perdesaan, dan merupakan jalan
umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam
desa.

2.3.4 Klasifikasi jalan menurut kelas jalan


Kelas jalan diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan. Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas
berdasarkan:
1. Fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan
jalan dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan.
2. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan
bermotor.
Kelas jalan dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelas berdasarkan
Pasal 11 PP No.43/1993, antara lain sebagai berikut:
1. Jalan Kelas I

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 12


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Jalan Kelas I merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan lebih besar dari 10 ton.
2. Jalan Kelas II
Jalan kelas II yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 10 ton.
3. Jalan Kelas III A
Jalan kelas III A yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
4. Jalan Kelas III B
Jalan kelas III B adalah jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
5. Jalan Kelas III C
Jalan kelas III C yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
Tabel 2.1 Klasifikasi berdasarkan kelas jalan
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (Ton)
Arteri I >10
II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B 8
III C 8
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.3.5 Klasifikasi jalan menurut medan jalan

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 13


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar


kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi
medan yang diproyeksikan harus memperhitungkan keseragaman kondisi medan
menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada
bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut. Berdasarkan medan jalan, jalan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi berdasarkan medan jalan
No Jenis medan Notasi Kemiringan medan (%)
1 Datar D <3
2 Berbukit B 3-25
3 Pegunungan G >25
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

2.3 Parameter Desain Geometrik Jalan


Dalam perencanaan geomterik jalan terdapat beberapa parameter
perencanaan yang harus dipahami seperti, kendaraan rencana, kecepatan rencana,
volume dan kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan
tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentuan tingkat kenyamanan dan
keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan yang disesuaikan
dengan tuntutan lalu lintas yang harus diperhatikan seperti berikut ini:
1. Kenyamanan : Tidak banyak tikungan dan gangguan serta tidak terlalu
terjal.
2. Keamanan : Minim nya tingkat kecelakaan.
3. Biaya : Faktor ekonomi.
4. Keindahan : Diusahakan tikungan jalan tidak membuat orang
bosan ataupun jenuh.

2.3.1 Volume lalu lintas

Volume lalu-lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu


titik pengamatan selama satu satuan waktu (kendaraan/hari, kend/jam). Volume
lalu-lintas untuk keperluan desain kapasitas geometrik jalan perlu dinyatakan
dalam satuan mobil penumpang, yaitu dengan menyesuaikan dengan nilai smp
pada setiap jenis kendaraan.
1. Satuan mobil penumpang

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 14


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Satuan mobil penumpang merupakan angka satuan kendaraan standar dalam


hal kapasitas jalan, dari berbagai kendaraan telah diubah menjadi kendaraan
ringan (termasuk mobil penumpang) dengan cara yaitu menggunakan
ekivalen mobil penumpang.
Tabel 2.3 Satuan Mobil Penumpang
Jenis Kendaraan Nilai SMP
Sepeda 0,5
Mobil penumpang / Sepeda motor 1,0
Truk ringan < 5 ton 2,0
Truk sedang > 5 ton 2,5
Truk berat > 10 ton 3,0
Bus 3,0
Kendaraan tak bermotor 7,0
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima
Marga, 1997)
2. Ekivalen mobil penumpang (EMP)
Ekivalen mobil penumpang adalah suatu faktor konversi untuk menyetarakan
berbagai tipe kendaraan yang beroperasi di suatu ruas jalan kedalam satu jenis
kendaraan yakni mobil penumpang. Manual Kapasitas Jalan Indonesia
(MKJI) 1997 telah menetapkan nilai-nilai EMP untuk berbagai jenis
kelompok kendaraan bermotor. Nilai EMP berbagai tipe kendaraan tidak
bersifat mutlak karena faktorfaktor yang mempengaruhinya dapat berubah
seiring dengan perkembangan teknologi otomotif.
Tabel 2.4 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP)
No Jenis Kendaraan Darat/Perbukitan Pegunungan
1 Sedan, Jeep, Station wagon 1,00 1,00
2 Pick Up, Bus kecil, Truk 1,20-2,40 1,90-3,5
kecil
3 Bus dan Truk besar 1,20-5,00 2,20-6,00
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima
Marga, 1997 )
Pada persimpangan bersignal atau terdapat lampu pengaturan lalu lintas,
nilai faktor pengali SMP (EMP) suatu kendaraan tergantung dari tipe
pendekat jalan yaitu pendekat terlindung (pergerakan kendaraan tidak ada
gangguan dari arah pendekat atau jalan yang lain) dan pendekat terlawan.
Tabel 2.5 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP)
EMP
Jenis Kendaraan
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 15


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3


Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima
Marga, 1997 )
Pada persimpangan tak bersignal (tidak ada lampu pengaturan lalu lintas)
nilai faktor pengali SMP (EMP) suatu kendaraan untuk semua pendekat
adalah sama.
a. Kendaraan Ringan = 1,0.
b. Kendaraan Berat = 1,3.
c. Sepeda Motor = 0,5.
Faktor pengali pada jalan perkotaan tergantung dari fungsi dan kondisi
jalan serta jumlah kendaraan yang bergerak melintasi suatu titik
pengamatan pada suatu satuan periode waktu (jam) yaitu jalan perkotaan
yang tidak terbagi atau jalan yang tidak mempunyai median jalan, dan
jalan perkotaan terbagi atau jalan satu arah.
Tabel 2.6 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Pada Jalan Perkotaan Yang
Tidak Terbagi
Arus Lalu Lintas EMP
Total 2 Arah MC
Tipe Jalan
(Kend/jam) LV HV Lebar jalur lalu lintas
≤ 6m ≥ 6m
Dua lajur tak 0 1,3 0,5 0,4
terbagi (2/2) UD ≥ 1800 1,2 0,35 0,25
1,0
Empat lajur tak 0 1,3 0,4
terbagi (4/2) UD ≥ 1800 1,2 0,25
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima
Marga, 1997 )
Tabel 2.7 Ekivalensi Mobil Penumpang (EMP) Pada Jalan Perkotaan Terbagi
Arah lalu lintas per EMP
Tipe jalan
jalur (kend/jam) LV HV MC
Dua lajur satu arah (2/1) 0 1,3 0,4
dan empat lajur dua arah
(4/2) ≥ 1050 1,2 0,25
1,0
Tiga lajur satu arah (3/1) 0 1,3 0,4
dan enam lajur dua arah
(6/2) ≥ 1100 1,2 0,25
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima
Marga, 1997 )
Jalan luar kota merupakan suatu segmen jalan yang menghubungkan
antara dua kabupaten/kota yang mana pada sisi jalan tanpa perkembangan
atau perkembangan permanen yang sebentar terjadi. Pembagian jenis
kendaraan pada jalan luar kota adalah sebagai berikut:

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 16


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

a. Kendaraan Ringan.
b. Kendaraan Berat Menengah.
c. Truk Besar.
d. Bis Besar.
e. Sepeda Motor.
f. Kendaraan Tak Bermotor.

2.4.2 Kecepatan rencana (VR)


Kecepatan rencana (VR), pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilihsebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
1. Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuhnya (satuan km/jam atau mph).
2. Kecepatan rencana (vR) adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar
perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan bergerak
dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang
lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
3. Kecepatan rencana digunakan untuk perancangan:
a. Tikungan,
b. Kemiringan jalan,
c. Tanjakan dan turunan,
d. Jarak pandangan.
4. Faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana seperti berikut:
a. Kondisi Medan (terrain)
1) VR di daerah datar > VR di daerah perbukitan & gunung.
2) Kecepatan truk di daerah datar bisa menyamai kecepatan kendaraan
kecil, tetapi di daerah perbukitan, kecepatan truk akan berkurang.
Bahkan di daerah gunung kadang-kadang diperlukan jalur khusus untuk
truk (jalur pendakian).
3) Kondisi medan ruas jalan yang diproyeksikan harus diperkirakan untuk
keseluruhan panjang jalan.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 17


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

b. Sifat dan tingkat penggunaan daerah


1) Untuk jalan arteri mempunyai vR yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jalan kolektor maupun jalan lokal.
2) Jalan raya untuk daerah luar kota akan mempunyai vR yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan jalan di dalam kota. Pada tabel 2.3 dibawah
menunjukkan VR untuk masing-masing fungsi jalan.
Tabel 2.8 Kecepatan Rencana, VR sesuai klasifikasi fungsi dan medan jalan
Fungsi Kecepatan rencana,VR (km/jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70-120 60-80 40-70
Kolektor 60-90 50-60 30-50
Lokal 40-70 30-50 20-30
(Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997)
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.9 Kecepatan Rencana Berdasarkan Klasifikasi Jalan
No Klasifikasi Jalan Kecepatan Rencana (km/jam)
1. Arteri primer 60
2. Kolektor primer 40
3. Lokal primer 20
4. Lingkungan primer 15
5. Arteri sekunder 30
6. Kolektor sekunder 20
7. Lokal sekunder 10
8. Lingkungan sekunder 10
(Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997)

2.4.3 Kendaraan rencana


Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Adapun dimensi Kendaraan
Rencana dapat dilihat pada Tabel 2.10 dibawah ini:
Tabel 2.10 Dimensi Kendaraan Rencana
Radius putar
Kategori Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm) Radius
(cm)
Kendaraan tonjolan
Rencana Belakan (cm)
Tinggi Lebar Panjang Depan Min Maks
g
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
( Sumber : Tata cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bima Marga)

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 18


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Dimensi kendaraan yang sering dijumpai di jalan raya dapat dilihat pada
gambar-gambar dibawah ini:

Gambar 2.8 Dimensi Kendaraan Kecil


(Sumber : Pedoman Bina Marga, 1997)

Gambar 2.9 Dimensi Kendaraan Sedang


(Sumber : Pedoman Bina Marga, 1997)

Gambar 2.10 Dimensi Kendaraan Besar


(Sumber : Pedoman Bina Marga, 1997)
2.4.4 Penentuan lebar jalur dan lajur jalur lalu lintas
Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang
diperuntukan untuk lalau lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa
lajur kendaraan. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalau lintas yang khusus
diperuntukan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau
lebih dalam satu arah. Jadi jumlah lajur minimal untuk jalan 2 arah adalah 2 dan
pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk 1 arah

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 19


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

minimal terdiri dari 1 lajur lalau lintas (Silvia Sukirman, 1999). Pada Tabel 2.8
dapat dilihat lebar jalur dan bahu jalan sesuai dengan volume lalu lintas hariannya.
Tabel 2.11 Lebar Jalur dan Bahu Jalan Sesuai dengan VLHR
ARTERI KOLEKTOR LOKAL
Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum

Lebar bahu (m)

Lebar bahu (m)

Lebar bahu (m)

Lebar bahu (m)

Lebar bahu (m)

Lebar bahu (m)


Lebar jalur (m)

Lebar jalur (m)

Lebar jalur (m)

Lebar jalur (m)

Lebar jalur (m)

Lebar jalur (m)


VLHR

<3.00
6 1,5 4,5 1 6 1,5 4,5 1 6 1 4,5 1
0
3.000-
7 2 6 1,5 7 1,5 6 1,5 7 1,5 6 1
10.000
10.001
- 7 2 7 2 7 2 **) **) - - - -
25.000
>25.0 2n×3 2×7, 2n×3
2,5 2 2 **) **) - - - -
00 ,5*) 0*) ,5*)
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.038/T/BM/1997)
2.4.5 Jarak pandang
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya
tersebut dengan aman (Hamirhan Saodang, 2004). Jarak pandang terbagi menjadi
dua bagian yaitu, jarak pandang henti dan jarak pandang mendahului.
1. Jarak pandang henti (Jh)
Jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi unuk menghentikan
kendaraannnya dengan aman saat melihat adanya halangan didepan. Jarak
pandang henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan
(Hamirhan Saodang, 2004). Jarak pandang henti terdiri dari dua komponen,
yaitu adalah:
a. Jarak tanggap jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi sadar
melihat adanya halangan yang menyebabkan harus berhenti sampai

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 20


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

pengemudi menginjak rem (waktu PIEV). AASHTO merekomendasikan


waktu tanggap adalah 2,5 detik.
b. Jarak pengereman, adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
AASHTO 2004 menyarankan menggunakan nilai perlambatan kendaraan
sebesar 3,4 m/detik² untuk penentuan Jarak pandang henti. Jh dalam satuan
meter dapat dihitung dengan sebuah rumus, rumus yang digunakan yaitu:

( )
2
Vr
V 3 ,6
Jh= r T +
3,6 2 gf
Dimana:
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik g = percepatan gravitasi,
ditetapkan 9,8 m/det
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-
0,55.
Persamaan tersebut disederhanakan menjadi:
2
VR
JBhB = 0,694 . VBRB +0,004
F
Tabel 2.12 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum untuk Perencanaan Geometrik
Jalan antar Kota
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh Minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
(Sumber: TPGJAK No. 038/TBM/1997)

2. Jarak pandang mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului atau menyiap (Jd) adalah jarak yang
memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya
dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (lihat
Gambar 3.4). Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tinggi adalah 105 cm.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 21


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Gambar 2.13 Sketsa Jarak Pandang Mendahului


(Sumber : TPGJAK No.083/TBM/1997)
Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut:
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
Dimana:
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m).
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m).
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari
arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m).
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan,yang
besarnya diambil sama dengan 213.d2 (m).
2.4.6. Tingkat Pelayanan
Tingkat pelayanan jalan merupakan kondisi gabungan yang di tunjukkan
dari hubungan V/C dan kecepatan. Pengertian tingkat pelayanan jalan dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Level of service (LOS) yang ditentukan oleh volume, kapasitas, dan
kecepatan lalu lintas.
2. Tingkat Pelayanan Jalan merupakan kondisi gabungan dari rasio volume dan
kapasitas (V/C) dan kecepatan. Rasio V/C juga disebut derajat kejenuhan
(MKJI 1997).

2.5 Komponen-Komponen Geometrik Jalan


Komponen-komponen geometrik jalan mempunyai beberapa bagian
seperti berikut ini:

2.3.2 Alinyemen horizontal

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 22


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal


atau proyeksi horisontal dari sumbu jalan tegak lurus bidang peta situasi.
Alinyemen horisontal sering disebut situasi jalan atau trase jalan yang terdiri atas
garis lurus atau tangent dan garis lengkung horisontal circle yang terdiri dari busur
lingkaran dengan lengkung peralihan atau hanya lengkung peralihan. Konsep
dasar perencanaan tikungan adalah penentuan bagian-bagian didasarkan pada
keseimbangan gaya yang bekerja pada kendaraan yang melintas suatu tikungan
(Suryadharma, dan Susanto, 1999).
Pada perencanaan alinyemen horizontal, umumnya akan ditemui dua jenis
dari bagian jalan yaitu bagian lurus dan bagian lengkung (tikungan). Perencanaan
bagian jalan yang lurus perlu mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai
jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian
jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu maksimal 2,5 menit (sesuai Vr).
Tabel 2.13 Panjang Bagian Lurus Maksimum
Fungsi Jalan Panjang Bagian Lurus Maksimum
Datar Bukit Gunung
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997)
1. Jarak pandang dan daerah bebas samping pada lengkung horizontal
Jarak pandang pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah
dalam sering kali dihalangi oleh gedung, hutan kayu, tebing galian dan lain
sebagainya karena banyaknya penghalang yang mungkin terjadi dan sifat-
sifat yang berbeda dari masing-masing penghalang, sebaiknya setiap faktor-
faktor yang menimbulkan halangan tersebut ditinjau sendiri-sendiri. Untuk
menjaga kenyamanan dan keamanan pengemudi, perlu ditentukan jarak
pandang henti minimum berdasarkan daerah bebas samping dibagian dalam
tikungan, disepanjang lengkung horizontal tersebut. Penentuan batas
minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam ke penghalang ditentukan
berdasarkan kondisi dengan jarak pandang lebih kecil daripada panjang
lengkung horizontal. Kondisi yang menentukan jarak daerah bebas samping
dalam proses desain:
a. Jarak pandang lebih pendek dari panjang lengkung horizontal (Jh < Lt).
b. Jarak pandang lebih panjang dari panjang lengkung horizontal (Jh > Lt).

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 23


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Penentuan batas minimum objek penghalang pandangan atau daerah bebas


samping ditikungan berdasarkan kondisi simetris untuk Jh < Lt seperti pada
gambar dibawah ini dan hanya diperhitungkan hanya untuk bentuk lingkaran
sederhana.

Gambar 2.11 Daerah bebas samping ditikungan untuk Jh < Lt


(Sumber : Hamirham Saodang, 2004)
90 Jh
E = R’ (1-cos )
πxR

Jika Jh > Lt,

Gambar 2.12 Daerah bebas samping ditikungan untuk Jh > Lt


(Sumber : Hamirham Saodang, 2004)

28 ,65 Jh Jh−¿ 28 ,65 Jh


E = R’ (1-cos ¿+ ( . sin . )
R' 2 R'
Keterangan :
E = Jarak bebas samping (m)
R = Jari-jari tikungan (m)
R’ = Jari-jari sumbu jalur dalam (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 24


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Gambar 2.13 Pergerakan Mendahului


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Keterangan gambar:
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan
(m)
2. Tikungan
Lengkung horizontal atau tikungan terdiri dari 3 bentuk yang masing- masing
mempunyai ketajaman, besar kecilnya radius lengkung dan superelevasi yang
berbeda.
a. Busur Lingkaran (FC)
FC (Full Circle), adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian
suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari
tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil
maka diperlukan superelevasi yang besar (Hendarsin, 2000).

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 25


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Gambar 2.14 Full Circle (FC)


(Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya)
Keterangan:
∆ = sudut tikungan
O = titik pusat lingkaran
Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc = jari-jari lingkaran
Lc = panjang busur lingkaran
Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Rumus yang digunakan:
Tc = Rc tan ½ ∆
Ec = Tc ran ¾ ∆
∆ 2 π Rc
Lc =
360 °
b. Lengkung Spiral-Circle-Spiral (SCS)
Dalam bentuk tikungan ini spiral disini merupakan lengkung peralihan dari
bagian lurus (tangent) berubah menjadi lingkaran (circle). Pada saat
kendaraan melaju di daerah spiral, maka terjadi perubahan gaya sentrifungal
yang terjadi mulai dari 0 ke harga F = (Suryadharma, Susanto, 1999).

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 26


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Gambar 2.15 Spiral Circle Spiral (SCS)


(Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya)
Keterangan :
Xs = absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung peralihan)
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik
SC pada lengkung
Ls = panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)
Lc = panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = panjang tangen dari titik P1 ke titik TS atau ke titik ST TS= titik dari tangen
ke spiral
SC = titik dari spiral ke lingkaran
Es = jarak dari P1 ke busur lingkaran
θs = sudut lengkung spiral
Rc = jari-jari lingkaran
p = pergeseran tangen terhadap spiral
k = absis dari p pada garis tangen spiral
Rumus yang digunakan:
2
Ls
Xs = Ls [1 ]
40 Rc
2
Ls
Ys =
6 Rc
90 Ls
θs =
π Rc
2
Ls
p = - Rc (1-cos θs )
6 Rc
3
Ls
k = Ls - 2 -Rc sin θs
40 Rc
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 27


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

( ∆−2 θs)
Lc = . π . Rc
180
Lωt = Lc = 2Ls

Jika diperoleh Lc < 25 m, maka sebaiknya tidak digunakan lengkung


SCS tetapi digunakan lengkung SS, yaitu lengkung yang terdiri dari
dua lengkung spiral.
c. Spiral-Spiral
Lengkung horizontal bentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur
lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur
lingkaran Lc = 0, θs = ½ Δ. Rc yang dipilih harus sedemikian rupa
sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang menghasilkan landai
relatif minimum yang disyaratkan. Panjang lengkung peralihan Ls yang
dipergunakan haruslah yang diperoleh dari rumus Ls = Ls/2Rc radial,
sehingga bentuk spiral dengan sudut θs= ½ Δ. (Sukirman, 1994).

Gambar 2.16 Spiral-Spiral (SS)


(Sumber : Shirley L. Hendarsin, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya)
Rumus yang digunakan:
Lc = 0
θs = ½ ∆
Lωt = 2Ls

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 28


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

θs . π . Rc
Ls =
90
2
Ls
p = - Rc (1-cos θs )
6 Rc
3
Ls
k = Ls - 2 -Rc sin θs
40 Rc
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
3. Superelevasi
Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada daerah tikungan. Untuk
bagian jalan lurus, jalan mempunyai kemiringan melintang yang biasa disebut
lereng normal atau normal trawn yaitu diambil minimum 2 % baik sebelah
kiri maupun sebelah kanan AS jalan. Harga elevasi (e) yang menyebabkan
kenaikan elevasi terhadap sumbu jalan diberi tanda (+) dan yang
menyebabkan penurunan elevasi terhadap jalan diberi tanda (-). Sedangkan
yang dimaksud diagram superelevasi adalah suatu cara untuk
menggambarkan pencapaian superelevasi dan lereng normal ke kemiringan
melintang (superelevasi). Diagram superelevasi pada ketinggian bentuknya
tergantung dari bentuk lengkung yang bersangkutan.

Gambar 2.17 Superelevasi Full Circle


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 29


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Gambar 2.18 Superelevasi Spiral-Circle-Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)

Gambar 2.19 Superelevasi Spiral-Spiral


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
2.5.2. Alinyemen vertikal
Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap
titik yang ditinjau, berupa profil memanjang, Pada perencanaan alinemen vertikal
akan ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan).
Alinyemen vertikal direncanakan untuk merubah secara bertahap perubahan dari
dua macam kelandaian arah memanjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 30


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

dan menyediakan jarak pandang henti yang cukup untuk keamanan dan
kenyamanan. Alinyemen vertikal terdiri dari 2 jenis yaitu alinyemen vertikal
cembung dan alinyemen vertikal cekung (Hendarsin, 2000).
Pada alinyemen vertikal perhatian tidak hanya ditujukan ke bagian
lengkung tetapi justru yang penting adalah bagian yang lurus pada umumnya
merupakan suatu kelandaian. Alinyemen vertikal harus direncanakan sebaik-
baiknya dengan mengikuti medan sehingga dapat menghasilkan keindahan jalan
yang harmonis dengan alam disekelilingnya.
1. Kelandaian alinyemen vertikal
a. Kelandaian Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan
kendaraanbergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan
penuh yangmampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari
separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam
Tabel 2.18 berikut ini:
Tabel 2.14 Jari – Jari Minimum Yang Tidak Memerlukan Lengkung
Peralihan
Landai Max (%) 3 3 4 5 6 7 10 10
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
b. Kelandaian minimum
Kelandaian minimun untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb,
maka lereng melintang jalan dianggap sudah cukup untuk dapat
mengalirkan air diatas badan jalan yang selanjutnya dibuang ke lereng
jalan. Untuk jalan – jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan
menggunakan kerb, kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15%,
yang dapat membantu mengalirkan air dari atas badan jalan dan
membuangnya ke saluran tepi atau saluran pembuangan.
Sedangkan untuk jalan – jalan di daerah galian atau jalan yang
memakai kerb, kelandaian jalan minimum yang dianjurkan adalah 0,3 –
0,5%. Lereng melintang jalan hanya cukup untuk mengalirkan air hujan

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 31


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

yang jatuh diatas badan jalan, sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk
membuat kemiringan dasar saluran sampin, untuk membuang air
permukaan sepanjang jalan.
c. Panjang kritis suatu kelandaian
Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan
agarkendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunankecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan
tersebut ditetapkan tidaklebih dari satu menit. Panjang kritis dapat
ditetapkan dari Tabel 2.15 dibawah ini :
Tabel 2.15 Jari – Jari Minimum Yang Tidak Memerlukan Lengkung
Peralihan
Kecepatan pada awal Kelandaian Maksimum (%)
tanjakan (km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
d. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahankelandaian dengan tujuan:
1) Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.
2) Menyediakan jarak pandang henti.

Gambar 2.21 Lengkung Vertikal


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
e. Lengkung vertikal cembung

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 32


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

Lengkung vertikal cembung, yaitu lengkung dimana titik perpotongan


antara kedua tangen berada dibawah permukaan jalan.

Gambar 2.22 Vertikal Cembung


(Sumber : Hamirhan Saodang, 2004)

f. Lengkung Vertikal Cekung


Titik perpotongan antara ke 2 tangen berada dibawah permukaan jalan.

Gambar 2.20 Vertikal Cekung


(Sumber : Hamirhan Saodang, 2004)
g. Jarak pandang alinyemen vertikal
Jarak pandangan pada alinyemen vertikal dapat dibagi menjadi dua yaitu
jarak pandangan pada alinyemen vertikal cekung dan vertikal cembung.
h. Jarak panjang alinyemen vertikal cekung
Jarak pandangan bebas pengemudi pada jalan raya yang melintasi
bangunan-bangunan seringkali terhalang oleh bagian bawah dari bangunan
tersebut. Panjang lengkung vertikal cekung minimum diperhitungkan
berdasrakan jarak pandang henti minimum dengan mengambil tinggi mata
Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 33
Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

pengemudi kendaraan truk yaitu 1,80 meter dengan tinggi objek 0,50
meter (tinggi lampu belakang kendaraan). Ruang bebas vertikal minimum
5 meter. Dalam perencanaan disarankan untuk mengambil ruang bebas ±
5,50 meter. Untuk memberi kemungkinan adanya lapisan tambahan
(overlay) di kemudian hari.
i. Jarak pandang alinyemen vertikal cembung
Pada lengkung veetikal cembung, untuk menghitung jarak pandangan
dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
100 x L
S= (2 x (h1 – h2)
A
Dimana jika dalam perencanaan dipergunakan jark pandangan henti
menurut Bina Marga h = 10 cm atau 0,10 meter dan h = 120 cm atau 1,20
meter.

2.6 Perencanaan Galian dan Timbunan


Didalam perencanaan jalan antar kota diusahakan agar volume galian sama
dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen horizontal dan
alinyemen vertikal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume
galian dan timbunan. Langkah-langkah perhitungan galian dan timbunan adalah
sebagai berikut:
1. Penentuan stasioning sehingga diperoleh panjang horizontal jalan dari
alinyemen horizontal (trase).
2. Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) untuk memperlihatkan
perbedaan tinggi muka tanah asli dengan tinggi muka perkerasan yang akan
direncanakan.
3. Gambarkan profil melintang pada tiap titik stasioning sehingga dapat luas
penampang galian dan timbunan.
4. Hitung volume galian dan timbunan dengan mengkalikan luas penampang
rata-rata dari galian atau timbunan dengan jarak antar patok.
Perlu diketahui bahwa perhitungan volume galian dan timbunan ini
dilakukan secara pendekatan. Semakin kecil jarak antar Sta, maka harga volume
galian dan juga timbunan semakin mendekati harga yang sesungguhnya.
Sebaliknya semakin besar jarak antar Sta, maka semakin jauh ketidak tepatan

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 34


Tugas Besar Perencanaan Geometrik Jalan Tinjauan Pustaka

hasil yang diperoleh. Ketelitian dan ketepatan dalam menghitung besarnya


volume galian dan timbunan akan sangat berpengaruh terhadap biaya yang akan
dikeluarkan pada waktu pelaksanaan lapangan nantinya. Pekerjaan tanah yang
terlalu besar akan berdampak terhadap semakin mahalnya biaya pembuatan jalan
yang direncanakan.
Oleh sebab itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan guna menghindari
ketidak hematan tersebut perlu diperhatikan sejak dini. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
1. Pengambilan data lapangan oleh surveyor harus seakurat mungkin dan
didukung dengan peralatan yang berfungsi baik.
2. Penuangan data lapangan kedalam bentuk gambar harus seakurat mungkin
baik skala maupun ukuran yang digunakan.
3. Perhitungan luas penampang harus seteliti mungkin.
4. Penentuan jarak antar Sta harus sedemikian rupa sehingga informasi-
informasi penting, seperti perubahan elevasi, dapat dideteksi dengan baik.

Ulfa Dayini Ramadhanis-M1C118036 35

Anda mungkin juga menyukai