Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Salah satu infrastruktur yang sangat penting adalah jalan raya. Jalan memiliki
peranan penting dalam kehidupan diantaranya berbagai jenis transportasi seperti
memperlancar arus distribusi barang dan jasa. Dalam merancang suatu jalan raya,
ada berbagai pertimbangan yang harus dilakukan dalam mengerjakan pembangunan
atau konstruksinya. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan seperti pembuatan
trase jalan yang harus memperhatikan tidak hanya dari sisi kontur maupun ketinggian
tetapi juga wilayah dan daerah rawan bencana.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga (1997)
2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan
Medan jalan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Berdasarkan TPGJAK
yang dikeluarkan oleh Bina Marga (1997) dalam mempertimbangkan
keseragaman kondisi medan jalan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan pada bagian-bagian kecil dari segmen jalan
tersebut. Berikut tabel klasifikasi medan jalan untuk perencanaan
geometri mengacu pada Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota (Bina Marga, 1997):
2. Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2
as,
satuan mobil penumpang per hari (SMP/hari). Agar tercipta kenyamanan dan
keamanan, volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan
yang lebih lebar (Bina Marga, 1997). Jalan yang terlalu lebar untuk volume
lalu lintas rendah cenderung membahayakan, karena pengemudi cenderung
mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan
kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Selain itu mengakibatkan
peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada tempatnya.
a. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan mobil penumpang merupakan angka satuan kendaraan
dalam hal kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan
memiliki satu satuan mobil penumpang.
Tabel 2.4 Satuan Mobil Penumpang (smp)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
c. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
LHRT harus mempunyai data jumlah kendaraan yang terus
menerus selama 1 tahun penuh. Maka dengan kondisi tersebut dapat
pula dipergunakan satuan “Lalu lintas Harian Rata-rata (Bina Marga,
1997)”. Mengingat biaya yang diperlukan dan membandingkan dengan
ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di Indonesia
mempunyai data volume lalu lintas selama 1 tahun.
Jumlah lalu lintas selama pengamatan
LHR = Lamanya pengamatan
Keterangan:
Tabel 2.6 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-Rata
VLHR FAKTOR-K (%) FAKTOR-F (%)
> 50.000 4-6 0,9-1
30.000 - 50.000 6-8 0,8-1
10.000 - 30.000 6-8 0,8-1
5.000 - 10.000 8-10 01,6-0,8
1.000 - 5.000 10-12 0,6-0,8
< 1.000 12-16 < 0,6
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
2.2.3 Dimensi Jalan
Dimensi jalan adalah ukuran-ukuran pada jalan, yakni lebar jalur, bahu
jalan, dan sebagainya. Berikut adalah dimensi yang ditentukan menurut Tata
Cara Perencanaan Geometrik jalan Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997:
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik jalan Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997
bergerak dengan aman dan nyaman. Ketika melewati kondisi medan yang sulit,
kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa
penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam (Sukirman. 1999).
Tabel 2.8 Kecepatan Rencana, VR, sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
Jh = 0,694 VR
Untuk jalan datar :
2
Jh = 0,694 VR + 0,004 VR
fp
Keterangan:
Jh : jarak pandang henti (m)
fp : koefisien gesek antara ban dan muka jalan dalam
perkerasan jalan aspal, fp akan kecil jika kecepatan
(Vr) semakin tinggi. (fp = 0,35 – 0,55)
Vr : kecepatan kendaraan (km/jam)
T : Waktu reaksi normal (2,5 s)
g : Percepatan gravitasi (9,8 m/s2)
Keterangan:
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
T = Waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = Percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal,
ditetapkan 0,35-0,55
b. Jarak Pandang Mendahului atau Menyiap
Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memungkinkan
suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman
sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Jadi diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tingi halangan adalah 105 cm.
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
Keterangan:
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
b. Tingkat Pelayanan B
c. Tingkat Pelayanan C
Pada tingkat pelayanan C memiliki arus yang masih stabil
sehingga pada tingkat pelayanan ini terdapat kecepatan kendaraan yang
mulai dipengaruhi oleh besarnya volume lalu lintas.
d. Tingkat Pelayanan D
Pada tingkat pelayanan D memiliki arus yang sudah tidak stabil
sehingga pada tingkat pelayanan ini terdapat perubahan volume lalu
lintas yang mempengaruhi besarnya kecepatan kendaraan dalam
berjalan.
e. Tingkat Pelayanan E
Pada tingkat pelayanan E memiliki arus yang tidak stabil oleh
karena itu, pada tingkat pelayanan ini terdapat perubahan volume lalu
lintas yang sama dengan kapasitas jalan maka mengakibatkan
terjadinya kemacetan pada jalan tersebut.
f. Tingkat Pelayanan F
Pada tingkat pelayanan F memiliki arus yang tidak stabil dan
kecepatan yang rendah karena pada tingkat pelayanan ini terdapat lalu
lintas yang rendah maka terjadi kemacetan.
2.3.3 Tikungan
2.3.3.1 Superelevasi
Rmin VR 2
= 127 (emax + f)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
2.3.3.3 Lengkung
Bagian lengkung terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
1. Spiral-Circle-Spiral (SCS)
Spiral-Circle-Spiral merupakan tikungan yang terdiri dari
satu lengkung circle dan dua lengkung spiral.
∆C = ∆ – 2θS k = XC – R sinθS
∆C
LC = x 2πR p = YC – R (1 – sinθS)
360
2
∆
Y = LS TS = (R – p) tan + k
C 6R
2
(R−p)
ES = –R Ltotal = LC + 2LS
∆
cos
2
3. Spiral-Spiral (SS)
Spiral-Spiral merupakan tikungan yang terdiri dari dua
lengkung spiral.
∆C = 0 k = XC – R sinθS
LC = 0 p = YC – R (1 – sinθS)
2
∆
YC = LS TS = (R – p) tan + k
6R 2
(R−p)
ES = –R Ltotal = LC + 2LS
cos∆
2
Dimana:
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m)
b’ = Lebar lintasan pada tikungan
n = Jumlah jalur lalu lintas
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = Kebebasan samping (0,8 m)
P = Jarak ban muka dan ban belakang = 6,1
mA = Jarak ujung mobil dan ban depan = 1,2 m
Vr = Kecepatan rencana
R = Jari-jari tikungan
B = Lebar Total
L = Lebar badan jalan
m = R(1 – Cos 𝜃)
Dimana:
M = jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m)
𝜃 = setengah sudut pusat sepanjang L(°)
R = radius sumbu lajur sebelah dalam
(m) JPH = jarak pandang henti (m)
22
Tabel 2.14 Kelandaian Maksimum yang Diizinkan
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40
Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997.
Tabel 2.15 Panjang Kritis Kelandaian yang Melebihi Kelandaian Maksimum Standar
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997.
24
b. Lengkung Vertikal Cembung
Lengkung vertikal cekung merupakan lengkung yang memiliki titik
perpotongan antara kedua bagian lurus di bawah permukaan jalan.
Lengkung vertikal cekung dibedakan menjadi 2 berdasarkan jarak
pandang.
25
2.4.5 Penentuan Elevasi Kelengkungan As Jalan
Elevasi kelengkungan As jalan didasari oleh kontur asli dari tanah untuk
mendapatkan hasil galian dan timbunan yang seminimal mungkin. Berikut
adalah rumus yang digunakan (Bina Marga, 1997):
𝑥
y = (0,5𝐿𝑣 )2 𝐸𝑣
Dimana:
Lv = Lengkung Vertikal (m)
Ev = Pergeseran vertikal (m)
2.5.1 Stationing
Stationing atau penomoran panjang jalan pada tahap perencanaan
merupakan memberi nomor di interval tertentu dari awal-akhir proyek. Nomor
jalan (Sta) kan untuk sarana informasi untuk mengenali lokasi yang sedang
ditinjau dengan cepat. Format umum stationing adalah X + YYY, ZZZ.
Dimana X adalah besaran kilometer, Y adalah besaran meter, dan Z adalah
besaran perseribuan meter. Contoh Sta 5 + 200, berarti lokasi jalan terletak di
jarak 5 km dan 200 m dari awal pekerjaan. Selain itu, ada interval berdasarkan
TPGJAK untuk masing-masing penomoran jika tidak ada perubahan arah
tangen pada alinemen horizontal maupun vertikal.
a. Setiap 100 meter untuk daerah datar
b. Setiap 50 meter untuk daerah berbukit
c. Setiap 25 meter untuk daerah pegunungan
Perhitungan stationing pada gambar di atas adalah sebagai berikut:
Sta TC = Sta titik A + d1 – T Sta SC = Sta TS + Ls
Sta CT = d1 + T Sta ST = d2 + Ts
Sta TS = Sta CT + (d2 – T – Ts) Sta CS = Sta ST – Ls
26
Gambar 2.10 Stationing
a:b = (L – x) : x
ax =b.L–b.x
ax + bx = b . L
(a + b) x = b . L
b. L
x = a+b
27
2. Metode Average End Area Method
Metode ini untuk menentukan luas galian dan timbunan pada
penampang. Volume galian (G) adalah rata-rata luas galian dari
dua penampang berurutan dikali dengan jarak antara kedua
penampang tersebut.
0,5 (G1 + G2) d
Volume timbunan (T) adalah rata-rata dari dua penampang
dikali dengan jaraknya.
0,5 (T1 + T2) d
28