Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

Dosen Pengampu:

Ir. Resdiansyah, ST., MT., Ph.D

Disusun oleh:

Aqilla Dhaifa Anjani 2020091003

Adhie Pahlawan 2020091005

Aryo Bimo Sutoyo 2020091009

Faishal Hadi Azzahri 2020091046

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN DESAIN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan merupakan sarana transportasi darat yang memiliki peranan sangat
penting dalam pengembangan suatu wilayah. Dengan berkembangnya suatu wilayah
akan meningkatkan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi. Transportasi
merupakan salah satu cara penting untuk membantu masyarakat dalam menunjang
aktivitasnya sehingga dapat mendukung keberlanjutan dalam segala aspek.
Keberhasilan transportasi domestik terlihat dari transportasi yang mudah diakses dan
ramah bagi semua pengguna. Selain itu, banyaknya lalu lintas yang ada
menimbulkan masalah tersendiri jika tidak tersedia infrastruktur yang cukup untuk
menampungnya. Pada kondisi tersebut apabila tidak segera mungkin di antisipasi,
dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya permasalahan transportasi seperti,
kemacetan, kerusakan jalan, dan sebagainya (Badrujaman, 2016).

Salah satu infrastruktur yang sangat penting adalah jalan raya. Jalan memiliki
peranan penting dalam kehidupan diantaranya berbagai jenis transportasi seperti
memperlancar arus distribusi barang dan jasa. Dalam merancang suatu jalan raya,
ada berbagai pertimbangan yang harus dilakukan dalam mengerjakan pembangunan
atau konstruksinya. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan seperti pembuatan
trase jalan yang harus memperhatikan tidak hanya dari sisi kontur maupun ketinggian
tetapi juga wilayah dan daerah rawan bencana.

Perencanaan jalan raya, termasuk perencanaan geometrik, dimana jalan dan


ruas-ruasnya disesuaikan dengan susunan dan karakteristik lalu lintas yang akan
dilalui oleh pengguna jalan. Terdapat aspek-aspek yang terlibat dalam perencanaan
geometrik, yaitu perencanaan jalan, seperti lebar jalan, tikungan, kemiringan,
visibilitas untuk menyiap, dan kombinasi dari bagian-bagian ini. Dari denah
geometris yang telah dilakukan diharapkan dapat menciptakan komposisi dan
kombinasi yang baik

Dari perencanaan geometrik yang telah dilakukan, diharapkan dapat tercipta


kombinasi yang baik antara ruang dan waktu untuk kendaraan yang bersangkutan,
sehingga menghasilkan efisiensi keamanan dan kenyamanan yang terbaik. Selain
itu, dapat memenuhi fungsi dasar jalan yaitu pelayanan arus lalu lintas secara
optimal dan sebagai akomosasi untuk akses ke rumah-rumah. Saat merancang dan
merencanakan jalan raya, yang terbaik adalah menghindari galian (cut) dan
penimbunan (fill). Di sisi lain, kendaraan yang melaju di jalan raya membutuhkan
jalan yang relatif lurus tanpa tanjakan atau turunan.

Faktor dasar dalam perencanaan geometrik adalah sifat gerak, ukuran


kendaraan, karakteristik pengemudi dalam mengendalikan kendaraan, dan
karakteristik arus lalu lintas. Hal ini menjadi bahan pertimbangan perencanaan
untuk menghasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan, yang
dapat memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang dinginkan pengguna
jalan.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mendesain jalan dengan jarak terpendek dan sedatar mungkin sehingga mudah
untuk dilewati.
2. Mengetahui dan memahami cara menentukan trase dan menghitung titik
koordinat.
3. Mengetahui dan memahami cara menentukan klasifikasi jalan dan jarak pandang
henti. Berdasarkan kriteria perencanaan geometrik seperti kendaraan rencana,
volume lalu lintas, kapasitas jalan, tingkat pelayanan jalan, kecepatan rencana dan
gaya-gaya yang bekerja.
4. Mengetahui dan memahami cara menentukan dan merancang alinemen horizontal
dan vertikal.
5. Mengetahui dan memahami cara membuat diagram superelevasi.
6. Mengetahui dan memahami cara merancang perkerasan jalan.
7. Mengetahui dan memahami cara membuat profil melintang dan memanjang jalan.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Jalan dan Klasifikasi Jalan


2.1.1 Jalan
Jalur lalu lintas menurut Silvia Sukirman (1999), adalah bagian
perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu
lintas terdiri terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan. Lajur kendaraan yaitu
bagian dari jalur lalu lintas yang diperuntukkan untuk dilewati oleh satu
rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah. Jumlah lajur
minimaluntuk jalan 2 arah ada 2 yang biasa disebut sebagai jalan 2 lajur 2
arah. Jalur lalu lintas untuk 1 arah minimal terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala


bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada dipermukaan tanah, di bawah
tanah dan di permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel
(UU No.38 Tahun 2004).

2.1.2 Klasifikasi Jalan


Jalan terdiri atas 4 klasifikasi yaitu klasifikasi menurut fungsi jalan,
kelas jalan, medan jalan, dan wewenang pembinaan jalan. Menurut Bina
Marga dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik jalan Kota (TPGJAK) No.
038/T/BM/1997.

2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan


Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:
1. Jalan Arteri
Jalan umum yang digunakan oleh angkutan umum dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan pembatasan
jumlah jalan masuk dibatasi secara efisiensi.
2. Jalan Kolektor
Jalan umum yang digunakan untuk kendaraan angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri- ciri kecepatan perjalanan jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Jalan umum yang digunakan untuk kendaraan angkutan lokal dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan ada
pembatasan pada jalan masuk.
4. Jalan Lingkungan
Jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan lingkungan
dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Sistem Jaringan


Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 terdapat sistem jaringan
terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan
sekunder, sistem jaringan sebagai berikut:
1. Sistem jaringan jalan primer merupakan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang terwujud pusat-pusat kegiatan.
2. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa di dalam
kawasan perkotaan.
2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan
jalan untuk menerima beban lalu lintas. Hal ini dijelaskan dalam
muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut Kelas Jalan
Muatan Sumbu Terberat
Fungsi Kelas
MST (ton)
I II > 10
Arteri IIIA 10
8
IIIA
Kolektor 8
IIIB

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga (1997)
2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan
Medan jalan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Berdasarkan TPGJAK
yang dikeluarkan oleh Bina Marga (1997) dalam mempertimbangkan
keseragaman kondisi medan jalan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan pada bagian-bagian kecil dari segmen jalan
tersebut. Berikut tabel klasifikasi medan jalan untuk perencanaan
geometri mengacu pada Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota (Bina Marga, 1997):

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut Medan Jalan


No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3-25
3 Pegunungan G > 25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

2.1.2.5 Klasifikasi Jalan menurut Wewenang Pembinaan Jalan


Berdasarkan klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya
sesuai PP. No.26/1985 adalah Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan
Kabupaten/Kotamadya, Jalan Desa, dan Jalan Khusus. Berikut
klasifikasi wewenang pembinaan jalan, yaitu:
a. Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi, jalan strategis nasional, serta jalan tol.
b. Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan
jalan strategis provinsi.
c. Jalan Kabupaten/Kotamadya merupakan jalan lokal dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan
lokal,

serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam


wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
d. Jalan Kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam
kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil,
menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat
permukiman yang berada dalam kota.
e. Jalan desa menurut UU No. 22 Tahun 2009 adalah jalan umum
yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di
dalam desa, serta jalan lingkungan.
2.2 Parameter Perencanaan
2.2.1 Kendaraan Rencana

Menurut Bina Marga (1997) Kendaraan rencana merupakan kendaraan


yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan
geometrik dengan standar tertentu (bentuk, ukuran, dan kemampuan).
Kendaraan rencana dikelompokkan kedalam 3 kategori:
1. Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

2. Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2
as,

3. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.


Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana

Sumber: TPGJAK, Bina Marga, 1997

2.2.2 Volume Lalu Lintas


Volume Lalu Lintas harian rata-rata (VLHR) adalah perkiraan
volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam

satuan mobil penumpang per hari (SMP/hari). Agar tercipta kenyamanan dan
keamanan, volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan
yang lebih lebar (Bina Marga, 1997). Jalan yang terlalu lebar untuk volume
lalu lintas rendah cenderung membahayakan, karena pengemudi cenderung
mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan
kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Selain itu mengakibatkan
peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada tempatnya.
a. Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan mobil penumpang merupakan angka satuan kendaraan
dalam hal kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan
memiliki satu satuan mobil penumpang.
Tabel 2.4 Satuan Mobil Penumpang (smp)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

b. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)


Ekivalensi mobil penumpang merupakan faktor konversi untuk
menyetarakan berbagai jenis kendaraan yang beroperasi di suatu ruas
jalan kedalam satu jenis kendaraan yakni mobil penumpang. Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 telah menetapkan nilai EMP
untuk berbagai jenis kendaraan bermotor atau kendaraan lainnya
sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (Ekivalen
penumpang = 1,0).
Tabel 2.5 Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

No. Jenis Kendaraan Datar/Perbukitan Pegunungan

1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1 1

2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 – 2,4 1,9 – 3,5

3 Bus dan Truck Besar 1,2 – 5,0 2,2 – 6,0

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
c. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
LHRT harus mempunyai data jumlah kendaraan yang terus
menerus selama 1 tahun penuh. Maka dengan kondisi tersebut dapat
pula dipergunakan satuan “Lalu lintas Harian Rata-rata (Bina Marga,
1997)”. Mengingat biaya yang diperlukan dan membandingkan dengan
ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di Indonesia
mempunyai data volume lalu lintas selama 1 tahun.
Jumlah lalu lintas selama pengamatan
LHR = Lamanya pengamatan

d. Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT)

Menurut Bina Marga (1997) LHRT merupakan jumlah lalu lintas


kendarann rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan
diperoleh dari data selama satu tahun penuh. LHRT dinyatakan dalam
SMP/hari/2 arah,atau kendaraan /hari/2 arah untuk 2 jalur 2 arah,
SMP/hari/1 arah atau kendaraan/hari/1 arah untuk jalan berlajur banyak
dengan median. Lalu lintas harian rata –rata adalah volume lalu lintas
rata-rata dalam satu hari. Dari cara memperoleh data tersebut dikenal 2
jenis Lalu lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) dan Lalu lintas
Harian Rata-Rata (LHR).
Jumlah lalu lintas dalam 1 tahun
LHR = 365

e. Volume Jam Rencana


Volume Jam Rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu lintas
pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam satuan
mobil penumpang per jam (SMP/jam). VJR dapat digunakan untuk
menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang
diperlukan (Cahyadi, 2015)
VJR = VLRH x K
F

Keterangan:

VLRH = Volume lintas harian rata-rata tahunan (SMP/jam)


K = Faktor volume lalu lintas jam sibuk

F = Faktor variasi tingkat lalu lintas per seperempat jam dalam


satu jam

Tabel 2.6 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-Rata
VLHR FAKTOR-K (%) FAKTOR-F (%)
> 50.000 4-6 0,9-1
30.000 - 50.000 6-8 0,8-1
10.000 - 30.000 6-8 0,8-1
5.000 - 10.000 8-10 01,6-0,8
1.000 - 5.000 10-12 0,6-0,8
< 1.000 12-16 < 0,6
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
2.2.3 Dimensi Jalan
Dimensi jalan adalah ukuran-ukuran pada jalan, yakni lebar jalur, bahu
jalan, dan sebagainya. Berikut adalah dimensi yang ditentukan menurut Tata
Cara Perencanaan Geometrik jalan Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997:

Tabel 2.7 Dimensi Jalan

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik jalan Kota (TPGJAK) No. 038/T/BM/1997

2.2.4 Kecepatan Rencana


Kecepatan rencana pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
merupakan dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan

bergerak dengan aman dan nyaman. Ketika melewati kondisi medan yang sulit,
kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa
penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam (Sukirman. 1999).

Tabel 2.8 Kecepatan Rencana, VR, sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

2.2.5 Jarak Pandang


Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi, apabila pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, maka pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk
menghindari bahaya tersebut.
a. Jarak Pandang Henti
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh
setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman
ketika melihat adanya halangan di depan. Jarak pandang henti dapat
diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105
cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan menurut
Silvia Sukirman (1999).
Adapun formulasi jarak pandang henti adalah :
Jh = Jht + Jhr
Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :

Jh = 0,694 VR
Untuk jalan datar :
2
Jh = 0,694 VR + 0,004 VR
fp
Keterangan:
Jh : jarak pandang henti (m)
fp : koefisien gesek antara ban dan muka jalan dalam
perkerasan jalan aspal, fp akan kecil jika kecepatan
(Vr) semakin tinggi. (fp = 0,35 – 0,55)
Vr : kecepatan kendaraan (km/jam)
T : Waktu reaksi normal (2,5 s)
g : Percepatan gravitasi (9,8 m/s2)

Jarak pandangan henti minimum untuk kecepatan tertentu


dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.9 Jarak pandangan henti minimum untuk kecepatan tertentu

Kecepatan Rencana (km/jam) 80 60 50 40 30 20

Jarak Pandang Henti Minimum


120 75 55 40 25 15
(m)
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

Berdasarkan TPGJAK yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal


Bina Marga (1997) Jarak Pandang henti terdiri dari dua hal, yaitu:
a. Jarak tanggap (Jht) adalah jarak kendaraan sejak pengemudi sadar
melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai
saat pengemudi menginjak rem.

b. Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk


menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti
𝑉𝑟
𝑉𝑟 (3,6)2
JPH = 3,6
𝑇+ 2𝑔𝑓

Keterangan:
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
T = Waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = Percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal,
ditetapkan 0,35-0,55
b. Jarak Pandang Mendahului atau Menyiap
Jarak pandang mendahului adalah jarak yang memungkinkan
suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman
sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Jadi diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tingi halangan adalah 105 cm.

Jd = d1 + d2 + d3 + d4

Keterangan:

d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)

d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan


kembali kelajur semula (m)
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan
yangdatang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
(m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 213 d2 (m)

Tabel 2.10 Panjang Jarak Pandang Mendahului

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

2.2.6 Tingkat Pelayanan


Tingkat pelayanan jalan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk
mengetahui kualitas suatu ruas jalan dalam melayani arus lalu lintas yang
melewatinya. Hal ini disebabkan oleh tingkat kenyamanan dan keamanan yang
akan diberikan oleh jalan rencana yang belum ditentukan. Kebebasan bergerak
yang dirasakan oleh pengemudi akan lebih baik pada jalan-jalan dengan
kebebasan samping yang memadai. Berdasarkan acuan Highway Manual
Capacity terdapat tingkat kenyamanan dan pelayanan jalan atas 6 keadaan,
berikut tingkat kenyamanan tersebut:
a. Tingkat Pelayanan A
Pada tingkat pelayanan A pelayanan jalan memasuki ciri-ciri
pada tingkat pelayanan A yaitu dengan tingkat arus lalu lintas tanpa
hambatan serta volume dan kepadatan pun cukup rendah.

b. Tingkat Pelayanan B

Pada tingkat pelayanan B terdapat lalu lintas yang memiliki arus


yang stabil sehingga pada tingkat pelayanan B ini terdapat kecepatan
kendaraan yangdipengaruhi oleh keadaan lalu lintas.

c. Tingkat Pelayanan C
Pada tingkat pelayanan C memiliki arus yang masih stabil
sehingga pada tingkat pelayanan ini terdapat kecepatan kendaraan yang
mulai dipengaruhi oleh besarnya volume lalu lintas.

d. Tingkat Pelayanan D
Pada tingkat pelayanan D memiliki arus yang sudah tidak stabil
sehingga pada tingkat pelayanan ini terdapat perubahan volume lalu
lintas yang mempengaruhi besarnya kecepatan kendaraan dalam
berjalan.

e. Tingkat Pelayanan E
Pada tingkat pelayanan E memiliki arus yang tidak stabil oleh
karena itu, pada tingkat pelayanan ini terdapat perubahan volume lalu
lintas yang sama dengan kapasitas jalan maka mengakibatkan
terjadinya kemacetan pada jalan tersebut.

f. Tingkat Pelayanan F
Pada tingkat pelayanan F memiliki arus yang tidak stabil dan
kecepatan yang rendah karena pada tingkat pelayanan ini terdapat lalu
lintas yang rendah maka terjadi kemacetan.

2.3 Perencanaan Alinemen Horizontal


2.3.1 Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal
dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan” yang terdiri
dari
grais-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung (Silvia
Sukirman, 1994).
Alinemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung
disebut tikungan. Perencanaan geometri pada bagian lengkung untuk
mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan yang berjalan
pada kecepatan VR (Bina Marga, 1997).

2.3.2 Panjang Bagian Lurus


Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau
dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang
lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit sesuai (VR).

Tabel 2.11 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Sumber: TPGJAK, Bina Marga, 1997

2.3.3 Tikungan
2.3.3.1 Superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan


yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan
pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan V R. Nilai superelevasi
maksimum ditetapkan 4%-10% (Bina Marga, 1997).

2.3.3.2 Jari-jari Tikungan


Jari-jari tikungan minimum (Rmin)

Rmin VR 2
= 127 (emax + f)

Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m)

VR = Kecepatan Rencana (km/jam)


emax = Superelevasi maksimum (%)

Tabel 2.12 Panjang Jari-Jari Minimum

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997

Tabel 2.13 Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan Superlevasi

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997
2.3.3.3 Lengkung
Bagian lengkung terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
1. Spiral-Circle-Spiral (SCS)
Spiral-Circle-Spiral merupakan tikungan yang terdiri dari
satu lengkung circle dan dua lengkung spiral.

Gambar 2.1 Lengkung Spiral-Circle-Spiral

Perhitungan Spiral-Circle-Spiral adalah sebagai berikut:


LS 360
θ = x X =L LS2
S C S–
2R 2π 40R2

∆C = ∆ – 2θS k = XC – R sinθS
∆C
LC = x 2πR p = YC – R (1 – sinθS)
360
2

Y = LS TS = (R – p) tan + k
C 6R
2
(R−p)
ES = –R Ltotal = LC + 2LS

cos
2

2. Full Circle (FC)


Full circle merupakan tikungan yang bentuknya busur
lingkaran penuh dan mempunyai satu titik pusat lingkaran dengan
jari-jari yang sama.
Gambar 2.2 Lengkung Full Circle

Perhitungan Full Circle adalah sebagai berikut:


1
TC = R tan ∆
2
∆C
LC = x 2πR
360
R 1
EC = – R atau EC = TC tan ∆

cos 4
2

3. Spiral-Spiral (SS)
Spiral-Spiral merupakan tikungan yang terdiri dari dua
lengkung spiral.

Gambar 2.3 Lengkung Spiral-Spiral


Perhitungan Spiral-Spiral adalah sebagai berikut:
θ =1 ∆ 2
LS
X =L –
S S
C
2 40R2

∆C = 0 k = XC – R sinθS
LC = 0 p = YC – R (1 – sinθS)
2

YC = LS TS = (R – p) tan + k
6R 2
(R−p)
ES = –R Ltotal = LC + 2LS
cos∆
2

2.3.3.4 Lengkung Peralihan


Lengkung peralihan merupakan lengkungan di antara bagian
lurus dan lengkung (Bina Marga, 1997). Berdasarkan hal tersebut,
maka panjang lengkung peralihan yaitu:
1. Berdasarkan waktu tempuh
VR X t
LS = 3,6

2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal (metode SHORTT)


3
VR
L = 0,022 x
S RC X C – 2,727 x VR X e
C
3. Berdasarkan tingkat capaian perubahan kelandaian
em − en
LS = x Vr
3,6 X re

2.3.4 Pemeriksaan Pelebaran Perkerasan


1. Perhitungan Pelebaran pada Tikungan
Kendaraan yang sedang bergerak lurus menuju tikungan, kerap tidak
dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang disediakan. Hal
tersebut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
 Saat kendaraan berbelok, yang diberi belokan pertama hanya roda
depan, mengakibatkan lintasan roda belakang sedikit keluar jalur.
 Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berhimpit, dikarenakan bemper
depan dan belakang akan memiliki lintasan yang berbeda dengan
lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
 Pengemudi akan kesulitan dalam mempertahankan lintasannya
tetap pada jalur di tikungan tajam atau pada kecepatan tinggi.

Kesulitan dalam mempertahankan lintasan kendaraan pada tikungan


adalah latar belakang diperlukannya pelebaran perkerasan pada tikungan.
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar penentuan pelebaran
tikungan adalah truk tunggal. Perhitungan tersebut dilakukan agar
diketahui apabila sebuah tikungan dibutuhkan pelebaran. Berikut adalah
cara perhitungannya:

Dimana:
B = Lebar perkerasan pada tikungan (m)
b’ = Lebar lintasan pada tikungan
n = Jumlah jalur lalu lintas
Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan
Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi
C = Kebebasan samping (0,8 m)
P = Jarak ban muka dan ban belakang = 6,1
mA = Jarak ujung mobil dan ban depan = 1,2 m
Vr = Kecepatan rencana
R = Jari-jari tikungan

B = Lebar Total
L = Lebar badan jalan

2.Perhitungan Kebebasan Samping pada Tikungan


Daerah bebas samping di tikungan merupakan ruang yang menjamin
kebebasan pandangan pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan.
Daerah ini memberikan kemudahan padangan di tikungan dengan
membebaskan objek-objek penghalang sejauh M (m), yang diukur dari
garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan yang
memenuhi syarat. Daerah kebebasan samping di tikungan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut (Bina Marga, 1997):
90𝑥𝐽𝑃𝐻
𝜃= 𝜋𝑅

m = R(1 – Cos 𝜃)
Dimana:
M = jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m)
𝜃 = setengah sudut pusat sepanjang L(°)
R = radius sumbu lajur sebelah dalam
(m) JPH = jarak pandang henti (m)

2.4 Perencanaan Alinemen Vertikal


2.4.1 Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan
permukaan perkerasan jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan
jalan dengan median atau melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah.
Sering juga disebut sebagai penampang memanjang jalan.
Alinemen vertikal terdiri dari bagian landai dan lengkung vertikal.
Ditinjau dari titik awal rencana, bagian landai vertikal dapat berupa landai
positif (tanjakan), landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Sedangkan
bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung
cembung (Bina Marga, 1997).

2.4.2 Landai Maksimum


Landai maksimum diperlukan untuk memungkinkan kendaraan bergerak
tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasari oleh
kecepatan truk bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan
kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan semula tanpa menggunakan gigi
rendah (Bina Marga, 1997).

22
Tabel 2.14 Kelandaian Maksimum yang Diizinkan
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40
Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997.

2.4.3 Panjang Kritis


Panjang kritis merupakan panjang landai maksimum yang disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa
sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari setengan V R. Lama perjalanan
ditetapkan < 1 menit (Bina Marga, 1997).

Tabel 2.15 Panjang Kritis Kelandaian yang Melebihi Kelandaian Maksimum Standar

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997.

2.4.4 Lengkung Vertikal


Lengkung vertikal perlu disediakan di setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian untuk mengurangi guncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti (Bina Marga, 1997). Panjang
lengkung vertikal dapat ditentukan langsung berdasarkan penampilan,
kenyamanan, serta jarak pandang.
Tabel 2.16 Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Perbedaan
Panjang
Rencana Kelandaian
Lengkung (m)
(km/jam) Memanjang (%)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 – 150
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Bina Marga, 1997.
23
Lengkung vertikal mempunyai 2 jenis lengkung dari letak titik
perpotongan bagian lurus, yaitu lengkung vertikal cembung dan lengkung
vertikal cekung.
a. Lengkung Vertikal Cembung
Lengkung vertikal cembung merupakan lengkung yang memiliki
titik perpotongan antara kedua bagian lurus di atas permukaan jalan.

Gambar 2.4 Lengkung Vertikal Cembung

Lengkung vertikal cembung dibedakan menjadi 2 berdasarkan jarak


pandang.
1. Jarak pandang berada sepenuhnya dalam daerah lengkung S < L

Gambar 2.5 Jarak pandang dalam daerah lengkung S < L

2. Jarak pandang berada sepenuhnya dalam daerah lengkung S > L

Gambar 2.6 Jarak pandang dalam daerah lengkung S > L

24
b. Lengkung Vertikal Cembung
Lengkung vertikal cekung merupakan lengkung yang memiliki titik
perpotongan antara kedua bagian lurus di bawah permukaan jalan.
Lengkung vertikal cekung dibedakan menjadi 2 berdasarkan jarak
pandang.

Gambar 2.7 Lengkung Vertikal Cekung

1. Jarak pandang akibat penyinaran lampu depan S < L

Gambar 2.8 Jarak pandang akibat penyinaran lampu depan S < L

2. Jarak pandang akibat penyinaran lampu depan S > L

Gambar 2.9 Jarak pandang akibat penyinaran lampu depan S > L

25
2.4.5 Penentuan Elevasi Kelengkungan As Jalan
Elevasi kelengkungan As jalan didasari oleh kontur asli dari tanah untuk
mendapatkan hasil galian dan timbunan yang seminimal mungkin. Berikut
adalah rumus yang digunakan (Bina Marga, 1997):
𝑥
y = (0,5𝐿𝑣 )2 𝐸𝑣

Dimana:
Lv = Lengkung Vertikal (m)
Ev = Pergeseran vertikal (m)

2.5 Stationing dan Galian-Timbunan

2.5.1 Stationing
Stationing atau penomoran panjang jalan pada tahap perencanaan
merupakan memberi nomor di interval tertentu dari awal-akhir proyek. Nomor
jalan (Sta) kan untuk sarana informasi untuk mengenali lokasi yang sedang
ditinjau dengan cepat. Format umum stationing adalah X + YYY, ZZZ.
Dimana X adalah besaran kilometer, Y adalah besaran meter, dan Z adalah
besaran perseribuan meter. Contoh Sta 5 + 200, berarti lokasi jalan terletak di
jarak 5 km dan 200 m dari awal pekerjaan. Selain itu, ada interval berdasarkan
TPGJAK untuk masing-masing penomoran jika tidak ada perubahan arah
tangen pada alinemen horizontal maupun vertikal.
a. Setiap 100 meter untuk daerah datar
b. Setiap 50 meter untuk daerah berbukit
c. Setiap 25 meter untuk daerah pegunungan
Perhitungan stationing pada gambar di atas adalah sebagai berikut:
Sta TC = Sta titik A + d1 – T Sta SC = Sta TS + Ls
Sta CT = d1 + T Sta ST = d2 + Ts
Sta TS = Sta CT + (d2 – T – Ts) Sta CS = Sta ST – Ls

26
Gambar 2.10 Stationing

2.5.2 Galian dan Timbunan


Galian dan timbunan merupakan volume tanah akibat perbedaan tinggi
muka tanah asli dengan tinggi rencana trase. Galian dan timbunan akan
dilakukan jika alinemen horizontal dan vertikal dan penomoran telah pasti.
Volume galian dan timbunan akan menentukan harga pekerjaan pembangunan
jalan secara keseluruhan. Jenis tanah dipertimbangkan dalam menentukan
penggunaannya sebagai timbunan. Terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menghitung penampang tergantung dari bentuk penampang
tanah tersebut, yaitu:
1. Interpolasi

Gambar 2.11 Metode Interpolasi

a:b = (L – x) : x
ax =b.L–b.x
ax + bx = b . L
(a + b) x = b . L
b. L
x = a+b

27
2. Metode Average End Area Method
Metode ini untuk menentukan luas galian dan timbunan pada
penampang. Volume galian (G) adalah rata-rata luas galian dari
dua penampang berurutan dikali dengan jarak antara kedua
penampang tersebut.
0,5 (G1 + G2) d
Volume timbunan (T) adalah rata-rata dari dua penampang
dikali dengan jaraknya.
0,5 (T1 + T2) d

28

Anda mungkin juga menyukai