Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Perkembangan pada bidang kontruksi jalan seiring dengan perkembangan

perekonomian, industri dan perkembangan penduduk, konstruksi perkerasan

modern pada umumnya terdiri dari beberapa lapisan bahan dengan kualitas yang

berbeda-beda. Berdasarkan bahan pengikatnya, kontruksi perkerasan jalan dapat

di bedakan atas :

1. Kontruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan–lapisan

perkerasan bersifat memikul dan menyebar

2. Kontruksi perkerasan kaku (Rigid Pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikat pelat

beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan

atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar

dipikul oleh pelat beton.

3. Kontruksi perkerasan komposit (Composite Pavement) yaitu

perkerasan kaku yang di kombinasikan dengan perkerasan lentur

diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.

Jika dipandang dari segi kemampuan memikul dan menyebarkan beban,

kontruksi perkerasan jalan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban/muatan

lalu lintas ketanah dasar.


5
b. Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap kelapisan

bawahnya.

c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh

diatasnya dapat dengan cepat dialirkan.

d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan

deformasi yang berarti.

2.2 Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu

lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah

permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan atau air, serta di atas permukaan

air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel (UU No. 38 tahun 2004).

Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 (empat) klasifikasi yaitu:

klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifikasi menurut kelas jalan, klasifikasi

menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan

Bina Marga (1997)

2.2.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu :

1. Jalan arteri

yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri–ciri perjalanan

jarak jauh, kecepatan rata–rata tinggi, dan jumlah kendaraan masuk

dibatasi secara efisien.

6
2. Jalan kolektor

yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan

ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah

jalan masuk dibatasi.

3. Jalan lokal

yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan

jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak

dibatasi.

2.2.2 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk

menerima beban lalu lintas, yang dinyatakan dalam Muatan Sumbu

Terberat (MST) dalam satuan ton.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan.

Muatan Sumbu
Fungsi Kelas Terberat MST
(Ton)
I >10
Arteri II 10
III A 8
III A 8
Kolektor III B 8

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,


Ditjen Bina Marga, 1997

7
2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasar kondisi sebagian besar kemiringan

medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman medan jalan yang

diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut

rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil

dari segmen rencana jalan tersebut

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan

NO Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1. Datar D <3

2. Perbukitan B 3-25

3. Pegunungan G > 25
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Ditjen Bina Marga 1997

2.2.4 Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan Nasional,

Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten Atau Kota Madya Dan Jalan Desa

1. Jalan Nasional

Merupakan jalan arteri dan kolektor dalam sistem jaringan primer

yang menghubungkan antar ibu kota provinsi dan jalan strategis

nasional, serta jalan tol.

8
2. Jalan Provinsi

Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten atau

kota, atau antar ibu kota kabupaten atau kota dan jalan strategis

provinsi.

3. Jalan Kabupaten

Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak

termasuk jalan yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu

kota kecamatan, antar ibu kota kecamatan, ibu kota kabupaten dengan

pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan sekunder

dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

4. Jalan Kota

Merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder, yang

menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan

pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta

menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota.

5. Jalan Desa

Merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan atau antar

permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan

9
2.3 Perkerasan Jalan
Merupakan bagian dari jalan raya yang diperkeras dengan lapis konstruksi

tertentu yang memiliki ketebalan, kekuatan, kekakuan serta kestabilan tertentu

agar mampu menyalurkan beban lalu- lintas diatasnya ke tanah dasar. Lapisan

Perkerasan jalan adalah suatu struktur konstruksi yang terdiri dari lapisan-lapisan

yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut

berfungsi untuk menerima beban lalu lintas yang berada diatasnya menyebar

kelapisan dibawahnya. Perkerasan Jalan menggunakan campuran agregat dan

bahan ikat. Agregat yang dipakai adalah batu pecah, batu belah, batu kali atau

bahan lainnya, sedangkan bahan ikat yang dipakai adalah aspal, semen ataupun

tanah liat.

Beban lalu lintas yang bekerja di atas konstruksi perkerasan meliputi :

1. Beban/gaya vertikal (berat kendaraan dan berat muatannya).

2. Beban/gaya horisontal (gaya rem kendaraan).

3. Getaran-getaran roda kendaraan.

Perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas

tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu sendiri,

sehingga akan memberikan kenyamanan kepada si pengemudi selama masa

pelayanan jalan tersebut. Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan

pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas :

1. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan

perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah


10
dasar.

2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigid Pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat

beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan

atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul

oleh pelat beton.

3. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan

kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa

perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas

perkerasan lentur.

2.3.1 Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Merupakan campuran agregat batu pecah, pasir, material pengisi, dan

aspal yang dihamparkan dan dipadatkan. Konsep dasar dalam perancangan

perkerasan lentur, yaitu dengan menghamparkan lapisan-lapisan permukaan dan

lapis pondasi beserta lapisan-lapisan antaranya, sedemikian hingga regangan pada

tanah dasar dapat dikendalikan guna mencegah terjadinya defleksi permanen.

Perancangan perkerasan lentur didasarkan pada kombinasi teori elastis dan

pengalaman. Teori elastis digunakan untuk menganalisis regangan dalam setiap

lapisan agar defleksi berlebihan tidak terjadi. Pengalaman digunakan untuk

menentukan parameter-parameter kinerja yang digunakan untuk memprediksi

jumlah pengulangan beban yang dapat mengakibatkan retaknya perkerasan

(Hardiyatmo, 2011).

11
Struktur perkerasan lentur biasanya terdiri dari lapisan permukaan (surface

course), lapisan pondasi bawah (sub base), lapisan pondasi atas (base couse),

serta lapisan tanah dasar (sub grade). Komponen-komponen perkerasan lentur

memiliki beberapa peran diantaranya yaitu:

1. Lapisan Permukaan (Surface Course)

Merupakan lapisan paling atas dari perkerasan lentur yang terletak di atas

lapis pondasi. lapis permukaan (surface course) juga disebut lapis aus (wearing

course). Lapis permukaan direncanakan dengan permukaan yang halus/rata dan

bisa memberikan keamanan.

Lapis permukaan aspal dalam perkerasan lentur dapat dibagi menjadi beberapa

sub-lapisan yang terdiri atas :

a. Seal Coat

Suatu tipe perawat permukaan yang biasanya digunakan untuk

pemeliharaan lapis permukaan. Aspal seal coat yang diletakkan diatas lapis

aus merupakan lapisan untuk melindungi perkerasan terhadap air, dan

memperbaiki tekstur lapis aus aspal (menambah kekesatan).

b. Lapis Aus (Wearing Course)

Lapisan berupa beton aspal bergradasi padat yang terletak pada lapisan

paling atas dari perkerasan jika tanpa(seal coat). Lapisan ini merupakan

lapisan kedap air, mempunyai tahanan gelincir, tahan terhadap

terbentuknya alur dan mempunyai kehalusan.

12
c. Lapis pengikat (Binder Course)

Disebut lapis Pondasi aspal (Asphalt Base Course) adalah lapisan

campuran aspal panas yang diletakkan dibawah lapis aus. Lapisan ini

digunakan sebagai bagian dari lapisan aspal yang tebal.

2. Lapis Pondasi (Base Course)

Lapisan pondasi (base course), merupakan elemen struktural utama

perkerasan yang berfungsi:

a. Menjaga tanah dasar supaya tidak mengalami tekanan berlebihan

yang disebabkan oleh tekanan beban-beban lalu lintas.

b. Sebagai dasar peletakan lapis permukaan.

c. Menyediakan fungsi drainase, bila air hujan merembes lewat retakan

atau sambungan. Lapis pondasi sebagai pelindung tanah dasar harus

memiliki ketahanan terhadap deformasi yang lebih tinggi.

13
3. Lapis Pondasi Bawah (Sub base Course)
Lapis pondasi bawah digunakan untuk membentuk lapisan perkerasan

yang relatif cukup tebal (untuk maksud penyebaran beban), tetapi dengan

biaya yang lebih murah. Material yang digunakan adalah material dengan kualitas

lebih rendah dari lapis Pondasi tetapi masih lebih tinggi kualitasnya dibandingkan

dengan tanah dasar.

4. Lapisan Tanah Dasar (Base)


Tanah dasar merupakan fondasi yang secara langsung menerima beban

lalu lintas dari lapis perkerasan yang berada diatasnya. Peran tanah dasar dalam

perancangan perkerasan jalan sangatlah penting, karena lapisan perkerasan, lapis

Pondasi, dan lapis Pondasi bawah sangat bergantung terhadap stabilitas struktur

tanah dasar.

Gambar 2.1 susunan lapisan perkerasan lentur


Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan

14
Gambar 2.2 Penyebaran Beban Pada Perkerasan Lentur
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan

2.3.2 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku adalah perkerasan yang terdiri dari pelat beton semen

Portland yang dibangun di atas lapis pondasi (base) yang berada di atas tanah

dasar.

Gambar 2.3 Susunan Lapisan Perkerasan Kaku


15
sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Gambar 2.4 Penyebaran Beban Pada Perkerasan Kaku


Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan

2.3.3 Konstruksi Perkerasan Komposit

Perkerasan komposit adalah perkerasan gabungan antara perkerasan beton

semen portland dan perkerasan aspal. Perkerasan terdiri dari lapis beton aspal

(asphalt concrete, AC) yang berada di atas perkerasan beton semen portland atau

lapis fondasi yang dirawat.Konstruksi perkerasan jalan dari teknik komposit

sebenarnya menggabungkan unsur kaku atau rigid pavement dengan lapisan

perkerasan lentur atau flexible pavement. Dari kedua metode tersebut memberi

beban lalu lintas sama dimana prosesnya bisa dilakukan lebih cepat bahkan

memberi hasil sempurna.

Berikut adalah gambar lapisan perkerasan komposit :

Gambar 2.5 Susunan Lapisan Perkerasan Komposit


16
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan

17
2.4 Perencanaan Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2017

Adapun ketentuan dan perhitungan tebal perkerasan lentur menggunakan

Metode Bina Marga 2017 yaitu sebagai berikut :

2.4.1 Daya Dukung Tanah Dasar

Panjang rencana jalan harus dibagi dalam segmen-segmen yang seragam

(homogen) yang mewakili kondisi pondasi jalan yang sama:

1. Apabila data yang cukup valid tersedia (minimal 16 data pengujian

persegmen yang dianggap seragam), formula berikut dapat digunakan :

a. CBR karakteristik = CBR rata-rata-1.3 x standard deviasi

b. Data CBR dari segmen tersebut harus mempunyai koefisien

variasi 25 %-30 % (standard deviasi/nilai rata-rata).

2. Bila set data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat

digunakan sebagai nilai CBR dari segmen jalan. Nilai yang rendah yang

tidak umum dapat menunjukan daerah tersebut membutuhkan

penanganan khusus, sehingga dapat dikeluarkan, dan penanganan yang

sesuai harus disiapkan.

2.4.2 Umur Rencana

Umur rencana jalan adalah jumlah waktu dalam tahun yang dihitung dari

dibukanya sebuah jalan (digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan

(overlay) atau telah dianggap perlu untuk memberikan lapis permukaan yang

baru agar jalan tersebut tetap berfungsi dengan baik sebagai yang direncanakan.

Berikut adalah tabel umur rencana perkerasan jalan berdasarkan Metode Bina

Marga 2017
18
Tabel 2.3 Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru (UR)

Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan Umur Rencana


(Tahun)
Perkeran Lentur Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20
Pondasi jalan
Semua perkerasan untuk daerah yang
tidak dimungkinkan pelapisan ulang
(overlay), seperti: jalan perkotaan,
40
underpass, jembatan, terowongan.

Lapis pondasi atas, lapis fondasi


Perkerasa Kaku bawah, lapis
beton semen, dan fondasi jalan.
Jalan tanpa penutup Semua elemen (ter masuk pondasi Minimal 10
jalan)

Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat


Direktorat Jenderal Bina Marga

19
2.4.3 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan data–data pertumbuhan series

(historical growth data) atau formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan lain

yang berlaku.

Tabel 2.4 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i) (%)

Rata-rata
Jawa Sumatera Kalimantan
Indonesia
Arteri dan
4,80 4,83 5,14 4,75
Perkotaan

Kolektor Rural 3,50 3,50 3,50 3,50

Jalan Desa 1,00 1,00 1,00 1,00


Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat
Direktorat Jenderal Bina Marga

Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor

pertumbuhan kumulatif (Cumulative Growth Factor)

UR
(0+i) −1
R= ................................................................................................2.1
i

Dimana :

R : Faktor pengali lalu lintas kumulatif

I : Laju pertumbuhan lalu luntas tahunan (%)

UR : Umur rencana (Tahun)

20
2.4.4 Menghitung LHR

Menghitung Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) Pada Waktu Pelaksanaan

Pekerjaan Jalan (Waktu Pelaksanaan 1 Tahun) Awal Jalan Dibuka Tahun 2021.

Rumus :

LHR 2021 = LHR 2020 x ( 1 + i ) ⁿ......................................................2.2

Dimana :

n = 2021 – 2020

n = 1 tahun

2.4.5 Faktor Ekivalen Beban (VDF)

Perkiraan faktor ekivalen beban (Vehicle Damage Factor) dapat diperoleh

dari

a. Studi jembatan timbang/timbangan statis lainnya khusus untuk ruas jalanyang

didesain.

b. Studi jembatan timbang yang pernah dilakukan sebelumnya dan dianggap

cukup representatif untuk ruas jalan yang didesain.

c. Data WIM regional yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Teknik.

21
Berikut dalah tabel kladifikasi kendaraan dan nilai VDF standar.

Tabel 2.5 Klasifikasi kendaraan dan nilai VDF standar

Sumbe

r : Bina Marga 2017

 Rumus Menghitung ESA masing-masing kendaraan niaga

ESA= Ʃ (LHR jenis kendaraan×VDF×365 xDD×DL×R)........................2.3

 Rumus Menghitung CESA5

CESA5= ESA 5(20−21) + ESA 520−40 ¿ ¿………………………………....2.4

22
Faktor distribusi lajur (DL) untuk kendaraan niaga ditetapkan dalam tabel

berikut :

Tabel 2.6 Faktor distribusi lajur (DL)

Jumlah Lajur Kendaraan niaga pada lajur desain


Setiap Arah
(% terhadap populasi kendaraan niaga)

1 100

2 80-100

3 60-80

4 50-75

Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan

Adapun Faktor distribusi arah ( D D) dapat dapat diambil :

D D= 0,3 -0,7 (umumnya di ambil 0,5 )..................................................2.5

Dimana :
D D = 0,5
D L = 100 %
= (0,10)

23
2.4.6 Menentukan Tebal Perkerasan Menggunakan Bagan Desain

Menurut Bina Marga 2017, solusi perkerasan yang banyak dipilih didasarkan

pada pembebanan dan pertimbangan biaya terkecil. Desain harus melihat batasan-

batasan termasuk ketebalan lapisan di dalam Tabel 2.7 Jika dalam bagan desain

ditentukan bahwa suatu bahan dihamparkan dalam tebal yang lebih besar dari yang

diijinkan dalam tabel, maka bahan tersebut harus dihamparkan dan dipadatkan dalam

beberapa lapisan. Berikut ini adalah bagan desain perkerasan Lentur :

Tabel 2.7 Bagan Desain-3B Tebal Lapisan Perkerasan Lentur

Struktur Perkerasan

FFF
FFF1 FFF2 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9
3

Solusi yang dipilih Lihat Catatan 2

Kumulatif beban
sumbu 20 tahun > 20- >50- >100-
<2 ≥ 2-4 > 4-7 > 7-10 > 10-20 >30-50
pada lajur rencana ( 30 100 200
106 ESA5)
KETEBALAN LAPIS PERKERASAN (mm)

AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40

AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60

AC Base 0 70 80 105 145 160 180 210 245

LPA Kelas A 400 300 300 300 300 300 300 300 300

Catatan 1 2 3
Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat
Direktorat Jenderal Bina Marga

24
AC-WC AC-BC AC-BASE
Lapisan pondasi atas
Lapisan pondasi bawah
Lapisan tanah dasar

Gambar 2.6 Detail Lapisan Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2017

Perencanaan Perkerasan Lentur Metode AASHTO 1993

Perencanaan perkerasan lentur menurut AASHTO 1993 menggunakan

parameter-parameter sebagai berikut :

1. Analisis lalu lintas yang mencakup umur rencana, lalu lintas harian

rata-rata, pertumbuhan lalu lintas tahunan, jumlah ESAL total.

2. Indeks kemampuan pelayanan akhir (terminal serviceability index) (Pt).

3. Indeks kemampuan pelayanan awal (initial serviceability)(Po).

4. Kehilangan kemampuan pelayanan (serviceability loss).

5. Reabilitas (reability) (R).

6. Deviasi standar normal (normal standar deviation) (Zr).

7. Deviasi standar keseluruhan (overall standar deviation) (So)

8. Modulus resilient (Mr).

9. Koefisien lapisan (layer coefficient).

25
10. Koefisien drainase atau koefisien modifikasi lapisan.

11. Menentukan angka structural (SN)

12. Menentukan Tebal Perkerasan

2.5.1 Analisis Lalu Lintas

Untuk perhitungan analisis lalu lintas pada metode AASHTO 1993 ini

mencakup jumlah atau volume kendaraan yang lewat, serta Faktor Distribusi Arah

(DD) dengan nilai antara 0,3 – 0,7 dan Faktor Distribusi Lajur (DL). Untuk mencari

nilai W18 dapat digunakan Persamaan sebagai berikut.

Ŵ18 = LHR0 x E x DD x DL........................................................................(2.6)


n
1+ g −1
W18 = Ŵ 18 X 365 X .......................................................................(2.7)
g

Dimana

E = Angka ekivalen kendaraan.

DD = Faktor distribusi arah.

DL = Faktor distribusi lajur.

Ŵ18 = Jumlah beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.

W18 = Jumlah beban lalu lintas standar kumulatif umur rencana.

g = Tingkat pertumbuhan per tahun.

n = Umur rencana.

26
2.5.2 Indeks Kemampuan Pelayanan Akhir (Pt)

Indeks kemampuan pelayanan akhir (Pt) ditentukan dari survei pendapat yang

menyatakan sejauh mana perkerasan masih bisa diterima. Dari survei tersebut,

AASHTO (1993) memberikan pedoman nilai minimum Pt. AASHTO (1993)

menyarankan nilai-nilai kemampuan pelayanan akhir (Pt) sebagai berikut :

1. Jalan raya utama, Pt = 2,5 atau 3.

2. Jalan raya dengan lalu lintas rendah, Pt = 2,0.

3. Jalan raya relatife minor, Pt = 1,5.

Tabel 2.8 Indeks Kemampuan Pelayanan Akhir

Pt Persen Orang Berpendapat Tidak


Setuju
3,0 12 %
2,5 55 %
2,0 85 %
Sumber : AASHTO 1993

2.5.3 Indeks Kemampuan Pelayanan Awal (Po)

Kemampuan Pelayanan Awal (Po) bergantung pada tingkat kehalusan atau

kerataan perkerasan awal, sedangkan Kemampuan Pelayanan Akhir (Pt) bergantung

pada kekasaran atau tidak ratanya jalan yang masih memungkinkan untuk dilalui

kendaraan sebelum dilakukan rehabilitasi. Untuk nilai Po AASHTO (1993)

menyarankan sebagai berikut.

1. Untuk perkerasan beton atau perkerasan kaku, Po = 4,5.

2. Untuk perkerasan aspal atau perkerasan lentur, Po = 4,2.

27
2.5.4 Kehilangan Kemampuan Pelayanan (∆PSI)

Kehilangan kemampuan pelayanan total (total loss of serviceability) dapat

dihitung dengan Persamaan 2.8 sebagai berikut.

(∆PSI)= Po – Pt.....................................................................................(2.8)

2.5.5 Reliabilitas (R) dan Devisiasi Standar Normal (ZR)

Reabilitas meynyatakan tingkat kemungkinan bahwa perkerasan yang

dirancang akan tetap memuaskan selama masa pelayanan, nilai R tersebut digunakan

untuk mengakomodasi kemungkinan ketidaktepatan hitungan volume lintas dan

kinerja perkerasan. Nilai reliabilitas (R) berkisar antara 50% - 99,99% dan

menyatakan kemungkinan melesetnya besaran-besaran nilai parameter rancangan

yang dipakai. Semakin tinggi nilainya, semakin tinggi kemungkinan terjadinya

selisih antara hasil perancangan dan kenyataan. Nilai-nilai R yang disarankan oleh

AASHTO (1993) untuk perancangan berbagai klasifikasi jalan, bisa dilihat pada

Tabel 2.9, sedangkan untuk nilai-nilai ZR yang berhubungan dengan R bisa dilihat

pada Tabel 2.10 sebagai berikut.

28
Tabel 2.9 Nilai Reliabilitas (R)

Reliability : R (%)
Klasifikasi
jalan Urban Rural
Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9

Arteri 80 – 99 75 – 95

Kolektor 80 – 95 75 – 95

Lokal 50 – 80 50 – 80

Sumber : AASHTO 1993

Tabel 2.10 Hubungan antara R dengan ZR

R (%) ZR
50 - 0,000

60 - 0,253

70 - 0,524

75 - 0,674

80 - 0,841

85 - 1,037

90 - 1,282

91 - 1,340

92 - 1,405

93 - 1,476

94 - 1,555

95 - 1,645

29
R (%) ZR

96 - 1,751

97 - 1,881

98 - 2,054

99 - 2,327

99,9 - 3,090

99,99 - 3,750

Sumber : AASHTO 1993

2.5.6 Devisiasi Standar Keseluruhan (So)

Devisiasi standar keseluruhan (overall standard deviation, So) merupakan

parameter yang digunakan untuk memperhitungkan adanya variasi dari input data.

Deviasi standar keseluruhan dipilih sesuai dengan kondisi lokal. Untuk nilai So

AASHTO (1993) menyarankan :

1. Untuk perkerasan lentur : So diantara 0,40 – 0,50.

2. Untuk perkerasan kaku : So diantara 0,30 – 0,40.

Disarankan dalam AASHTO (1993), untuk nilai So perkerasan lentur (aspal)

0,45 dan untuk nilai So perkerasan kaku (beton) 0,35

30
2.5.7 Koefisien Lapisan (Layer Coefficient)

koefisien lapisan (ai) menyatakan hubungan empiris antara SN untuk suatu

struktur perkerasan dengan tebal lapisan, yang menyatakan kemampuan relatif dari

suatu material agar berfungsi sebagai satu komponen struktural dari perkerasannya,

koefisien lapisan yang diusulkan oleh AASHTO ditunjukan pada Tabel 2.11 sebagai

berikut :

Tabel 2.11 Koefisien Lapisan (ai)

Tipe ai (1/in)
Material
Lapis permukaan aspal, koefisien a1 :
Campuran aspal panas gradasi padat 0,44
Aspal pasir 0,40
Campuran dipakai ulang ditempat 0,20
Tipe Material ai (1/in

31
Tabel 2.11 Koefisien Lapisan (ai)

Tipe ai (1/in
Material

Lapis permukaan aspal, koefisien a1 :


Campuran dipakai ulang oleh pabrik 0,40 (0,40 - 0,44)
Lapis pondasi atas, koefisien a2 :
Batu pecah kelas A 0,14 (0,08-0,14)
Batu Pecah Kelas B 0,12
Batu Pecah Kelas C 0,14
Pondasi dirawat kapur 0,22 (0,15-0,30)
Pondasi dirawat semen 0,27
Tanah-semen 0,20
Pondasi dirawat aspal, gradasi kasar 0,34
Pondasi dirawat aspal, gradasi pasir 0,30
Campuran dipakai ulang diolah di tempat 0,40 (0,40-0,44)
Campuran dipakai ulang diolah di pabrik 0,44
Lapis pondasi bawah, koefisien a3 :
Kerikil berpasir 0,11
Lempung berpasir 0,08 (0,05-0,10)
Tanah dirawat kapur 0,11
Lempung dirawat kapur 0,16 (0,14-0,18)
Sirtu/Pirtun Kelas A 0,13
Sirtu/Pirtun Kelas B 0,12

Sirtu/Pirtun Kelas C 0,11

Sumber : AASHTO 1993

32
Menentukan kooefisien lapisan juga dapat ditentukan menggunakan grafik

berikut :

Gambar 2.7 Grafik Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Permukaan Beton Aspal (a1)
Sumber : AASHTO 1993

33
Gambar 2.8 Grafik Koefisien Kekuatan Relatif Lapis Pondasi Granular (a2)
Sumber : AASHTO 1993

34
Gambar 2.9 Grafik Koefisien Kekuatan Relatifz Lapis Pondasi Bawah Granular (a3)
Sumber : AASHTO 1993

2.5.8 Kualitas Drainase

Kondisi kualitas drainasi yang mempengaruhi kekuatan lapis pondasi dan

pondasi bawah. Penentuan kualitas Drainasi dilakukan dengan mempertimbangkan

hal-hal berikut.

1. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam

pondasi jalan.

2. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi

jalan dan muka air tanah yang tinggi di bawah tanah dasar.

35
3. Pendekatan waktu (lamanya) dan frekuensi hujan, yang rata-rata

terjadi hujam selama 3 jam per hari (hujan jarang terjadi secara terus

menerus selama 1 minggu).

Kualitas Drainase yang disarankan oleh AASHTO (1993) bisa dilihat pada

Tabel 2.12 sebagai berikut :

Tabel 2.12 Kualitas Drainase

Kualitas Drainase Air Tersingkir Dalam Waktu


Excellen 2 jam

Good 1 hari

Fair 1 minggu

Poor 1 bulan

Verypoor Air tidak terbebaskan

Sumber : AASHTO 1993

2.5.9 Koefisien Drainase (mi)

Dalam perencanaan perkerasan lentur perlu adanya koefisien Drainasi (mi).

Pengaruh dari kualitas Drainasi ini dinotasikan sebagai m2 (untuk lapis pondasi atas)

dan m3 (untuk lapis pondasi bawah). Penentuan koefisien Drainasi (mi) didasarkan

pada kualitas dan hari efektif hujan dalam setahun yang akan mempengaruhi

perkerasan. Untuk menentukan nilai persen hari efektif hujan dalam setahun yang

akan mempengaruhi perkerasan (P) maka kita harus mencari nilai faktor air hujan

yang masuk ke pondasi jalan (WL) menggunakan Persamaan 2.9 berikut.

36
WL = 1 – C...........................................................................................(2.9)

Dimana :

C = Koefisien pengaliran

Menurut DPU-Bina Marga (1990) menyatakan bahwa Nilai koefisien

pengaliran (C) untuk kondisi permukaan tanah jalan beton dan jalan aspal sebesar

0,70-0,95. Setelah mendapatkan nilai faktor air hujan yang masuk ke pondasi (WL)

maka selanjutnya mencari nilai persen hari efektif hujan dalam setahun yang akan

mempengaruhi perkerasan (P) menggunakan Persamaan 2.10 berikut.

TJ Th
P= x x WL x 100 ....................................................................................(2.10)
24 365

Tabel 2.13 Koefisien Drainasi dan Koefisien Modifikasi Kekuatan Lapisan (mi)

Persen waktu struktur perkerasan terkena


air hingga tingkat kelembabannya
Kualitas mendekati jenuh air (P)
<1% 1–5% 5 – 25 % > 25 %
Drainasi

Excellent 1.40 – 1.35 1.35 – 1.30 1.30 – 1.20 1.20

Good 1.35 – 1.25 1.25 – 1.15 1.15 – 1.00 1.00

Fair 1.25 – 1.15 1.15 – 1.05 1.00 – 0.80 0.80

Poor 1.15 – 1.05 1.05 – 0.80 0.80 – 0.60 0.60

Very poor 1.05 – 0.95 0.95 – 0.75 0.75 – 0.40 0.40

Sumber : AASHTO 1993

37
2.5.10 Angka Struktural (SN)

Angka structural (structural number) didefinisikan sebagai angka indeks yang

berasal dari analisis lalu lintas, kondisi tanah dibawah jalan dan faktor regional.

Dalam menentukan angka struktural (SN) dapat menggunakan 2 cara yaitu dengan

menggunakan nomogram pada Gambar 2.4 dan dengan cara coba-coba ( Trial and

Error) menggunakan persamaaan 2.

log 10 [ ∆ PSI
]
log 10 W 18=ZR x So x 9,36 x log 10 [ SN
]
+1 −0,20+
4,2−1,5
+2,32 log 10 MR−8,07
[ ]
2,54 SN
5,19
+1
2,54

..........................................................................................................................(2.9)

Gambar 2.10 Nomogram untuk Desain Tebal Perkerasan Lentur


Metode AASHTO 1993

Sumber : AASHTO 1993

38
2.6 Rencana Anggaran Biaya

Rencana anggaran biaya adalah perhitungan banyaknya anggaran biaya yang

dibutuhkan dalam melakukan suatu proyek baik biaya dari segi bahan, upah, alat

ataupun biaya lainnya yang masih dalam lingkup proyek. Analisa Harga Satuan

Pekerjaan (AHSP) adalah suatu cara perhitungan harga satuan pekerjaan konstruksi

yang dijabarkan dalam perkalian kebutuhan bahan, upah dan peralatan dengan harga

bahan bangunan, standart pengupahan pekerja dan harga sewa/beli untuk

menyelesaikan per satuan pekerjaan. AHSP ini dipengaruhi oleh angka koefisien

yang menunjukkan nilai satuan bahan, alat atau upah tenaga kerja ataupun satuan

pekerjaan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk merencanakan suatu pekerjaan.

Berikut Langkah-langkah dalam merencanakan Rencana Anggaran Biaya :

1. Mempersiapkan Gambar Kerja Detail (DED)

Gambar kerja detail untuk pekerjaan konstruksi disebut detail

engineering design (DED). Detail engineering design dibutuhkan untuk

keperluan proyek, termasuk dalam penyusunan Rencana Anggaran

Biaya.

2. Menghitung volume pekerjaan

Setelah semua item yang diperlukan masuk ke dalam daftar dengan

baik, maka langkah selanjutnya adalah menghitung volume pekerjaan.

Volume pekerjaan dapat dihitung dalam menggunakan satuan, misalkan

per m2, m3, atau per unit. Lalu, volume pekerjaan nantinya dikalikan

39
dengan harga satuan pekerjaan, sehingga didapatkan jumlah biaya

pekerjaan.

3. Membuat dan menentukan harga satuan pekerjaan

Dalam pekerjaan konstruksi, harga satuan pekerjaan dapat dipisahkan

menjadi harga upah dan material. Perlu dilakukan survey harga pasar

yang berlaku di daerah tersebut, harga itulah yang dipakai dalam

perhitungan biaya pekerjaan. 

4. Menghitung jumlah biaya pekerjaan

Setelah menentukan volume dan harga satuan kerja, lalu langkah

selanjutnya adalah mengalikan angka tersebut sehingga akan didapat

jumlah biaya dari masing-masing pekerjaan dengan perhitungan volume

pekerjaan dikali dengan harga satuan. 

5. Menghitung keseluruhan jumlah total masing-masing sub

pekerjaan

Yang terakhir adalah menghitung jumlah total masing-masing sub

pekerjaan yang telah disusun sebelumnya. Sub pekerjaan harus

diuraikan sedetail mungkin, lalu ditotalkan sehingga didapatkan jumlah

total biaya pekerjaan kemudian ditambahkan dengan biaya pajak.

40
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Penelitian ini
Penelitian Perbandingan Analisa Perkerasan Metode Bina Marga Revisi Juni

2017 dan AASHTO 1993 (Studi Kasus pada Pekerjaan Rencana Preservasi Ruas

Jalan Jatibarang-Langut TA 2017) telah dilakukan oleh Sony Sumarsono, Heru Judi

H Gultom, pengolahan data menggunakan 2 metode AASHTO dan Bina Marga 2017.

Hasil yang didapat dari penelitian tersebut menunjukan bahwa Hasil analisis

perhitungan tebal lapis tambah ruas Jalan Jatibarang-Langut KM 49+90053+000 arah

Jakarta dengan tingkat kepercayaan 98% pada jalan arteri melalui pengujian lendutan

dengan menggunakan alat FWD metode AASHTO 1993 dengan nilai CESA yang

berbeda didapat metode Bina Marga Revisi Juni 2017 dengan nilai CESA

151.479.002 diperoleh 47,42 cm dan AASHTO 1993 dengan nilai CESA 53.641.295

diperoleh 38,74 cm.

Penelitian Studi Perbandingan Metode Bina Marga 2017 dan AASHTO 1993

dalam Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) pada Rusa JALAN

Tol Seksi 4Balikpapan-Samarinda Kalimantan Timur ( STA 10+000 – STA 13+000),

metode penelitian yang digunakan Studi literatur dan pengumpulan data yang

dianggap perlu dan lanjut dengan analisa data, Hasil yang diperoleh metode Bina

Marga Revisi Juni 2017 34,5 cm dan AASHTO 1993 71 cm.

Penelitian Analisa Perbandingan Metode Bina Marga dan Meode AASHTO

1993 Sebagai Nilai Rancang Tebal Lapis Perkerasan Lentur Jalan telah dilakukan

Diyaq Ulhaq pada Tahun 2015 dengan hasil Nilai ketebalan total (redesign) dengan

menggunakan metode Bina Marga didapatkan sebesar 61 cm, metode AASHTO

41
sebesar 71 cm dan kondisi lapangan sebesar 55 cm pada akses Bandar Udara

Internasional Lombok.

42

Anda mungkin juga menyukai