Anda di halaman 1dari 27

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Klasifikasi Jalan

2.1.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan

Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:


1. Jalan Arteri
Adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak
jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara evisien.
2. Jalan Kolektoran
Adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
3. Jalan Lokal
Adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak
pendek, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2.1.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam Muatan Sumbu Terberat (MST)
dalam satuan ton.
2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1 (pasal 11, PP.
No.43/1993).

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut kelas jalan


Fungsi Kelas Muatan Sumbu
Terberat
MST (ton)
Arteri I > 10
II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B
2.1.3 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan
1) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegaklurus garis kontur.
2) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat
dalam tabel dibawah 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan


Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan
(%)
Datar D <3
Perbukitan B 3 – 25
Pegunungan G >25

3) Keseragaman Kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan


keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan
perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

2.1.4 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembina Jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai dengan PP.
No.26/1985 adalah :
a. Jalan Nasional
b. Jalan Propinsi
c. Jalan Kabupaten/Kotamadya
d. Jalan Desa
e. Jalan Khusus

2.2 Bagian-bagian Jalan


2.2.1 Daerah Manfaat Jalan
. Daerah manfaat jalan (DAMAJA) dibatasii oleh (Lihat gambar 2.1)

1. Lebar antara batas ambang pengamatan konstruksi jalan di kedua sisi jalan
2. Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan
3. Kedalaman ruang bebas 1,5 meter di baawah muka jalan.
Gambar. 2.1 DAMAJA, DAMIJA, dan DAWASJA di lingkungan jalan antar

Kota.

2.2.2 Daerah Milik Jalan


Ruang daerah milik jalan (DAMIJA) dibatasi oleh lebar jalan yang sama dengan
Damaja ditambah ambang pengamanan konstruksi jalan tinggi 5 meter dan kedalaman
1,5 meter. (Gambar 2.1).

2.2.3 Daerah Pengawasan Jalan


1) Ruang Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja) adalah ruang sepanjang jalan di luar
Damaja yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan
sebagai berikut (Gambar 2.1):
(1) jalan Arteri minimum 20 meter,
(2) jalan Kolektor minimum 15 meter,
(3) jalan Lokal minimum 10 meter.
2) Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh
jarak pandang bebas.

2.3 Kecepatan Rencana


1) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah,
lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
2) VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari tabel 2.
3) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.3. kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan.
kecepatan Rencana, VR' km/jam
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 - 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30

2.4 Komponen Perkerasan Lentur


2.4.1 Tanah Dasar (subgrade)
Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian atau
permukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk
perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat- sifat
dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah
sebagai berikut:

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat
beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan.

2.4.2 Lapis Pondasi Bawah (Sub Base)

Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi
dan tanah dasar.

Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan


beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan
selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.
Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap
roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR
> 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan
pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland
dalam beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.

2.4.3 Lapis Pondasi Atas (Base Course)

Lapis Pondasi adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan
dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis
pondasi bawah).

Fungsi lapis pondasi antara lain:

a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda,


b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga
dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-
baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam / bahan
setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara
lain : batu pecah, kerikil pecah dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

2.4.4 Lapis Permukaan

Lapis Permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis
permukaan antara lain:

a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda


b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan akibat cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course).

Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk lapis
pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar
lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan
tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu
lintas. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur
rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari
biaya yang dikeluarkan.

2.5 Komponen Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Pada konstruksi perkerasan beton semen, sebagai konstruksi utama adalah


berupa satu lapis beton semen mutu tinggi. Sedangkan lapis pondasi bawah (subbase
berupa cement treated subbase maupun granular subbbase) berfungsi sebagai
konstruksi pendukung atau pelengkap.

Adapun Komponen Konstruksi Perkerasan Beton Semen (Rigid Pavement)


adalah sebagai berikut :

2.5.1 Tanah Dasar (Subgrade)

Tanah dasar adalah bagian dari permukaan badan jalan yang dipersiapkan untuk
menerima konstruksi di atasnya yaitu konstruksi perkerasan. Tanah dasar ini berfungsi
sebagai penerima beban lalu lintas yang telah disalurkan / disebarkan oleh konstruksi
perkerasan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyiapan tanah dasar (subgrade)
adalah lebar, kerataan, kemiringan melintang keseragaman daya dukung dan
keseragaman kepadatan.

Pada konstruksi perkerasan kaku fungsi tanah dasar tidak terlalu menentukan,
dalam arti kata bahwa perubahan besarnya daya dukung tanah dasar tidak
berpengaruh terlalu besar pada nilai konstruksi (tebal) perkerasan kaku.

2.5.2 Lapis Pondasi (Sub Base)

Lapis pondasi ini terletak di antara tanah dasar dan pelat beton semen mutu
tinggi. Sebagai bahan subbase dapat digunakan unbound granular (sirtu) atau bound
granural (CTSB, cement treated subbase). Pada umumnya fungsi lapisan ini tidak
terlalu struktural, maksudnya keberadaan dari lapisan ini tidak untuk
menyumbangkan nilai struktur perkerasan beton semen.
Fungsi utama dari lapisan ini adalah sebagai lantai kerja yang rata dan
uniform. Apabila subbase tidak rata, maka pelat beton juga tidak rata. Ketidakrataan ini
dapat berpotensi sebagai crack inducer.Selain fungsi tersebut terdapat juga fungsi
lainnya, antara lain :
1. Menyediakan lapisan yang seragam, stabil, dan permanen.
2. Menaikkan harga Modulus Reaksi Tanah Dasar (Modulus of Sub-grade
Reaction = K), menjadi Modulus Reaksi Komposit (Modulus of Composit
Reaction).
3. Mengurangi kerusakan sebagai akibat pembekuan (frost action).

4. Melindungi gejala “pumping” butiran-butiran halus tanah pada daerah


sambungan, retakan dan ujung samping perkerasan.

5. Mengurangi bahaya retak


6. Menyediakan lantai kerja bagi alat-alat berat.

2.5.3 Tulangan

Perkerasan Pada perkerasan beton semen terdpat dua jenis tulangan, yaitu
tulangan pada pelat beton untuk memperkuat pelat beton tersebut dan tulangan
sambungan untuk menyambung kembali bagian – bagian pelat beton yang telah terputus
(diputus). Kedua tulangan tersebut memiliki bentuk, lokasi serta fungsi yang berbeda
satu sama lain. Adapun tulangan tersebut antara lain :

a. Tulangan Pelat

Tulangan pelat pada perkerasan beton semen mempunyai bentuk, lokasi dan
fungsi yang berbeda dengan tulangan pelat pada konstruksi beton yang lain
seperti gedung, balok dan sebagainya. Tebal pelat taksiran dipilih dan total fatik
serta keruusakan erosi dihitung berdasarkan komposisi lalu lintas selama umur
rencana. Jika kerusakan fatik atau erosi lebih dari 100%, tebal taksiran dinaikkan
dan proses perencanaan diulangi.

Tebal rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang mempunyai total fatik
dan atau total kerusakan erosi lebih kecil atau sama dengan 100%.

Adapun karakteristik dari tulangan pelat pada perkerasan beton semen


adalah sebagi berikut :

 Bentuk tulangan pada umumnya berupa lembaran atau gulungan. Pada


pelaksanaan di lapangan tulangan yang berbentuk lembaran lebih baik
daripada tulangan yang berbentuk gulungan. Kedua bentuk tulangan
ini dibuat oleh pabrik.
 Lokasi tulangan pelat beton terletak ¼ tebal pelat di sebelah atas.
 Fungsi dari tulangan beton ini yaitu untuk “memegang beton” agar tidak
retak (retak beton tidak terbuka), bukan untuk menahan momen ataupun
gaya lintang. Oleh karena itu tulangan pelat beton tidak mengurangi tebal
perkerasan beton semen.
b. Tulangan Sambungan
Tulangan sambungan ada dua macam yaitu tulangan sambungan arah melintang
dan arah memanjang. Sambungan melintang merupakan sambungan untuk
mengakomodir kembang susut ke arah memanjang pelat. Sedangkan tulangan
sambungan memanjang merupakan sambungan untuk mengakomodir gerakan
lenting pelat beton.

Adapun ciri dan fungsi dari masing – masing tulangan sambungan adalah
sebagai berikut :

1. Tulangan Sambungan Melintang


 Tulangan sambungan melintang disebut juga dowel
 Berfungsi sebagai sliding device‟ dan load transfer device’.
 Berbentuk polos, bekas potongan rapi dan berukuran besar.
 Satu sisi dari tulangan melekat pada pelat beton, sedangkan satu sisi
yang lain tidak lekat pada pelat beton
 Lokasi di tengah tebal pelat dan sejajar dengan sumbu jalan.
2. Tulangan Sambungan Memanjang
 Tulangan sambungan memanjang disebut juga Tie Bar.
 Berfungsi sebagai unsliding devices dan rotation devices.
 Berbentuk deformed / ulir dan berbentuk kecil.
 Lekat di kedua sisi pelat beton.
 Lokasi di tengah tebal pelat beton dan tegak lurus sumbu jalan.
 Luas tulangan memanjang dihitung dengan rumus seperti pada
tulangan melintang.
Gambar 2.2 Sambungan Pada Konstruksi Kaku

2.5.4 Sambungan atau Joint

Fungsi dari sambungan atau joint adalah mengendalikan atau mengarahkan retak
pelat beton akibat shrinkage (susut) maupun wrapping (lenting) agar teratur baik
bentuk maupun lokasinya sesuai yang kita kehendaki (sesuai desain). Dengan
terkontrolnya retak tersebut, maka retak akan tepat terjadi pada lokasi yang teratur
dimana pada lokasi tersebut telah kita beri tulangan sambungan. Sambungan tersebut
antara lain :

1. Sambungan Memanjang dan Melintang


a. Semua sambungan memanjang dan melintang harus dibuat sesuai dengan
detail dan letak pada Gambar Rencana.
b. Semua sambungan melintang harus dibuat sejalur untuk seluruh lebar
perkerasan. Bidang-bidang permukaan sambungan harus diusahakan tegak
lurus terhadap bidang permukaan perkerasan.
c. Dalam pembuatan sambungan, perhatian khusus perlu diberikan guna
menghindari ketidakrataan permukaan sambungan tersebut. Apabila pada
sambungan diperlukan, maka harus digunakan mistar 3meter (10gft) untuk
menjamin kerataan pada sambungan tersebut. Pembentukan sambungan yang
ditempatkan didepan perata (screed) dapat dibuat tenggelam (tip), sedangkan
apabila ditempatkan dibelakang perata dapat dipasang menonjol pada
permukaan.
d. Sambungan dengan lidah-alur, harus dicetak secara teliti dengan bahan
cetakan yang cukup kuat agar didapat bentuk yang sempurna dengan
menggunakan mesin penghampar acuan geligir.
e. Apabila sambungan melintang dilakukan dengan cara menggergaji, maka
penggergajian sambungan melintang harus diusahakan sebelum retak awal
terjadi.
Pada sambungan melintang terdapat 2 jenis sambungan yaitu sambungan
susut dan sambungan lenting. Sambungan susut diadakan dengan cara
memasang bekisting melintang dan dowel antara pelat pengecoran
sebelumnya dan pengecoran berikutnya. Sedangkan sambungan lenting
diadakan dengan cara memasang bekisting memanjang dan tie bar. Pada
setiap celah sambungan harus diisi dengan joint sealent dari bahan khusus
yang bersifat thermoplastic antara lain rubber aspalt, coal tars ataupun
rubber tars. Sebelum joint sealent dicor/dituang, maka celah harus
dibersihkan terlebih dahulu dari segala kotoran.
a. Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya
retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3 – 4 m.
Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu
minimum BJTU- 24 dan berdiamater 16 mm.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
At = 204 x b x h dan
l = (38,3 x ϴ) + 75
Dengan pengertian:
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm²).
b = jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi
perkerasan (m)
h = tebal pelat (m)
I = panjang batang pengikat (mm)
ϴ = diameter batang pengikat yang dipilih (mm) Jarak batang pengikat yang
digunakan adalah 75 cm.
Tipikal sambungan memanjang dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.3 Tipikal sambungan memanjang

2. Sambungan Pelaksana (Contruction Joints)


a. Sambungan pelaksana memanjang
Sambungan ini biasanya digunakan pada sambungan arah memanjang (diantara
jalur-jalur penghamparan yang terpisah) dapat dibentuk baik dengan cara
glinier atau dengan baja cetakan standart. Apabila digunakan lapisan pondasi
bawah stabilisasi, maka sambungannya dapat ditiadakan.

Gambar 2.4 Ukuran standar penguncian sambungan memanjang.

Sambungan pelaksanaan melintang harus dibuat pada akhir pelaksanaan tiap


hari atau pada tempat akhir pekerjaan yang disebabkan oleh adanya gangguan
pelaksanaan. Letak sambungan pelaksanaan melintang harus diusahakan sama
dengan letak sambungan susut. Sambungan ini dibentuk dengan cara
menempatkan sekat yang mempunyai bentuk dan ukuran yang tepat dan
mempunyai lubang untuk menempatkan ruji. Arah sambungan ini kurang dari
3meter (10ft) harus dihindarkan. Jika adukan beton tidak mencukupi 3meter
(10ft), maka sambungan pelaksanaan harus dibuat pada tempat sambungan
sebelumnya. Jarak sambungan melintang yang berikutnya harus di ukur dari
sambungan susut melintang yang terakhir.

3. Sambungan Muai (Expansion Joint)


Sambungan muai harus ditempatkan di antara pertemuan bangunan (misal: lubang
got/manhole, bak penampung) dengan plat perkerasan beton. Kecuali apabila tidak
disebutkan lain dalam Gambar Rencana, maka sambungan harus terbuat.dari jenis
sambungan jadi dengan ketebalan tidak kurang dari 0,6 cm. Jika tidak ditentukan
lain, maka untuk sambungan muai melintang harus dibuat tegak lurus sumbu
perkerasan, dan harus di buat selebar perkerasan.

a. Sambungan Muai pada Ujung-ujung Jembatan. (Expansion Joint at Bridge


Ends)
Ujung-ujung jembatan harus dilindungi dari tekanan-tekanan yang berlebih
yang diakibatkan oleh pemuaian perkerasan, dengan cara membuat sambungan
muai yang cukup lebar antara perkerasan dan ujung-ujung jembatan. Cara lain
adalah dengan menjangkar ujung-ujung plat yang umumnya dibuat untuk
menahan sebagian atau seluruh gerak pelat. Untuk memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap kepala jembatan, maka bagian perkerasan antara
balok jangkar dan kepala jembatan (sepanjang 10-15 meter) dapat terdiri dari
plat beton disambung atau perkerasan lentur).

b. Sambungan Muai dengan Ruji.


Sambungan ini terdiri dari sistem penyalur beban, dudukan, pengatur gerak dan
bahan pengisi sambungan. Penyalur beban harus terdiri dari ruji yang di las
pada dudukan dan salah satu ujungnya ditutup dengan topi ruji. Pengisi
sambungan dapat terdiri dari bahan pengisi jadi atau bahan lain yang disetujui.
Bahkan pengisi harus dipasang sampai dasar plat perkerasan. Jika tidak
disyaratkan lain, maka bagian atas pengisi sambungan harus terletak 1,3 cm
dibawah permukaan plat. Bagian alas pengisi sambungan harus dilindungi
dengan logam berbentuk kanal pada saat beton di hampar. Setiap bagian
sistem sambungan harus dilindungi dari kerusakan sampai selesainya
pekerjaan sambungan. Bagian sistem sambungan yang rusak selama
pengangkutan, atau karena penanganan dan penyimpanan yang tidak benar
harus diganti atau diperbaiki.

c. Bahan Pengisi Sambungan (Joint Filler).


Bahan pengisi sambungan harus dilobangi atau di bor dengan diameter yang
tepat pada tempat yang akan dipasangi ruji. Bahan pengisi sambungan hams
mempunyai panjang yang sama dengan lebar jalur penghamparan. Jika bahan
pengisi sambungan harus disambung maka ujung-ujung sambungan harus
tetap mengikuti bentuk yang benar. Pemotongan bahan pengisi yang
diperlukan selamapenghamparan, misalnya untuk menampung sayap roda
mesin penghampar, harus dilakukan secara hati-hati agar tidak
mengakibatkan penyumbatan sambungan oleh beton.
d. Sambungan Susut.
Sambungan susut dengan takikan palsu atau penampang, diperlemah, harus
dibuat dengan cara manapun yang diterapkan pelaksanaan tetap harus
dilakukan secara hati-hati untuk menjamin agar dalamnya celah pemisah
cukup untuk mencegah terjadinya retak acak. Disarankan dalamnya celah
pemisah minimum adalah sebesar'/4 tebal pelat. Dalam segala hal penutupan
celah harus diselesaikan sebelum lalu lintas diizinkan lewat, termasuk lalu
lintas selama pelaksanaan untuk keperluan sambungan melintang tanpa
perlemahan seperti tersebut di atas. Apabila diperlukan penyalur beban untuk
melayani lalu lintas dengan volume yang tinggi dan beban yang berat. Dalam
hal apapun, sebagai penyalur beban harus digunakan ruji. Bila pada
perkerasan untuk lalu lintas berat digunakan lapis pondasi mutu tinggi,
misalnya stabilisasi semen atau aspal, maka sambungan tanpa ruji-pun
bisa melayani lalu litnas secara memuaskan. Namun demikian secara umum,
sambungan jenis ini, tetap dianjurkan menggunakan penyalur beban. Ruji
harus dipegangkuat pada posisinya dengan cara mengelasnya pada
dudukan dan pengatur jarak atau dengan cara penempatan dengan mesin.
Penempatan ruji secara tepat harus dijamin, agar ruji dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Sistem pemberian tanda secara tepat dapat diterapkan
untuk menjamin agar penggergajian atau pembuatan takikan tepat berada
ditengah ruji. Takikan tidak boleh kurang dari'/4 tebal plat. Jenis
sambungan ini meliputi:
a. Sambungan susut memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua
cara ini, yaitu dengan menggergaji atau membentuk pada saat beton masih
plastis dengan kedalaman sepertiga dari tebal pelat.
b. Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan
tepi perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang
harus dipasang dengan kemiringan 1:10 searah perputaran jarum jam.
c. Sambungan susut melintang
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal pelat
untuk perkerasan dengan lapis pindasi berbutir atau sepertiga dari tebal pelat
untuk lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan seperti
gambar berikut :

Gambar 2.5 Sambungan susut melintang tanpa uji

Gambar 2.6 Sambungan susut melintang dengan uji

Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa


tulangan sekitar 4 – 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung
dengan tulangan 8 – 15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus dengan
tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan. Sambungan ini harus dilengkapi
dengan uji polos panjang 45 cm, jarak antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan
tajam akan mempengaruhi gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah
panjang ruji polos harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket untuk
menjamin tidak ada ikatan dengan beton. Diameter ruji tergantung pada tebal pelat
beton sebagaimana terlihat pada table berikut.

Tabel 2.4 Diameter Uji

NO Tebal pelat beton, h (mm) Diameter ruji (mm)


1 125 < h ≤ 140 20
2 140 < h ≤ 160 24
3 160 < h ≤ 190 28
4 190 < h ≤ 220 33
5 220 < h ≤ 250 36

d. Sambungan pelaksanaan melintang


Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan (darurat) harus
menggunakan batang pengikat berulir, sedangkan pada sambungan yang
direncanakan harus menggunakan batang tulangan polos yang diletakkan di
tengah tebal pelat. Tipikal sambungan pelaksanaan melintang dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 2.7 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak


direncanakan untuk pengecoran per lajur.

Gambar 2.8 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan

dan yang tidak direncanakan untuk pengecoran seluruh lebar


perkerasan Sambungan pelaksanaan tersebut di atas harus
dilengkapi dengan batang pengikat berdiameter 16 mm, panjang
69 cm, dan jarak 60 cm, untuk ketebalan pelat sampai 17
cm. Untuk ketebalan lebih dari 17 cm, ukuran batang pengikat
berdiamter 20 mm, panjang 84 cm, dan jaraj 60 cm.

e. Sambungan isolasi
Sambungan isolasi memisahkan perkerasan dengan bangunan
yang lain, misalnya manchole, jembatan, tiang listrik, jalan
lama, persimpangan, dan lain sebagainya. Contoh
persimpangan yang membutuhkan sambungan isolasi seperti
ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 2.9 Contoh persimpangan yang membutuhkan sambungan isolasi


Sambungan isolasi harus dilengkapi dengan bahan penutup (joint sealer) setebal 5-
7 mm dan sisanya diisi dengan bahan pengisi (joint filter) sebagaimana ditunjukkan
pada gambar berikut.
Gambar 2.10 Sambungan isolasi

Keterangan untuk gambar di atas :

a. Sambungan isolasi yang digunakan pada bangunan lain, seperti jembatan


perlu pemasangan ruji sebagai transfer beban. Pada ujung ruji harus dipasang
pelindung muai gar ruji dapat bergerak bebas. Pelindungmuai harus cukup panjang
sehingga menutup ruji sambungan isolasi ditambah 6 mm seperti diperlihatkan
pada gambar.
b. Sambungan isolasi pada persimpangan dan ram tidak perlu diberi ruji tetapi
diberikan penebalan tepi untuk mereduksi tegangan. Setiap tepi sambungan
ditebalkan 20% dari ttebal perkerasan sepanjang 1,5 meter seperti
diperlihatkSambungan isolasi pada persimpangan dan ram tidak perlu diberi ruji
tetapi diberikan penebalan tepi untuk mereduksi tegangan. Setiap tepi sambungan
ditebalkan 20% dari tebal perkerasan sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada
gambar.

c. Sambungan isolasi yang digunakan pada lubang masuk ke saluran, manhole,


tiang listrik, dan sambungan lain yang tidak memerlukan penebalan tepi dan ruji
ditempatkan di sekeliling bangunan tersebut sebagaimana diperlihatkan pada
gambar.

Pola Sambungan

Pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasan-


batasan sebagai berikut :

a. Hindari bentuk panel yang tidak teratur. Usahakan bentuk panel spersegi
mungkin.
b. Jarak maksimum sambungan memanjang 3-4 meter.
c. Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal pelat, maksimum 5,0
meter.
d. Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai
kedalaman seperempat dan sepertiga dari tebal perkerasan masing- masing untuk
lapis pondasi berbutir dan lapis stabilisasi semen.
e. Antar sambungan harus bertemu pada satu tiitik untuk menghindri terjadinya
retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.
f. Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari
dengan mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi
perkerasan.
g. Apabila sambungan berada dalam area ,5 meter dengan manhole atau
bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga
antara sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut membentuk
sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk bundar.
Untuk bangunan berbentuk segiempat, sambungan harus berada pada sudutnya
atau di antara dua sudut.
h. Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan
dengan smbungan muai selebar 12 mm yang meliputi keseluruhan tebal pelat.
i. Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole hars
ditebalkan 20% dari keetbalan normal dan berangsur-angsur berkurang
sampai ketebalan normal sepanjang 1,5 meter seperti ditunjukkan pada
gambar b.

j. Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi
tulangan berbentuk anyaman sebesar 0,15% terhadap penampang beton semen
dan dipasang 5 cm di bawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7,5 cm
dari sambungan.

2.6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


2.6.1 Lalu Lintas
a. Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (c)
Jalur Rencana (JR) merupakan jalur salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda
batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel di
bawah ini:
Tabel 2.5 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur
(n)
L < 5,50 1 jalur
5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur
8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur
11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur
15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur
18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur

2.6.2 Koefesien Distribusi Kendaraan


Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada jalur rencana ditentukan menurut table dibawah ini :

Tabel 2.6 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)


Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,000
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur 0,30 0,450
5 lajur 0,25 0,425
6 lajur 0,20 0,400
*) berat total <5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up,mobil hantaran
**) berat total > 5 ton, misalnya, bus, truk, traktor,semi trailer, trailer.

2.6.3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan


Angka ekivalen (E) masing-masing Golongan sumbu pada setiap
kendaraan di tentukan menurur rumus daftar di bawah ini:

𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔 4


1 E.Sumbu Tunggal = ................. (3)
8160
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔 4
2 E.Sumbu Ganda = ........................ (4)
8160

Selain menggunakan rumus diatas, penentuan angka ekivalen dapat


ditentukan melalui Tabel yang telah dikeluarkan oleh Bina Marga seperti yang
terlihat pada Tabel 2.7
Tabel 2.7 Angka Ekivalen (E) beban sumbu kendaraan
Golongan Kendaraan Angka Ekivalen
Sumbu
Kg Lbs Sumbu Ganda
Tunggal
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4148 0,9820
16000 35276 14,2712 1,2712
Dari SKBI 2,3,26,1987/SNI 03-1732-1889

2.6.4 Daya Dukung Tanah Tasar (DDT dan CBR)


Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi
Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan , ditentukan
sebagai berikut :
a. Tentukan harga CBR terendah
b. Tentkan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari masing
masing nilai CBR.
c. angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100%. jumlah lainya
merupakan persentase dari 100%.
d. dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.
e. Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka persentase
90%
seperti pada Gambar 2.11
Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau

2.6.5 Faktor Regional


Faktor regional (FR) adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya
perbedaan kondisi dengan kondisi percobaan AASHTO Road Test dan
disesuaikan
denga keadaan Indonesia. FR dipengaruhi oleh bentuk elemen, persentase
kendaraan berat yang berhenti serta iklim, penentuan FR menggunakan Tabel 2.8

Tabel 2.8 Faktor Regional

Kelandaian I ( < Kelandaian II ( 6 Kelandaian III ( >


6%) % - 10 % ) 10 % )
Kategori iklim % Kendaraan % Kendaraan % Kendaraan
Berat Berat berat
> 30
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % %
1 2 3 4 5 6 7
iklim I < 900 2,0 -
mm/th 0,5 1,0 - 1,5 1,0 1,5 – 2 1,5 2,5
Iklim II > 900 2,5 - 3,0 -
mm/th 1,5 2,0 - 2,5 2,0 3,0 2,5 3,5
Dari SKBI 2,3,26,1987/SNI 03-1732-1989
2.6.6 Indek Permukaan (IP)
Indeks permukaan adalah nilai kerataan/ kehalusan serta kekokohan
permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalulintas yang lewat.
Nilai Indeks permukaan beserta artinya adalah sebagai berikut :
a. IP = 1,0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
menganggu lalu lintas kendaraan.
b. IP = 1,5 menyatakan tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (
jalan tidak terputua )
c. IP = 2 menyatakan tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih cukup.
d. IP = 2,5 menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan IP pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor –
faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana ( LER )
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.9

Tabel 2.9 Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IP)


Klasifkasi Jalan
LER
Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 - 2,0 -


10 - 100 1,5 1,5 - 2,0 2,0 -
100 - 1000 1,5 - 2,0 2,0 2,0 - 2,5 -
> 1000 - 2,0 - 2,5 2,5 2,5
Dari: SKBI 2,3,26, 1987/SNI 03- 1732-1989

* ) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Catatan : Pada proyek – proyek penunjang jalan, JAPAT/ jalan murah atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0.
Dalam menentukan Indeks permukaan pada awal umur rencana ( IPo )
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan ( kerataan/ kehalusan serta
kekokohan ) pada awal umur rencana seperti yang tercantum dalam Tabel 2.10
Tabel 2.10 Indeks permukaan pada awal umur rencana ( IPo )
Jenis Lapisan Perkerasan Ipo Roughness *)
( mm/km )
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LASTIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIR ≤ 2,4
Dari: SKBI 2,3,26, 1987/SNI 03- 1732-1989

2.6.7 Koefesin Kekuatan Relatif (a)


Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya
sebagai lapis permukaan, pondasi bawah ditentukan secarakorelasi sesuai nilai
Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang
distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi
bawah).
Tabel 2.11 Koefisien kekuatan relatif

koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan bahan


Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS (kg) kt(Kg/cm) CBR


0,4 - - 744 - -
0,35 - - 590 - -
Laston
0,32 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - -
Lasbutag
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - Aspal Macadam
0,25 - - - - - Lapen (Mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 454 - - Laston atas
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah
- 0,13 - - 18 - dengan kapur

- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah


- 0,13 - - 18 - dengan kapur

- 0,14 - - - 100 Batu pecah kelas A


- 0,13 - - - 80 Batu pecah kelas B
- 0,12 - - 60 Batu pecah kelas C
Sirtu pirtun kelas
- - 0,13 - - 70
A
- - 0,12 - - 50 Situ pirtun kelas B
- - 0,1 - - 30 sirtu pirtu kelas C
Tanah/lempung
- - 0,10 - - 20
kepasiran
Sumber : Daftar VII Metode Analisa Komponen
2.6.8 Batas-Batas Minimum Tebal Perkerasan
1. Lapis Permukaan
Tabel 2.12 Tebal minimum lapisan permukaan
ITP Tebal Minimum Bahan
(cm)
< 3,00 5 Lpais pelindung: Buras, Burtu,
Burda
3,00-6,70 5 Lapen/macadam, HRA, Lasbutag,
Laston
6,71-7,49 7,5 Lapen/aspal macadam, HRA,
Lasbutag, laston
7,50-9,99 7,5 Lasbutag/laston
≥ 10,00 10 Laston
Sumber: Daftar VIII Metode Analisa Komponen

2. Lapis Pondasi
Tabel 2.13 Tebal minimum lapisan perkerasan pondasi
IPT Tebal minimum Bahan
(cm)
< 3,00 15 Batu pecah, stab tanah dengan semen, stab tanah
dengan kapur
3,00-7,49 20*) Batu pecah, stab tanah dengan semen, stab tanah
dengan kapur
10 Laston Atas
7,50-9,99 20 Batu pecah, stab tanah dengan semen, stab tanah
dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston Atas
10,00- 20 Batu pecah, stab tanah dengan semen, stab tanah
12,14 dengan kapur
≥ 12,25 25 Batu pecah, stab tanah dengan semen, stab tanah
dengan kapur, pondasi macadam, lapen, laston
atas.
Sumber : Lanjutan Daftar VIII Metode AnalisaKomponen
Catatan : batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk pondasi
bawah digunakan material berbutir kasar untuk setiap nilai ITP (Indeks Tebal
Perkerasan) bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm.
2.6.9 Analisa Komponen Perkerasan
Perhitungan ini didisribusikan pada kekakuan relatif masing-masing
lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penentuan tebal
perkerasan dinyatakan oleh Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

Rumus :

ITP = a1D1+a2D2+a3D3…………….

D1,D2,D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Angka 1,2,3 maing – masing lapis permukaan, lapis pondasi atas dan pondasi
bawah.

2.7 Rencana Anggaran Tebal Perkerasan Lentur

Untuk menentukan besarnya biaya yang diperlukan pekerjaan tebal


perkerasan lentur pada terlebih dahulu harus diketahui volume dari perkerjaan
yang direncanakan. Pada umumnya pembuat jalan tidak lepas dari masalah galian
maupun timbunan. Besarnya galian dan timbunan yang kan dibuat dapat dilihat
pada gambar long profile. Sedangkan volume galian dapat dilihat melalui gambar
Cross Section.
Selain mencari volume galian dan timbunan dalam pekerjaan tebal
perkerasan lentur juga diperlukan mencari volume dari pekerjaan lainnya yaitu:
1. volume pekerjaan
a. pekerjaan perkerasan
- lapian permukaan (surface course)
- lapisan pondasi atas ( base course)
- lapisan pondasi bawah ( sub base course)
- lapisan tnah dasar ( sub grade)

2.8 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku (Rigit Pavement)

Perkerasan kaku terbuat dari campuran semen Portland dan pada


perkerasan kaku bias saja terdapat lapisan pondasi atau bias juga tidak terdapat
lapisan pondasi antara lapisan perkerasan dengan tanah dasarnya. Perkerasan kaku
memiliki tingkat kekauan dan modulus elastic yang tinggi sehingg pendistribusian
bebannya luas. Kapasitas perkerasan kaku dalam menahan beban lebih banyak
berasal dari struktur perkerasan kaku itu sendiri. Oleh karena itu, factor utama
yang mnentukan kualitas suatu perkersaran kaku adalah kekuatan struktur dari
campuran semen. Lapisan tanah dasar hanya memberikan sedikit pengaruh pda
kapasitas struktur perkerasan.

2.9 Rencana Anggaran Tebal Perkerasan Kaku

Perencanaan Biaya Konstruksi Perkerasan Kaku Biaya konstruksi


dihitung dengan Rencana Anggaran Biaya dengan hasil akhir masing-masing
pekerjaan:

1) Sub Base Course (Sirtu Kelas B)


2) Bekisting
3) Beton K-350
4) Pembesian
5) Bahu Jalan

Biaya Pemeliharaan Rutin


Pemeliharaan rutin dilakukan setiap tahun dengan asumsi jalan mengalami
kerusakan 1% setiap tahunnya.

Anda mungkin juga menyukai