Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Jalan


Perkerasan jalan adalah merupakan suatu konstruksi jalan yang disusun
sedemikian rupa, kemudian menjadi satu kesatuan yang membentuk suatu
perkerasan jalan yang berfungsi sebagai penunjang beban lalu lintas di atasnya
yang kemudian akan disalurkan ke tanah dasar. Pada dasarnya perkerasan jalan
menggunakan material utama berupa agregat dan bahan pengikat.

Menurut Sukirman (1999) konstruksi perkerasan yang berkembang saat


ini dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang


menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang


menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis
pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku


yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur
diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.

Sebelum menentukan penggunaan jenis konstruksi perkerasan yang akan


dipakai sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan antara perkerasan
lentur dan perkerasan kaku dalam hal perbedaan respon jika terjadi repetisi beban,
penurunan tanah dasar, dan perubahan temperatur. Terdapat perbedaan utama
antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku sebagaimana diberikan pada Tabel
2.1

10
11

Tabel 2.1 Perbedaan antara Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku


Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
1 Bahan Pengikat Aspal Semen
2 Repetisi Beban Timbul rutting (lendutan Timbul retak retak
pada jalur roda) pada permukaan
3 Penurunan tanah Jalan bergelombang Bersifat sebagai balok
dasar (mengikuti tanah dasar) di atas perletakan
4 Perubahan -Modulus kekakuan berubah. -Modulus kekakuan tidak
temperatur berubah

-Timbul tegangan dalam -Timbul tegangan


yang kecil dalam yang besar

(Sumber: Sukirman,1999)

2.2 Parameter Desain Tebal Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur

Perkerasan direncanakan untuk memikul beban lalu lintas yang berada di


atasnya secara aman, nyaman, serta selama masa layannya tidak terjadi kerusakan
yang berarti. Untuk dapat memenuhi fungsi tersebut perkerasan harus mampu
mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar akibat beban lalu lintas di
atasnya, dan mampu juga mengatasi pengaruh kembang susut dari tanah dasar.
Dengan demikian akan dapat memberikan kenyamanan kepada pengemudi selama
masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam perencanaan perlulah
dipertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan dari konstruksi
perkerasan jalan seperti:

2.2.1 Fungsi Jalan


Menurut undang-undang RI No.38 Tahun 2004, jaringan jalan dapat
dibuat sesuai dengan peran dan wewenang pembinan masing-masing. Seperti
Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Khusus.

Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Jalan arteri, yaitu jalan umum yang melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
12

2. Jalan kolektor, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan


pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk yang dibatasi.
3. Jalan lokal, yaitu jalan umum yang melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalan dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan
masuk yang tidak dibatasi.

Jalan arteri merupakan jalan utama, sedangkan jalan kolektor dan lokal
adalah jalan minor. Berdasarkan klasifikasi jaringan jalan merupakan dimensi dan
muatan sumbu diatur oleh UU RI No.22 Tahun 2009 tentang prasarana dan lalu
lintas jalan kemudian dibagi dalam beberapa kelas, yaitu :

1. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang bisa dilewati kendaraan bermotor
termasuk muatan dalam ukuran lebar tidak lebih 2,5 meter, ukuran
panjang tidak melebihi 18 meter dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan adalah 10 ton.
2. Jalan kelas II, yaitu jalan yang bisa dilewati kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak lebih dari 2,5 meter,
ukuran panjang tidak melebihi 18 meter dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan 10 ton.
3. Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang bias dilewati
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak lebih
2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan adalah 8 ton.
4. Jalan kelas IIIB, yaitu jalan kolektor yang bias dilewati kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak lebih 2,5 meter,
ukuran panjang tidak melebihi 12 meter dan muatan sumbu terberat
yang diizinkan adalah 8 ton.
5. Jalan kelas IIIC, yaitu jalan lokal yang bias dilewati kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak lebih dari 2,1
meter, ukuran panjang tidak melebihi 9 meter dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan adalah 8 ton.
13

2.2.2 Umur Rencana


Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan perbaikan yang bersifat
struktural (overlay lapisan perkerasan). Selama umur rencana tersebut
pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus dilakukan seperti pelapisan
nonstruktural yang berfungsi sebagai lapis aus.
Menurut Sukirman (1999) umur rencana untuk perkerasan lentur jalan
baru umumnya diambil 20 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur
rencana yang lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan
lalu lintas yang terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai
(tambahan tebal perkerasan menyebabkan biaya awal yang cukup tinggi).

2.2.3 Lalu Lintas

Menurut Sukirman (1999) tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari


beban yang akan dipikul, berarti dari arus lalu lintas yang hendak memakai jalan
tersebut. Besarnya arus lalu lintas diperoleh dari:

a. Analisa lalu lintas saati ini.


b. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, antara lain
berdasarkan atas alnalisa pola lalu lintas di sekitar lokasi jalan tersebut.
Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, analisa lalu lintas yang
dapat menunjang data perencanaan dengan ketelitian yang memadai sukar
dilakukan, karena kurangnya data yang dibutuhkan, dan sukar memperkirakan
perkembangan yang akan datang karena belum adanya rancangan induk untuk
disebagian besar wilayah Indonesia. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan
konstruksi bertahap, dimana lapis perkerasan sampai dengan lapis pondasi atas
dilakukan sesuai kebutuhan untuk umur rencana yang lebih panjang, biasanya 20
tahun, tetapi lapisan permukaannya dilaksanakan sesuai kebutuhan umur rencana
tahap pertama.
14

2.2.4 Volume Lalu Lintas


Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan dinyatakan dalam volume
lalu lintas. Menurut Sukirman (1999) volume lalu lintas didefinisikan sebagai
jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan selama satu tahun waktu.

Menurut Sumarsono (2018) parameter yang paling penting dalam analisis


struktur perkerasan adalah data lalu lintas yang diperlukan untuk menghitung
beban lalu lintas rencana yang dipikul oleh perkerasan selama umur rencana.
Beban dihitung dari volume lalu lintas pada tahun survei selanjutnya
diproyeksikan kedepan selama umur rencana.

2.2.5 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Merupakan lapis perkerasan yang terletak di atas lapisan tanah dasar.


Lapisan ini harus menggunakan agregat yang bergradasi baik untuk memberi daya
dukung yang optimal terhadap lapisan yang ada diatasnya. Fungsi utama dari lapis
pondasi bawah menurut Tenriajeng (1999):

1. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban


roda.
2. Pengguna material pada lapisan ini lebih murah dibanding lapisan perkerasan
diatasnya, sehingga bisa dijadikan opsi untuk tebal perkerasan yang baik dan
terjangkau.
3. Sebagai peresapan untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
4. Agar pekerjaan berjalan dengan lancar maka lapisan ini harus dikerjakan
dengan baik karena akan berpengaruh pada lapisan diatasnya.
5. Untuk menahan partikel-partikel halus dari tanah dasar agar tidak naik ke lapis
pondasi atas

2.2.6 Tanah Dasar (Subgrade)


Tanah dasar diletakkan di bawah lapisan pondasi bawah yang berupa tanah
asli yang dipadatkan untuk mendukung perkerasan jalan. Subgrade dapat berupa
tanah asli yang dipadatkan, tanah yang didatangkan dari tempat lain lalu
dipadatkan, atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya asli
15

seperti yang ada pada Gambar 2.1, Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 . Fungsi tanah
dasar adalah sebagai bahan yang mampu menahan beban lalu lintas dan untuk
menghindari meresapnya air ke dalam lapisan-lapisan perkerasan yang ada di
atasnya. Susunan lapis perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.1 Tanah Dasar Berupa Galian (Tenriajeng,1999)

Gambar 2.2 Tanah Dasar Berupa Timbunan (Tenriajeng, 1999)

Gambar 2.3 Tanah Dasar Berupa Tanah Asli (Tenriajeng,1999)

Gambar 2.4 Susunan Lapisan Perkerasan (Tenriajeng,1997)


16

2.3 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Menggunakan Manual Desain


Perkerasan Bina Marga 2017
Metode Manual Desain Perkerasan Jalan (MDP) Bina Marga 2017 adalah
salah satu metode yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.Terdapat
2 bagian dalam metode ini, yaitu pada Bagian I menjelaskan tentang pedoman
struktur perkerasan baru dan Bagian II tentang rehabilitasi perkerasan. Pada
metode ini dijelaskan pula faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalan
pemilihan struktur perkerasan. Empat tantangan terhadap kinerja aset jalan di
Indonesia telah diakomodasi dalam manual ini: beban berlebih, temperature
perkerasan tinggi, curah hujan tinggi, dan tanah lunak.
Dalam manual ini dideskripsikan pendekatan dengan desain mekanistik,
prosedur pendukung empiris, dan solusi berdasarkan chart yang mengakomodasi
keempat tantangan tersebut secara komprehensif. Metode Manual Desain
Perkerasan Jalan (MDP) Bina Marga 2017 merupakan pelengkap pedoman desain
perkerasan Pd-T-2002-B untuk perkerasan lentur dan Pd-T-14-2003 untuk
perkerasan kaku, dengan penajaman pada aspek-aspek sebagai berikut : penentuan
umur rencana, penetapan minimalisasi discounted lifecycle cost, pertimbangan
kepraktisan pelaksanaan konstruksi, dan penggunaan material yang efisien.
Jenis struktur perkerasan yang diterapkan dalam desain struktur perkerasan
baru terdiri atas: Struktur perkerasan pada permukaan tanah asli, susunan
lapisannya dijelaskan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur Perkerasan Lentur pada


Tanah Dasar (Kementerian Pekerjaan
Umum, 2017)
17

Struktur perkerasan pada timbunan, susunan lapisannya dijelaskan pada


Gambar 2.6

Gambar 2.6 Struktur Perkerasan Lentur pada Tanah Timbunan


(Kementerian Pekerjaan Umum, 2017)

Struktur perkerasan pada galian, susunan lapisannya dijelaskan pada


Gambar 2.7

Gambar 2.7 Struktur Perkerasan Lentur pada Tanah Galian


(Kementerian Pekerjaan Umum, 2017)
18

2.3.1 Umur Rencana


Dalam umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan
tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai kondisi perkerasan perlu suatu
perbaikan yang cukup struktural. Penggunaan umur rencana perkerasan lentur
biasanya 20 tahun dan masa perawatan jalan 10 tahun. Desain perencanaan lapis
perkerasan yang lebih dari 20 tahun tidak lagi ekonomis, karna pertumbuhan lalu
lintas yang setiap tahunnya meningkat terlalu besar dan sulit untuk mendapatkan
kualitas yang memadai (Sukirman, 1999).

2.3.2 Analisa Volume Lalu Lintas


Dalam analisis lalu lintas, terutama untuk menentukan volume lalu lintas
pada jam sibuk dan lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) agar mengacu pada
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI). LHRT yang dihitung adalah untuk
semua jenis kendaraan kecuali sepeda motor, ditambah 30% jumlah sepeda motor.
Untuk keperluan desain volume lalu lintas dapat diperoleh dari:

1. Survei lalu lintas actual dengan durasi 7 x 24 jam. Pelaksanaan survei


mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu Lintas dengan Cara
Manual Pd T-10- 2004-B atau dapat mengacu menggunakan peralatan
dengan pendekatan yang sama.

2. Hasil-hasil survei sebelumnya.

3. Untuk jalan dengan lalu lintas rendah dapat menggunakan nilai perkiraan
pada Tabel 2.2.
19

Tabel 2.2 Perkiraan Lalu Lintas untuk Jalan dengan Lalu Lintas Rendah (Kasus Beban
Berlebih)

Deskripsi Jalan LHRT Kend Umur Pertumbuhan Pertumbuhan Kelompok Kumulatif ESA/HVAG Lalin desain
dua Berat rencana lalu lintas lalu lintas sumbu/ HVAG (overloaded) indikatif
arah (% dari (th) (%) kumulatif Kendaraan (Pangkat 4)
lalu berat Overloaded
lintas)
Jalan desa minor 30 3 20 1 22 2 14.454 3,16 4,5 x 104
dengan akses
kendaraan berat
terbatas
Jalan kecil 2 arah 90 3 20 1 22 2 21.681 3,16 7 x 104
Jalan Lokal 500 6 20 1 22 2,1 252.945 3,16 8 x 105
Akses lokal 500 8 20 3,5 28,2 2,3 473.478 3,16 1,5 x 106
daerah industri
atau quarry
Jalan kolektor 2000 7 20 3,5 28,2 2,2 1.585.122 3,16 5 x 106

(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2017)


20

2.3.3 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas


Dalam menentukan faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan dari data-
data pertumbuhan (historical growth data) atau korelasi dengan faktor
pertumbuhan lain yang berlaku. Jika tidak tersedia data maka dapat menggunakan
Tabel 2.3 dengan rentang tahun (2015-2035).

Tabel 2.3 Faktor laju Pertumbuhan lalu lintas (i)(%)


Rata-rata
Jawa Sumatera Kalimantan
Indonesia
Arteri dan
4,80 4,83 5,14 4,75
Perkotaan
Kolektor Rural 3,50 3,50 3,50 3,50
Jalan Desa 1,00 1,00 1,00 1,00
(Sumber : Manual Desain Perkerasan 2017)

Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana bisa di hitung dengan rumus
Persamaan 2.1.

Dengan :
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
komulatif. i = Laju Pertumbuhan lalu lintas tahunan
(%).
UR = Umur rencana (tahun).
2.3.4 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Dalam merencanakan jalan yang diartikulasikan biasannya memiliki satu
jalur atau beberapa jalur, jika jalan tidak memiliki tanda batas jalur maka jumlah
jalur dapat ditentukan dari lebar jalan tersebut berdasarkan Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m 1 Jalur
5,50 m ≤ L ≤ 8,25 m 2 Jalur
8,25 m ≤ L ≤ 11,25 m 3 Jalur
11,25 m ≤ L ≤ 15,00 m 4 Jalur
15,00 m ≤ L ≤ 18,75 m 5 Jalur
18,75 m ≤ L ≤ 22,00 m 6 Jalur
(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 1987)
21

Dengan menentukan presentase kendaraan yang dapat ditentukan dengan


menggunakan koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan
kendaraan berat yang lewat pada jalur yang direncanakan, ditentukan sesuai Tabel
2.5.

Tabel 2.5 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Jumlah Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)


Lajur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,000
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 Lajur - 0,30 - 0,450
5 Lajur - 0,25 - 0,425
6 Lajur - 0,20 - 0,400
*) berat total < 5 ton, misalnya mobil penumpang pick up, mobil hantaran.
**) berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, traktor, semi trailler, trailer
(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 1987)
2.3.5 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Setiap kendaraan memiliki angka ekivalen beban sumbu masing-masing
dibedakan berdasarkan golongan sumbu yang ditentukan dengan menggunakan
Persamaan 2.2 dan 2.3.

 Sumbu Tunggal

 Sumbu Ganda

Selain menggunakan rumus angka ekivalen, beban sumbu kendaraan juga


dapat ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.6.
22

Tabel 2.6 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Beban Sumbu Angka Ekivalen


Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.3.6 Menghitung Beban Sumbu Standar Kumulatif (CESAL)

Beban sumbu standar kumulatif atau Cumulative Equivalent Single


Axle Load (CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas
desain pada lajur desain selama umur rencana dan sesuai dengan VDF
masing-masing kendaraan niaga yang ditentukan pada persamaan 2.2, yang
ditentukan sebagai berikut :
ESATH-1= ( Σ LHRJK x VDFJK ) x 365 x DD x DL xR.................(2.4)
Dimana
ESATH- : Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen.(equivalent
1 standard axle) pada tahun pertama
LHRJK : Lintas harian rata-rata tiap jenis kendaraan niaga (satuan
kendaraan per hari)
VDFJk : Faktor ekivalen beban(Vehicle Damage Factor) tiap jenis
kendaraan niaga sesuai
DD : Faktor distribusi arah (nilainya antara 0,3 – 0,7)
DL : Faktor distribusi lajur
R : Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif (Persamaan
2.1)
23

2.3.7 Menentukan Struktur Pondasi Jalan

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2017) desain pondasi jalan adalah


desain perbaikan tanah dasar dan lapis penopang (capping), micro pilling
(cerucuk), drainase vertical, pra-pembebanan dan berbagai penanganan lain yang
diperlukan untuk membentuk perletakan pendukung struktur perkerasan lentur,
baik untuk kondisi tanah biasa maupun tanah lainnya yang lazim ditemui di
Indonesia.

Tiga faktor penting di dalam desain perkerasan adalah lalu lintas, tanah
dasar dan pengaruh air. Selain itu, pada kasus perkerasan yang harus dibangun di
kawasan dengan tanah bermasalah seperti gambut dan tanah lunak, karakteristik
tanah bersangkutan merupakan faktor yang sangat penting karena analisis tanah
dasar biasa tidak dapat menghasilkan perkerasan dengan kinerja yang diharapkan.

Umur rencana pondasi jalan untuk semua perkerasan baru maupun


pelebaran digunakan minimum 40 tahun karena:

a. Pondasi jalan tidak dapat ditingkatkan selama umur pelayanannya kecuali


dengan cara rekonstruksi menyeluruh.
b. Perkerasan lentur dengan desain pondasi di bawah standar mungkin
memerlukan perkuatan dengan lapisan aspal tambahan berulang kali
selama masa pelayanannya sehingga biaya total perkerasan menjadi lebih
mahal dibandingkan dengan perkerasan yang didesain dengan baik.
c. Perkerasan kaku di atas tanah lunak dengan desain fondasi di bawah
standar cenderung mengalami keretakan dini yang dalam kasus terburuk
mungkin memerlukan penggantian pelat beton.
Tabel 2.7 menunjukkan tebal minimum lapis penopang untuk mencapai
CBR desain 6% yang digunakan untuk pengembangan katalog desain tebal
perkerasan. Apabila lapis penopang akan digunakan untuk kendaraan
konstruksi mungkin diperlukan lapis penopang yang lebih tebal
24

Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini berlaku dalam pelaksanaan lapis


penopang.
a. Persyaratan umum
1. Material yang digunakan sebagai lapis penopang harus berupa bahan
timbunan pilihan. Jika lapisan tersebut di bawah permukaan air harus
digunakan material batuan atau material berbutir. Dalam hal ini harus
digunakan material berbutir dengan kepekaan terhadap kadar air rendah.
2. Dapat berfungsi sebagai lantai kerja yang kokoh sepanjang periode
pelaksanaan.
3. Tebal minimum 600 mm untuk tanah ekspansif.
4. Elevasi permukaanlapis penopang harus memenuhi persyaratan tinggi
minimum tanah dasar di atas muka air tanah dan muka air banjir,
dijelaskan dalam Tabel 2.8.
5. Kedalaman alur roda pada lapis penopang akibat lalu lintas selama
periode konstruksi tidak lebih dari 40 mm.
6. Mencapai ketebalan tertentu sehinggapermukaan lapis penopang dapat
dipadatkan dengan alat pemadat berat.
b. Metode pemadatan
Lapis penopang harus dipadatkan dengan metode dan mencapai tingkat
kepadatan yang ditentukan atau yang disetujui oleh direksi pekerjaan. Pada
bagian bawah lapis penopang kepadatan yang mungkin dapat dicapai
cenderung lebih kecil daripada 95% kepadatan kering maksimum.
c. Geotekstil
Jika tanah asli jenuh atau cenderung akan jenuh pada masa pelayanan,
geotekstil sebagai pemisah harus dipasang diantara lapis penopang dan tanah
asli. Material lapis penopang yang terletak langsung di atas geotekstil harus
material berbutir.
25

Tabel 2.7 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum


CBR Kelas Uraian Perkerasan Lentur Perkerasan
Tanah Kekuatan Struktur Kaku
Dasar Tanah Dasar Fondasi Beban Lalu Lintas pada Stabilisasi
(%) Lajur Rencana dengan Semen
Umur Rencana 40 Tahun
(juta ESA5)
<2 2 >4
Tebal Minimum Perbaikan
Tanah Dasar
≥6 SG6 Perbaikan Tidak Perlu Perbaikan 300
5 SG5 Tanah Dasar - 100
4 SG4 dapat Berupa 100 150200
3 SG3 Stabilisasi 150 200300
2,5 SG2,5 Semen atau 175 250350
Tanah Ekspansif (Potensi Material 400 500 600 Berlaku
Pemuaian > 5%) Timbuan Ketentuan
Pilihan (Sesuai yang Sama
Persyaratan dengan
Spesifikasi Fondasi
Umum, Deviasi Jalan
Perkerasan
3- Pekerjaan
Tanah) Lentur
(Pemadatan
Lapisan ≤200
mm Tebal
Gembur)
Perkerasan SG1 Lapisan 1000 1100 1200
diata tanah Penopang
lunak Lapisan 650 750 850
Penopang dan
Geogrid
Tanah Gambut dengan HRS Lapis 1000 1250 1500
atau DBST untuk perkerasan Penopang
untuk jalan raya minor (nilai Berbutir
minimum-ketentuan lain
26

(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2017)


Tabel 2.8 Tinggi minimum tanah dasar di atas muka air tanah dan muka air banjir

Kelas Jalan Tinggi Tanah Dasar diatas Muka Tinggi Tanah Dasar diatas
Air Tanah (mm) Muka Air Banjir (mm)
Jalan Bebas 1200 (jika ada drainase bawah 500 (banjir 50 tahunan)
Hambatan permukaan di median)
1700 (tanpa drainase bawah permukaan di median)
Jalan Raya 1200 (tnah lunak jenuh atau
gambut tanpa lapis drainase)
800 (tanah lunak jenuh atau gambut tapa lapis drainase)
600 (tanah dasar normal)
Jalan Sedang 600 500 (banjir 10 tahunan)
Jalan Kecil 400 NA
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2017)
2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Menggunakan Metode AASHTO
1993
Parameter perencanaan tebal perkerasan lentur yang mengacu pada
Metode AASHTO 1993 menurut Siegfried (2007) antara lain : Analisis lalu lintas,
Reliability, Serviceability, Resilient Modulus, Drainage Coefficient, Layer
Coefficient, dan Structural Number (SN).
2.4.1 Structural Number
Menurut Siegfried (2007), Structural Number merupakan fungsi dari
ketebalan lapisan, koefisien relative lapisan (layer coefficient), dan koefisien
drainase (drainase coefficient). Persamaan untuk structural number adalah sebagai
berikut:
SN = a1D1+ a2D2m2+a3D3m3..........................................................................................( 2.5 )
Dimana :
SN : Nilai structural number
a1,a2,a3 : Koefisien relatif masing-masing lapisan
D1,D2,D3 : Tebal masing-masing lapisan perkerasan
m2, m3 : Koefisien drainase masing-masing lapisan

2.4.2 Analisis Lalu Lintas


Data dan parameter analisis lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan
tebal perkerasan meliputi : Jenis kendaraan, volume lalu lintas harian rata-rata
27

(LHR), pertumbuhan lalu lintas tahunan, damage factor, umur rencana, faktor
distribusi arah (DD), faktor distribusi lajur (DL), ESAL selama umur rencana.
Menurut Siegrfried (2007), prosedur perencanaan untuk parameter lalu
lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Equivalent
Standard Axle Load ) atau ESAL. Beban jalan memiliki ragam yang sangat
banyak. Untuk perhitungan berikutnya, beban dari kendaraan akan dikonversikan
dengan angka ekivalen tertentu sesuai dengan beban masingmasing kendaraan.
Perhitungan untuk ESAL ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat
terhadap beban gandar standar 8,16 kN dan mempertimbangkan umur rencana,
volume lalu lntas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth
factor).
2.4.3 Reliabilitas (Reliability)
Menurut Siegfried (2007), konsep reliability untuk perencanaan perkerasan
didasarkan pada beberapa ketidaktentuan dalam proses perencanaan. Tingkat
reliabilitas ini yang digunakan tergantung pada volume lalu lintas, klasifikasi jalan
yang akan direncanakan maupun ekspetsi dari pengguna jalan.
2.4.4 Faktor Lingkungan
Menurut Siegfried (2007), persamaan-persamaan yang digunakan untuk
perencanaan AASHTO didasarkan atas hasil pengujian dan pengamatan pada jalan
percobaan selama lebih kurang 2 tahun. Pengaruh jangka panjang dari temperature
dan kelembaban pada penurunan serviceability belum dipertimbangkan. Satu hal
yang menarik dari faktor lingkungan ini adalah pengaruh dari kondisi awal swell
dan forst heave dipertimbangkan, maka penurunan serviceability diperhitungkan
selama masa analisis yang kemudian berpengaruh pada umur rencana perkerasan.
28

2.4.5 Serviceability
Menurut Siegrfried (2007) serviceability merupakan tingkat pelayanan
yang diberikan oleh sistem perkerasan yang kemudian dirasakan oleh pengguna
jalan. Untuk serviceability ini parameter utama yang dipertimbangkan adalah nilai
Present Serviceability Index (∆PSI). Nilai serviceability ini merupakan nilai yang
menjadi penentu tingkat pelayanan fungsional dari sistem perkerasan jalan. Secara
numeric serviceability ini merupakan fungsi dari beberapa parameter antara lain
ketidakrataan, jumlah lubang, luas tambalan, dll.
2.4.6 Langkah-Langkah Perencanaan dengan Metode AASHTO 1993
Perencanaan tebal perkerasan lentur metode AASHTO berdasarkan pada
analisis lalu lintas, perhitungan modulus resilien tanah, serviceability, reliability,
deviasi standar keseluruhan, koefisien drainase, dan kekuatan relatif lapisan.
2.4.6.1 Analisis Lalu Lintas
1. Penentuan umur rencana.
2. Penentuan faktor distribusi arah (DD). Nilai fakor distribusi arah antara 0,3 –
0,7. Tetapi umumnya diambil 0,5 (AASHTO, 1993)
3. Penentuan faktor distribusi lajur (DL)

Tabel 2.9 Faktor Distribusi Lajur (DL)

Jumlah lajur tiap arah DL %


1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
(Sumber: AASHTO, 1993)
4. Data lalu lintas harian rata-rata (LHR)
Dari data LHR yang diberikan, dapat diketahui data LHR hingga akhir
umur rencana dengan menggunakan Persamaan 2.5.
LHRakhir= LHRawal x (1+i)UR...............................................................( 2.6 )
Dimana
i : Pertumbuhan lalu lintas kendaraan
n : Selisih tahun dari LHR awal dan LHR akhir
29

5. Angka ekivalen beban sumbu


Berat kendaraan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui roda kendaraan
yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Menurut Sukirman (1999)
setiap jenis kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda.
Sumbu depan merupakan sumbu tunggal roda tunggal, sumbu belakang
dapat merupakan sumbu tunggal maupun sumbu ganda. Dengan demikian
setiap jenis kendaraan akan mempunyai angka ekivalen yang merupakan
jumlah angka ekivalen dari sumbu depan dan sumbu belakang.
Beban masing-masing sumbu dipengaruhi oleh letak titik berat
kendaraan, dan bervariasi sesuai dengan muatan dari kendaraan tersebut.
Angka ekivalen dapat dihitung dengan Persamaan 2.6, dan Persamaan 2.7.
Distribusi beban pada roda kendaraan terdapat pada Tabel 2.10.

Angka ekivalen sumbu tunggal = 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 (𝑘𝑔)4 ............................... ( 2.7 )


8160

Angka ekivalen sumbu ganda = 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 (𝑘𝑔)4


x 0.086..............( 2.8 )
8160
30

Tabel 2.10 Distribusi Pembebanan pada Roda Kendaraan

Maksimum(ton)

Maksimum(ton)

UE 18 KSAL

UE 18 KSAL
o Roda Tunggal Pada
Sumbu&Tipe

BeratKosong

BeratMuatan Ujung Sumbu


Konfigurasi

Maksimum
BeratTotal
 Roda Ganda Pada Ujung

Kosong
Sumbu
(ton)

1,1 1,5 0,5 2,0 0,0001 0,0005


HP

1,2 3 6 9 0,0037 0,3006


Bus

1,2L 2,3 6 8,3 0,0013 0,2174


Truk

1,2H 4,2 14 18,2 0,0143 5,0264


Truk

1,22 5 20 25 0,0044 2,7416


Truk
1,2 + 6,4 25 31,4 0,0085 3,9083
2,2
Trailer

1,2 – 2 6,2 20 26,2 0,0192 6,1179


Trailer

1,2 – 10 32 42 0,0327 10,183


2,2
Trailer

(Sumber : Sukirman, 1999)

6. Menghitung lalu lintas pada lajur rencana (W18)


W18 =DD x DLx W18..........................................................................................(2.9)

Dimana :
DD = Faktor distribusi
Arah DL = Faktor Distribui
Lajur
W18 = Beban gandar standar kumulatif untuk dua arah
31

7. Menghitung lalu lintas kumulatif selama umur rencana


(1+𝑔)𝑛−1 ..............................................(2.10)
W1 = W18 x g

Dimana :
Wt = Jumlah beban gandar standar kumulatif selama UR
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun
N = Umur pelayanan (tahun)
g = Perkembangan lalu lintas (%)

2.4.6.2 Perhitungan Modulus Resilient (MR) Tanah Dasar


MR = 1500 CBR (psi)...............................................................(2.11)
Dimana :
CBR = Nilai CBR (%)
MR = Modulus resilien

2.4.6.3 Menentukan Serviceability


1. Indeks kemampuan pelayanan awal (Po), untuk perkerasan kaku
menggunakan nilai Po 4,5 dan untuk perkerasan lentur
menggunakan nilai 4,2 (AASHTO, 1993).
2. Indeks kemampuan pelayanan akhir (Pt) dapat menggunakan Tabel
2.11.
Tabel 2.11 Indeks Kemampuan Pelayanan Akhir
Pt Persen Orang Berpendapat Tidak Setuju
3,0 12 %
2,5 55 %
2,0 85 %
(Sumber: AASHTO, 1993)

3. Kehilangan kemampuan pelayanan (∆𝑃𝑆𝐼)


∆PSI = Po – Pt...................................................(2.12)
Pada perkerasan lentur (flexible pavement) dengan tingkat lalu lintas tinggi
∆PSI = Po – Pt = 4,2 – 2,5
dan untuk tingkat lalu lintas rendah
∆PSI = Po – Pt = 4,2 – 2,0 = 2,2.
32

2.4.6.4 Menentukan reliability (R) dan standar deviasi normal (ZR)


Menururt Siegfried (2007) reliability merupakan kemungkinan bahwa
tingkat pelayanan dapat tercapai pada tingkatan tertentu dari sisi pengguna jalan
selama umur rencana. Nilai reliabilitas disajikan dalam Tabel 2.12, dan nilai
standar deviasi normal disajikan dalam Tabel 2.13.

Tabel 2.12 Nilai Reliablilitas (R)


Rekomendasi tingkat reliabilitas
Klasifikasi Jalan Pekotaan Antar kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 85 50 – 80
(Sumber: AASHTO, 1993)

Tabel 2.13 Nilai Standar Deviasi Normal untuk Tingkatan Reliability


Reliabilitas, R (%) Standar deviasi normal, ZR
50 0,000
60 -0,253
70 -0,524
75 -0,674
80 -0,841
85 -1,037
90 -1,282
92 -1,405
93 -1,476
94 -1,555
95 -1,645
96 -1,751
97 -1,881
98 -2,054
99 -2,327
99,9 -3,090
99,99 -3,750
(Sumber: AASHTO, 1993)
33

2.4.6.5 Deviasi Standar Keseluruhan (So)


Nilai deviasi standar keseluruhan (So) dapat menggunakan Tabel 2.14
Tabel 2.14 Tabel Nilai So
Jenis Perkerasan Nilai (So)

Perkerasan Lentur 0,40 – 0,50

Perkerasan Kaku 0,30 – 0.40

(Sumber: AASHTO, 1993)


2.4.6.6 Penentuan Koefisien Drainase
Penentuan kualitas drainase tergantung dari berapa lamanya air hujan
hilang, dan penilaian kualitas drainase didasarkan pada Tabel 2.15. Selanjutnya
penentuan koefisien drainase dapat ditentukan menggunakan Tabel 2.16.

Tabel 2.15 Kualitas Drainase

Kualitas drainase Air hilang dalam


Baik Sekali 2 Jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali Air tidak mengalir
(Sumber: AASHTO, 1993)

Tabel 2.16 Koefisien Drainase

(%) Waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang


Kualitas Drainase mendekati jenuh
< 1% 1–5% 5 – 25 % > 25 %

Baik sekali 1,40 – 1,30 1,35 -1,30 1,30 – 1,20 1,20

Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00

Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80

Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,08 – 0,75 0,60 – 0,40 0,40

(Sumber: AASHTO, 1993)


34

2.4.6.7 Menentukan Bahan dan Koefisien Kekuatan Relatif Lapisan (a)


Menurut Siegfried (2007) koefisien kekuatan relatif lapisan ini
menggambarkan hubungan empiris antara Structural Number (SN) dan
ketebalan lapisan perkerasan, dan merupakan suatu ukuran kemempuan relative
material untuk dapat berfungsi sebagai komponen struktur perkerasan. Koefisien
kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis
permukaan, pondasi atas, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai dengan
nilai Marshall Test, kuat tekan, atau CBR. Bahan dan koefisien kekuatan relative
ditentukan menurut Tabel 2.17

Tabel 2.17 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien Bahan Jenis Bahan


a1 a2 a3 MS (kg) Kt(kg/cm) CBR(%)
0.40 - - 744 - - Laston
0.35 - - 590 - -
0.35 - - 454 - -
0.30 - - 340 - -
0.35 - - 744 - - Lasbutag
0.31 - - 590 - -
0.28 - - 454 - -
0.26 - - 340 - -
0.30 - - 340 - - HRA
0.26 - - 340 - - Aspal macadam
0.25 - - - - - Lapen (mekanis)
0.20 - - - - - Lapen (manual)
- 0.28 - 590 - - Laston Atas
- 0.26 - 454 - -
- 0.24 - 340 - -
- 0.23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0.19 - - - - Lapen(manual)
- 0.15 - - 22 - Stab Tanah dengan
- 0.13 - - 18 - Semen

- 0.15 - - 22 - Stab Tanah dengan


- 0.13 - - 18 - Kapur
- 0.14 - - - 100 Batu Pecah (Kelas A)
- 0.13 - - - 80 Batu Pecah (Kelas B)
- 0.12 - - - 60 Batu Pecah (Kelas C)
35

Lanjutan Tabel 2.17 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan Relatif Koefisien Bahan Jenis Bahan


a1 a2 a3 MS (kg) Kt(kg/cm) CBR(%)
- - 0.13 - - 70 Sirtu/pitrun (Kelas A)
- - 0.12 - - 50 Sirtu/pitrun (Kelas B)
- - 0.11 - - 30 Sirtu/pitrun (Kelas C)
- - 0.10 - - 20 Tanah/lempung
kepasiran
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 1987)
Pada Gambar 2.8 adalah grafik hubungan Structural Layer Coefficient
(a1) untuk Asphalt Concrete / LASTON dan nilai Modulus Elastic EAC (psi) pada
suhu 68℉. Dimana dalam keadaan ini direkomendasikan nilai Modulus Elastic
EAC (psi) dibawah 450.000 psi Untuk memperkirakan nilai koefisien lapisan beton
aspal (a1) dapat digunakan Gambar 2.8 untuk lapisan permukaan berdasarkan
modulus elastis. Meskipun nilai Modulus Elastic EAC yang lebih tinggi akan lebih
kaku dan tahan terhadap lentur, tetapi juga lebih rentan terhadap pengaruh panas
dan retak.

Gambar 2.8 . Grafik perkiraan koefisien kekuatan relative lapis


permukaan beton aspal a1 (AASHTO, 1993)
36

Pada a2, koefisien kekuatan relative dapat digunakan Gambar 2.9


atau dengan rumus berikut :
a2 = 0,249 (Log10 EBS) – 0,977(2.12)

Gambar 2.9. Nomogram variasi koefisien kekuatan relatif lapis


pondasi atas ɑ2 (AASHTO, 1993)

Pada a3 dapat menggunakan Gambar 2.10 atau dengan rumus berikut

: a3 = 0,227 (Log10 ESB) – 0,839… (2.13)

Gambar 2.10. Nomogram variasi koefisien kekuatan relative


lapis pondasi bawah ɑ3 (AASHTO, 1993)
37

2.4.6.8 Menentukan Nilai Structural Number (SN)


Dasar perencanaan dari metode AASHTO baik AASHTO 1972, AASHTO
1986, maupun metode terbaru saat ini yaitu AASHTO 1993 adalah persamaan
seperti yang diberikan dibawah ini:

Dimana :

W18 = Kumulatif beban gandar standar selama umur


rencana (CESA) ZR = Standar normal deviasi
So = Combined standard error dari prediksi lalu lintas dan kinerja
SN = Structural number
∆PSI =Kehilangan kemampuan pelayanan
Mr = Modulus resilien (psi)

Hitungan tebal lapis perkerasan lentur dilakukan dengan lebih dahulu


menentukan angka struktural (SN) dengan Persamaan 2.14 atau menggunakan
grafik pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11. Nomogram untuk mencari nilai SN (Structural Number)


(AASHTO, 1993)
38

Besaran SN menyatakan nilai abstrak kekuatan struktur perkerasan yang


terbentuk dari kekuatan gabungan antara Modulus Resilient tanah dasar, jumlah
total beban gandar tunggal, kemempuan pelayanan akhir, dan
kondisi lingkungan (AASHTO, 1993). Structural Number ini dapat
dikonversikan kedalam tebal dari berbagai macam material perkerasan. SN dapat
digunakan untuk mencari D1 dengan Persamaan 2.15, D2 dengan Persamaan
2.16, dan D3 dengan Persamaan 2.17.

Dimana:
SN : Nilai Structural Number.
a1, a2, a3 : Layer Coefficient
D1, D2, D3 :Tebal masing-masing lapis perkerasaan
(inchi) m2, m3 : Koefisien drainase lapisan base dan
subbase

2.4.6.9 Tebal Minimum Lapis Perkerasan


Tebal minimum masing-masing lapis perkerasan mengacu pada Tabel 2.18.

Tabel 2.18 Tebal Minimum Campuran Beraspal dan Lapis Pondasi

Lalu lintas Lalu lintas Lalu lintas


rancangan rancangan rancangan

< 50.000 1 4
50.001 - 150.000 2 4
150.001 - 500.000 2,5 4
500.001 - 2.000.000 3 6
2.000.001 - 7.000.000 3,5 6
> 7.000.000 4 6
(Sumber : AASHTO, 1993)
39

2.5 Rencana Anggaran Biaya


Dalam merencanakan sebuah konstruksi tentu memerlukan perkiraan biaya
untuk mengetahui berapa besar biaya yang diperlukan untuk membangun sesuatu
proyek konstruksi. Tanpa adanya rencana anggaran biaya (RAB) sangat mungkin
terjadinya pembengkakan biaya karena pembelian bahan yang tidak sesuai dengan
volume yang ada dilapangan, upah pekerja yang tidak terkontrol dengan baik,
pengadaan alat yang boros, dan berbagai dampak lainnya. Sehingga peran rencana
anggaran biaya (RAB) sangat penting dalam sebuah proyek.
2.5.1 Pengertian Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran menurut Syawaldi (2014) adalah :
1. Perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta
biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau
suatu proyek tertentu.
2. Merencanakan sesuatu bangunan dalam bentuk dan faedah dalam
penggunaannya, beserta besarnya biaya yang diperlukan susunan-susunan
pelaksanaan dalam bidang administrasi maupun pelaksanaan pekerjaan
dalam bidang teknik.
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam penyusunan anggaran biaya
antara lain :
1. Anggaran Biaya Kasar (Taksiran) sebagai pedomannya digunakan harga
satuan setiap meter persegi luas lantai. Namun anggaran biaya kasar dapat
juga sebagai pedoman dalam penyusunan RAB yang dihitung secara teliti.
2. Anggaran Biaya Teliti, anggaran biaya proyek yang dihitung secara teliti
dan cermat sesuai dengan ketentuan proyek dan syarat-syarat penyusunan
anggaran biaya.
2.5.2 Tujuan Rencana Anggaran Biaya
Tujuan dari RAB adalah membuat suatu pikiran atau rencana yang sesuai
dengan volume maupun harga satuan setiap jenis tenaga kerja, bahan dan
peralatan yang digunakan. Sehingga kita mengetahui berapa besar rencana harga
bagian atau item pekerjaan sebagai pedoman untuk mengeluarkan biaya-biaya
40

dalam masa pelaksanaannya. Selain itu supaya konstruksi yang direncanakan


dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
2.5.3 Fungsi Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya ini menjadi dasar dalam merencanakan sebuah
proyek sehingga diketahui jenis dan besarnya pekerjaan yang akan dilaksanakan.
Berdasarkan RAB tersebut dapat diketahui jenis dan besarnya pekerjaan yang
dilaksanakan. Dari RAB juga dapat diputuskan peralatan apa saja yang nantinya
perlu dibeli langsung atau hanya perlu sewa. Maka RAB dalam sebuah
perencanaan sangat diperlukan sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan dan
sebagai pengontrol pelaksanaan pekerjaan.
2.5.4 Analisa Harga Satuan Dasar (HSD)
HSD merupakan komponen untuk menyusun harga harga satuan pekerjaan
(HSP) memerlukan HSD tenaga kerja, HSD alat, dan HSD bahan. Setelah
memperoleh data dari HSD masing-masing data tersebut masuk dalam
rekapitulasi RAB untuk selanjutnya dikalikan dengan volume seperti contoh tabel
analisa harga satuan pekerjaan lapis perekat pada Tabel 2.19. Berikut ini
diberikan langkah-langkah perhitungan HSD komponen menurut HSPK Tuban
(2018).
2.5.4.1 Langkah Perhitungan HSD Tenaga Kerja
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu
bahan rujukan harga standar untuk upah sebagai HSD tenaga kerja. Langkah
perhitungan HSD tenaga kerja menurut Kementrian Pekerjaan umum 2016 adalah
sebagai berikut :
1. Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja yang diutuhkan, misal pekerja
(P), tukang (Tx), mandor (M), atau kepala tukang (KaT).
2. Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah (Gubernur,
Walikota, Bupati) setempat, data upah hasil survai di lokasi yang
berdekatan dan berlaku untuk daerah tempat lokasi pekerjaan akan
dilakukan.
41

3. Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan


memperhitungkan biaya makan, menginap dan transport selama masa
kontrak.
4. Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24 – 26 hari), dan
jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam)
5. Hitung biaya upah masing-masing pekerja yaitu dihitung per jam per
orang.
6. Rata-ratakan seluruh dari biaya upah per jam sebagai upah rata-rata per
jam.
Contoh penggunaan Harga Satuan Dasar (HSD) tenaga kerja seperti pada Tabel
2.19
Tabel 2.19 Contoh daftar harga satuan dasar (HSD) upah per jam
Harga
No Uraian Kode Satuan Keterangan
Satuan (Rp)
1 Pekerja P Jam 4.657,31 -
2 Tukang T Jam 5.963,57 -
3 Mandor M Jam 7.281,29 -
4 Operator O Jam 4.054,29 -
5 Pembantu Operator PuO Jam 3.582,86 -
6 Sopir S Jam 6.600,00 -
7 Pembantu Sopir PuS Jam 4.337,14 -
8 Mekanik M Jam 3.928,57 -
9 Pembantu Mekanik PuM Jam 2.857,14 -
10 Kepala Tukang KaT Jam 5.000,00 -
(Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016)

2.5.4.2 Langkah Perhitungan HSD Alat


Analisis HSD alat memerlukan data upah seperti operator atau supir,
spesifikasi alat meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m³), umur ekonomis
alat (dari pabrik pembuatnya), jam kerja dalam satu tahun, dan harga alat. Faktor
lainnya adalah komponen investasi alat meliputi suku bunga bank, asuransi alat,
faktor alat yang spesifik seperti faktor bucket untuk Excavator, harga perolehan
alat, dan Loader. Contoh penggunaan Harga Satuan Dasar (HSD) alat seperti pada
Tabel 2.20 (Kementrian Pekerjaan Umum, 2016).
42

Tabel 2.20 Contoh daftar harga satuan dasar (HSD) dump truck 10 ton

Harga Jumlah
No Uraian Kode Satuan Koef
Satuan Harga
(Rp) (Rp)
A Uraian Peralatan
1 Jenis Peralatan Dump Truck 10 Ton - -
2 Tenaga Pw HP 190 - -
3 Kapasitas Cp Ton 10 - -
4 Alat Baru:
a. Umur Ekonimis A Tahun 5 - -
b. Jam Kerja dalam 1 Tahun W Jam 2000 - -
c. Harga Alat B Rp 420000000 - -
B Biaya Pasti Per Jam Kerja
1 Nilai Sisa Alat (10% x B) C Rp 42000000 - -
𝐴
𝑖 𝑥 (1+𝑖)
2 Faktor Angsuran Modal ( ) D - 0.26 - -
(1+𝑖)𝐴−1
Biaya Pasti Per Jam
a. Biaya Pengembalian Modal E Rp 49.857 - -
3 ( (𝐵−𝐶)𝑥𝐷 )
𝑊 0,002𝑥𝐵
b. Asuransi ( ) F Rp 420,00 - -
𝑊
Biaya Pasti Per Jam (E + F) G Rp 50.377,72 - -
C Biaya Operasi Per Jam Kerja
1 Bahan Bakar (12%-15%) x Pw x
Ms H Rp 149.302,38 - -
2 Pelumas (2,5%-3%) x Pw x Mp
(6,25% 𝑑𝑎𝑛 8,75%) 𝑥 𝐵
Biaya Bengkel ( ) I Rp 85.500,00 - -
𝑊 J Rp 18.375 - -
(12,5%−17,5%) 𝑥 𝐵
3 Perawatan ( 𝑊 ) K Rp 26.250,00 - -
4 Operator (1 orang/jam) x U1 L Rp 4.179,29 - -
Pembantu Operator(1
5 orang/jam)xU2 M RP 3.707,86 - -
Biaya Operasi Per Jam P Rp 287.314,52 - -
(H+I+J+K+L+M)
D Total Biaya Sewa Alat/Jam (G+P) S Rp 337.592,52 - -
E Lain-lain
1 Tingkat Suku Bunga i % / Th 10 - -
2 Upah Operator / Supir / Mekanik U1 Rp/jam 4179.29 - -
3 Upah Pmb Operator/Pmb Supir/P,b U2 Rp/jam 3707.86 - -
Mekanik
4 Bahan Bakar Solar Ms Liter 6543.35 - -
5 Minyak Pelumas Mp Liter 18000 - -
(Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016)

2.5.4.3 Langkah Perhitungan HSD Bahan


Dalam menentukan harga standar bahan atau HSD bahan perlu
menetapkan rujukan harga standar bahan arau HSD baha per satuang pengukuran
standar. Analisis HSD bahan memerlukan data harga bahan baku, serta biaya
transportasi dan biaya produksi bahan baku menjadi bahan olahan atau bahan jadi.
43

Produksi bahan memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu alat. Setiap alat
dihitung kapasitas produksinya dalam satuan pengukuran per jam, dengan cara
memasukkan data kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain dan waktu siklus
masing-masing.
HSD bahan terdiri atas harga bahan baku atau HSD bahan baku, HSD
bahan olahan, dan HSD bahan jadi. Perhitungan harga satuan dasar (HSD) bahan
yang diambil dari quarry dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku
(batu kali/gunung, pasir sungai atau gunung dll), dan berupa bahan olahan
(misalnya agregat kasar dan halus hasil produksi mesin pemecah batu dan lain
sebagainya).
Harga bahan di quarry berbeda dengan harga bahan yang dikirim ke base
camp atau ke tempat pekerjaan, karena perlu biaya tambahan berupa biaya
pengangkutan material dari quarry ke base camp. Contoh penggunaan Harga
Satuan Dasar (HSD) alat seperti pada Tabel 2.21.
Tabel 2.21 Contoh daftar harga satuan dasar (HSD) bahan
Harga Satuan Jumlah Harga
No Uraian Kode Satuan Volume
(Rp) (Rp)
1 Pasir Pasang Pp m3 - 25.750,00 -
2 Pasir Beton Pb m3 - 20.000,00 -
3 Batu Kali Bk m3 - 19.500,00 -
4 Batu Belah Bb m3 - 9.000,00 -
5 Gravel Grv m3 - 8.000,00 -
6 Aspal Cement Ac Ton - 1.100.000,00 -
7 Sirtu Srt m3 - 17.500,00 -
8 Pasir Urug Pu m3 - 18.000,00 -
9 Tanah Timbun Ttbn m3 - 20.300,00 -
10 Material Pilihan Mpil m3 - 20.300,00 -
Jumlah Harga
A Rp
Pekerjaan
PPN (10% x A) B Rp
Total (A+B) C Rp
(Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, 2016)

Anda mungkin juga menyukai