Anda di halaman 1dari 59

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Jalan

Pengertian perkerasan jalan adalah suatu lapisan yang terletak diatas tanah

dasar yang telah mendapatkan pemadatan, yang berfungsi untuk memikul beban

lalu lintas kemudian menyebarkan beban, baik kearah horisontal maupun vertikal

dan akhirnya meneruskan beban ketanah dasar (Subgrade) sehingga beban pada

tanah dasar tidak melampaui daya dukung tanah yang diijinkan. Lapis perkerasan

suatu jalan terdlri dari satu ataupun beberapa lapis material batuan dan bahan ikat.

Bahan batuan dapat terdiri dari berbagai fraksi batuan yang direncanakan

sedemikian sehingga memenuhi persyaratan yang dituntut.

Secara umum konstruksi perkerasan Jalan dibagi menjadi 2 (dua) jenis

yaitu:

1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan lentur terbuat dari bahan batuan dari berbagai fraksi membentuk

gradasi batuan yang sesuai dengan persyaratan dan diikat oleh bahan pengikat

aspal. Perkerasan lentur umumnya mempunyai kelenturan yang cukup tinggi

kalau dibandingkan dengan lapis keras kaku, sehingga sangat baik digunakan

pada konstruksi Jalan yang mengalami lendutan yang relatif besar akibat beban

lalu lintas.

6
7

2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku adalah perkerasan yang terdiri dari komponen batuan

(Agregate) kerikil dan pasir yang dicampur dan diikat oleh bahan pengikat Semen

Portland (PC). Perkerasan ini terdiri dari plat beton semen yang diletakkan

langsung ditanah dasar yang telah dipersiapkan ataupun diatas pondasi (Base)

agregat klas A / B.

Perbedaan utama dari perkerasan lentur dan perkerasan kaku adalah

bagaimana cara struktur tersebut melimpahkan beban lalu lintas ke tanah dasar

(Subgrade). Perkerasan kaku mampu menyebarkan beban pada tanah dasar

dengan daerah penyebaran yang luas, sehingga tekanan yang diterima tanah dasar

persatuan luas akibat beban beban lalu lintas menjadi sangat kecil. Kekakuan yang

dimiliki oleh perkerasan tegar dapat ditingkatkan dengan memperbaiki mutu

bahan penyusunnya yang berarti menaikkan mutu beton semennya. Berbeda

dengan perkerasan kaku, pada perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis,

sehingga kemampuan untuk melimpahkan beban lalu lintas ketanah dasar

tergantung dari sifat - sifat penyebaran beban oleh masing - masing lapisan.

Berdasarkan kenyataan diatas maka kekuatan dari Jenis perkerasan lentur ini

ditentukan oleh kekuatan bahan penyusunnya, tebal masing - masing lapisan dan

kekuatan tanah dasarnya.


8

2.2 Lapisan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai

bahan pengikat. Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan

yang melayani beban lalu lintas ringan sampai sedang, seperti jalan perkotaan,

jalan dengan system ultilitas terletak di bwah perkerasan jalan, perkerasan bahu

jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap. Perkerasan lentur memiliki

beberapa karateristik sebagai berikut ini :

1. Memakai bahan pengikat aspal

2. Sifat dari perkerasan ini adalah memikul beban lalu lintas dan

menyebarkannya ke tanah dasar

3. Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya rutting (Lendutan

pada jalur roda)

4. Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, jalan bergelombang

(mengikuti tanah dasar).

Keuntungan menggunakan perkerasan lentur antara lain :

1. Dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differential

settlement) terbatas

2. Mudah diperbaiki

3. Tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja

4. Memiliki tahanan geser yang baik

5. Warna perkerasan member kesan tidak silau bagi pemakai jalan


9

6. Dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pembangunan

terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.

Kerugian menggunakan perkerasan lentur antara lain :

1. Tebal total struktur perkerasan lebih tebal dibandingkan Perkerasan kaku

2. Kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan

3. Tidak baik digunakan jika sering digenangi air

4. Menggunakan agregat lebih banyak Struktur perkerasan lentur terdiri dari

beberapa lapis yang mana semakin ke bawah memiliki daya dukung tanah

yang jelek

2.3 Komponen Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

2.3.1 Tanah Dasar (sub grade)

Tanah Dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan galian atau

permukaan tanah timbunan, yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar

untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari

sifat- sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang menyangkut

tanah dasar adalah sebagai berikut:

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu

akibat beban lalu lintas.

b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar

air.
10

Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada

daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau

akibat pelaksanaan

2.3.2 Lapis Pondasi Bawah (sub base course)

Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis

pondasi dan tanah dasar.

Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan

menyebarkan beban roda.

b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-

lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).

c. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

a. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.

Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap

roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera

menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.

Bermacam-macam tipe tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif

lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.
kapur
Campuran-campuran tanah setempat dengan atau semen portland dalam

beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yang efektif terhadap

kestabilan konstruksi perkerasan.


11

2.3.3 Lapis Pondasi (base course)

Lapis Pondasi adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan

dengan lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan

lapis pondasi bawah).

Fungsi lapis pondasi antara lain:

a. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda,

b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet

sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan

untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan

pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.

Bermacam-macam bahan alam / bahan setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat

digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah dan

stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

2.3.4 Lapis Permukaan (surface course)

Lapis Permukaan adalah bagian perkerasan yang paling atas. Fungsi lapis

permukaan antara lain:

a. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda

b. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan kerusakan akibat

cuaca.
12

c. Sebagai lapisan aus (wearing course).

Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah sama dengan bahan untuk

lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal

diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri

memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung

lapisan terhadap beban roda lalu lintas.

Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan,

umur rencana serta pentahapan konstruksi, agar dicapai manfaat yang sebesar-

besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

Gambar 2.1 Komponen struktur perkerasan lentur

2.4 Tebal Lapis Tambah (Overlay)

Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan dan

perawatan jalan yang diperlukan dan direncanakan untuk mempertahankan


13

kondisi jalan agar tetap berfungsi optimal melayani lalu lintas selama umur

rencana yang telah direncanakan. Adapun beberapa jenis perawatan yang dapat

dilakukan yaitu pemeliharaan yang dilakukan secara berkala dalam kurun waktu

tertentu, perbaikan yang dilakukan diantaranya perencanaan tebal lapis tambah

(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 13 Tahun 2011).

Umur rencana overlay structural ditetapkan minimum 10 tahun. Semua

perkerasan untuk daerah yang tidak dimungkinkan pelapisan ulang (overlay),

seperti: jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan. Perkerasan yang rusak

berat, dan perkerasan dengan lendutan yang lebih tinggi ditinjau dari nilai

karakteristik desain overlay harus ditambal sebelum pelapisan ulang. Struktur

penambalan minimum harus setara dengan struktur perkerasan eksisting untuk

lokasi tersebut. Sebelum merencanakan tebal overlay, harus dilakukan survei

kondisi perkerasan. Perbaikan yang perlu dilakukan sebelum overlay tergantung

pada jenis, tingkat dan luas kerusakan, serta jenis pelapisan yang dipilih.

Kerusakan perkerasan eksisting berupa kerusakan yang dapat dilihat secara visual.

Apabila kerusakan pada perkerasan eksisting diperkirakan akan mempengaruhi

kinerja perkerasan maka kerusakan tersebut harus diperbaiki terlebih dahulu

sebelum pelapisan. Sering terjadi kerusakan overlay terjadi akibat tidak

diperbaikinya kerusakan perkerasan eksisting sebelum overlay. (Bina Marga,

2017)

2.5 Kriteria Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan


14

Menurut Sukirman (1992) supaya perkerasan jalan dapat memberikan rasa aman

dan nyaman kepada si pemakai jalan, maka haruslah memenuhi syarat - syarat

tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

2.5.1 Syarat-syarat berlalu lintas

Konstruksi perkerasan lentur dipandang dari keamanan dan kenyamanan

berlalu lintas haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Permukaan yang rata, tidak bergelombang, tidak melendut dan tidak

berlubang.

b. Permukaan yang cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat

beban yang bekerja di atasnya.

c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan

permukaan jalan sehingga tidak mudah selip.

d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari

2.5.2 Syarat-syarat kekuatan/struktural

Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan

menyebarkan beban, haruslah memenuhi syarat-syarat :

a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan

beban/muatan lalu lintas ke tanah dasar.

b. Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan

dibawahnya.

c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh

di atasnya dapat cepat dialirkan.


15

d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan

deformasi yang berarti.

2.6 Parameter Perencanaan Tebal Lapisan Lentur

Dalam perencanaan perkerasan jalan ada beberapa faktor yang perlu

diperhatikan yaitu berdasarkan fungsi jalan, umur rencana, lalu lintas, sifat tanah

dasar, kondisi lingkungan, dan material lapis perkerasan yang tersedia di suatu

daerah tertentu.

2.6.1 Fungsi Jalan

Jalan pada umumnya menurut fungsinya berdasarkan pasal 8 Undang - Undang

No 38 Tahun 2004 tentang Jalan dikelompokkan sebagai berikut :

1. Jalan Arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

umum dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan

jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

2. Jalan Kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan

rata-rata sedang, dan jumlah masuk dibatasi.

3. Jalan Lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,

dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

4. Jalan Lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan

rata-rata rendah
16

2.6.2 Umur Rencana

Umur rencana Umur rencana adalah waktu dalam satuan tahun dihitung sejak

perkerasan jalan dibuka untuk lalu lintas sampai saat diperlukan perbaikan berat.

Selama umur rencana ini, perkerasan diharapkan bebas dari pekerjaan perbaikan

berat (Suprapto, 2000, dalam Hardwiyono, 2012). Umur rencana untuk lapis

perkerasan lentur biasanya didesain pada umumnya menggunakan 20 tahun dan

masa perawatan jalan 10 tahun. Perencanaan umur rencana lapis perkerasan lentur

yang lebih dari 20 tahun dinilai kurang ekonomis, karena pertumbuhan lalu lintas

yang sukar diprediksi.

2.6.3 Lalu Lintas

2.6.3.1 Jalur Lalu Lintas

Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang

diperuntungkan bagi lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa

lajur yang merupakan bagian dari jalur lalu lintas pada perkerasan jalan. Pada

jalur lalu lintas yang sering dilewati kendaraan beroda empat atau lebih biasanya

memiliki lebih dari satu lajur (Hardwiyono, 2012). Jumlah lajur minimal untuk

jalan dengan dua arah minimal adalah dua lajur, yang biasanya disebut dengan

jalan 2 jalur 2 lajur.

2.6.3.2 Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melintasi pada satu titik

tinjauan yang bisa diamati secara visual dan dihitung dalam satuan waktu yang
17

biasa dinyatakan dalam kendaraan/hari. Satuan volume lalu lintas yang biasa

digunakan adalah :

1.2 Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) adalah volume lalu lintas rata-rata

dalam satu hari.

2.2 Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) adalah jumlah lalu lintas

kendaraan rata-rata yang melintasi satu jalur selama 24 jam dan diperoleh

dari data selama satu tahun penuh.

3.2 Kapasitas Kapasitas adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat

melintasi suatu penampang jalan pada jalur jalan selama satu jam dengan

kondisi lalu lintas tertentu.

2.6.4 Sifat Tanah Dasar

Tanah dasar adalah lapisan dasar untuk meletakkan lapisan perkerasan.

Sifat tanah dasar ini sangat mempengaruhi ketebalan lapis perkerasan dan

material perkerasan diatasnya secara keseluruhan. Pada umumnya di Indonesia,

daya dukung tanah dasar untuk lapis perkerasan jalan bisa dicari dengan

metode California Bearing Ratio (CBR). Nilai CBR diperoleh dari hasil uji lab

ataupun pengujian langsung di lapangan. Tanah dasar untuk struktur jalan

biasanya merupakan tanah asli, timbunan, ataupun galian yang sudah

dipadatkan mencapai kepadatan 95% kepadatan maksimum.

2.6.5 Kondisi Lingkungan

Pengaruh kondisi lingkungan/lapangan terhadap lapis perkerasan jalan

cukup besar dikarenakan musuh utama dari aspal adalah air. Berikut ini
18

pengaruh kondisi lingkungan terhadap lapis perkerasan jalan menurut

(Hardwiyono, 2012) adalah:

a. Berpengaruh terhadap sifat teknis struktur lapis perkerasan dan sifat

komponen material lapis perkerasan.

b. Pelapukan bahan material.

c. Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan lapis perkerasan.

Faktor utama yang mempengaruhi struktur lapis perkerasan jalan adalah

air yang berasal dari hujan. Air hujan ini akan meresap masuk dalam tanah

dasar dan bahan granular yang tidak diperkeras sehingga butiran materialnya

mengembang, kepadatannya menurun, daya dukung tanah (DDT) berkurang,

nilai CBR mengecil. Pengaruh perubahan suhu akibat perubahan cuaca

terutama berpengaruh kepada perkerasan yang menggunakan aspal sebagai

bahan ikat material granular. Hal ini disebabkan sifat reologi aspal yang

berkembang jika terkena suhu panas dan menyusut jika terkena suhu dingin.

Pada suhu panas aspal cenderung melunak dan daya dukung aspal berkurang.

Sebaliknya pada suhu dingin aspal cenderung mengeras, kaku, tingkat

kelenturan berkurang, dan mudah pecah

2.7 Perhitungan Perkerasan Lentur Metode Pd-T-05-2005-b

2.7.1 Lalu Lintas

2.7.1.1 Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C).

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu

ruas jalan, yang menampung lalu-lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki
19

tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan sesuai

Tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Jalan

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur

L < 5,50 m 1 jalur

5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur

8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur

11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur

15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur

18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat

yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)


Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,000


2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,450
5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,400

Keterangan: *) Kendaraan ringan


20

**) Kendaraan Berat

2.7.1.2 Ekivalen Bebas Sumbu Kendaraan (E)

Angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap

kendaraan) ditentukan menurut rumus - rumus atau pada tabel berikut:

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen STRT = 5,40
.................................................(2.1)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen STRG = 8,16
.................................................(2.2)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen SDRG = 13,76
................................................(2.3)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen STrRG= 18,45
...............................................(2.4)

Tabel 2.3 Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)

Beban sumbu Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)


(ton) STRT STRG SDRG STrRG
21

1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001


2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014
3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070
4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221
5 0,73503 0,14097 0,01743 0,00539
6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67697 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081

2.7.1.3 Faktor Umur Rencana dan Perkembangan Lalu Lintas (N)

Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan

menurut rumus atau Tabel dibawah ini:

1 (1+r)n-1 -1
N = 2 1+(1+r)n +2(1+r) r
..............................................................(2.5)

Tabel 2.4 Faktor hubungan antara umur rencana dengan perkembangan

lalu lintas
22

r (%) 2 4 5 6 8 10
n (tahun)
n (tahun) 1 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,06 12,25 12,89 13,58 15,07 16,73
11 12,29 13,76 14,56 15,42 17,31 19,46
12 13,55 15,33 16,32 17,38 19,74 22,45
13 14,83 16,96 18,16 19,45 22,36 25,75
14 16,13 18,66 20,09 21,65 25,18 29,37
15 17,47 20,42 22,12 23,97 28,24 33,36
20 24,54 30,37 33,89 37,89 47,59 60,14
25 32,35 42,48 48,92 56,51 76,03 103,26
30 40,97 57,21 68,10 81,43 117,81 172,72

2.7.1.4 Akumulasi ekivalen beban sumbu standar (CESA)

Dalam menentukan akumulasi beban sumbu lalu lintas (CESA) selama

umur rencana ditentukan dengan rumus berikut:

CESA =∑MP
Traktor - Trailer
m x 365 x e x C x N.................................................(2.6)

Keterangan:

CESA = Akumulasi ekivalen beban sumbu standar

m = Jumlah masing-masing beban sumbu standar

365 = Jumlah hari dalam satu tahun

E = Ekivalen Beban Sumbu (Tabel 2.2)


23

C = Koefisien Distribusi Kendaraan (Tabel 2.3)

N = Faktor hubungan umur rencana (Tabel 2.4)

2.7.2 Lendutan

Lendutan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah lendutan hasil pengujian

dengan alat Falling Weight Deflectometer (FWD) atau Benkelman Beam

(BB). Apabila pada waktu pengujian lendutan ditemukan data yang meragukan

maka pada lokasi atau titik tersebut dianjurkan untuk dilakukan pengujian ulang

atau titik pengujian dipindah pada lokasi atau titik disekitarnya.

2.7.2.1 Lendutan Dengan Falling Weight Deflectometer (FWD)

Lendutan yang digunakan adalah lendutan pada pusat beban (df1). Nilai

lendutan ini harus dikoreksi dengan faktor muka air tanah (faktor musim) dan

koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji tidak tepat

sebesar 4,08 ton). Besarnya lendutan langsung adalah sesuai rumus:

dL = df1 x Ft x Ca x FKB-FWD .................................................................(2.7)

Keterangan:

dL = lendutan langsung (mm)

df1 = lendutan langsung pada pusat beban (mm)

Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 35˚C,

yaitu sesuai rumus 8, untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau

rumus 9 untuk tebal lapis (HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau
24

menggunakan tabel 2.5 atau pada gambar 2.2 (Kurva A untuk HL < 10 cm

dan Kurva B untuk HL ≥ 10 cm)

= 4,184 x TL- 0,4025 , untuk HL < 10 cm...........................................(2.8)

= 14,785 x TL- 0,7573 , untuk HL > 10 cm........................................(2.9)

TL= temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pemgukuran langsung

dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara, yaitu:

TL= 1/3 (Tp + Tt + Tb) .........................................................................(2.10)

Tp= temperatur permukaan lapis beraspal

Tt= temperatur tengah lapis beraspal

Tb= temperatur bawah lapis beraspal

Ca = Faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada muka air tanah rendah

= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada mukai air tanah tinggi

FKB-FWD = Faktor koreksi beban uji Falling Weight Deflectometer (FWD)

(-1)
= 4,08 x (Beban Uji dalam ton) ..........................................(2.11)

Cara pengukuran lendutan dengan alat FWD mengacu pada Petunjuk

Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Falling Weight

Deflectometer (Dadang AS-Pustran, 2003).


25

Gambar 2.2a Rangkaian Alat Falling Weight Deflectometer (FWD)

Gambar 2.2b Trailer Alat Falling Weight Deflectometer (FWD)

Gambar 2.2 Alat Falling Weight Deflectometer (FWD)

2.7.2.2 Lendutan Dengan Benkelman Beam (BB)

Lendutan yang digunakan untuk perencanaan adalah lendutan balik. Nilai

lendutan tersebut harus dikoreksi dengan, faktor muka air tanah (faktor

musim) dan koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji

tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik adalah sesuai rumus

berikut:
26

dB = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB...................................................(2.12)

keterangan:

dB = lendutan balik (mm)

d1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran

d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 m dari titik pengukuran

Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 35˚C, sesuai

rumus 8 untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau Rumus 9,

untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau

menggunakan Tabel 2. 5 atau pada Gambar 2.2 (Kurva A untuk HL < 10

cm dan Kurva B untuk HL > 10 cm).

TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran

langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara,yaitu:

TL= 1/3 (Tp + Tt + Tb) ......................................................................(2.13)

Tp= temperatur permukaan lapis beraspal

Tt= temperatur tengah lapis beraspal

Tb= temperatur bawah lapis beraspal

Ca = Faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)

= 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada muka air tanah rendah


27

= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada mukai air tanah tinggi

FKB-BB= faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)

(-2,0715)
= 77,343 x (Beban Uji dalam ton) .......................................(2.14)

Cara pengukuran lendutan balik mengacu pada SNI 03-2416-1991 (Metoda

Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelman Beam)

Gambar 2.3a Rangkaian Alat Benkelman Beam (BB)

Gambar 2.3b Skema Benkelman Beam


28

Gambar 2.3c Ban Roda Belakang Truk Standar

Gambar 2.3 Alat Benkelman Beam

Gambar 2.4 Faktor koreksi lendutanterhadap temperatur standar (Ft)


29

Tabel 2.5 Faktor koreksi lendutan terhadap lendutan standar (Ft)

Catatan :

1. Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (H L) kurang

dari 10 cm

2. Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (H L)

minimum 10 cm

Tabel 2.6 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) lapis beraspal

berdasarkan data temperatur udara (Tu) dan Temperatur Udara (Tu) dan

29
30

Temperatur Permukaan (Tp)

2.7.3 Keseragaman Lendutan

Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik pengujian atau

berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan panjang seksi


31

maka cara menentukan panjang seksi jalan harus dipertimbangkan terhadap

keseragaman lendutan. Keseragaman yang dipandang sangat baik mempunyai

rentang faktor keseragaman antara 0 sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan

20 keseragaman baik dan antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup

baik. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

s
FK = dR x 100% < FK ijin..............................................................................(2.15)

Keterangan:

FK = Faktor Keseragaman

FK Ijin = Faktor Keseragaman yang Diijinkan

= 0% - 10%; Keseragaman sangat baik

= 11% - 20%; Keseragaman baik

= 21% - 30%; Keseragaman cukup baik

DR = Lendutan rata – rata pada suatu seksi jalan

∑nS
1 d
= nS
........................................................................................(2.16)

s = deviasi standar = simpangan baku


32

2
∑nS
1 d
2 ∑nS
1 d
nS nS
= ns ns ns-1
...............................................................(2.17)

d = nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (dL) tiap titik

pemeriksaan pada suatu seksi jalan

nS = jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan

2.7.4 Lendutan Wakil

Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub ruas/seksi

jalan, digunakan rumus - rumus yang telah disesuaikan dengan fungsi/kelas jalan,

yaitu:

Dwakil = dR + 2 s; untuk jalan arteri / tol (tingkat kepercayaan 98%)...........(2.18)

Dwakil = dR + 1,64 s; untuk jalan kolektor (tingkat kepercayaan 95%).........(2.19)

Dwakil = dR +1,28 s;untuk jalan lokal (tingkat kepercayaan 90%).................(2.20)

Keterangan:

Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan

dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai Rumus 16

s = deviasi standar sesuai Rumus 17


33

2.7.5 Faktor Koreksi Lapis Tambah

Tebal lapis tambah/overlay yang diperoleh adalah berdasarkan temperatur

standar 35oC, maka untuk masing-masing daerah perlu dikoreksi karena memiliki

temperatur perkerasan rata-rata tahunan (TPRT) yang berbeda. Data

temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk setiap daerah atau kota

ditunjukkan pada Lampiran A, sedangkan faktor koreksi tebal lapis

tambah/overlay (Fo) dapat diperoleh dengan Rumus 21 atau menggunakan

Gambar 2.3

Fo = 0,5032 x EXP (0,0194 x TPRT) ....................................................................(2.21)

Keterangan:

Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay

TPRT = temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah/kota

tertentu
34

Gambar 2.5 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah (overlay)

2.7.6 Jenis Lapis Tambah

Pedoman ini berlaku untuk lapis tambah dengan Laston, yaitu modulus resilien

(MR) sebesar 2000 MPa dan Stabilitas Marshall minimum 800 kg. Nilai modulus

resilien (MR) diperoleh berdasarkan pengujian UMATTA atau alat lain dengan

temperatur pengujian 25oC. Apabila jenis campuran beraspal untuk lapis tambah

menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston atau campuran ber aspal yang

mempunyai sifat berbeda (termasuk untuk Laston) dapat menggunakan faktor

koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL) sesuai Rumus 2.22 atau Gambar

2.4 dan Tabel 2.7.

-0,333
FKTBL = 12,51 x MR ..................................................................................(2.22)
35

Keterangan:

FKTBL = faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian

MR = Modulus Resilien (MPa)

Gambar 2.6 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Penyesuaian FKTBL

Tabel 2.7 Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Penyesuaian FKTBL

Modulus Stabilita
Resilien, s
Jenis Lapisan MR (MPa) Marshall FKTBL
Laston Modifikasi 3000 (kg)
min. 1000 0,85
Laston 2000 min. 800 1,00
Lataston 1000 min. 800 1,23
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksankan di Jalan Lintas Timur Palembang – Betung dengan STA

25+000 – 35+000

Gambar 3.1 Peta Lokasi Perencanaan


Sumber: Badan Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional

Sumatera Selatan

36
37

3.2 Pengumpulan Data

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, dibutuhkan beberapa data pendukung untuk

mendapatkan hasil perencanaan yang optimal. Data-data yang dibutuhkan tersebut

dibagi menjadi data primer dan data sekunder yang akan dijelaskan dibawah ini:

3.2.1 Data Primer

Data primer adalah data yang didapat langsung melalui survei secara langsung

ke lokasi penelitian, data ini berguna untuk mempelajari keadaan yang terjadi

di lapangan.

1. Survei panjang dan lebar jalan

a. Menentukan panjang dan lebar ruas jalan

Survei ini dilakukan agar mengetahui lebar dan panjang ruas jalan yang

akan direncanakan menggunakan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

dengan menggunakan meteran untuk mengukur panjang dan lebarnya serta

alat tulis dan buku untuk mencatat data yang sudah diperoleh

b. Mengambil gambar untuk data gambar lokasi

Selain mengukur panjang dan ruas jalan, diperlukan juga untuk

mengambil gambar lokasi perencanaan menggunakan kamera yang akan

digunakan sebagai data.


38

2. Survei untuk data LHR

a. Menentukan jadwal survei dan jumlah surveyor

Sebelum melakukan survey untuk data yang akan diolah nanti maka

harus menentukan jadwal survey terlebih dahul agar data-data yang

didapatkan dari hasil survey dapat mewakili data untuk minggu-minggu

berikutnya, pengambilan data survey LHR dilakukan selama 7 hari.

Survey lalu lintas ini dilakukan oleh 2 orang surveyor, dengan waktu

pencatatan dibatasi setiap jam dari jam 06.00 – 18.00.

b. Perlatan yang digunakan untuk survei

Peralatan dan tenaga kerja yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Formulir survey dan peralatan alat tulis untuk menulis

2. Kalkulator dan stopwatch yang digunakan untuk mengukur waktu

3. Meteran untuk mengukur jarak

4. Counter untuk menghitung jumlah kendaraan yang melewati jalan

tersebut

5. Serta dua orang surveyor yang bertugas untuk mengukur waktu signal

dan mencatat jumlah kendaraan yang melewati jalan tersebut.

3.2.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Instansi yang terkait dengan

penelitian ini

1. Data Lalu Lintas Harian Rata – Rata (LHR)


39

Data LHR adalah titik rata-rata dalam suatu titik dalam satu hari

yang dilalui oleh volume lalu lintas yang dihitung sepanjang satu tahun.

Data ini didapatkan dari Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan,

data ini untuk membandingkan data yang telah didapat dari survey secara

langsung denga survey yang dilakukan pemerintah beberapa tahun

terakhir.

2. Data Lendutan FWD

Data ini didapatkan dari Dinas Pekerjaan Umum Bidang Bina

Marga Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional

Sumatera Selatan

3.3 Pengolahan Data

Data yang sudah didapat, selanjutnya di olah. Pada tahapan pengolahan atau

menganalisis data tersebut, dilakukan dengan menghitung data dengan rumus

yang digunakan. Hasil dari pengolahan tersebut, data digunakan kembali sebagai

data untuk merencanakan tebal perkerasan lentur

3.4 Analisis Data

Semua data informasi primer ataupun sekunder yang telah didapat kemudian

direncanakan dan disusun sedemikian rupa agar mendapatkan hasil akhir, adapun

tahapan analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghitung volume lalu lintas harian rata - rata (LHR)


40

Dari data LHR yang telah didapat dari survey dilapangan, selanjutnya akan diolah

lagi dengan dikalikan smp/jam dan dengan nilai tersebutlah kita akan menghitung

tebal perkerasan tambahan

2. Prosedur perhitungan tebal perkerasan tambah

Perhitungan tebal lapis tambah yang disarankan pada pedoman ini adalah

berdasarkan data lendutan yang diukur dengan alat FWD atau BB. Pengukuran

lendutan dengan alat FWD disarankan dilakukan pada jejak roda luar (jejak

roda kiri) dan untuk alat BB pada kedua jejak roda (jejak roda kiri dan jejak

roda kanan). Pengukuran lendutan pada perkerasan yang mengalami kerusakan

berat dan deformasi plastis disarankan dihindari.

Tahapan perhitungan tebal lapis tambah adalah sebagai berikut:

a. hitung repetisi beban lalu-lintas rencana (CESA) dalam ESA

b. hitung lendutan hasil pengujian dengan alat FWD atau BB dan koreksi

dengan faktor muka air tanah (faktor musim, Ca) dan faktor temperatur

standar (Ft) serta faktor beban uji (FKB-FWD untuk pengujian dengan

FWD dan FKB-BB untuk pengujian dengan BB) bila beban uji tidak

tepat sebesar 8,16 ton)

c. tentukan panjang seksi yang memiliki keseragaman (FK) yang sesuai

dengan tingkat keseragaman yang diinginkan

d. hitung Lendutan wakil (Dwakil) untuk masing-masing seksi jalan yang

tergantung dari kelas jalan

e. hitung lendutan rencana/ijin (Drencana) dengan menggunakan rumus;


41

Untuk Lendutan FWD = Drencana = 17,004 x CESA (-0,2307)

Untuk Lendutan BB = Drencana = 22,208 x CESA (-0,2307)

dengan pengertian :

Drencana = lendutan rencana, dalam satuan milimeter.

CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan ESA

f. hitung tebal lapis tambah/overlay (Ho) dengan menggunakan rumus;

Ho = (Ln(1,0364) + Ln(Dsbl ov) – Ln(Dstl ov)) / 0,0597

dengan pengertian :

Ho = tebal lapisan tambah sebelum dikoreksi temperatur rata-rata tahunan

daerah tertentu dalam satuan centimeter

Dsbl ov = lendutan sebelum lapis/Dwakil, dalam satuan milimeter

Dstl ov = lendutan setelah lapis tambah atau lendutan rencana dalam satuan

milimeter

g. hitung tebal lapis tambah/overlay terkoreksi (Ht) dengan mengkalikan Ho

dengan faktor koreksi overlay (Fo), yaitu sesuai dengan rumus;

Ht = Ho x Fo

Dengan pengertian:

Ht = Tebal lapis tambah Laston setelah dikoreksi dengan temperatur rata-

rata tahunan daerah tertentu dalam satuan centimeter

Ho = tebal lapisan tambah sebelum dikoreksi temperatur rata-rata tahunan

daerah tertentu dalam satuan centimeter

Fo = Faktor koreksi tebal lapis tambah


42

h. bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak sesuai

dengan ketentuan di atas maka tebal lapis tambah harus dikoreksi dengan

faktor koreksi tebal tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL)


43

Bagan Alir Metodologi Penelitian

Mulai

Survey Lokasi

Pengumpulan Data

Data Primer : Data Sekunder :


a. Pengukuran Lebar a. Lalu lintas Harian
Jalan Rata – rata (LHR)

b. Melakukan Survey b. Data Lendutan

LHR secara manual

Mencatat Data

Pengolahan Data

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.2 Bagan Alir Metodologi Penelitian


44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Data

4.1.1. Data Umum Jalan

a. Panjang jalan yang akan dianalisis : 10 km

b. Lebar jalan : 7,00 m

c. Kelas Jalan : Kelas II Arteri

4.1.2. Lalu Lintas Harian Rata – rata

Survey LHR ini diambil pada STA 29+800 pada tanggal 23 Juni 2020 – 29 Juni

2020 selama 7 hari dimana dalam 1 hari survey dilakukan selama 12 jam dengan

jarak satu jam, dan data LHR ini diambil dari hari yang terpadat selama survey 7

hari tersebut.

44
61

Tabel 4.1 Data Survey LHR


kendaraan pribadi kendaraan umum kendaraan barang tdk brmtr
knd
waktu spd Smp Smp Smp bus Smp bus
mobil mpu Smp pick Smp truck Smp Truck Smp truck Smp truck Smp truck Smp tdk smp
mtr 0,33 1 1 sdg 1,8 bsr 1,8 up 1 2sb4rd 1,5 2sb6rd 2,5 3sb 2,5 gndg 2,5 smtrlr 2,5 mtr 0,8
gol 1 2 3 5a 5b 4 6a 6b 7a 7b 7c 8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
06.00-
332 109,6 342 342,0 27 27,0 0 0,0 2 3,6 46 46,0 35 52,5 143 357,5 45 112,5 0 0,0 1 2,5 0 0,0
07.00
07.00-
342 112,9 357 357,0 32 32,0 0 0,0 2 3,6 39 39,0 44 66,0 142 355,0 41 102,5 1 2,5 3 7,5 1 0,8
08.00
08.00-
339 111,9 368 368,0 24 24,0 2 3,6 2 3,6 47 47,0 44 66,0 133 332,5 35 87,5 0 0,0 2 5,0 0 0,0
09.00
09.00-
345 113,9 370 370,0 29 29,0 4 7,2 2 3,6 47 47,0 42 63,0 125 312,5 35 87,5 0 0,0 3 7,5 0 0,0
10.00
10.00-
349 115,2 387 387,0 35 35,0 2 3,6 0 0,0 59 59,0 43 64,5 151 377,5 48 120,0 0 0,0 2 5,0 0 0,0
11.00
11.00-
371 122,4 364 364,0 32 32,0 2 3,6 2 3,6 61 61,0 61 91,5 145 362,5 48 120,0 0 0,0 7 17,5 0 0,0
12.00
12.00-
383 126,4 392 392,0 36 36,0 5 9,0 6 10,8 57 57,0 53 79,5 158 395,0 56 140,0 0 0,0 3 7,5 2 1,6
13.00
13.00-
416 137,3 427 427,0 34 34,0 2 3,6 4 7,2 56 56,0 67 100,5 154 385,0 51 127,5 1 2,5 6 15,0 0 0,0
14.00
14.00-
445 146,9 400 400,0 36 36,0 5 9,0 1 1,8 61 61,0 57 85,5 154 385,0 53 132,5 0 0,0 3 7,5 0 0,0
15.00
15.00-
379 125,1 361 361,0 32 32,0 0 0,0 2 3,6 58 58,0 57 85,5 142 355,0 45 112,5 0 0,0 1 2,5 0 0,0
16.00
16.00-
378 124,7 379 379,0 35 35,0 0 0,0 1 1,8 51 51,0 48 72,0 148 370,0 38 95,0 0 0,0 2 5,0 0 0,0
17.00
17.00-
369 121,8 360 360,0 27 27,0 1 1,8 1 1,8 42 42,0 50 75,0 133 332,5 25 62,5 0 0,0 8 20,0 0 0,0
18.00
jumlah 4448 1467,8 4507 4507,0 379 379,0 23 41,4 25 45,0 624 624,0 615 901,5 1728 4320,0 520 1300,0 2 5,0 41 102,5 3 2,4
46

4.1.3. Menentukan AADT

Didapatkan dari data sekunder yang bersumber dari Dinas Pekerjaan

Umum Bidang Bina Marga Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan

Jalan Nasional Sumatera Selatan bahwa pertumbuhan lalu lintas di daerah

Palembang – Betung, yaitu:

i = 3,50%

Tabel 4.2 Hasil AADT

No Konfigurasi AADT
Jenis Kendaraan
No BM Sumbu 2020 2021 2026 2031
Tahun Ke 0 5 10
1 1 Sp. Motor, Scoter, Kumbang 1.468
2 2 Sedan, Jeep, Sta. Wagon 1 4.507 4.665 5.540 6.580
3 3 Angkot, Combi 1 379 392 466 466
4 4 Pick UP 1 624 646 767 767
5 5A Bus Kecil 1 41 42 50 50
5B Bus Besar 1 45 47 55 55
6 6A Truk Kecil, 2 as, 4 roda 1 901 933 1.108 1.108
6B Truk Sedang, 2 as, 6 roda 1 4.320 4.471 5.310 5.310
7 7A Truk Berat, 3 as 1 1.300 1.346 1.598 1.598
7B Truk Gandengan 1.2 - 2.2 5 5 6 6
7C Truk Semi Trailer 1.2 - 22 102 106 125 125
8 8 Kendaraan Tidak Bermotor 2
I Jumlah Kendaraan ≥ 4 roda 12.224 12.652 15.026 16.066
Jumlah Kendaraan Niaga > 4 roda ( Bus Besar + Truk
II ) 5.772 5.974 7.095 7.095
II % Kendaraan Niaga > 4 roda ( Bus Besar + Truk ) 47% 47% 47% 44%

4.2. Metode PdT-05-2005-B

4.2.1. Lalu Lintas

4.2.1.1. Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)


47

Dikarenakan lebar perkerasan jalan adalah 7,00 m, maka sesuai dengan Tabel 2.1.

jumlah lajur berdasarkan lebar jalan adalah 2.

Setelah didapatkan jumlah lajur berdasarkan lebar jalan, maka dengan sesuai tabel

2.2 Koefisien Distribusi Kendaraan (C) adalah 0,50 untuk kendaraan ringan dan

0,50 untuk kendaraan berat

4.2.1.2. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)

STRT (Sumbu Tunggal Roda Tunggal)

1. Sedan, Jeep, Sta. Wagon (2 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 5,40

2 4
Angka Ekivalen = 5,40

Angka Ekivalen = 0,018817

2. Angkot, Combi (2,5 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 5,40

2,5 4
Angka Ekivalen = 5,40

Angka Ekivalen = 0,045939

3. Pick Up (6 ton)
48

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 5,40

6 4
Angka Ekivalen = 5,40

Angka Ekivalen = 1,524258

4. Bus Kecil (8 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 5,40

8 4
Angka Ekivalen = 5,40

Angka Ekivalen = 4,817092

5. Truk Kecil 2 Sumbu 4 Roda (12 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 5,40

12 4
Angka Ekivalen = 5,40

Angka Ekivalen = 24,38653

STRG (Sumbu Tunggal Roda Ganda)

1. Bus Besar (9 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 8,16

9 4
Angka Ekivalen = 8,16
49

Angka Ekivalen = 1,479822

2. Truk 2 Sumbu 6 Roda (18 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 8,16

4
Angka Ekivalen = 8,16

Angka Ekivalen = 23,67715

SDRG (Sumbu Dual Roda Ganda)

1. Truk 3 Sumbu (25 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 13,76

25 4
Angka Ekivalen = 13,76

Angka Ekivalen = 10,89648

STrRG (Sumbu Triple Roda Ganda)

1. Truk Gandeng (35 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 18,45

35 4
Angka Ekivalen = 18,45

Angka Ekivalen = 12,9505


50

2. Truk Semi Trailer (42 ton)

beban sumbu (ton) 4


Angka Ekivalen = 18,45

42 4
Angka Ekivalen = 18,45

Angka Ekivalen = 26,85417

Tabel 4.3 Tabel Ekivalen Sumbu Kendaraan

Berat Kend (ton)


Golongan Kendaraan
Berat Ekivalen

2 Sedan, Jeep, Sta. Wagon 2 0,018817

3 Angkot, Combi 2,5 0,045939

STRT 4 Pick UP 6 1,524158

5A Bus Kecil 8 4,817092

6A Truk Kecil, 2 as, 4 roda 12 24,38653

5B Bus Besar 9 1,479822


STRG
6B Truk Sedang, 2 as, 6 roda 18 23,67715

SDRG 7A Truk Berat, 3 as 25 10,89648

7B Truk Gandengan 35 12,9505


STrRG
7C Truk Semi Trailer 42 26,85417

4.2.1.3. Faktor Umur Rencana dan Perkembangan Lalu Lintas

Jika, r = 3,5%, dan n = 10 tahun

Dengan menggunakan rumus 2.5, maka diperoleh nilai N adalah:


51

1 (1+r)n-1 -1
N = 2 1+(1+r)n +2(1+r) r

1 (1+0,035)10-1 -1
N = 2 1+(1+0,035)10 +2(1+0,035) 0,035

N = 11,93

4.2.1.4. Akumulasi Ekivalen Beban Sumbu Standar (CESA)

Setelah mendapatkan nilai koefisien distribusi kendaraan (C), nilai ekivalen

kendaraan (E), dan faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas (N), maka

kita bisa menghitung nilai CESA dengan jumlah dari CESA masing - masing

kendaraan dengan menggunakan rumus, sebagai berikut:

CESA =∑MP
Traktor - Trailer
m x 365 x e x C x N

CESAsedan, jeep, sta wagon = 4507 x 365 x 0,018817 x 0,50 x 11,93= 184.646,57

CESAopelet, minibus = 379 x 365 x 0,045939 x 0,50 x 11,93= 37.907,40

CESApick-up, mikro truk = 624 x 365 x 1,524158 x 0,50 x 11,93= 2.070.703,37

CESAbus kecil = 41 x 365 x 4,817092 x 0,50 x 11,93= 430.003,61

CESAbus besar = 45 x 365 x 24,38653 x 0,50 x 11,93= 2.389.273,33

CESAtruk 2 sumbu 4 roda = 901 x 365 x 1,479822 x 0,50 x 11,93= 2.902.936,81

CESAtruk 2 sumbu 6 roda = 4320 x 365 x 23,67715 x 0,50 x 11,93= 222.698.086

CESAtruk 3 sumbu = 1300 x 365 x 10,89648 x 0,50 x 11,93= 30.841.315,5


52

CESAtruk gandengan = 5 x 365 x 12,9505 x 0,50 x 11,93= 140.980,76

CESAtruk semi-trailer = 102 x 365 x 26,85417 x 0,50 x 11,93= 5.963.692,17

CESAtotal = 267.659.546 ESA

CESAtotal = 267,7 x 106 ESA

4.2.2. Lendutan

Alat yang digunakan untuk mengukur lendutan untuk penelitian ini adalah Falling

Weight Deflectometer (FWD)

Tabel 4.4 Data Lendutan Hasil Pengujian Dengan Alat FWD

STA tegangan Lendutan Langsung / FWD (mm) Temperatur (˚C)

(Kpa) df1 df2 Tu Tp


25+000 610 0,294 0,203 34,3 36,3
25+400 603 0,233 0,258 34,3 35,40
25+800 602 0,309 0,218 34,3 36,3
26+200 631 0,315 0,218 34,3 35,40
26+600 626 0,182 0,11 34,3 36,3
27+000 622 0,315 0,218 34,3 35,40
27+400 627 0,294 0,203 34,3 36,3
27+800 620 0,194 0,154 34,3 35,40
28+200 623 0,189 0,122 34,3 36,3
28+600 625 0,194 0,154 34,3 35,40
29+000 626 0,182 0,11 34,3 36,3
29+400 620 0,248 0,206 34,3 35,40
29+800 606 0,208 0,141 34,3 36,3
30+200 625 0,213 0,15 34,3 35,40
30+600 612 0,178 0,128 34,3 36,3
31+000 615 0,305 0,215 34,3 35,40
31+400 627 0,186 0,102 34,3 36,3
31+800 621 0,319 0,229 34,3 35,40
32+200 618 0,139 0,11 34,3 36,3
32+600 628 0,523 0,299 34,3 35,40
33+000 616 0,102 0,083 34,3 36,3
33+400 605 0,198 0,163 34,3 35,40
33+800 613 0,138 0,109 34,3 36,3
53

34+200 622 0,248 0,198 34,3 35,40


34+600 617 0,144 0,107 34,3 36,3
35+000 633 0,347 0,298 34,3 35,40

Sumber: P2JN Provinsi Sumatera Selatan


54

Tabel 4.5 Nilai Lendutan FWD Terkoreksi

STA Tegangan Beban Lendutan Temperatur


FWD (˚C) Ft Ca FK b-fwd Lendutan dL2
(Kpa) df1 Tu Tp Tt Tb Tl Terkoreksi
25+000 610 4,33 0,294 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9422633 0,3191333 0,101846
25+400 603 4,3 0,233 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9488372 0,259989 0,0675943
25+800 602 4,31 0,209 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9466357 0,2279196 0,0519473
26+200 631 4,45 0,315 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9168539 0,3396394 0,1153549
26+600 626 4,44 0,182 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9189189 0,1926642 0,0371195
27+000 622 4,42 0,315 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9230769 0,3419446 0,1169261
27+400 627 4,45 0,294 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9168539 0,3105274 0,0964273
27+800 620 4,37 0,194 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9336384 0,213004 0,0453707
28+200 623 4,42 0,189 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9230769 0,2009797 0,0403928
28+600 625 4,43 0,194 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9209932 0,2101191 0,04415
29+000 626 4,43 0,182 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9209932 0,1930991 0,0372873
29+400 620 4,38 0,248 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9315068 0,2716721 0,0738057
29+800 606 4,31 0,208 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9466357 0,2268291 0,0514514
30+200 625 4,43 0,213 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9209932 0,2306978 0,0532215
30+600 612 4,36 0,178 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9357798 0,1918873 0,0368207
31+000 615 4,45 0,305 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9168539 0,3288572 0,108147
31+400 627 4,4 0,186 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9272727 0,1986886 0,0394772
31+800 621 4,38 0,319 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9315068 0,3494492 0,1221147
32+200 618 4,46 0,139 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9147982 0,1464848 0,0214578
32+600 628 4,36 0,29 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9357798 0,3191383 0,1018493
33+000 616 4,32 0,102 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9444444 0,110976 0,0123157
33+400 605 4,35 0,198 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,937931 0,2183954 0,0476965
33+800 613 4,41 0,138 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9251701 0,1470798 0,0216325
34+200 622 4,38 0,248 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9315068 0,2716721 0,0738057
55

34+600 617 4,48 0,144 34,3 36,3 40,1 35,4 37,267 0,96 1,2 0,9107143 0,1510766 0,0228241
35+000 633 4,45 0,211 34,3 35,40 39,5 34,5 36,467 0,98 1,2 0,9168539 0,2275045 0,0517583
Jumlah 6,199428 38,432908
Lendutan Rata-rata (dR) 0,2384395
Jumlah Titik 26
Deviasi Standar (s)_ 0,0677069
4.2.3. Keseragaman Lendutan

0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
25+000
25+400
25+800
26+200
26+600
27+000
27+400
27+800
28+200
28+600
29+000
29+400
29+800
30+200
30+600
31+000
31+400
31+800
32+200
32+600
33+000
33+400
33+800
34+200
34+600
35+000
Lendutan Rata-rata Lendutan Terkoreksi

Gambar 4.1 Lendutan FWD Terkoreksi (dL)


56

Untuk menentukan tingkat keseragaman lendutan menggunakan rumus 2.15,

yaitu:

s
FK = dR x 100%

0,067
FK = 0,238 x 100%

FK = 28,15 < 30%, Keseragaman cukup baik

4.2.4. Lendutan Wakil (Dwakil)

Menurut kelas jalan yang merupaka arteri, maka digunakanlah rumus 2.18, yaitu:

Dwakil = dR + 2 s

Dwakil = 0,238 + 2(0,067)

Dwakil = 0,372 mm

4.2.5. Lendutan Rencana/Ijin (Drencana)

Untuk lendutan rencana/ijin ini digunakan rumus yang sesuai dengan alat yang

digunakan, dikarenakan untuk penelitian ini dilakukan dengan alat Falling Weight

Deflectometer (FWD) jadi digunakan rumus;

Drencana = 17,004 x CESA(-0,2307)

Drencana = 17,004 x (267,7 x 106)(-0,2307)

Drencana = 0,19932 mm
57

4.2.6. Jenis Lapis Tambah

4.2.6.1. Tebal Lapis Tambah (Ho)

Menghitung tebal lapis tambah (Ho), yaitu:

Ho = (Ln(1,0364) + Ln(Dsbl ov) – Ln(Dstl ov)) / 0,0597

Ho = (Ln(1,0364) + Ln(0,372) – Ln(0,1993) / 0,0597

Ho = 11,05 cm

4.2.6.2. Koreksi Tebal Lapis Tambah (Fo)

Untuk menghitung tebal lapis tambah (Fo) bisa dio lihat dari gambar 4.2, dengan

nilai temperatur perkerasan rata-rata tahunan TPRT adalah 36,7˚C. Jadi tebal lapis

tambah terkoreksi (Fo) adalah:

Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x TPRT)

Fo = 0,5032 x EXP(0,0194 x 36,7)

Fo = 1,02553

4.2.6.3. Tebal Lapis Tambah Terkoreksi (Ht)

Untuk menghitung tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) menggunakan rumus

sebagai berikut:

Ht = Ho x Fo
58

Ht = 11,05 x 1,02553

Ht = 11,33 cm

4.2.6.4. Faktor Koreksi Tebal Lapis Tambah Penyesuaian

Diperoleh berdasarkan pengujian UMATTA atau alat lain dengan temperatur

pengujian 25oC. Apabila jenis campuran beraspal untuk lapis tambah

menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston atau campuran beraspal yang

mempunyai sifat berbeda (termasuk untuk Laston) dapat menggunakan faktor

koreksi tebal lapis tambah penyesuaian (FKTBL) sesuai tabel 2.7 Faktor Koreksi

Tebal Lapis Tambah Penyesuaian,

Jadi, sesuai dengan tabel tersebut FKTBL yang didapat untuk perhitungan tebal

lapis tambah ini adalah 0,85. Maka, untuk menghitung tebal lapis tambah adalah

sebagai berikut:

Ht = 11,33 cm x FKTBL

Ht = 11,33 cm x 0,85

Ht = 9,6 cm ≈ 10 cm

Karena lapis tambah perkerasan hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu AC – BC dan

AC – WC, maka tebal untuk setiap lapisan adalah:

AC – WC = 4 cm (berdasarkan syarat dan spesifikasi bahan)

AC – BC = Ht - AC – WC
59

= 10 – 4

= 6 cm

Tabel 4.6 Hasil Tebal Lapis Tambah

Jenis dan Tebal Lapis Tambah Jalan (overlay)


AC – WC 4 cm
AC – BC 6 cm
60

Gambar 4.2 Tebal Lapis Perkerasan Tambahan


61

4.3. Pembahasan

Dari perhitungan yang telah dianalisa dengan data primer ataupun sekunder,

didapatkan bahwa tebal lapis tambah yang diperlukan untuk ruas Jalan Palembang

– Betung STA 25+000 – 35+000 agar dapat melayani lalu lintas sebanyak 267,7 x

106 ESA selama umur rencana 10 tahun adalah 11 cm Laston dengan Modulus

Resilien 2000 MPa dengan Stabilitas Marshall minimum 800 kg atau setebal 10

cm Laston Modifikasi dengan Modulus Resilien 3000 MPa dengan Stabilitas

Marshall minimun 1000 kg.

4.3.1. Perbandingan Hasil

Setelah semua hasil didapatkan hasil penulis akan dibandingkan dengan

Konsultan Perencana, yaitu:

Tabel 4.7 Perbandingan Hasil

Konsultan Peneliti
Perencana
Metode yang digunakan Manual Desain PdT 05-2005-B
Perkerasan Jalan
Bagian II
CESA 17.615.285 267,7 x 106
AC – BC 4 cm 4 cm
AC – WC 7 cm 6 cm

Dari semua hasil yang didapatkan bahwa terdapat beberapa perbedaan diantara

keduanya, mulai dari metode yang digunakan konsultan perencana dengan metode

36
62

Manual Desain Perkerasan Jalan Bagian II dan penulis dengan menggunakan

metode PdT 05-2005-B, serta nilai CESA yang berbeda dikarenakan perbedaan

data survey LHR yang ada di Konsultan Perencana dan survey langsung yang

dilakukan oleh penulis, dan nilai lapisan permukaan bawah AC – BC yang

mempunyai selisih 1 cm.


63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dibuat oleh penulis, diperoleh beberapa kesimpulan,

yaitu:

1. LHR yang didapat dari perhitungan ini ialah lebih dari 12.000 kendaraan yang

lewat, dengan CESA yang didapat dari ruas Jalan Palembang – Betung STA

25+000 – 35+000 adalah 267,7 x 106 ESA

2. Tebal lapis tambah yang didapat dari perhitungan ini adalah 10 cm, dengan 4

cm untuk AC – WC dan 6 cm untuk AC – BC

3. Perbandingan hasil perhitungan penulis dan PU

1. Hasil yang didapat dari P2JN Provinsi Sumatera Selatan

Metode yang digunakan adalah Manual Desain Perkerasan Jalan Bagian II

Jenis dan Tebal Lapis Tambah Jalan (overlay)


Aspal Gravel
AC – WC 4 cm Pondasi 16 cm Agregat A
AC – BC 7 cm Bahu Jalan 16 cm Agregat B
Sumber: P2JN Provinsi Sumatera Selatan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa:

AC – WC = 4 cm, dan AC – BC = 7 cm

2. Hasil perhitungan yang dilakukan oleh penulis:

63
64

Metode yang digunakan adalah PdT-05-2005 B

Jenis dan Tebal Lapis Tambah Jalan (overlay)


AC – WC 4 cm
AC – BC 6 cm

4. Dari Perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa hasil yang didapat dari P2JN

Provinsi Sumatera Selatan dan penulis berbeda di tebal lapisan aspal bawah

AC – BC dengan selisih 1 cm

5.2. Saran

1. Pertimbangan - pertimbangan teknis terutama harus diberikan pada daerah

– daerah kritis seperti daerah dengan lendutan balik yang jauh lebih besar

dibanding dengan daerah sekitarnya

2. Karena lalu lintas melebihi dari 30 juta ESA, dapat dipertimbangkan

penggunaan perkerasan kaku.

Anda mungkin juga menyukai