Anda di halaman 1dari 65

Pt T-01-2002-B

PEDOMAN PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR


Pustaka:
https://darmadi18.files.wordpress.com/2016/03/perkerasan-lentur-sni-2002.pdf

1. Ruang Lingkup

Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur ini meliputi ketentuan umum perencanaan
uraian deskripsi, ketentuan teknis perencanaan, metode perencanaan, dan contoh-contoh
perencanaan.
Perencanaan tebal perkerasan yang diuraikan dalam pedoman ini hanya berlaku untuk
konstruksi perkerasan yang menggunakan material bergradasi lepas (granular material dan
batu pecah) dan berpengikat.
Petunjuk perencanaan ini digunakan untuk :
 Perencanaan perkerasan jalan baru;
 Perencanaan pelapisan tambah (Overlay);
 Perencanaan konstruksi bertahap (Stage Construction).
Dalam menggunakan pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur ini, penilaian terhadap
kekuatan perkerasan jalan yang ada harus terlebih dahulu meneliti dan mempelajari hasil-
hasil pengujian di laboratorium dan lapangan. Penilaian ini sepenuhnya tanggung jawab
perencana, sesuai dengan kondisi setempat dan pengalamannya.
Cara-cara perencanaantebal perkerasan, selain yang diuraikan dalam pedoman ini dapat
juga digunakan, dengan syarat dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hasil-hasil
pengujian para ahli.

2. Acuan

AASHTO Guide for Design of Pavement Structures, 1993.

3. Definisi, Singkatan, dan Istilah

Istilah dan definisi yang digunakan dalam pedoman ini sebagai berikut :

3.1 Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)


Angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh lintasan
beban gandar sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).

3.2 Indeks Permukaan (IP)


Angka yang dipergunakan untuk menyatakan ketidakrataan dan kekokohan permukaan jalan
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.

3.3 Struktual Number (SN)


Indeks yang diturunkan dari analisis lalu-lintas, kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang
dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan dengan menggunakan koefisien kekuatan
relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material masing-masing lapis struktur perkerasan.

3.4 Koefisien Drainase


Faktor yang digunakan untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif sebagai fungsi yang
menyatakan seberapa baiknya struktur perkerasan dapat mengatasi pengaruh negatif
masuknya air ke dalam struktur perkerasan.
1 dari 37
3.5 Lajur Rencana
Salah satu lajur lalulintas dari sistem jalan raya yang menampung lalu-lintas terbesar.
Umumnya lajur rencana adalah salah salah satu lajur dari jalan raya dua lajur atau tepi luar
dari jalan raya yang berlajur banyak.

3.6 Lapis Asbuton Campuran Dingin (LASBUTAG)


Campuran yang terdiri atas agregat kasar, agregat halus, asbuton, bahan peremaja, dan
filler (bila diperlukan) yang dicampur, dihamparkan, dan dipadatkan secara dingin.

3.7 Lapis Beton Aspal (LASTON)


Lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas agregat kasar, agregat halus, filler, dan aspal
keras yang dicampur, dihamparkan, dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu
tertentu.

3.8 Lapis Penetrasi Makadam (LAPEN)


Lapis perkerasan yang terdiri atas agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka
dan seragam yang diikat oleh aspal keras dengan cara disemrotkan di atasnya dan
dipadatkan lapis demi lapis dan jika akan digunakan sebagai lapis permukaan perlu diberi
laburan aspal dengan batu penutup.

3.9 Lapis Permukaan


Bagian perkerasan yang paling atas.

3.10 Lapis Pondasi


Bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah (atau
dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah).

3.11 Lapis Pondasi Bawah


Bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar.

3.12 Reliability
Kemungkinan (probability) bahwa jenis kerusakan tertentu atau kombinasi jenis kerusakan
pada struktur perkerasan akan tetap lebih rendah atau dalam rentang yang diizinkan selama
umur rencana.

3.13 Tanah Dasar


Permukaan tanah semula atau permukaan galian atau permukaan tanah timbunan yang
dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagian-bagian
perkerasan lainnya.

3.14 Umur Rencana (UR)


Jumlah waktu dalam tahun yang dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat
diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru.

3.15 Falling Weight Deflectometer (FWD)


Alat untuk mengukur kekuatan struktur perkerasan jalan yang bersifat non-destruktif.

4. Struktur Perkerasan Lentur

Struktur perkerasan lentur, umumnya terdiri atas: lapis pondasi bawah (subbase course),
lapis pondasi (base course), dan lapis permukaan (surface course). Sedangkan susunan
lapis perkerasan adalah seperti diperlihatkan pada gambar 1.
D1 Lapis Pemukaan

D2 Lapis Pondasi

D3 Lapis Pondasi Bawah

/////\\\\\\/////\\\\\//////\\\\\\//////\\\\ Tanah Dasar

Gambar 1. Susunan Lapis Perkerasan Jalan

4.1 Tanah Dasar

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan
daya dukung tanah dasar.
Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar
yang digunakan dalam perencanaan
Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau
nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut
ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam
10 atau lebih kecil.
MR (psi) = 1.500 x CBR
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat
beban lalu-lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan
jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan
konstruksi.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis
tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara
baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

4.2 Lapis Pondasi Bawah

Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara
tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular
material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi.
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di
atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi).
c. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.
Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah
dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi) atau
karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh
cuaca.
Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari
tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.
Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam beberapa
hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi
perkerasan.

4.3 Lapis Pondasi

Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah
lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak
menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.
Fungsi lapis pondasi antara lain :

a. Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.


b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan
beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan
pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan
dengan persyaratan teknik.
Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai
bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen,
aspal, pozzolan, atau kapur.

4.4 Lapis Permukaan

Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan
pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis
pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
b. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat
cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course)
Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan
persyaratan yang lebih tinggi.
Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu
bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya
dukung lapisan terhadap beban roda.
Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan, umur rencana
serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang
dikeluarkan.
5. Kriteria Perencanaan

5.1 Lalu-lintas

5.1.1 Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)

Angka eivalen (E) masing-masing golongan beban gandar sumbu (setiap kendaraan)
ditentukan menurut tabel pada Lampiran D. Tabel ini hanya berlaku untuk roda ganda. Untuk
roda tunggal karakteristik beban yang berlaku agak berbeda dengan roda ganda. Untuk roda
tunggal rumus berikut ini harus dipergunakan.
4
 beban gandar satu sumbu tunggal dalam kN 
Angka ekivalen roda tunggal   
 53 kN 

5.1.2 Reliabilitas

Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of


certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam alternatif
perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana).
Faktor perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu-lintas
(w18) dan perkiraan kinerja (W18), dan karenanya memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana
seksi perkerasan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan.
Pada umumnya, dengan meningkatnya volume lalu-lintas dan kesukaran untuk mengalihkan
lalu-lintas, resiko tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan. Hal ini dapat
diatasi dengan memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi. Tabel 3 memperlihatkan
rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan. Perlu dicatat
bahwa tingkat reliabilitas yang lebih tinggi menunjukkan jalan yang melayani lalu-lintas paling
banyak, sedangkan tingkat yang paling rendah, 50 % menunjukkan jalan lokal.

Tabel 1 Rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan


Rekomendasi tingkat reliabilitas
Klasifikasi jalan Perkotaan Antar kota
Bebas hambatan 85 – 99.9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80

Reliabilitas kinerja-perencanan dikontrol dengan faktor reliabilitas (F R) yang dikalikan dengan


perkiraan lalu-lintas (w18) selama umur rencana untuk memperoleh prediksi kinerja (W 18).
Untuk tingkat reliabilitas (R) yang diberikan, reliability factor merupakan fungsi dari deviasi
standar keseluruhan (overall standard deviation,S0) yang memperhitungkan kemungkinan
variasi perkiraan lalu-lintas dan perkiraan kinerja untuk W18 yang diberikan. Dalam
persamaan desain perkerasan lentur, level of reliabity (R) diakomodasi dengan parameter
penyimpangan normal standar (standard normal deviate, ZR). Tabel 4 memperlihatkan nilai
ZR untuk level of serviceability tertentu.
Penerapan konsep reliability harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini :
(1) Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah merupakan jalan perkotaan
atau jalan antar kota
(2) Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada Tabel 4.
(3) Deviasi standar (S0) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat. Rentang nilai S0
adalah 0,40 – 0,50.
Tabel 2 Nilai penyimpangan normal standar
(standard normal deviate ) untuk tingkat
reliabilitas tertentu.
Reliabilitas, R (%) Standar normal deviate, ZR
50 0,000
60 - 0,253
70 - 0,524
75 - 0,674
80 - 0,841
85 - 1,037
90 - 1,282
91 - 1,340
92 - 1,405
93 - 1,476
94 - 1,555
95 - 1,645
96 - 1,751
97 - 1,881
98 - 2,054
99 - 2,327
99,9 - 3,090
99,99 - 3,750

5.1.3 Lalu Lintas Pada Lajur Rencana

Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban gandar standar. Untuk
mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini digunakan perumusan berikut ini :

w18 = DD x DL x ŵ18

Dimana :
DD = faktor distribusi arah.
DL = faktor distribusi lajur.
ŵ18 = beban gandar standar kumulatif untuk dua arah.

Pada umumnya DD diambil 0,5. Pada beberapa kasus khusus terdapat pengecualian dimana
kendaraan berat cenderung menuju satu arah tertentu. Dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa DD bervariasi dari 0,3 – 0,7 tergantung arah mana yang ‘berat’ dan
‘kosong’.

Tabel 3. Faktor Distribusi Lajur (DD)


Jumlah lajur % beban gandar standar
per arah dalam lajur rencana
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan lentur dalam pedoman ini
adalah lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan
mengalikan beban gandar standar kumulatif pada lajur rencana selama setahun (w18)
dengan besaran kenaikan lalu lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan lalu-lintas
kumulatif ini adalah sebagai berikut :
n
(1  g) 
Wt  w18 x
1g
Dimana :
Wt = jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif.
w18 = beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun. n
= umur pelayanan (tahun).
g = perkembangan lalu lintas (%).

5.2 Koefisien Drainase

Dalam buku ini diperkenalkan konsep koefisien drainase untuk mengakomodasi kualitas
sistem drainase yang dimiliki perkerasan jalan. Tabel 4 memperlihatkan definisi umum
mengenai kualitas drainase.

Tabel 4 Definisi kualitas drainase


Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak akan mengalir

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perencanaan dengan


menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor untuk memodifikasi
koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam
persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif
(a) dan ketebalan (D).
Tabel 5 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi dari kualitas
drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar
air yang mendekati jenuh.

Tabel 5 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif


material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur.
Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air
Kualitas drainase yang mendekati jenuh
<1% 1–5% 5 – 25 % > 25 %
Baik sekali 1,40 – 1,30 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,20
Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00
Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80
Jelek 1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,08 – 0,75 0,60 – 0,40 0,40
5.3 Indeks Permukaan (IP)

Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang
berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.
Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah ini :
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
IP = 2,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 1,5 : menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat
mengganggu lalu-lintas kendaraan.

Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan
faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan sebagai mana diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Bebas hambatan
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0) perlu diperhatikan jenis
lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana sesuai dengan Tabel 7.

Tabel 7 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP0)


Ketidakrataan *) (IRI,
Jenis Lapis Perkerasan IP0
m/km)
LASTON >4 < 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 < 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 – 3,0 < 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0
*) Alat pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa
roughometer NAASRA, Bump Integrator, dll.

5.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Pedoman ini memperkenalkan korelasi antara koefisien kekuatan relatif dengan nilai
mekanistik, yaitu modulus resilien.
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi Koefisien Kekuatan Relatif
dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu : beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi
granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular subbase), cement-treated
base (CTB), dan asphalt-treated base (ATB).
5.4.1 Lapis Permukaan Beton Aspal (asphalt concrete surface course)

Gambar 2 memperlihatkan grafik yang dipergunakan untuk memperkirakan Koefisien


Kekuatan Relatif lapis permukaan berbeton aspal bergradasi rapat berdasarkan modulus
elastisitas (EAC) pada suhu 680F (metode AASHTO 4123). Disarankan, agar berhati-hati
untuk nilai modulus di atas 450.000 psi. Meskipun modulus beton aspal yang lebih tinggi,
lebih kaku, dan lebih tahan terhadap lenturan, akan tetapi lebih rentan terhadap retak
fatigue.

5.4.2 Lapis Pondasi Granular (granular base layer)

Koefisien Kekuatan Relatif, a2 dapat diperkirakan dengan menggunakan Gambar 3 atau


dihitung dengan menggunakan hubungan berikut :
A2 = 0,249 (log10EBS) – 0,977

5.4.3 Lapis Pondasi Bawah Granular (granular subbase layers)

Koefisien Kekuatan Relatif, a2 dapat diperkirakan dengan menggunakan Gambar 4 atau


dihitung dengan menggunakan hubungan berikut :
A3 = 0,227 (log10ESB) – 0,839

5.4.4 Lapis Pondasi Bersemen

Gambar 5 memperlihatkan grafik yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan Koefisien


Kekuatan Relatif, a2 untuk lapis pondasi bersemen.

5.4.5 Lapis Pondasi Beraspal

Gambar 6 memperlihatkan grafik yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan Koefisien


Kekuatan Relatif, a2 untuk lapis pondasi beraspal.

5.1 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan

Pada saat menentukan tebal lapis perkerasan, perlu dipertimbangkan keefektifannya dari
segi biaya, pelaksanaan konstruksi, dan batasan pemeliharaan untuk menghindari
kemungkinan dihasilkannya perencanaan yang tidak praktis. Dari segi keefektifan biaya, jika
perbandingan antara biaya untuk lapisan pertama dan lapisan kedua lebih kecil dari pada
perbandingan tersebut dikalikan dengan koefisien drainase, maka perencanaan yang secara
ekonomis optimum adalah apabila digunakan tebal lapis pondasi minimum. Tabel 8
memperlihatkan nilai tebal minimum untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis
pondasi agregat.
Tabel 8 Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi
agregat (inci)
Lapis pondasi
Lalu-lintas (ESAL) Beton aspal LAPEN LASBUTAG
agregat
inci cm inci cm inci cm inci cm
< 50.000 *) 1,0 *) 2,5 2 5 2 5 4 10
50.001 – 150.000 2,0 5,0 - - - - 4 10
150.001 – 500.000 2,5 6,25 - - - - 4 10
500.001 – 2.000.000 3,0 7,5 - - - - 6 15
2.000.001 – 7.000.000 3,5 8,75 - - - - 6 15
> 7.000.000 4,0 10,0 - - - - 6 15
*) atau perawatan permukaan

Gambar 2. Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif lapis permukan


bereton aspal bergradasi rapat (a1).

10 dari 37
Gambar 3. Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a2).
Gambar 4. Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bersemen (a2).
Gambar 5 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi beraspal (a2)
Gambar 6 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a3)
5.6 Pelapisan tambah

Untuk perhitungan pelapisan tambah (overlay), kekuatan struktur perkerasan jalan lama
(existing pavement) diukur menggunakan alat FWD atau dinilai dengan menggunakan
Tabel 9.

Tabel 9 Koefisien kekuatan relatif (a) *)


BAHAN KONDISI PERMUKAAN Koefisien
kekuatan
relatif (a)
Lapis permukaan Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.35 – 0.40
Beton aspal terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.25 – 0.35
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.20 – 0.30
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.14 – 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.08 – 0.15
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi yang Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.20 – 0.35
distabilisasi terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 – 0.25
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 – 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
>5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.10 – 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.08 – 0.15
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi atau Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination by 0.10 – 0.14
lapis pondasi bawah fines.
granular
Terdapat pumping, degradation, or contamination by fines 0.00 – 0.10
Ket : *) Penilaian dilakukan untuk tiap segmen 100 m. Kerusakan yang terjadi diperbaiki atau dikoreksi, maka nilai
kondisi perkerasan jalan tersebut harus disesuaikan. Nilai ini dipergunkaan untuk mengoreksi koefisien kekuatan relatif
perkerasan jalan lama

5.7 Konstruksi Bertahap

Konstruksi bertahap dilakukan pada keadaan tertentu, antara lain :


1. Keterbatasan biaya untuk pembuatan tebal perkerasan sesuai rencana (misalnya 20
tahun). Perkerasan dapat direncanakan dalam dua tahap, misalnya tahap pertama untuk
5 tahun dan tahap berikutnya untuk 15 tahun.
2. Kesulitan dalam memperkirakan perkembangan lalu-lintas untuk jangka panjang
(misalnya : 20 sampai 25 tahun). Dengan adanya pentahapan, perkiraan lalu-lintas
diharapkan tidak jauh meleset.
3. Kerusakan setempat (weak spots) selama tahap pertama dapat diperbaiki dan
direncanakan kembali sesuai data lalu-lintas yang ada.
6. Prosedur Perencanaan

6.1 Analisa Komponen Perkerasan

Gambar 7 memperlihatkan nomogram untuk menentukan Struktural number rencana yang


diperlukan. Nomogram tersebut dapat dipergunakan apabila dipenuhi kondisi-kondisi berikut
ini:
1. Perkiraan lalu-lintas masa datang (W18) adalah pada akhir umur rencana,
2. Reliability (R).
3. Overall standard deviation (S0),
4. Modulus resilien efektif (effective resilient modulus) material tanah dasar (MR),
5. Design serviceability loss (∆PSI = IP0 – IPt).

Perhitungan perencanaan tebal perkerasan dalam pedoman ini didasarkan pada kekuatan
relatif masing-masing lapisan perkerasan, dengan rumus sebagai berikut :

IT
 a1D1  a2D2  a3D3
P

Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Jika kualitas drainase dipertimbangkan, maka persamaan di atas dimodifikasi menjadi :


ITP = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3

Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan (berdasarkan besaran
mekanistik)
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan
m2, m3 = Koefisien drainase

Angka 1, 2, dan 3, masing-masing untuk lapis permukaan, lapis pondasi, dan lapis pondasi
bawah. Selain menggunakan Gambar 7, ITP juga dapat dihitung dengan menggunakan
rumus berikut ini.
log10  IP  
IP0 - IPf
log10 (W18 )   
ZR x S 0  9.36 x log10 (ITP  1) 0.20  1094  2.32 x log10 (MR ) - 8.07
-
0.40 
ITP  15.19

Dimana :
W18 = Perkiraan jumlah beban sumbu standar ekivalen 18-kip
ZR = Deviasi normal standar
S0 = Gabungan standard error untuk perkiraan lalu-lintas dan kinerja
IP = Perbedaan antara initial design serviceability index, IP0 dan design terminal
serviceability index, IPt
MR = Modulus resilien
IPf = Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)
Gambar 7. Nomogram untuk perencanaan tebal perkerasan lentur.
6.2 Pelapisan Tambah

Perencanaan tebal lapis tambah yang diperkenalkan dalam buku ini adalah berdasarkan
data lendutan yang diukur dengan alat FWD.
Pengukuran lendutan disarankan pada jejak roda luar dengan interval 100-1000 kaki (35-350
m). Lokasi-lokasi rusak atau terlebih dahulu akan diperbaiki seharusnya dihindari untuk
diukur lendutannya. Pengukuran lendutan, disarankan menggunakan beban sekitar 9.000
lbs. (4.5 ton).
Perhitungan tebal lapis tambah menurut metoda ini meliputi beberapa tahap perencanaan
berikut ini :

1) Modulus resilien tanah dasar

Untuk jarak yang cukup jauh dari pusat beban, lendutan yang diukur mencerminkan nilai
modulus resilien tanah dasar. Pernyataan ini merupakan dasar dari perhitungan balik (back
calculation) untuk modulus resilien berikut ini :

MR 
0.24 P
drr

Dimana : MR = modulus resilien tanah dasar hasil dari perhitungan balik, psi
P = beban yang digunakan, lbs.
dr = lendutan pada jarak r dari pusat pembebanan, inci
r = jarak dari pusat pembebanan, inci
Pada perhitungan modulus resilien tanah dasar ini tidak dibutuhkan koreksi temperatur
karena lendutan yang digunakan hanya akibat deformasi tanah dasar.
Lendutan yang digunakan untuk perhitungan balik ini harus diukur cukup jauh dari pusat
pembebanan sehingga memberikan estimasi yang cukup akurat untuk perhitungan modulus
resilien tanah dasar. Jarak minimum pengukuran lendutan untuk estimasi modulus resilien
tanah dasar adalah :
r > 0.7 ae
dimana :

 2
 
ae  a2  3E 
  
p 
D  
 
M
Dimana : ae = jari-jari gelembung
R
tegangan pada permukaan batas antara
tanah dasar dan struktur perkerasan, inci
P = tegangan pada pelat pembebanan, psi
a = jari-jari pelat pembebanan, inci
D = tebal total lapisan perkerasan di atas tanah dasar, inci
MR = modulus resilien tanah dasar, psi
Ep = modulus efektif seluruh lapisan struktur perkerasan di atas
tanah dasar, psi.

Sebelum modulus resilien tanah dasar ini digunakan dalam perencanaan, nilai ini harus
dikoreksi dulu menurut langkah 4 di bawah.
2) Temperatur perkerasan

Temperatur perkerasan saat pengukuran lendutan harus diukur. Temperatur ini dapat diukur
langsung atau diprediksi dari temperatur udara.

3) Modulus efektif perkerasan (Ep)

Apabila modulus resilien tanah dasar dan tebal total lapisan di atas tanah dasar diketahui
atau diasumsikan, maka modulus efektif seluruh lapisan perkerasan di atas tanah dasar
harus memenuhi persamaan berikut ini :

  
  
  1 
 -  
 D 2 
1
 
  1  
 1  a   
d0  1.5 p a  Ep 
  D E 
 
2
M 1   3 
r p 
 a Mr  
   
 
 
 

Dimana : d0 = lendutan yang diukur pada pusat pembebanan dan untuk


temperatur standar 680F, inci
a = jari-jari pelat pembebanan, inci
D = tebal total lapisan perkerasan di atas tanah dasar, inci
Ep = modulus efektif seluruh lapisan perkerasan di atas tanah
dasar, psi.

Untuk pelat pembebanan yang berjari-jari 5.9 inci, Gambar 8 dapat dipergunakan untuk
menghitung rasio Ep/MR, kemudian dapat Ep dihitung apabila MR telah diketahui.

Apabila dihitung menggunakan perhitungan balik maka d0 harus dikoreksi terhadap


temperatur standar 680F dengan menggunakan Gambar 9 untuk lapisan pondasi granular
dan stabilisasi aspal gambar 10 untuk lapisan pondasi stabilisasi semen dan pozzolan.

4) Modulus resilien tanah dasar untuk perencanaan

Modulus resilien tanah dasar untuk perencanaan diperoleh dengan mengoreksi modulus
resilien tanah dasar hasil perhitungan balik dengan faktor C = 0.33 (untuk beban FWD, kira-
kira 9.000 lbs.). Sehingga MR desain didapat dengan menggunakan rumus berikut :

MRdesain
 C MR
 0.24 P 
MRdesain C  
 dr r 
dimana C = 0.33 dan P = beban FWD dalam lbs.
5) Indeks tebal perkerasan masa datang (ITPf)

Nilai indeks tebal perkerasan masa datang ini merupakan ITP yang dibutuhkan untuk
mengakomodasi lalu-lintas yang direncanakan.
Nilai ini didapat dengan menggunakan grafik pada nomogram pada Gambar 7 atau
menggunakan rumus, tetapi menggunakan modulus resilien perencanaan (MR desain).

Gambar 8 Penentuan Ep/Mr

20 dari 37
Gambar 9. Koreksi nilai d0 untuk perkerasan lentur dengan lapis pondasi granular
dan yang distabilisasi dengan aspal.
Gambar 10. Koreksi nilai do untuk perkerasan lentur dengan lapis pondasi yang
distabilisasi dengan aspal atau pozzolan.
6) Indeks tebal perkerasan efektif (ITPeff)

Nilai ini merupakan besaran ITP dimiliki perkerasan lama. Nilai ini didapat dengan
menggunakan hubungan berikut :
3
ITPeff  0.0045 D
E
p
Dimana : D = tebal total lapisan perkerasan di atas tanah dasar, inci
Ep = modulus efektif seluruh lapisan struktur perkerasan di atas tanah
dasar, psi.

7) Perhitungan tebal lapis tambah

Tebal lapis tambah dihitung menggunakan hubungan berikut ini :

OL ITPOL
H  aOL ITPf - ITPeff
 aOL

Dimana : ITPOL = ITP yang dibutuhkan untuk overlay


aOL = koefisien kekuatan relatif
HOL = tebal lapis tambah
ITPf = ITP yang dihitung pada langkah 5
ITPeff = ITP yang dihitung pada langkah 6

6.3 Metoda Konstruksi Bertahap

Untuk konstruksi bertahap digunakan konsep berikut :


1/n
Rstage = (Roverall)

Dimana :
Roverall = reliability keseluruhan tahapan
Rstage = reliability masing-masing tahapan
N = jumlah tahap

6.4 Contoh Penggunaan Perencanaan

6.4.1 Perencanaan Perkerasan Baru dan Konstruksi Bertahap


Lihat contoh perhitungan pada lampiran.

6.4.2 Perencanaan Lapis Tambah


Lihat contoh perhitungan pada lampiran.

6.4.3 Perhitungan Beban Gandar Standar


Lihat contoh perhitungan pada lampiran.
Lampiran A.

Contoh Perencanaan Perkerasan Baru dan Konstruksi Bertahap

Jalan baru direncanakan untuk umur rencana 20 tahun yang dibagi menjadi 2 tahan
konstruksi, yaitu tahap pertama sampai umur 13 tahun dan dilanjutkan pembangunan tahap
kedua. Jalan tersebut terdiri atas 3 lajur untuk masing-masing arahnya dan diasumsikan
memiliki faktor distribusi arah (DD) sebesar 50%. Pada tahun pertama, jalan tersebut
diperkirakan dilalui beban lalu-lintas standar sebesar 2.5 x 106 dan proyeksi tingkat
pertumbuhan (gabungan) adalah 3% per tahun. Parameter-parameter lainnya diasumsikan
sebagai berikut :
Roverall = 90%
Rstage = 95% (2 tahap konstruksi)
S0 = 0.35
PSI = 2.1
SN rencana = 5.6
Lalu-lintas pada akhir tahun ke-13, w18 = 16.0 x 106
Penurunan tingkat pelayanan akibat lalu-lintas sampai akhir tahun ke-13, PSITR = 1.89

Modulus resilien tanah dasar efektif : Mr = 5.700 psi


Aspal beton : EAC = 400.000 psi
Lapis pondasi atas granular : EBS = 30.000 psi
Lapis pondasi bawah granular : ESB = 11.000 psi

Koefisien kekuatan relatif (ai) untuk masing-masing lapis perkerasaan adalah sebagai
berikut :
Aspal beton : a1 = 0.42 (Gambar 2)
Lapis pondasi atas granular : a2 = 0.14 (Gambar 3)
Lapis pondasi bawah granular : a3 = 0.08 (Gambar 4)

Koefisien drainase (nilai mi) untuk masing-masing lapis pondasi adalah sebagai berikut :
Lapis pondasi atas granular : a2 = 1.20 (Tabel 5)
Lapis pondasi bawah granular : a3 = 1.20 (Tabel 5)

Penyelesaian
Tentukan SN yang diperlukan di atas material lapis pondasi dengan nomograf pada Gambar
7 dengan menggunakan modulus resilien material lapis pondasi atas (dari pada modulus
resilien tanah dasar). Nilai EBS = 30.000 psi, untuk tahap pertama reliability (R) = 95 %, w18 =
16.0 x 106 dan PSITR = 1.89 menghasilkan SN1 = 3.2. Sehingga, tebal lapis permukaan
aspal beton yang diperlukan adalah :

* SN1
D1  3.2
a1  0.42  7.6 (atau 8 inci)
* *
SN  a D  0.42 x 8  3.36
1 1 1
Seperti untuk lapis aspal beton, dengan menggunakan modulus lapis pondasi bawah 11.000
psi sebagai modulus resilien tanah dasar, SN2 = 4.5 dan tebal material lapis pondasi atas
yang diperlukan adalah :
 *
*
 SN 
DSN  
2 2
1 
 a2m2 
4.5  3.36  
 0.14 x 1.20  6.8 u
( ata 7 inci)
 
*
SN2  7 x 0.14 x 1.20  1.18

Akhirnya, tebal material lapis pondasi bawah yang diperlukan adalah :

 SN
*
 3
SN *
 SN
*

2 
D3  1
 a m 
 3 3 
 5.6  3.36  1.18   11 inci
  
 0.08 x 1.20 

Untuk konstruksi tahap kedua, perencanaannya sama dengan perencanaan untuk pelapisan
tambah (overlay) dengan menggunakan Rstage sebesar 95%. Akan tetapi, terlebih dahulu
dilakukan survey untuk mengumpulkan data-data kondisi perkerasan tahap pertama pada
akhir tahun ke – 13. Data-data tersebut diperlukan untuk merencanakan tebal lapis tambah
yang sama dengan tebal lapis perkerasan untuk konstruksi tahap kedua.
Lampiran B

Contoh Perhitungan Tebal Lapis Tambah

Diketahui :
Hasil penyelidikan FWD dengan 7 geophones.
Lendutan : 417, 337, 235, 151, 117, 74, 38 (micron).
Jarak geophones : 0, 200, 300, 450, 600, 900, 1500 (mm).
Tegangan pembebanan : 580 kPa.
Jari-jari pelat pembebanan : 15 cm.
Temperatur perkerasan : 38 oC (100 oF).
Tebal lapisan permukaan beraspal 3 in.
Lapis pondasi atas terdiri dari lapis pondasi yang distabilisasi dengan aspal dengan tebal
5 in.
Lapis pondasi bawah terdiri dari lapisan lepas dengan tebal 12 in.
Lalu lintas yang akan diakomodasi : 5 000 000.
IPo : 4
IPt : 2
IPf : 1.5
Zr = -2.054 (Reliability 98%).
Tentukan tebal lapis tambah dengan AC (koefisien relatif 0.40) dengan berdasarkan data
lendutan dan menggunakan metoda analisa komponen.

Penyelesaian :

1. Perhitungan tebal lapis tambah berdasarkan data lendutan

Untuk tebal lapisan beraspal 3 in dan temperatur perkerasan 100 oF, maka didapat faktor
koreksi temperatur 0.83.

Menghitung modulus resilien tanah dasar :


Dicoba-coba mulai dengan geophone nomor 2 dan ambil nilai yang terkecil, maka didapat Mr
= 20217 psi pada geophone nomor 5.

Modulus resilien tanah dasar rencana :


Mr design = 0.33 x Mr = 6672 psi.

Menghitung modulus efektif lapisan perkerasan :


Gunakan persamaan (A), dengan coba-coba didapat Ep = 75270 psi.

Menghitung ITPeff :
ITPeff = 0.00450 D (Ep)1/3

ITPeff = 3.80

Menghitung ITPf :
Gunakan grafik atau rumus dengan mengambil IPo = 4, IPt = 2, IPf = 1.5, lalu lintas = 5 000
000, dan Mr design = 6672 psi.
Didapat ITPf = 4.9
Menghitung tebal lapis tambah :

ITPf  ITPeff
hol  aol

Didapat tebal lapis tambah = 2.7 in

Kontrol :

r ≥ 0.7 ac

dimana :

  Ep 
ac  a 2  D
2 3 
  Mr 

ac = 31.16 in

r = 23.62 in ≥ 0.7 ac ……OK

Berhubung perhitungan banyak memakai iterasi, maka disarankan sebaiknya


menulis program pendek komputer atau menggunakan spreadsheet.

2. Perhitungan tebal lapis tambah menggunakan metoda analisa komponen

Data tambahan :

a1 = 0.38 (terdapat sedikit retak kulit buaya)


a2 = 0.30 (terdapat retak melintang dengan tingkat
keparahan rendah)
a3 = 0.12 (tidak ada pumping atau degradasi)

Untuk beban gandar standar kumulatif selama umur rencana 5000000, Mr = 6700 psi., Zr = -
2.054, S0 = 0.45, dari grafik didapat : ITPf = 5.2.

Maka tebal lapis tambah yang diperlukan (Dol) adalah:

ITPf = aol . Dol + a1 D1 + a2 D2 + a3 D3


5.2 = 0.4 x Dol + 0.38 x 3 + 0.30 x 5 + 0.12 x 12
Dol = 2.8 in.

Didapat tebal lapis tambah = 2.8 in.


Lampiran C

Contoh Perhitungan Beban Gandar Standar Kumulatif

Data lalu-lintas untuk 2 arah sebagai berikut :


 Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = 2000 kendaraan
 Bus 8 ton (3 + 5) = 600 kendaraan
 Truk 2 as 13 ton (5 + 8) = 100 kendaraan
 Truk 3 as 20 ton (6 + 7 . 7) = 60 kendaraan

Jalan tersebut terdiri atas 2 lajur 2 arah. Hitunglah beban gandar standar kumulatif selama
10 tahun, apabila perkembangan lalu-lintas (g) = 10%, ITP = 4 dan Ipt = 2.0.

Penyelesaian :

1. Mencari Faktor Ekivalen masing-masing kendaraan; ITP = 4, Ipt = 2.0


Kendaraan ringan 2 ton (1 + 1) = (10 kN / 53 kN) 4 + 0.0002 = 0.0015
Bus 8 ton (3 + 5) = (30 kN / 53 kN)4 + 0.134 = 0.237
Truk 2 as 13 ton (5 + 8) = (50 kN / 53 kN)4 + 0.903 = 1.695
Truk 3 as 20 ton (6 + 7 . 7) = (60 kN / 53 kN)4 + 0.693 = 2.335

2. Mencari beban gandar standar untuk lajur rencana pertahun


ŵ18 perhari = 2000 x 0.0015 + 600 x 0.237 + 100 x 1.695 + 60 x 2.335
= 454.71
w18 per hari = DD x DL x ŵ18 = 0.5 x 1.0 x 454.71 = 227.35
w18 per tahun = 365 x 227.35 = 82985 beban gandar standar

3. Beban gandar standar untuk lajur rencana selama umur rencana :


W18 = w18 x ((1+g)n-1) /g = 82985 x ((1+0.1)10-1)/0.1
= 1.322.567 beban gandar standar.
Lampiran D

Faktor Ekivalen Beban


30 dari 37
Klasifikasi Jalan
Berdasarkan Undang – Undang No. 38 tahun 2004 mengenai jalan, maka
jalan dapat diklasifikasikan menjadi 3 klasifikasi jalan, yaitu :
1. Klasifikasi jalan menurut peran dan fungsi,
2. Klasifikasi jalan menurut wewenang, dan
3. Klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu.
 
Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi
Menurut fungsinya, jalan terdiri atas
Jalan Arteri 
Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh
jalan arteri adalah :
 Kecepatan rencana > 60 km/jam.
 Lebar badan jalan > 8,0 meter.
 Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
 Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan
kapasitas jalan dapat tercapai.
 Tidak boleh terganggu oleh kegiatan local, lalu lintas local
 Jalan arteri tidak terputus walaupun memasuki kota.

Jalan Kolektor
Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi
dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Jika ditinjau dari peranan jalan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor adalah :
 Kecepatan rencana > 40 km/jam.
 Lebar badan jalan > 7,0 meter.
 Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata.
 Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan tidak
terganggu.
 Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal.
 Jalan kolektor tidak terputus walaupun memasuki daerah kota.
Jalan Lokal
Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan
jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Jika ditinjau dari peranan
jalan maka
persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lokal adalah :
 Jalan lokal tidak terputus walaupun memasuki desa.
 Lebar badan jalan > 6,0 meter.
 Kecepatan rencana > 20 km/jam.
Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri
perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
 
Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang
Tujuan pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian
hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Klasifikasi jalan umum menurut wewenang, terdiri atas :
Jalan Nasional
Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan antar-ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
Jalan Provinsi
Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota
provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
Jalan Kabupaten
Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primeryang tidak termasuk jalan yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem
jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
Jalan Kota
Jalankota, merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat
pelayanan dalam kota,menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. 
Jalan Desa
Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam
desa, serta jalan lingkungan
 

Klasifikasi Jalan Menurut Muatan Sumbu


Jalan Kelas I
         Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun
sudah mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Prancis telah mencapai muatan sumbu
terberat sebesar 13 ton.
Jalan Kelas II
Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran
lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 18 meter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 10 ton, jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.
Jalan Kelas IIIA
Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter,ukuran panjang tidak melebihi 18 meter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8 ton.
 Jalan Kelas IIIB
Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter, ukuran panjang tidak melebihi 12 meter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8ton.
Jalan Kelas IIIC
Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,1 meter, ukuran panjang tidak melebihi 9 meter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.
PERUBAHAN KONSEP DESAIN TEBAL
PERKERASAN JALAN RAYA SESUAI
PEDOMAN BINA MARGA 2013
23 March 2016 ir_darmadi_MM Uncategorized
 
 Daftar Pustaka
 https://darmadi18.wordpress.com/2016/03/23/perubahan-
konsep-desain-tebal-perkerasan-jalan-raya-sesuai-pedoman-bina-
marga-2011/
 
 
 
2 Votes

Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan


tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban
lalulintas, umumnya perkerasan jalan terdiri dari dua jenis yaitu;
perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid
pavement). Namun pada perkembangannya saat ini banyak juga
digunakan jenis gabungan (composite pavement) yaitu paduan antara
lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi perkerasan juga dapat
dibedakan antara untuk perencanaan jalan baru dan untuk
peningkatan jalan (jalan lama yang sudah diperkeras).
Fungsi perkerasan adalah untuk menyebarkan beban ke tanah dasar
dan semakin besar kemampuan tanah dasar untuk memikul beban,
maka tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan semakin kecil.
Karena keseluruhan struktur perkerasan didukung sepenuhnya oleh
tanah dasar, maka identifikasi dan evaluasi terhadap struktur tanah
dasar adalah sangat penting bagi perencanaan tebal perkerasan

 Setelah manusia diam (menetap) berkelompok disuatu tempat


mereka mengenal artinya jarak jauh dan dekat. Maka dalam membuat
jalan mereka berusaha mencari jarak yang paling dekat dengan
mengatasi rintangan – rintangan yang masih dapat mereka atasi.

Misalnya : bila melewati tempat-tempat berlumpur mereka menaruh


batu disana – sini agar dapat melompat-lompat diatasnya bila
melewati tanjakan yang curam mereka membuat tangga-tangga

 Setelah Manusia Mengenal Hewan Sebagai Alat Angkut

Setelah manusia mengenal hewan sebagai alat angkut, maka


konstruksi jalan sudah agak maju, ialah : Bentuk jalan yang
bertangga-tangga sudah dibuat lebih mendatar. Batu-batu yang
ditempatkan jarang-jarang ditempat yang jelek atau berlumpur sudah
dibuat lebih rapi dan menutup rapat tempat-tempat yang jelek

 Seorang bangsa Inggris Thomas Telford ahli jembatan Iengkung


dari batu, menciptakan konstruksi perkerasan jalan yang prinsipnya
sama seperti jembatan Iengkung seperti berikut ini ;

” Prinsip desak-desakan dengan menggunakan batu-batu belah yang


dipasang berdiri dengan tangan.  Konstruksi ini sangat berhasil
kemudian disebut “Sistem Telford”

 Pada waktu itu pula John Mc Adam (1756 — 1836),


memperkenalkan kontruksi perkerasan dengan prinsip “tumpang-
tindih” dengan menggunakan batu-batu pecah dengan ukuran
terbesar (± 3″). Perkerasan sistem ini sangat berhasil pula dan
merupakan prinsip pembuatan jalan secara masinal (dengan mesin).
Selanjutnya sistem ini disebut “Sistem Mc. Adam”.

 Setelah kebutuhan jalan semakin penting, maka manusia zaman


modern atau setelah zaman masehi muai melakukan terobosan-
terobosan untuk membuat konstruksi perkerasan jalan dan hal-hal
yang berkaitan dengan bahan perkerasan jalan dan teknologi
perkerasan jalan. Dari sejarah perkembangannya dapat diketahui
bahwa:

 Penemuan danau aspal Trinidad oleh Sir Walter Religh Tahun


1595, dimana dengan bahan temuan tersebut dapat dipergunakan
untuk memperkeras lapisan permukaan jalan.
 Pierre Marie Jereme Tresaquet (1716-1796) dari Perancis
mengembangkan sistem lapisan batu pecah yang dilengkapi dengan
drainase, kemiringan melintang, serta mulai menggunakan pondasi
dari batu.

 Metode perinsip desak diperkenalkan oleh orang Scotlandia


yaitu pada tahun 1790 yaitu Thomas Telford, yaitu suatu konstruksi
perkerasan jalan yang dibuat menurut jembatan lengkung dari batu
pecah ukuran 15/20 sampai 25/30 yang disusun tegak, serta
menambahkan susunan batu-batu kecil diatasnya. Konstruksi ini
kemudian sangat berkembang dan dikenal dengan sebutan sistem
Telford. Jalan-jalan di indonesia yang dibuat pada jaman dahulu
sebagian besar merupakan sistem telford, walaupun diatasnya telah
ditambahkan lapisan anti aus.

 Pada tahiun 1815 waktu itu pula Scotsman John London Mc.
Adam (1756 – 1836) memperkenalkan konstruksi perekerasan jalan
dengan prinsip “tumpang tindih” dengan menggunakan batu-batu
pecah atau batu kali, pori-pori diatasnya ditutup dengan batu yang
lebih halus/kecil. Jenis perkerasan ini terkenal dengan nama
perkerasan macadam. Untuk memberikan lapisan yang kedap air,
maka diatas lapisan makadam diberi lapisan aus yang menggunakan
aspal sebagai bahan pengikat dan ditaburi pasir kasar. Sampai
sekarang kedua sistem tersebut masih lazim dipergunakan di daerah-
daerah di Indonesia dengan menggabungkannya menjadi sistem
Telford-Macadam. Dengan begitu perkerasan jalan untuk bagian
bawah menggunakan sistem Telford kemudian untuk perkerasan atas
dengan sistem Macadam.

 Di akhir abad 19, seiring dengan maraknya penggunaan sepeda,


pada 1824 dibangun jalan aspal namun dengan cara menaruh blok-
blok aspal. Jalan bersejarah itu dapat disaksikan di Champ-Elysess,
Paris, Perancis. Jalan aspal yang bersifat lebih plastis atau dapat
kembang susut yang baik terhadap perubahan cuaca dan sebagai
pengikat yang lebih tahan air.

 Setelah kereta api ditemukan mulai tahun 1830 jaring-jaring rel


K.A dibuat di mana-mana, maka angkutan lewat jalan darat mulai
terdesak, dengan sendirinya teknik pembuatan jalan tidak
berkembang. Akan tetapi pada akhir abad ke-19 jumlah kendaraan
berangsur-angsur mulai banyak, sehingga menuntut jalan darat yang
lebih baik dan lancar. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 teknik
pembuatan jalan yang baik mulai tumbuh dan berkembang lagi.

 Penemuan mesin penggilas (stom roller) ditemukan th 1860


oleh Lemoine.

 Di Skotlandia, hadir jalan beton yang dibuat dari semen


portland pada 1865. Sekarang banyak jalan tol dengan konstruksi
beton (tebal minimum 29 cm) dan tahan hingga lebih dari 50 tahun
serta sangat kuat sekali memikul beban besar.

 Jalan Aspal modern merupakan hasil karya imigran Belgia


Edward de Smedt di Columbia University, New York. Pada tahun
1872, ia sukses merekayasa aspal dengan kepadatan maksimum.
Aspal itu dipakai di Battery Park dan Fifth Avenue, New York, tahun
1872 dan Pennsylvania Avenue, Washington D.C pada tahun 1877.

 Sesudah perang dunia I kira-kira pada tahun 1920 banyak


negara-negara mulai memperhatikan pembangunan jalan raya. Hal
ini dikarenakan semakin banyaknya angkutan yang beroperasi
khususnya kendaraan bermotor. Persaingan antara kereta api dan
kendaraan bermotor mulai ramai, karena masing-masing mempunyai
keunggulannya sendiri-sendiri. Untuk angkutan secara massal jarak
jauh kereta api bisa dikatakan lebih efektif. Namun sebaliknya untuk
angkutan jarak dekat kendaraan bermotor lebih bisa melayani dari
pintu ke pintu (door to door), sehingga handling cost lebih rendah
daripada kereta api. Disamping itu, orang mulai membuat alat-alat
besar yang khusus untuk membuat jalan (road building equipment),
sehingga pembuatan jalan menjadi lebih cepat dan relatif murah
dengan kualitas yang lebih baik.

 Seetelah adanya penemuan mesin penggerak kendaraan


pengangkut yang memungkinkan kendaraan pengangkut bergerak
lebih cepat dengan membawa kendaraan pengangkut bergerak lebih
cepat dengan membaw a beban yang lebih banyak, hal ini merupaka
revolusi terbesar dalam sejarah perkembangan jalan raya. Association
Internationale Permanente dan congres dela route yang didirikan di
Paris tahun 1908 merupakan lembaga petemuan tetap internasional
yang menetapkan norma-norma dan ketentuan pembangunan jalan
raya. Tahun 1914 didirikan pula perserikatan pejabat jalan raya dan
transportasi negara-negara bagian di Amerika yaitu American
Association of state highway Officials (AASHTO). Dan penggunaan
aspal sebagai perkerasan dimulai sejak 1920 sehingga pada tahun
1935 pembangunan jalan raya mulai dikembangkan berdasarkan
bidang spesialisasi keilmuan, yaitu bidang perencanaan geometri
jalan raya dan bidang peencanaan konstruksi perkerasan jalan raya.

 Pada tahun 1903 diterbitkan paten untuk warren of


massachussets untuk suatu campuran perkerasan yang dibuat dari
material berbitumen dan agregat yang bergradasi atau biasa disebut
aspal beton (hotmix).

 Pada tahun 1917, perkerasan beton masih dalam masa peralihan,


yang kemudian California Highway Departement membangun
pondasi setebal 4-in dan lebarnya 15-in. Dan negara bagian
pennsylvania membakukan alternatif pelat beton setebal 12,5 cm (5-
in) dibagian tepi, dan 17,5 cm (7-in) dibagian tengah pada dasar yang
rata. Untuk saat ini tebal plat beton untuk lalu lintas berat dan padat
berkisar antara 20 sampai 32,,5 cm (sampai 13 in) dan dapat
disambung tanpa tulangan, dengan tulangan sederhana, dengan
tulangan menerus, atau prategang.
 Perkerasan campuran di jalan atau di tempat (road-mix) adalah
setiap permukaan berbitumen dimana materialnya dicampur di
tempat dimana dilaksanakan perkerasan. Pada tahun 1915, J. S.
Bright, insinyur di San Bernardino County, California,
mencampurkan minyak ringan dengan pasir gurun dengan
menggunakan bajak dan garu cakram, dan dengan menggunakan
beberapa galon minyak per yard persegi luas bidang menghasilkan
suatu lapisan permukaan setebal beberapa inci. Badan jalan ini
berfungsi sangat baik.

 Perkerasan Campuran-Pabrik (Plant-Mix) adalah setiap


permukaan berbitumen di mana materialnya telah dicampur di
pabrik. Umumnya diperuntukkan bagi produk yang lebih murah dan
kurang dikontrol secara tepat. Pencampuran di pabrik dimulai pada
tahun1920-an. Dengan mencampur material di pabrik dan segera
menghamparkannya setelah dikirim ke tempat proyek, maka
beberapa kelambatan terhadap campuran di jalan akibat gangguan
cuaca dapat dihindari.
 Seekarang telah sering dijumpai jalan paving yang bisa dilalui
oleh kendaraan berat. Namun untuk penggunaannya jalan paving
masih sering digunakan di perumahan-perumahan

Sekarang  dikenal 2 jenis perkerasan yaitu


a. Perkerasan aspal atau perkerasan lentur atau perkerasan flexible ,
yaitu perkerasan yang boleh atau dapa mengalami lendutan sehingga
memberikan kenyamanan dalam berkendara
b. Perkerasan kaku atau perkerasan beton semen atau Rigid
Pavement, sedikit atau bahkan nol nilai lendutannya
c. Perkerasan komposite
Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
     Merupakan jenis perkerasan jalan yang bersifat lentur karena
didominasi oleh campuran aspal Hot- Mix, Warm Mix maupun
aspal Cold Mix dalam strukturnya, jenis perkerasan lentur sejak dari
dulu sudah lama digunakan, tetapi seiring kemajuan teknologi maka
kualitas material dan proses pelaksanaan terus mengalami
perkembangan. Perkerasan lentur sendiri terdiri atas campuran aspal
(Asphalt), agregat halus (Fine Agregate), agregat kasar (Course
Agregrate) dan bahan pengisi (Filler). Campuran aspal sendiri di
Indonesia terdiri atas dua jenis yang secara umum digunakan yaitu
campuran aspal Pertamina yang berasal dari sisa kotoran minyak
bumi dan aspal alam yang berasal dari pulau Buton (Asbuton). Secara
umum susunan perkerasan lentur terdiri dari :

 Lapisan dasar (Subgrade), merupakan lapisan tanah dasar


dari suatu perkerasan jalan, dapat berupa tanah asli (Original soil)
maupun tanah timbunan pilihan. Peranan subgrade pada konstruksi
jalan sangat penting karena merupakan dasar yang menentukan
kualitas dan kemampuan daya dukung dari jalan tersebut, bilamana
kualitas atau kondisi subgrade yang memiliki daya dukung yang
rendah misalnya jenis tanah gambut yang umumnya dapat
mengakibatkan penurunan pada badan jalan. Jadi dalam
perencanaan suatu kosntruksi jalan khususnya jika jalan yang baru
dibuat kiranya dilakukan penyelidikan tanah (Investigation soil)
terlebih dahulu, sehingga dapat diketahui kapasitas daya dukung dari
tanah dasarnya berdasarkan hasil CBR (California Bearing Ratio).
 Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course), merupakan
lapisan kedua setelah tanah dasar, yang merupakan lapisan antara
lapisan subgrade dan lapis pondasi atas (Base) yang berfungsi
sebagai penerus beban dari lapisan atasnya. Lapisan subbase terdiri
atas agregat halus, bahan pengisi dan agregat kasar sesuai dengan
spesifikasi yang ditentukan oleh Standar perencanaan
lapisan subbaseberdasarkan nilai CBR nya. Pemadatan pada
lapisan subbase haruslah baik karena jika tidak maka pori-pori antara
agregat yang tidak maksimal memungkinkan gerusan air yang besar
masuk ke dalam lapisan subgrade yang berakibat pada kerusakan
lapisan tanah dasarnya. Ketebalan lapisan subbase berkisar antara
(20 – 30) cm sesuai perencanaan desain.

 Lapisan Pondasi Atas (Base Course), merupakan lapisan


ketiga dari subgradeyang berada di antara lapisan subbase
course dan lapisan permukaan (Surface Course). Lapisan pondasi
atas  berfungsi sebagai penerus beban kendaraan dari lapisan
permukaan, material yang digunakan pada lapisan pondasi atas harus
dengan standar dan spesifikasi yang ditentukan karena pada lapisan
ini konsentrasi beban dari permukaan sangat besar sesuai dengan
tebal yang direncanakan biasanya memiliki ketebalan berkisar antara
(20-30) cm, sehingga jika kualitas dan proses pemadatan dari lapisan
pondasi atas tidak maksimal maka akan terjadi lendutan (Bending)
yang merusak lapisan di bawahnya. Pada lapisan pondasi atas
biasanya diberikan campuran perekat sebelum lapisan permukaan
yang biasanya disebut Prime Coat dengan menggunakan alat Asphalt
Sprayer.

 Lapisan Permukaan (Surface Course),  merupakan


lapisan teratas dari konstruksi jalan yang berhubungan langsung
dengan beban kendaraan yang melintas pada permukaan ini dan
bersifat kedap air ataupun porous. Lapisan permukaan pada jenis
perkerasan lentur terdiri atas Asphalt Concrete Based Course (ACBC)
dan Asphalt Concrete Wearing Course (ACWC) dengan ketebalan
tertentu, pada lapisan ACWC merupakan lapisan aus  dan lebih halus
permukaannya. Ketebalan ACBC biasanya kisaran kurang lebih 10 cm
dan ACWC kisaran 5cm, sedangkan perekat natar lapisan ACBC dan
ACWC disebut Tack Coat. 
Gambar konfigurasi Flexible Pavement
 
Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
    Merupakan  jenis perkerasan yang bersifat kaku (Riqid) karena
bahan perkerasannya didominasi oleh beton (Concrete), perkerasan
kaku beberapa tahun ini telah banyak digunakan menggantikan
perkerasan lentur aspal, dikarenakan umur rencana yang lebih lama
dan sukar mengalami kerusakan dibandingkan dengan aspal beton.
Secara umum perkerasan kaku terdiri dari campuran semen, agregat
kasar, agregat halus, bahan pengisi dan zat admixture ditambah
dengan tulangan (rebar) sebagai sambungan antar segmen plat
beton. Susunan perkerasan kaku terdiri dari:

  Lapisan Tanah Dasar (Subgrade), merupakan lapisan


dasar dari semua jenis perkerasan yang berupa tanah asli atau
timbunan.

 Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course), merupakan


lapisan setelah tanah dasar yang meneruskan beban dari lapisan
atasnya, pada jenis perkerasan kaku lapisan subbase biasanya berupa
plat beton tipis berukuran (5-10)cm yang disebun (Lean Concrete)
yang berada di atas tanah dasar. Lapisan beton tipis tersebut harus
memiliki campuran yang baik dikarenakan bagian ini merupakan
proteksi perlindungan terhadap tanah dasar dari rembesan air.
Biasanya sebelum lapisan permukaan dikerjakan lapisan ini diberi
pelindung berupa plastik agar mencegah rembesan air (Piping) dari
permukaan atasnya sehingga tidak merusak lapisan tanah dasar.
 Lapisan Plat Beton (Concrete Slab), merupakan lapisan
beton tebal yang berupa penggabungan antara
lapisan base dan surface, pada lapisan beton ini bisanya tebalnya
berkisar antara (20-30) cm. Pada lapisan beton sambungan antar
segmen bisanya diberikan sambungan vertikal dan horisontal atau
tulangan kembang susut (Shrinkage bar) dan tulangan konstruksi
(Construction bar) antar segmennya. Ukuran segmen biasanya
bervariasi tergantung desain, umumnya lebar segmen plat beton
seukuran lebar jalan (2,5-3) m dan panjangnya (4-5) m. Pada bagian
permukaan bisanya dibuat grid anti slip pada saat ban kendaraan
melintas di atasnya. Umumnya mutu beton pada lapisan ini didesain
dengan mutu (K-400 sampai K-500). Pada perkerasan kaku
sambungan antar segmen umumnya menggunakan campuran aspal
emulsi atau sealant untuk mereduksi pergerakan akibat pemuaian. 

Gambar Konfigurasi Rigid Pavement 


    Dari penjelasan tersebut dapat dilihat beberapa perbedaan
mendasar antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku, kedua
perkerasan memiliki kelemahan  tersendiri, antara lain:
Kelemahan Perkerasan lentur (Flexible Pavement) 

 Perkerasan lentur lemah terhadap genangan air, jika terjadi


genangan maka akan mengakibatkan gejala retakan pada badan jalan
dan kemudian menjadi lubang.

 Mudah mengalami bleeding (Leleh) jika suhu hamparan aspal


tidak mencukupi atau dibawah 120 ◦C maka dapat beresiko terjadi
proses bleeding saat dilewati kendaraan.

 Umur rencana bisanya rendah, hal ini diakibatkan banyak faktor


misalnya kualitas campuran, proses pelaksanaan yang salah, beban
kendaraan yang besar dan sistem drainase yang buruk.

 Biaya perawatan yang tinggi misalnya peningkatan jalan


(Overlay).
 Tidak cocok digunakan pada tanah yang tidak stabil atau
timbunan.

 Distribusi tegangan pada perkerasan lentur lebih terpusat


sehingga menghasilkan tegangan yang besar pada lapisan di
bawahnya.

Kelemahan Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

 Anggaran awal yang besar dibandingkan dengan perkerasan


lentur.

 Bagi pengendara menimbulkan rasa jenuh saat mengemudi 


diakibatkan pantulan sinar matahari pada lapisan beton (silau).

 Proses pelaksanaan yang memakan waktu lama sekitar 1 bulan


sampai benar-benar dapat dilewati kendaraan, karena menunggu
proses curring/ perawatan beton setelah pengecoran.

 Membuat kinerja kendaraan menurun karena sistem grid pada


perkerasan kaku dapat membuat kerja ban lebih berat dan cepat aus.

 Mengurangi tingkat kenyamanan pengendara karena tidak


semulus perkerasan lentur.

 Perkerasan kaku lebih suka mengalami kembang susut


(Shrinkage), sehingga umumnya mudah mengalami retak (Cracking).

Gambar susunan sampel perkerasan kaku dan lentur  


Gambar Distribusi Tegangan Pada Roda Kendaraan  Pada
Tiap Jenis Perkerasan
    Dari kelemahan – kelemahan tersebut tentunya setiap perkerasan
memiliki kelebihan tersendiri, namun kerusakan jalan merupakan
kelemahan dari jalan itu sendiri yang tidak bisa dihindari baik berupa
retak, penurunan/amblas dan lubang. Adapun cara-cara agar dapat
dilakukan agar dapat terhindar dari kerusakan jalan yang sering kita
temui khususnya bagi perencana maupun pelaksana agar lebih
memperhatikan hal-hal ini, antara lain:

 Dalam mendesain suatu konstruksi jalan apakah menggunakan


perkerasan kaku atau lentur harus memperhatikan sistem
drainasenya dan kemiringan aliran pembuangan air dari badan jalan
karena unsur air merupakan hal yang memicu kerusakan jalan
khususunya perkerasan lentur.

  Dalam mendesain dan melaksanakan suatu perkerasan jalan


harus lebih memperhatikan kualitas campuran material perkerasan
jalan, hal ini harus dilakukan pengawasan pada saat pencampurannya
agar sesuai dengan mutu yang direncanakan baik pada subgrade,
subbase, base dan surface.

 Dalam pelaksanaan khususnya pihak pelaksana maupuan


pengawas harus lebih memperhatikan proses pelaksanaan apakah
suhu hamparan, proses pemadatan lapisan permukaan jika
menggunakan perkerasan lentur, susunan penulangan sambungan
pada perkerasan kaku, proses penghamparan lapisan pondasi pada
jalan dan tidak kala penting kondisi daya – dukung tanah dasar.

 Dalam operasional diharuskan adanya pengalihan kendaraan-


kendaraan dengan Muatan Sumbu Terberat (MST) yang besar pada
jalan yang direncanakan dengan muatan yang berat sehingga tidak
merusak jalan yang didesain dengan muatan kecil atau sedang. Maka
dari itu perluh digolongkan berdasarkan kelas jalan dalam
mendesain.

  Adanya perawatan (Maintanance) berkala terhadap kondisi


suatu jalan oleh Instansi terkait agar tingkat kerusakan dapat
direduksi sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar yang
tentunya memakan anggaran yang besar pula
Tujuan pertama dari perkerasan adalah  memberikan lapisan yang
lebih kuat untuk menruskan beban vertikal  ke bawah/ tanah.
Tegangan yang terjadidi tanah dan lapisan di atasnya disesuaikan
dengan  beban  kendaraan yang melewati jalan tersebut.
Tahap awal teori dikembangkan dengan teori CBR, sehingga
penentuan tebal perkerasan menggunakan rumus CBR

Kemudian berkembang karena  menggunakan banyak lapisan di


dikenal dengan analisa komponen
sehingga disingkat menjadi h = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3
perkerasan lentur SNI 2002
Perancangan_tebal_perkerasan_jalan AASHTO1986
Teori ini bertahan sampai tahun 2010, di Indonesia ini.
Kemudian dari berbagai  penelitian dan pengalaman  ternyata
kekuatan material  yang harus mendukung tidak hanya kuat tekan
saja ( Marshal untuk aspal ).  Teori  baru dikemukakan  dengan
menganggap bahwa selaian kekuatan tekan material , maka kelelahan
materila  juga harus ikut diperhitungkan , karena perulangan
pembebanan dari kosong  lalu beban, koosong lagi beban lagi ..  
sehingga material jadi cape…
Teori ini sebenarnya sudah lama ada  dan diterapkan pada jembatan
baja dimana baja mengalami lentur dan tarik bergantian  sehingga
suatu saat baja mengalami  lelah …. yang biasa dikenala dengan
FATIQUE
Analisa ini diterapkan pada perencanaan tebal perkerasan sesuai
pedoman bina marga 2013 yang bisa di download sbb :
Program SDPJL dan beberapa Pedoman serta Manual yang dapat
membantu menjelaskan program ini dapat diunduh pada tautan di
bawah  ini :
manual-desain-perkerasan-jalan-nomor-02-m-bm-2013
contoh desain-perkerasan-jalan-kaku-lentur2013

1. Kepdirjen Bina Marga No : 22.2/KPTS/Db/2012 Tentang


Manual Desain Perkerasan Jalan
2. Lampiran Kepdirjen Bina Marga No : 22.2/KPTS/Db/2012
3. Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Jalan Lentur No.
002/P/BM/2011
4. Manual Pengoperasian SDPJL
5. Petunjuk Pengoperasian SDPJL
6. Program SDPJL

 
untuk perhitungan VDF secara analisit sebagai berikut

1. UMUM

 
Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan
tebal perkerasan meliputi

 Jenis kendaraan.
 Volume lalu-lintas harian rata-rata.
 Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.
 Damage factor.
 Umur rencana.
 Faktor distribusi arah.
 Faktor distribusi lajur.
 Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur
rencana (traffic design).

Bagan alir prosedur traffic design untuk perencanaan tebal


perkerasan diperlihatkan seperti pada Gambar 1.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 1.
 

2. JENIS KENDARAAN

 
Secara umum ciri pengenalan penggolongan kendaraan seperti
dibawah ini :

 Golongan sedan, jeep, sation wagon, umumnya sebagai


kendaraan penumpang orang dengan 4 (2 baris) sampai 6 (3 baris)
tempat duduk.
 Kecuali Combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum
maximal 12 tempat duduk seperti mikrolet, angkot, minibus, pick-up
yang diberi penaung kanvas / pelat dengan rute dalam kota dan
sekitarnya atau angkutan pedesaan.
 Truk 2 sumbu (L), umumnya sebagai kendaraan barang,
maximal beban sumbu belakang 3,5 ton dengan bagian belakang
sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
 Bus kecil adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan
tempat duduk antara 16 s/d 26 kursi, seperti Kopaja, Metromini, Elf
dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda (STRG) dan
panjang kendaraan maximal 9 m dengan sebutan bus ¾. : Gol. 5a.
 Bus besar adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan
tempat duduk antara 30 s/d 50 kursi, seperti bus malam, bus kota,
bus antar kota yang berukuran ± 12 m dan STRG : Golongan 5b.
 Truk 2 sumbu (H) adalah sebagai kendaraan barang dengan
beban sumbu belakang antara 5 – 10 ton (MST 5, 8, 10 dan STRG) :
Golongan 6.
 Truk 3 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan 3
sumbu yang letaknya STRT dan SGRG (sumbu ganda roda ganda) :
Golongan 7a.
 Truk gandengan adalah sebagai kendaraan no. 6 dan 7 yang
diberi gandengan bak truk dan dihubungkan dengan batang segitiga.
Disebut juga Full Trailer Truck : Golongan 7b.
 Truk semi trailer atau truk tempelan adalah sebagai kendaraan
yang terdiri dari kepala truk dengan 2 – 3 sumbu yang dihubungkan
secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang beroda belakang yang
mempunyai 2 atau 3 sumbu pula : Golongan 7c.

Penggolongan lalu-lintas terdapat paling tidak 4 versi yaitu berdasar :

 Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997(Tabel 1.),


 Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B Survai pencacahan lalu
lintas dengan cara manual (Tabel 2.),
 Direktorat Jenderal Perhubungan Darat : Panduan batasan
maksimum perhitungan JGI (Jumlah berat yang diijinkan) dan JBKI
(Jumlah berat kombinasi yang diijinkan) untuk mobil barang,
kendaraan khusus, kendaraan penarik berikut kereta tempelan /
kereta gandengan Nomor SE.02/AJ.108/DHUD/2008tanggal 7 Mei
2008 (Tabel 3.),
 Jasa Marga (Persero) lihat Tabel 5.4.

 
Tabel 1. : Penggolongan kendaraan berdasar MKJI.
No. Type kendaraan Golongan

     

1. Sedan, jeep, st. wagon 2

2. Pick-up, combi 3
3. Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4

4. Bus kecil 5a

5. Bus besar 5b

6. Truck 2 as (H) 6

7. Truck 3 as 7a

8. Trailer 4 as, truck gandengan 7b

9. Truck s. trailer 7c

     

 
Tabel 2. : Penggolongan kendaraan berdasar Pd.T-19-2004-B.
No. Jenis kendaraan yang masuk kelompok ini adalah Golongan

     

1. Sedan, jeep, dan Station Wagon 2

2. Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Minibus 3

3. Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box 4


4. Bus Kecil 5a

5. Bus Besar 5b

6. Truk ringan 2 sumbu 6a

7. Truk sedang 2 sumbu 6b

8. Truk 3 sumbu 7a

9. Truk Gandengan 7b

10. Truk Semi Trailer 7c

     

 
Tabel 3. : Penggolongan kendaraan berdasar Perhubungan Darat
(2008)
No. Type kendaraan & golongan Konfigurasi sumbu

     

1 Mobil barang ringan 1.1

2 Truck 2 as 1.2

3 Truck 3 as 11.2
4 Truck 3 as 1.22

5 Truck 4 as 1.1.22

6 Truck 4 as 1.222

7. Truck 4 as 1.2.22

8. Truck 4 as 1.2+2.2

9. Truck 5 as 1.1.222

10. Truck 5 as 1.22+22

11. Truck 6 as 1.22+22

     

 
Tabel 4. : Penggolongan kendaraan berdasar PT. Jasa Marga
(Persero).
No. Golongan kendaraan

   

1 Golongan 1

2 Golongan 1 au
3 Golongan 2 a

4 Golongan 2 a au

5 Golongan 2 b

   

 
Konfigurasi kendaraan berdasar penggolongan dari PT. Jasa Marga
(Persero) diperlihatkan seperti pada Gambar 2.
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambar 2. : Penggolongan kendaraan pada jalan tol.
 
Dari ke-empat versi penggolongan diatas terlihat bahwa jika kita akan
melakukan kajian Vehicle Damage Factor (VDF) dimana ada
perbedaan standar sistem penggolongan tersebut, seringkali tidak
begitu mudah untuk analisis lalu-lintas, dapat dilihat dalam traffic
design nanti yang terkait erat ada hubungan antara Golongan
kendaraan – Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) – Pertumbuhan lalu-
lintas – VDF, jika survai lalu-lintas tidak sesuai yang kita inginkan,
akan menyulitkan kita yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sering
terjadi dalam survai lalu-lintas untuk golongan kendaraan yang lain
ada tetapi untuk golongan yang lain lagi tidak di-survai, apalagi jika
terjadi secara matriks kekeliruan pada survai pencacahan lalu-lintas
dan survai beban gandar maka akan memperbesar kesulitan dalam
analisis lalu-lintas, ujung-ujungnya hasil kajian lalu-lintas makin
tidak akurat.
Seringkali, dalam survai pencacahan lalu-lintas dan survai beban
gandar, team survai berjalan sendiri tanpa mengikuti kebutuhan
sesuai golongan kendaraan yang ditentukan oleh Pengguna Jasa /
Pemberi Tugas. Untuk itu kondisi ini perlu mendapat perhatian dan
dihindari.
 

3. LALU-LINTAS HARIAN RATA-RATA

 
Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi
satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu.
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan
dengan penentuan jumlah dan lebar lajur adalah : Lalu lintas Harian
Rata-rata (LHR).
Jumlah lajur dalam desain tebal perkerasan digunakan untuk
penentuan faktor distribusi lajur.
Selanjutnya, LHR, pertumbuhan lalu-lintas tahunan, VDF, umur
rencana, jumlah lajur, factor distribusi arah, factor distribusi lajur,
digunakan untuk perhitungan Equivalent Single Axle Load (ESAL).
 

4. PERTUMBUHAN LALU-LINTAS TAHUNAN

 
Pertumbuhan lalu-lintas tahunan dianalisis berdasar data lalu-lintas
yang lewat di ruas jalan Karawang Barat – Karawang Timur dari
tahun 2003 s/d 2008 yang didapat dari PT. Jasa Marga (Persero),
dan dari survai primer traffic counting diruas jalan tersebut, untuk
semua golongan kendaraan.
Output program berupa volume kendaraan per hari dan pertumbuhan
lalu lintas di jalan tol (dalam %) diturunkan menjadi lalu lintas sesuai
penggolongan kendaraan rencana, dengan periode sesuai tahun
perhitungan.
 

5. VEHICLE DAMAGE FACTOR

 
Daya rusak jalan atau lebih dikenal dengan Vehicle Damage Factor,
selanjutnya disebut VDF, merupakan salah satu parameter yang dapat
menentukan tebal perkerasan cukup signifikan, dan jika makin berat
kendaraan (khususnya kendaraan jenis Truck) apalagi dengan
beban overload, nilai VDF akan secara nyata membesar,
seterusnya Equivalent Single Axle Load membesar.
Beban konstruksi perkerasan jalan mempunyai ciri-ciri khusus dalam
artian mempunyai perbedaan prinsip dari beban pada konstruksi lain
di luar konstruksi jalan. Pemahaman atas ciri-ciri khusus beban
konstruksi perkerasan jalan tersebut sangatlah penting dalam
pemahaman lebih jauh, khususnya yang berkaitan dengan desain
konstruksi perkerasan, kapasitas konstruksi perkerasan, dan proses
kerusakan konstruksi yang bersangkutan.
Sifat beban konstruksi perkerasan jalan sebagai berikut :

 Beban yang diperhitungkan adalah beban hidup yang berupa


beban tekanan sumbu roda kendaraan yang lewat diatasnya yang
dikenal dengan axle load. Dengan demikian, beban mati (berat
sendiri) konstruksi diabaikan.
 Kapasitas konstruksi perkerasan jalan dalam
besaran sejumlah repetisi (lintasan) beban sumbu roda
lalu-lintas dalam satuan standar axle load yang dikenal dengan
satuan EAL (equivalent axle load) atau ESAL (Equivalent Single
Axle Load).Satuan standar axle load adalah axle load yang
mempunyai daya rusak kepada konstruksi perkerasan sebesar 1. Dan
axle load yang bernilai daya rusak sebesar 1 tersebut adalah single
axle load sebesar 18.000 lbs atau 18 kips atau 8,16 ton.
 Tercapainya atau terlampauinya batas kapasitas konstruksi
(sejumlah repetisi EAL) akan menyebabkan berubahnya konstruksi
perkerasan yang semula mantap menjadi tidak mantap. Kondisi tidak
mantap tersebut tidak berarti kondisi failure ataupun Dengan
demikian istilah failure atau collapse secara teoritis tidak akan (tidak
boleh) terjadi karena kondisi mantap adalah kondisi yang masih baik
tetapi sudah memerlukan penanganan berupa pelapisan
ulang (overlay). Kerusakan total (failure, collapse) dimungkinkan
terjadi di lapangan, menunjukkan bahwa konstruksi perkerasan jalan
tersebut telah diperlakukan salah yaitu mengalami keterlambatan
dalam penanganan pemeliharaan baik rutin maupun berkala untuk
menjaga tidak terjadinya collapse atau failuredimaksud.

 
5.1.          Formula Vehicle Damage Factor
 

1. Bina Marga

 
Mengacu pada buku Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen No. SNI 1732-1989-F
dan Manual Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No.
01/MN/BM/83.
Bina Marga (MST 10), dimaksudkan damage factor didasarkan pada
muatan sumbu terberat sebesar 10 ton, yang diijinkan bekerja pada
satu sumbu roda belakang, yang umumnya pada jenis kendaraan truk.
Formula ini dapat juga digunakan untuk menghitung VDF jika
terjadi overloadingpada jenis kendaraan truk.
Angka ekivalen beban sumbu kendaraan adalah angka yang
menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
suatu lintasan beban sumbu tunggal / ganda kendaraan terhadap
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar
sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini :

 Sumbu tunggal =
 Sumbu ganda =    0,086

Konfigurasi beban sumbu pada berbagai jenis kendaraan beserta


angka ekivalen kendaraan dalam keadaan kosong (min) dan dalam
keadaan bermuatan (max) berdasar Manual No. 01/MN/BM/83,
dapat dilihat pada Tabel 5.

Anda mungkin juga menyukai