Anda di halaman 1dari 20

LUAN

A.  Latar Belakang
Dalam perspektif islam makna belajar bukan hanya sekedar upaya perubahan perilaku.
Konsep belajar dalam islam merupakan konsep belajar yang ideal, karena sesuai dengan nilai-
nilai ajaran islam. Tujuan belajar dalam islam bukanlah mencari rezeki didunia ini semata, tetapi
untuk sampai kepada hakikat, memperkuat akhlak yang sempurna.
Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah, termasuk pendidikan agama islam di
sekolah-sekolah dan madrasah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini
berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan, banyak bergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh anak didik.[1]  Menurut Hamalik belajar
mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan prilaku, termasuk juga perbaikan
prilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lengkap.[2] Istilah strategi
lebih luas pengertiannya dari metode atau tekhnik, dengan kata lain di dalam strategi juga
terkandung pengertian metode atau tekhnik, di mana dalam strategi juga dibicarakan pendekatan
pengajaran dalam penyampain informasi, memilih sumber belajar, menunjang pengajaran,
menetukan dan menjelaskan peranan siswa.[3]
Dilihat dari segi kepentingannya, pendidikan dapat dilihat dari dua bagian, pertama
pendidikan dari segi kepentingan individual, dan kedua pendidikan dari segi kepentingan
masyarakat. Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus memperhatikan
perbedaan bakat, kemampuan, kecenderungan dan lainnya yang dimiliki anak, juga harus dapat
membantu individu  dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat
menolongnya . Pendidikan agama islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang ajaran islam sehingga menjadi manusia
muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermsyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan islam di sekolah bertujuan untuk
meningkatkan keyakinan, pemahaman, pengahyatan, dan pengalaman siswa tentang agama islam
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertqwa kepada Allah SWT serta berakhlak
mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[4]
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.
2.    Apa Jenis-jenis Pendekatan dalam Pembelajaran
3.    Apa Tipe-tipe Pendekatan
4.    Bagaimana Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5.    Bagaimana Relevansi Metode Dengan Bahan Pelajaran
C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.
2.    Untuk mengetahui Jenis-jenis Pendekatan dalam Pembelajaran
3.    Untuk mengetahui Tipe-tipe Pendekatan
4.    Untuk mengetahui Implikasi Pendekatan Pembelajaran Dalam Praksis pembelajaran
5.    Untuk mengetahui Relevansi Metode Dengan Bahan Pelajaran
D.      Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode library
research. yang mana penulis menggunakan buku-buku dari perpustakaan sebagai bahan referensi
dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang di kupas dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pentingnya pendekatan dalam pembelajaran.

Di lihat dari segi kepentingannya, pendidikaan dapat dilihat dari dua bagian. Pertama
pendidikan dari segi kepentingan individual, kedua pendidikan dari segi kepentingan masyarakat.
Dari segi kepentingan individual, pendidikan di samping harus memerhatikan perbedaan bakat,
kemampuaan, kecenderungan dan lainnya yang dimiliki anak didik, juga harus dapat membantu
individu dalam mengexpresikan dan mengaktualisasikan dirinya, sehingga dapat menolongnya
dikemudian hari.Dengan pendekatan yang bersifat individualistis ini, pendidikan hanya befungsi
menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan bebagai potensi pesreta didik yang
berbeda-beda itu dapat diwujudkan dalam kenyataan. Paradigma pendikan yang digunakan
bukanlah mengisi air ke dalam gelas, melainkan memotivasi dan menginspirasi agar berbagai
potensi yang dimiliki peserta didik itu dapat diexplorasi dengan upayanya sendiri. Paradigma
pendidikan  yang demikiaan itu, menempatkan guru sebagai “seorang bidan” yang membantu
melhirkan seorang ibu hamil. Guru hanya membantu peserta didik agar dapat
mengaktualisasikan potensi yang di milikinya.
Dengan cara demikian, maka guru bukan sebagai informan (pemberi informasi), melainkan
sebagai agent yang menggerakan terjadinya proses pembelajaran pada anak didik, sehingga ank
didik mau belajar denga giat dan sungguh-sungguh, melahirkan gagasn, pemikiran, dan
sebagainya dengan aktivitasnya sendiri. Keadaan ini pada tahap selanjutnya menempatkan guru
sebagai motivator, katalisator, inspirator, imaginator, fasilitator, dan seterusnya. Paradigma guru
dalam konteks kegiatan pembelajaran yang demikian itu telah menjadi salah satu pilihan yang
banyak diterapkan pada negara yang mengandung sistem pemerintahan yang demokratis
termasuk di indonesia.
Paradigma pendidikan yang bersifat individualistis ini memiliki landasan dan akar
konseptual pada teori psikologi yang beraliran nativisme, humanisme, dan liberalisme. yaitu
sebagai teori psikologi yang mengatakan bahwa setip manusia memilik bakat, kecenderungan
dan lain sebagainya yang berasal dari dirinya sendiri, dan oleh karena itu mereka harus diberikan
kebebasan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan dari luar. Konsep pendidikan yang
individualistis ini misalnya, dapat dikembalikan kepada socrates, jogh dewey, ivan illich, dan
lain-lain. Konsep pendidikan ini juga berakar pada pandangan tentang tidak adanya nilai moral
universal. Nilai-nilai moral seluruhnya bersifat positifistik dan anthropocentris. Yakni
bergantung kepada ukuran dan parameter yang dietentukan oleh masing-masing individu.
Dengan demikiaan, nilai moral menjadi sesuatu yang bersifat relatif dan personal. Keaadan ini
pada gilirannya membawa pada keaadaan tidak adanya hukum universal yang dapat digunakan
oleh seluruh umat manusia.
Adapun pendidikan yang dilihat dari segi kepentingan masyarakat adalah pendidikan yang
lebih merupakan media atau sarana yang berfungsi menyalurkan gagasan, pemikiran, nilai-nilai
budaya, agama, sistem politik, ilmu pengetahuaan, dan lain sebagginya yang sudah diakui oleh
masyarakat dan negara. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dan negara sangat
menentukan dlam mengarahkan kegiatan pendidikan.
Pendidikan yang demikiaan itu, pada gilirannya menempatkan guru sebagai satu-satunya
yang memiliki otoritas untuk menentukan corak dan warna pendidikan. Dan dalam waktu yang
bersamaan, peserta didik ditempatkan sebagai objek yang sepenuhnya mengikuti kehendak guru.
peserta didik tidak memiliki pilihan lain. Kecuali harus mengikuti agenda pendidikan dan
pengajaran yang telah disiapkan pemerintah dan masyarakat. Dengan paradigma yang demikiaan
itu, maka paradigma guru menjadi satu-satunya agent of information atau agent of knowledgel.
Hal ini pada gilirannya membawa konsep pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centris). Guru memberikan sejumlah pengetahuan ajaran dan lainnya yang harus dihapal dan
dikuasai dengan baik oleh peserta didik, tanpa ada peluang bagi mereka untuk mempertanyakan
urgensitas dan relevansitas yang diajarkan oleh guru tersebut. Dengan paaradigma ini, maka guru
yang menjadi aktif, sedangkan murid menjadi pasif. Pardigma pendididik yang digunakan dalam
konteks ini adalah “ mengisi air kedalam gelas” atau “ menuangkan ilmu pengetahuaan,
keterampilan, dan sebagainya, kkedalam otak peserta didik.”
Dengan pendekatan yang demikiaan, maka pendidikan dengan berbagai komponennya:
Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar, guru, murid, manajemen, sarana prasarana,
lingkungan,keuangan, alat dan sumber belajar, evlauasi dan lainnya di tentukan dari atas atau
pusat, yaitu di tentukan oleh mereka yang memiliki otorits sebagai pengambil kebijakan.
Pendidikan yang bercorak sentrlistis ini dianggap kurang memberikan kemungkinan pada pesrta
didik untuk berkreasi, berinovasi, berimajinasi dan lain sebagainya.
Corak pendidikan demikian itu didasarkan pada sebuah asumsi tentang adanya moral
universal, yaitu nilai-nilai moral yang dianggap permanen, telah teruji dalam sejarah, bersifat
abadi, dan karenanya perlu dilestarikan dan ditanamkan pada peserta didik tanpa syarat. Konsep
pendidikan sedemikian itu, banayak digunaka pada negara berkembang yang menganut sistem
pemerintahan yang otoriter dan sentralistis.Adanya dua aliran kepentingan pendidikan
sebagaimana pendidikan tersebut, pada gilirannya membawa kepada timbulanya aliran
pendidikan yang ketiga, yaitu konsep pendidikan yang mencoba menghubungkan antara
kepentingan individual dan masyarakat. Konsep yang memadukan kepentingan idividual dan
masyarakat ini didasarkan pada sebuah asumsi, bahwa selain memiliki kebebasan individual,
manusia juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Selain makhluk individual yang merupakn hak
privasinya, manusia juga makhluk sosial. Selain mementingkan kebutuhan individualnya,
manusia juga harus mementingkan kebutuhan sosialnya.[5]
B.  Jenis-jenis Pendekatandalam Pembelajaran
1.   Pendekatan Individualistic
Pendekatan individualistic dalam proses pembelajaran, adalah sebuah pendekatan yang
bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki latar belakang perbedaan dari segi
kecerdasan, bakat, kecenderungan, motivasi, dan sebagainya. Perbedaan individualistis peserta
didik tersebut memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pembelajaran harus
memerhatikan perbedaan peserta didik pada aspek individual ini. Dengan kata lain, guru harus
melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar mengajarnya. Bila hal ini tidak
dilakukan, makastrategi belajar tuntas (mastery learning) yang menuntut penguasaan penuh
kepada peserta didik tidak pernah menjadi kenyataan. Dengan pendekatan individual ini kepada
peserta didik dapat diharapkan memiliki tingkat penguasaan materi yang optimal.
Pendekatan belajar individualistis ini berguna untuk mengatasi peserta didik yang suka
benyak bicara atau membuat keributan dalam kelas. Caranya antara lain dengan memindahkan
salah satu peserta didik tersebut pada tempat yang terpisah dengan jarak yang cukuup jauh
dengan peserta didik lainnya. Peserta didik yang suka berbicara ditempatkan pada anak didik
yang pendiam.[6]
Melalui pendekatan ini, kesulitan peserta didik dalam belajar segera dapat dipecahkan.
Pendekatan individualistic juga adalah pendekatan uang demokratis, karena memperlakukan
setiap peserta didik sesuai dengan keinginannya. Dan dengan pendekatan ini, penghargaan
terhadap kecakapan peserta didik yang berbeda-beda dapat dilakukan. Bagi peserta didik yang
mau belajar sungguh-sungguh dan cerdas, memiliki kesempatan dan peluang untuk belajar lebih
cepat. Sebaliknya, peserta didik yang kurang cerdas dan kurang sungguh-sungguh dapat
menyelesaikan pelajarannya sesuai dengan kesanggupannya.
Namun demikian, pendekatan ini selain memiliki manfaat dan keuntungan, juga tidak
terlepas dari kekurangan. Pendekatan individualistis mengharuskan seorang guru memberikan
perlakuan yang berbeda-beda pada setiap peserta didik. Keadaan ini amat menyulitkan, jika
jumlah peserta didiknya cukup banyak, karena akan memakan waktu yang cukup banyak pula,
dan karenanya kurang efisien. Selain itu, pendekatan ini juga mengharuskan adanya desain kelas
yang kecil-kecil (small class) yang jumlahnya cukup banyak. kelas kecil yang jumlahnya cukup
banyak ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu orang guru, melainkan oleh sebuah team
teacher. Pendekatan ini menyebabkan peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk
bersosialisasi, dan pada gilirannya dapat menimbulkan sikap individualistis pada peserta didik.
2.   Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok adalah sebuah pendekatan yang didasarkan pada pandangan, bahwa
pada setiap peserta didik terdapat perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara satu
dan lainnya. perbedaan yang peserta didik yang satu dengan yang lainnya ini, bukanlah untuk
dipertentangkan atau dipisahkan, melainkan harus diintegrasikan. Seorang peserta didik yang
cerdas misalnya, dapat disatukan dengan peserta didik yang kurang cerdas, sehingga peserta
didik yang kurang cerdas itu dapat ditolong oleh peserta didik yang cerdas. Demikian pula,
persamaan yang dimiliki antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lainnya dapat
disinergikan sehingga dapat saling menunjang secara optimal.
Selain itu, pendekatan kelompok ini juga didasarkan pada asumsi, bahwa setiap anak didik
memiliki kecenderungan untuk berteman dan berkelompok dalam rangka memperoleh
pengalaman hidup dan bersosialisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan pendekatan
kelompok ini, diharapkan dapat ditumbuhkan rasa sosial yang tinggi pada setiap peserta didik,
dan sekaligus untuk mengendalikan rasa egoism yang ada dalam diri mereka masing-masing,
sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di dalam kelas.
   Dengan pendekatan kelompok ini, mereka diharapkan memiliki kesadaran bahwa hidup ini
ternyata hidup ini saling membutuhkan dan saling tergantung antara satu dengan yang lainnya.
tidak ada makhluk hidup yang terus menerus dapat mencukupi dirinya tanpa bantuan orang lain.
Sehubungan dengan penggunaan pendekatan kelompok sebagaimana tersebut di atas,
terdapat sejumlah factor yang perlu dipertimbangkan, seperti factor tujuan, peralatan dan sumber
belajar, metode yang akan dipergunakan, lingkungan tempat belajar, serta keadaan peserta didik
itu sendiri. Dengan demikian, penggunaan pendekatan kelompok ini tidak dapat dilakukan secara
sembrono atau tanpa perhitungan yang matang.[7]
3.   Pendekatan Campuran
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, bahwa seorang anak didik di samping memiliki
latar belakang perbedaan secara individual, juga memiliki persamaan sebagai makhluk yang
berkelompok. Dengan demikian, setiappeserta didik sesungguhnya dapat didekati secara
individual dan kelompok. Pada bagian terdahulu juga sudah dikemukakan, bahwa pada
pendekatan individual dan kelompok masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keadaan sebagaimana tersebut di atas, member petunjuk tentang kemungkinan dapat
dilakukan pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan campuran, yaitu sebuah pendekatan yang
bertumpu pada upaya menyinergikan keunggulan yang terdapat pada pendekatan individual dan
keunggulan yang terdapat pada pendekatan kelompok. Namun dalam praktiknya, pendekatan
campuran ini akan jauh lebih banyak masalahnya dibandingkan dengan dua pendekatan
sebagaimana tersebut di atas. Ketika guru dihadapkan kepada permasalahan peserta didik yang
bermasalah, maka guru akan berhadapan dengan permaslahan peserta didikyang bervariasi.
Setiap masalah yang dihadapi peserta didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan.
   Uraian tersebut di atas telah menjelaskan, bahwa setiap peserta didik memiliki motivasi
yang berbeda-beda dalam belajar.dari atu sisi terdapat peserta didik yang memiliki motivasi yang
tinggi untuk belajar, namun pada sisi lain terdapat peserta didik yang motivsi belajarnya sedang-
sedang saja, atau rendah. Keadaan ini swlanjutnya menimbulkan keadaan peserta didik yang satu
bergairah dalam dalam belajar, sedangkan peserta didik yang lainnya biasa-biasa saja, bahkan
tidak bergairah sama sekali, dan tidak mau ikut belajar. Ia malah asyik bersenda gurau, bermain-
main, atau melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar. Mereka
duduk dan berbicara, berbincang-bincang satu sama lain tentang hal-hal yang terlepas dari
masalah pelajaran.[8]
4.   Pendekatan Edukatif
Apapun yang guru lakukan dalam pendidikan dan pengajaran dengan tujuan untuk
mendidik, bukan karena motif-motif1ain, seperti dendam, gengsi, ingin ditakuti, dan
sebagainya.Anak didik yang telah melakukan kesalahan, yakni membuat keributan di kelas
ketika guru sedang memberikan pelajaran, misalnya, tidak tepat diberikan sanksi hukum dengan
cara memukul badannya hingga luka atau cidera. Ini adalah tindakan sanksi hukum yang tidak
bernilai pendidikan. Guru telah melakukan pendekatan yang salah. Guru telah menggunakan
teori power, yakni teori kekuasaan untuk menundukkan orang lain. Dalam pendidikan, guru akan
kurang arif dan bijaksana bila menggunakan kekuasaan, karena hal itu bisa merugikan
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak didik. Pendekatan yang benar bagi guru
adalah dengan melakukan pendekatan edukatif. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru
lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai
norma hukum, norma susila, norma moral, noram sosial, dan norma agama.
Cukup banyak sikap dan perbuatan yang harus guru lakukan untuk menanamkan nilai-nilai
kebaikan kepada anak didik. Salah satu contohnya, misalnya, ketika lonceng tanda masuk kelas
telah berbunyi, anak-anak jangan dibiarkan masuk dulu, tetapi suruhlah mereka bebaris di depan
pintu masuk dan perintahkanlah ketua kelas untuk mengatur barisan. Semua anak perempuan
berbaris dalam kelompok jenisnya. Demikian juga semua anak laki-laki, berbaris dalam
kelompok sejenisnya. Jadi, barisan dibentuk menjadi dua dengan pandangan terarah ke pintu
masuk. Di sisi pintu masuk guru berdiri sambi! mengontrol bagaimana anak-anak berbaris di
depan pintu masuk kelas. Semua anak dipersilakan masuk oleh ketua kelas. Mereka pun satu per
satu masuk kelas, mereka satu per satu menyalami guru dan mencium tangan guru sebelum
dilepas. Akhirnya, semua anak masuk dan pelajaran pun dimulai.
Contoh di atas menggambarkan pendekatan edukatif yang telah dilakukan oleh guru dengan
menyuruh anak didik berbaris di depan pintu masuk kelas. Guru telah meletakkan tujuan untuk
membina watak anak didik dengan pendidikan akhlak yang mulia. Guru telah membimbing anak
didik, bagaimana cara memimpin kawan-kawannya dan anak-anak lainnya, membina bagaimana
cara menghargai orang lain dengan cara mematuhi semua perintahnya yang bernilai kebaikan.
Betapa baiknya jika semua sekolah (TK, SO atau SLTP) melakukan hal yang demikian itu.
Mungkin kewibawaan guru yang dirasakan mulai memudar sekarang ini dapat dimunculkan
kembali dan tetap melekat pada pribadi guru. Sekaranglah saatnya mengedepankan pendidikan
kepribadian kepada anak didik dan jangan hanya pendidikan intelektual serta keterampilan
semata, karena akan menyebabkan anak tumbuh sebagai seorang intelektual atau ilmuwan yang
berpribadi kering.
Guru yang hanya mengajar di kelas, belum dapat menjamin terbentuknya kepribadian anak
didik yang berakhlak mulia. Demikian juga halnya dengan guru yang mengambil jarak dengan
anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik disebabkan komunikasi antara guru
dengan anak didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi
guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
Guru yang jarang bergaul dengan anak didik dan tidak mau tahu dengan masalah yang
dirasakan anak didik, membuat anak didik apatis dan tertutup atas apa yang dirasakannya. Sikap
guru yang demikian kurang dibenarkan dalam pendidikan, karena menyebabkan anak didik
menjadi orang yang introver (tertutup).
Kasuistis yang terjadi di sekolah biasanya tidak hanya satu, tetapi bermacam-macam jenis
dan tingkat kesukarannya. Hal ini menghendaki pendekatan yang tepat. Berbagai kasus yang
terjadi, selain ada yang dapat didekati dengan pendekatan individual,adajuga yang dapat didekati
dengan pendekatan kelompok, dan ada pula yang dapat didekati dengan pendekatan bervariasi.
Namun yang penting untuk diingat adalah bahwa pendekatan individual harus berdampingan
dengan pendekatan edukatif; pendekatan kelompok harus berdampingan dengan pendekatan
edukatif, dan pendekatan bervariasi harus berdampingan dengan pendekatan edukatif. Dengan
demikian, semua pendekatan yang dilakukan guru harus bemilai edukatif, dengan tujuan untuk
mendidik. Tindakan guru karena dendam, marah, kesal, benci, dan sejenisnyabukanlah termasuk
perbuatan mendidik, karena apa yang guru lakukan itu menurutkan kata hati atau untuk
memuaskan hati.
Selain berbagai pendekatan yang disebutkan di depan, ada lagi pendekatan-pendekatan lain.
Berdasarakan kurikulum atau Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Agama
Islam SLTP Tahun 1994 disebutkan lima macampendekatan untuk pendidikan agama Islam,
yaitu pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan
rasional, dan pendekatan fungsional. Kelima macam pendekatan ini diajukan, karena pendidikan
agama Islam di sekolah umum dilaksanakan melalui kegiatan intra dan ekstra kurikuler yang satu
sama lainnya saling menunjang dan saling melengkapi. Kelima pendekatan tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1.   Pendekatan Pengalaman
Experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman adalah
guru bisu yang tidak pernah marah. Pengalaman adalah guru yang tanpa jiwa, namun selalu
dicari oleh siapa punjuga. Belajar dari pengalaman adalah lebih baik daripada sekadar bicara,
dan tidak pemah berbuat sama sekali. Belajar adalah kenyataan yang ditunjukkan dengan
kegiatan fisiko Karena itu, the proses of learning is doing, reacting, undergoing, experiencing.
The products of learning are all achieved by the learner through his own activity. (H.C.
Witherington dan W.H. Burton, 1986: 57).
Meskipun pengalaman diperlukan dan selalu dicari selama hidup, namun tidak semua
pengalaman tidak bersifat mendidik (edukative ex perience), karena ada pengalaman yang tidak
bersifat mendidik (misedukative experience). Suatu pengalaman dikatakan tidak mendidik, jika
guru tidak membawa anak ke arah tujuan pendidikan, akan tetapi menyelewengkan dari tujuan
itu, misalnya "mendidik anak menjadi pencopet." Karena itu, ciri-ciri pengalaman yang edukatif
adalah berpusat pada suatu tujuan yang berarti bagi anak (meaningful), kontinu dengan
kehidupan anak, interaktif dengan lingkungan, dan menambah integrasi anak. Demikianlah
pendapat Witherington.
2.   Pendekatan Pembiasaan
Pembiasaan adalah alat pendidikan. Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan ini sangat
penting. Karena denganpembiasaan itulahakhimya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di
kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk suatu sosok manusia yang
berkepribadian yang baik pula. Sebaliknya, pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok
manusia yang berkepribadian yang buruk pula. Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi
pada diri seseorang. Karenanya, di dalam kehidupan bermasyarakat,kedua kepribadian yang
bertentanganini selalu ada dan tidak jarang terjadi konflik di antara mereka.
Anak kecil tidak seperti orang dewasa yang dapat berpikir abstrak. Anak kecil hanya dapat
berpikir konkret Kata-kata seperti kebijaksanaan, keadilan, dan perumpamaan,adalah contoh kata
benda abstrakyang sukar dipikirkanoleh anak. Anak kecil belum kuat ingatannya,ia
lekasmelupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Perhatian mereka lekas dan mudah beralih
kepada hal-hal yang baru, yang lain, yang disukainya.
3.   Pendekatan Emosional
Emosi adalah gejala kejiwaan yang ada di dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan
masalah perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik
perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada perasaan
intelektual, perasaan estetis, perasaan etis, perasaan sosial, dan perasaan harga diri. Menurut
Chalijah Hasan merasa adalah aktualisasi kerja dari hati sebagai materi dalam struktur tubuh
manusia, dan merasa sebagai aktivitas kejiwaan ini adalah suatu pemyataan jiwa yang bersifat
subjektif. Hal ini dilakukan dengan mengemukakan suatu kesan senang atau tidak senang, dan
umumnya tidak tergantung pada pengamatan yang dilakukan oleh indra.
Perasaan, menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono sebagai fungsi jiwa untuk dapat
mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut "rasa senang dan tidak senang", mempunyai
sifat-sifat senang dan sedih/tidak senang, kuat dan lemah, lama dan sebentar, relatif, dan tidak
berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa.
4.   Pendekatan Rasional
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta, yaitu Allah swt.
Manusia adalah makhluk yang sempuma diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya
yang diciptakan oleh Tuhan. Perbedaannya terletak pada akal Manusia mempunyai akal,
sedangkan makhluk lainnya seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal. Jadi, hanya
manusialah yang dapat berpikir, sedangkan makhluk lainnya tidak mampu berpikir.
Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran atau perbuatan.
Dengan akal pula dapat membuktikan dan membenarkan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa,
Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini. Walaupun disadari keterbatasan akal untuk
memikirkan dan memecahkan sesuatu, tetapi diyakini pula bahwa dengan akal dapat dicapai
ketinggian ilmu pengetahuan dan penghasilan teknologi modern. Itulah sebabnya manusia
dikatakan sebagai homo sapien, semacam makhluk yang berkecenderungan untuk berpikir.
5.   Pendekatan Fungsional
Ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh anak di sekolah bukanlah hanya sekadar pengisi otak,
tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosia!. Anak dapat memanfaatkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu pengetahuan dapat membentuk
kepribadian anak. Anak dapat merasakan manfaat dari ilmu yang didapatnya di sekolah. Anak
mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu sudah fungsional di dalam diri anak.
Pelajaran agama yang diberikan di kelas bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan
pengisi kekosongan intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yangdemikian itulah yang pada akhimya hendak dicapai oleh tujuan pendidikan agama di
sekolah dalam berbagaijenis dan tingkatan. Karena itu, kurikulum pun disusun sesuai dengan
kebutuhan siswa di masyarakat.
6.   Pendekatan Keagamaan
Pendidikan dan pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan satu atau dua macam mata
pelajaran, tetapi terdiri dari banyak mata pelajaran. Semua mata pelajaran itu pada umumnya
dapat dibagi menjadi mala pe/ajaran umum dan mala pelajaran agama Berbagai pendekatan
dalam pembahasan terdahulu dapat digunakan untuk keduajenis mata pelajaran ini. Tentu saja
penggunaannya tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang
dicapai. Dalam praktiknya tidak hanya digunakan satu, tetapi bisa juga penggabungan dua atau
lebih pendekatan.
Khususnya untuk mata pelajaran umum, sangat berkepentingan dengan pendekatan
keagamaan. Hal lni dimaksudkan agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan
nilai agama. Dengan penerapan prinsip-prinsip mengajar seperti prinsip korelasi dan sosialisasi,
guru dapat menyisipkan pesan-pesan keagamaan untuk semua mata pelajaran umum. Tentu saja
guru harus menguasai ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan mata pelajaran yang dipegang.
Mata pelajaran biologi, misalnya, bukan terpisah dari masalah agama, tetapi ada hubungannya.
Cukup banyak dalil agama yang membahas masalah biologi. Persoalannya sekarang terletak,
mau atau tidaknya guru mata pelajaran tersebut mencari dan menggali dalil-dalil dimaksud dan
menafsirkannya guna mendukung penggunaan pendekatan keagamaan dalam pendidikan dan
pengajaran. Surah Yaasiin, ayat 34, dan ayat 36, adalah bukti nyata bahwa pelajaran biologi tidak
bisa dipisahkan dari ajaran agama. Surah Yaasiin ayat 37, 38,39, dan 40 adalah dalil-dalil nyata
pendukung pendekatan keagamaan dalam mata pelajaran fisika.
Akhirnya, pendekatan agama dapat membantu guru untuk memperkecil kerdilnya jiwa
agama di dalam diri siswa, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak dicemoohkan dan
dilecehkan, tetapi diya kini, dipahami, dihayati, dan diamalkan selama hayat siswa di kandung
badan.
7.   Pendekatan Kebermaknaan
Bahasa adalah alat untuk menyampaikan dan memahami gagasan pikiran, pendapat, dan
perasaan, secara lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia
yang dianggap penting untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni budaya, dan pembinaan hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam rangka penguasaan bahasa Ingrris tidak bisa mengabaikan masalah pendekatan yang
harus digunakan dalam proses belajar mengajar. Kegagalan penguasaan bahasa Inggris oleh
siswa, salah satu sebabnya adalah kurang tepatnya pendekatan yang digunakan oleh guru selain
faktor lain seperti faktor sejarah, fasilitas, dan lingkungan serta kompetensi guru itu sendiri.
Kegagalan pengajaran tersebut tentu saja tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan menjadi
masalah bagi siswa dalam setiap jenjang pendidikan yang dimasukinya. Karenanya perlu
dipecahkan. Salah satu alternatif ke arah pemecahan masalah tersebut diajukanlah pendekatan
baru, yaitu pendekatan kebermaknaan. Beberapa konsep penting yang menyadari pendekatan ini
diuraikan sebagai berikut:
a)    Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan makna yang diwujudkan malalui struktur (tata
bahasa dan kosa kata). Dengan demikian, struktur berperan sebagai alat pengungkapan makna
(gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan).
b)   Makna ditentukan oleh lingkup kebahasaan maupun lingkup situasi yang merupakan konsep
dasar dalam pendekatan kebermaknaan pengajaran bahasa yang natural, didukung oleh
pemahaman lintas budaya.
c)    Makna dapat diwujudkan melalui kalimat yang berbeda, baik secara lisan maupun tertulis. Suatu
kalimatdapat mempunyai makna yang berbeda tergantung pad a situasi saat kalimat itu
digunakan. Jadi keragaman ujaran diakui keberadaannya dalam bentuk bahasa lisan atau tertulis.
d)   Belajar bahasa asing adalah belajar berkomunikasi melalui bahasa tersebut, sebagai bahasa
sasaran, baik secara lisan maupun tertulis. Belajar berkomunikasi ini perlu didukung oleh
pembelajaran unsur unsur bahasa sasaran.
e)    Motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan belajamya.
Kadar motivasi ini banyak ditentukan oleh kadar kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan
pembelajaran memiliki siswa yang bersangkutan. Dengan kata lain, kebermaknaan bahan
pelajaran dan kegiatan pembelajaran memiliki peranan yang amat penting dalam keberhasilan
belajar siswa.
f)    Bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswajika berhubungan
dengan pengalaman, minat, tata nilai, dan masa depannya. Karena itu, pengalaman siswa dalam
lingkungan, minat, tata nilai, dan masa depannya harus dijadikan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan pengajaran dan pembelajaran untuk membuat pelajaran lebih bermakna
bagi siswa.
g)   Dalam proses belajar-mengajar, siswa merupakan subjek utama, tidak hanya sebagai objek
belaka. Karena itu, ciri-ciri dan kebutuhan mereka harus dipertimbangkan dalam segala
keputusan yang terkait dengan pengajaran.
h)   Dalam proses belajar-mengajar guru berperan sebagai fasilitatoryang membantu siswa
mengembangkan keterampilan berbahasanya.[9]

E.   Relevansi Metode dengan Bahan Pelajaran


Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus menyampaikan atau mengajarkan
sesuatu bahan pada murid. Bahan (subject metter) itu biasanya meliputi pengetahuan,
keterampilan sikap dan norma atau nilai-nilai yang diharapkan dimiliki dan diamalkan. Pada
sebagian madrasah, terutama pada masa silam bahkan juga sampai sekarang, kurikulum masih
dalam bentuk subject metter dan sementara itu dikalangan guru masih terdapat pandangan yang
berbeda terhadap kurikulum semacam itu. Ada yang berpendapat bahwa bahan pelajaran itu
mengandung nilai-nilai instrinsik dan harus dipelajari untuk kepentingan nilai itu sendiri.
Sebagian lagi beranggapan bahwa bahan pelajaran itu diajarkan untuk dimanfaatkan atau dengan
kata lain nilainya tergantung pada penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pihak lain
beranggapan bahwa bahan pelajaran itu adalah sebagai alat saja untuk menegambangkan
kemampuan intelektual, keterampilan, norma dan sikap.
Perbedaan pandangan tersebut diatas sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kita
memeperhatikan tujuan sekolah atau madrasah pada umumnya. Madrasah bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim dengan memperlengkapi siswa berbagai pengetahuan termasuk
pengetahuan agama, dan keterampilan-keterampilan. Jelaslah bahwa pelajaran itu adalah sebagai
alat yang sangat penting, yaitu alat untuk mencapai tujuan; alat yang digunakan oleh guru dan
murid untuk tujuan yang suci yaitu membentuk pribadi yang muslim. Hal itu dapat dicapai bila
bahan pelajaran yang dipelajari disajikan dengan cara yang wajar dengan memperhatikan juga
faktor murid dan situasi. Bahan dipelajari secara wajar bila murid mengolah bahan itu melalui
proses penemuan berpikir kreatif, kerjasama dan merealisasi kemampuan diri sendiri.
Bahan pelajaran agama tidak diragukan lagi penuh mengandung nilai-nilai bagi
pembentukan pribadi muslim tetapi kalau dibiarkan dengan cara yang kurang wajar misalnya
anak diseruh menghafal secara mekanis apa yang disampaikan oleh guru atau yang terdapat
didalam buku-buku pelajaran, tidak mustahil akan timbul pada diri anak murid ras tidak senang
pada pelajaran agama dan mungkin juga tidak senang dengan guru agamnya. Oleh karena bahan
yang akan dipelajari mempunyai sifat yang berbeda satu dengan yang lainnya,maka untuk setiap
jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. Pada uumnya dikenal jenis bahan dan jenis belajar
yang sesuai dengannya seperti tersebut dibawah ini.
1.   Bahan yang memerlukan pengamatan
Pengetahuan yang dimiliki oleh anak umumnya diperoleh melelui alat indra atau melalui
pengamatan baik langsung maupun tidak langsung. Alat indra dalam hal ini memegang peranan
yang penting, ketidak sempurnaan atau ketidak pekaan suatu alat indra akan menyebabkan
pengamaatan tidak sempurna dan hasil belaja menjadi berkurang.Dengan mendengar uraian guru
(jadi pengamatan melalui indra pendengar) murid dapat mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan shalat jumat. Begitu juga dengan melalui membaca (pengamatan melalui indra
penglihat), melihat orang sembahyang Jum’at atau melihat fil tentang orang shalat jum’aht anak
memperoleh pengetahuan shlat jum’aht. Dari contoh tersebut diatas jelas bahwa metode yang
relevan untuk bahan tersebut adalah metode ceramah, atau metode resitasi atau metode proyek
(dalam hal ini proyek tentang shlat jum’at). Yang ditekankan pada bahan tersebut adalah segi
pengetahuannya edang unuk keterampilan melakukn shlat Jum’at termauk Khhatib memerlukn
jenis belajar yang lain dn metode yang lain pula.
2.   Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan tertentu
Untuk menguasi bahan sejenis ini seseorang terutama harus belajar secara motoris (motor
type of learning). Mungkin jenis belajar melalui pengamatan perlu juga tetapi tidak sepenting
belajar motoris.Contoh : bahan pelajaran membaca Al-Quran dengan baik.
Dalam hal ini juga diperlukan belajar motoris yaitu menguasai keterampilan-keterampilan
dalam hal hgerakan mulut dan lidah, pengaturan pernahfasan dan suara. Metode yangrelevan
untuk bahan-bahan tersebut dalah metode demonstrasi dan dril.
3.   Bahanyang mengandung materi hafalan.
Bahan pelajaran agama jenis ini termasuk cukup banyak hdan segera harus diketahui hdan
dihafalkan karena akan digunkan hdalam beribadah dan beramal. Disamping itu juga untuk
keperluan ujian khususnya exhternal education. Untuk mempelajari bahan hafalan,ini diperlukan
jenis belajar menghafalan (memory type of learning). Belajar menghafal sering menimbulkan
penyakit verbalisme yaitu anak tahu menyebutkan kata-kata, definisi, rumus dan sebagainya
tetapi tidak dipahami. Penyakit lain yang sering dijumpai akibat belajar menghafal ini ialah
intelektualihtas penguasaan pengetahuan sebanyak-banyaknya dari buku pelajaran tanpa
menghubungkannya dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari.Untuk menghindarkan anak
dari penyakit tersebut, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut ini :
-       Bahan yang akan dihafalkan hendaknya diusahakan agar dipahami benar-benar oleh anak.
-       Bahan hafalan hendaknya merupkan suatu kebulatan (keseluruhan dan bukan fakta yang lepas ).
-       Bahan yang hendak dihafal hendaknya dihgunakan secara fungsional dalam situasi tertentu.
-       Active recall hendaknya senantiasa dilakukan.
-       Metode keseluruhan atau metode bagian hyang digunakan tergantung pada sifat bahan.
4.   Bahan yang Mengandung Unsur Emosi
Kalau dalam bagian yang lalu telah dibicarakan jenis bahan yang mengandung unsur
pengetahuan dan keterampilan, maka pada bagian ini akan dilanjutkan dengan bahan yang
mengandung unsur emosi seperti kejujuran, keberanian, kesabaran, kegembiraan, kasih sayanh
hdan sebagainya. Bahan seperti ni memerlukan jenis belajar tersendiri yang disebut emotion type
learning.Dibandingkan dengan jenis belajar yang lai, jenis emosi ini belum mendapat perhatian
sebagaimana mestinya. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena jenis belajar ini kurang
dipahami hdan pelaksanaanya tidak mudah. Kurikulum pendidikan agama memuat bahan yag
khusus unuk membentuk sifat-sifat tersebut, walaupun sifat itu dapat juga dicapai pada setiap
bidang studi selain pendidikan agama. Contoh : akhlak terhadap diri sendiri.bahan yang akan
dipelajari adalah sifat sabar, pemaaf, pemurah dan menjauhi sifat dendam dan sebagainya. Untuk
mencapai sifat tersebut guru harus mengusahan agar anak memperoleh pengalaman sebanyak-
banyaknya. Jadi dengan menggunakan metode sosiodrama/bermain peranan da service project.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaanya adalah :
-       Harus ada pada anak suatu ide tentang sifat sabar, pemaaf dan sebagainya yang timbul karena
pengalaman,baik didalam kelas maupun diluar kelas. Memberitahukan sifat-sifat terpuji kepada
anak tidak banyak manfaatnya dan cenderung verbalistis.
-       Timbulkan emosi pada diri anak, yaitu ia merasa bahwa sifat itu baik atau tidak baik.
-       Sifat-sifat itu harus dilatih, dilaksanakan dalam perbuatan. Sehubungan dengan hitu faktor
situasi sekolah termasuk kepribadian guru, situasi lingkungan dan keluarga sangat besar artinya.
[10]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pendekatan pembelajaran dapat berarti titik tolak atau sudut pandang terhadap proses
pembelajaran atau merupakan gambaran pola umum perbuatan guru dan peserta didik di dalam
perwujudan kegiatan pembelajaran, yang berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran
belajar.
Paradigma pendikan yang digunakan sekarang ini bukanlah paradigma dimana pembelajar
diibaratkan sebagai  mengisi air ke dalam gelas, melainkan guru bertindak sebagai guru yang
memotivasi dan menginspirasi agar berbagai potensi yang dimiliki peserta didik itu dapat
diexplorasi dengan upayanya sendiri. Paradigma pendidikan  yang demikiaan itu, menempatkan
guru sebagai “seorang bidan” yang membantu melahirkan seorang ibu hamil. Guru hanya
membantu peserta didik agar dapat mengaktualisasikan potensi yang di milikinya.
Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan.
Guru dan anak didiklah yang menggerakkannya. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses,
guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya
dengan segala konsekuensinya. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam
pengajaran. Pendekatan yang tepat maka akan berlangsung belajar mengajar yang
menyenangkan.
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus menyampaikan atau mengajarkan
sesuatu bahan pada murid. Dalam bahan yang akan guru ajarkan pasti mempunyai sifat yang
berbeda satu dengan yang lainnya,maka untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar
sendiri. DiantaranyaBahan yang memerlukan pengamatan, Bahan yang memerlukan
keterampilan atau gerakan tertentu, Bahan yang mengandung materi hafalan, Bahan yang
Mengandung Unsur Emosi.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin nata Perspektif islam tentang strategi pembelajaran, jakarta : Prenada Media Group : 2009.
M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Cet I. Jakarta.  Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ketiga. Jakarta. Kalam Mulia, 2001.
Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta. Rineka Cipta, 2010.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta. PT Raja Grapindo Persada, 2005.

Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta. Bumi Aksara,1996.


[1]http://thazbhy.blogspot.com/2013/11/makalah-pendekatan pembelajaran_7338.html.
. 16 Maret 2014.

[1] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT Raja Grapindo


Persada, 2005). Hlm. 50-51.
[2] Ibid., hlm. 52.
[3] M. Basyruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Cet I (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002). Hlm 121.
[4] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ketiga.(Jakarta: Kalam Mulia,
2001). Hlm104.
[5] Abuddin nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran,jakarta : Prenada
media group : 2009, hlm: 147-151
[6] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana,
2009, hlm. 153
[7]Ibid,…hlm. 155-156
[8]Ibid,…hlm. 159
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, jakarta: Rineka
Cipta, 2010. Hlm. 58-71.
[10] Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi
Aksara,1996, h.261-265
B.     Pengertian  Kurikulum 2013
Dalam hal ini kurikulum 2013 yaitu kurikulum yann terintegrasi, maksudnya adalah suatu
model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skill, themes, conceps and topics. Dengan kata
lain bahwah kurikulum terpadu sebagai sebuah konsep dapat dikatakan sebagai sebuah sistem
dan pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa disiplin ilmu atau mata pelajaran/
bidang study untuk memberikan pengalaman yang bermakna dan luas kepada peserta didik.
Titik berat kurikulum 2013 adalah bertujuan agar peserta didik atau siswa memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam melakukan:
a.       Observasi
b.      Bertanya
c.       Bernalar
d.      Dan mengkomunikasikan apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima
materi pelajaran.[1]

C.     Landasan Pengembangan Kurikulum 2013


Landasan pengembangan kurikulum memiliki peranan yang sangat penting, sehingga apabila
kurikulum diibaratkan sebagai sebuah bangunan gedung yang tidak menggunakan landasan atau
pondasi yang kuat, maka ketika ditepah angina atau terjadi goncangan, bangunan gedung
tersebut akan mudah roboh. Demikian pula halnya dengan kurikulum, apabila tidak memiliki
dasar pijakan yang kuat, maka kurikulum tersebut akan mudah terombang-ambing dan yang akan
dipertaruhkan adalah manusia ( peserta didik) yang dihasilkan oleh pendidikan itu sendiri.
Kurikulum baik pada tahap kurikulum sebagi ide, rencana, pengalamn maupun kurikulum
sebagai hasil dalam pengembangannya harus mengacu atau menggunakan landasan yang kuat
dan kokoh, agar kurikulum tersebut dapat berfungsi serta berperan sesuai dengan tuntutan
pendidikan yang ingin dihasilkan seperti tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
yang telah digariskan dalam UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional.[2]
Pada prinsipnya ada 4 landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam pengembangan
kurikulum yaitu:
1.      Landasan Filosofis, yaitu asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat
pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
Asumsi-asumsi filosofi tersebut berimplikasi pada perumusan tujuan pendidikan, pengembangan
isi atau materi pendidikan, penntuan strategi, serta pada peranan peseta didik dan peranan
pendidik.
2.      Landasan psikologis, adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi yang dijadikan titik
tolak dalm mengembangkan kurikulum.
3.      Landasan sosial budaya, adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antropologi
yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
4.      Landasan ilmiah dan teknologi, adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari hasil-hasil riset atau
penelitian dan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan
kurikulum.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai
komponen yang saling terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan kurikulum 2013
tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembang
berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang
mempengaruhi.
Pemerintah berasumsi bahwa pengembang kurikulum mutlak diperlukan untuk menjawab
tantangan masa depan yang dihadapi bangsa Indonesia.Tantangan tersebut kalau tidak segera
direspons, maka akan kehilangan momentum generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka pada
tahun 2045. [3]
Sementara itu, dalam kehidupan di masyarakat ada kecenderungan terjadinya dekadensi
moral, seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam ujian,
anarkis dan berbagai tindakan tidak baik lainnya.Hal ini kalau dibiarkan maka keberadaan kita
sebagai bangsa dan negara terancam eksistensinya. Para pakar pendidikan mengkhawatirkan kita
sebagai bangsa sedang menuju kehancuran dengan ditandai sikap dan perilaku sebagian
masyarakat yang cenderung amoral dan kurang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.Minimal ada
sepuluh kecenderungan perilaku masyarakat kita yang kalau tidak segera diatasi menyebabkan
kita sebagai bangsa akan menuju jurang kehancuran .Pertama, meningkatnya perkelahian
dikalangan remaja. Kedua, membudayanya ketidakjujuran. Ketiga, sikap fanatik terhadap
kelompok. Keempat, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Kelima, semakin
kaburnya moral baik dan buruk. Keenam, penggunaan bahasa yang
memburuk. Ketujuh, meningkatnya perilaku merusak diri,seperti penggunaan narkoba, alcohol,
dan seks bebas. Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga
negara.Kesembilan, menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga.
Dan  kesepuluh, kurangnya kepedulian di antara sesama.[4]

D.    Faktor –faktor terjadi pengembangan Kurikulum 2013


Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagi berikut:
a.       Tanatangan internal
Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan
pendidikan yang mengacu dengan 8 (delapan) Standar  Nasional Pendidikan yang meliputi
standar isi, standar proses, standar komprtensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasrana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk
indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia
usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun
dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai
puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan
besar yang di hadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif
yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang memiliki
kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.
b.      Tantangan eksternal
Tantangan eksternal antara lain terkait denga arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait
dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri
kreatif dan budaya, dan perrkembangan pendidikan di tingkat internasional.

c.       Penyempurnaan Pola Pikir


Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut:
1)      Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki
kompetensi yang sama;
2)      Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif
(interaktif guru-peserta didik masyarakat-linkungan alam, sumber/ media lainnya);
3)      Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba
ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet);
4)      Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari
semakin diperkuat dengan model pembelajaran sains);
5)      Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim);
6)      Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia;
7)      Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat
pengembangan potensi khusus yanga dimiliki setiap peserta didik;
8)      Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu
pengetahuan jamak (multidiscipline).
9)      Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.

E.     Tujuan pengembangan kurikulum 2013


Seperti yang dikemukakan di berbagai media massa, bahwa melalui    pengembangan
Kurikulum 2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang; produktif, kreatif, inovatif,
efektif;, melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan terintegrasi. Dalam hal ini,
pengembangan kurikulum difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik,
berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang didemonstrasikan peserta didik
sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Kurikulum
2013 memungkinkan para guru melalui hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian
sasaran belajar, yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Oleh karena itu, peserta didik perlu mengetahui kriteria penguasaan kompetensi dan karakter
yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga para peserta didik dapat
mempersiapkan dirinya melalui penguasaan terhadap sejumlah kompetensi dan karakter tertentu,
seabagai prasyarat untuk melanjutkan ke tingkat penguasaan kompetensi dan karakter
berikutnya.

F.      Prinsip pengembangan kurikulum 2013


Kurikulum 2013 berbasis karakter dan kompetensi perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.    Pengembangan kurikulum dilakukan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b.   Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
c.    Mata pelajaran merupakan wahana untuk mewujudkan ketercapaian kompetensi.
d.   Standar kompensi lulusan dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional dan kebutuan masyarakat,
negara, serta perkembangan global.
e.    Standar isi dijabarkan dari standar kompetensi Lulusan.

Kurikulum dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dianutnya yaitu :


1.      Prinsip Orientasi pada tujuan
2.      Prinsip Relevansi( kesesuaian)
3.      Prinsip efektifitas
4.      Prinsip Efisiensi
5.      Prinsip fleksibilitas( lentur/tidak kaku)
6.      Prinsip integritas [5]

DAFTAR PUSTAKA

Ladjid, Hafni, Pengembangan Kurikulum, Ciputat: PT. Ciputat Press,2005


Kunandar, Penilaian Autentik, Jakarta: Rajawali Press, 2015
Sofan Amri, Loeloek Endah Poerwati, Panduan Memahami Kurikulum 2013, Jakarta: PT.Prestasi
Pustakaraya, 2013
Tim pengembnagan MKDP, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

[1] Loeloek Endah Poerwati, Sofan Amri, Panduan Memahami Kurikulum 2013,


(Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya,2013), hlm. 28
[2] Tim Pengembang MKDP, Kurikulum dan Pembelajaran,( Jakarta: Rajawali Pers,
2012), hlm. 146
[3] Kunandar, Penilaian Autentik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 15

[4] Ibid., hlm. 16-17

[5] Hafni Ladjid, Pengembangan Kur

Anda mungkin juga menyukai