n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Terakreditasi Peringkat 3 (S3)
DOI: 10.26418/lantang.vnin.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Abstract
The existence of the Javanese Traditional House is increasingly threatened. These houses are
starting to be difficult to find in the Yogyakarta area because people prefer to build modern houses.
However, in the midst of the problem of scarcity, it turns out that there are still houses that are built
traditionally and carry customary values. Its existence is adapted to suit the times and the needs of
its owner. For this reason, research was conducted to further examine and document the existence of
the Javanese Traditional House. In addition, researchers also want to find out more about the
background value of building traditional houses in this modern era. The research was conducted
1
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
using a combination of quantitative and qualitative methods with an ethnographic approach. The
aspect that will be discussed in this study is the change in elements and values in Javanese
Traditional Houses. Quantitative data is taken from measurements and working drawings while
qualitative data is taken from observations and interviews with the owner or occupant of the house.
The data obtained are also supported by literature studies related to Javanese Traditional Houses as
well as previous research that serves as a reference. The results showed that the Javanese Traditional
Houses found in the outskirts of Yogyakarta underwent changes and developments according to the
times. However, there are still elements and values that are still preserved. Values will continue to
apply as long as they are considered relevant and only abandoned when there is a new need.
1. Pendahuluan
Saat ini rumah Tradisional Jawa semakin sulit ditemukan. Masyarakat di perkotaan pada
umumnya lebih nyaman tinggal di hunian modern (Irnawan & Rahayu, 2020). Bahkan daerah
pedesaan pun mulai merubah rumah tinggalnya menjadi bangunan modern (Djono, Utomo, &
Subiyantoro, 2012). Salah satu faktor masyarakat lebih memilih rumah modern disebabkan oleh
terikatnya rumah Tradisional Jawa dengan tatanan masa lampau yang membuat nilainya sulit
mengikuti perkembangan menuju era modern (Pitana, 2013). Masalah kelangkaan sulit dihindari
lantaran budaya dan perilaku masyarakat tersebut berkembang sehingga konsep formulasi ruang
tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan kesepakatan sosial masyarakat Jawa (Sari & Mutiari, 2014).
Akibat modernisasi, tatanan konsep perencanaan bangunan tradisional kini perlahan ditinggalkan
oleh masyarakat. Sardjono (2015) menuturkan bahwa aturan tradisional ditinggalkan karena
munculnya tuntutan kehidupan yang lebih realistis. Perubahan-perubahan juga disebabkan dinamika
suatu masyarakat di sebuah kota, seperti pada kota besar penduduknya lebih heterogen sehingga
terjadi percampuran budaya dan pergeseran nilai sementara pada desa cenderung lebih homogen
sehingga perubahan tidak terlalu dinamis. Pratama, Djalari, dan Laksemi (2018) mengatakan bahwa
terjadi perubahan fungsi, konstruksi bangunan serta kepemilikan yang menyebabkan berkurangnya
makna dan filosofi Rumah Tradisional Jawa asli. Semakin heterogen penduduknya maka perubahan
yang terjadi semakin besar begitu juga sebaliknya. Mengingat rumah sebagai wadah aktivitas maka
akan mencerminkan kegiatan keseharian dari penghuninya (Sardjono, 2015). Dalam kata lain, rumah
akan selalu berbanding lurus dengan kebutuhan dan aktivitas penghuninya. Langkanya keberadaan
rumah tradisional memunculkan kekhawatiran akan hilangnya keaslian kebudayaan Jawa dan
memungkinkan kita hanya mampu melihat peninggalan-peninggalannya saja di masa mendatang
(Wibawa dalam Wibawa, 2019).
Rumah Tradisional Jawa dapat dinilai sebagai salah satu nilai kearifan lokal karena
keindahan budaya dan seninya terintegrasi dengan kehidupan masyarakatnya (Djono, Utomo, &
Subiyantoro, 2012: 270). Rumah Tradisional Jawa memiliki lima macam, yakni salah satunya adalah
rumah Joglo yang dinilai paling lengkap. Lalu ada Limasan, Tajug, Panggang Pe, dan Kampung.
Rumah Joglo memiliki bentuk atap yang seperti gunungan atau bentuk kerucut atau segitiga yang
terinspirasi dari bentuk gunung yang disangga oleh saka guru berformasi persegi. Biasanya saka guru
memakai balok kayu jati yang tebal dan kuat, serta didukung oleh umpak batu agar saka gurunya
tidak bergeser dan tetap kokoh. Rumah Joglo dahulu dikenal sebagai rumah untuk orang mampu
dikarenakan pembangunannya perlu biaya yang tidak sedikit (Ismunandar, 1990). Rumah Limasan
yang memiliki bentuk persegi panjang dengan dua buah atap kejen atau cocor serta dua buah
brunjung yang bentuknya jajaran genjang sama kaki. Menurut Ismunandar (1990: 106) perbedaan
2
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
rumah Joglo dengan Limasan terletak di konstruksi tengah penyangga atap dan atap brunjung dimana
Limasan memiliki brunjung yang lebih panjang namun lebih pendek dari Joglo. Rumah-rumah
tersebut dibangun berdasarkan filosofi yang dianut oleh masyarakatnya sehingga memberikan
pengertian seperti apa rumah untuk orang Jawa serta nilai-nilai apa saja yang diterapkan pada wujud
fisik yang ada (Malahati, Dkk, 2018).
Saat ini masyarakat sudah meninggalkan tatanan dan aturan dasar dalam membangun rumah
tradisional. Namun, ternyata ternyata ditemukan usaha untuk membaurkan unsur modern dan
tradisional sebagai upaya untuk melestarikan nilai-nilai tradisional (Trisulowati, 2003). Di Daerah
Istimewa Yogyakarta, jauh dari pusat kota masih terdapat beberapa rumah yang berbentuk rumah
Joglo dengan estetika Rumah Tradisional Jawa dan dibangun berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman sendiri. Tepatnya di daerah Godean dan Kotagede. Kotagede merupakan salah satu
kawasan cagar budaya dan banyak dilakukan penelitian mengenai rumah tradisional (Kusuma &
Cahyandari, 2018). Mengetahui adanya keberadaan rumah-rumah tersebut, memunculkan pertanyaan
tentang apa saja perubahan akibat perkembangan Rumah Tradisional Jawa yang didasari oleh
kebutuhan penghuni dan penyesuaian zaman, dan nilai-nilai apa saja yang tertanam dalam rumah
masa kini yang mengambil estetika tradisional Jawa di Yogyakarta.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan observasi lapangan ke rumah-rumah
tersebut. Jumlah objek yang dipilih adalah 3 buah sesuai dengan kebutuhan di lapangan, yakni rumah
tinggal dengan estetika rumah tradisional yang dibangun oleh pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman. Ketiga rumah tersebut adalah rumah tinggal milik Pak Toto, rumah tinggal milik Pak
Chris, dan rumah tinggal milik Keluarga Syarifah. Semua terletak di daerah Yogyakarta, cenderung
di daerah pinggiran jauh dari pusat kota. Rumah tersebut memiliki latar belakang yang berbeda,
mulai dari alasan memilih bangunan tradisional, perubahan dan penyesuaian, serta nilai yang ada
pada rumah mereka.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasi serta dapat menjadi bahan edukasi
dan menambah minat masyarakat untuk membangun rumah tradisional. Observasi pada rumah
tradisional Jawa menjadi tahap awal awal pelestarian yang dapat dilanjutkan dengan perbaikan agar
nilai lokalitas atau identitas tidak hilang dan menjadi ilmu baru di masa depan (Kusuma &
Cahyandari, 2018).
3
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
2. Metode
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian gabungan yang melibatkan data kuantitatif
dan kualitatif. Kemudian data tersebut akan dikomparasikan untuk memperoleh kesimpulan pada
penelitian ini. Data kuantitatif diperoleh dari pengukuran pada survei lapangan dan penggambaran
gambar kerja sementara data kualitatif didapatkan dari hasil observasi lapangan, wawancara, dan
studi literatur untuk mendukung pernyataan-pernyataan yang ada. Untuk memperoleh gambar kerja,
diperlukan peralatan rekaman, alat ukur, peralatan sketsa, dan kamera. Kemudian, setelah
pengukuran dilakukan, data akan diolah menggunakan software digital AutoCAD dan Sketchup
untuk menghasilkan gambar kerja dan perspektif rumah. Wawancara dan observasi dilakukan secara
mendalam dengan beberapa kali kunjungan untuk melengkapi data dengan pemilik atau penghuni
rumah. Datanya seputar latar belakang rumah tinggal, perubahan yang terjadi, aktivitas penghuni,
mengeksplorasi setiap sudut rumah, dan merasakan pengalaman pada ruang. Selanjutnya data akan
diolah, dianalisa, dan dikembangkan menjadi tulisan. Hasil data kualitatif digunakan untuk
mendukung pernyataan dalam menjawab kajian masalah penelitian ini.
Terdapat tiga objek penelitian. Ketiga objek penelitian merupakan rumah tinggal di masa kini
yang mengimplementasikan karakter Rumah Tradisional Jawa. Objek penelitian pertama adalah
rumah tinggal milik Pak Toto. Rumah tersebut beralamatkan di Patukan, Ambarketawang, Gamping,
Kota Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya menuju arah Godean, Yogyakarta. Rumah ini
ditinggali oleh 3 orang yakni Pak Toto sendiri, Bu Herlin, dan anak mereka yang bernama Bintang.
Objek penelitian kedua adalah rumah tinggal milik Pak Chris. Rumahnya terletak tidak jauh
dari rumah Pak Toto, tepatnya di Jln. Randu RT/RW 03/04, Mejing Wetan, Ambarketawang,
Gamping, Kota Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumah ini hanya dihuni oleh Pak Chris
seorang diri.
Terakhir rumah Keluarga Syarifah terletak di daerah Kota Gede. Alamatnya berada di Gang
Satu, Singosaren II, Kecamatan Bangutapan, Kota Gede, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumahnya
dihuni oleh 3 orang yakni Syarifah, ibu, dan kakaknya. Ketiga rumah tersebut memiliki karakteristik
dan estetika Rumah Tradisional Jawa yang disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing.
4
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
yang disebut garasi merupakan teras yang terletak di samping. Sehari-hari Pak Toto melakukan
aktivitasnya di sana. Untuk memudahkan aksesibilitas, ditambahkan pintu dari samping. Umumnya
Joglo di masa lampau hanya memiliki teras dan akses dari depan rumah sehingga penambahan area
teras atau garasi juga menjadi salah satu penyesuaian dengan kehidupan Pak Toto.
Pak Toto menjelaskan alasannya membangun Rumah Joglo yang umumnya merupakan
rumah orang terpandang dengan perawatan mahal meskipun terdapat keterbatasan ekonomi
disebabkan oleh ketidaksengajaan. Rumah ini dahulu merupakan pendopo yang terletak di depan
rumah mertua Pak Toto. Sebelumnya beliau sudah membeli Rumah Joglo yang mengalami
penurunan harga. Namun, atas permintaan mertuanya akhirnya beliau membangun rumahnya dari
pendopo dengan material-material yang diperoleh dari rumah lamanya. Beliau juga mengaku bahwa
awalnya tidak menyukai rumah tradisional. Ternyata keberadaan Rumah Joglonya menarik perhatian
kerabat terdekat dan orang-orang di sekitarnya, memberikan kesan mendalam bagi orang-orang yang
melihat rumah Pak Toto. Beliau menyampaikan bahwa rumah tradisional memiliki cerita
masing-masing yang membuatnya unik serta kesan mendalamnya akan selalu bertahan sampai
tahun-tahun kedepannya.
B. Rumah Pak Chris di Daerah Godean
6
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Gambar 5. Kompilasi Peta Lingkungan, Perspektif, dan Tampak Rumah Pak Chris
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
Rumah Pak Chris menghabiskan waktu 4 bulan pembangunan pada tahun 2014. Beliau
membangun rumahnya dengan kaki tangan sendiri dibantu oleh kakaknya, yakni Pak Toto.
Pengetahuan mengenai konstruksi Rumah Tradisional Jawa diperoleh dari pemahaman dan
pengalamannya membantu Pak Toto dalam proyek membangun rumah-rumah tradisional. Rumah
terletak tidak jauh dari rumah Pak Toto, masih di daerah Godean. Suasana rumah Pak Chris tentram
cenderung sunyi. Letak rumahnya jauh dari jalan besar, jauh dari keramaian, dan tidak banyak
aktivitas terjadi di sekitar rumah Pak Chris. Rumahnya menghadap ke arah selatan agar matahari
tidak langsung menyinari depan rumah. Oleh Pak Chris dijelaskan juga bahwa angin di Yogyakarta
cenderung berasal dari arah selatan. Rumahnya memiliki kenaikan 60 cm dari tanah. Namun, beliau
menyatakan bahwa sebenarnya rumahnya dibangun lebih tinggi karena mengikuti area tanahnya
yang tinggi. Tanah di halaman rumahnya digali kebawah dan diratakan agar aliran air hujan tidak
menggenang dan masuk ke dalam rumah. Ditambahkan oleh Pak Chris, bahwa bagian bawah rumah
bukan struktur beton namun tanah. Rumahnya berjenis Joglo dan ada ekspansi bangunan dengan atap
pelana untuk kamar mandi, dapur, dan garasi di bagian kiri rumah.
Alasan Pak Chris membangun rumah Joglo karena beliau ingin hidup mandiri lepas dari
orangtua dan pada saat itu memiliki material-material untuk membangun Joglo. Beliau juga
menyampaikan kalau ia sudah lama menyukai Rumah Tradisional Jawa. Pada masa pembangunan,
teman-temannya sudah menyampaikan ketertarikan mereka terhadap rumah yang memberikan kesan
nyaman dan damai.
Rumah ini dibangun dengan batako berukuran 40 x 8 cm. Alasannya untuk menyesuaikan
dengan dana yang beliau miliki. Berbeda dengan dua objek penelitian lain, dinding rumah Pak Chris
diplester dan di-finishing dengan cat putih. Beberapa bagian dinding, seperti dinding kamar ada yang
dicat warna krem kekuningan. Lantainya sebagian besar hanya disemen kecuali kamar tidur dan
kamar mandi. Lantai kamar mandi dipasang keramik karena sebelumnya sering terasa lembab akibat
air hujan yang terserap oleh semen. Lantai kamar tidur memiliki kenaikan 6 cm dari lantai semen.
Untuk atapnya disangga oleh 4 soko guru bermaterial kayu nyamplung dan umpak batu gunung yang
dipahat dan dicat hitam. Usuk atap berbentuk megar payung dan genteng ditutup dengan papan kayu.
Dari penyampaian Pak Chris, jenis kayu yang dipakai bermacam-macam menyesuaikan dengan
7
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
dana. Didominasi oleh kayu nangka, lalu ada kayu kalimantan, jati, dan nyamplung. Bagian tepi atap
dipasang lisplang untuk menambah estetika rumah. Lisplang dengan bentuk segitiga persegi panjang
sering digunakan pada Rumah Tradisional Jawa sekaligus untuk melindungi dari terpaan hujan dan
panas matahari. Materialnya adalah limbah kayu sisa pembangunan.
Pintu dan jendela merupakan pintu gebyok yang bermaterialkan kayu nangka tanpa ukiran,
cenderung sederhana. Pintunya memiliki tinggi 150 cm dengan kenaikan 18 cm dari lantai teras.
Berdasarkan penjelasan Pak Chris, alasan letak pintu lebih tinggi disebabkan tinggi pintu yang
pendek sehingga orang lebih nyaman saat memasuki rumah. Pintu yang pendek memiliki nilai
filosofi pada orang Jawa yakni memberi salam dengan menunduk untuk menunjukan rasa hormat
dan sebagai bentuk sopan santun saat bertamu ke rumah orang lain. Jendela dapat dibuka dan dikunci
dengan penguncian sederhana, yakni daun jendela tertahan oleh kuncian kayu dari dalam. Rangkaian
pintu dan jendela ini bersifat tidak permanen, dapat dibongkar lalu dipindahkan setelah mencopot
kunciannya. Penggunaan gebyok juga dipakai sebagai partisi untuk memisahkan kamar tidur dengan
ruang tengah serbaguna. Partisi tersebut juga dapat dibongkar dan dipindah.
Dodok peksi pada struktur penyangga atap memiliki ukiran gunungan. Santen memiliki
bentuk seperti huruf w dengan ukiran. Untuk menutup bagian atap tengah, dipasangkan papan kayu
yang berlukiskan wayang. Menurut Pak Chris, pemasangan papan wayang itu tidak memiliki alasan
khusus, hanya memanfaatkan material yang beliau miliki. Pada tumpangsari, terdapat penguncian
dengan bentuk nanasan.
Rumah hanya dihuni seorang diri oleh Pak Chris. Terdapat ruang tengah serbaguna, kamar
tidur, dapur, dan kamar mandi. Menurut Pak Chris, makna rumahnya adalah sebagai tempat untuk
berpulang dan beristirahat. Selain itu, beliau juga mencapai kemandirian tanpa merepotkan orang
tuanya lagi. Meskipun memiliki keterbatasan biaya, Pak Chris tetap membangun Joglo karena
memiliki ketertarikan akan rumah tradisional. Menurut beliau, kedekatan dengan budaya Jawa
menjadi salah satu sebab rasa ketertarikan Pak Chris dengan rumah Joglo.
C. Rumah Keluarga Syarifah di Daerah Kota Gede
8
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Gambar 7. Kompilasi Peta Lingkungan, Perspektif, dan Tampak Rumah Pak Chris
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
Rumah keluarga Syarifah dibangun pada tahun 2010, rumah tersebut dibangun menggunakan
jasa arsitek bernama Oni dengan desain dari almarhum ayah Syarifah, bernama Amir Pranjuri.
Beliau memiliki keinginan untuk mempunyai rumah yang memiliki nilai seni yang tinggi. Latar
belakang dibangunnya rumah ini didasari oleh rasa cinta ayahnya terhadap kebudayaan dan kesenian
Jawa. Dari banyaknya jenis rumah Jawa, almarhum ayah Syarifah lebih memilih rumah Joglo, beliau
mengatakan bahwa rumah Joglo dapat memberi suasana hangat dan rileks. Awalnya keluarga
Syarifah ingin hidup mandiri dan berpisah rumah dengan neneknya yang tinggal di daerah timur
Malioboro. Akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumah sendiri di daerah Singosaren,
Kota Gede. Saat ini, rumah dihuni oleh Syarifah, ibu, dan kakaknya yang lebih sering berada di luar
kota.
Rumah ini dibangun menghadap ke Utara dan tidak mengikuti pakem Jawa, asalkan posisi
rumah tidak membelakangi kiblat. Berdasarkan pengalaman kunjungan lapangan, daerah Singosaren
terasa lebih panas daripada daerah lain seperti Kaliurang. Ternyata suhu menunjukan rentang angka
29-31 derajat celcius sementara untuk daerah Kaliurang menunjukan rentang angka 24-27 derajat
celcius. Rumah ini dibangun menghadap ke arah utara, dimana menurut pengakuan Syarifah agar
bisa mendapatkan pencahayaan yang lebih maksimal dengan keadaan pada sore hari tidak begitu
gelap. Pencahayaan pada rumah ini mengandalkan sumber alami dari bukaan atap pada area jemur.
Menurut pengakuan Syarifah, bukaan atap tersebut juga membuat ruang menjadi lebih sejuk.
Rumah ini mengimplementasikan estetika rumah tradisional pada arsitekturnya karena
almarhum ayah Syarifah menginginkan rumah yang menampilkan kesederhanaan dengan suasana
tenang layaknya di pedesaan. Keluarga tersebut mengaku senang karena rumah yang selama ini
ditempati sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka akan suasana damai dan tentram.
Mereka menyatakan nilai rumah pada dasarnya hanya digunakan sebagai tempat berpulang dan
beristirahat. Menurut sudut pandang almarhum ayah Syarifah, rumah adalah tempat beristirahat
dimana anggota keluarga dapat berkomunikasi dengan bebas satu sama lain, sehingga kenyamanan
menjadi aspek yang sangat penting. Syarifah sendiri mengungkapkan rasa sukanya pada rumah
tradisional karena tiap ruangnya memiliki makna dan fungsinya masing-masing.
9
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Dinding rumah ini menggunakan material batu bata merah ekspos. Penggunaan dinding batu
bata ekspos menyebabkan suhu di dalam ruang menjadi lebih dingin karena batu bata menyerap
dingin saat malam hari. Syarifah menyatakan alasannya tidak menggunakan dinding material kayu
karena memerlukan banyak pertimbangan, mulai dari perawatannya yang rumit dan sering kali
terjadi penyusutan yang berbeda-beda antar kayu. Atapnya berbentuk limasan dengan genteng tanah
liat, yang juga memiliki karakteristik dingin saat kering. Lantainya sudah menggunakan keramik
berukuran 40 x 40 cm. Pintu rumah merupakan pintu gebyok dengan ukiran cenderung sederhana
bermaterial kayu mahoni. Alasan mereka memakai kayu mahoni karena kekuatan dan ketahanannya
hampir menyamai kayu jati namun dari sisi harga lebih ekonomis. Hal tersebut membuat pemakaian
material kayu di rumah ini didominasi oleh kayu jenis mahoni.
Untuk soko emper tidak menggunakan material kayu melainkan batu bata karena
dikhawatirkan mudah lapuk, rusak, dan tidak bertahan lama. Terdapat pemasangan jenis lisplang
kayu polos pada tepi atap untuk mempercantik rumah serta melindungi struktur tepi atap dari efek
panas matahari dan hujan. Lisplang memiliki bentuk segitiga persegi panjang yang dibuat dari
limbah kayu atau sisa material kayu dari pembangunan rumah. Jenis lisplang ini banyak digunakan
pada Rumah Tradisional Jawa. Pada bagian depan rumah dipasang kentongan kayu yang biasanya
selalu ada pada rumah-rumah tradisional.
10
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Sumber:
Sumber: Dokumentasi Pribadi,
Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2022
Dokumentasi Pribadi,
2022 2022
Sumber:
Widayati, 2018
Soko Guru Ada Ada Tidak ada -
Soko Emper Ada Ada Ada -
Umpak Ada bermaterial semen Ada bermaterial batu Tidak ada -
alam
Blandar Ada Ada Tidak Ada -
Sunduk Ada Ada Tidak Ada -
11
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
6. Daftar Acuan
Djono, Utomo, T. P., , & Subiyantoro, S. (2012). Nilai Grobogan, Jawa Tengah). Teknosains Kodepena,
Kearifan Lokal Rumah Tradisional 01(01), 37–45.
Jawa. Humaniora, 24(3), Ismunandar K, R. (1990). Arsitektur Rumah Tradisional
269–278. https://doi.org/10.22146/jh.1369 Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Irnawan, D., & Rahayu, S. Y. R. S. (2020). Perubahan Kusuma, G. A., & Cahyandari, G. O. I. (2018).
Minat Masyarakat Jawa Terhadap Rumah Model Penilaian Kondisi Fisik Rumah Tradisional
Tradisional Joglo Limasan Menjadi Rumah Joglo di Kelurahan Jagalan, Kotagede. Jurnal
Modern (Studi Kasus Desa Kemloko, Godong, Arsitektur Komposisi, 12(2), 141–152.
https://doi.org/10.24002/jars.v12i2.2048
13
Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, Vol. n, No. n, Tahun n (E-ISSN 2550-1194)
Malahati, D. C., Sari, K., Oktaverina, M. I., & Pedesaan. Modul, 15(2), 141–156.
Kumalasari, R. (2018). Nilai-Nilai Kearifan https://doi.org/10.14710/mdl.15.2.2015.141-156
Budaya Rumah Joglo (Artefac) Dan Falsafah Sari, F. M., & Mutiari, D. (2014). Perbandingan Rumah
Kehidupan (Budaya Mantifacts) Pada Tradisional Jawa dan Rumah Tinggal Modern di
Komunitas Desa Wisata Pentingsari Sebagai Surakarta. Sinektika, 14(2), 217–224.
Sumber Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar https://doi.org/10.23917/sinektika.v14i2.1441
(SD). Caruban, 1(2), 87–91. Trisulowati, R. (2003). Bangunan Rumah Tinggal
http://dx.doi.org/10.33603/cjiipd.v1i2.2311 Tradisional Jawa Tengah. Mintakat, 4(1), 31–38.
Pitana, T. S. (2013). Arsitektur Joglo Ekspresi Ruang https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jam/article/v
Kesadaran Manusia Jawa, Kearifan Lokal Jawa, iew/1957
Dan Sarana Komunikasi Visual. Makalah Wibawa, B. A., Widiastuti, K., & Nindita, V. (2019).
Ilmiah. Eksistensi dan Keberlanjutan Kampung Joglo
Pratama, A., Djalari, Y. A., & Laksemi, S. K. (2018). dalam Masyarakat, Budaya dan Lingkungan
Perbandingan Rumah Joglo Di Jawa Tengah Aslinya. Teknik Sipil dan Arsitektur, 24(1).
Dalam Lingkup Cagar Budaya ( Studi Kasus : https://doi.org/10.36728/jtsa.v24i1.819
Omah UGM dengan nDalem Purwodiningratan Widayati, E., Rakhmawati, N. E., Pratama, D. (2019).
). Jurnal Seni & Reka Rancang, 1(1), 83–106. The Architectural Structure of Joglo House as
http://dx.doi.org/10.25105/jsrr.v1i1.3879 the Manifestation of Javanese Local Wisdom.
Sardjono, A. B., & Nugroho, S. (2015). Keragaman https://doi.org/10.4108/eai.8-12-2018.2283855
Perubahan pada Rumah Tradisional Jawa di
14