ii |
Pengantar Konseling:
PENERAPAN KETERAMPILAN
KONSELING DENGAN
PENDEKATAN ISLAM
Anila Umriana
| iii
Pengantar Konseling:
PENERAPAN KETERAMPILAN KONSELING
DENGAN PENDEKATAN ISLAM
......................................................................
Penulis : Anila Umriana
Desain Cover : Abdul Rouf
Layout Isi : Sujiantoko “Basscom Multimedia Grafika”
.......................................................................................................
Cetakan Pertama, Agustus 2015
.......................................................................................................
iv |
KATA PENGANTAR
|v
tahap awal, tahap pertengahan, dan tahap akhir. Bab terakhir
mendeskripsikan tentang implementasi nilai-nilai keislaman
dalam konseling.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada; Rektor dan Wakil Rektor, Pimpinan Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, dan teman-teman Dosen BPI UIN Walisongo
Semarang. Juga apresiasi kepada RMP UIN Walisongo dalam
kerangka The Support to Development of Islamic Higher
Education Project Tahun Anggaran 2015 yang telah mendanai
penulisan buku ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga hadirnya buku ini
dapat memberikan sumbangan bagi khasanah keilmuan
bimbingan konseling Islam dan bermanfaat bagi pembaca
(mahasiswa).
Penulis
vi |
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Bab I : PENDAHULUAN
A. Definisi Konseling.............................................2
B. Tujuan dan Karekteristik Konseling..................3
C. Konseling sebagai helping process...................6
D. Tipe-tipe konseling...........................................11
Bab II : PENDEKATAN-PENDEKATAN KONSELING
A. Pendekatan Psikoanalisa...................................15
B. Terapi Berpusat pada Klien (client center
therapy).............................................................21
C. Terapi Tingkah Laku (Behavioral
Therapy)............................................................28
D. Komparasi Pendekatan Psikoanalisa, Client
Center (Humanistik), dan Behavioristik dengan
Psikologi Islam..................................................33
Bab III : KONSELING DENGAN NILAI-NILAI AGAMA
A. Dinamika Kepribadian menurut Psikologi
Islami...............................................................37
B. Konseling Islam; Sebuah Pendekatan
Religius............................................................40
C. Ruang Lingkup dan Obyek Kajian konseling
Islam.................................................................42
D. Pendekatan, Metode, dan Teori Konseling dalam
Islam.................................................................45
Bab IV : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PROSES KONSELING
A. Struktur............................................................51
| vii
B. Inisiatif............................................................54
C. Setting (Latar Fisik)........................................55
D. Kualitas konselor............................................57
E. Kualitas Konseli..............................................61
F. Komunikasi konseling.....................................62
Bab V : MEMBANGUN HUBUNGAN DALAM PROSES
KONSELING
A. Tujuan konseli dan tujuan konselor.................66
B. Menciptakan Rapport......................................68
C. Memahami kepribadian dan harapan
konseli.............................................................70
D. Menjadi Konselor yang Efektif.......................71
Bab VI : KETERAMPILAN KONSELING I
(TAHAP PERMULAAN)
A. Tujuan Penggunaan Keterampilan
Konseling........................................................77
B. Tahapan Konseling.........................................79
C. Teknik-teknik konseling Tahap
Permulaan.......................................................80
1. Attending..................................................81
2. Penyambutan............................................82
3. Structuring................................................82
4. Empati.......................................................83
5. Observing.................................................84
6. Opening....................................................84
7. Pertanyaan terbuka...................................86
8. Pertanyaan tertutup...................................86
9. Paraphrasing............................................86
10. Dorongan minimal....................................87
Bab VII : KETERAMPILAN KONSELING II
(TAHAP PERTENGAHAN)
A. Refleksi (Reflection)....................................90
B. Eksplorasi (Eksploration)............................92
C. Memfokuskan (Focussing)..........................93
viii |
D. Konfrontasi (Confrontation).......................94
E. Mengulang Pernyataan (Restatement).........95
F. Interpretasi (interpretation).........................96
G. Diam (Silent)...............................................97
H. Penguatan (Reassurance)............................98
I. Memberi Nasihat (giving advice)...............100
J. Menolak (Rejection)...................................102
K. Memberikan informasi (giving
information)................................................103
L. Memimpin (leading)104
M. Menyimpulkan sementara
(summarizing).............................................104
DAFTAR PUSTAKA............................................................133
Lampiran Skrip Wawancara Konseling
Glosary
| ix
DAFTAR TABEL
x|
DAFTAR GAMBAR
| xi
xii |
Bab I
Pendahuluan
1
Lihat al Quran Surat al-Isra’/17: 21.
|1
A. Definisi Konseling
Secara Etimologi, konseling diambil dari bahasa
Inggris, counseling. Kata konseling seringkali
disandingkan dengan bimbingan (guidance). Pengertian
konseling banyak dikemukakan oleh para ahli antara lain:
Shertzer and Stone mendefinisikan “Counseling is a
learning process in which individuals learn about
themselves and their interpersonal relationship, and enact
behaviors that advance their personal development”.2
Sementara itu Prayitno dan Erman Amti memberikan
penjelasan bahwa konseling adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang
sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang
bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.3
American Personel and Guidance Association
(APGA) mendefinisikan konseling adalah sebagai
hubungan antara seorang yang terlatih secara profesional
dan individu yang memerlukan bantuan yang berkaitan
dengan kecemasan biasa atau konflik atau pengambilan
keputusan.4 Sedangkan Thohirin mendefinisikan
konseling sebagai kontak atau hubungan timbal balik
antara dua orang (konselor dan klien) untuk menangani
masalah klien, yang didukung oleh keahlian dan dalam
suasana yang laras dan integrasi, berdasarkan norma yang
berlaku untuk tujuan yang berguna bagi klien.5
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa konseling merupakan wawancara khas antara
2
Shertzer and Stone, Fundamentals of Guidance, (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1981), hlm. 168.
3
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 105.
4
Thohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 23.
5
Ibid, hlm. 25.
2|
seorang expert (konselor) dengan individu (klien/konseli)
untuk membantunya memecahkan masalah dalam suasana
yang selaras dan integrasi.
6
Rickey L. George & Therese S. Ricky, Theory Methods and
Process of Counseling Psychotherapy, (Englewood: Prentice Hall,
1981), hlm. 9.
7
Shertzer and Stone, Op. Cit., hlm 172.
|3
dirinya. Kedua, mampu mengembangkan dan
mengarahkan potensi yang dimilikinya. Ketiga, mampu
memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri.
Keempat, mempunyai wawasan dan pandangan yang
realitistik dan obyektif tentang dirinya. Kelima, dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Keenam,
mencapai taraf aktualisasi diri sesuai dengan potensi yang
ada pada dirinya. Ketujuh, terhindar dari segala bentuk
perilaku yang menyimpang.8
Menurut Latipun, setidaknya ada empat hal yang
berkaitan dengan konseling, yaitu:9
1. Konseling sebagai proses; maksudnya konseling tidak
hanya dilakukan pada satu kali tatap muka saja,
melainkan menyesuaikan pada kondisi dan
permasalahan yang dihadapi. Sebagai sebuah proses,
maka konseling juga memperhatikan berbagai hal
yang berkaitan dengan interaksi selama sesi
konseling, bukan hanya melihat pada hasil konseling
saja atau ditemukannya solusi dari permasalahan yang
dihadapi.
2. Konseling sebagai sebuah hubungan yang spesifik;
hubungan yang dibangun dalam proses konseling
berbeda dengan pola hubungan sosial biasa, karena
konseling membutuhkan hubungan yang diantaranya
diperlukan adanya keterbukaan, pemahaman, empati,
dan lain-lain.
3. Konseling adalah membantu konseli; hubungan
konseling bersifat membantu (helping) bukan
memberi (giving). Karena itu dalam proses konseling
bukan konselor yang memecahkan masalah,
melainkan konseli itu sendiri dengan bantuan
konselor.
8
Thohirin, Op. Cit., hlm. 36-37.
9
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press, 2006), hlm.
6-7.
4|
4. Konseling untuk mencapai tujuan hidup; konseling
dilakukan tiada lain untuk mencapai pemahaman,
pemahaman diri, sekaligus proses belajar dalam
rangka mencapai tujuan akhir individu yaitu
aktualisasi diri.
10
Pietrofesa et. all., Guidance; An Introduction, (Chicago: Rand
McNally College, 1980), hlm. 75.
11
Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 14-15.
|5
7. Konseling berlangsung secara rahasia dan bersifat
pribadi.
6|
kepribadian yang asli. Hal ini karena konseling dilakukan
secara personal dan dalam suasana yang rahasia dan
privat. Efektifitas konseling sebagian besar ditentukan
oleh kualitas hubungan antara pihak pertama (konselor)
dan pihak kedua (konseli). Dari segi konselor, kualitas
hubungan tersebut sangat bergantung pada kualitas pribadi
konselor dan kemampuannya dalam menerapkan teknik-
teknik konseling.13
Konseling melibatkan sebuah tipe hubungan yang
khusus antara konselor dan konseli.14 Kekhususan tersebut
terjadi karena hubungan konseling bukan sekedar
perbincangan dua pihak yang memiliki tujuan tertentu.
Kebanyakan konselor berpandangan bahwa konseling
yang efektif sangat bergantung pada kualitas hubungan
antara konselor dan konseli.
Kualitas hubungan konselor-konseli berbeda dengan
sifat hubungan di mana keterampilan konseling digunakan
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial atau
tempat kerja. Perbedaannya terlihat jelas pada posisi
dalam hubungan tersebut. Dalam proses konseling,
konselor memisahkan kepentingannya sendiri dan
memfokuskan diri hanya pada kebutuhan konseli.15
Selama sesi konseling berlangsung, konselor
mengesampingkan kepentingan sendiri, sungguh-sungguh
mendengarkan dan memfokuskan diri pada masalah-
masalah klien, dan tidak boleh membicarakan masalah
dirinya. Wawancara konseling berbeda dengan
percakapan biasa (curhat) yang dilakukan dalam
13
Ibid.
14
Kathryn Geldard & David Geldard, Keterampilan Praktik
Konseling. Terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 8.
15
Kathryn Geldard & David Gildard, Membantu Memecahkan
Masalah Orang lain dengan Teknik Konseling.Terj.(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 9.
|7
hubungan pertemanan ataupun rekan kerja yang seringkali
kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita. Proses
”curhat” yang biasa terjadi antar teman misalnya,
seringkali melibatkan dimensi world-view pihak pertama
(yang dianggap sebagai helper). Sehingga pihak pertama
seringkali memaksakan pihak kedua untuk menggunakan
sudut pandang helper dalam memecahkan masalahnya.
Hal itulah yang dalam proses hubungan konseling selalu
dijaga agar tidak terjadi pengambilan keputusan justru
berdasarkan pada sudut pandang helper.
Rogers mengidentifikasi sejumlah karakteristik
penting dari hubungan konseling yang diyakininya
dibutuhkan untuk memperoleh hasil-hasil konseling yang
efektif, yaitu: ketulusan (congruence), pengertian berdasar
empati (empathic understanding), dan penerimaan positif
tanpa syarat (unconditional positive regard). Ia juga
berkeyakinan bahwa dalam diri individu sejatinya
memiliki kemampuan untuk menemukan jawaban dan
solusi atas persoalan yang dihadapi.16
Howe (1999)17 menggambarkan hubungan
konseling sebagai aktivitas menjalani sesuatu secara
bersama-sama dengan apa yang disebutnya ’perserikatan
terapeutik’ (therapeutic alliance). Ia menjabarkan
berbagai karakteristik yang harus dimiliki konselor bukan
hanya tiga hal sebagaimana pandangan Rogers.
Menurutnya, kualitas dan karakteristik sebuah hubungan
konseling yang efektif meliputi sikap-sikap; hangat,
mendukung, penuh perhatian, berempati, pengertian,
klarifikasi, membantu, bertujuan, menunjukkan
keterlibatan, kolaboratif, peka, dan menciptakan
keselarasan hubungan.
16
Gerald Corey, Theory and Practice Counseling and
Psychotherapy, (Australia: Thomson Learning, 2001), hlm.177-179.
17
Kathryn Geldard,Keterampilan Praktik…. hlm. 23.
8|
Mengembangkan hubungan konseling adalah
upaya konselor untuk meningkatkan keterlibatan dan
keterbukaan konseli, sehingga proses konseling dapat
berjalan lebih baik, mempermudah dan mempercepat
pencapaian tujuan konseling. Adapun bentuk utama
hubungan konseling adalah pertemuan pribadi dengan
pribadi (konselor-klien) yang dilatarbelakangi oleh
lingkungan internal dan eksternalnya.18
Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses
konseling mau tidak mau akan saling bersinggungan
dengan lingkungan internal dan eksternalnya. Okun
(1987) mengemukakan bahwa jika terjadi hubungan
konseling maka yang berhadapan adalah helper’s
environment dengan helpee’s environment.19 Lingkungan
tersebut meliputi aspek-aspek; sikap, kebutuhan, nilai,
keyakinan, dan kepedulian (concern) pada diri konseli.
Sedangkan bagi konselor terdapat aspek; sikap,
kebutuhan, nilai, keyakinan dan keterampilan. Namun
perlu digarisbawahi bahwa bagaimanapun juga konselor
tidak boleh terpaku pada sudut pandangnya sendiri,
sebaliknya konselor senantiasa berusaha melihat dari
perspektif konseli. Karena itu, sangat penting bagi
konselor untuk memahami konseli dengan berbagai
konteksnya (world-view konseli).
Adapun kualitas yang harus dimiliki konselor
dalam proses konseling yaitu:20
1. Bersikap tulus (congruence)
Ketulusan konselor menjadi modal awal untuk
memperoleh kepercayaan konseli. Bagaimanapun,
18
Sofyan S. Willis, Konseling Individul; Teori dan Praktek,
(Bandung; Alfabeta, 2007), hlm . 44.
19
Barbara F. Okun, Effective Helping: Interviewing and
Counseling Techniques, (California: Brooks/Cole Publishing Company,
1987), hlm 22.
20
Kathryn Geldard, Keterampilan Praktik…. hlm. 24-43.
|9
sikap ramah yang dibuat-buat dengan keramahan yang
muncul secara genuine dari dalam hati akan sangat
berbeda. Konseli tentunya dapat membedakan sikap
yang benar-benar tulus dengan kebaikan yang hanya
nampak dipermukaan. Karena itu, sebagai seorang
konselor hendaknya senantiasa mengingat bahwa
profesinya tidak pernah lepas dari proses helping. Dan
proses helping diperlukan ketulusan niat sepenuh hati
untuk mencurahkan segala kemampuan konselor
dalam membantu konseli.
2. Bersikap empatik, hangat dan peka dalam hubungan
harmonis yang dilandasi saling pengertian(empathic
understanding).
Bersikap empatik artinya memiliki sebuah
kebersamaan dengan konseli sehingga terciptalah
sebuah kondisi kepercayaan di mana konseli merasa
diperhatikan, aman dan nyaman. Agar dapat
memunculkan sikap empati terhadap konseli, konselor
hendaknya berusaha memposisikan diri pada
kondisiyang dihadapi konseli. Konselor berusaha
melihat, memahami dan seolah merasakan apa yang
konseli rasakan. Dengan demikian sikap empati akan
muncul dengan sendirinya.
3. Bersikap tidak menghakimi dengan penerimaan
positif tanpa syarat (unconditional positive regard).
Penerimaan positif tanpa syarat ditandai dengan
penerimaan terhadap konseli secara utuh, dengan cara
yang tidak menghakimi, sebagai apa adanya konseli
dengan segala kerapuhan dan kelemahan yang
dimiliki; sekaligus dengan segala kelebihan dan sifat-
sifat positifnya. Menunjukkan penerimaan tanpa
syarat bukan berartimenerima standar nilai yang
dimiliki konseli, namun berarti bahwa konselor
menerima konseli apa adanya sekarang, menghargai
10 |
konseli sebagai individu dan tidak menghakimi
perilakunya.
4. Bersikap penuh perhatian, pengertian dan mendukung
Sikap aktif yang perlu ditunjukkan konselor sebagai
bukti keterlibatannya dalam hubungan konseling
adalah adanya perhatian yang penuh terhadap konseli
selama proses konseling. Perhatian ini dapat
ditunjukkan dengan keseriusan dalam menyimak
setiap pernyataan konseli dan meresponnya secara
tepat. Selain itu juga memperhatikan bahasa non-
verbal konseli untuk mengetahui kesesuaian ataupun
kontradiksi dengan bahasa verbalnya; memperhatikan
dengan sikap pengertian dan dukungan; memahami
dan mengerti keadaan konseli, serta memberi
dukungan dalam membantu konseli menemukan jalan
keluar dari permasalahan yang dihadapi.
5. Bersikap kolaboratif sekaligus menunjukkan
penghargaan terhadap kemampuan konseli.
Konselor hendaknya menghargai dan menghormati
konseli sebagai individu yang kompeten. Penting
sekali bagi konselor untuk menghormati kompetensi
konseli dan memegang keyakinan bahwa konseli
memiliki kekuatan-kekuatan dalam dirinya yang
diperlukan untuk menghadapi permasalahan yang
mengganggu, menemukan solusi, membuat keputusan
dan mengubah perilaku menuju perbaikan yang
diinginkan. Ada kalanya konseli datang untuk
meminta konselor yang mengambil keputusan
terhadap dirinya, namun perlu ditegaskan bahwa
konselor bukanlah ’dokter’ yang memberikan resep
penyakit yang diderita pasien. Konselor hanya
memfasilitasi konseli untuk menumbuhkan
kemampuan dan kemandirian dalam memecahkan
masalahnya.
| 11
6. Terampil dalam menggunakan keterampilan-
keterampilan konseling untuk tujuan tertentu.
Agar hubungan konseling dapat sepenuhnya efektif,
konselor harus cakap dalam mengaplikasikan
keterampilan-keterampilan konseling. Keterampilan
tersebut yang akan membantu konselor membangun
hubungan yang mencakup kualitas-kualitas yang telah
dijelaskan sebelumnya. Konselor harus mengetahui
kapan sebaiknya menggunakan masing-masing
keterampilan sehingga terjadilah komunikasi
konseling yang efektif.
Kualitas konselor yang terakhir inilah yang akan
diperdalam dalam pembahasan selanjutnya.
D. Tipe-tipe konseling
Klasifikasi konseling sangat beragam tergantung pada
sudut pandangnya. Berdasarkan bidangnya dikenal
konseling bidang masalah pribadi, masalah sosial,
masalah belajar, masalah karir, masalah keluarga, dan
lain-lain sesuai dengan jenis permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan pelaksanaannya dikenal konseling individual
dan konseling kelompok. Berdasarkan pendekatannya ada
konseling direktif, non-direktif, dan juga ekletik.
Selain beberapa pengelompokan tersebut ada juga
tipe-tipe konseling berdasarkan waktu penanganannya,
yaitu konseling krisis, konseling fasilitatif, konseling
preventif dan konseling developmental. Perbedaan tipe-
tipe tersebut dapat dilihat pada tabel berikut; 21
21
Penjelasan lebih rinci tentang tipe-tipe konseling tersebut dalam
dilihat pada Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 23-29.
12 |
TIPE RENTANG MASALAH AKTIFITAS
WAKTU YANG DAPAT YANG DAPAT
DITANGANI DILAKUKAN
| 13
Kontinu Pengembangan Membantu
(mencakup citra diri yang penegasan nilai-nilai
seluruh positif Mereviu pembuatan
tahapan Perubahan di keputusan
kehidupan) tengah perjalanan Konseling
Developmental
14 |
| 15
Bab II
Pendekatan-pendekatan
Konseling
A. Pendekatan Psikoanalisa
Psikoanalisa merupakan suatu sistem dalam psikologi
yang berasal dari penemuan-penemuan Freud dan menjadi
dasar dalam teori psikologi yang berhubungan dengan
gangguan kepribadian dan perilaku neurotik. Gangguan
kepribadian dan neurotik ini diakibatkan karena
bertahannya ketegangan emosi yang ada, yang berkaitan
dengan ingatan mengenai hal-hal traumatik.22
22
Singguh D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992), hlm. 169-170.
16 |
Aliran psikoanalisa ini dipelopori oleh Sigmund
Freud, seorang dokter psikiater pada tahun 1896. Aliran
ini memandang bahwa struktur kejiwaan manusia
sebagian besar terdiri dari alam ketidaksadaran23 atau
dapat dikatakan bahwa “manusia adalah penampung
tingkat perkembangan yang bersumber pada dorongan-
dorongan yang melekat dalam ketidaksadaran”.
Psikoanalisa disebut juga sebagai aliran psikologi
dalam (depth psychology) yang terkenal dengan teorinya
tentang “alam bawah sadar”. Menurut aliran ini, secara
skematis jiwa digambarkan sebagai gunung es di samudra.
Bagian yang muncul dipermukaan air adalah bagian
terkecil dari dalam dan luasnya kesadaran (consciousness)
dan pra kesadaran (pre consciousness) yang berada agak
di bawah permukaan, serta bagian besar lainnya adalah
ketidaksadaran (unconsciousness).24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendekatan psikoanalisa adalah suatu pendekatan yang
bertujuan untuk membentuk kembali struktur kepribadian
konseli dengan jalan mengembalikan hal yang tak disadari
menjadai hal yang disadari kembali. Pendekatan
psikoanalisa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu
pendekatan yang sering dan sangat ampuh untuk
memahami perilaku seseorang, terutama yang sulit
diamati secara kasat mata.
23
Sofyan S. Willis, Op.Cit, hlm. 57.
24
Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta:
Mizan Publika, 2004), hlm. 14.
25
Raymon Corsini, Psikoterapi Dewasa Ini, (Surabaya: IKON,
2003), hlm. 4.
| 17
merupakan proses psikologis dan bersinergi dalam hal
pembentukan kepribadian, dimana keseimbangan
sinerginya akan membawa pada pribadi yang sehat,
sedangkan kebalikannya membawa pada pribadi yang
tidak sehat.
Penjelasan tentang ketiga kompoenen tersebut sebagai
berikut;
a. Id; merupakan lapisan psikhis yang paling dasar. Di
dalamnya terdapat naluri-naluri (insting) bawaan
psikologis (seksual dan agresif, tanpa pertimbangan
akal dan etika dan yang membawa pertimbangan
kesenangan saja) serta keinginan-keinginan yang
direpresi. Id merupakan bawaan waktu lahir yang
merupakann bahan dasar bagi pembentukan psikhis
lebih lanjut. Sebagai contoh bayi yang baru
dilahirkan kondisi psikhisnya hanya terdiri dari id
saja.26
Id tidak diperintahkan oleh hukum akal atau logika
dan tidak memiliki nilai etika ataupun akhlak. Id
hanya didorong oleh satu pertimbangan yaitu
mencapai kepuasan bagi keinginan nalurinya, sesuai
dengan prinsip kesenangan. Menurut Freud ada dua
cara yang dilakukan oleh id dalam memenuhi
kebutuhannya untuk meredakan ketegangan yang
timbul yaitu melalui reflek seperti berkedip dan
melalui proses primer seperti membayangkan
makanan pada saat lapar. Namun usaha
membayangkan makanan tidak akan memenuhi
tuntutan id, hanya mampu meredakan ketegangan
dalam diri individu.
b. Ego; merupakan eksekutif dari kepribadian yang
berfungsi memerintah, mengendalikan, dan
26
Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikoanalisa, terj., (Jakarta:
Gramedia, 1984), hlm. xii.
18 |
mengatur. Ego berfungsi sebagai ”polisi lalu lintas”
bagi id, super ego, dan dunia eksternal. Tugas utama
ego sebagai penyelaras naluri dengan lingkungan
sekitar. Ego berlaku realistis dan berfikir logis serta
merumuskan rencana-rencana tindakan untuk
pemuasan kebutuhan.27 Sebagai komponen
psikologis, ego merupakan pelaksana terhadap
keinginan dan naluri ego yang telah diselaraskan oleh
super ego sebagai dimensi sosiologis.
c. Super ego; berperan untuk mengatur agar ego
bertindak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan etika
yang ada di masyarakat. Selain itu, superego
berfungsi untuk merintangi dan menyaring dorongan
id yang bertentangan dengan nilai etika , moral dan
agama.
27
Gerald Corey, Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi,
terj., (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 15.
| 19
yang lagi sepi karena pemiliknya sedang di belakang.
Namun ia kemudian merasa dan berfikir bahwa tindakan
tersebut tidak baik (super ego, dimensi sosiologisnya
berfungsi sebagai penekan keinginan yang tidak sesuai
dengan norma yang berlaku). Pada akhirnya ia mengambil
jalan keluar dengan menukarkan satu bungkus rokok yang
dibawanya dengan makanan untuk memenuhi rasa
laparnya (ego, komponen psikologis; melaksanakan
perintah id dengan memperhatikan pertimbangan super
ego).
28
Ibid, hlm 18-20
20 |
dengan teman seusianya akan memilih bergaul
dengan anak usia SD yang secara tahap
perkembangan berada di bawahnya.
c. Fiksasi; menjadi “terpaku” pada tahap perkembangan
yang lebih awal karena melangkah ke tahap
perkembangan selanjutnya dapat menimbulkan
kecemasan
Contoh; anak yang terlalu bergantung menunjukkan
pertahanan berupa fiksasi; kecemasan menghambat
anak tersebut untuk belajar mandiri.
d. Rasionalisasi; menciptakan alasan yang “baik” untuk
menghindarkan tindakannya dianggap “salah”.
Misalnya seorang mahasiswa yang ketahuan
menyontek saat ujian, ia mencari alasan tindakan
yang dilakukan itu karena teman-teman yang lain
juga menyontek semua.
e. Sublimasi; menggunakan jalan keluar yang lebih
tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima
terhadap dorongan-dorongan yang dilakukan.
Contoh; untuk mengurangi dorongan/hasrat seksual
pada remaja dengan melakukan olah raga atau
berpuasa.
f. Displacement; pengungkapan dorongan yang
menimbulkan kecemasan pada obyek atau individu
yang kurang berbahaya atau kurang mengancam
dibanding dengan obyek atau individu semula.
Contoh; seorang ayah jengkel karena dimarahi
bosnya di kantor dan tidak berani “melawan” karena
bosnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi, Dia
kemudian melampiaskan kekesalannya dengan
memarahi anaknya di rumah (padahal anaknya tidak
melakukan kesalahan apa-apa).
Proses konseling
| 21
Tujuan konseling menurut psikoanalisa adalah untuk
membentuk kembali struktur kepribadian konseli dengan
jalan mengembalikan hal-hal yang tidak disadari menjadi
yang disadari (dari unconsciousness menjadi
29
consciousness). Jadi penekanan konseling adalah pada
aspek afektif sebagai dasar munculnya ketidaksadaran
manusia, tetapi kognitif juga diperhatikan sekalipun
proporsinya tidak sebesar dimensi afektif.
Dalam proses konseling, konselor bersikap anonim,
artinya konselor berusaha tidak dikenal konseli dan
meminimalisasi keterlibatan perasaan dan pengalamannya.
Hal ini dilakukan agar konseli dengan mudah
memantulkan perasaan kepada konselor.
Berikut ini adalah urutan secara sistematis fase-fase
konseling;30
a. Mengawali proses konseling dengan membina
hubungan yang baik.
b. Melakukan transferensi; konseli berada pada tahap
krisis di mana sulit mengemukakan masalahnya.
c. Melakukan tilikan terhadap masa lalu konseli
terutama masa kanak-kanaknya.
d. Pengembangan resistensi untuk membantu
pemahaman diri.
e. Pengembangan hubungan transferensi konseli dengan
konselor.
f. Melanjutkan hal-hal yang resistensi lagi.
g. Menutup wawancara konseling.
29
Ibid, hlm. 38.
30
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 62.
22 |
interpretasi, analisis mimpi, analisis resistensi, dan analisis
transferensi.31
31
Penjelasan tentang teknik-teknik konseling Psikoanalisa dapat
di lihat pada; Gerald Corey, Teori dan …. hlm. 42-46; Sofyan S. Willis,
Konseling … hlm.62-63; Singguh D. Gunarsa, Konseling dan
…hlm.68; Sigmund Freud, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa,
terj.(Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.4-5; Sigmund Freud,
Memperkenalkan …, hlm.xx; Sigmund Freud, Tafsir Mimpi, terj.
(Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 12; Sigmund Freud, Pengantar
Umum Psikoanalisa, terj., (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006), hlm.
522; Dede Rahmad Hidayat, Psikologi Kepribadian dalam Konseling,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 38.
32
Nana S. Sukmadinata, Bimbingan dan Konseling dalam
Praktek; Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa, (Bandung:
Maestro, 2007), hlm. 59.
| 23
Behavior, menjelaskan tentang peranan dari teori operant
conditioning di dalam perilaku manusia.33
Empat pilar utama dalam behavioristik adalah
classical conditioning, operant conditioning, social
learning theory dan cognitive behavior therapy. Dalam
teori pengkondisian klasik, perubahan perilaku yang
diharapkan adalah adanya stimulus langsung. Terjadinya
perilaku tertentu disebabkan oleh stimulus tertentu yang
secara langsung terkait, sedangkan dalam operant
conditioning perilaku yang terbentuk diakibatkan oleh
stimulus yang telah dikondisikan. Cognitive behavior
therapy mengemukakan empat komponen penting pada
manusia yaitu phisik, perilaku, kognisi dan emosi, di mana
gangguan emosional akan mempengaruhi perilaku pada
manusia sehingga terapi yang dikembangkan adalah
mensikapi gangguan emosi secara kognitif dan perilaku
yang menunjukkan kestabilan kognitif.34
33
Sigit Sanyata, Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik
dalam Konseling, dalam Jurnal Paradigma, No. 14 Th. VII, Juli 2012,
hlm. 1.
34
Ibid, hlm. 8
35
Gerald Corey, Teori dan …., hlm.195.
24 |
dalam alam deterministik dan sedikit berperan aktif dalam
menentukan martabatnya.36 Pandangan behaviorisme
radikal menolak konsep tentang individu sebagai agen
freedom yang membentuk nasibnya sendiri.Lingkungan
merupakan pembentuk utama tingkah laku manusia.37
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut konsep
behaviorisme modern, perilaku manusia dipandang dalam
mekanisme dan pendekatan ilmiah yang diimplikasikan
pada pendekatan secara sistematis dan terstruktur dalam
proses konseling. Manusia tidak diasumsikan secara
deterministik tetapi merupakan hasil dari pengkondisian
sosio kultural. Trend baru dalam behaviorisme adalah
diberinya peluang kebebasan dan menambah keterampilan
konseli untuk memiliki lebih banyak opsi dalam
melakukan respon.
Secara filosofis behaviorisme meletakkan manusia
dalam kutub yang berlawanan, namun pandangan modern
menjelaskan bahwa faktor lingkungan memiliki kekuatan
alamiah bagi manusia dalam stimulus-respon, sesuai
dengan konsep social learning theory dari Albert
Bandura. Konsep ini menghilangkan pandangan manusia
secara mekanistik dan deterministik bahkan dalam tulisan
Thoresen dan Coates, behaviorisme modern merupakan
perpaduan antara behavioral-humanistic approaches.38
Tujuan dan Proses Konseling
Paradigma utama dari pola dasar belajar pada
manusia adalah stimulus dan respons. Konsep belajar pada
manusia ditunjukkan pada kemampuan dalam proses
belajar yang dilakukan sehingga proses konseling sebagai
upaya individu untuk re-education and re-learning proces,
dimana dalam proses belajar lebih menekankan tidak
36
Sigit Sanyata, Op. Cit.
37
Gerald Corey, Op. Cit., hlm. 196.
38
Sigit Sanyata, Op. Cit., hlm. 4.
| 25
adanya perilaku yang mengganggu. Gangguan-gangguan
yang muncul harus dihilangkan untuk mendapatkan
perilaku yang diharapkan. Gangguan emosional,
kecemasan, depresi dan kepribadian merupakan fokus dari
proses konseling sehingga konseling mengupayakan untuk
menghilangkan munculnya gejala tersebut dengan model-
model psikoterapi.
Tujuan konseling dikonsentrasikan pada proses
perilaku dari perubahan tingkah laku yang tampak atau
tidak tampak. Selain itu, konseling bertujuan untuk
mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku
simptomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan
atau hambatan perilaku yang dapat mengakibatkan
ketidakpuasan dan terganggunya individu dalam
kehidupan sosialnya.39
Pendekatan dalam layanan konseling merupakan
suatu strategi untuk memberikan intervensi kepada
konseli. Secara spesifik, Sanyata (2012) mengemukakan
tujuan yang akan dicapai adalah perubahan pada konseli
yang memungkinkan konseli untuk dapat menerima diri
(self-acceptance), memahami diri (self-understanding),
menyadari diri (self-awareness), mengarahkan diri (self-
directing), dan aktualisasi diri (self-actualitation). Dalam
proses konseling, dimensi perubahan merupakan tujuan
yang akan dicapai oleh konseli-konselor. Banyak faktor
yang mempengaruhi pemilihan pendekatan dalam
konseling, diantaranya adalah karakteristik personal
(konseli), karakteristik problem, hingga pada tujuan yang
hendak dicapai.40
Peran konselor dalam pendekatan behavioristik
adalah aktif dan direktif, aktif untuk melakukan intervensi
dan membawa konseli dalam perubahan perilaku yang
39
Pihasniwati, Psikologi Konseling; Upaya Integrasi-
Interkoneksi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 105.
40
Sigit Sanyata, Op. Cit., hlm. 10.
26 |
diharapkan, sedangkan direktif dimaknai sebagai upaya
konselor untuk memberikan arahan secara langsung
kepada konseli. Peran sentral dari pola ini berimplikasi
pada intervensi krisis yang dilakukan oleh konselor
kepada konseli sehingga konselor diharapkan memahami
tentang coping skills, problem solving, cognitive
restructuring dan structural cognitif therapy. Pendekatan
krisis yang dilakukan oleh konselor merupakan realisasi
dari clinical therapeutic menjadi ciri utama dalam
pendekatan behavioristik.
Dalam proses konseling, pendekatan behavior
merupakan suatu proses di mana konselor membantu
konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal,
emosional dan keputusan tertentu yang bertujuan ada
perubahan perilaku pada konseli. Pemecahan masalah dan
kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor.
Pendekatan behavioristik dalam konseling dipengaruhi
oleh ; kelebihan dan perilaku konseli, jenis problematika,
jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang
memiliki arti tertentu bagi kehidupan konseli dalam
perubahan perilakunya. Dalam pelaksanaannya,
pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup
berarti dalam konseling dan psikoterapi.
Menurut Corey (2005) tujuan umum terapi ini
adalah menciptakan kondisi baru bagi proses belajar.
Dasar alasannya adalah semua tingkah laku dapat
dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang
maladaptive. Jika tingkah laku tersebut dapat dipelajari,
maka tingkah laku tersebut dapat pula dihapus dan diganti
lagi dengan perilaku yang diinginkan (re-learning).41
Adapun langkah-langkah konseling yang dilakukan
sebagai berikut: 42
41
Gerald Corey, Teori dan …., hlm. 199.
42
Pihasniwati, Op. Cit., hlm. 107-108.
| 27
1. Assesment; merupakan langkah awal yang bertujuan
untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan
konseli. Konselor mendorong konseli untuk
mengemukakan keadaan yang dialami pada saat itu
secara rinci dan terbuka.
2. Goal Setting; merupakan tahapan untuk merumuskan
tujuan konseling. Tujuan tersebut dirumuskan
berdasarkan assessment yang telah dilakukan.
3. Technique Implementation, yaitu menentukan dan
melaksanakan teknik konseling yang digunakan
untuk mencapai tingkah laku yang dinginkan sesuai
dengan tujuan konseling.
4. Feedback; memberikan dan menganalisis umpan
balik unutk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
proses konseling yang sudah dilakukan.
Teknik-teknikKonseling Behavioral
Salah satu kelebihan konseling behavioral adalah
beragamnya teknik-teknik konseling yang dapat dilakukan
konseor dalam proses konseling. Teknik-teknik tersebut
antara lain:
1. Desensitisasi Sistematis; merupakan salah satu teknik
yang paling banyak digunakan dalam terapi tingkah
laku. Desensitisasi Sistematis digunakan untuk
menghapus tingkah laku yang diperkuat secara
negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku
yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan
dihapus tersebut. Dalam teknik ini juga melibatkan
teknik relaksasi, untuk menciptakan situasi santai dan
mengurangi kecemasan.
2. Assertive training; merupakan penerapan tingkah
laku pada kelompok dengan sasaran membantu
individu dalam mengembangkan cara-cara
berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-
situasi interpersonal. Latihan asertif akan membantu
28 |
bagi orang-orang yang berada dalam kondisi; a) tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung, b) menunjukkan kesopanan yang
berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya, c) memiliki kesulitan untuk
mengatakan “tidak”, d) mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya,
dan e) merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan dan pikirannya sendiri.
3. Aversion Therapy; digunakan dengan tujuan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang
tidak diinginkan melalui aversi atau hukuman yang
membuat jera. Aversi dapat berupa memberikan
kejutan listrik atau memberikan minuman yang
membuat mual sehingga individu tersebut menjadi
takut dan jera untuk melakukan tindakan tersebut.
Sekalipun teknik ini banyak digunakan oleh kaum
behavioris, namun banyak mendapatkan kritikan,
karena dianggap kurang manusiawi.
4. Flooding; teknik ini berlandaskan paradigma
penghapusan eksperimental. Teknik ini dilakukan
dengan memunculkan stimulus terkondisi secara
berulang-ulang tanpa adanya pemberian penguatan.
Harapannya dengan memunculkan stimulus yang
berlebihan dan berulang-ulang tanpa diikuti dengan
penguatan akan mereduksi bahkan menghilangkan
perilaku tersebut.
5. Selain teknik-teknik tersebut masih banyak teknik
lain yang biasa digunakn dalam konseling
behaviorioral seperti pengkondisian operan,
penguatan positif, pembentukan respon, perkuatan
| 29
intermiten, penghapusan, pencontohan, token
ekonomi, dan home work.43
43
Penjelasan lebih rinci tentang teknik-teknik tersebut dapat
dilihat pada; Gerald Corey, Teori dan ….. hlm. 208-222.
44
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang : UMM, 2005), hlm.
333.
30 |
yang besar pada kesanggupan konseli untuk mengikuti
jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.45
Teorinya berfokus pada tenaga hidup yang disebutnya
sebagai kecenderungan mengaktualisasikan diri (self-
actualization) yang didefinisikan sebagai motivasi yang
ada pada manusia untuk mengembangkan semua potensi
yang dimilikinya secara penuh. Menurut Rogers setiap
manusia ingin menunjukkan keberadaan dirinya dengan
sebaik-baiknya.46
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia
berpendapat bahwa masa lampau memang akan
mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang
masa sekarang yang akan mempengaruhi juga
kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang
terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis,
karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti
bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda–beda
tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya.
Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field.
Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan
fenomenal tersebut.
45
Gerald Corey, Teori dan ……. hlm. 92.
46
Nana S. Sukmadinata, Op.Cit., hlm. 60.
47
Fenti Hikmawati, Bimbingan Konseling, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 105-106.
| 31
2. Organisme menanggapi dunia sesuai dengan
persepsinya.
3. Organisme mempunyai kecenderungan pokok yakni
keinginan unutk mengaktualisasi diri, memelihara,
meningkatkan diri (self actualization-maintain-
enhance).
4. Organisme memberikan reaksi medan fenomena
secara total.
5. Pada dasarnya tingkah laku merupakan usaha yang
berarah tujuan untuk memuaskan kebutuhan-
kebutuhan mengaktualisasi diri-mempertahankan-
memperluas diri, dalam medan fenomenanya.
6. Emosi akan menyertai tingkah laku yang berarah
tujuan, sehingga intensitas (kekuatan) emosi
tergantung kepada pengamatan subyektif seberapa
penting tingkah laku itu dalam rangka aktualisasi
diri-memelihara-mengembangkan diri.
7. Jalan terbaik untuk memahami tingkah laku
seseorang adalah dengan memakai kerangka
pandangan orang itu sendiri melalui (internal frame
of reference); yakni persepsi, sikap dan perasaan
yang dinyatakan dalam suasana yang bebas atau
suasana terapi berpusat pada konseli.
8. Sebagian medan fenomena secara berangsur akan
mengalami deferensiasi, sebagai proses terbentuknya
self. Self adalah kesadaran akan keberadaan dan
fungsi diri, yang diperoleh melalui pengalaman
dimana diri (I atau me) terlibat didalamnya baik
sebagai subjek maupun obyek.
9. Struktur self terbentuk sebagai hasil interaksi
organisme dengan medan fenomena, terutama
interaksi evaluatif dengan orang lain. Struktur Self
adalah suatu pengamatan yang bersifat utuh, teratur,
mudah bergerak (fluid) dan konsisten dengan
gambaran I dan me dan nilai-nilai lingkungan.
32 |
10. Apabila terjadi konflik antara nilai-nilai yang sudah
dimiliki dengan nilai-nilai baru, organisme akan
meredakan konflik itu denganmerevisi gambaran
dirinya, serta mengaburkan (distortion) yang semula
ada pada dirinya, atau dengan mendistorsi nilai-nilai
baru yang akan diintrojeksi/diasimilasi.
11. Pengalaman-pengalaman yang terjadi pada diri
seseorang akan diproses oleh kesadaran dalam
tingkatan-tingkatan yang berbeda, sebagai berikut;
disimbolkan (symbolized) diamati dan disusun dalam
hubungannya dengan self; dikaburkan (distorted)
tidak ada hubungannya dengan struktur self; diingkari
atau diabaikan (denied atau ignore; diingkari karena
tidak konsisten dengan struktur dirinya dan diabaikan
karena kesadaran tidak memperhatikan itu.
12. Umumnya tingkah laku konsisten dengan konsep self.
Kalau premis ini benar, maka cara untuk merubah
tingkah laku adalah adalah mengubah konsep self,
sebagaimana dilakukan Rogers dalam terapinya.
13. Tingkah laku yang didorongkan oleh kebutuhan
organis yang tidak dilambangkan, bisa tidak
konsisten dengan self. Tingkah laku semacam itu
biasanya dilakukan untuk memelihara gambaran diri
(self-image) dan tidak diakui sebagai milik atau
bagian dari dirinya.
14. Salahsuai psikologis (Psychological maladjusment)
akibat adanya tention, terjadi apabila organisme
menolak menyadari pengalaman sensorik yang tidak
dapat disimbulkan dan disusun dalam kasatuan
struktur-selfnya.
15. Penyesuaian psikologis (psychological adjusment)
terjadi apabila organisme dapat
menampung/mengatur semua pengalaman sensorik
sedemikian rupa dalam hubungan yang harmonis
dalam konsep diri.
| 33
16. Setiap pengalaman yang tidak sesuai dangan struktur
self akan diamati sebagai ancaman (threat). Semakin
kuat struktur selfnya, semakin banyak pengalaman
yang dianggap ancaman karena tidak sesuai
dengannya, sehingga semakin kuat pula sikap
mempertahankan diri dari ancaman. Self kemudian
manciptakan pertahanan diri dengan menolak
pengalaman masuk kedalam kesadaran. Semakin
sering ini dipakai, self manjadi tidak salingsuai
(incongruence): kehilangan hubungan dengan
pengalaman nyata. Pertentangan antara self dengan
realita semakin meningkatkan ketegangan psikologik
yang menimbulkan salahsuai.
17. Dalam kondisi tertentu, khususnya dalam kondisi
bebas dari ancaman terhadap struktur self (suasana
terapi berpusat pada klien)
18. Apabila organisme mengamati dan menerima semua
pengalaman-sensorik ke dalam sistem yang integral
dan konsisten, maka dia akan mengerti dan menerima
orang lain sebagai individu yang berbeda.
19. Semakin banyak individu mengamati dan menerima
pengalaman sensorik ke dalam struktur self-nya,
kemungkinan terjadi itrijeksi/revisi nilai-nilai
semakin benar.
Proses Konseling
Berdasarkan teorinya, Rogers menilai bahwa
manusia mampu memulai sendiri arah perkembangannya
dan menciptakan kesehatan dan menyesuaikannya.
Dengan demikian, konselor dapat membantu konseli
untuk mengemukakan pengertiannya dan rencana
hidupnya. Untuk memungkinkan pemahaman ini konselor
diharapkan bersifat dan bersikap;menerima
(acceptance); kehangatan (warmth); tampil apa adanya
(Genuine);merasakan apa yang dirasakan orang lain
(emphaty); menempatkan diri dalam kerangka acuan
34 |
batiniah (internal frame of reference); penerimaan
tanpa syarat (unconditional positive regard); transparansi
(transparancy); dan kongruensi (congruence). 48
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia/individu. Psikologi humanistik
mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana
manusia melihat kehidupan mereka. Mereka berfokus
pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan
rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya,
serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam
pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab
terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai
kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan
perilaku mereka.
D. Komparasi Pendekatan Psikoanalisa, Humanisme,
dan Behaviorime dengan Pendekatan Islam.
Pendekatan psikoanalisa berpandangan bahwa
manusia lebih banyak didominasi oleh dimensi
ketidaksadaran (unconsciousness).49 Struktur kepribadian
manusia menurut Freud (Tokoh Psikoanalisa) terdiri dari
tiga struktur yaitu id (dimensi biologis), ego (dimensi
psikologis), dan super ego (dimensi sosial).Sementara itu
dimensi psikhis manusia juga memiliki tiga tingkatan
kesadaran yaitu; the conscious (kesadaran), the
preconscious (ambang sadar), dan the unconscious
(ketidaksadaran).50
Pendekatan behaviorisme memandang manusia
memiliki kecenderungan positif dan negatif yang sama.
48
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy, (Ausralia: Brooks/Cole Thomson Learning, 2001),
hlm. 176-179.
49
Gerald Corey, Theory and … hlm 68.
50
R. Rocco Cottone, Theories and Paradigms of Counseling and
Psychotherapy, (Boston: Allyn and Bacon, 1992), hlm 98.
| 35
Tingkah laku manusia pada dasarnya dibentuk dan
ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Menurut
aliran ini, tingkah laku manusia diperoleh melalui proses
dan hasil belajar. Pandangan behavioris tentang manusia
seringkali mendistorsi dan menyederhanakan tentang
individu yang seolah tak berdaya dan semata-mata hanya
ditentukan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan dan
keturunan. Pada dasarnya terapi ini diarahkan pada tujuan-
tujuan memperoleh tingkahlaku baru, penghapusan
tingkahlaku yang maladaptive, serta memperkuat dan
mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.51
Pendekatan Humanisme memiliki pandangan yang
berbeda dengan Psikoanalisa dan behaviorisme. Aliran ini
memandang manusia merupakan makhluk yang unik dan
memiliki kekhasan. Manusia memiliki karakteristik
kemanusiaan, seperti gagasan-gagasan, kreatifitas,
kesadaran diri, tanggung jawab, hati nurani, makna hidup,
rasa cinta, dan lain-lain. Dalam diri manusia diakui
adanya dimensi spiritual, dimensi psikologis, dan dimensi
sosial serta menitikberatkan pada makna hidup dan hasrat
untuk hidup bermakna sebagai motif asasi manusia.52
Tujuan dasar pendekatan ini adalah membantu individu
agar mampu bertindak, menerima kebebasan dan
tanggung jawab dalam tindakannya. Hal ini berpijak pada
asumsi bahwa manusia tidak dapat melarikan diri dari
kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab ini
saling berkaitan.53
Sementara itu, psikologi Islam memiliki pandangan
yang berbeda dengan Psikoanalisa dan Behaviorisme,
tetapi ada kedekatan (bukan sama) dengan pandangan
humanisme. Dalam psikologi Islam, manusia dipandang
51
Gerald Corey, Teori dan … hlm 195-197
52
Baharudin, Paradigma Psikologi Islami; Studi tentang Elemen
Psikologi dari al Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 290.
53
Gerald Corey, Teori dan …. hlm. 53.
36 |
Tabel 2 Perbandingan Psikoanalisa,
55
54
Behaviorisme, dan Humanistik dengan
Psikologi Islami tentang Konsep Manusia,
kebaikan.
Struktur Psikhis Manusia, dan Motivasi Utam
pendekatan
Humanistik -
Manusia Psikologi Islam
dalam Berperilaku
Transpersonal
Barat
somatic, psikhis, dan yang berasal dari Tuhan,
neotik (spriritual). yaitu al ruh dan al fitrah.
Sifat dasarnya baik Sifat dasarnya baik dan
siap menerima yang buruk
| 37
38 |
No Bidang Psikoanalisa Behaviorisme
perbandingann
| 39
terelakkan. Manusia semakin menyadari bahwa kebutuhan
manusia tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan
jasmani dan materialistik, tetapi juga pemenuhan
kebutuhan psikologis dan spiritual-religius. Konseling
dengan pendekatan agama menjadi salah satu bentuk
konseling spitual yang saat ini sedang berkembang dan
menyita perhatian banyak ahli.
56
Ibid, Hlm. 230-238
40 |
Nafsu ini memiliki tiga tingkatan yaitu; 1) nafsu
ammarah; terdiri dari tiga daya yaitu makan,
tumbuh, dan reproduksi.57 2) Nafsu lawwamah;
memiliki daya menerima, mendorong, dan
penggerak. 3) Nafsu mutmainnah; memiliki daya
menerima sekaligus juga daya menolak.
b. Al ‘Aql; memiliki daya mengetahu (al ‘Ilm).
Daya ini muncul sebagai akibat adanya daya
pikir seperti; tafakkur (memikirkan), al nazar
(memperhatikan), al I’tibar
(menginterpretasikan), dan lain-lain. Selain daya
fikir, ada daya memahami seperti; tadabbur
(memahami dengan seksama), ta’ammul
(merenungkan), istibsar (melihat dengan mata
batin), tazakkur (mengingat), dan lain-lain.
c. Al Qalb; memiliki dua daya yaitu daya
memahami dan daya merasakan. Memahami
dalam al Qalbberbeda dengan daya memahami
pada akal. Memahami pada akal bisa dimaknai
dengan mengerahkan segenap kemampuan
berupa kemampuan persepsi dalam dan persepsi
luar. Sedangkan daya memahami pada qalb
selain menggunakan kedua persepsi tersebut,
juga memiliki daya persepsi ruhaniyah yang
sifatnya menerima, yaitu memahami haq
(kebenaran) dan ilham (ilmu dari Tuhan).
3. Aspek Ruhaniyah; terdiri dari dua dimensi sebagai
berikut;
a. Al ruh; berasal dari Allah. Ketika ruh ada
bersama al jism dan al nafs, maka ruh tetap
memiliki daya yang dibawa dari asalnya yaitu
daya spiritual. Daya spiritual ini menarik badan
dan jiwa manusia menuju Allah. Daya inilah
57
Lihat al Quran Surat Yusuf Ayat 53.
| 41
yang menyebabkan manusia memerlukan agama.
Kekuatan daya ini bergantung pada tingkat
perkembangan nafsu, ‘aql, qalb, dan ruh.
b. Al fitrah; bukan hanya memiliki daya, melainkan
sebagai identitas esensial yang memberikan
bingkai kemanusiaan bagi al nafs agar tidak
bergeser dari kemanusiaannya.Secara skematis,
struktur jiwa manusia dapat digambarkan
sebagai berikut: 58
Gambar 1
Struktur Dimensi Jiwa Manusia
B
Al Ruh
A Al aql Al Qalb C
Al Nafsu
D
Gambar 2
Struktur Daya Jiwa Manusia Berdasarkan Pemahaman
Terhadap Al Quran
58
Baharuddin, Op.Cit. hlm.237.
42 |
(Pengetahuan pra
konsepsi)
Kognitif Qalbiyah: ilham, berfikir,
memahami,
mengetahui, menyelidiki, mengingat
al Qalb Afektif dan emosi; tenang, santun, kasar,
dengki,sombong dan lain-lain
Aspek
Nafsiyah kognitif dan internal ‘aqliyah;
tadzakkur,
tadabbur,taammul, istibsar,
tafakkur, dll
al Aql
kognitif eksternal aqliya; al lams,
al syumm, alsam’,al basyr, al lisan
dll
al Nafsu al ghadab
al syahwah
| 43
Badawi dalam Pihasniwati (2008) merumuskan tujuan
konseling Islam yaitu;59
1. Agar manusia dapat berkembang secara serasi dan
optimal unsur raga dan rohani serta jiwanya,
berdasarkan ajaran Islam.
2. Agar unsur rohani serta jiwa pada individu itu
berkembang secara serasi dan optimal.
3. Agar manusia mampu menyeimbangkan dimensi
individual dan sosialnya dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai ajaran Islam.
4. Agar manusia mampu menyeimbangkan aspek
duniawi yang sedang dijalani saat ini dengan
kehidupan akhirat sesuai dengan ajaran Islam.
59
Pihasniwati, Op.Cit.,hlm. 166-167.
60
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi
Islam; Penerapan Metode Sufiatik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2004), hlm. 221.
44 |
5. Menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan
potensi tersebut individu dapat melakukan tugasnya
sebagai khalifah dengan baik dan benar.
61
Musfir bin Said Az Zahrani, Konseling Terapi, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), hlm.34.
62
Lihat al Quran Surat ar-Ra’d (13) ayat 28: “(yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram”.
63
Musfir bin Said Az Zahrani, Op.cit.,hlm. 49-51.
64
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 44-45.
| 45
1. Pernikahan dan keluarga
Dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga
seringkali mengalami berbagai
bermasalahan.Permasalahan tersebut bisa saja muncul
dari interaksi antara suami-isteri, antara anak dengan
orang tuanya, ataupun antara keluarga inti dengan
keluarga besarnya. Permasalahan dalam keluarga
sangat kompleks karena bukan hanya menyangkut
persoalan antara dua individu, namun juga seringkali
melibatkan ikatan antara dua keluarga.
Permasalahan yang umumnya terjadi dalam
keluarga antara lain; dis-harmonisasi antara orang tua
dan anak, antara menantu dan mertua, antara suami dan
istri; miskomunikasi antara anggota keluarga;
kurangnya kasih sayang salah satu anggota keluarga;
problem perkawinan seperti perselingkuhan,
ketidakpercayaan pasangan, kurang saling menghargai;
masalah ekonomi, dan sebagainya. Permasalahan yang
terjadi dalam keluarga seringkali disebabkan oleh
kurang berfungsinya peran keluarga sebagai pengikat
hubungan antar anggotanya, seringkali masing-masing
anggota keluarga tidak mampu menjalankan tugas dan
perannya secara baik.
2.Pendidikan
Proses pendidikan sudah terjadi sebelum manusia
dilahirkan. Ketika masih dalam kandungan, seorang
anak sudah mulai belajar mengenal lingkungannya.
Ketika lahir manusia akan belajar dari lingkungan
terdekatnya, dan manakala telah cukup usia, dalam
sistem kehidupan dewasa ini, anak belajar dalam
lembaga formal (disekolah). Dalam belajar
(pendidikan) seringkali berbagai masalah timbul, baik
yang berkaitan dengan belajar itu sendiri maupun
lainnya. Problem-problem yang berkaitan dengan
46 |
pendidikan ini memerlukan konseling Islami untuk
menanganinya.
Permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan
misalnya; kebingungan dalam memilih sekolah dan
jurusan; permasalahan dalam belajar seperti sulit
berkonsentrasi, kurang bisa mengatur waktu, sulit
menemukan gaya belajar yang tepat; menurunnya
prestasi akademik, dan lain sebagainya.
3.Sosial (kemasyarakatan)
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam
interaksi tersebut terkadang mengalami kendala dan
tidak jarang muncul permasalahan. Permasalahan
dalam aspek sosial kemasyarakatan ini lebih kompleks
karena melibatkan banyak orang.
Permasalahan yang sering muncul dalam
hubungan sosial ini antara lain; permasalahan
penyesuaian dengan lingkungan baru, masalah
hubungan dengan tetangga, perbedaan/kesenjangan
sosial dalam masyarakat, dikucilkan oleh
lingkungannya, dan lain sebagainya.
4. Pekerjaan (jabatan)
Melakukan pekerjaan menjadi salah satu bagian
aktifitas kehidupan manusia. Bekerja dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Memperoleh
pekerjaan yang tepat dan memuaskan tentunya menjadi
harapan setiap orang, namun kenyataannya berbagai
persoalan seringkali terjadi dalam pekerjaan. Berbagai
persoalan tersebut tentunya memerlukan penanganan,
salah satunya melalui konseling.
Permasalahan yang berhubungan dengan
pekerjaan misalnya; kesulitan memilih/mencari
pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan/keahliannya,
| 47
kesulitan melakukan penyesuaian dengan lingkungan
kerja, persaingan dengan rekan kerja, masalah promosi
kenaikan jabatan, interaksi dengan atasan, bawahan,
atau rekan kerja, dan sebagainya.
5. Keagamaan
Manusia merupakan mahluk religius.Akan tetapi
dalam perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari
hakekatnya tersebut. Bahkan dalam kehidupan
keagamaan pun seringkali muncul pula berbagai
masalah yang menimpa dan menyulitkan individu.
Permasalahan yang berkaitan dengan keagamaan
misalnya; perbedaan agama dalam sebuah keluarga,
kehampaan batin, merasa jauh dari Tuhan, merasa
ibadah hanya sekedar ritual semata, dan lain-lain.
65
Pihasniwati, Op. Cit., hlm. 168-169.
48 |
immateri. Pendekatan ini merupakan pendekatan
utama yang mendasari dua pendekatan lainnya.
2. Pendekatan Islam; suatu pendekatan yang digunakan
dalam membangun manusia sehat secara ruhani,
jiwa, dan jasmani, melalui latihan, pembiasaan, dan
belajar dari pengalaman. Pendekatan ini sejalan
dengan pendekatan behaviorisme dalam psikologi
yang di dalamnya terdapat teori belajar, menciptakan
pembiasaan, dan memperkuat perilaku melalui
reward dan punishment. Agama Islam yang
berlandaskan pada rukun Islam merupakan saran
pembelajaran dan latihan baik secara lisan, anggota
tubuh (fisik), mengelola emosi (nafsu), ataupun
gabungan dari ketiganya. Ibadah shalat misalnya,
selain memberikan ketenangan batin bagi yang
melaksanakannya, secara medis terbukti bahwa
berbagi gerakan sholat memberikan efek positif
terhadap kesehatan fisik.
3. Pendekatan Ihsan; suatu pendekatan dalam
membangun manusia sehat secara ruhani, jiwa, dan
jasmani melalui perbuatan nyata dari perilaku
positif/sehat. Pendekatan ini sejalan dengan
pendekatan kognitif-behavior. Berdasarkan cara
berfikir positif tertentu ditambah dengan
pengalaman-pengalaman hasil dari latihan dan
pembiasaan, akan menghasilkan sosok pribadi yang
berperilaku sehat. Seorang muslim yang Ihsan akan
senantiasa melaksanakan aktifitas kesehariannya
berdasarkan nilai-nilai agama, karena ia merasa
bahwa Allah selalu mengawasinya dalam situasi
apapun dan dimanapun.
| 49
Bastaman (1995) dalam Pihasniwati 66 merumuskan
ada beberapa metode cara kerja konseling Islam sebagai
berikut:
1. Metode ilmiah (method of science); metode yang
digunakan oleh ilmuwan dalam dunia ilmu
pengetahuan secara umum. Untuk memperoleh
kebenaran ilmiah menggunakan beberapa metode
empirik seperti observasi, wawancara, eksperimen,
testing, dan lain-lain.
2. Metode keyakinan (method of tenacity); metode
berdasarkan suatu keyakinan yang dimiliki oleh
seseorang, meliputi;
a. Ilmul yaqin; suatu keyakinan yang diperoleh
berdasarkan ilmu secara teoretis (QS.al-Takatsur
1-5).
b. Ainul yaqin; keyakinan yang diperoleh dari
pengamatan mata secara langsung (QS. Al-
Takatsur 6-7).
c. Haqqul yakin; keyakinan yang diperoleh dari
hasil pengamatan dan penghatan atas
pengalaman seseorang (QS. al-Waqiah, 89-96).
d. Kamalul yaqin; keyakinan yang sempurna dan
lengkap. Keyakinan seperti ini dibangun
berdasarkan ketiga keyakinan sebagaimana
disebut di atas.
3. Metode Otoritas (method of authority); merupakan
metode yang menggunakan kewibawaan dan
pengaruh positif yang dimiliki seseorang.
66
Ibid.,hlm. 169.
50 |
4. Metode intuisi (method of intuition); metode ini
didasarkan pada ilham (wahyu) yang berasal dari
Allah Swt. Metode ini biasanya digunakan para sufi
yang sudah memiliki pemahaman dan pengalaman
spiritual, serta memiliki kedekatan dengan Allah Swt.
67
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Op. Cit., hlm. 135-174.
68
Ibid, hlm. 190-206.
| 51
1. Teori al Hikmah
Teori ini merupakan sebuah pedoman, penuntun,
dan pembimbing bagi konselor dalam memberikan
bantuan pada konseli agar mampu mengembangkan
eksistensi dirinya sehingga mamu menemukan jati
diri dan citra dirinya serta dapat menyelesaikan atau
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi secara
mandiri.
Ciri khas teori al Hikmah ini adalah; adanya
pertolongan dari Allah; diagnosa menggunakan
metode ilham dan kasysyaf; adanya keteladanan
konselor, dan alat terapi yang dilakukan dengan
nasihat, doa, dan ayat-ayat al-Quran; serta biasanya
dilakukan pada terapi yang berat dimana individu
dalam kondisi yang tidak mandiri.
52 |
3. Teori Mujadalah yang baik
Yaitu teori konseling yang terjadi di mana
seorang konseli ingin mencari sebuah kebenaran
yang dapat meyakinkan dirinya, misalnya berkaitan
dengan kebingungan dalam mengambil sebuah
keputusan atau pilihan terhadap sesuatu yang
menurutnya sama-sama baik, padahal dalam sudut
pandangan konselor terdapat keburukan dalam
pilihan tersebut yang perlu diluruskan (diperdebatkan
secara baik).
Prinsip-prinsip dalam menggunakan teori ini
adalah: harus adanya kesabaran konselor; konselor
menguasai secara mendalam permasalahan yang
sedang dihadapi konseli; adanya saling menghormati
dan menghargai antar kedua pihak; bukan bertujuan
untuk menjatuhkan atau mengalahkan pendapat
konseli; dilandasi dengan rasa kasih sanyang dan
persaudaraan sesamamuslim; dan menggunakan
bahasa dan tutur kata yang baik, halus dan tidak
menyinggung perasaan konseli. Selain itu juga
dikuatkan dengan dasar/dalil al-Quran atau Hadits
yang sesuai serta diimbangi dengan keteladanan dari
konselor.
| 53
penerapannya, seorang konselor hendaknya
senantiasa memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam
yang terkandung dalam al quran dan al Hadits
sehingga bantuan yang diberikan selaras dan tidak
bertentangan dengan kaidah agama Islam.
54 |
Bab IV
Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Proses Konseling
A. Struktur
Struktur merupakan pemahaman bersama antara
konselor dan konseli mengenai karakteristik, kondisi,
prosedur, tujuan dan sifat konseling. Pada tahap awal
konseling, sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan
persepsi antara konselor dan konseli mengenai sifat dan
tujuan konseling.70 Seringkali konseli datang kepada
konselor dengan tujuan agar masalahnya dapat dipecahkan
oleh konselor, padahal keberhasilan proses konseling
bukan pada terselesaikannya masalah konseli saja,
melainkan bagaimana konseling mampu menjadikan
konseli lebih mandiri dalam menghadapi setiap
permasalahan yang dihadapinya.
69
Samuel T. Gladding, A Counseling: a Comprehensive
Profession, 6th Ed. Terj. Konseling; Profesi yang Menyeluruh, (Jakarta:
Indeks, 2012), hlm. 148- 161.
70
Ibid, hlm. 149.
| 55
Di sisi lain, ada juga konseli yang datang dengan
‘terpaksa’ dalam proses konseling. Kondisi tersebut
seringkali menjadikan resistensi pada konseli. Adanya
konseli yang resisten (enggan) dan reject (menolak) dapat
menghambat proses konseling. Karena itu konselor
hendaknya mengawali proses konseling dengan
melakukan structuring.71
Struktur membantu memperjelas hubungan antara
konselor dan konseli. Selain itu juga untuk memberinya
arah, melindungi dan menghormati kedua belah pihak,
serta mengatur tentang peran dan tanggung jawab masing-
masing.72 Struktur terjadi pada sepanjang proses
konseling, namun sangat penting dilakukan pada tahap
awal konseling, terutama jika konseli datang dengan
kondisi tertentu.73 Namun demikian, penting bagi konselor
untuk mengetahui secara tepat kapan dan kondisi seperti
apa struktur ini dilakukan, sebab jika penerapannya tidak
tepat atau melakukannya terlalu banyak (berlebihan)
justru akan membahayakan.74 Karena itu, konselor
hendaknya menggunakan struktur ini secara tepat,
sehingga menunjang proses konseling dan bukan
sebaliknya justru menghambat proses konseling.
Lebih lanjut Gladding menyebutkan beberapa hal
yang tercakup dalam struktur, yaitu:
71
Penjelasan lebih rinci tentang penerapan teknik structuring
dalam komunikasi konseling dapat dilihat pada Bab VI Komunikasi
Konseling; Tahap Awal.
72
Jeanette Murad Lesmana, Dasar-dasar Konseling, (Jakarta: UI
Press, 2005), hlm. 46.
73
Yang dimaksud di sini adalah jika konseli datang pada konselor
dengan keadaan yang kurang mendukung misalnya; datang dengan
terpaksa, bersikap resisten atau reject, tidak memiliki harapan, tidak
mengetahui taujuan konseling dan sebagainya.
74
Welfel dan Patterson, 2005 (dalam Samuel T. Gladding, Op. Cit.
56 |
Pertama, time limit; memberikan batasan tentang waktu
pelaksanaan sesi konseling. Time limit ini dilakukan jika
salah satu pihak (konselor atau konseli) memiliki
keterbatasan waktu dalam proses konseli. Misalnya;
konselor hanya memiliki waktu 30 menit untuk konseling,
maka di awal konseling konselor hendaknya
memberitahukan terlebih dahulu dan menawarkan pada
konseli apakah akan melanjutkan konseling dengan durasi
tersebut, atau memilih untuk membuat schedule lain yang
lebih nyaman bagi konseli. Time limit juga bisa dilakukan
dengan inisiatif dari konseli, misalnya konseli akan
mengikuti konseling namun waktunya terbatas dengan
kegiatan lain.
B. Inisiatif
| 57
Gladding menyebut inisiatif sebagai motivasi untuk
berubah.Pada umumnya konselor menganggap dan
berharap konseli bersikap kooperatif selama sesi
konseling. Namun tidak semua konseli datang dengan
harapan dan tujuan seperti yang diharapkan konselor.
Sebagian konseli datang dengan terpaksa dalam proses
konseling. Keterpaksaaan tersebut seringkali berakibat
pada sikap yang tunjukkan konseli selama proses
konseling. Sikap tersebut seperti; menutup diri dan enggan
mengemukakan permasalahannya secara terbuka, bersikap
acuh dan kaku, serta menaruh curiga pada konselor.
Otani, 1989 (dalam Gladding)75 membagi empat
kategori perlawanan konseli dalam proses konseling,
yaitu:
Pertama, perlawanan terhadap kuantitas, di mana
konseli membatasi informasi yang diberikan kepada
konselor. Sikap yang ditunjukkan berupa: membisu,
sedikit bicara, dan menggunakan bahasa isyarat
Kedua, perlawanan isi, di mana konseli melarang
tipe informasi tertentu untuk dibicarakan oleh konselor.
Sikap yang ditunjukkan berupa; pembicaraan intektual,
melamun, sedikit bicara, penampilan emosional, dan
pertanyaan yang diulang-ulang.
Ketiga, perlawanan gaya, di mana konseli
memanipulasi cara memberikan informasi kepada
konselor. Sikap yang ditunjukkan berupa: berhati-hati
dalam menuangkan pikiran, menebak-nebak, tidak
terbuka, memberikan batasan, sengaja seolah-olah lupa,
dan ingkar janji.
Keempat, perlawanan manajemen, di mana konseli
melanggar aturan dasar konseling. Sikap yang ditunjukkan
berupa: menunda-nunda sesi, menolak pembayaran, dan
permintaan yang sifatnya pribadi.
75
Ibid, hlm. 155.
58 |
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan
konselor dalam menyikapi kondisi tersebut yaitu;76
1. Mengantisipasi kemarahan, frustasi dan ketertutupan
yang dilakukan oleh konseli. Konselor berupaya
untuk menerima dan memahami konseli dengan
berbagai karakteristik yang dibawa masing-masing.
2. Konselor menunjukkan penerimaan, kesabaran, dan
pengertian. Langkah tersebut akan meningkatkan
kepercayaan, sebagai dasar dari hubungan antar
pribadi.
3. Menggunakan metode persuasif. Konselor
melakukan upaya-upaya persuasif kepada konseli
baik berupa lisan (verbal) maupun perilaku non-
verbal.
4. Melalui konfrontasi. Konselor melakukan
konfrontasi jika melihat adanya ketidaksesuaian atau
konseli tidak konsisten. Konfrontasi dapat dilakukan
jika ada perbedaan atau kesenjangan antara bahasa
verbal maupun non-verbal yang ditunjukkan konseli.
5. Menggunakan bahasa metaphor untuk meluluhkan
keengganan konseli. Sebagai contoh, dalam
menghadapi konseli yang selalu mengulang
kesalahan yang sama, konselor dapat mengatakan;
“Apa yang akan dilakukan oleh seorang petarung,
jika dia selalu kalah setiap kali bertanding?”
6. Memperkuat hubungan konseling melalui
“mattering”. Misalnya bahwa persepsi sebagai
manusia kita memiliki arti penting dan signifikan
bagi orang dan lingkungan di sekeliling kita.
76
Ibid, hlm. 154-156.
| 59
dilakukan di luar ruangan, bergantung pada kesepakatan
dan kenyamanan konseli.
Jika konseling dilakukan di ruangan, para ahli
umumnya menyatakan bahwa ruangan konseling
sebaiknya “nyaman dan menarik” yang ditandai dengan
penerangan yang lembut (sesuai), warna cat ruangan yang
menenangkan, perabot tertata rapi, bersih dan harum.
Selain itu juga suhu ruangan yang sesuai (tidak terlalu
dingin atau sebaliknya), suasana yang tenang – tidak
terganggu oleh suara-suara yang bising, dan sebagainya.77
Secara lebih rinci, Pressly dan Heesacker (2001)78
mengemukakan beberapa karakteristik ruangan yang
menunjang proses konseling, yaitu:
1. Adanya aksesoris ruangan yang mendukung atau
sesuai dengan kultur masyarakat. Misalnya berupa
karya seni lukisan atau hiasan dinding yang
memberikan kesan menyejukkan.
2. Pewarnaan dinding dan perabot yang sesuai.
3. Pencahayaan; menggunakan pencahayaan lampu
yang sesuai, tidak terlalu terang dan juga tidak teralu
gelap. Selain itu juga warna sinar lampu yang sejuk.
4. Menggunakan perabot dan desain ruang membuat
konseli merasa nyaman. Misalnya, ruangan tidak
terbuka yang memungkinkan terlihat hilir mudik
orang lain di luar, ataupun tidak terlalu tertutup yang
menjadikan konseli merasa ‘terasing’ atau takut.
5. Menambahkan aroma yang menenangkan, tidak
terlalu wangi karena sebagian konseli ada juga yang
tidak menyukai wewangian yang mencolok.
6. Mengatur agar kondisi ruangan tidak terganggu oleh
suara-suara dari luar.
77
Jeanette Murad Lesmana, Op. Cit., hlm. 52.
78
Dalam Gladding, Op.Cit.,hlm. 157-158.
60 |
7. Penggunaan tekstur ruangan dan perabot yang
lembut untuk meningkatkan kenyamanan konseli.
8. Suhu udara yang sesuai. Jika diperlukan konselor
bisa menawarkan konseli untuk mengatur suhu udara
yang diinginkan dan membuatnya nyaman.
D. Kualitas konselor
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses
konseling adalah kualitas konselor. Menurut Cavanagh
(1982)80 kualitas pribadi konselor yang baik ditandai
dengan beberapa karakteristik sebagai berikut;
1. Self-knowledge (pemahaman diri); maksudnya
konselor mampu memahami dirinya dengan baik,
mengetahui kelebihan dan kekurangan, mampu
memanfaatkan kelebihannya untuk mengembangkan
diri secara optimal serta mampu meminimalisasi
kekurangannya. Konselor juga memahami tentang
tindakan yang dilakukannya dan mengapa ia
melakukannya.
2. Competence (kompetensi); kompetensi mempunyai
makna sebagai kualifikasifisik, intelektual, emosional,
79
Di Amerika misalnya jarak yang digunakan umumnya 75 – 97,5
cm. lihat Gladding hlm. 157.
80
Michael E. Cavanagh (1982). The Counseling
Experience.California : Brooks/Cole Publishing. dalam Juntika (2005
hlm 37-45), lihat juga Fenti Hikmawati, Op. Cit., hlm. 57-60.
| 61
sosial, dan moral yang harus dimiliki konselor untuk
membantu konseli.
3. Good Psychological Health (kesehatan psikologis
yang baik); konselor dituntut untuk memiliki
kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya.
Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat
berguna bagi hubungan konseling. Konselor yang
kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas
sebagai berikut; memperoleh pemuasan kebutuhan
rasa aman, cinta, kekuatan, dan seks; dapat mengatasi
masalah-masalah pribadi yang dihadapinya;
menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan
dirinya; tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga
menciptakan kehidupan yang lebih baik. Konselor
dapat menikmati kehidupan secara nyaman. Dia
melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti :
membaca, menulis, bertamasya, bermain
(berolahraga), dan berteman.
4. Trustworthiness (dapat dipercaya); yaitu kondisi di
mana konselor tidak menjadi ancaman atau penyebab
kecemasan bagi klien. Konselor hendaknya menjadi
sosok yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi
konseli sehingga konseli akan melalui sesi konseling
dengan terbuka tanpa rasa takut, cemas dan sungkan.
5. Honesty (jujur); yang dimaksud jujur disini adalah
bahwa konselor itu bersikap transparan
(terbuka), otentik, dan asli (genuine). Konselor yang
jujur memiliki karakteristik yaitu: bersikap kongruen,
artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya
sendiri (real-self) sama sebangun dengan yang
dipersepsi oleh orang lain (public-self), dan memiliki
pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
6. Strength (kekuatan); kekuatan atau kemampuan
konselor sangat penting dalam konseling, sebab
dengan hal itu konseliakan merasa aman. Konseli
62 |
memandang konselor sebagai orang yang; tabah
dalam menghadapi masalah, dapat mendorong konseli
untuk mengatasi masalahnya, dan dapat
menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
7. Warmth (bersikap hangat); yang dimaksud bersikap
hangat itu adalah : ramah, penuh perhatian, dan
memberikan kasih sayang.Konseli yang datang
meminta bantuan konselor, pada umumnya yang
kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya,
sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap
ramah, memberikan perhatian, dan kasih
sayang. Melalui konseling, konseli ingin mendapatkan
rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan
konselor. Apabila hal itu diperoleh, maka konseli
dapat mengalami perasaan yang nyaman.
8. Actives responsiveness (pendengar yang aktif);
keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat
dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif,
konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya
terhadap kebutuhan konseli. Dalam hal ini, konselor
mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan
umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi
yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru,
berdiskusi dengan konselitentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab
dengan konseli dalam proses konseling.
9. Patience (sabar); melalui kesabaran konselor dalam
proses konseling dapat membantu konseli untuk
mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar
konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri
konseli daripada hasilnya.
10. Sensitivity (kepekaan); kualitas ini berarti bahwa
konselor menyadari tentang adanya dinamika
psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah
tersinggung, baik pada diri konseli maupun dirinya
| 63
sendiri. Konselor yang sensitif memiliki kualitas
perilaku antara lain; sensitif terhadap reaksi dirinya
sendiri; mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama
mengungkap masalah konseli (probing); mengajukan
pertanyaan tentang persepsi konseli tentang masalah
yang dihadapinya; dan sensitif terhadap sifat-sifat
mudah tersinggung dirinya.
11. Holistic awareness (kesadaran holistik); pendekatan
holistik dalam konseling berarti bahwa konselor
memahami konseli secara utuh dan tidak
mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan
berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam
segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu
memahami adanya berbagai dimensi yang
menimbulkan masalah konseli, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh
terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu
meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan
moral-spiritual.
81
Lihat Shertzer dan Stone, Op. Cit., hlm. 131.
64 |
“sense of humor”, (c) emosinya stabil, (d) toleran,
(e) bersih-tertib, (f) sabar, (g) objektif, (h) ikhlas, (I)
bijaksana, (j) jujur-terbuka, (k) kalem, (l) lapang hati,
(m) menyenangkan, (n) memiliki kecerdasan sosial,
(o) bersikap tenang.
3. Council of Student Personnel Association in Higher
Education merekomendasikan kualitas konselor,
yaitu : (a) memiliki perhatian terhadap mahasiswa,
(b) percaya terhadap kemampuan mahasiswa, (c)
memahami aspirasi mahasiswa, (d) memiliki
perhatian terhadap pendidikan, (e) sehat jasmani –
rohani, (f) memiliki kemauan untuk membantu orang
lain, (g) respek terhadap orang lain, (h) sabar, dan (I)
memiliki rasa humor.
4. Association for Counselor Education & Supervision
mengemukakan 6 sifat dasar konselor, yaitu : (a)
percaya terhadap individu, (b) komitmen terhadap
nilai manusiawi individu, (c) memahami
perkembangan lingkungan, (d) bersikap terbuka, (e)
memahami diri, (f) komitmen terhadap profesi.
Thohari Musnamar dkk. (1992) mengemukakan sifat
kepribadian yang baik (akhlaqul-karimah) konselor dalam
konsep Islam, yaitu : (a) siddiq, mencintai dan
membenarkan kebenaran, (b) amanah,bisa dipercaya,
(c) tabligh, mau menyampaikan apa yang layak
disampaikan, (d) fatanah, cerdas atau berpengetahuan,
(e) mukhlis, ikhlas dalam menjalankan tugas, (f) sabar,
artinya ulet, tabah, tidak mudah putus asa, tidak mudah
marah, dan mau mendengarkan keluh kesah konseli
dengan penuh perhatian, (g) tawadlu, rendah hati atau
tidak sombong, (h) saleh, artinya mencintai, melakukan,
membina, dan menyokong kebaikan, (i) adil, mampu
mendudukkan persoalan secara proporsional, dan
| 65
(j) mampu mengendalikan diri, menjaga kehormatan diri
dan konseli.82
E. Kualitas konseli
Selain konselor, faktor yang mempengaruhi proses
konseling adalah kualitas konseli (klien). Konseli yang
datang pada konselor memiliki kualitas yang sangat
beragam, mulai dari perbedaan latar belakang
pendidikannya, lingkungan sosial budayanya, umur, jenis
kelamin, dimensi keagamaanya, perspektifnya terhadap
sesuatu sampai dengan kepribadiannya.
Secara garis besar, Gladding mengelompokkan bahwa
kualitas konseli terdiri atas; karakteristik konseli, dan
kesiapan konseli.Karakteristik konseli merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi konseling. Secara
sederhana, jenis-jenis konseli yang dianggap menunjang
dan memudahkan proses konseling yaitu konseli yang
memiliki karakteristik YAVIS (young, attractive, verbal,
Intelligent, Succesfull). Pada umumnya konselor
menyukai konseli yang memiliki karakteristik tersebut
karena biasanya akan lebih mudah mencapai tujuan dan
keberhasilan konseling. Sebaliknya konseli yang memiliki
karakteristik HOUND (homely, old, unintelligent, non-
verbal, disadvantaged) seringkali membutuhkan proses
dan waktu yang agak lama untuk dapat menyesuaikan dan
menyelesaikan sesi konseling.83
Namun demikian, sebagai seorang konselor
hendaknya mampu memberikan bantuan secara baik dan
profesional kepada konseli dengan berbagai karakteristik
tersebut. Konselor tidak boleh membeda-bedakan konseli
yang datang karena menjumpai konseli yang memiliki
karakteristik yang tidak diinginkan.
82
Thohari Musnamar dan Tim (Ed.), Dasar-dasar Konseptual
Bimbingan dan Konseling Islami. (Yogyakarta : UII Press, 1992).
83
Jeanette Murad lesmana, Op. Cit., hlm. 53.
66 |
Selain karakterisik koseli, kesiapan konseli juga
menentukan keberhasilan konseling. Kesiapan yang
dimaksud di sini adalah kesiapan untuk berubah. Proses
konseling sesungguhnya bermuara pada terjadinya
perubahan-perubahan perilaku dan sikap pada konseli.
Konseli yang sudah memiliki kesiapan untuk melakukan
perubahan terhadap dirinya (perubahan ke arah yang lebih
baik) akan lebih mudah menjadi proses konseling dan
mencapai tujuan konseling. Sebaliknya, konseli yang
menutup diri dan tidak memiliki semangat untuk
melakukan perubahan terhadap dirinya akan membuatnya
terpaku pada satu titik yang sulit untuk berkembang dan
melakukan perubahan. Pada akhirnya, konselor akan
memerlukan proses yang agak panjang untuk merubah
kondisi tersebut.
F. Komunikasi konseling
Komunikasi konseling menjadi salah satu faktor
penting yang mempengaruhi keberhasilan konseling.
Komunikasi konseling bukanlah pembicaraan biasa antara
dua orang, melainkan memerlukan teknik dan pendekatan
yang sesuai agar konseli merasa nyaman dan mengikuti
proses konseling dengan terbuka mengemukakan berbagai
perasaan, pikiran, pengalaman serta permasalahannya
kepada konselor.
Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan
interpersonal (dalam konseling), perlu ditingkatkan
kualitas komunikasi. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi komunikasi tersebut antara lain; 84
84
Farid Mashudi, Psikologi Konseling; Buku Panduan Lengkap
dan Praktis Menerapkan Psiokologi Konseling, (Yogyakarta: Ircisod,
2012), hlm. 104-105.
| 67
1. Kepercayaan (trust); konselor hendaknya dapat
menumbuhkan kepercayaan konseli pada konselor.
Bagi konseli yang baru datang pertama kali pada
proses konseling, tidak mudah untuk langsung
mempercayai konselor yang baru ditemuinya. Karena
itu, konselor hendaknya menjadi sosok yang
menyejukkan dan menampilkan sikap yang tulus,
hangat dan menghargai sehingga konseli akan lebih
mudah untuk membuka diri.
2. Perilaku yang sportif; beberapa ciri perilaku sportif
ditandai dengan;
a. Deskripsi; penyampaian pesan, perasaan, dan
persepsi tanpa menilai atau mengecam
kelemahan konseli
b. Orientasi masalah; mengkomunikasikan
keinginan untuk kerja sama, mencari pemecahan
masalah.
c. Spontanitas; sikap jujur dan tulus tanpa sikap
kepura-puraan.
d. Empati; menganggap dan berusaha merasakan
apa yang dirasakan atau dialami oleh konseli
e. Persamaan; tidak mempertegas perbedaan,
memberikan penghargaan, dan rasa hormat
terhadap perbedaan yang ada di antara keduanya.
f. Profesionalisme; kesediaan untuk meninjau
kembali pendapat sendiri dan melaksanakan
proses konseling secara profesional.
3. Sikap terbuka, kemampuan menilai secara obyektif,
kemampuan membedakan dengan mudah,
kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi,
68 |
pencarian informasi dari berbagai sumber,
kesediaaan untuk membantu secara tulus.
| 69
Bab V
Membangun Hubungan dalam
Proses Konseling
85
Sofyan S. Willis, Op.Cit.,hlm. 36.
70 |
A. Tujuan Konseli dan Tujuan Konselor
Tujuan konseli datang menemui konselor sangat
beragam, bergantung pada ekspektasi (harapan), motivasi,
dan permasalahan yang dihadapinya. Menurut Eisnberg
dan Delaney, kebanyakan dari konseli yang mengikuti
proses konseling seringkali memfokuskan pada
permasalahan yang sedang dihadapinya, tanpa memiliki
tujuan yang pasti pada apa yang akan dicapainya.86
Kebanyakan konseli datang dengan harapan bahwa
konseling akanserta merta menghasilkan pemecahan dari
masalah yang dihadapinya. Konseli beranggapan bahwa
tekanan yang dihadapinya segera hilang dengan adanya
proses konseling, terkadang konseli menjadikan konselor
sebagai tumpuan harapan dari berbagai perasaan yang
menggangu pikirannya.87 Pada sisi yang lain, konseli juga
berharap proses konseling akan selesai dalam waktu yang
singkat dan menghasilkan jalan keluar dari
permasalahannya.
Berbagai harapan dan tujuan konseli tersebut bukan
sesuatu yang keliru, namun juga tidak seluruhnya dapat
diterima. Pada dasarnya, keberhasilan proses konseling
tidak hanya bergantung pada konselor sebagai expert yang
menanganinya saja, namun justru keberhasilan konseling
juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan pribadi
konseli sendiri.
Proses konseling bukan hanya berkaitan dengan
tujuan konseli, namun juga penting untuk merumuskan
tujuan konselor itu sendiri. Krumboltz dalam Shertzer dan
Stone mengemukakan bahwa tujuan akhir konselor dalam
memberikan layanan konseling adalah agar konseli
86
Dalam Sheldon Eisenberg dan Daniel J. Delaney, The
Counseling Process, (Chicago: Rand McNally Publishing Company,
1977), hlm. 19.
87
Shertzer dan Stone, dalam Andi Mappiare, Op. Cit., hlm. 41.
| 71
mampu mengaktualisasi dirinya (self actualization).88
Dalam praktiknya, konselor memiliki tujuan yang
berbeda-beda sesuai dengan tahapan dan tingkatan
konseling yang dijalaninya. Pada sesi awal misalnya,
tujuan konselor bisa juga hanya terbatas untuk
memberikan kenyamanan atau kelegaan bagi konseli
(tujuan sesaat-jangka pendek). Tujuan jangka pendek
tersebut sangat beragam bergantung pada situasi dan
perbedaan karakteristik konseli yang dihadapinya.
Beberapa ahli membagi tujuan konselor menjadi
beberapa hal yaitu; tujuan sesaat (immediate goal), tujuan
perantara (mediate goal), dan tujuan akhir (ultimate goal).
Sedangkan Pietrofesa (dalam Mappiare)89 membagi tujuan
tersebut menjadi tujuan khusus dan tujuan jangka panjang.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara umum
tujuan konselor adalah untuk membantu konseli dalam
mengembangkan self-actualizationnya, sedangkan tujuan
khusus/jangka pendek sangat beragam dan memiliki
kekhususan sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Berkaitan dengan hubungan konseling yang terjadi
antara konselor dan konseling, terdapat karakteristik
hubungan sebagai berikut: 90
1. Hubungan konseling bermakna bagi konselor dan
konseli, yaitu mengandung harapan terutama bagi
konselor dan bertujuan untuk tercapainya
perkembangan konseli.
2. Bersifat afek. Afek merupakan perilaku-perilaku
emosional, sikap dan kecenderungan yang didorong
oleh emosi. Dalam proses konseling afek seringkali
memegang peranan penting.
3. Integrasi pribadi, karakteristik pribadi dan
kemampuan profesional konselor memegang peranan
88
Shertzer dan Stone, Op. Cit., hlm. 173.
89
Andi Mappiare, Op.Cit, hlm 44-45.
90
Sofyan S Willis, Op. Cit., hlm. 41.
72 |
penting dalam menumbuhkan situasi yang nyaman
selama proses konseling.
4. Persetujuan bersama; konseling didasari pada adanya
kesepakatan bersama antara konseli dan konselor
karena konseling merupakan interaksi kedua pihak
bukan komunikasi searah.
5. Kebutuhan; konseling akan mencapai keberhasilan
jika konseli datang meminta bantuan atas dasar
kebutuhannya.
6. Struktur; perbedaan latar antara konselor dan konseli
memerlukan penataan (struktur) yang sesuai agar
konseling dapat berjalan dengan baik.
7. Kerjasama; untuk mencapai tujuan konseling
diperlukan kerjasama kedua pihak dalam memainkan
tanggung jawab dan perannya masing-masing.
8. Konselor mudah didekati, konseli merasa nyaman.
Konselor hendaknya menunjukkan sikap yang ramah
dan terbuka sehingga konseli merasa dihargai dan
nyaman.
9. Perubahan; konseling bertujuan agar terjadinya
perubahan positif pada diri konseli menuju ke arah
kemandirian dalam hidupnya.
B. Menciptakan Rapport
| 73
Rapport adalah suatu hubungan yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik
menarik.91 Untuk menciptakan rapport tersebut seorang
konselor harus mampu memandang konseling secara utuh
berdasarkan world-view (sudut pandang) konseling.
Konselornya hendaknya mampu memahami berbagai
dimensi lingkungan konseli seperti halnya attitude, needs,
beliefs, values, dan skill yang dimilikinya. Interaksi antara
berbagai dimensi tersebut hendaknya mampu
diharmonisasikan oleh konselor, bukan justru sebaliknya
malah menjadikan kesenjangan antara konselor dan
konseli.
Beberapa teknik yang digunakan untuk menciptakan
rapport antara lain; 92
1. Penyambutan dan pemberian salam yang
menyenangkan.
2. Memulai pembicaraan dengan topik netral yang
sesuai.
3. Menciptakan suasana dan ruangan yang nyaman,
4. Munculnya sikap-sikap seperti; kehangatan emosi,
realisasi tujuan bersama, menjamin kerahasiaan,
kesadaran akan hakikat konseli secara alamiah.
91
Sofyan S. Willis, Op.Cit, hlm 46.
92
Fenti Himmawati, Op. Cit., hlm . 81-82.
93
Ibid, hlm 47.
74 |
tanpa kepura-puraan. Konseling akan dapat merasakan
kehangatan tersebut jika konselor benar-benar mampu
melibatkan dirinya secara penuh dengan ketulusan dan
keakraban yang muncul dari dalam hati dan
menghindarkan diri dari situasi yang formal dan kaku.
2. Empati; konselor berusaha agar dapat merasakan apa
yang konseli alami dan memahami apa yang konseli
rasakan. Empati akan muncul jika konselor benar-
benar mampu masuk ke dalam sudut
pandang/perspektif konseli, bukan melihat
permasalahan dari sudut pandang konselor.
3. Keterlibatan konseli; jika konseli benar-benar merasa
nyaman, maka dia akan bersungguh-sungguh dalam
mengikuti proses konseling, terbuka mengemukakan
pikiran, perasaan, dan pengalamannya dengan senang
hati
| 75
terbuka mencurahkan berbagai perasaan yang
dialaminya.
Berbagai karakteristik yang dimiliki konseli
hendaknya dipahami dan direspon secara baik oleh
konselor. Tidak dapat dihindari bahwa dalam proses
konseling akan terjadi pertemuan dan mungkin
persinggungan antara karakteristik konseli dan
karakteristik konselor. Oleh karena itu konselor
hendaknya mampu menjadikan perbedaan tersebut
sebagai sebuah kekayaan yang khas dalam hubungan
konseli. Sebagaimana disebutkan dalam QS.al-Hujurat
ayat 13 bahwa Allah menciptakan manusia dari
berbagai suku dan ras yang berbeda agar saling
mengenal satu sama lain. Proses konseling merupakan
salah sau bentuk untuk saling mengenal dan
berinteraksi dengan orang lain.
2. Harapan konseli
Harapan merupakan adanya kebutuhan yang ingin
terpenuhi dalam proses konseling. Umumnya, konseli
datang dengan membawa harapan akan memperoleh
informasi, menurunkan kecemasan, dan memperoleh
jalan keluar dari persoalan yang dialami.
Seringkali konseli menaruh harapan terlalu tinggi
terhadap proses konseling, sedangkan kenyataannya
konseling belum tentu memenuhi harapan tersebut.
Terjadinya kesenjangan tersebut (antara harapan
konseli dengan kenyataan yang diterima) seringkali
membuat konseli kecewa dan menganggap bahwa
konseling tidak berhasil dan memutuskan untuk keluar
dari proses tersebut atau tidak melanjutkan pertemuan
berikutnya. Penting bagi konselor untuk mengetahui
secara pasti sumber harapan konseli tersebut.Apakah
harapan itu muncul dalam dirinya sendiri, atau
76 |
harapan tersebut merupakan dorongan dari
lingkungannya.
Langkah awal untuk mengetahui secara mendalam
harapan-harapan tersebut yaitu dengan menumbuhkan
keterbukaan pada diri konseli, sebab tanpa adanya
keterbukaan akan sangat sulit untuk mengetahui
harapan-harapan konseli secara tepat. Pemahaman
tentang harapan-harapan konseli ini sangat penting
untuk membangun hubungan yang harmonis dalam
proses konseling.94
94
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 112-114.
95
Dalam Sofyan Willis, Ibid, hlm. 132-133.
| 77
Merespon pesan utama Menggunakan isyarat
konseli tangan atau yang lain yang
dapat mendukung
Memberi dorongan Jarak yang sesuai antara
minimal konseli dan konselor
Memanggil konseli dengan Ucapan tidak terlalu cepat
nama panggilan yang atau sebaliknya
akrab atau menyesuaikan
dengan budaya setempat
(panggilan yang
mengakrabkan)
Memberikan informasi Duduk agak condong ke
sesuai keadaan arah konseli (untuk
memberikan perhatian)
Menggunakan humor Menggunakan sentuhan
secara tepat untuk yang sesuai (menyesuaikan
menurunkan ketegangan dengan nilai-nilai budaya)
Tidak menilai dan Mimik muka ramah dan
menghakimi konseli senyum
Membuat pemahaman
yang tepat terhadap
pernyataan konseli
Penafsiran yang sesuai
dengan situasi
78 |
Selalu mengarahkan Menggunakan isyarat-isyarat
konseli yang mengacaukan
Bersikap merendahkan Menguap
konseli
Menyimpang dari topic Menutup mata, atau
mengantuk
Sokintelektual Nada suara terlalu tinggi
Analisis yang berlebihan Berbicara terlalu cepat
Bercerita tentang dirinya
sendiri terlalu berlebihan
KONSELOR KONSELOR
NO ATRIBUT NON-EFEKTIF
INTENSIONAL
1 Tujuan helping Berusaha Berusaha
membantu konseli memaksakan
mencapai tujuan- tujuan-
tujuan konseli tujuannya
menurut agenda sendiri
konseli.
2 Pengungkapan Dapat Mungkin tidak
respon mengungkapkan memiliki respon
dan melahirkan atau berpegang
banyak respon teguh pada
bagi berbagai respon tertentu
macam ragam saja.
96
Andi Mappiare, Op. Cit., hlm. 126-128.
| 79
situasi dan
persoalan
3 Wawasan Berpemahaman Kurang
pandang dan bertindak atas memiliki
berbagai wawasan wawasan
pandang pandang atau
bekerja hanya
dalam satu
kerangka kerja
4 Teori-teori Bekerja dalam Bekerja hanya
psikologis sejumlah kerangka pada satu teori
kerja psikologis psikologis;
memahami
secara terbatas
kerangka kerja
yang lain.
5 Intensionalitas Mampu Mampu
budaya mengungkapkan berfungsi pada
pernyataan- satu kerangka
pernyataan verbal budaya
dan non-verbal
dalam jumlah
maksimum untuk
berkomunikasi
dengan orang
dengan berbagai
latar budaya
6 Kerahasiaan Mempertahankan Membicarakan
rahasia konseli kehidupan
konseli dengan
orang lain tanpa
seijin konseli
7 Keterbatasan Mengakui Bertindak tanpa
keterbatasannya mengenali
dan bekerja keterbatasan
dengan supervisi. sendiri dan
Saling bertukar bekerja tanpa
pikiran dalam hal supervisi. Tidak
80 |
teori, konsep, dan mau bertukar
pengalaman pikiran dalam
pribadi dalam kegiatan
interview dengan profesional
konselor lain. dengan orang-
orang lain
8 Penyaringan Berfokus pada Memusatkan
infromasi pemikiran dan perhatian yang
perasaan konseli sungguh-
dan tidak sungguh pada
mengatakan hal- hal yang tidak
hal yang tidak relevan dengan
perlu masalah
konseli.
9 Pengaruh antar Menyadari Kurang
pribadi sejauhmana kesadaran akan
responnya pengaruh
mempengaruhi antarpribadi,
konseli dan sejauh bahkan kurang
mana respon menyadari
konseli bahwa konseli
mempengaruhi berpengaruh
konselor dalam proses
konseling
10 Martabat Memperlakukan Tidak tulus
manusia para konseli dalam
dengan penuh memperlakukan
perhatian, konseli, dan
kepedulian dan kurang
keteladanan perhatian
11 Teori umum Menguasai secara Seringkali
mendalamteori- menggunakan
teori konseling satu teori saja
termasuk teori tanpa pemikiran
baru dan alternatif atau
mengembangkan tidak mampu
secara sistematis memaknakan
teori konseling berbagai teori
| 81
sendiri yang unik . secara
sistematis
Bab VI
Keterampilan Konseling I
(Tahap Permulaan)
82 |
Salah satu kompetensi atau kualitas seorang konselor
profesional adalah penguasaan tentang keterampilan-
keterampilan konseling (sering juga disebut teknik
komunikasi konseling, TKK). Memahami dan menguasai
tentang keterampilan konseling menjadi keharusan bagi
konselor. Sebab dalam proses konseling, teknik yang baik
merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan
konseling. Seorang konselor yang efektif harus mampu
merespon klien dengan teknik yang benar, sesuai dengan
keadaan konseli saat itu. Respon yang baik adalah
pernyataan-pernyataan verbal dan non-verbal yang dapat
menyentuh, merangsang dan mendorong sehingga konseli
terbuka untuk menyatakan dengan bebas perasaan, pikiran
dan pengalamannya
.
A. Tujuan penggunaan keterampilan konseling
Maksud dan tujuan utama menggunakan keterampilan
konseling adalah untuk membantu konseli
mengembangkan keterampilan pribadi dan inner strength
(kekuatan batin) agar mereka menciptakan kebahagiaan di
dalam kehidupannya sendiri dan orang lan. Selain itu,
penggunaan keterampilan tersebut juga dimaksudkan agar
konseli mampu mengembangkan potensi manusianya baik
saat ini ataupun di masa depan.97 Penggunaan
keterampilan konseling menurut Nelson-Jones (2012)
memiliki lima tujuan yang berbeda. Pertama, tujuan
supportive listening; maksudnya, keterampilan yang
bertujuan untuk memberi konseli perasaan dipahami dan
diafirmasi. Pencapaian tujuan ini mengharuskan konselor
memiliki keterampilan untuk mendengarkan (listening),
menyimak, mengambil perspektif konseli dan secara
97
Richard Nelson & Jones, Pengantar Keterampilan Konseling,
Kata dan Tindakan. Terj.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 12.
| 83
sensitif menunjukkan bahwa konseli telah didengarkan
secara akurat dan sungguh-sungguh.
Kedua, tujuan mengelola situasi bermasalah, yaitu
berupaya untuk membantu konseli merasa dalam situasi
yang lebih baik. Seringkali konseli datang dengan
permasalahan yang dia sendiri tidak mengerti akar
problem yang dihadapinya. Maka keterampilan ini
bertujuan untuk menciptakan situasi yang nyaman
sehingga konseli mampu memfokuskan pada
permasalahan yang dihadapinya, bukan berfikir tentang
semua hal yang tidak diinginkannya.
Ketiga, tujuan problem management. Keterampilan
yang bertujuan untuk mengurai berbagai permasalahan
yang dihadapi konseli. Banyak kasus terjadi di mana
konseli datang dengan membawa permasalahan yang
sangat kompleks dan masing-masing memerlukan
pembahasan tersendiri. Pencapaian tujuan ini
mengharuskan konselor untuk menguasai keterampilan
structuring, focussing dan reflection.
Keempat, tujuan mengubah keterampilan-
keterapilan buruk yang menciptakan masalah.
Keterampilan buruk di sini seperti, problematik, defisien,
atau tidak cukup efektif. Asumsinya adalah, permasalahan
muncul akibat karena mengulangi-diri. Maksudnya
adalah, pada waktu yang lalu, konseli mungkin telah
mengulangi defisiensi mind skills (keterampilan pikiran)
dan communication skills (keterampilan komunikasi) atau
action skills (keterampilan bertindak) dan beresiko untuk
mengulanginya lagi. Jadi, masalah bukan terletak pada
presenting problemnya tetapi keterampilan buruk yang
kemudian berlanjut dan berulang.
Kelima, mewujudkan perubahan falsafah hidup.
Dalam hal ini konseli mampu secara kompeten mengelola
berbagai situasi yang bermasalah, mengelolanya, dan
84 |
mengubah problematic skillsnya menjadi falsafah hidup
yang lebih bermakna.98
Kelima tujuan tersebut sesungguhnya dapat dicapai
pada saat konselor menguasai berbagai keterampilan
konseling secara utuh. Dengan pemahamanan yang baik,
konselor mampu merespon berbagai perilaku konseli
secara tepat. Penguasaan TKK yang menyeluruh akan
memudahkan tercapainya tujuan konseling. Penggunaan
teknik yang sesuai juga akan berpengaruh langsung
terhadap kepercayaan dan kepuasan konseli dalam
menjalani sesi konseling.
B. Tahapan Konseling
Pada umumnya, para ahli membagi tahapan konseling
menjadi tiga sesi. Pertama, tahap awal konseling; kedua,
tahap pertengahan (tahapkerja), dan ketiga, tahap akhir
konseling/tahap tindakan.99
Tahap awal bertujuan untuk mendefinisikan
masalah. Pada tahap ini konselor membantu konseli untuk
mendefinisikan permasalahan yang dihadapi. Definisi
dimaksud adalah mengurai perasaan yang dialami,
menelusuri sebab dan akar permasalahan yang dihadapi
serta mengeksplorasi berbagai perasaan lain yang tengah
bergejolak pada diri konseli. Pada tahap ini konselor dapat
menggunakan teknik-teknik; attending, empati, bertanya
memulai pembicaraan, eksplorasi dan refleksi.
Tahap pertengahan merupakan tahap kerja. Pada
tahap ini, definisi masalah mulai jelas, perasaan-perasaan
tidak nyaman konseli juga sudah teridentifikasi, dan
waktunya untuk mulai memikirkan langkah-langkah
alternatif untuk menuju pada tindakan. Teknik yang
digunakan pada tahap ini antara lain; memimpin, fokus,
98
Ibid.,hlm. 12-14.
99
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 50-54.
| 85
mengarahkan, menafsir, memperjelas, konfrontasi,
mendorong, informasi, nasihat, bertanya dan
menyimpulkan sementara.
Tahap akhir merupakan tahap tindakan (action).
Pada tahap ini konseli sudah memiliki gambaran tentang
berbagai alternatif solusi dan pada gilirannya memutuskan
secara mandiri tindakan apa yang akan dilakukan setelah
melalui berbagai pertimbangan kebaikan dan kekurangan
masing-masing. Teknik yang dilakukan pada tahap ini
antara lain; menyimpulkan, mendorong, merencanakan,
menilai (evaluasi) dan mengakhiri sesi.
Pembagian tahap dalam sesi konseling tersebut
bukanlah sesuatu yang kaku. Artinya teknik-teknik yang
digunakan pada masing-masing tahap dapat
dikombinasikan, mengingat variasi yang dihadapi
konselor dalam setiap proses konseling tentunya akan
sangat beragam.
100
Ibid, hlm. 50-51.
3
Paparan tentang teknik-teknik ini disarikan dari berbagai
referensi antara lain; Geldard & Geldard, 2011, Keterampilan Praktik
Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Nelson_Jones, 2012,
Pengantar Keterampilan Konseling, Kata dan Tindakan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar; Sofyan S. Willis, 2007, Konseling Individual, Teori
dan Praktek, Bandung: Alfabeta; Geldard & Gildard, 2008, Membantu
Memecahkan Masalah Orang lain dengan Teknik Konseling,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Ivey &Ivey, 2003,Intentional
86 |
1. Attending
Attending disebut juga perilaku menghampiri klien
yang mencakup komponen kontak mata, bahasa
tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik
dapat; meningkatkan harga diri konseli; menciptakan
suasana yang aman; mempermudah ekspresi perasaan
konseli dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik, meliputi;
Kepala : melakukan anggukan jika setuju
Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
Posisi tubuh : agak condong ke arah konseli, jarak
antara konselor dengan konseli agak dekat, duduk
akrab berhadapan atau berdampingan.
Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan
berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai
isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan
ucapan.
Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu
ucapan konseli hingga selesai, diam (menanti saat
kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan
bicara.
| 87
Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa
ada teknik diam untuk memberi kesempatan
konseli berfikir dan berbicara
Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan
luar.
3. Structuring
Strukturing merupakan teknik yang dipakai
konselor untuk memberikan pembatasan agar proses
konseling berjalan dengan lebih efektif. Teknik ini
bertujuan antara lain; 1) diperolehnya kesamaan
pengharapan realistik dalam konseling; 2)
diperolehnya kesepakatan dari konseli mengenai apa
yang terlibat dalam metode dan tujuan konseling; 3)
dimilikinya kepastian bersama konselor-konseli
102
Dalam hal ini berjabat tangan juga perlu memperhatikan
konteks budaya dan agama. Sekalipun berjabat tangan merupakan
sapaan umum ketika awal perjumpaan, namun dalam kultur dan
ideologi tertentu ada yang tidak membolehkannya.
88 |
tentang keputusan konseli, apakah konseling
diteruskan ataukah tidak.
Ada beberapa jenis structuring;
1) Batasan peran (role limit). Contoh; “Maaf, saya
bukanlah pengambil keputusan dari permasalahan
Anda, saya hanya membantu Anda untuk
memahami persoalan yang Anda hadapi, dan
Andalah yang memutuskan sendiri”
2) Batasan topic (topic limit). Contoh; “Yang Anda
sampaikan tadi, nampaknya ada beberapa
permasalahan yang Anda alami saat ini, sekarang,
mari kita sepakati persoalan mana dulu yang akan
kita bahas”
4) Batasan tindakan (action limit). Contoh; “Saya bisa
memahami kemarahan Anda, tapi maaf ruang
sebelah banyak anak-anak yang sedang belajar,
saya berharap Anda dapat mengendalikan luapan
kemarahan Anda”
5) Batasan waktu (time limit). Contoh: “Mohon maaf
sebelumnya, berhubung satu jam lagi saya ada
acara lain yang tidak bisa saya tinggalkan, kira-
kira dapatkan kita melakukan sesi konseling
selama satu jam, jika belum selesai dapat
dilanjutkan besok pagi. Bagaimana?”
4. Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk
merasakan apa yang dirasakan konseli, merasa dan
berfikir bersama konseli dan bukan untuk atau tentang
konseli. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku
attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk
empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
| 89
a. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya
berusaha memahami perasaan, pikiran dan
keinginan konseli, dengan tujuan agar konseli
dapat terlibat dan terbuka.Contoh ungkapan
empati primer :”Saya dapat merasakan bagaimana
perasaan Anda”. ”Saya dapat memahami pikiran
Anda”. ”Saya mengerti keinginan Anda”.
b. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila
kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran
keinginan serta pengalaman konseli lebih
mendalam dan menyentuh konseli karena
konselor ikut dengan perasaan tersebut.
Keikutsertaan konselor tersebut membuat konseli
tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi
hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran,
pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh
ungkapan empati tingkat tinggi: ”Saya dapat
merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut
terluka dengan pengalaman Anda itu”.103
5. Mengamati (observing)
Mengamati dapat dilakukan bersamaan pada saat
menyapa. Jadilah pengamat yang baik, tariklah
banyak informasi tanpa mengajukan pertanyaan
apapun. Perhatikan cara konseli duduk atau berdiri.
Perilaku non-verbal konseli akan memberikan
informasi tentang bagaimana perasaannya. Perhatikan
juga apa yang ia kenakan dan cara ia mengenakannya.
Dengan begitu, akan diketahui tentang bagaimana
konseli memandang dirinya sendiri dan bagaimana
orang lain memandangnya. Mengamati bukan
bertujuan untuk memberikan penilaian (judgement)
apalagi sampai menimbulkan prasangka, sama sekali
103
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 161-162.
90 |
tidak seperti itu. Mengamati bertujuan agar konselor
memahami tentang pribadi konseli yang sedang
dihadapi sehingga dapat memperlakukannya secara
tepat.
| 91
Contoh: ”Adakah sesuatu yang perlu kita
bicarakan?”
4. Mengalihkan Topik
Pengalihan topik ini diperlukan agar konseli
sungguh-sungguh ingin mendiskusikan masalah
dan kerisauannya. Caranya adalah menggunakan
kata-kata ”jembatan” dan mengembangkan
sebagian isi topik ”netral”.
Contoh: ”Menarik bahwa anda membicarakan
ikhwal waktu, belajar, rumah, teman .... Mana dari
antaranya yang paling penting anda diskusikan
lebih jauh?”
92 |
menghentikan pembicaraan konseli yang melantur
atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Konseli : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi
dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini
belum pernah saya lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat
berapa? ”.
Konseli: ”Sembilan”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Konseli: ”Enam”
9. Menangkap Pesan Utama (Paraphrasing)
Parafrasing adalah teknik untuk menyatakan
kembali esensi atau inti ungkapan konseli dengan
bahasa konselor sendiri yang lebih simpel dan
sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal :
adakah atau nampaknya, dan mengamati
responkonseli terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan
kembali kepada konseli bahwa konselor bersama dia
dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan
konseli; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan
konseli dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah
wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali
persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan
konseli.
Contoh dialog: 104
Konseli : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi
saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa
demikian?”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
104
Ibid, hlm. 164.
| 93
Contoh lain;105
Konseli: ”Kemarin saya terburu-buru ke sana kemari,
rasanya saya tidak punya waktu untuk diri saya
sendiri. Saya pergi dari satu tempat ke tempat yang
lain dan waktu itu, sulit sekali untuk membereskan
segala sesuatunya”
Konselor : ” nampaknya anda sibuk sekali kemarin..”
Contoh dialog :
Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ”
(konseli menghentikan pembicaraan)
Konselor: ” ya…”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor: ” lalu…”
105
Kathrin Geldard and David Geldart, Keterampilan …. hlm. 70.
94 |
Bab VII
Keterampilan Konseling II
(Tahap Pertengahan)
| 95
Tahap pertengahan merupakan tahap kerja. Pada tahap
ini, definisi masalah mulai jelas, perasaan-perasaan tidak
nyaman konseli juga sudah teridentifikasi, dan waktunya
untuk mulai memikirkan langkah-langkah alternatif untuk
menuju pada tindakan. Teknik yang digunakan pada tahap
ini antara lan; refleksi, memfokus, mengarahkan,
menafsirkan, memperjelas, konfrontasi, mendorong,
informasi, nasihat, bertanya dan menyimpulkan
sementara.
Adapun tujuan-tujuan pada tahap pertengahan ini
adalah; 1) menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu,
dan kepedualian konseli lebih dalam, 2) menjaga agar
hubungan konseling selalu terpelihara, 3) menjaga agar
proses konseling sesuai dengan kontrak yang telah
disepakati.106 Berikut ini penjelasan teknik yang
digunakan pada tahap pertengahan;107
A. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan
kembali kepada konseli tentang perasaan, pikiran, dan
106
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 52.
107
Paparan tentang teknik-teknik ini disarikan dari berbagai
referensi antara lain; Geldard & Geldard, 2011, Keterampilan Praktik
Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Nelson_Jones, 2012,
Pengantar Keterampilan Konseling, Kata dan Tindakan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar; Sofyan S. Willis, 2007, Konseling Individual, Teori
dan Praktek, Bandung: Alfabeta; Geldard & Gildard, 2008, Membantu
Memecahkan Masalah Orang lain dengan Teknik Konseling,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Ivey &Ivey, 2003,Intentional
Interviewing and Counseling, Facilitating Client Development in a
Multicultural Society, Australia: Thomson Books Cole; J.M. Lesmana,
2008, Dasar-dasar Konseling, Jakarta: UI Press; Nur Hidayah, 2009,
Teknik Wicara Konseling, Malang: UM.
96 |
pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap
perilaku verbal dan non-verbalnya. Terdapat tiga jenis
refleksi, yaitu :
Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik
untuk dapat memantulkan perasaan konseli
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal
dan non-verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang
Anda rasakan adalah sakit hati yang
mendalam….”
Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan
ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil
pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien. Contoh : ”Tampaknya Anda berfikir
bahwa ibu anda tidak menyayangi anda…”
Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk
memantulkan pengalaman-pengalaman klien
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal
dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya
kejadian itu sungguh sulit Anda lupakan…”
Perlu diperhatikan dalam merefleksikan perasaan,
konselor harus benar-benar memilih jenis kata yang
mengunggapkan tentang keadaan perasaan konseli
secara tepat, sesuai dengan tingkatannya. Tingkatan
ungkapan perasaan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini;108
108
Kathryn Geldard & David Geldard, Keterampilan…hlm. 87.
| 97
Sangat dihargai Dihargai
Sangat
dipentingkan
2 Sangat kuat Kuat Positif
Energik Penuh tekad Yakin
3 Tidak berdaya Lemah Lelah
4 Sangat girang Gembira Senang
5 ??? Disayangi Disukai
Dihormati
6 Optimis ??? Tidak yakin
Percaya diri Ragu
7 Paranoid Curiga Penasaran
8 Dibenci Diasingkan Tidak disukai
9 Bangga Berpuas diri Nyaman
dengan diri
sendiri
10 Terheran-heran Tidak mengerti Tidak yakin
Bingung Ragu
11 Ketakutan Cemas Khawatir
Was-was
12 Merasa nyaman Tenang Acuh tak acuh
13 Cemburu Iri Tidak puas
14 ??? Gembira Senang
15 Ketakutan Cemas Khawatir
16 Sangat cemas dan Tertekan Tidak bahagia
bingung Menderita
17 Bebas dari Merasa aman Baik-baik saja
kecemasan
18 Rapuh ??? Tidak yakin
19 Sangat tidak Tidak senang Kecewa
senang
20 Terhina Malu Merasa bodoh
Sangat malu
21 ??? Sangat letih Letih
22 Tidak toleran Tidak sabaran Tidak tenang
23 Merasa dikhianati Dicurangi Dikelabuhi
24 Gampang meledak Tegang ???
25 Terheran-heran Tertegun Tidak yakin
26 Sangat ngeri Kaget Heran
Sangat takut Terkejut
Tersentak
27 ??? Sangat senang Senang
28 Hancur hatinya Sedih Kecewa
98 |
Terpuruk Menderita Susah
Patah hati Muram
29 Berduka Sangat kaget Kesepian
Sangat bingung
Merasa kosong
30 Sangat kesal Marah ???
Marah sekali Sebel
31 Teraniaya Terancam Disalahkan
Dijahati
Diserang
B. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali
perasaan, pikiran, dan pengalaman konseli. Hal ini
penting dilakukan karena banyak konseli menyimpan
rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu
mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini
memungkinkan konseli untuk bebas berbicara tanpa
rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada
teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik
eksplorasi, yaitu:
| 99
a. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat
menggali perasaan konseli yang tersimpan.
Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa
perasaan bingung yang dimaksudkan ….”
b. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali
ide, pikiran, dan pendapat konseli. Contoh : ”
Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut
ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”.
c. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau
teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman
konseli. Contoh :”Saya terkesan dengan
pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin
memahami lebih jauh tentang pengalaman
tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan
Anda”
C. Memfokuskan (focusing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan
konseli agar memfokuskan pembicaraannya.
Focussing membantu konseli untuk memusatkan
pembicaraan pada hal-hal yang dianggap penting.
Focussing dapat dilakukan pada tiga hal. Pertama,
focus on client; yatu memfokuskan pembicaraan pada
hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran dan perasaan
konseli sendiri.
Kedua, focus on topic, yaitu memfokuskan pada
materi persoalan yang dihadapi konseli. Ketiga, focus
on others; memfokuskan pada hubungan konseli
dengan orang lain yang berhubungan dengan
masalahnya.
Contoh:109
Konseli: ”Saya menjadi agak pesimis dengan kuliah
Saya. Hambatan datang dari sana-sini. Dukungan ibu
109
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 168-169.
100 |
sayalah yang membuatku bertahan. Namun.......saya
kecewa dengan sikap ayah Saya....”
Focus on client; Konselor: ”Saya memahami perasaan
Anda, seberapa jauh anda pesimis?”
Focus on topic; Konelor: ” Apakah yang anda
maksudkan dengan hambatan itu?”
Focus on other; Konselor; ”Dapatkan anda ceritakan
tentang sikap ayah Anda yang membuat Anda
kecewa?”
D. Konfrontasi (confrontation)
Konfrontasi adalah respon verbal konselor untuk
mendeskripsikan kesenjangan-kesenjangan, konflik-
konflik dan pesan-pesan bersilangan atau rancu dalam
pemikiran, perasaan, dan perilaku konseli. Tujuan
konfrontasi adalah mengeksplorasikan cara-cara
pandang baru dalam melihat diri sendiri atau suatu
isu, yang pada akhirnya mengarah pada pemikiran dan
tingkah laku baru; membantu konseli menjadi lebih
menyadari kesenjangan atau ketidakselarasan di
dalam pemikiran, perasaan, dan perilakunya.
Jenis-jenis konfrontasi:
a. Konfrontrasi verbal dan nonverbal
Contoh:
Konseli: ”Saya sudah melupakannya, bagi saya
dia sudah tak berarti apa-apa” (matanya berlinang
air mata)
Konselor: ”Anda mengatakan bahwa sudah
melupakannya tapi nampaknya anda masih sedih.
Sebenarnya apa yang anda rasakan?”
| 101
Konseli: ”Saya sangat membencinya, dia benar-
benar membuat saya kecewa..............dan
seterusnya.......... tapi saya masih merindukannya”
Konselor: ”Tadi anda mengatakan bahwa anda
membencinya, tapi anda juga merindukannya.
Sebenarnya perasaan apa yang anda rasakan saat
ini?”
Tujuan
1. Konseli menyadari bahwa konselor mendengar
secara cermat apa yang dikatakan konseli.
2. Terarahnya pembicaraan pada isu yang penting bagi
konseli.
3. Tergugahnya perhatian konseli pada suatu isu yang
lebih bermanfaat dibicarakan.
4. Diperolehnya informasi lebih lanjut mengenai isu
penting namun kurang jelas diuraikan oleh konseli.
5. Terujinya data yang diverbalisasikan konseli
dengan nada ragu-ragu/tidak konsisten.
102 |
Jenis-jenis
1. Penekanan, aksen (accents).
2. Parafrasa (paraphrase).
Contoh:
Konseli: ”Padahal saya sudah berusaha keras untuk
menyatukan ayah dan ibu, tapi mereka bersikeras
untuk bercerai...”
Konselor: “bercerai?”
F. Interpretasi
Interpretasi adalah pernyataan konselor yang
mengkomunikasikan penjelasan makna, tafsiran
makna, atau dugaan pesan dari sikap dan perilaku
konseli. Tujuannya adalah mengembangkan hubungan
menyehatkan melalui dorongan pengungkapan diri
konseli peningkatan kredibilitas konselor, dan
pengkomunikasian sikap-sikap menyehatkan kepada
konseli; mengenali hubungan sebab-akibat di antara
pesan dan perilaku eksplisit dan implisit konseli;
membantu konseli mengkaji tingkah laku, pemikiran-
pemikiran, dari sudut tinjauan lain dengan penjelasan
lain; memotivasi konseli menggantikan pemikiran
merusak diri atau tingkah laku tidak efektif.
Jenis-jenis interpretasi;
1. Pengecekan informasi
Teknik ini dipakai karena konselor gagal
menangkap secara jelas pesan eksplisit konseli
Contoh:
Konseli :”Saya tahu ..., saya kira ... cara belajar
saya cukup tiap malam saya belajar untuk besok
| 103
... seperti matematika kan perlu banyak berlatih,
sementara saya lemah dalam matematika dan IPA.
Kalau belajar bahasa saya tahu persis ... kapan
sebaiknya belajar matematika yang baik?”
Konselor :”Dari uraian anda seperti itu, apakah
anda bermaksud mengatakan bahwa anda tahu
cara belajar uraian kata dan kurang tahu cara
belajar angka-angka?”
2. Interpretasi tunggal
Klarifikasi makna terhadap satu pesan atau
ungkapan
Contoh: ”Atas ungkapan anda, sepertinya anda
tahu persis belajar ilmu sosial dan belum tahu cara
belajar ilmu eksakta. Benarkah demikian?”
3. Interpretasi ganda
Klarifikasi makna terhadap pesan atau ungkapan
ganda konseli atau lebih kompleks
Contoh: ”Dari uraian dan gerak gerik yang anda
tampakkan agaknya anda berpikir ada peran dosen
sebagai penyebab rendahnya nilai anda semester
lalu, selain kesalahan anda sendiri?”
G. Diam (Silent)
Diam atau keheningan adalah teknik konselor
membiarkan sesi konseling hening untuk jangka
waktu tertentu (5 – 10 detik). Diam bukan berarti
tidak ada komunkasi, tetapi tetap ada, yaitu perilaku
non-verbal sekaligus proses observing. Tujuannya
agar tercipta peluang konseli memutuskan sendiri
bagaimana memulai dan kemudian memikirkan apa
yang akan dibicarakan; meredanya sejumlah perasaan
104 |
atau emosi negatif konseli atas dampak peristiwa yang
baru diungkapkannya; terklarifikasikannya dalam
pemikiran dan perasaan konseli sejumlah informasi
yang memungkinkan konseli memperoleh insight.
Contoh:
Konseli : “Ketika liburan di rumah saya membantu
orang tua kerja di sawah… banyak pekerjaan yang
harus saya selesaikan, maklum orangtua saya petani…
(dst.) sesampainya di kos/kampus saya sering
bingung, tidak tahu materi yang dibahas dosen. Di
ruang kuliah dosen … (dst). Teman-teman dan saya ..
(dst). Begitulah kuliah saya akhir-akhir ini
Konselor: “Hem..hem.. ya, ya”.
Konseli : … (diam)
Konselor: … (diam, keheningan 3 – 5 detik)
Banyak keterangan yang anda ungkapkan dan itu
sungguh menyenangkan saya sebab sangat
memungkinkan terbuka wawasan saya nantinya”.
(teknik reflection of feeling).
H. Reassurance(Pemberian kata jaminan)
Pemberian kata jaminan/ganjaran oleh konselor
pada situasi di mana konseli menunjukkan kemajuan
potensial. Teknik ini merupakan pemberian
penghargaan atas unjuk kerja konseli ke arah
perubahan positif; dan adanya perubahan
kebiasaan/perilaku baru/lebih baik/ potensi.
Tujuan teknik reassurance adalah: 1) bangkitnya
semangat konseli ke arah rencana positif; 2) redanya
keraguan, kecemasan, ketegangan konseli untuk
melaksanakan perilaku baru; 3) menguatnya perilaku
baru, 4) terdorongnya konseli untuk memperluas
| 105
perilaku baru yang berhasil; dan 5) terbebaskannya
konseli dari emosi yg menyakitkan, memalukan, dan
menekan.
Adapun jenis-jenis reassurance adalah;
1) Pemberian dukungan (approval)
Pemberian dukungan dilakukan bilamana
perbuatan konseli jelas-jelas menguntungkan
dirinya.
Misalnya: semula konseli enggan membicarakan
masalah tiba-tiba ia memutuskan utk berbicara
Contoh:
konseli: “Sungguh … tadi saya merasa malu
mengatakannya … tapi baiklah saya akan
menceritakan semuanya …”
Konselor: “Bagus sekali, anda sudah mulai
terbuka”
2) Pembenaran hasil, posdiksi (postdiction)
Posdiksi ini dilakukan karena konselor yakin
bahwa konseli jujur, maka konselor memperkuat
kesan positif dari perilaku baru yang
menguntungkan konseli.Struktur khas yg
menandai bentuk posdiksi adalah kata
kausalitas.Contoh: “setelah …. Maka ….;
“dengan upaya …. Ternyata …”
Contoh:
Konseli : “ Saya memang tergolong boros, hampir
tiap bulan uang kiriman orangtua nyampai 21 hari
karena saya suka belanja yg kurang penting, baru
setelah saya membuat catatan rencana belanja
106 |
saya dapat membatasi diri. Sekarang uang kiriman
orangtua bisa mencukupi sampai akhir bulan.
Konselor: “Atas usaha anda membuat catatan
belanja, kini nyata hasilnya kiriman orangtua
cukup untuk satu bulan”.
3) Pembenaran harapan berhasil (prediction)
Prediksi diberikan ketika klien menyatakan
rencana tindakan yang maju, diramalkan dapat
menguntungkan diri konseli, tapi konseli kurang
yakin keberhasilannya atas rencana itu. Struktur
khas bentuk ini ditandai pernyataan hipotesis.
Misal: seandainya … ada peluang …”; “jika …
maka …”.
Prediksi ditandai dengan kata modalitas, dugaan
atau harapan yang intensitasnya berjenjang,
seperti; pasti, hampir pasti, sangat mungkin, ada
kemungkinan, besar harapan, ada harapan,
Contoh:
Konseli : “Dulu saya belajar sambil tiduran,
sekarang saya sudah bisa belajar di meja belajar
dengan merangkum dan sesekali saya baca lagi
sebelum tidur”.
Konselor : “Kalau cara belajar dengan
merangkum anda laksanakan terus, besar harapan
nilai-nilai pelajaran anda akan lebih baik kelak”.
4) Peyakinan dengan fakta (factual reassurance);
merupakan teknik untuk meyakinkan yang sangat
halus, hanya tersirat, dengan maksud meringankan
perasaan duka konseli dan konseli “tidak sendiri”.
Dengan demikian diharapkan mengurangi rasa
| 107
ragu, takut/cemas menghadapi situasi yang tidak
diharapkannya.
Contoh:
Konseli : “Saya coba ingin berkomunikasi dengan
ayah… tapi orangnya kaku, keras, mau marah saja
.. sehingga saya sangat takut kalau saya
dimarahinya”.
Konselor : “Semua anak yang dididik orangtua
keras mengalami rasa takut untuk mulai bicara,
seperti yang anda alami itu”
108 |
Nasihat yang bersifat mendorong (persuasive advice);
konselor memberikan informasi kelebihan dan
kelemahan, kemudian konseli diberi saran. Contoh:
Konselor :”Memang ada keuntungan bila anda
menikah sebelum kuliah selesai. Keuntungannya anda
merasa tenang, mengurangi beban dosa... Demikian
ada kelemahannya, Anda merasa kurang bisa
konsentrasi belajar, terbebani dari keuangan”.
Nasihat bersifat pertimbangan-penjelasan
(explanatory advice)
Konselor memberi alternatif lain selain pemberian
informasi kelebihan-kelemahan tiap pilihan.
Contoh:
Konselor: “Mas Rangga, tentang menikah sekarang
sebelum selesai kuliah (sarjana), ada pertimbangan
penting (Kelebihan-kelemahan). Dan ada pilihan
tambahan yakni Anda memilih salah satu: (1)
tunangan, (2) Nikah sirri, (3) nikah tuntas (kelebihan-
kelemahan). Saya melihat lebih baik anda memilih
tunangan atau nikah sirri.
J. Rejection.
Yaitu respon verbal konselor melarang konseli
secara tersamar maupun langsung untuk melanjutkan
rencana yang akan membahayakan atau merugikan
fihak lain maupun dirinya sendiri.
Tujuan teknik ini adalah; menghindarkan konseli
dari kemungkinan yang merugikan diri konseli
maupun lingkungan; membuka wawasan konseli atas
beberapa alternatif tindakan yang lebih
menguntungkan; mendorong konseli menempuh
tindakan lain sebagai pengganti tindakannya yang
merugikan.
| 109
Komponen variasi
a. Kata-kata acuan/rujukan (berupa nilai/norma,
hukum, peraturan, pendapat otoritas)
b. Kata inti larangan, atau alternatif tindakan lain
c. Alasan/rasional tindakan
Contoh: “Orangtua anda memiliki pertimbangan
(a)agar anda tetap lajang selagi kuliah (b), karena
mungkin itu lebih mendukung konsentrasi studi anda
(c)”.
Jenis-jenis larangan;
1. Larangan langsung; konselor bertanggungjawab
atas keselamatan konseli dan orang lain terkait
dengan perilaku konseli dan situasinya emergensi.
Karena itu larangan langsung diperlukan bila
rencana perilaku konseli jelas merugikan. Kata
acuannya, singkat dan jelas, Contoh: jangan
Konseli: “Saya betul-betul sakit hati, biar kapok
akan kubunuh dia”.
Konselor: “Jangan! Jangan lakukan itu!
2. Larangan tidak langsung
Konselor menduga tindakan konseli akan
merugikan diri sendiri atau orang lain. Larangan
ini bisa spontan atau penundaan. Larangan
spontan dilakukan konselor tanpa menunggu
selesainya kalimat penjelasan konseli.
Konseli :”Teman saya itu memang jahat, pantas
aku balas kejahatannya dengan santet, …”.
Konselor :”Ajaran agama kita mengharamkan
ilmu hitam itu, apapun motifnya”.
110 |
Larangan penundaan dilakukan konselor sampai
selesainya kalimat konseli.
Konseli :”Yah! daripada membebani pikiran
orangtua, sebaiknya saya berhenti kuliah saja.
Karena penghasilan orangtua tidak mencukupi
untuk biaya kuliah”.
Konselor :”Menurut pandangan saya, anda perlu
mempertimbangkan banyak hal sebelum
memutuskan berhenti kuliah, agar anda tidak
menyesal kemudian”.
L. Memimpin (leading).
| 111
Teknik ini digunakan agar pembicaraan tidak
melantur atau menyimpang pada hal-hal yang tidak
berhubungan dengan masalah yang sedang
dibicarakan. Selain itu teknik ini bertujuan agar arah
pembicaraan lurus dan fokus pada tujuan konseling.
Contoh:
Konseli : “saya mungkin berfikir tentang menjalin
hubungan dengan seseoarng saat ini….. tapi
bagaimana ya?”
Konselor: “saat ini anda sedang memikirkan tentang
keretakan hubungan anda dengan orang tua anda,
apakah menjalin hubungan dengan seseorang menjadi
prioritas anda juga saat ini?”
Contoh:
Konselor: setelah kita berbicara beberapa waktu ini,
dapatkan anda menyimpulkan sementara hasil yang
kita peroleh dalam pembicaraan ini?
112 |
Atau konselor yang melakukan summarizing;
| 113
114 |
Bab VI
Keterampilan Konseling III
(Tahap Akhir)
110
Sofyan S. Willis, Op. Cit., hlm. 53.
111
Teknik-teknik yang dijelaskan pada bab ini dirangkum dari
Thohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),hlm. 314; Nelson_Jones,
Pengantar Keterampilan Konseling, Kata dan Tindakan,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 301-308; Sofyan S. Willis, Konseling
Individual, Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 172-
173; Ivey &Ivey, Intentional Interviewing and Counseling, Facilitating
Client Development in a Multicultural Society, (Australia: Thomson
Books Cole, 2003); Jeanette M. Lesmana, Dasar-dasar Konseling,
(Jakarta: UI Press, 2008); Nur Hidayah, Teknik Wicara Konseling,
(Malang: UM, 2009).
| 115
A. Summary (ringkasan)
Ringkasan adalah teknik merespon oleh konselor
dalam memadukan uraian pernyataan konseli menjadi
satu kesatuan atau keutuhan tema/topik dari sesi-sesi
konseling. Tujuan teknik ini adalah memadukan
unsur-unsur ganda pesan-pesan konseli dapat pula
sebagai alat balikan dengan menyarikan makna pesan
kabur/umum konseli; mengidentifikasi tema atau pola
muncul setelah terungkap sejumlah pesan; mencegah
pembicaraan konseli yang bertele-tele agar
pembicaraan lebih fokus dan memberi arah interview;
menyediakan kesempatan untuk “bernafas”dalam
bagian yang dipandang penting; merangkum hasil-
hasil atau kemajuan yang telah dicapai konseli dan
konselor dalam satu atau lebih sesi.
Jenis-jenis ringkasan:
1. Ringkasan bagian: langsung dan tidak langsung.
Ringkasan dibuat setelah rentang waktu atau durasi
dalam interview untuk memperoleh kejelasan poin
pokok dalam pembicaraan.
Ringkasan bagian langsung, dilakukan seluruhnya
atas prakarsa konselor berdasarkan kejelasan isu
konseli.
116 |
Contoh: “ Di tengah-tengah pertemuan ini, anda
masih ingat agaknya ada tiga keluhan anda yang
penting. Silakan anda sebutkan inti-intinya: (1) …
(2) …, dan (3) ….
B. Merencanakan
| 117
Keterampilan merencanakan adalah kemampuan
konselor membantu konseli merencanakan tindakan
nyata yang produktif bagi kemajuan konseli.
Menjelang sesi akhir dalam wawancara konseling,
konselor harus dapat membantu konseli dalam
membuat rencana berupa program sebagai action
(tindakan) yang akan dilakukan konseli sebagai
bentuk kemajuan yang diperoleh dari hasil konseling.
Rencana yang baik merupakan hasil kerjasama antara
konselor dan konseli.
Contoh:
Konselor : ”sebaiknya Anda mulai menyusun rencana
yang baik berdasarkan pada pembicaraan yang telah
kita lakukan ini” atau ” mari bersama-sama kita susun
rencana tindakan yang akan Anda lakukan setelah
proses konseling ini...”
C. Menilai (mengevaluasi)
Menilai adalah kemampuan konselor untuk
menetapkan batas-batas atau ukuran-ukuran
keberhasilan proses konseling yang telah
dilaksanakan. Konselor mengevaluasi sisi
keberhasilan yang telah diraih dalam proses konseling
dan sisi mana yang belum dicapai atau mengalami
kendala. Hasil evaluasi tersebut sebagai bahan/kajian
untuk melakukan tindak lanjut.
Setiap sesi konseling memiliki kekhasan masing-
masing. Hal ini dikarenakan komunikasi yang terjalin
antara konselor dan konseli selalu berbeda bergantung
pada kondisi dan karakteristik konseli serta faktor lain
yang mempengaruhinya. Dengan demikian
keberhasilan dan kendala yang dihadapipun berbeda.
D. Termination(Pengakhiran)
118 |
Terminasi merupakan respon konselor untuk
mengakhiri interview baik mengakhiri untuk
dilanjutkan pada sesi berikutnya maupun mengakhiri
interview karena konseling betul-betul berakhir
(berhasilnya implementasi strategi, atau hasil-hasil
evaluasi).
Tujuan terminasi adalah memiliki “peta kognitif”
perjalanan konseling, yaitu apa tahap yang dilalui dan
apa tahap konseling mendatang; mencapai
pemahaman antara konselor-konseli apa yang telah
berhasil dicapai bersama dalam konseling;
mengkomunikasikan keperluan penyesuaian konseli
terhadap pengambilan tanggungjawab konseli seusai
konseling; memelihara persepsi pantas konseli tentang
penerimaan dan pemahaman konselor.
Jenis-jenis pengakhiran:
1. Pengakhiran langsung, murni
Menunjuk pada verbalisasi konselor tersurat atau
gamblang dengan menyebutkan akan diakhiri
pertemuan konseling dalam bentuk kalimat
singkat, cukup tegas, dan mengandalkan kaidah
bahasa pragmatik.
| 119
Respon verbal, biasanya ditumpangkan pada
teknik lain, misalnya interpretasi: “Telah banyak
yang anda ungkap membuat anda kelelahan,
apakah anda bermaksud mengakhiri dulu
pertemuan hari ini?”
120 |
seluruhnya selalu digunakan dalam sesi konseling.
Penggunaan masing-masing teknik tergantung pada
kebutuhan, situasi dan kondisi konseling.
Sangat dimungkinkan teknik yang sudah digunakan
pada tahap awal, juga dilakukan pada tahap pertengahan,
atau bahkan tahap akhir. Karena itu dikenal istilah teknik
bervariasi dan berganda.112
Rangkuman teknik komunikasi konseling tahap awal,
pertengahan dan akhir dapat dilihat pada tabel berikut:
112
Maksudnya adalah bisa saja teknik di tahap awal dilakukan
juga pada tahap pertengahan dan tahap akhir seperti: attending, empaty,
bertanya dorongan minimal, dan lain-lain. Selain itu respon konselor
mungkin saja meliputi satu, dua atau bahkan lebih teknik sekaligus.
Misalnya: empati yang barengi dengan attending dan bertanya.
| 121
kepastian bersama
konselor-konseli tentang
keputusan konseli,
apakah konseling
diteruskan ataukah tidak
4 Empati Kemampuan konselor Meningkatkan
untuk merasakan apa kenyamanan dan
yang dirasakan keterbukaan konseli ;
konseli, merasa dan membesarkan
berfikir pengharapan konseli
bersamakonseli. karena merasa dihargai
5 Observing Mengamati konseli Agar konselor memahami
terutama dimensi non- tentang pribadi konseli
verbalnya yang sedang dihadapi
sehingga dapat
memperlakukannya
secara tepat
6 Opening Teknik membuka Meredakan kecemasan
interview sebagai awal konseli sampai pada
upaya-upaya untuk kadar ia mau berbicara;
memudahkan konseli menghindarkan konselor
berbicara. dari ”banyak bicara”;
memperoleh pendengaran
cermat dari yang
dikatakan konseli.
7 Pertanyaan Teknik untuk Agar konseli mau
terbuka memancing konseli mengemukakan apa yang
agar mau berbicara dipikiran dan dirasakan.
mengungkapkan
perasaan, pengalaman
dan pemikirannya.
8 Pertanyaan Teknik untuk mencari Mengumpulkan
tertutup informasi yang informasi;menjernihkan
sifatnya atau memperjelas
terbatas/pendek sesuatu; menghentikan
pembicaraan klien yang
melantur atau
menyimpang jauh
9 Paraphrasing Teknik untuk Untuk mengatakan
menyatakan kembali kembali kepada klien
esensi atau inti bahwa konselor bersama
ungkapan klien dengan dia dan berusaha untuk
bahasa konselor memahami apa yang
122 |
sendiri yang lebih dikatakan klien;
simple dan sederhana mengendapkan apa yang
dikemukakan klien dalam
bentuk ringkasan ;
memberi arah wawancara
konseling; pengecekan
kembali persepsi konselor
tentang apa yang
dikemukakan klien
10 Dorongan Teknik untuk Agar konseli terus
minimal memberikan suatu berbicara dan dapat
dorongan langsung mengarahkan
yang singkat terhadap pembicaraan untuk
apa yang telah mencapai tujuan
dikemukakan klien.
11 Refleksi Teknik untuk Untuk memperoleh
memantulkan kembali pemahaman yang tepat
kepada konseli tentang tentang apa yang
perasaan, pikiran, dan dipikirkan dan dirasakan
pengalaman sebagai konseli; untuk mengecek
hasil pengamatan kembali kesesuaian apa
terhadap perilaku yang ditangkap konselor
verbal dan non dengan apa yang
verbalnya disampaikan konseli
12 Eksplorasi Teknik untuk Mengungkap rahasia
menggali perasaan, yang masih disimpan
pikiran, dan konseli; memdalami apa
pengalaman klien. yang dialami konseli;
memungkinkan konseli
untuk bebas berbicara
tanpa rasa takut, tertekan
dan terancam
13 Focussing Teknik untuk Membantu konseli untuk
mengajak dan memusatkan pembicaraan
mengarahkan konseli pada hal-hal yang
agar memfokuskan dianggap penting
pembicaraannya.
14 Konfrontasi Respon verbal Mengeksplorasikan cara-
konselor untuk cara pandang baru dalam
mendeskripsikan melihat diri sendiri atau
kesenjangan- suatu isu, yang pada
kesenjangan, konflik- akhirnya mengarah pada
konflik dan pesan- pemikiran dan tingkah
| 123
pesan bersilangan atau laku baru; membantu
rancu dalam konseli menjadi lebih
pemikiran, perasaan, menyadari kesenjangan
dan perilaku konseli. atau ketidakselarasan di
dalam pemikiran,
perasaan, dan perilakunya
15 Restatement Mengulang/menyataka Agar konseli menyadari
n kembali pernyataan bahwa konselor
konseli (sebagian/ mendengar secara cermat
keseluruhan) yang apa yang dikatakan
dianggap penting konseli; terarahnya
pembicaraan pada isu
yang penting bagi
konseli; tergugahnya
perhatian konseli pada
suatu isu yang lebih
bermanfaat dibicarakan;
diperolehnya informasi
lebih lanjut mengenai isu
penting namun kurang
jelas diuraikan oleh
konseli; terujinya data
yang diverbalisasikan
konseli dengan nada
ragu-ragu/tidak konsisten
16 Interpretasi Pernyataan konselor Mengembangkan
yang hubungan menyehatkan
mengkomunikasikan melalui dorongan
penjelasan makna, pengungkapan diri
tafsiran makna, atau konseli peningkatan
dugaan pesan dari kredibilitas konselor, dan
sikap dan perilaku pengkomunikasian sikap-
konseli. sikap menyehatkan
kepada konseli;
mengenali hubungan
sebab-akibat di antara
pesan dan perilaku
eksplisit dan implisit
konseli; membantu
konseli mengkaji tingkah
laku, pemikiran-
pemikiran, dari sudut
tinjauan lain dengan
124 |
penjelasan lain;
memotivasi konseli
menggantikan pemikiran
merusak diri atau tingkah
laku tidak efektif
17 Silent Teknik konselor yang Tercipta peluang konseli
membiarkan sesi memutuskan sendiri
konseling hening bagaimana memulai dan
untuk jangka waktu kemudian memikirkan
tertentu (5 – 10 detik). apa yang akan
dibicarakan; meredanya
sejumlah perasaan atau
emosi negatif konseli atas
dampak peristiwa yang
baru diungkapkannya;
terklarifikasikannya
dalam pemikiran dan
perasaan konseli
sejumlah informasi yang
memungkinkan konseli
memperoleh insight
18 Reassurance Pemberian kata Bangkitnya semangat
jaminan/ganjaran oleh konseli ke arah rencana
konselor pada situasi positif; redanya keraguan,
di mana konseli kecemasan, ketegangan
menunjukkan konseli untuk
kemajuan potensial. melaksanakan perilaku
baru; menguatnya
perilaku baru,
terdorongnya konseli
untuk memperluas
perilaku baru yang
berhasil; dan
terbebaskannya konseli
dari emosi yg
menyakitkan,
memalukan, dan menekan
19 Memberi Respon verbal Untuk membantu konseli
nasihat konselor yang merumuskan atau
menunjukkan atau menentukan tindakan
mengisyaratkan apa yang akan dilakukan.
pilihan, rencana, atau
perbuatan, yang
| 125
memiliki peluang
berhasil paling besar
bagi konseli serta
paling selamat bagi
dirinya dan orang lain.
20 Rejection Respon verbal Menghindarkan konseli
konselor melarang dari kemungkinan yang
konseli secara merugikan diri konseli
tersamar maupun maupun lingkungan;
langsung untuk membuka wawasan
melanjutkan rencana konseli atas beberapa
yang akan alternatif tindakan yang
membahayakan atau lebih menguntungkan;
merugikan fihak lain mendorong konseli
maupun dirinya menempuh tindakan lain
sendiri. sebagai pengganti
tindakannya yang
merugikan
21 Giving Teknik yang Memberikan informasi
information digunakan pada saat yang berguna pada
konseli memerlukan konseli; memberikan
informasi tertentu arahan dalam mengambil
yang berkaitan dengan langkah selanjutnya
permasalahan yang
sedang dibahas dalam
proses konseling
22 Leading Teknik untuk Agar arah pembicaraan
mengarahkan agar lurus dan focus pada
pembicaraan tidak tujuan konseling
melantur atau
menyimpang pada hal-
hal yang tidak
berhubungan dengan
masalah yang sedang
dibicarakan.
23 Simpulan Memandu konsleli Mengetahui sejauhmana
sementara untuk memberikan pemahaman konseli
simpulan sementara tentang alur yang sudah
hasil yang sudah dilalui; memberikan
didiskusikan. kesempatan konseli untuk
mengambil kilas balik
atas pembiacaraannya;
menyimpulkan kemajuan
126 |
hasil pembicaraan secara
bertahap; meningkatkan
kualitas diskusi; dan
untuk mempertajam focus
pada wawancara
konseling
24 Ringkasan Teknik merespon oleh Memadukan unsur-unsur
akhir konselor dalam ganda pesan-pesan
memadukan uraian konseli dapat pula
pernyataan konseli sebagai alat balikan
menjadi satu kesatuan melalui menyarikan
atau keutuhan makna pesan
tema/topik dari sesi- kabur/umum konseli;
sesi konseling. mengidentifikasi tema
atau pola muncul setelah
terungkap sejumlah
pesan; mencegah
pembicaraan konseli yang
bertele-tele agar
pembicaraan lebih fokus
dan memberi arah
interview; menyediakan
kesempatan utk
“bernafas”dalam bagian
yang dipandang penting;
merangkum hasil-hasil
atau kemajuan yang telah
dicapai konseli dan
konselor dalam satu atau
lebih sesi.
25 Merencanakan Kemampuan konselor Membantu konseli dalam
membantu konseli membuat rencana berupa
merencanakan program sebagai action
tindakan nyata yang (tindakan) yang akan
produktif bagi dilakukan konseli sebagai
kemajuan konseli bentuk kemajuan yang
diperoleh dari hasil
konseling
26 Mengevaluasi Kemampuan konselor Mengetahui tingkat
untuk menetapkan keberhasilan konseling;
batas-batas atau mengetahui kendala yang
ukuran-ukuran dialami selama sesi
keberhasilan proses konseling.
| 127
konseling yang telah
dilaksanakan
27 Terminasi Respon konselor untuk Memiliki “peta kognitif”
mengakhiri interview perjalanan konseling,
baik mengakhiri untuk yaitu apa tahap yang
dilanjutkan pada sesi dilalui dan apa tahap
berikutnya atau konseling mendatang;
mengakhiri interview mencapai pemahaman
karena konseling antara konselor-konseli
betul-betul berakhir apa yang telah berhasil
dicapai bersama dalam
konseling;
mengkomunikasikan
keperluan penyesuaian
konseli terhadap
pengambilan
tanggungjawab konseli
seusai konseling;
memelihara persepsi
pantas konseli tentang
penerimaan dan
pemahaman konselor
128 |
Bab IX
Implementasi Nilai-nilai
Keislaman dalam Konseling
A. Akhlak Konselor
| 129
Dalam setiap jenis profesi, setiap muslim wajib
menampilkan akhlak mulia. Namun antara satu profesi
dan profesi lain terdapat perbedaan-perbedaan kondisi
yang menghendaki perbedaan perlakuan pula. Sebagai
seorang konselor yang memiliki tugas mulia untuk
membantu oarng lain yang sedang mengalami masalah
sekaligus membantunya untuk menjadi pribadi yang lebih
baik, dipersyaratkan memiliki kriteria akhlak tertentu.
Menurut Bukhari Umar (2010), seorang konselor
dituntut agar memiliki akhlak yang mulia (al-akhlāq al-
karīmah) yang meliputi : (1) keteladanan, (2) kasih
sayang, (3) tawadhu’, (4) sabar dan pemaaf, (5) lemah
lembut, (6) ingin perbaikan, (7) cermat, dan (8)
memahami kondisi konseli, dan (9) memegang amanah.
Penjelasan tentang masing-masing akhlak tersebut sebagai
berikut;113
1. Keteladanan
Sikap keteladanan tersebut disebutkan dan QS.al-
Ahzab: Ayat 21.Keteladanan yang dimaksud dalam
ayat di atas dan keteladanan yang patut digunakan
dalam memberikan bantuan berupa
konseling.Pelaksanaan konseling dalam ajaran Islam
merupakan bagian dari proses pendidikan, dakwah
dan jihad. Semuanya termasuk masalah agama.
Dengan demikian, dalam melaksanakan konseling,
konselor muslim wajib mengikuti Rasulullah SAW.
Dalam mendidik, berdakwah, dan berjihad, Rasulullah
selalu memberikan keteladanan (uswah) yang baik
113
Bukhari Umar, Menggagas Konseling Islami; Syarat-syarat
Konselor, dalam http://bukhariumar59.blogspot.com/2010/12/
menggagas-konseling-islami-syarat.html diunduh 15 Juli 2015.
130 |
kepada para sahabat dan umatnya. Dengan demikian,
setiap konselor muslim harus mampu memberikan
keteladanan kepada konselinya agar bimbingan yang
diberikan dapat diikuti oleh konseli tanpa ragu-ragu.
Berdasarkan ayat dan keterangan di atas dapat
dipahami bahwa seorang konselor muslim itu harus
memiliki keteladanan dengan berbagai aspek akhlak
mulia. Tanpa keteladanan, apalagi bila terang-
terangan konselor memperlihatkan sesuatu yang
kontroversial, konseli akan sulit menerima nasihat dan
saran yang disampaikan oleh konselor.
2. Kasih sayang
Sifat kasih sayang dapat melahirkan sifat pemurah,
tolong menolong, pemaaf, damai, persaudaraan, dan
menghubungkan tali kekeluargaan.Dengan demikian,
sifat kasih sayang memberikan kontribusi positif
kepada konselor dalam melaksanakan tugas
bimbingan dengan baik.Konselor yang memiliki kasih
sayang akan dapat membangun hubungan konseling
yang hangat dan mudah mendapatkan kepercayaan
konseli. Sebaliknya, konselor yang tidak memiliki
kasih sangat akan menyebabkan proses konseling
akan terasa dingin dan kaku.
3. Tawadhu’.
Untuk menjadi seorang konselor, seseorang
dipersiapkan sedemikian rupa dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan.Tanpa melalui pendidikan khusus
konselor, seseorang dapat saja memberikan nasihat
| 131
kepada orang yang membutuhkan. Namun, ia tidak
disebut konselor. Hal ini membuka peluang bagi
seorang konselor itu untuk bersifat sombong. Namun
perlu diingat bahwa sehebat dan seprofesional apa pun
seorang konselor, dalam melaksanakan tugasnya tidak
boleh sombong. Ia harus bersifat tawadhu’.
Sebaliknya, sifat sombong dapat menimbulkan rasa
antipati bagi konseli terhadap konselor. Bila ini
terjadi, proses konseling tidak akan berakhir dengan
hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, setiap
konselor muslim haruslah bersifat tawadhu’ dan
bertawakkal kepada Allah SWT, karena hanya
Allahlah yang berkuasan dan bekehendak atas segala
sesuatu.
132 |
konselinya. Masalah dan problematika yang sedang
dihadapi dapat membuat konseli kehilangan
keseimbangan dalam berbicara, bersikap dan
bertindak. Untuk itu semua sangat diperlukan
kesabaran dan kemaafan konselor. Bahkan, kedua
aspek akhlak ini menjadi syarat suatu proses
konseling Islam.
Apa yang diisyaratkan oleh al-Qur’an di atas
didukung oleh teori-teori konseling modern. Hal itu
dapat dilihat dalam salah satu kode etik konselor
bahwa dalam melaksanakan tugasnya membantu
konseli, kanselor harus memperlihatkan sifat-sifat
sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat
dipercaya, sadar diri dan tidak boleh dogmatis. Di
samping itu, konselor harus jujur, tertib, hormat, dan
percaya pada paham hidup sehat.
Dalam al-Qur’an, kesabaran merupakan salah satu
kriteria orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 177)
dan dapat mengantarkan seseorang kepada
keberuntungan. (QS Ali Imran/3: 200).
5. Ingin perbaikan
Allah berfirman dalam Surat Hud/11: 88; …Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama
aku masih berkesanggupan… Dalam ayat tersebut
tergambar bahwa Syu’aib menginginkan perbaikan
sikap dan perilaku kaumnya. Mereka tidak memiliki
sikap yang benar tentang harta dan mengikuti apa
yang telah disembah oleh orang tua mereka
dulu.Selain itu, perbaikan yang dapat diperoleh dari
proses konseling itu, bukan hanya untuk konseli
| 133
semata, melainkan dapat pula untuk konselor sendiri.
Hal ini terbukti dari proses konseling yang dilakukan
oleh nabi Daud ketika dua orang yang mengaku
bertengkar datang berkonsultasi kepadanya. Dengan
peristiwa ini, Nabi Daud menyadari akan
kelemahannya. Masalah yang diajukan oleh konseli
tersebut adalah masalahnya sendiri, lalu ia bertaubat
kepada Allah. Dalam kasus seperti ini, konselor bukan
hanya memberikan konseling pada konseli, melainkan
juga dirinya sendiri.
6. Lemah lembut
Dalam QS al-Fath/49: 29, Allah menyebutkan sifat-
sifat Rasulullah SAW. dan orang-orang yang beriman,
yaitu di antaranya: tegas terhadap orang kafir, kasih
sayang terhadap sesama muslim, senantiasa beribadah
dalam rangka mengharapkan karunia dan keridaan
Allah. Dalam prakteknya, bukan hanya kepada sesama
muslim, dengan ahli kitab, beliau juga menunjukkan
sifat kasih sayang dengan sikap santun dalam
berkomunikasi.
Jasa pelayanan konselor dibutuhkan oleh konseli yang
memiliki penampilan yang bervariasi.Variasi tersebut
dapat disebabkan oleh karakternya dan dapat pula
karena pengaruh masalah yang dialaminya. Oleh
karena itu, gaya komunikasinya berpotensi
memancing emosi konselor. Di sini perlu diingat oleh
konselor bahwa ia harus bersikap ramah dan lemah
lembut. Bila sebaliknya, ia tidak akan sukses.
7. Cermat
134 |
Konselor perlu mengumpulkan informasi yang benar,
akurat dan lengkap tentang masalah yang dihadapi
oleh konseli.Bila tidak cermat, konselor berpeluang
memberikan terapi/solusi yang salah dan
menimbulkan penyesalan. Dengan kata lain, seorang
konselor harus teliti, hati-hati serta tidak terburu-buru
dalam memberikan bantuan agar hasil yang diperoleh
dalam proses konseling seuai dengan harapan dan
tujuan konseli.
| 135
boleh diketahui oleh publik tanpa menimbulkan
masalah baik dari segi fisik maupun mental dan ada
pula yang memalukan jika diketahui oleh orang
banyak. Dalam hal ini, konselor harus dapat menjaga
rahasia. Bila tidak, orang yang memiliki masalah akan
enggan berkonsultasi dengan konselor, sehingga
proses konseling tidak sampai terjadi, atau hubungan
antara konselor dan konseli dapat terganggu.
Rahasia konseli merupakan amanah bagi konselor.
Konselor tidak boleh memberitahukan kepada orang
yang tidak berhak (berkepentingan). Bila hal itu
dilakukannya berarti konselor melanggar asas
kerahasiaan. Dengan demikian, menceritakan kondisi
konseli yang termasuk kategori ghībah di atas selain
melanggar kode etik profesi konselor juga
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
114
Aunur Rahim Faqih, Op. Cit., hlm. 46 – 53.
136 |
mendalam. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah
hadits; “apabila sesuatu perkara diserahkan kepada orang
yang bukan ahlinya, tunggu sajalah saatnya
(kehancurannya) (H.R. Bukhari).
Kedua; sifat kepribadian yang baik (akhlaqul karimah)
Sifat-sifat yang harus dimiliki konselor Islami yaitu;
1. Shidiq (mencintai dan membenarkan kebenaran)
sebagaimana QS. an-Nisa /4: 105)
2. Amanah (bisa dipercaya), sebagaimana QS. al-
Qashash/28: 26)
3. Tabligh (mau menyampaikan apa yang harus
disampaikan).
4. Fathanah (cerdas, dan berpengetahuan)
5. Mukhlis (ikhlas dalam menjalankan tugas).
Sebagaimana QS. al-Bayyinah/98: 5)
6. Sabar; tidak mudah putus asa, tidak mudah marah dan
mau mendengarkan keluh kesah konseli. Hal ini
sejalan dengan QS. al-Muzammil/73: 10 dan QS. Ali
Imran/3: 159)
7. Tawadhu’ (rendah hati), tidak sombong atas apa yang
dimiliki dan kelebihan yang dipunyai. Sejalan dengan
QS. Luqman/31: 18)
8. Shaleh (mencintai, melakukan, membina, dan
mendorong kebaikan). Sebagaimana janji Allah
kepada orang-oarang yang Shaleh akan dimudahkan
diberikan kekuasaan (kekuatan) dalm QS. an-Nur/24:
55).
9. Adil, mampu mendudukkan persoalan sesuai dengan
proporsi dan kondisinya secara proporsional.
Sebagaimana QS. al-Maidah/5: 8).
10. Mampu mengendalikan diri, maksudnya mampu
menjaga kehormatan dirinya dan juga kehormatan
konseli, serta dapat mengendalikan dirinya secara
baik.
| 137
Ketiga; kemampuan kemasyarakatan
Konselor Islami harus memiliki kemampuan melakukan
hubungan kemanusiaan dan melakukan interaksi sosial
dengan baik, serta memiliki semangat ukhuwah Islamiyah
yang tinggi. Relasi tersebut meliputi hubungan atau
interaksi dengan; konseli, teman sejawat, orang lain, dan
masyarakat di sekitarnya.
Keempat; ketaqwaan kepada Allah
Ketaqwaan merupakan syarat utama yang harus dimiliki
konselor. Sebab ketaqwaan merupakan ukuran kebaikan di
sisi Allah. Sebagaimana Firman Allah dalam
QS.“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah karena ketaqwaannya”.
115
Hamdani Bakran Adz Dzaky, Op. Cit., hlm. 229-332.
138 |
Aspek keilmuan dan skill; konselor harus memiliki
pengetahuan dan keilmuan yang luas tentang manusia,
eksisitensi dan problematikanya baik yang berhubungan
dengan teori umum maupun teori yang bersumber pada al-
Quran dan Hadits. Selain itu juga memiliki
keterampilan/skill khusus yang berhubungan dengan
komunikasi konseling.
| 139
Teknik ini hanya dilakukan dalam hati dengan harapan
dan doa, namun tidak ada upaya dan usaha yang keras
secara konkret sebagaimana yang dilakukan melalui lisan
dan tangan. Oleh karena itu Rasulullah mengatakan bahwa
melakukan perbaikan dan perubahan dalam hati saja
merupakan selemah-lemahnya iman.
Lebih lanjut Adz-Dzaky mengemukakan bahwa teknik
konseling yang ideal adalah melalui kekuatan, keinginan,
serta upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dan
diupayakan secara nyata melalui tindakan. Tujuan
utamanya tiada lain untuk membantu konseli dalam
mencapai perkembangan yang optimal dan melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik.
Ilustrasi tentang integrasi ketrampilan konseling
dengan pendekatan Islam dapat dilihat pada beberapa
contoh berikut:
1. Penerapan teknik penyambutan dengan mengucapkan
salam(asslamu’alaikum) yang hangat kepada konseli
dan membimbingnya ke tempat duduk dengan santun
dan mengajar konseli bersama-sama untuk
mensyukuri nikmat yang diberikan Allah saati ini.
2. Penerapan teknik empati dengan menambahkan
tentang cerita-cerita Rasul atau ulama terdahulu yang
berkaitan dengan masalah yang dialami konseli.
3. Penerapan teknik penguatan (reassurance) dengan
menguatkan mental konseli dengan mengungkapkan
bahawa Allah tidak akan menguji hambaNya di luar
batas kemampuannya sebagaimana yang disebutkan
dalam al Quran.
4. Penerapan teknik nasihat (advice) misalnya memberi
nasihat agar tidak menyerah dan mudah berputus asa
terhadap masalah yang dihadapi sebagaimana
140 |
disebutkan dalam al Quran bahwa orang-oraang yang
berputus asa termasuk orang-orang yang merugi.
5. Penerapan terminasi (pengakhiran) dengan mengajak
konseli selain berusaha juga bertawakkal kepada
Allah dan berdoa dengan segenap hati dan penuh
pengharapan kepada Allah karena sesungguhnya
Allah selalu menjawab doa-doa hambaNya yang
bersungguh-sungguh.
Integrasi penggunaan teknik yang bersifat umum
sebagaimana dijelaskan pada Bab VI, VII, dan VIII –
dengan teknik yang mengandung nilai-nilai agama
merupakan sebuah langkah yang memungkinkan akan
mencapai keberhasilan konseling secara lebih
menyeluruh. Bagaimanapun, dimensi spiritualitas
memiliki peran yang penting dalam diri individu.Adanya
keyakinan tentang adanya kekuatan di luar dirinya yang
berpengaruh terhadap kehidupannya akan menumbuhkan
semangat dan optimism serta harapan untuk kebaikan
hidupnya, bukan hanya terbatas pada kehidupan dunia
namun juga kehidupan akhirat.
| 141
DAFTAR PUSTAKA
142 |
Cottone, R. Rocco, Theories and Paradigms of
Counseling and Psychotherapy, (Boston: Allyn and
Bacon, 1992)
Eisenberg, Sheldon dan Daniel J. Delaney, The
Counseling Process, (Chicago: Rand McNally
Publishing Company, 1977)
Faqih, Aunur Rahim, Bimbingan dan Konseling dalam
Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Freud, Sigmund, Memperkenalkan Psikoanalisa, terj.,
(Jakarta: Gramedia, 1984)
Freud, Sigmund, Pengantar Umum Psikoanalisa, terj.,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2006)
Freud, Sigmund, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terj.
(Jakarta: Gramedia, 1983)
Freud, Sigmund, Tafsir Mimpi, terj. (Yogyakarta: Jendela,
2001)
Geldard, Kathryn & David Geldard, Keterampilan Praktik
Konseling.Terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Geldard, Kathryn & David Gildard, Membantu
Memecahkan Masalah Orang lain dengan Teknik
Konseling.Terj.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
George, Rickey L. & Therese S. Ricky, Theory Methods
and Precess of Counseling Psychotherapy,
(Englewood: Prentice Hall, 1981)
Gladding, Samuel T., A Counseling: a Comprehensive
Profession, 6th Ed. Terj. Konseling; Profesi yang
Menyeluruh, (Jakarta: Indeks, 2012)
Gunarsa, Singguh D., Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1992)
| 143
Hartati, Netty, dkk.,Islam dan Psikologi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
Hidayah, Nur, Teknik Wicara Konseling, (Malang: UM,
2009).
Hidayat, Dede Rahmad, Psikologi Kepribadian dalam
Konseling, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011)
Hikmawati, Fenti, Bimbingan Konseling, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011)
Inskipp, Francesca, Pelatihan Keterampikan Konseling;
Skills Training for Counseling, terj. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012).
Ivey &Ivey, Intentional Interviewing and Counseling,
Facilitating Client Development in a Multicultural
Society, (Australia: Thomson Books Cole, 2003).
Jones, Nelson, Pengantar Keterampilan Konseling, Kata
dan Tindakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Kurnanto, M. Edi, Konseling Kelompok, (Bandung:
Alfabeta, 2013)
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: UMM Press,
2006).
Lesmana, Jeanette Murad, Dasar-dasar Konseling,
(Jakarta: UI Press, 2005)
Mappiare, Andi, Pengantar Konseling dan Psikoterapi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Mashudi, Farid, Psikologi Konseling; Buku Panduan
Lengkap dan Praktis Menerapkan Psiokologi
Konseling, (Yogyakarta: Ircisod, 2012)
144 |
Mu’awanah, Elfi, dan Rifa Hidayah, Bimbingan Konseling
Islami di Sekolah Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009).
Mubarok, Achmad, al Irsyad an Nafsiy Konseling Agama;
Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena Pariwara,
2002).
Musnamar, Thohari dan Tim (Ed.), Dasar-dasar
Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami.
(Yogyakarta : UII Press, 1992).
Narti, Sri, Model Bimbingan Kelompok Berbasis Ajaran
Islam untuk Meningkatkan Konsep Diri Siswa,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2014).
Nelson, Richard & Jones, Pengantar Keterampilan
Konseling, Kata dan Tindakan. Terj. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012)
Okun, Barbara F., Effective Helping: Interviewing and
Counseling Techniques, (California: Brooks/Cole
Publishing Company)
Pietrofesa et. all., Guidance; An Introduction, (Chicago:
Rand McNally College, 1980)
Pihasniwati, Psikologi Konseling; Upaya Integrasi-
Interkoneksi, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)
Sanyata, Sigit, Teori dan Aplikasi Pendekatan
Behavioristik dalam Konseling, dalam Jurnal
Paradigma, No. 14 Th. VII, Juli 2012
Shertzer and Stone, Fundamentals of Guidance, (Boston:
Houghton Mifflin Company, 1981)
| 145
Sugiyo, Manajemen Bimbingan dan KOnseling di
Sekolah, (Semarang: Widya Karya, 2011).
Sukmadinata, Nana S., Bimbingan dan Konseling dalam
Praktek; Mengembangkan Potensi dan Kepribadian
Siswa, (Bandung: Maestro, 2007)
Thohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan
Madrasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Walgito, Bimo, Bimbingan dan Konseling Karir,
(Yogyakarta: Andi, 2005).
Wardati dan Mihamad Jauhar, Implementasi Bimbingan
dan Konseling di Sekolah, (Jakarta: Pustakaraya,
2011).
Willis, Sofyan S., Konseling Individul; Teori dan Praktek,
(Bandung; Alfabeta, 2007)
Yusuf, Syamsu dan Ahmad Juntika Nurihsan, Landasan
Bimbingan dan Konseling, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005)
146 |
| 147
Lampiran;(contoh penerapan teknik komunikasi
konseling)
Konseli Assalamu’alaikum….
148 |
Syukurlah. O ya kemarin kamu jadi
Konselor Topik netral
panitia seminar nasional ya?
| 149
Konseli Ya bu…..saya mengerti.
Dorongan
Konselor Ya………lanjutkan
minimal
150 |
Ya teman kuliah sekaligus teman sekamar
saya di kos-kos-an. Saya tu nggak pernah
akur ma dia. Selalu aja bertengkar, dia
Konseli
selalu aja mau menangnya sendiri, nggak
mau ngalah. Lama-lama kan saya jadi
sebeeeeel banget…. (wajahnya memerah)
Bertanya
Konselor Tidak seperti ini gimana maksudmu?
terbuka
| 151
langsung jadi menyulut pertengkaran?
Konseli Ehm…..
152 |
O…begitu…Ibu mulai bisa mengerti
Bertanya
Konselor permasalahan yang kamu hadapi dengan
tertutup
temenmu, siapa namanya tadi?
| 153
kita kan beda’. Ya gitu-gitu deh Bu,
pokoknya kalo saya ngomong atau cerita
apa gitu, dia selalu menyahut dan
menanggapi seolah-olah dia tahu
segalanya. Yah, memang mungkin dia
lebih tahu, tapi kan dia harus menghargai
orang lain, nggak segitunya ke sya tho
bu…bu….
154 |
dengan dia?
| 155
seperti dirimu, baik dalam berfikir,
bersikap dan berbicara. Nah, kalo sudah
seperti itu, pikiran kamu tentunya akan
lebih posistif. Misalnya seperti ini, ‘biarin
aja lah, memang dia seperti itu, nggak
usah terlalu difikirkan’.
156 |
Baiklah kalo begitu bu, nampaknya kuliah
saya dah mau masuk. Kapan-kapan saya
Konseli curhat lagi ya Bu, karena masih ada satu
masalah lagi yang ingin saya bicarakan
dengan Ibu
| 157
GLOSSARY
Action Limit
Batasan yang dilakukan oleh konselor terhadap
tindakan atau perilaku konseli yang desttruktif
atau mengganggu jalannya konseling.
Advice
Respons verbal konselor yang menunjukkan atau
mengisyaratkan apa pilihan, rencana, atau
perbuatan, yang memiliki peluang berhasil paling
besar bagi konseli serta paling selamat bagi
dirinya dan orang lain.
Aspek Jismiyah
Keseluruhan organ fisik-biologis manusia yang
meliputi system syarat, kelenjar, sel, dan seluruh
organ dalam dan organ luar fisik manusia.
Aspek Nafsiyah
158 |
Keseluruhan daya psikhis manusia yang berupa
pikiran, perasaan, dan kemauan bebas
Assertive Training
Penerapan tingkah laku pada kelompok dengan
sasaran membantu individu dalam
mengembangkan cara-cara berhubungan yang
lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.
Attending
Perilaku menghampiri klien yang mencakup
komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa
lisan.
Aversion Therapy
Teknik mengurangi atau menghilangkan perilaku
yang tidak diinginkan melalui aversi atau
hukuman yang membuat jera.
Competence
Kualifikasi fisik, intelektual, emosional, social,
dan moral yang harus dimiliki seorang
professional.
Decision Making
Kemampuan untuk mengambil keputusan.
Defence Mechanism
Mekanisme pertahanan ego yang berfungsi agar
menghindari ego supaya tidak cidera.
Desensitisasi Sistematis
Merupakan salah satu teknik behaviorisme yang
digunakan untuk menghapus tingkah laku yang
diperkuat secara negative, dan menyertakan
pemunculan tingkah laku yang berlawanan
dengan tingkah laku yang akan dihapus.
Displacement
Pengungkapan dorongan yang menimbulkan
kecemasan pada obyek atau individu yang kurang
berbahaya atau kurang mengancam dibanding
dengan obyek atau individu semula.
| 159
Dorongan Minimal
Teknik untuk memberikan suatu dorongan
langsung yang singkat terhadap apa yang telah
dikemukakan klien.
Ego
Komponen psikologis manusia yang berfingsi
sebagai pelaksana menurut Freud.
Eksplorasi
Teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan
pengalaman klien.
Empati
Konselor merusaha untuk dapat merasakan apa
yang konseli alami dan memahami apa yang
konseli rasakan.
Fiksasi
Menjadi “terpaku” pada tahap perkembangan
yang lebih awal karena melangkah ke tahap
perkembangan selanjutnya dapat menimbulkan
kecemasan.
Flooding
Teknik yang dilakukan dengan memunculkan
stimulus terkondisi secara berulang-ulang tanpa
adanya pemberian penguatan
Focusing
Teknik untuk mengajak dan mengarahkan konseli
agar memfokuskan pembicaraannya.
Helpee
Istilah umum yang merujuk pada seseorang yang
menerima bantuan berupa jasa (dalam
memecahkan masalahnya).
Helper
Istilah umum yang merujuk pada seseorang yang
memberikan bantuan berupa jasa (menyelesaikan
160 |
masalah), misalnya konselor, psikolog, social
worker dan lain-lain.
Helping Profession
Profesi yang berhubungan dengan memberikan
batuan kepada pihak kedua, seperti konselor,
psikolog, social worker dan lain-lain.
Id
Naluri, komponen biologis manusia menurut
Freud.
Interpretasi
Pernyataan konselor yang mengkomunikasikan
penjelasan makna, tafsiran makna, atau dugaan
pesan dari sikap dan perilaku konseli.
Konfrontasi
Respons verbal konselor untuk mendeskripsikan
kesenjangan-kesenjangan, konflik-konflik dan
pesan-pesan bersilangan atau rancu dalam
pemikiran, perasaan, dan perilaku konseli.
Konseli
Seseorang yang memiliki masalah dan menjalani
proses konseling, disebut juga klien atau helpee.
Konseling
Proses bantuan yang diberikan oleh seorang
expert (konselor) kepada konseli (klien) dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
Konselor
Seoarang ahli yang memberikan bantuan kepada
konseli (klien) dalam proses konseling.
Parafrasing
Teknik untuk menyatakan kembali esensi atau inti
ungkapan klien dengan bahasa konselor sendiri
yang lebih simple dan sederhana.
Problem Solving
Kemampuan untuk memecahkan masalah.
| 161
Proyeksi
Pengalihan dorongan, sikap, dan tingkah laku
yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
Rapport
Suatu hubungan yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling
Tarik menarik.
Rasionalisasi
Menciptakan alasan yang “baik” untuk
menghindarkan tindakannya dianggap “salah”.
Reassurance
Pemberian kata jaminan/ganjaran oleh konselor
pada situasi di mana konseli menunjukkan
kemajuan potensial.
Refleksi
Teknik untuk memantulkan kembali kepada klien
tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal
dan non- verbalnya.
Regresi
Melangkah mundur ke fase perkembangan yang
lebih awal karena tuntutan-tuntutan fase
perkembangannya tidak mampu dipenuhi.
Rejection
Respons verbal konselor melarang konseli secara
tersamar maupun langsung untuk melanjutkan
rencana yang akan membahayakan atau
merugikan fihak lain maupun dirinya sendiri.
Restatement
Teknik yang digunakan konselor untuk
mengulang/ menyatakan kembali pernyataan
konseli (sebagian/ keseluruhan) yang dianggap
penting.
Role limit
162 |
Batasan tentang peran masing-masing pihak
(konselor dan konseli).
Self-acceptance
Penerimaan terhadap dirinya dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Self-actualization
Motivasi yang ada pada manusia untuk
mengembangkan semua potensi yang dimilikinya
secara penuh.
Self-understanding
Pemahaman terhadap dirinya, mengetahui siapa
dirinya, apa tujuan hiduap, apa dan mengapa ia
melakukan sesuatu.
Self-awareness
Kesadaran tentang dirinya, merupakan hasil dari
penerimaan diri dan pemahaman diri.
Silent
Teknik konselor membiarkan sesi konseling
hening untuk jangka waktu tertentu (5 – 10 detik).
Struktur
Pemahaman bersama antara konselor dan konseli
mengenai karakteristik, kondisi, prosedur, tujuan
dan sifat konseling.
Sublimasi
Menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau
yang secara sosial lebih dapat diterima terhadap
dorongan-dorongan yang dilakukan.
Super Ego
Komponen sosial dan moral individu yang
berfungsi sebagai penekan (menurut Freud).
Time limit
| 163
Memberikan batasan tentang waktu pelaksanaan
sesi konseling.
World view
Sudut pandang konseli yang dipengaruhi berbagai
hal dalam kehidupannya.
TENTANG PENULIS
164 |
Pendidikan dilalui di MI Mafatihul Ulum
Sunggingan Kudus , MTs dan MA di Banat NU Kudus.
Program sarjana dijalani selama 4 tahun di Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan melanjutkan
program Magister di Prodi Bimbingan dan Konseling
Universitas Negeri Malang, keduanya lulus dengan
predikat cumlaude.
Sejak 2008 mengabdikan diri sebagai dosen tetap di
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang. Saat
ini memegang amanah sebagai Sekretaris Jurusan BPI
(Tahun 2014- sekarang), sebelumnya sempat menjadi Staf
ahli Lembaga Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo
(Tahun 2012-2013). Selain itu juga sebagai pemimpin
redaksi Jurnal SAWWA (Jurnal Studi Jender dan Anak),
dan Redaktur Jurnal Dimas (Pengabdian Masyarakat)
Pusat Pengabdian Masyarakat UIN Walisongo Semarang.
Penelitian yang telah dilakukan, antara lain; 1)
Pengembangan Paket Bimbingan Konseling Pra Nikah
Berbasis Jender untuk Mahasiswa (Upaya Menumbuhkan
Kesadaran Jender), 2) Menggagas Grafologi Islam; Studi
tentang Konsep Pengembangan Kepribadian pada
Lembaga Bimbingan dan Konseling dengan Pendekatan
Tulisan Tangan Arab, 3) Prototipe Pesantren Ramah
Perempuan dan Anak (Studi Kasus di Pesantren Darul
Falah Jekulo Kudus), 4) Pengembangan Media Audio-
Visual Teknik Komunikasi Konseling Berbasis Skill-
Integration untuk Mahasiswa, 5) Pengembangan Media
Audio-Visual Bimbingan dan Konseling Kelompok
Berbasis Unity of Sciences.
| 165