Anda di halaman 1dari 44

Konsep Dasar Terapi

dalam Konseling

Dosen Pengampu :

Miskanik, S.Pd., M.Pd.I,.Kons.

Disusun Oleh :

Kelompok 6

1. Andi Afida Ainun Najmi 201801500472


2. Yeni Lestarina 201801500531
3. Afni Zahra Agustini 201801500567
4. Nadia Salsabila 201801500551
5. Nabilah Mutaalimah 201801500585

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat sehat, bimbingan, dan kekuatan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul “Konsep Dasar Terapi dalam Konseling” ini
ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Konseling Traumatik.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa
hormat dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas
telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
Demi kesempurnaan makalah ini, penulis berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
evaluasi penulis kedepannya.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt penulis berharap, semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin.

Depok, 13 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................................. 3
A. Pengertian Terapi .......................................................................................................... 3
B. Macam-Macam Terapi dalam Konseling ...................................................................... 4
a. Terapi Behavioral...................................................................................................... 4
b. Terapi Realitas. ......................................................................................................... 8
c. Terapi Gestalt .......................................................................................................... 10
d. Terapi Rational-Emotif ........................................................................................... 19
e. Pendekatan Client Centered .................................................................................... 24
f. Terapi Analisis Transaksional................................................................................. 27
C. Keterampilan Dasar dalam Konseling Terapi ............................................................. 29
1. Keterampilan Attending .......................................................................................... 29
2. Keterampilan Mendengarkan .................................................................................. 30
3. Keterampilan Berempati ......................................................................................... 30
4. Keterampilan Refleksi............................................................................................. 30
5. Keterampilan Eksplorasi ......................................................................................... 30
6. Keterampilan Bertanya ........................................................................................... 31
7. Keterampilan Paraphrasing ..................................................................................... 31
8. Keterampilan Memberikan Dorongan Minimal ...................................................... 31
9. Keterampilan Menyimpulkan Sementara ................................................................ 31
10. Keterampilan Memimpin .................................................................................... 31
11. Keterampilan Memfokuskan ............................................................................... 31

ii
12. Keterampilan Melakukan Konfrontasi ................................................................ 32
13. Keterampilan Menjernihkan (Clarifying) ........................................................... 32
14. Keterampilan Memudahkan (Facilitating) .......................................................... 32
15. Keterampilan Mengarahkan (Directing) ............................................................. 32
16. Keterampilan Memberikan Dorongan Minimal .................................................. 32
17. Keterampilan Sailing (Saat Diam) ...................................................................... 32
18. Keterampilan Mengambil Inisiatif ...................................................................... 33
19. Keterampilan Memberi Nasehat ......................................................................... 33
20. Keterampilan Memberi Informasi ....................................................................... 33
21. Keterampilan Menafsirkan atau Interpretasi ....................................................... 33
22. Keterampilan Menyimpulkan ............................................................................. 34
23. Keterampilan Merencanakan .............................................................................. 34
24. Keterampilan Menilai (Mengevaluasi) ............................................................... 34
25. Keterampilan Mengakhiri Konseling .................................................................. 34
D. Fungsi dan Peran Konselor dalam Konseling Traumatik ........................................... 34
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 37
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 37
B. Saran .......................................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 39

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Kondisi trauma biasanya berawal dari keadaan stres yang mendalam

dan berlanjut yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang

mengalaminya. Stres adalah suatu respon/reaksi yang diterima individu dari

rangsangan lingkungan sekitar, baik yang berupa keadaan, peristiwa maupun

pengalaman–pengalaman, yang menjadi beban pikiran terus menerus dan pada

akhirnya bermuara pada trauma. Untuk menanggulangi keberlanjutan trauma

sejak kanak-kanak hingga dewasa, kiranya perlu segera dilakukan upaya

deteksi dini. Bila keadaan trauma dalam jangka panjang, maka itu merupakan

suatu akumulasi dari peristiwa atau pengalaman yang buruk dan memilukan.

Dan, konsekuensinya adalah akan menjadi suatu beban psikologis yang amat

berat dan mempersulit proses penyesuaian diri seseorang, akan menghambat

perkembangan emosi dan sosial siswa dalam berbagai aplikasi perilaku dan

sikap, seperti dalam hal proses belajar mengajar atau pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan siswa lainnya secara luas.

Pengetahuan sekilas itu diharapkan akan menjadi rujukan kita untuk

melakukan konseling pasca trauma. Penanganan kasus traumatik sangat

berbeda dengan kasus-kasus penyakit fisik biasa atau soal kesulitan belajar

siswa. Penanganan kasus traumatik sangat diperlukan sejumlah tenaga

profesional yang berkualifikasi, terlatih, atau berkepribadian yang baik.

1
Demikian juga dalam hal penerapan metode dan pendekatan, harus

berorientasi pada budaya, tradisi, tata nilai dan moralitas sosial penderita

traumatik. Seiring dengan kejadian tersebut konselor sebagai pendidik pada

jalur formal yg bertugas melakukan bimbingan dan konseling di sekolah

bertanggung jawab untuk dapat membantu peserta didik, masyarakat, individu

yg mengalami peristiwa trauma sehingga dapat keluar dari peristiwa trauma.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang

penulis temukan, diantaranya:

1. Apakah yang dimaksud dengan terapi?

2. Apa macam-macam terapi dalam konseling?

3. Bagaimana keterampilan dasar dalam konseling terapi?

4. Apa fungsi dan peran konselor dalam konseling traumatik?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka tujuan dari

penulisan ini antara lain:

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan terapi.

2. Untuk mengetahui macam-macam terapi dalam konseling.

3. Untuk mengetahui keterampilan dasar dalam konseling terapi.

4. Untuk mengetahui fungsi dan peran konselor dalam konseling traumatik.

2
BAB II

LANDASAN TEORI
A. Pengertian Terapi

Terapi adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang

sakit, pengobatan penyakit dan perawatan penyakit. Dalam bidang medis, kata

terapi sinonim dengan kata pengobatan. Menurut kamus lengkap psikologi,

terapi adalah suatu perlakuan dan pengobatan yang ditunjukkan kepada

penyembuhan suatu kondisi patologis (pengetahuan tentang penyakit atau

gangguan).

Terapi juga dapat diartikan sebagai suatu jenis pengobatan penyakit

dengan kekuatan batin atau rohani, bukan pengobatan dengan obat-obatan.

Adapun menurut prof Dr. Singgih D Gunawan, terapi berarti perawatan

terhadap aspek kejiwaan seseorang yang mengalami suatu gagasan, ataupun

penerapan teknik khusus pada penyembuhan penyakit mental dan pada

kesulitan-kesulitan pada penyesuaian diri.

Maka dapat disimpulkan bahwa terapi merupakan usaha pengobatan

yang dilakukan konselor ataupun ahli terhadap klien dengan cara medis

maupun non medis. Dengan terapi, seorang klien dapat berusaha untuk

menyembuhkan penyakit ataupun gangguan yang dialaminya seperti hal

kecemasan, stress ataupun yang lainnya. Terapi memberikan manfaat untuk

menjadikan kedaan individu menjadi lebih baik lagi.

3
Tujuan dari terapi adalah untuk menjadikan keadaan klien lebih baik

lagi, klien dapat mengetahui permasalahan yang dihadapinya,

mengembangkan dirinya, serta dapat mengurangi kecemasan dengan

menggunakan teknik-teknik atau relaksasi. Dalam hal ini, klien harus

memegang teguh atau bersungguh-sungguh mengenai apa yang menjadi

tujuan terapi dalam membantu memulihkan kondisi klien agar terwujudnya

perubahan keadaan pada klien untuk menurunkan tingkat permasalahan yang

muncul pada dirinya.

B. Macam-Macam Terapi dalam Konseling

a. Terapi Behavioral

Pengertian Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam pemahaman

tingkah laku manusia, yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878-

1958), seorang ahli psikologi Amerika sebagai reaksi psikodinamika.

Prespektif behavioral ini berfokus pada peran dari belajar dalam

menjelaskan tingkah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku

menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya di tentukan oleh

aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dikendalikan.

1. Tujuan Konseling Behavioral

Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau

modifikasi perilaku konseli, yang di antaranya :

1) Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar

4
2) Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif

3) Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari

4) Membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang

merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respon-respon yang

baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).

5) Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang

maladaptive, memperkuat serta mempertahankan perilaku yang

diinginkan.

6) Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran

dilakukan bersama antara konseli dan konselor.

2. Tahap-Tahap Konseling Behavioral

1) Tahap penilaian (assessment)

Yaitu tahapan yang mensyaratkan konselor mampu untuk

memahami karakteristik klien beserta permasalahannya secara

utuh (mencakup aktivitas nyata, perasaan, nilai-nilai dan

pemikirannya). Sehubungan dengan hal ini, maka konselor harus

terampil dalam mengumpulkan berbagai informasi/data klien,

instrumen yang digunakan dan sumber data yang valid.

2) Tahap penetapan tujuan (goal setting)

Yaitu antara konselor dan klien menetapkan tujuan konseling

berdasarkan analisis dari berbagai informasi/data. Dalam tahap ini

5
telah disepakati kriteria perubahan tingkah laku yang perlu

dilakukan klien dalam rangka memecahkan masalahnya.

3) Tahap penerapan Teknik (Techniques implementation)

Yaitu penerapan ketrampilan dan teknik-teknik konseling dalam

upaya membantu klien mengatasi masalahnya (merubah

perilakunya). Dalam hal ini disamping harus menguasai konsep

dasar konseling behavior, konselor harus benar-benar mampu

menerapkan berbagai teknik konseling.

4) Tahap evaluasi dan terminasi (Evaluation and Termination)

Yaitu tahapan dimana seorang konselor mengetahui perubahan

perilaku klien sebagai tolok ukur proses konseling berlangsung.

Teriminasi pemberhentian proses konseling yang bertujuan :

a) Menguji apa yang dilakukan klien pada dekade terakhir.

b) Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan

c) Membantu klien mentransfer apa yang dipelajari klien

d) Memberi jalan untuk memantau tingkah laku klien secara

berkelanjutan.

3. Teknik-Teknik Konseling Behavioral

1) Desentisasi sistematik (Systematic desensitization )

Teknik ini dikembangkan oleh Wolpe yang mengatakan bahwa

semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan dan

6
respon terhadap kecemasan dapat dieliminasi dengan menemukan

respon yang antagonistik (keadaan relaksasi).

2) Latihan asertif (assertive training)

Teknik ini menitik beratkan pada kasus yang mengalami kesulitan

dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya

(misalnya: ingin marah tetapi tetap berespon manis). Pelaksanaan

teknik ini ialah dengan role playing (bermain peran).

3) Terapi aversi (Aversion therapy )

Teknik ini bertujuan untuk menghukum perilaku konseli yang

negatif dan memperkuat perilaku yang positif. Hukuman bisa

dengan kejutan listrik. Secara sederhana, anak yang suka

berbohong dihukum dengan member pertunjukan film yang

disenanginya lalu dilistrik tangannya dan film dimatikan.

4) Terapi implosif dan pembanjiran

Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara

berulang-ulang tanpa pemberian penguatan. Teknik pembanjiran

ini tidak menggunakan agen pengkondisian balik maupun

tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus

penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan konselor

berusaha mempertahankan kecemasan klien.

5) Pekerjaan rumah (homework)

7
Teknik ini berbentuk suatu latihan/ tugas rumah bagi klien yang

kurang mampu menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu,

caranya dengan memberikan tugas rumah (untuk satu minggu),

misalnya: tidak menjawab apabila klien dimarahi ibunya atau

bapaknya. Klien menandai hari apa dia yang menjawab, jika

selama seminggu dia tidak menjawab selama lima hari, berarti dia

diberi lagi tugas tambahan sehingga selama tujuh hari tak

menjawab jika dimarahi. Pekerjaan rumah terus diberikan hingga

tujuan konseling yang dikendaki tercapai.

b. Terapi Realitas.

Terapi realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena,

dalam penerapan-penerapan institusional, merupakan tipe pengkondisian

operan yang tidak ketat. Sebab mengapa glasser meraih popularitas adalah

keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi

tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak

berbelit-belit

Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang

dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi Realitas, yang

menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk

membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan”,

dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok,

8
konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, dan perkembangan

masyarakat.

1. Tujuan Konseling Realitas

1) Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya

dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.

2) Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul

segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan

keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.

3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4) Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian

kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-

nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.

5) Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas

kesadaran sendiri.

2. Tahap-Tahap Konseling Realitas

1) Penciptaan hubungan baik

2) Identifikasi keinginan saat ini

3) Identifikasi dan evaluasi tingkah laku saat ini

4) Perencanaan tingkah laku yang bertanggung jawab

5) Terminasi dan Tindak-Lanjut

9
3. Teknik-Teknik Konseling Realitas

1) Terlibat pada permainan peran dengan klien

2) Menggunakan humor

3) Mengonfrontasikan klien dan menolak dalil apapun

4) Membantu klien dengan merumuskan rencana-rencana yang

spesifik bagi Tindakan

5) Bertindak sebagai model dan guru

6) Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi

7) Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak

untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak

realistis;

8) Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan

yang lebih efektif

c. Terapi Gestalt

Terapi gestalt ç Asumsi dasar terapi Gestalt adalah bahwa individu-

individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara

efektif. Terapi Gestalt pada dasarnya noninterpretatif dan sedapat

mungkin, klien menyelenggarakan terapi sendiri. Mereka menciptakan

pernyataan-pernyataannya sendiri, dan menemukan sendiri. Akhirnya,

10
klien didorong untuk langsung mengalami perjuangan disini dan sekarang

terhadap urusan yang tak selesai di masa lampau. Dengan mengalami

konflik-konflik, meskipun hanya membicarakannya, klien lambat laun

bisa memperluas kesadarannya.

1. Tujuan Konseling Gestalt

1) Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi,

memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight

secara penuh.

2) Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya

3) Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada

pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to

himself)

4) Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah

laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah

(unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat

diatasi dengan baik.

2. Tahap-Tahap Konseling Gestalt

Joyce dan sill (2001) mengatakan bahwa proses konseling gestalt

terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tahap-tahap tersebut

yaitu :

1) Tahap pertama (the beginning phase).

11
Konselor menggunakan metode fenomenologi untuk

meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis

mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi

konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi ( personal

Support) dan lingkungannya (Joyce & sill 2001 dalam safari 2005,

p. 84-85)

Secara garis besar proses yang dilalui dalam konseling tahap

pertama adalah:

a) Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container)

untuk proses konseling.

b) Mengembangkan hubungan kolaboratif ( working alliance).

c) Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan

gambaran kepribadiannya dengan menggunakan pendekatan

fenomenologis.

d) Meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab pribadi konseli.

e) Membangun sebuah hubungan yang dialogis.

f) Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.

2) Tahap kedua (clearing the ground)

Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-setrategi

yang lebih spesifik. Konselor mengeksplorasi berbagai introyeksi,

berbagai modifikasi kontak yang dilakukan dan unfinished

business. Disini peran konselor adalah secara berkelanjutan

12
mendorong dan membangkitkan keberanian konseli

mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam

rangka untuk meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi

dan memahami unfinished business.

3) Tahap ketiga ( the existensial encounter)

Pada tahap ini ditandai dengan aktivitas yang dilakukan konseli

dengan mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan

membuat perubahan-perubahan secara signifikan. Tahap ini

merupakan fase tersulit karena pada saat ini konseli menghadapi

kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidakpastian dan ketakutan-

ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. Selain itu, konseli

menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan

kehilangan harapan untuk hidup yang lebih mapan. Pada fase ini

konselor memberikan dukungan dan motivasi berusaha

memberikan keyakinan ketika konseli cemas dan ragu-ragu

menghadapi masalahnya ( joyce & Sill 2001 dalam safari 2002, p.

86-87).

4) Tahap keempat ( integration)

Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisis-krisis

yang dieksplorasi sebelumnya dan mulai mengintegrasikan

keseluruhan diri( self), pengalaman dan emosi-emosinya dalam

perspektif yang baru. Konseli telah mampu menerima

13
ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya serta menerima

tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Tahap ini terdiri dari

beberapa langkah, diantaranya :

a) Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan

pemahaman baru dan insight baru.

b) Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang

memuaskan.

c) Berhubungan dengan masyarakat dan komonitas secara luas.

Menerima ketidak pastian dan kecemasan yang dapat

menghasilkan makna makna baru.

d) Menerima tanggungjawab untuk hidup (joyce & Sill 2001

dalam Safaria 2005, p. 88).

5) Tahap kelima (ending)

Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara

mandiri tanpa supervise konselor. Tahap pengakhiran ditandai

dengan proses-proses sebagai berikut:

a) Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat

hubungan konseling yang telah selesai.

b) Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.

c) Merayakan apa yang telah dicapai.

d) Menerima apa yang belum tercapai.

14
e) Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis dimasa

depan.

f) Membiarkan pergi dan melanjutkan kehidupan ( joyce & Sill

2001 dalam Safaria, p. 89).

3. Teknik-Teknik Konseling Gestalt

1) Pendekatan gestalt terhadap kerja mimpi Seperti halnya

psikoanalisa, dalam konseling gestalt juga digunakan interpretasi

impian. Namun dalam konseling gestalt impian bukanlah sebagai ”

jalam lebar menuju ketidaksadaran” seperti yang diungkapkan oleh

konseling psikoanalisa, tetapi impian adalah ” jalan yang lebar

menuju integrasi diri”. Dengan memahami impian konseli lebih

mungkin memperoleh kasadaran, mengambil tanggungjawab bagi

impian-impiannya, melihat impiannya sebagai bagian dari dirinya,

memiliki perasaaan integrasi yang lebih besar, dan menjadi lebih

sadar tentang pikiran-pikiran dan emosinya yang direfleksikan

dalam impian tersebut.

2) Permainan melebih-lebihkan. Permainan ini meningkatkan

kesadaran atas tanda-tanda dan isyarat-isyarat halus yang dikirim

oleh seseorang melalui bahasa tubuh. Terapis bisa meminta klien

agar mangulang pertanyaan yang telah dicoba dibelokkannya dan

15
setiap mengulang pertanyaan itu diucapkan lebih keras. Sehingga

klien sungguh-sungguh mendengar dan didegar dirinya sendiri

3) Permainan ulangan. Menurut perls, banyak pemikiran kita yang

merupakan pengulangan. Dalam fantasi, lita mengulang-ngulang

peran yang kita anggap masyarakat menghadapkan kita

memainkannya. Pengulangan internal menghabiskan banyak

energi serta acap kali menghambat spontalitas dan kesediaan kita

untuk beresperimen dengan tingkah laku yang baru.

4) Berkeliling. Suatu latihan terapi gestalt di mana klien diminta

untuk berkeliling ke anggota-anggota kelompoknya dan berbicara

sesuatu dengan setiap anggota itu, maksud teknik ini adalah untuk

menghadapi, memberanikan diri, berekspresikan dengan tingkah

laku yang baru, serta tumbuh dan berubah.

5) Permainan Dialog. Teknik ini dilakukan dengan cara klien

dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling

bertentangan, yaitu kecenderungan topdog dan kecenderungan

under dog, misalnya :

a) Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak;

b) Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa

bodoh;

c) Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak

bodoh”

16
d) Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung;

e) Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.

Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt

pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di

mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini

dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.

6) Latihan Saya Bertanggung Jawab. Merupakan teknik yang

dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima

perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu

kepada orang lain.

Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu

pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan

itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.

Misalnya “Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas

kejenuhan itu”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya

bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.

“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan

membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan

yang mungkin selama ini diingkarinya.

17
7) Bermain Proyeksi. Proyeksi artinya memantulkan kepada orang

lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau

menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara

memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-

perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut

yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor

meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal

yang diproyeksikan kepada orang lain.

8) Teknik Pembalikan. Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering

kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan

yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien

untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-

perasaan yang dikeluhkannya. Misalnya : konselor memberi

kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis”

bagi klien pemalu yang berlebihan.

9) Tetap dengan Perasaan. Teknik dapat digunakan untuk klien yang

menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan

atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien

untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang

menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang

tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong

18
klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan

yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam

lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin

dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan

kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya

mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin

dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman

untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya

itu.

d. Terapi Rational-Emotif

Rational Emotive Therapy adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan

asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir

rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia

memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri,

berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang

lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga

memiliki kecenderungan-kecenderungan ocial menghancurkan diri,

menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan

secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan

mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. RET

19
menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara

simultan . larang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-

perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang

spesifik.

1. Tujuan Konseling RET

Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam

Rational Emotive Therapy (RET) yang diarahkan pada satu tujuan

utama, yaitu : “ meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari

klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih

ocial en”. Tujuan psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan

kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih

merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang

dialami oleh mereka

Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan

irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya

adalah makhluk rasional ocial ent sumber ketidakbahagiaannya adalah

irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar

berpikir rasional. Proses terapi, karenanya sebagian besar adalah

proses belajar-mengajar

2. Tahap-Tahap Konseking RET

1) Tahap pertama

20
Konselor berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus

logis kemudian membantu bagaimana dan mengapa klien sampai

pada cara seperti itu, menunjukkan pola hubungan antara pikiran

logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan gangguan

emosi yang di alami nya.

2) Tahap kedua

Menunjukkan kepada klien bahwa jika ia mempertahankan

perilakunya maka ia akan terganggu dengan cara berpikirnya yang

tidak logis inilah yang menyebabkan masih adanya gangguan

sebagaimana yang di rasakan.

3) Tahap ketiga

Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara

berfikir yang tidak logis

4) Tahap keempat

Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba

melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata

3. Teknik-Teknik Konseling RET

1) Teknik-Teknik Emotif (Afektif)

a) Assertive adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan

membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan

21
dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan

yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

b) Bermain peran

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang

menekan (perasaan-perasaan sosial melalui suatu suasana yang

dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara

bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

c) Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model

tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan

menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negative.

2) Teknik-Teknik Behavioristik

a) Reinforcement

Teknik untuk mendorong klien ocial tingkah laku yang lebih

rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal

(reward) ataupun hukuman (punishment). Eknik ini

dimaksudkan untuk membongkar ocial nilai dan keyakinan

yang irrasional pada klien dan menggantinya

dengan sosial nilai yang positif. Dengan memberikan reward

ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan

sosial nilai yang diharapkan kepadanya.

b) Social modelling

22
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada

klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu

model ocial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru),

mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan

menginternalisasikan norma-norma dalam sosial model sosial

dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.

3) Teknik-Teknik Kognitif

a) Home work social ent,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah

untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan

social nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang

diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien

diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan

perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis,

mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk

mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan

latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan

Pelaksanaan home work ocial ent yang diberikan konselor

dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka

dengan konselor.

Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan

sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri

23
serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien

dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

b) Latihan assertive

Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan

tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui

bermain peran, latihan, atau meniru model-model ocial.

Maksud utama teknik latihan asertif adalah :

• mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai

hal yang berhubungan dengan emosinya;

• membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan

hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak

asasi orang lain;

• mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan

kemampuan diri;

• meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-

tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.

e. Pendekatan Client Centered

Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi

terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari

psikoanalisis. Pendekatan client-centered adalah cabang dari terapi

24
humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut

dunia subjektif dan fenomenalnya . Pendekatan client-centered menaruh

kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan

terapi dan klien merupakan katalisator bagi perubahan.

Pendekatan client-centered difokuskan pada kenyataan secara lebih

penuh, yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus

menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya. Pribadi yang

kontruktif yaitu yang bersikap menerima dan empatik yang bertindak

sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien. Suatu cara ada dan sebagai

perjalanan bersama di mana baik terapis maupun klien memperlibatkan

kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

1. Tujuan Client Centered

Tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang

kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang

berfungsi penuh. Guna mencapai terapeutik tersebut, terapis perlu

mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik

topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan

bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang

dimainkan oleh klien menghambatnya untuk tampil utuh dihadapan

orang lain dan, dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing

terhadap dirinya sendiri.

2. Proses Konseling Client-Centered

25
Proses-proses yang terjadi dalam konseling dengan menggunakan

pendekatan Client Centered adalah sebagai berikut :

1) Konseling memusatkan pada pengalaman individual.

2) Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan

memaksimalkan dan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan

perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk

menilai pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan

mendapat tilikan pearasaan yang mengarah pada pertumbuhan.

3) Melalui penerimaan terhadap klien, konselor membantu untuk

menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-pengalaman

sebelunya ke dalam konsep diri.

4) Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri

dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang

penuh.

5) Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk

menumbuhkan hubungan timbal balik.

3. Teknik Konseling Client Centered

Rumusan-rumusan yang lebih dini dari pandangan Rogers tentang

psikoterapi memberi penekanan yang lebih besar pada tekhnik-

tekhnik. Perkembangan pendekatan Client-Centered disetai oleh

peralihan dari penekanan pada teknik-teknik terapeutik kepada

penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap

26
terapis, serta pada hubungan terapeutik. Hubungan terapeutik, yang

selanjutnya menjadi variabel yang sangat penting, tidak identik dengan

apa yang dikatakan atau yang dilakukan oleh terapis. Dalam kerangka

Client-Centered, teknik-tekniknya adalah pengungkapkan dan

pengomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagai

upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal

dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi. Menurut

pandangan pendekatan Client-Centered, penggunaan teknik-teknik

sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasikan hubungan terapis

klien.

f. Terapi Analisis Transaksional

Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang

dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk

digunakan dalam terapi kelompok.AT berbeda dengan sebagian besar

terapi lain dalam arti ia adalah suatu terapi kontraktual dan desisional.

Analisisn Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien

yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arti proses terapi, juga

berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien, dan

menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru.

1. Tujuan Analisis Transaksional

27
Harris (1967, hlm. 82) melihar tujuan AT untuk membantu individu

agar “memiliki kebebasan memilih, kebebasan mengubah keinginan,

kebebasan mengubah respon-respon terhadap stimulus-stimulus yang

lazim maupun yang baru”.

2. Teknik-Teknik Analisis Transaksional

1) Analisis Struktur (Structural Analysis)

Analisis struktur sebagai alat yang dapat membantu klien agar

menjadi sadar atas isi dan fungsi ego orang tua, dewasa, dan anak

yang dimilikinya. Analisis structural membantu klien dalam

mengubah pola-pola yang dirasakan menghambat. Ia juga

membantu dalam menemukan perwakilan ego yang mana menjadi

landasan tingkah lakunya. Dengan hal tersebut maka, klien bisa

memperhitungkan pilihan-pilihannya.

2) Analisis permainan dan ketegangan

Berne (1964, hlm. 48) menjabarkan permainan sebagai “rangkaian

transaksi terselubung komplementer yang terus berlangsung

menuju hasi yang didefinisikan dengan baik dan dapat

diperkirakan” hasil dari kebanyakan permainan adalah perasaan

“tidak enak” yang dialami oleh pemain. Penting bagi terapis untuk

mengamati dan memahami mengapa permainan-permainan

dimainkan, dan skenario-skenario hidup adalah suatu proses yang

penting dalam terapi AT.

28
3) Analisis scenario

Membuka alternatif-alternatif baru yang menjadikan orang bisa

memilih sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa memainkan

permainan-permainan mengumpulkan perasaan-perasaan untuk

membenarkari tindakan tentang yang dilaksanakan menurut plot

skenario. Analisis skenario bisa dilaksanakan dengan

menggunakan suatu daftar skenario yang berkaitan dengan posisi-

posisi hidup, penipuan-penipuan, permainan-permainan yang

kesemuanya merupakan kompunen-komponen fungsional utama

pada scenario kehidupan manusia.

C. Keterampilan Dasar dalam Konseling Terapi

Tahapan Konseling Traumatik:

1. Keterampilan Attending

Merupakan perilaku konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam

bentuk kontak mata, bahasa tubuh dan bahasa lisan

Ciri-ciri attending yang baik:

a. Menganggukkan kepala apabila menyetujui pernyataan klien.

b. Ekspresi wajah tenang, ceria dan senyum.

c. Posisi duduk, tubuh agak condong ke arah klien, jarak dekat,

berhadapan atau berdampingan.

29
d. Variasi isyarat gerakan tangan berubah-ubah untuk menekankan suatu

pembicaraan.

e. Mendengarkan secara aktif, penuh perhatian, menunggu ucapan klien

hingga selesai, diam atau menunggu kesempatan untuk bereaksi.

2. Keterampilan Mendengarkan

Merupakan Kemampuan konselor menyimak atau memperhatikan

penuturan klien selama proses konseling dan menangkap pesan

pembicaraan klien. (Optimalisasi fungsi pendengaran/telinga sangat

penting).

3. Keterampilan Berempati

Merupakan Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan

klien, merasa dan berpikir bersama klien. “Saya memahami perasaan,

pikiran dan keinginanmu”. Empati diawali dengan simpati, yaitu

kemampuan konselor memahami perasaan, pikiran, keinginan danp

engalaman klien. “Saya dapat merasakan apa yang engkau rasakan”.

4. Keterampilan Refleksi

Merupakan Kemampuan konselor untuk memantulkan kembali kepada

klien tentang perasaan, pikiran dan pengalaman klien sebagai hasil dari

pengamatan terhadap perilaku verbal dan non-verbalnya.

5. Keterampilan Eksplorasi

Merupakan Kemampuan konselor untuk menggali perasaan, pikiran dan

pengalaman klien.

30
6. Keterampilan Bertanya

Merupakan Kemampuan konselor untuk mengajukan pertanyaan-

pertanyaan pada sesi konseling (baik pertanyaan terbuka maupun

tertutup).

7. Keterampilan Paraphrasing

Merupakan Kemampuan konselor untuk mengungkapkan kembali apa

yang disampaikan klien dengan bahasa sendiri oleh konselor.

Contoh Paraphrasing : “Adakah yang anda katakan adalah......

8. Keterampilan Memberikan Dorongan Minimal

Memberikan dorongan langsung dan singkat terhadap apa yang telah

dilakukan klien agar klien selalu terlibat dalam pembicaraan.

Contoh : terus..., Oh...., Lantas......, lalu....., dsb.

9. Keterampilan Menyimpulkan Sementara

Menyampaikan kemajuan hasil pembicaraan, mempertajam atau

memperjelas fokus padawawancara konseling serta memberikan

kesempatan kepada klien untuk melakukan feed back (kilas balik) dari

hal-hal yang telah dibicarakan.

10. Keterampilan Memimpin

Memimpin arah pembicaraan agar tujuan konselingdapat tercapai secara

efektif.

11. Keterampilan Memfokuskan

Memusatkan perhatian klien pada pokok pembicaraan.

31
12. Keterampilan Melakukan Konfrontasi

Menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi

(ketidak konsistenan) antara perkataan dengan bahasa tubuh, ide awal

dengan ide berikutnya, dsb.Tujuannya agar klien jujur dan memahami

konflik yangada pada dirinya.

13. Keterampilan Menjernihkan (Clarifying)

Menjernihkan atau memperjelas ucapan-ucapan klien yang samar-samar,

kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya agar klien mengulang

perkataan, menjelaskan kembali.

14. Keterampilan Memudahkan (Facilitating)

Membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan

konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara

bebas.

15. Keterampilan Mengarahkan (Directing)

Mengajak dan mengarahkan klien untuk berpartisipasi secara penuh dalam

proses konseling.

16. Keterampilan Memberikan Dorongan Minimal

Memberikan dorongan langsung dan singkat terhadapapa yang telah

dilakukan klien agar klien selalu terlibat dalam pembicaraan.

Contoh : terus..., Oh...., Lantas......, lalu....., dsb.

17. Keterampilan Sailing (Saat Diam)

32
Dalam proses konseling, diam atau tidak bersuara bisa menjadi teknik

konseling, oleh karena itu, konselor harus bisa memanfaatkan situasi ini.

Keadaan diam, akan membantu konselor :

a. Mendorong klien untuk bicara

b. Membantu klien untuk lebih memahami dirinya

c. Setelah diam, klien dapat mengikuti ekspresi yang membawanya

berpikir dan bangkit dengan tilikanyang mendalam

d. Mengurangi kecepatan wawancara

18. Keterampilan Mengambil Inisiatif

Mengambil inisiatif perlu dilakukan oleh konselor apabila klien kurang

bersemangat untuk berbicara, sering diam dan kurang partisipatif.

19. Keterampilan Memberi Nasehat

Nasehat bisa diberikan kepada klien apabila klien meminta.

20. Keterampilan Memberi Informasi

Informasi yang diberikan harus benar-benardiketahui konselor, kalau tidak

begitu tahu, jangan diinformasikan, upayakan juga klien mencari

informasi sendiri melalui media informasi.

21. Keterampilan Menafsirkan atau Interpretasi

Upaya konselor mengulas pikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan

merujuk kepada teori-teori yang ada. Hal ini untuk memberikan rujukan,

pandangan, pengertian, pemahaman danperubahan perilaku klien dari hasil

rujukan baru tersebut.

33
22. Keterampilan Menyimpulkan

Mengambil inti pokok pembicaraan (wawancara konseling).

23. Keterampilan Merencanakan

Membantu dan bekerjasama dengan klien menyusun program perubahan

dan perbuatan nyata yang produktif.

24. Keterampilan Menilai (Mengevaluasi)

Menetapkan batas-batas atau ukuran-ukuran keberhasilan proses konseling

yang telah dilaksanakan. Selain itu, ditetapkan juga kendala yang menjadi

hambatan, kemudian ditentukan apa tindak lanjutnya.

25. Keterampilan Mengakhiri Konseling

Kemampuan menutup sesi konseling.

Caranya:

a. Mengatakan bahwa waktu konseling akan berakhir

b. Merangkum isi pembicaraan

c. Bersepakat dengan klien tentang pertemuan yangakan datang

d. Menunjukan catatan-catatan singkat tentang hasil pembicaraan

e. Memberikan tugas-tugas tertentu kepada klien

D. Fungsi dan Peran Konselor dalam Konseling Traumatik

Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara

tiba-tiba dan diluar kontrol seseorang, bahkan seringkali membahayakan

kehidupan atau mengancam jiwa. Trauma tak memandang usia, anak kecil,

34
remaja, maupun orang dewasa bisa mengalami trauma. Oleh karena itu,

trauma penting sekali untuk segera ditangani agar individu tersebut dapat

menangani traumanya tersebut agar tidak menganggu atau menghambat

dirinyaa sendiri.

Fungsi Konselor dalam konseling traumatik ini adalah untuk

membantu konseli yang mengalami trauma melalui proses hubungan antar

pribadi sehingga konseli dapat memahami diri sendiri sehubungan dengan

masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya jika

terjadi peristiwa dikemudian hari. Selain itu fungsi dari konselor dalam

konseling traumatik ini adalah untuk membantu klien atau konseli dalam

mengelola emosinya secara benar dan dapat berpikir secara realistis.

Peran konselor konselor adalah sebagai pendidik pada jalur formal

yang bertugas melakukan bimbingan dan konseling di Sekolah, yang

bertanggung jawab untuk dapat membantu peserta didik/ masyarakat/ individu

yang mengalami peristiwa trauma sehingga dapat keluar dari peristiwa

traumanya. Selain itu peran konselor juga mencakup perencanaan,

pelaksanaan, dan sekaligus penilaian. Di dalam konseling traumatik ini, peran

konselor yang lebih aktif dari pada konseli, konselor berusaha untuk :

1. Mengarahkan Konseli

2. Mensugesti

3. Mencari dukungan dari keluarga dan juga kerabat konseli

4. Mengusulkan berbagai perubahan lingkungan untuk konseli

35
5. Melibatkan pihak lain yang lebih kompeten untuk membantu atau

mereferal konseli

6. Meredakan perasaan-perasaan (cemas/ gagal/ bodoh/ putus asa/ tidak

berguna/ malu/ tidak mampu/rasa bersalah) dengan menunjukkan sikap

menerima situasi krisis, menciptakan keseimbangan pribadi dan

penguasaan diri serta tanggungjawab terhadap diri konseli ( agar mampu

menyesuaikan diri dengan situasi yang baru (situasi krisis)

7. Memberikan intervensi langsung dalam upaya mengatasi situasi krisis

8. Memberikan dukungan kadar tinggi kepada konseli

36
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Melihat dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa Dalam

Konseling terapi merupakan usaha pengobatan yang dilakukan konselor

ataupun ahli terhadap klien dengan cara medis maupun non medis. Dengan

terapi, seorang klien dapat berusaha untuk menyembuhkan penyakit ataupun

gangguan yang dialaminya seperti hal kecemasan, stress ataupun yang

lainnya. Terapi memberikan manfaat untuk menjadikan kedaan individu

menjadi lebih baik lagi. Tujuan dari terapi adalah untuk menjadikan keadaan

klien lebih baik lagi, klien dapat mengetahui permasalahan yang dihadapinya,

mengembangkan dirinya, serta dapat mengurangi kecemasan dengan

menggunakan teknik-teknik atau relaksasi. konselor dapat menerapkan terapi

pada klien seperti terapi behavioral, terapi realitas, terapi gestalt, terapi

rational emotif, dll.

B. Saran

Banyak orang yang masih sangat tidak Peka terhadap kesehatan

mental pada diri mereka sendiri terutama pada trauma yang mereka alami.

Mereka alih-alih mengabaikan trauma mereka dengan menghindari nya.

Dengan ini kami sangat berharap agar semakin banyak orang atau individu

yang peduli terhadap kesehatan mental mereka terutama dalam mengentaskan

37
rasa trauma yang mereka alami dengan mendatangi konselor, psikolog atau

tenaga ahli lainnya yang mana agar mereka dapat hidup lebih nyaman lagi

dari sebelumnya yang di hantui rasa takut, cemas, khawatir.

38
DAFTAR PUSTAKA

Suharso dan Ana Retroningsih. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesai.

Semarang: Widya Karya.

J.P Chaplin. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Yan Pramadya Puspa. 2003. Kamus Umum Populer. Semarang: Cv Aneka

Ilmu.

Rusna Mala Dewi. 2007. Terapi Penyimpangan Seksual Lesbian Menurut

Islam. Palembang: UIN Raden Fatah.

Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:

Refika Aditama.

Dahlan, syarifuddin. 2011. Konseling Individu Konsep dan Aplikasi. Bandar

Lampung: AURA

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penaganan

Konflik Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group.

Nurihsan, Juntika Achmad. 2009. Bimbingan dan Konseling Dalam Berbagai

Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama

http://putriamaharani.wordpress.com/2013/04/27/teknik-teknik-dalam-

konseling/

https://www.slideshare.net/esperokajaya/keterampilan-dalam-konseling-

traumatik

39
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBING

AN/196005011986031-

NANDANG_RUSMANA/TEKNIK_DASAR_DAN_APLIKASI_KO

NSELING

http://digilib.uinsgd.ac.id/129/4/4_bab1.pdf

https://srianasihombing.wordpress.com/2015/10/15/konseling-traumatik-2/

40

Anda mungkin juga menyukai