Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2022


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TORTIKOLIS

Disusun Oleh:
Rani Apriliani Sanni
11120201009

Pembimbing:
dr. Khaeruddin, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FAKULTAS KEDOKTERAN

MAKASSAR

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Rani Apriliani Sanni

Stambuk : 111 2020 1009

Judul : Tortikolis

Telah menyelesaikan tugas dan telah mendapat perbaikan. Tugas ini

dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Menyetujui, Makassar, November

2022

Dokter Pendidik Klinik Penulis

dr. Khaeruddin, Sp, THT-KL Rani Apriliani Sanni


KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya maka Refarat ini
dapat diselesaikan. Salam dan salawat semoga selalu tercurah kepada
baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan
kaum yang mengikuti ajaran beliau hingga akhir zaman.

Refarat yang berjudul “Tortikolis” ini disusun sebagai persyaratan


kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Pendidikan Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. Penulis mengucapkan
rasa terima kasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah
diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama
penyusunan tugas ilmiah ini hingga selesai, terkhusus kepada dr.
Khaeruddin, Sp. THT-KL sebagai pembimbing penulis dalam
penyusunan tugas ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna, untuk saran


dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan
penulisan karya ini. Terakhir penulis berharap semoga refarat ini dapat
memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi
pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.

Makassar, November

2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tortikolis berasal dari bahasa Latin, torus berarti bengkok, dan

collum berarti leher. Pada tortikolis terjadi kekakuan leher yang

menimbulkan spasme otot yang secara klinis bermanifestasi sebagai leher

yang bengkok atau terputar. Tortikolis bukan merupakan suatu diagnosis

melainkan kumpulan gejala dengan berbagai gangguan yang

mendasarinya. 1,2

Tortikolis dapat diklasifikasikan men-jadi tortikolis kongenital,

tortikolis didapat, dan tortikolis spasmodik. Bayi dengan kemiringan kepala

ke satu sisi dikategori-kan sebagai tortikolis kongenital. Kekakuan pada

anak sampai dewasa biasanya dikenal sebagai tortikolis didapat,

sedangkan gerakan spasmodik yang intermiten pada otot-otot leher

sampai ke wajah merupakan tortikolis spasmodik. 1,2

Tortikolis muskular kongenital meru-pakan bentuk yang paling

umum dari tortikolis kongenital dengan insiden diperkirakan 4 per 1000


kelahiran dan 1 dari setiap 300 kelahiran hidup. Sebuah penelitian

melaporkan bahwa insiden tortikolis kongenital bervariasi dari 0,3-1,9%.

Tortikolis muskular kongenital lebih banyak ditemukan pada anak

perempuan dibandingkan laki-laki, dan terbanyak terdapat pada sisi

sebelah kanan (75%).1,2

Torticollis atau leher terpelintir (tortum collum) asal Italia "torti colli"

adalah sikap ganas dari kepala dan leher, biasanya muncul dengan

kemiringan dan rotasi yang tidak normal. Mungkin ada beberapa posisi

presentasi, termasuk fleksi, ekstensi, miring kanan atau kiri. Ini memiliki

nama seperti tortikolis horizontal, vertikal, miring, atau torsi. 1,2

Tortikolis adalah diagnosis umum, dan diperkirakan 90% orang

akan menunjukkan setidaknya satu episode tortikolis sepanjang hidup

mereka. Tortikolis mungkin jinak (tortikolis kongenital) tetapi mungkin juga

karena penyebab serius seperti cedera otak. Kasus yang paling sering

dan umum tampaknya terkait dengan disfungsi mekanisme neuromuskular

lokal (dystonia fokal). Distonia serviks adalah salah satu distonia fokal

yang paling umum pada orang dewasa, menyebabkan kontraksi tetanus

pada otot sternokleidomastoid dan/atau trapezius. Tergantung pada otot

yang terkena, bentuk leher akan berbeda. Perlu dicatat bahwa perubahan

lain pada posisi kepala dan leher belum tentu tortikolis. 1,2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFENISI

Tortikolis dari bahasa latin, torus yang berarti bengkok dan collum

berarti leher, tortikolis merupakan kekakuan leher yang menimbukan

spasme otot yang secara klinis bermanifestasi sebagai leher yang

bengkok atau terputar. Kondisi di mana kepala berada pada posisi miring,

dengan dagu menunjuk ke salah satu bahu, sedangkan kepala miring ke


1,2
arah bahu yang berlawanan juga disebut rotasi leher.

Tortikolis muskular kongenital adalah keadaan dimana terjadi

kontraksi otot-otot leher yang menyebabkan kepala turn and tilt ke satu

sisi dan dagu mengarah ke sisi yang berlawanan, yang didapat sejak lahir.

Menurut Freed dan Collen, deformitas postural yang terdeteksi saat

kelahiran atau segera setelah lahir terjadi akibat pemendekan dan fibrosis

dari salah satu otot sternocleidomastoid. 1,2


Tortikolis ada beberapa macam nya: kongenital, didapat dan

spasmodik, bayi dengan kemiringin kepala dengan satu sisi dikategorikan

sebagai tortikolis kongenital, pada anak sampai dewasa di kategorikan

sebagai tortikolis didapat, sedangkan gerakan spasmodik yang intermiten

pada otot-otot leher sampai wajah di kategorikan sebagai tortikolis

spasmodic. 1,2

Tortikolis (wryneck) adalah suatu kondisi di mana kepala berada

pada posisi miring, dengan dagu menunjuk ke salah satu bahu,

sedangkan kepala miring ke arah bahu yang berlawanan; juga disebut

rotasi leher. Tortikolis muskular kongenital adalah keadaan dimana terjadi

kontraksi otot-otot leher yang menyebab-kan kepala turn and tilt ke satu

sisi dan dagu mengarah ke sisi yang berlawanan, yang didapat sejak lahir.

Menurut Freed dan Collen, deformitas postural yang terdeteksi saat

kelahiran atau segera setelah lahir terjadi akibat pemendekan dan fibrosis

dari salah satu otot sternokleidomastoid. 1,2

Secara anatomi, otot sternokleido-mastoid terletak sangat

superfisial pada samping kiri kanan leher bagian depan. Kedua otot ini

akan terlihat berkontraksi bersamaan pada posisi terlentang dengan

mengangkat kepala ke atas. Untuk menge-tahui gangguan satu sisi, dapat

diberikan tahanan pada saat mengadakan gerakan memutar kepala. Otot

ini akan berfungsi sebagai fleksor kepala bila bekerja serentak, dan

sebagai lateral fleksor dan rotator bila bekerja satu sisi. 1,2
2.2. EPIDEMIOLOGI

Data statistik di Indonesia menunjukkan 1 dari 300 bayi lahir

dengan tortikolis otot bawaan. Kelainan ini lebih sering terjadi pada anak

pertama. Tortikolis terjadi pada 0,4 % dari seluruh kelahiran. Sedangkan

untuk noncongenital muscular torticollis, rata-rata terjadi pada usia 40

tahun. Perempuan lebih sering terkena dengan perbadingan 2 : 1

dibandingkan laki-laki. Tortikolis muskular kongenital bisa ditemukan

ringan sampai berat. Umumnya tortikolis ini berkembang secara progresif

lambat dalam 1-5 tahun, kemudian menetap seumur hidup sehingga

menyebabkan gerakan kepala dan leher terbatas yang dapat

memengaruhi postur.3,4

Tortikolis terjadi 10 hingga 20% pasca trauma; sisanya idiopatik.

Torticollis, dengan beberapa elemen rotasi, adalah jenis yang paling

umum. Setelah tortikolis rotasi, muncul laterocollis, kemudian retrocollis,

dengan anterocollis menjadi jenis yang paling langka. Predileksi antara

wanita dan pria adalah 2 banding 1. Timbulnya distonia serviks idiopatik


biasanya terjadi pada kelompok usia 30 hingga 50 tahun. Tortikolis otot

bawaan muncul pada kurang dari 0,4% bayi baru lahir. 3,4

2.3. ETIOLOGI

Penyebab tortikolis yaitu pemendekan otot sternocleidomastoideus

(SCM) karena terjadi fibrosis. Etiologi tortikolis pasti belum diketahui

(idiopatik) namun beberapa dapat disebabkan karena : Kongenital <2%

terjadi trauma pada jaringan lunak leher sebelum maupun selama

persalinan. Didapat (Acquired) dapat terjadi pada bayi maupun dewasa

akibat trauma benda tumpul pada kepala dan leher, atau karena

kebiasaan posisi salah saat tidur. Dapat terjadi karena efek

ekstrapiramidal dari obat-obatan, seperti metoclopramide, phenytoin,

carbamazepine. Etiologi tortikolis beragam. Ini dapat terkait dengan

penyakit kompleks dan/atau serius. Torticollis mengklasifikasikan menjadi

beberapa jenis1,4,5:

1. Tortikolis kongenital: Selama kehamilan atau kelahiran, trauma

dapat terjadi yang menyebabkan edema pada otot, yang dapat

menyebabkan fibrosis kongenital otot sternokleidomastoid,

menyebabkan pemendekan serat otot ini.

2. Nyeri dermatogenik: Ketika ada luka pada kulit leher, dan

memendek, hal ini dapat menyebabkan keterbatasan dalam

bergerak, biasanya terjadi pada kasus luka bakar atau bekas luka.
3. Tortikolis okular: Ini mengacu pada kelumpuhan otot yang terlibat

dengan kemiringan dan rotasi kepala (kompensasi) dari keterlibatan

otot ekstraokular miring.

4. Tortikolis reumatologis: Varian ini merupakan akibat sekunder dari

berbagai penyakit reumatologis.

5. Torcicolo vestibular: Telinga bagian dalam bertanggung jawab atas

keseimbangan, melibatkan labirin telinga bagian dalam.

6. Penyiksaan neurogenik: Ini hasil dari gangguan neurologis atau

kecelakaan, seperti stroke atau trauma.

7. Torticollis spasmodik (dystonia): ini adalah penyebab paling umum

dari kekakuan leher. Jenis ini dihasilkan dari peningkatan tonus

otot. Faktor pemicu yang paling umum termasuk stres emosional,

kelebihan fisik, atau gerakan tiba-tiba.

8. Model eksperimental tortikolis menunjukkan bahwa tortikolis dapat

disebabkan oleh faktor lokal dan gangguan sistem saraf pusat.

2.4. PATOFISIOLOGI

Tortikolis kongenital, posisi pada saat di dalam rahim dimana aliran

darah balik pada M. Sternocleidomastoideus teregang, robek dan terjadi

perdarahan sehingga vaskularisasi otot menjadi berkurang berakibat otot

rusak dan digantikan oleh jaringan jaringan ikat. Persalinan sulit seperti

sungsang dimana otot leher M. sternocleidomastoideus teregang, robek

dan terjadi perdarahan. Pada saat penyembuhan terbentuk jaringan ikat

fibrosis disertai pemendekan otot. 1,6,7


Penyebab tortikolis didapat tergantung dari penyakit yang

mendasarinya. Leher mengalami spasme yang persisten mengakibatkan

inflamasi, pada tortikolis akut bisa disebabkan karena trauma benda

tumpul pada kepala atau leher dan kesalahan posisi saat tidur. Tortikolis

akut dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari sampai


1,6,7
minggu atau penghentian obat yang menyebabkan tortikolis.

Trauma minor, pasca operasi faring, dan infeksi saluran napas

bagian atas dapat menyebabkan tortikolis akut, hal ini diduga dipicu

karena edema retropharyngeal menyebabkan kelemahan ligamen dan

struktur di tingkat atlantoaxial. 1,6,7

2.5. MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinis dari tortikolis adalah kepala miring ke satu sisi yang

sakit, nyeri kepala satu sisi, leher tidak seimbang dan pendek bagian

fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis

bahu membentuk sudut (normalnya sejajar). Gejala pada bayi terdapat

riwayat kelahiran yang sulit, perkembangan muka menjadi asimetris. Bayi

juga mengalami kelainan perkembangan motorik, seperti susah telungkup,

susah duduk, susah merangkak dan cenderung malas berjalan. 1,8,9

Para klinisi harus melakukan baik sejarah rinci dan metodis,

pemeriksaan klinis menyeluruh untuk mendiagnosis tortikolis dan

membantu untuk menentukan rencana pengelolaan. Dalam meninjau


riwayat penyakit saat ini, mengidentifikasi karakteristik tortikolis sangat

penting untuk menentukan etiologi. Aspek penting meliputi 1,8,9 :

1. Gejala yang berhubungan dengan tortikolis (muntah, demam atau

tanda-tanda infeksi, gangguan gaya berjalan, masalah

keseimbangan, sakit kepala terkait, dan perubahan penglihatan)

2. Keadaan emosional

3. Konteks pribadi dan keluarga ketika tortikolis terjadi pada periode

neonatal (rincian kelahiran, perjalanan periode neonatal, patologi

yang diketahui seperti perubahan kromosom, penyakit sistemik,

malformasi viseral atau skeletal, fibrosis otot, strabismus

4. Durasi akut atau kronis

5. Kondisi medis patologis terkait yang mendasari

6. Gejala permanen versus sementara atau paroksismal

7. Perubahan terbaru dalam pengobatan

8. Usia awitan episode awal

9. Usia timbulnya tortikolis memungkinkan untuk segera membedakan

antara tortikolis kongenital (hadir saat lahir atau selama periode

neonatal) dari tortikolis didapat, yang akan muncul di kemudian

hari.

10. Peristiwa yang mengarah ke episode tortikolis (seperti trauma baru-

baru ini)

11. Menentukan apakah tortikolis menyakitkan atau tidak menyakitkan

sangat penting
12. Nyeri yang ada mungkin tulang, pusat, otot, atau dari radiasi

sebelumnya

13. Pemeriksaan fisik juga penting dalam mendiagnosis tortikolis. Area

fokus meliputi : Postur pasien, Kemiringan kepala konstan atau

terputus-putus, Adanya pembatasan gerakan serta faktor-faktor

yang meringankan, Nyeri tulang atau otot pada palpasi

Diagnosis tortikolis secara langsung dalam bentuk tipikal dengan

kemiringan lateral dan rotasi leher kontralateral, tetapi jika pasien

menunjukkan imobilisasi tulang belakang oleh EMS, bentuk kepala yang

kaku, inklinasi atau rotasi kepala dapat diisolasi. Bentuk tortikolis sedang

dan berat biasanya terlihat dari pemeriksaan fisik. Jika tidak diobati pada

anak-anak, tortikolis persisten tidak sedap dipandang, tidak nyaman, dan

berpotensi merusak tulang belakang leher dan perkembangan wajah . 1,8,9

Gambar 1. Seorang anak dengan Torticollis.


Gambar 4. Torticolis pada congenital.

2.6. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis pada tortikolis berdarkan anamnesis,

pemerksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis mengenai

keluhan seperti kepala miring ke satu sisi, nyeri kearah satu sisi kepala.

Anamnesis fakor resiko seperti iskemik otot Sternocleidomastoideus

karena posisi yang menyimpang, trauma saat melahirkan misalnya karena

traksi kepala berlebihan, riwayat kelahiran sungsang, kebiasaan posisi

leher yang salah, minum obat yang memberi efek estrapiramidal. Hasil

pemeriksaan fisik seperti: posisi kepala miring, letak telinga dan leher sisi

yang sakit berdekatan, adanya benjolan pada leher yang terkena, tidak

nyeri. 10,11

Untuk pemeriksaan penunjang dapat dengan USG leher atau MRI

leher. Presentasi klinis dan pemeriksaan fisik memungkinkan diagnosis

pada kebanyakan kasus tortikolis. Indikasi untuk pencitraan harus

individual, yang dianggap tepat. Pemeriksaan diagnostik meliputi

radiografi (X-ray), computed tomography (CT), pencitraan ultrasound, dan


analisis laboratorium darah (penyaringan untuk faktor metabolik atau

genetik). 10,11

Dalam kasus tortikolis spasmodik, rasa sakitnya unilateral dan

dapat menyebar ke bahu, dan ada kekakuan otot. Pengamatan yang tepat

dari tulang belakang leher dan korset skapula harus dilakukan dengan

menilai mobilitas aktif tulang belakang dan mengevaluasi nyeri pada

gerakan otot. Mobilitas pasif harus menjalani penilaian duduk dengan hati-

hati karena kemungkinan subluksasi atlantoaksial. Pencitraan sinar-X dan


10,11
CT mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi kelainan anatomi.

Pada tortikolis persisten, penting untuk memeriksa strabismus,

nistagmus, tanda hipertensi intrakranial, atau tanda neurologis fokal

lainnya. Tortikolis persisten dengan adanya muntah berulang adalah

tanda peringatan, dan pemeriksaan neurologis menyeluruh sangat

penting. Dalam kasus ini, pemeriksaan neuroimaging sangat penting

untuk menyingkirkan cedera intrakranial. Konsultasi oftalmologi harus

menjadi pertimbangan dengan gerakan mata ekstraokular yang tidak

normal. Kehadiran demam harus mengarah pada pertimbangan etiologi

infeksi atau inflamasi. Mengecualikan fokus otolaringologi septik atau

infeksi osteoartikular sangat penting. 10,11

Pemeriksaan untuk menentukan adanya adenopati serviks,

pemeriksaan orofaring, dan otoskopi merupakan area fokus penting pada

pemeriksaan fisik. Pencitraan CT harus dilakukan jika ada kecurigaan


abses retrofaring. Adanya nyeri tekan di tulang belakang leher mungkin

menyarankan osteomielitis atau spondylodiscitis. Pengujian laboratorium

memiliki peran tambahan dalam diagnosis. MRI dan skintigrafi adalah

studi pencitraan tambahan yang dapat membantu dalam diagnosis. 1,11,12

Tortikolis merupakan kondisi puntiran pada kepala dan leher yang

disebabkan oleh otot leher yang memendek, terutama otot

sternokleidomastoideus. Kepala umumnya akan mengarah ke sisi otot

yang memendek, sementara dagu memutar ke arah berlawanan. Tortikolis

bisa terjadi pada semua usia, dari bayi baru lahir hingga dewasa. Kondisi

ini dapat bersifat kongenital maupun acquired. 1,11,12

Penyebab tortikolis kongenital adalah trauma leher janin saat

persalinan, misalnya karena persalinan pervaginam sungsang atau

persalinan dengan forceps. Trauma otot sternokleidomastoideus dapat

menyebabkan fibrosis dan pemendekan otot. Sementara itu, penyebab

tortikolis acquired umumnya adalah spasme otot (distonia) fokal atau

gangguan dari sistem saraf pusat akibat inflamasi, infeksi, atau trauma.
1,11,12
Diagnosis tortikolis biasanya dapat ditegakkan dari pemeriksaan

fisik, yakni dengan menemukan rotasi, fleksi, ekstensi, atau puntiran ke

sinistra/dekstra pada leher. Selain itu, tortikolis bisa disertai massa di leher

dengan konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, serta keterbatasan

lingkup gerak leher. Pemeriksaan tambahan seperti X-ray, CT scan leher,

MRI, dan ultrasound juga dapat dilakukan bila perlu. 1,11,12

2.7. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding tortikolis diantaranya Limfadenitis, Syndrom

Klippel-Feil dan Atlantoaxial Subluksasi. Limfadenitis kelenjar biasanya

terdapat pembesaran pada kelenjar serta terasa lunak dan nyeri pada

perabaan, selain itu gejala klinis yang ditimbulkan yaitu demam, nyeri

tekan dan tanda radang. Limfadenitis disebabkan infeksi dari berbagai


1,2
organisme yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur.

Syndrom Klipple-Feil merupakan anomali kongenital yang

dihasilkan dari fusi tubuh vertebra servikal, garis rambut posterior rendah,

dan leher pendek dengan rentang gerak yang terbatas. Atlantoaxial

subluksasi merupakan gangguan yang berpotensi fatal terhadap anatomi

oksipital-serviks normal yang dapat menyebabkan defisit neurologis

permanen atau kelainan sagital jika tidak mendapat penanganan yang

tepat. 1,2

2.8. TATALAKSANA
Saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk mengobati distonia

serviks. Untuk meminimalkan dan meredakan gejala, pilihan pengobatan

farmakologis termasuk benzodiazepin (pengobatan kecemasan dan

kejang), relaksan otot (pelemas otot), dan antikolinergik (menangkal

asetilkolin, neurotransmitter dalam sistem saraf). Pilihan lain adalah injeksi

toksin botulinum. Beberapa etiologi tortikolis memerlukan pembedahan

korektif. Fisioterapi dan osteopati adalah pilihan untuk pengobatan

konservatif. Fisioterapi memainkan peran penting dalam mengobati

sebagian besar bentuk dan etiologi tortikolis yang berbeda. 1,13,14

Tortikolis akut biasanya sembuh sendiri dalam beberapa hari

sampai beberapa minggu. Terapi fisik non medikamentosa dapat

dilakukan dengan masase otot leher, mobilisasi sendi yang dapat dibantu

dengan menggunakan penyangga (torticollis brace). Selain itu terapi

medikamentosa dapat diberikan obat untuk mengurangi kejang otot,

pergerakan diluar sadar dan biasanya bisa membantu meringankan nyeri

karena kejang. Obat yang digunakan adalah Triheksilpenidil 20-40 mg/hari

(diberikan kepada pasien yang menderita secara kronik) dan

Benzodiazepin 10-40mg selama 4 hari atau Lorazepam 3-6mg selama 4

hari. Terkadang diberikan obat pengendur otot (muscle relaxant) dan obat

anti depresi. Jika pengobatan lainya tidak berhasil maka dilakukan

pembedahan untuk mengangkat saraf dari otot yang mengalami kelainan.


1,13,14

2.9. PROGNOSIS
Prognosis pada tortikolis yaitu Ad vitam: ad bonam, secara umum

tortikolis tidak mengakibatkan suatu kegawatan bagi kehidupan. Ad

funcionam: ad bonam, tortikolis tidak mengakibatkan adanya gangguan

fungsi organ pada pasien. Ad sanationam: ad bonam, tortikolis dapat

disembuhkan sehingga pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari

seperti biasa. 1,15

2.10. KOMPLIKASI

Pada pasien dengan usia lebih dari 5 tahun sering mengalami

komplikasi berupa hilangnya kolom sternomastoid, adanya bekas luka

yang menodai dan adanya pita lateral. Pada pasien dewasa pasca

pengobatan CMT jarang yang mengalami komplikasi neurologis atau

tulang belakang yang serius. Namun dalam beberapa jurnal dapat

ditemukan adanya komplikasi berupa mediastinitis yang dapat terjadi

karena adanya peradangan pada kelenjar getah bening retrofaringeal

anterior yang kemudian membentuk abses atau selulitis. 1,15

BAB III

KESIMPULAN
Tortikolis merupakan kekakuan leher yang menimbulkan spasme

otot yang secara klinis bermanifestasi sebagai leher yang bengkok atau

terputar. Tortikolis ada beberapa jenis, diantaranya: kongenital, didapat

dan spasmodik. Tortikolis disebabkan oleh pemendekan otot

sternocleidomastoideus karena adanya fibrosis. Gejala khas pada

tortikolis yaitu kepala miring ke satu sisi yang sakit.

Penegakan diagnosis tortikolis ditegakan berdasarakan anamnesis

pada pasien, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang

dilakukan dengan USG leher atau MRI leher. Diagnosis banding pada

tortikolis yaitu limfadenitis, syndrom klippel-feil dan atlantoaxial subluksasi.

Penatalaksanaan tortikolis dapat dilakukan dengan non medikamentosa

maupun medikamentosa. Apabila pengobatan tidak berhasil dapat

dilakukan pembedahan untuk mengangkat saraf dari otot yang mengalami

kelainan.

Komplikasi pasien tortikolis dengan usia >5tahun yaitu hiangnya

kolom sternomastoid. Tortikolis memiliki prognosis yang baik dimana

pasien dapat melakukan aktivitasnya setelah sembuh.

DAFTAR ISI

1. Alia AP, Arlita SA, Yulyasti E, et.al. Tortikolis. Fakultas Kedokteran


Universitas Muhammadiyah Surakarta.2019.
2. Cunha B, Tadi P, Bragg BN. Torticolis. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
3. Lee JH, Cheng KL, Choi YJ, et.al. High-resolution Imaging of Neural
Anatomy and Pathology of the Neck. Korean J Radiol. 2017 Jan-
Feb;18(1):180-193.
4. Van den Dool J, Visser B, Koelman JH, et.al. Long-Term Specialized
Physical Therapy in Cervical Dystonia: Outcomes of a Randomized
Controlled Trial. Arch Phys Med Rehabil. 2019 Aug;100(8):1417-
1425.
5. Garg M, Sridhar MS, Verma S, et.al. Unprecedented complication of
odontoid regeneration after transoral odontoidectomy. J
Craniovertebr Junction Spine. 2018 Oct-Dec;9(4):280-282. 
6. De Pauw J, Mercelis R, Hallemans A, et.la. Cervical sensorimotor
control in idiopathic cervical dystonia: A cross-sectional study. Brain
Behav. 2017 Sep;7(9):e00735.
7. Amaral DM, Cadilha RP, Rocha JA. Congenital muscular torticollis:
where are we today? A retrospective analysis at a tertiary hospital.
Congenital muscular torticollis: where are we today? A retrospective
analysis at a tertiary hospital
8. Mingheli B, Vitorino NG. Incidence of Congenital Muscular Torticollis in
Babies from Southern Portugal: Types, Age of Diagnosis and Risk
Factors. Int J Environ Res Public Health. 2022 Aug; 19(15): 9133.
9. Xiao Y, Chi Z, Yuan F, et.al. Effectiveness and safety of massage in
the treatment of the congenital muscular torticollis. Medicine
(Baltimore). 2020 Aug 28; 99(35): e21879.
10. Song S, Hwang W, Lee S. Effect of physical therapy intervention on
thickness and ratio of the sternocleidomastoid muscle and head
rotation angle in infants with congenital muscular torticollis. Medicine
(Baltimore). 2021 Aug 20; 100(33): e26998.
11. Kaplan SL, Dole RL, Schreiber J. Uptake of the Congenital Muscular
Torticollis Clinical Practice Guideline Into Pediatric Practice. Pediatr
Phys Ther. 2017 Oct;29(4):307-313.
12. Macias CG, Gan V. Congenital muscular torticollis: Clinical features
and diagnosis. 2018.
13. Park YH, Kim CH, Kim JH, et al. Rare concurrence of congenital
muscular torticollis and a malignant tumor in the same
sternocleidomastoid muscle. Ann Rehabil Med. 2018;42:189–194. 
14. Hardgrib N, Rahbek O, M⊘ller-Madsen B, et al. Do obstetric risk
factors truly influence the etiopathogenesis of congenital muscular
torticollis? J Orthop Traumatol. 2017;18:359–364.
15. Heidenreich E, Johnson R, Sargent B. Informing the update to the
physical therapy management of congenital muscular torticollis
evidence-based clinical practice guideline. Pediatr Phys
Ther. 2018;30:164–175.

Anda mungkin juga menyukai