Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


BATU URETER

Disusun Oleh :
SINDY SILVIANI ADE PUTRI
2211102412219

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
PROFESI NERS
2022
1. Konsep pemyakit

A. Pemgertian

Batu ureter adalah proses terbentuknya kristal-kristal batu pada saluran perekemihan

(Mulyanti,2019). Batu ureter merupakan suatu keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di

saluran kemih. Kondisi adanya batu pada saluran kemih memberikan gangguan pada

system perkemihan dan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien

(Harmilah, 2020). Batu ureter merupakan suatu keadaan terjadinya penumpukan

oksalat kalkuli (batu ginjal) pada ureter, kandung kemih, atau pada daerah ginjal.

Batu ureter merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang terbentuk

karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Silalahi, 2020).

B. Etiologi

Menurut Zamzami (2018) terdapat beberapa faktor yang mendorong pembentukan

batu ureter yaitu :

1. Peningkatan kadar kristaloid pembentuk batu dalam urine

2. pH urine abnormal rendah atau tinggi

3. Berkurangnya zat-zat pelindung dalam urine

4. Sumbatan saluran kencing dengan stasis urine

Disamping itu, terdapat pula tiga faktor utaa yang harus dipertimbangkan untuk

terjadinya batu ureter yaitu : retinsi partikel urin supersaturasi urine, dan

kekurangan inhibitor kristalisasi urin. Kelebihan salah satu faktor ini

mrnyrbabkan batu saluran kemih.


Sedangkan menurut Harmilah (2020) pembentukan batu disaluran kemih

dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor

endogen adalah faktor genetic seperti hiperkalsiuria primer, sedangkan faktor

eksogen meliputi lingkungan, makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral didalam

aie minum.

C. Klasifikasi

Menurut Mulyanti (2019), berdasarkan lokasi tertahannya batu (stone), batu saluran

kemih dapat diklasifikasikan menjadi beberapa nama yaitu:

1. Nefrolithiasis (batu di ginjal)

Nefrolithiasis adalah salah satu penyakit ginjal, dimana terdapat batu didalam

pelvis atau kaliks dari ginjal yang mengandung komponen kristal dan matriks

organik (Fauzi & Putra, 2016).

2. Ureterolithiasis (batu ureter)

Ureterolithiasis adalah pembentukan batu pada saluran kemih yang disebabkan

oleh banyak faktor seperti, gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi

saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lainnya (idiopatik) (Prihadi, Johannes

Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, 2020).

3. Vesikolithiasis (batu kandung kemih).

Vesikolithiasis merupakan dimana terdapat endapan mineral pada kandung

kemih. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak baik

sehinggal urine mengendap dikandung kemih (Prihadi, Johannes Cansius, Daniel

Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, 2020).


D. Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan menyebabkan

obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya volume urine akibat

dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat meningkatkan resiko

terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urine adalah gejala abnormal yang umum

terjadi (Colella, J, Kochis E, Galli B, 2005), selain itu, berbagai kondisi pemicu

terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi faktor utama

bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat

berbagai sebab yang disebut faktor resiko.

Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat mengubah

faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah seperti, jenis

kelamin, pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki 70-81%

dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya

peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada

laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).

Umur, urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua, namun bila

dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering terjadi. Riwayat

keluarga, pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis ada

kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran kemih pada pasien

(25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan produksi jumlah

mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk kristal dan

membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et al., 2005). Kebiasaan diet dan

obesitas intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh,
kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna

hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Suddarth, 2015).

Faktor lingkungan, faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak

geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis lebih

tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Pekerjaan, yang menuntut untuk bekerja

di lingkungan yang bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat

memacu kehilangan banyak cairan dan merupakan resiko terbesar dalam proses

pembentukan batu karena adanya penurunan jumlah volume urin (Colella, et al.,

2005). Cairan, asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya

intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya

nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume

urin (Domingos & Serra, 2011)


E. Pathway

Faktor endogen (geneti)


Faktor eksogen (lingkungan, makanan, infeksi,
kejenuhan mineral air minum.)

Penurunan cairan ke ginjal

Urine mendekat pekat

Terjadinya pengendapan mineral menjadi kristal

Endapan kristal membentuk nukleus dan menjadi batu

Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik


otot-otot system pelviokalise dan tutun ke ureter

Batu ureter

Terberntuknya batu Aliran darah keseluruh


Obstruksi saluran obstruksi
pada saluran kemih tubuh berkurang
kemih

Hambatan aliran Hambatan aliran urin Batu tidak


kesemutan dan kaku
urine e keluar/mengendap
pada ekstremitas
disaluran kemih

Gangguan pada masalah


pergerakan

Gangguan mobilitas
fisik
Pasien mengeluh nyeri
pada perut

Peningkatan tekanan Hidronefrosis


hidrostatik Harus dilakukan
pembedahan
Distensi saluran kemih
Peristaltik otot polos
Pasien takut
ureter
Gangguan eliminasi urine

Tekanan intra Ansietas


luminal

Penegangan syaraf Batu kontak dengan


Mengganggu istirahat mukosa epitel
Nyeri kolik dan tidur

Trauma mukosa epitel


Nyeri akut
Gangguan pola tidur
Hematuria

Risiko perdarahan
F. Manifestasi Klinis

1. Nyeri/kolik

Nyeri hebat atau kolik pada sekitar pinggang merupakan penanda penting dan

paling sering ditemukan. Nyeri biasanya muncul jika pasien kekurangan cairan

tubuh entah itu karena faktor masukan cairan yang kurang atau pengeluaran yang

berlebihan. Nyeri yang dirasakan rata-rata mencapai skala 9 atau 10 diikuti

keluhan mual, wajah pucat, dan keringat dingin. Kondisi terjadi akibat batu

mengiritasi saluran kemih atau obstruksi batu yang menimbulkan peningkatan

tekanan hidrostatik dan distensi pelvis ginjal serta ureter proksimal yang

menyebabkan kolik.

2. Gangguan pola berkemih

Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar, dan

biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu (Harmilah, 2020). Disuria,

hematuria, dan pancaran urine yang menurun merupakan gejala yang sering

mengikuti nyeri. Terkadang urine yang keluar tampak keruh dan berbau.

3. Demam

Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih,

bakteri akan terperangkap didalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan,

sehingga terjadilah infeksi (Harmilah, 2020). Sumbatan adalah batu yang

menutup aliran urine akan menimbulkan gejala infeksi saluran kemih yang

ditandai dengan demam dan menggigil.

4. Gejala gastrointestinal
Respon dari rasa nyeri biasanya didapatkan keluhan gastrointestinal, meliputi

keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang memberikan manifestasi penurunan

asupan nutrisi umum. Gejala gastrointestinal ini akibat refleks retrointestinal dan

proksimitas anatomis ureter ke lambung, pankreas, dan usus besar (Harmilah,

2020). Meliputi mual, muntah, diare, dan perasaan tidak mual diperut

berhubungan dengan refluks reointestinal dan penyebaran saraf (ganglion coeliac)

antara ureter dan intestinal.

G. Komplikasi

1. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter

(Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan gagal ginjal

(Harmilah, 2020).

2. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama sebelum

pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020). Gangguan fungsi

ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan tersebut

bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan gagal

ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan kematian

(Haryadi, 2020).

3. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi

(Harmilah, 2020).

4. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, & Ghinowara,

2020).
H. Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan teori Harmilah (2020), pemeriksaan penunjang gangguan urolithiasis

antara lain:

1. Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan

adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal (sistin, asam urat, kalsium

oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pH urine asam (meningkatkan sistin dan

batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu

kalsium fosfat.

2. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin

meningkat.

3. Kulture urine: menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus aureus,

proteus, klebsiela, pseudomonas).

4. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,

protein dan elektrolit.

5. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada urine)

sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan

iskemia/nekrosis.

6. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan

kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.

7. Hitung darah lengkap: sel darah putih mungkin meningkat, menunjukkan

infeksi/septikemia.

8. Sel darah merah: biasanya normal


9. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong

presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi ginjal)

10. Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang rabsorpsi

kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).

11. Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomis pada area

ginjal dan sepanjang ureter

12. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri

abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur anatomis (distensi

ureter) dan garis bentuk kalkuli.

13. Sistoureteroskopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat

menunjukkan batu dan efek obstruksi.

14. CT Scan: mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal, ureter,

dan distensi kandung kemih.

15. USG Ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu

I. Penatalaksanaan

Tata laksana spesifik batu ureter

1. Konservatif

Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan

bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan dalam

waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi juga dapat dilakukan

pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan

fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).


2. Terapi Farmakologi

Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu

diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila

direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu

dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi.

Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi

ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-

blocker sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi

retrograd dan hipotensi. Pasien yang diberikan α- blocker, penghambat kanal

kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih

besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak

diberikan terapi. Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan

α-blocker tidak direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara

keseluruhan lebih superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi

ekspulsi medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu

ureter, khususnya batu ureter distal ≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi

pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang

mendukung untuk interval lama pemberiannya.

3. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:

- Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;

- Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;

- Obstruksi persisten;
- Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); atau

- Kelainan anatomi ureter

4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate)

pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang sama.

Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan

menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter,

namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. Namun, era

endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara signifikan menurun.

URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan

angka bebas batu dan rasio komplikasi yang sebanding. Namun, pada pasien

sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali

lipat. Namun, URS memiliki tingkat pengulangan terapi yang lebih rendah

dibandingkan SWL, namun membutuhkan prosedur tambahan (misal penggunaan

DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat yang lebih

panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL

(Noegroho et al., 2018).


2. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

1. Identitas

Secara otomatis, faktor jenis kelamin dan usia sangat signifikan dalam proses

pembentukan batu. Namun, angka kejadian batu ureter dilapangan sering kali

terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini karena pola hidup,

aktivitas, dan geografis.

2. Keluhan utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit skunder yang menyertai.

Keluhan utama biasanya yang sering muncul pada pasien dengan batu ureter

adalah nyeri pada perut yang menjalar sampai ke pinggang dan nyeri saat

berkemih.

3. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang sering terjadi pada pasien batu ureter ialah nyeri pada saluran

kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu,

dapat terjadi nyeri/kolik renal. Pasien juga mengalami gangguan gastrointestinal.

4. Riwayat penyakit dahulu

Kemungkinan adanya riwayat gangguan pola berkemih.

5. Riwayat penyakit keluarga

Batu ureter bukan merupakan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah

keluarga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit ini.

6. Riwayat psikososial

Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika pasien memiliki koping adaptif. Namun

biasanya, hambatan dalam interaksi interaksi sosial dikarenakan adanya


ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya

pada sakitnya.

7. Pola fungsi kesehatan

a. Pola aktivitas

Penurunan aktivitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi

dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri).

b. Pola nutrisi metabolic

Biasanya pasien dengan batu ureter terjadi mual muntah karena peningkatan

tingkat stres akibat nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi

pH pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan.

c. Pola eliminasi

Biasanya pada eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola,

kecuali diikuti oleh penyakit-penyakit penyerta lainnya.

d. Pola istirahat tidur

Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan pola tidur, sulit tidur

dan kadang sering terbangun dikarenakan nyeri yang dirasakan.

e. Pola Kognitif perseptual

Biasanya pasien dengan batu ureter memiliki komunikasi yang baik dengan

orang lain, pendengaran dan penglihatan baik, dan tidak menggunakan alat

bantu.

f. Pola toleransi-koping stress

Biasanya pasien dengan batu ureter, dapat menerima keadaan penyakitnya.

g. Persepsi diri atau konsep diri


Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan konsep diri.

h. Pola seksual reproduksi

Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan ini sehubungan

dengan rasa tidak nyaman.

i. Pola hubungan dan peran

Biasanya pasien dengan batu ureter, memiliki komunikasi yang baik dengan

keluarga, perawat, dokter, dan lingkungan sekitar.

j. Pola nilai dan keyakinan

Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan dalam pola

nilai dan keyakinan.

8. Pemeriksaan fisik

a. Kondisi umum dan tanda-tanda vital

Kondisi klien batu ureter dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai

tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang

ditimbulkan. Pada tanda-tanda vital biasanya tidak ada perubahan yang

mencolok, hanya saja takikardi terjadi akibat nyeri yang hebat.

b. Pemeriksaan Fisik

1) Wajah

Inspeksi : warna kulit, jaringan parut, lesi, dan vaskularisasi. Amati adanya

pruritus, dan abnormalitas lainnya.

Palpasi : palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur, edema, dan

massa.
2) Kepala

Inpeksi : kesimetrisan dan kelainan. Tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)

Palpasi : dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari kebawah dari

tengah-tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk

kepala pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.

3) Mata

Inspeksi : kelopak mata, perhatikan kesimetrisannya. Amati daerah orbital

ada tidaknya edema, kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang

orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk mengetahui adanya anemis

atau tidak) dengan menarik/membuka kelopak mata. Perhatikan warna,

edema, dan lesi. Inspeksi kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan

berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar cahaya tidak langsung.

Inspeksi pupil, iris. Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada orbital dan

kelenjar lakrimal.

4) Hidung

Inspeksi : kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan yang

keluar.

Palpasi : bentuk dan jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa,

penyimpangan bentuk.

5) Telinga

Inspeksi : amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi

Palpasi : kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling

ada nyeri atau tidak.


6) Mulut dan faring

Inspeksi : warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital, kebersihan

mulut, faring.

7) Leher

Inspeksi : bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan,

jaringan parut atau massa.

Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid.

8) Thorak dan tulang belakang

Inspeksi : kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada

wanita (inspeksi payudara: bentuk dan ukuran)

Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi payudara:

massa)

9) Paru posterior, lateral, inferior

Inspeksi : kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi.

Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka misal 7777.

Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan

kedua ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas

panjang.

Perkusi : dari puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak

sampai dengan torakal 10), catat suara perkusi: sonor/hipersonor/redup.


Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi (vesikuler,

bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi,

krekels).

10) Jantung dan pembuluh darah

Inspeksi : titik impuls maksimal, denyutan apical

Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke

intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5

kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri.

Perkusi : untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).

Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk mengetahui adanya bunyi jantung

tambahan

11) Abdomen

Inspeksi : ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan

umbilikus.

Palpasi : epigastrium, lien, hepar, ginjal

Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)

Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising usus)

12) Genitalia

Inspeksi : inspeksi (kebersihan, lesi, massa, perdarahan, dan peradangan)

serta adanya kelainan.

Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan dan benjolan.

13) Ekstremitas :

Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa.


Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji sirkulasi : akral hangat/dingin,

warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan pergerakan sendi.

Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis :

reflek plantar.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d agens pencedera biologis

2. Gangguan eliminasi urine b.d penurunan kemampuan menyadar tnda-tnda

gangguan kandung kemih

3. Ansietas b.d krisis situasional


NO DX KEP SLKI SIKI

1. Nyeri akut b.d agens Setelah dilakukan Manajemen nyeri


pencedera fisiologis tindakan 1.1 identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
keperawatan 3x2 frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
jam diharapkan 1.2 identifikasi skala nyeri
tingkat nyeri 1.3 identifikasi faktor yang memperberat
menurun dengan dan memperingan nyeri
kriteria hasil : 1.4 berikan teknik nonfarmakologis untuk
Tingkat nyeri mengurangi rasa nyeri
1. keluhan nyeri (5) 1.5 kolaborasi penberian analgetic, jika
2. gelisah (5) perlu
3. kesulitan tidur (5)
4. meringis (5)
5. pola tidur (5)

2. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan Manajemen eliminasi urine


urine b.d penurunan tindakan 2.1 monitor eliminasi urine (mis. frekuensi,
kemampuan menyadar keperawatan 3x24 konsistensi, aroma, volume, dan warna)
tnda-tnda gangguan jam diharapkan 2.2 catat waktu dan haluaran urine
kandung kemih eliminasi urin 2.3 ajarkan mengukur asupan cairan dan
menurun dengan haluaran urine
kriteria hasil : 2.4 anjurkan minum yang cukup, jika tidak
Eliminasi urin ada kontraindikasi
1. distensi kandung 2.5 kolaborasi pemberian obat suposituria
kemih (5) uretra, jika perlu
2. berkemih tidak
tuntas (5)
3. Ansietas b.d krisis Setelah dilakukan Reduksi ansietas
stiuasional tindakan 3.1 monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
keperawatan 2x24 nonverbal)
jam diharapkan 3.2 pahami situasi yang membuat ansietas
tingkat ansietas 3.3 motivasi mengidentivikasi situasi yang
menurun dengan memicu kecemasan
kriteria hasil : 3.4 informasikan secara factual mengenai
Tingkat ansietas diagnosis pengobatan dan prognosis
1. verbalisasi 3.5 latih Teknik relaksasi
khawatir akibat
kondisi yang
dihadapi (5)
2. perilaku gelisah
(5)

Anda mungkin juga menyukai