MATERNITAS
POST PARTUM SECTIO CAESAREA
Disusun Oleh :
SINDY SILVIANI ADE PUTRI
2211102412219
B. Etiologi
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar section caesarea adalah:
a. Prolog labour sampai neglected labour.
b. Ruptura uteri imminen
c. Fetal distress
d. Janin besar
e. Perdarahan antepartum
Sedangkan indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan sectio
adalah :
a. Malpersentasi janin
1. Letak lintang Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea
adalah jalan /cara yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala letak
lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua primigravida dengan
letak lintang harus ditolong dengan sectio caesarea walaupun tidak ada
perkiraan panggul sempit. Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu
ditolong dengan cara lain.
2. Letak belakang Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada
letak belakang bila panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
b. Plasenta previa sentralis dan lateralis
c. Distosia serviks
E. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa
sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri
mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan
malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan
pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi
aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan
pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri
sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu,
dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen
sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf
- saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan
prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang
bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
F. Penatalaksana
a. Perawatan awal
Letakan pasien dalam posisi datar atau 45 derajat dalam ruang perawatan
Periksa kondisi pasien, cek tanda vital.
Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah 1 x 24 jam, jika
penderita sudah terdengar bising usus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada minimal 6 jam pasca operasi, berupa air putih.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri
Posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 pasca
operasi.
d. Fungsi gastrointestinal
Tunggu bising usus timbul, diet bertahap (cair di teruskan dengan diet lunak)
Pemberian infus diteruskan sampai pemberian terapi analgetik dan antibiotik
selesai.
e. Perawatan fungsi kandung kemih
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada pasien
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya
terpasang 24 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan pasien.
f. Perawatan luka
Ganti verban dengan cara steril (jika verban terdapat rembesan/ terbuka)
Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
Mengganti balutan dilakukan pada hari ketiga pasca SC atau sebelum pasien
pulang.
g. Jika masih terdapat perdarahan
Lakukan masase uterus
Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M.
h. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam
i. Pemberian analgetik sesuai advis dokter.
j. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan
Paska bedah pasien dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa
perdarahan dan hematoma pada daerah operasi.
Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk)
agar diding abdomen tidak tegang.
Diusahakan agar pasien tidak batuk atau menangis.
Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi.
Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan
tekanan intra abdomen
Keseimbangan cairan dan elektrolit, ketidaknyamanan fisik berupa nyeri dan
kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan
bimbingan kegiatan post op seperti ambulasi dan nafas untuk mempercepat
hilangnya pengaruh anestesi.
Perawatan pasca operasi, jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi
dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas,
singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan.
G. Penatalaksana Rujukan
1. Menentukan kegawatdaruratan penderita:
Pada tingkat bidan desa, praktik mandiri,puskesmas pembantu dan puskesmas.
Nakes yang ada pada fasilitas layanan kesehatan tersebut harus dapat menentukan
tingkat kegawatdaruratan kasus yg ditemui, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya, mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani
sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk.
2. Menentukan tempat rujukan
3. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
4. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
5. Persiapan pasien (BAKSOKUDA) Persiapan yg hrs diperhatikan dlm melakukan
rujukan , disingkat “BAKSOKUDA” yg dijabarkan sbb:
B (bidan) : pastikan ibu didampingi oleh bidan yang kompeten dan memiliki
kemampuan untuk melaksanakan kegawatdaruratan
A (alat) : bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan, seperti spuit,
infus set, tensimeter, dan stetoskop.
K (keluarga) : beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (pasien) dan alasan
mengapa ia dirujuk.
S (surat) : buat surat rujukan yg berisi identifikasi ibu (klien), alasan rujukan,
uraian hasil rujukan, asuhan, atau obat – obat yang telah diterima ibu (klien)
O (obat) : bawa obat – obat esensial diperlukan selama perjalanan merujuk
K (kendaraan) : siapkan kendaraan yg cukup baik u/memungkinkan ibu (klien)
dalam kondisi yang nyaman dan dapat mencapai tempat rujukan dalam waktu
cepat
U (uang) : ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah yang cukup
untuk membeli obat dan bahan kesehatan yang di perlukan di temapat rujukan
DA(Darah) :siapkan keluarga yang mempunyai golongan darah sama untuk
persiapan tranfusi darah bila sewaktu-waktu diperlukan.
6. Pengiriman Pasien
H. Komplikasi
1. Infeksi Puerperalis Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis,
sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan
sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang
merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah
ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil
dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali,
terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC transperitonealis
profunda.
2. Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
3. Komplikasi - komplikasi lain seperti : Luka kandung kemih Embolisme paru –
paru
4. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada
dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri.
Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
I. Pathway
J. Pemerikasaan Penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
L. Diagnostik
1. Cemas
2. Mobilitas
3. Resiko Konstipasi
4. Nyeri
5. Resiko Infeksi
6. Kekurangan Volume Cairan
7. Intoleransi aktivitas
8. Menyusui tidak efektif
9. Perubahan Pola Peran
O. Rencana Keperawatan
a. Implementasi
Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. implementasi perawat harus melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan yang di lihat dari diagnosa keperawatan. Tahap pelakasaan dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan tindakan
keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap
suatu kejadian dalam proses keperawatan
b. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan
yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
P. Daftar Pustaka
Sari, Dewi Nurlaela, and Aay Rumhaeni. 2020. “Foot Massage Menurunkan Nyeri
Post Operasi Sectio Caesarea Pada Post Partum.” Jurnal Kesehatan Komunitas
6(2):164–70. doi: 10.25311/keskom.vol6.iss2.528.
Sihombing, Novianti, Ika Saptarini, and Dwi Sisca Kumala Putri. 2017. “Determinan
Persalinan Sectio Caesarea Di Indonesia (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2013).”
Jurnal Kesehatan Reproduksi 8(1):63–75. doi: 10.22435/kespro.v8i1.6641.63-75.
PPNI (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI