Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN POST OP SECTIO CAESAREA ( SC )

ATAS INDIKASI PLASENTA PREVIA TOTAL, LILITAN TALI


PUSAT, ASMA

Disusun Oleh :
Dian Eko S 2311040128
Ervin Istanti 2311040079
Febri Restu R 2311040135
Puput Jeni A 2311040146
Yusuf Irawan 2311040194

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU


KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2023
PENDAHULUAN

1. Konsep Sectio Caesarea ( SC)

A. Pengertian

Seksio cesarea berasal dari perkataan Latin “Caedere” yang artinya


memotong. Seksio Cesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau
vagina (Mochtar, 1998 dalam Maryunani, 2014)
Seksio cesarea merupakan Suatu persalinan buatan, di mana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram. (Prawirohardjo, 2010)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa seksio cesarea adalah
suatu proses persalinan melalui pembedahan pada bagian perut dan rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.
B. Klasifikasi

a. Persalinan Sectio Caesarea Melintang (Segmen bawah)

Persalinan sectio caesarea melintang atau segmen bawah,


merupakan persalinan caesarea dengan insisi dibuat pada segmen
bawah uterus yang merupakan bagian paling tipis dengan aktivitas
uterus yang paling sedikit, maka pada tipe insisi ini kehilangan darah
minimal. Area ini lebih mudah mengalami pemulihan dan mengurangi
kemungkinan terjadinya ruptur jaringan parut pada kehamilan
berikutnya. Selain itujuga insidensi peritonitis, ileus paralisis dan
perlekatan usus lebih rendah
b. Persalinan Sectio Caesarea Membujur (Segmen bawah)

Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan dengan


gunting tumpul untuk menghindari cidera pada bayi. Insisi membujur
mempunyai keuntungan, yaitu kalau perlu luka insisi bisa diperlebar
ke atas. Pelebaran ini diperlukan kalau bayinya besar, pembentukan
segmen bawah jelek, ada malposisi janin seperti letak lintang atau
kalau ada anomali janin seperti kehamilan kembar yang menyatu
(conjoined twins).
c. Sectio Caesarea Klasik

Sebuah insisi tegak lurus dibuat langsung pada dinding korpus


uterus. Tindakan ini dilakukan dengan menembus lapisan uterus yang
paling tebal pada korpus uterus. Tindakan ini dipilih saat janin dalam
posisi melintang atau pada kasus plasenta previa anterior.
d. Sectio Caesarea Extraperitoneal

Pembedahan extraperitoneal dikerjakan untuk menghindari


perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalmi infeksi luas
dengan mencegah peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal.
Teknik pada prosedur ini relatif sulit

e. Histerektomi Sectio Caesarea

Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang dilanjutkan


dengan pengeluaran uterus.
C. Indikasi

Indikasi Sectio Caesaria mrnurut Cuningham (2013)

a. Riwayat Sectio Caesaria

Uterus yang memiliki jaringan perut dianggap sebagai


kontraindikasi untuk melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi
repture uteri. Risiko ruptur uteri meningkat seiring dengan jumlah
insisi sebelumnya, klien dengan jaringan perut mnelintang yang
terbatas disegmen uterus bawah, kemungkinan mengalami robekan
jaringan perut simtomatik pada kehamilan berikutnya. Wanita yang
mengalami ruptur uteri beresiko mengalami kekambuhan, sehingga
tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan persalinan pervaginam
tetapi dengan beresiko ruptur uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan
janin.

b. Distosia Persalinan
Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu
lambatnya kemajuan persalinan, persalinan abnormal sering terjadi
terdapat diproporsi antara bagian presentasi janin dan jalan lahir,
kelainan persalinan terdiri dari;
1) Ekspulsi ( Kelainan Gaya Dorong )

Oleh karena gaya uterus yang kurang kuat, dilatasi servik


(disfungsi uterus ) dan kurangnya upaya otot volunter selama
persalinan kala dua.

2) Panggul Sempit

3) Kelainan presentasi, posisi janin


4) Kelainan jaringan lemak saluran reproduksi yang menghalangi
turunnya janin,
5) Gawat janin
Keadaan gawat janin bisa mempengaruhi keadaan janin,
jika penetuan waktu sectio caesaria terlambat, kelainan
neurologis seperti cerebral palsy dapat dihindari dengan
waktu yang tepat untuk Sectio Caesarea.
6) Malpresentasi
Janin 1). Letak
lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah
jalan /cara yangterbaik dalam melahirkan janin dengan segala
letak lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua
primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio
caesarea walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit.
Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong
dengan cara lain.
2). Letak belakang

Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak


belakang bila panggul sempit, primigravida, janin besar dan
berharga
D. kontra indikasi
praktik obstetri modern pada hakekatnya tidak terdapat kontra indikasi,
meskipun demikian perlu diingat bahwa sectio caesaria dilakuakan untuk
menyelamatkan ibu maupun janin, oleh sebab itu sectio caesaria
dilakukan hanya dalam keadaan bila ada indikasi (Cunningham,2013)

E. Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan
segmen bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa
totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat
mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga
dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada
placenta previawalaupun anak sudah mati.

F. Komplikasi
1) Infeksi Puerperalis

Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa


hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya
peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau
ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu
(partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal
sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian
antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC
klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC transperitonealis
profunda.
b) Perdarahan

Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika


cabang arteria uterina ikutterbuka atau karena atonia uteri

c). Komplikasi - komplikasi lain seperti :


1. Luka kandung kemih

2. Embolisme paru - paru

G. Patofisiologi

Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang


menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio
Caesarea (SC).
Dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas
jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini
akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan
menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan
berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang
bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
Pada ibu post melahirkan terjadi perubahan anatomi, termasuk pada
payudara. Payudara akan mengencang, kelenjar payudara menghasilkan
Asi. Namun pada ibu melahirkan di hari-hari awal melahirkan produk
ASI yang belum maximal, atau terkadang tidak keluar sama sekali. Hal
ini akan menimbulkan masalah menyusui tidak efektif.
H. Pathways
I. Pemeriksaan penunjang

a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji


perubahan dari kadar pra operasidan mengevaluasi efek
kehilangan darah pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi

c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah

d. Urinalisis / kultur urine

e. Pemeriksaan elektrolit

f. Pemeriksaan Hbsag

g. Pemeriksaan thorax
J. Penatalaksanaan

1. Pemberian cairan
Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit
agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ
tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikanbiasanya DS 10%, garam
fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung
kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.

2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita
flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.
Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 - 8 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.

3. Mobilisasi

a. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :

Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 8 jam setelah


operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkinsetelah sadar
c. Hari pertama post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan,
dan kemudian berjalan sendiri, dan pada hari ke-3 pasca
operasi.pasien bisa dipulangkan
4. Kateterisasi

Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak


enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam
/ lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian Antibiotik
6. Pemberian Analgetik
7. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila
basah dan berdarah harusdibuka dan diganti

2. Konsep plasenta previa total


A. Pengertian
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada
segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir (Wiknjosastro, 2014). Plasenta previa adalah kondisi dimana
plasenta berimplantasi menutupi sebagian atau seluruh segmen bawah rahim
(Sataloff dkk, 2014).
Ibu hamil yang terdiagnosis mengalami plasenta previa pada kehamilan
kurang dari 28 minggu, harus mendapatkan pemeriksaan ultrasonografi
ulangan pada usia kehamilan antara 32 minggu hingga 35 minggu untuk
mendeteksi ulang letak plasenta karena letak plasenta masih bisa berubah
seiring dengan membesarnya kehamilan.
Pada ibu hamil dengan plasenta previa yang memiliki riwayat seksio
sesarea membutuhkan pemeriksaan ulangan untuk memastikan ada tidaknya
plasenta akreta (Berghella, 2016). Silver,dkk (2018) menyebutkan plasenta
akreta adalah salah satu kondisi paling berbahaya yang terkait dengan
kehamilan, karena perdarahan dapat mengakibatkan kegagalan multi sistem
organ, kebutuhan untuk masuk ke unit perawatan intensif, histerektomi, dan
bahkan kematian.

B. Klasifikasi Plasenta Previa


Plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui jalan
lahir diklasifikasikan menjadi plasenta previa totalis yaitu implantasi plasenta
menutupi seluruh pembukaan jalan lahir, plasenta previa partialis yaitu
plasenta yang implantasinya menutupi sebagian pembukaan jalan lahir,
plasenta previa marginalis yaitu plasenta yang implantasinya berada tepat di
pinggir pembukaan jalan lahir dan plasenta letak rendah yaitu implantasi
plasenta yang terletak 3-4 cm dari pembukaan jalan lahir.
Plasenta previa berdasarkan derajat invasinya, dibagi menjadi tiga
(Cunningham, 2014), yaitu :
a. Plasenta Akreta Melekatnya vili korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium. Tanda khas dari plasenta akreta pada
pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus, apabila tali pusat ditarik.
b. Plasenta Inkreta Melekatnya vili korion plasenta hingga
memasuki/mencapai lapisan miometrium, sehingga tidak mungkin dapat
lepas dengan sendirinya. Perlu dilakukan plasenta manual dengan
tambahan kuretase tajam dan dalam hingga histerektomi.
c. Plasenta Perkreta Melekatnya vili korion hingga menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.

C. Etiologi
Plasenta previa adalah komplikasi obstetri yang secara klasik muncul
sebagai perdarahan vagina tanpa rasa sakit pada trimester ketiga akibat
plasentasi abnormal di dekat atau menutupi ostium serviks bagian
dalam. Namun, dengan kemajuan teknologi dalam ultrasonografi, diagnosis
plasenta previa biasanya dilakukan pada awal kehamilan. Secara historis, ada
tiga jenis plasenta previa: lengkap, parsial, dan marginal. Baru-baru ini,
definisi-definisi ini telah dikonsolidasikan menjadi dua definisi: previa lengkap
dan marginal.
Previa lengkap didefinisikan sebagai cakupan lengkap ostium uteri
oleh plasenta. Jika tepi depan plasenta berjarak kurang dari 2 cm dari ostium
uteri internum, namun tidak menutupi seluruhnya, maka hal ini dianggap
sebagai previa marginal. Karena adanya risiko perdarahan, plasenta previa
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang serius baik pada janin
maupun ibu.

D. Patofisiologi
Segmen bawah uterus tumbuh dan meregang setelah minggu ke 12
kehamilan, dalam minggu-minggu berikutnya ini dapat menyebabkan plasenta
terpisah dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan terjadi secara
spontan dan tanpa disertai nyeri, seringkali terjadi saat ibu sedang istirahat
(Sataloff dkk, 2014).
Segmen bawah uterus telah terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu.
Usia kehamilan yang bertambah menyebabkan segmen-segmen bawah uterus
akan melebar dan menipis serta servik mulai membuka. Pelebaran segmen
bawah uterus dan pembukaan servik pada ibu hamil dengan plasenta previa
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah
segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang
berwarna merah kehitaman. Sumber perdarahannya adalah robeknya sinus
uterus akibat terlepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan
sinus marginalis dari plasenta. Makin rendah letak plasenta, makin dini
perdarahan terjadi karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus
untuk berkontraksi (Wiknjosastro, 2014).
Plasenta previa dapat mengakibatkan terjadinya anemia bahkan syok,
terjadi robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh, bahkan
infeksi pada perdarahan yang banyak sampai dengan kematian (Manuaba,
2012).
3. Konsep lilitan tali pusat
A. Pengertian

Lilitan tali pusat adalah tali pusat yang dapat membentuk lilitan
sekitar badan, bahu, tungkai atas/ bawah dan leher pada bayi. Keadaan
ini dijumpai pada ait ketuban yang berlebihan, tali pusat yang panjang,
dan bayinya yang kecil. Tali pusat atau Umbilical cord adalah saluran
kehidupan bagi janin selama dalam kandungan, dikatakan saluran
kehidupan karena saluran inilah yang selama 9bulan 10 hari menyuplai
zat – zat gizi dan oksigen janin. (Sarwono, 2008).

Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga
harus dipotong dan diikat atau dijepit. (Sarwono, 2008). Tali pusat sangatlah
penting. Janin bebas bergerak dalam cairan amnion, sehingga pertumbuhan
dan perkembangannya berjalan dengan baik.

Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Tali pusat dapat
membentuk lilitan sekitar badan, bahu, tungkai atas / bawah, leher.
Keadaan ini dijumpai pada air ketuban yang berlebihan, tali pusat yang
panjang, dan bayinya yang kecil.

Sebenarnya lilitan tali pusat tidaklah terlalu membahayakan namun,


menjadi bahaya ketika memasuki proses persalinan dan terjadi kontraksi rahim
(mules) dan kepala janin turun memasuki saluran persalinan. Lilitan tali pusat
bisa menjadi semakin erat dan menyebabkan penurunan utero-placenter, juga
menyebabkan penekanan / kompresi pada pembuluh-pembuluh darah tali
pusat. Akibatnya suplai darah yang mengandung oksigen dan zat makanan ke
bayi menjadi hipoksia.

B. Etiologi

Pada usia kehamilan sebelum 8 bulan umumnya kehamilan janin belum


memasuki bagian atas panggul. Pada saat itu ukuran bayi relative kecil dan
jumlah air ketuban berlebihan ( polihidramnion) kemungkinan bayi terlilit
tali pusat. Tali pusat yang panjang menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali
pusat bayi rata- rata 50 –6 0 cm, namun tiap bayi mempunyai tali pusat
bebeda-beda. Dikatakan panjang jika melebihi 100 cm dan dikatakan pendek
jika kurang dari 30 cm.

C. Tanda dan gejala

Pada bayi dengan umur kehamilan dari 34 minggu namun


bagian terendah janin (kepala/bokong) belum memasuki bagian atas
rongga panggul. Pada janin letak sungsang/lintang yang menetap
meskipun telah dilakukan usaha memutar janin (versi luar/ knee chest
position) perlu dicurigai pada adanya lilitan tali pusat. Tanda penurunan
DJJ dibawah normal, terutama pada saat kontraksi.

D. Patofisiologi

Kesulitan yang mungkin terjadi berkaitan


dengan tali pusat dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Tali pusat pendek, artinya kurang dari 40 cm.

2. Gerak janin terbatas sehingga ada kemungkinan tumbuh


kembangnya terganggu.

3. Tarikan yang keras pada tali pusat pendek dapat


menimbulkan solusio plasenta.

4. Tali pusat yang pendek dapat terjadi karena:

 Absolute pendek kurang dari 40 cm.

 Terjadi karena lilitan tali pusat khususnya pada leher janin.


5. Tarikan tali pusat pendek karena lilitan tali pusat pada leher
dapat menimbulkan gangguan aliran nutrisi dengan akibat fetal
distress.

6. Turunnya kepala janin ke PAP, dapat pula menimbulkan


fetal distress, karena lilitannya makin erat, sampai meninggal
jika tindakan terlambat.

7. Saat inpartu, tali pusat pendek dapat


menimbulkan komplikasi:

8. Bagian terendah tidak dapat/sulit masuk pintu atas panggul,


jalan lahir sehingga tetap di atas simfisis.

9. Tarikan tali pusat pendek dapat menimbulkan inversion uteri


dengan segala komplikasinya.

10. Tali pusat panjang.

Karena tali pusat terlalu panjang dapat terjadi lilitan beberapa


kali di leher. Aktivitas janin yang banyak dapat menimbulkan
simpul tali pusat sehingga apabila terjadi tarikan, maka simpul
dapat menyebabkan aliran nutrisi dan O2 berkurang dan
mengakibatkan fetal distress sampai janin meninggal

4. Konsep Asma
A. Pengertian
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas
yang mengalami radang kronik bersifat hiper responsive sehingga apabila
terangsang oleh faktor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran
udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mucus, dan
meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Asma dapat
terjadi pada siapa saja dan dapat timbul di segala usia, tetapi umumnya asma
lebih sering terjadi pada anak – anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa
pada usia sekitar 30 tahun atau lebih (Saheh, 2011).

B. Klasifikasi
1. Asma Alergik
Disebabkan oleh allergen / allergen – allergen yang dikenal missal
( serbuk sari, binatang, makanan, dan jamur) kebanyakan allergen
terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat medis masa lalu eczema atau rhinitis alergik.
Pemajanan terhadap allergen mencetuskan serangan asma. Anak – anak
dengan asma alergik sering mengatasi kondisi sampai masa remaja.
2. Asma Idiopatik/ non alergik
Tidak berhubungan dengan allergen spesifik. Factor – factor,
seperti common cold,, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan
polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Beberapa agens
farmakologi, seperti aspirin dan agens anti inflamasi nonsteroid lain,
pewarna rambut, antagonis bête adrenergic, dan agens sulfit (pengawet
makanan) juga mungkin menjadi factor. Serangan asma idiopatik/
nonalergik menjadio lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya
waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis kronis dan emfisema.
3. Asma Gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik/ nonalergik

C. Etiologi
Penyakit asma bronchial ini disebabkan oleh beberapa factor yaitu :
1. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain
itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Asma alergik
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
b. Asma non alergik
1) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
2) Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena
jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
3) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
4) Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan
asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.
Penyebab pada penderita asma, penyempitan saluran
pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada
paru-paru normal mempengaruhi saluran pernafasan.
Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti
serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan
olahraga. Pada suatu serangan asma , otot polos dari bronki
mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara
mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan
pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan
memperkecil diameter dari saluran udara (disebut
bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita
harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel
tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga
bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan
ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti
histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya:
 kontraksi otot polos
 peningkatan pembentukan lendir
 perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki.

Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap


sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk
sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Tetapi
asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi
yang sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada
dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu
dilepaskannya histamine dan leukotrien. Sel lainnya (eosnofil) yang
ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan
lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran
udara. Gejala Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi.
Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya
mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang
terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk
dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita
suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun
iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya
gejala. Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai
dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak
nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan
nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan
dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua
keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita
asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa
berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai
beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.

D. Patofisiologi
Perubahan jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas pada bronkus
dan terdiri dari spasme otot polos, edema mukosa, dan infiltrasi sel-sel Radang
yang menetap dan hipersekresi mucus yang kental. Keadaan ini pada orang-
orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai rangsangan,
yang menandakan suatu keadaan hiveraktivitas bronkus yang khas.Orang yang
menderita asma memilki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka
aliran uadara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi).
Ketidakmampuan ini tercermin dengan rendahnya usaha ekspirasi paksa pada
detik pertama, dan berdasarkan parameter yang berhubungan aliran. Asma
ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi
diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam
jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus
dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE
orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam
zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Histamine yang dihasilkan menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus.
Apabila respon histaminnya berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik.
Karena histamine juga merangsang pembentukan mucus dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan
ruang intestinum paru, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi
sangat meningkat.
Selain itu olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu iritan, karena
terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah besar dan cepat. Udara ini
belum mendapat perlembaban (humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan
dari partikel-partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan asma.
Pada asma, diameter bronkhiolus menjadi semakin berkurang selama ekspirasi
dari pada selama inspirasi. Hal ini dikarenakan bahwa peningkatan tekanan
dalam intrapulmoner selama usaha ekspirasi tak hanya menekan udara dalam
alveolus tetapi juga menekan sisi luar bronkiolus. Oleh karena itu pendeita
asma biasanya dapat menarik nafas cukup memadai tetapi mengalami kesulitan
besar dalam ekspirasi. Ini menyebabkan dispnea, atau ”kelaparan udara”.
Kapsitas sisa fungsional paru dan volume paru menjadi sangat meningkat
selama serangan asma karena kesulitan mengeluarkan udara dari paru-paru.
Setelah suatu jangka waktu yang panjang, sangkar dada menjadi membesar
secara permanent, sehingga menyebabkan suatu ”barrel chest” (dad seperti
tong).
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronchial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui system parasimpastis. Pada asma idiopatik atau
nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh factor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan maningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi. Individu
dengan asma dapat mempunyai tolenransi rendah terhadap respon
parasimpatis. Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari system saraf
simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic dirangsang,
terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik
yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- adrenergic dikendalikan
terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa
mengakibatkan penurunan cAMP,yang mengarah pada peningkatan mediator
kimiawi yang dilepaskan oleh sel – sel mast bronkokonstriksi. Sirkulasi
reseptor beta mengakibatkan peningkatan CAMP, yang menghambat
pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang
diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan
asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos.
5. Rencana Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas klien dan penanggung


2. Keluhan utama klien saat ini
3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi
klien multipara
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Keadaan klien
meliputi :
a) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur
pembedahan kira-kira 600-800 mL
b) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai
tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada
kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas
emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau
kecemasan.
c) makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet
ditentukan).
d) Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi
spinal epidural.
e) Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karen
trauma bedah, distensikandung kemih , efek - efek
anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
f) Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
g) Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan
utuh h
h) Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran
lokhea sedang.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri

3. Defisit pengetahuan b.d kurang terpaparnya informasi

4. Menyusui tidak efektif b.d ketidak adekuatan suplai ASI

5. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasive

6. Ancietas b.d kritis situasional

7. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan

8. Hipovolemi b.d kehilangan cairan aktif

9. Gangguan eliminasi urine b.d efektindakan medis dan diagnosa

10. Intolerasi aktifitas b.d tirah baring


C. Rencana Keperawatan

N0 Diagnose SLKI SIKI

1 Nyeri akut b.d L.08063 Kontrol Nyeri Manajemen

Agen pencedera Nyeri (I.08238)


Setelah dilakukan tindakan keperawatan
fisik selama 2x24 jam diharapkan kontrol Observasi
nyeri meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi
Kriteria hasil Awal Akhir lokasi,
karakteristik,
durasi, frekuensi,
Nyeri 2 5
kualitas,
terkontrol
intensitasnyeri
Kemampuan 2 5 - Identifikasi
mengenali skala nyeri
penyebab nyeri
- Identifikasi
Kemampuan 2 5
factor yang
menggunakan
memperberat
teknis non
dan
farmakologis
memperingan
nyeri
Keterangan Terapeutik

1. Memburuk - Berikan
2. Cukup memburuk teknik
3. Sedang
nonfarmakolo
4. Cukup membaik
5. Membaik gis

- Kontrol
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri
(kontrol
cahaya,kontrol
suhu ruangan)
Edukasi

- Jelaskan
penyebab nyeri

- Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri
Kolaborasi

- Kolaborasi
pemberian obat
analgesic

- Ajarkan teknik
nonfarmakologi
s untuk
mengurangi
nyeri (teknik
relaksasi nafas
dalam, kompres
hangat)

2 Gangguan Mobilitas fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi

mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan (1.05173 )

b.d nyeri keperawatanselam Obervasi


2x 24 jam di harapkan mobilitas fisik - Identifikasi adanya
meningkat dengan kriteria hasil: nyeri atau keluhan
- Pergerakan extermitas fiik lainnya
meningkat - Identifikasi tolerani
- Kekuatan otot meningkat fisik melakukan
- Rentang gerak ROM meningkat pergerakan
- Nyeri menurun - Monitor frekueni
jantung dan tekanan
- Cemas menurun darah sebelum
- Kaku endi menurun melakukan mobiliasi
- Gerakan terbata menurun - Monitor kondisi
- Kelemahan fisik menurun umum selama
melakukan mobilisai

Terapiutik
- Fasilitasi aktifitas
mobilisasi dengan
alat bantu
- Fasilitasi melakukan
pergerakandengan
membantu paien
melakukan
monbilisas
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasieni dalam
meningkatkan
pergerakan

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobiliai
- Anjurkan melakukan
mobilisasin diharuni
- Ajarkan monbilisai
sederhana yang
harus dilakukan

3 Defisit Tingkat pengetahuan (L.12111) Edukasi Kesehatan


Pengetahuan b.d
Setelah dilakukan tindakan keperawatan (I.12383)
kurang
terpaparnya selama…x…jam diharapkan masalah Observasi
informasi
defisit pengetahuan menurun Kriteria - Identifikasi kesiapan
hasil : dan kemampuan
Kriteria hasil Awal Akhir menerima informasi
- Identifikasi faktor-
Perilaku sesuai 2 5 faktor yang dapat
anjuran meningkatkan dan
verbalisasi minat menurunkan
dalam motivasi perilaku
belajar meningkat hidup bersih dan
Kemampuan 2 5 sehat
menjelaskan
pengetahuan Teraupetik
tentang - Sediakan materi dan
suatu topik media pendidikan
meningkat kesehatan
Perilaku sesuai 2 5 - Jadwalkan
dengan pendidikan
pengetahuan kesehatan sesuai
meningkat kesepakatan

Edukasi
Keterangan
- Jelaskan faktor risiko
1. Memburuk yang dapat
2. Cukup memburuk mempengaruhi
3. Sedang
kesehatan
4. Cukup membaik
5. Membaik - Ajarkan perilaku
hidup sehat dan
bersih
- Ajarkan strategi
yang dapat
digunakan untuk
meningkatkan
perilaku hidup bersih
dan sehat

4 Ansietas b.d Tingkat ansietas (L.09093) Reduksi ansietas (I.09314)


kritis situasional Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Observasi :
Selama 2x24 jam diharapkan masalah
Ansietas - Monitor tanda-tanda
ansietas
menurun
Kriteria hasil : Teraupetik :
- Temani pasien untuk
Kriteria hasil Awal Akhir mengurangi
Verbalisasai 2 5 kecemasan
- Gunakan pendekatan
kebingungan yang tenang dan
menurun meyakinkan
- Diskusikan
Verbalisasi 2 5
perencanaan realistis
khawatir terhadap
tentang peristiwa
kondisi yang
yang akan datang
dihadapi menurun
Perilaku gelisah 2 5 Edukasi :
- Anjurkan keluarga
menurun
tetap bersama
Perilaku tegang 2 5 pasien-
- Anjurkan
menurun
mengungkapkan
perasaan dan
persepsi
Keterangan :
- Latih kegiatan
1 Meningkat
pengalihan untuk
2 Cukup meningkat mengurangi
ketegangan
3 Sedang
4 Cukup menurun
5 Menurun

5 Menyususi tidak Status menyusui membaik Konseling

efektif b.d ( L.03029) laktsi

ketidakadek Setelah dilakukan tindakan ( I. 03093)

uatan suplai Asi keperawatan selama 1 x 24 jam Observasi


diharapkan status menyususi
- Identifikasi keadaan
membaik dengan kriteria hasil
emosional ibu saat
Kriteria hasil Awal Akhir
akan
Tetesan 1 5 dilakaukan
pancaran ASI konseling
Perlekatan bayi 1 5 menyususi
pada ibu - Identifikasi
Suplai ASI 1 5 permasalahan
yang ibu
Keterangan alami selama
proses menyusui
1 Memburuk
Terapeutik
2 Cukup memburuk
3 Sedang - Gunakan
4 Cukup membaik
tehnik
5 Membaik
mendengarkan aktif
(missal duduk sama
tinggi,
dengarkan

- permasalahan ibu )

- Berikan
pujian terhadap
perilaku ibu yang
benar
Edukasi

- Ajarkan tehnik
menyusui yang
tepat sesuai
kebutuhan ibu

6 Risiko infeksi Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi


b.d efek Setelah dilakukan tindakan ( l.14539)
prosedur keperawatan selama 2 x 24 Jam Observasi
invasif diharapkan tingkat infeksi menurun
- Monitor tanda dan
dengan kriteria hasil :
gejala infeksi
Kriteria hasil Awal Akhir lokaldan sistemik
Kemerahan 3 5 Terapeutik

Nyeri 3 5 - Batasi

Bengkak 3 5 jumlah pengunjung


- Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak
Keterangan
dengan pasien dan

1 Memburuk lingkungan pasien


2 Cukup memburuk - Pertahankan tehnik
3 Sedang aseptic pada pasien
4 Cukup membaik
5 Membaik berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda
dan gejala infeksi
- Ajarkan cara
mencuci tangan
yang benar
- Ajarkan cara
memeriksa kondisi
luka atau luka
operasi
- Anjurkan
meningkatkan
asupan nutris
- Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
I. Implementasi

Pelaksanaan keperawatan merupakan proses keperawatan yang mengikuti


rumusan dari rencana keperawatan. Pelaksanaan keperawatan mencakup
melakukan, membantu, memberikan askep untuk mencapai tujuan yang
berpusat pada pasien, mencatat serta melakukan pertukaran informasi
yang relevan dengan perawatankesehatan berkelanjutan dari pasien
J. Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil


implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya
Daftar Pustaka

Indah, & Firdayanti. (2019). Manajemen Asuhan Kebidanan. Jurnal MIDWIFERY,1


Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi

dan KB.Jakarta : EGC

Medica Sukarni, I. (2017). Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan neotatus


Resiko Tinggi.Yogyakarta: Nuha Medika.

Oxorn, Harry dan Forte W.R. (2010). Ilmu Kebidanan.Jakarta. Yayasan Essentia

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


indikator Diagnostik,Edisi 1, Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesai: Definisi dan


TindakanKeperawatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
HasilKepearwatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.

Sofian, A. 2015. Rustam Muchtar Sinopsis Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai