Osce BM Reni
Osce BM Reni
Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan defisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat
menurun ketika:
a. Otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia)
b. Kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok)
c. Penyakit metabolit seperti diabetes melitus (koma ketoasidosis)
d. Pada keadaan hipo atau hipernatremia.
e. Keracunan, hipertermia, hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial (karena
perdarahan,stroke, tumor otak).
f. Epilepsi
Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien dengan cara menilai
respon pasien terhadap rangsang yang diberikan oleh pemeriksa.
Terdiri dari 3 pemeriksaan:
Respon membuka mata (eye opening)
Respon verbal terbaik (best verbal response)
Respon motorik terbaik (best motorik response)
Pemeriksaan Respon Pasien
DEWASA
Eye 4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa
dirangsang
(3) : dengan rangsang suara, ddilakukan dengan menyuruh
pasien untuk membuka mata)
(2) : dengan memberikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari
(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang
Verbal (5) : orientasi baik, bicaranya jelas
(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang),
disorientasi tempat dan waktu
(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motorik (6) : mengikuti perintah pemeriksa
(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri
(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri
(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya
menekuk saat diberi rangsang nyeri
(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya
bergerak lurus (ekstensi) di sisi tubuh saat diberi rangsang
nyeri
(1) : tidak ada respon
BAYI DAN ANAK-ANAK
Eye (4) : spontan
(3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara
(2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon
Verbal (5) : berbicara mengoceh seperti biasa
(4) : menangis lemah
(3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri
(2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon
Motorik (6) : bergerak spontan
(5) : menarik anggota gerak karena sentuhan
(4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri
(3) : fleksi abnormal
(2) : ekstensi abnormal
(1) : tidak ada respon
2. Vital Sign
TEKANAN DARAH (Sphygmomanometer)
Cara mengukur tekanan darah :
1) Naracoba berbaring terlentang selama 10 menit.
2) Pasang manset sfigmomanometer pada lengan kanan atas naracoba.
3) Temukan denyut a. brachialis pada fossa cubiti dan a. radialis pada pergelangan
tangan melalui palpasi.
4) Sambil meraba a. radialis, pompa manset sampai a. radialis tidak teraba lagi
(mencapai tekanan sistolik).Bila a. radialis tidak teraba, manset terus dipompa
sampai 30 mmHg di atas tekanan sistolik.
5) Letakkan stetoskop di atas denyut a. brachialis.
6) Turunkan tekanan udara dalam manset (buka klep udara) secara perlahan sambil
mendengarkan adanya bunyi pembuluh (penurunan tekanan 2-3 mmHg per 2
denyut).
7) Tentukan kelima fase Korotkoff.
Fase-fase Korotkoff yaitu :
a. Fase I (Bunyi Korotkoff I)
Timbul dengan tiba-tiba suatu bunyi mengetuk yang jelas dan makin lama
makin keras sewaktu tekanan menurun 10-14 mmHg. Ini disebut nada letupan.
b. Fase II (Bunyi Korotkoff II)
Bunyi berubah kualitasnya menjadi bising selama penurunan tekanan 15-20
mmHg.
Ditimbulkan oleh penutupan katup semilunaris yang tiba-tiba pada akhir
sistole.
c. Fase III (Bunyi Korotkoff III)
Bunyi sedikit berubah dalam kualitas, tetapi menjadi jelas dan keras selama
penurunan tekanan 5-7 mmHg.
Bunyinya lemah dan bergemuruh dan terdengar pada awal sepertiga bagian
tengah diastole.
Tekanan sistolik : tekanan maksimum dinding arteri saat ventrikel kiri kontraksi
Tekanan diastol : tekanan minimum dinding arteri saat ventrikel kiri relaksasi
Tekanan nadi/arteri : selisih antara tekanan sistolik dan diastolik
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah :
Aktivitas fisik
Status emocional
Nyeri
Demam
Pengaruh kopi/tembakau
Tekanan Darah Menurut JNC (Joint Nasional Commite)
Kategori Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolic
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 ≥160 mmHg ≥ 100 mmHg
Stadium 3 ≥180 mmHg ≥110 mmHg
Hipotensi < 90 mmHg < 60 mmHg
PUPIL MATA
Pupil merupakan tempat masuknya cahaya ke dalam bola mata. Pemeriksaan
pupil ini berfungsi untuk mengetahui refleks pasien yang berhubungan dengan kesadaran
dan kerja saraf simpatis-parasimpatis.
Reflek pupil mata yang normal akan mengecil ketika diberikan cahaya.
Cara pemeriksaan pupil mata :
1. Mata pasien fiksasi pada jarak tertentu
2. Observasi general pupil : bentuk, ukuran, lokasi, warna iris, kelainan bawaan dan
kelainan lain.
3. Berikan rangsangan cahaya selama 2-5 detik
Pada pemeriksaan pupil mata, operator harus memriksa bentuk dan lebarnya, bila
kedua pupil sama besar disebut isokor. Pupil yang mengecil disebut miosis (normal saat
diberi rangsangan), kadang-kadang sangat kecil (pin point), pupil yang dilatasi disebut
midriasis misalnya pada kerusakan saraf kranial III.
Diameter pupil :
Normal : 3 mm
Cahaya terang : 2-4 mm
Gelap : 4-6 mm
Bentuk bulatan : perbedaan 3 mm
PERNAPASAN
Prosedur :
1. Inspeksi : memperhatikan gerakan nafas pasien secara menyeluruh tanpa diketahui pasien.
Posisi op di kanan/ dekat telapak kaki pasien
2. Palpasi : meletakkan telapak tangan u/ merasakan naik turunnya gerakan dinding dada
3. Auskultasi : stetoskop pada dinding dada diluar lokasi bunyi jantung, u/ konfirmasi
pemeriksaan inspeksi
Yang dinilai :
Frekuensi selama 1 menit
Inhalasi + ekshalasi = 1 frekuensi
Normal = 16-24 x/menit (dewasa)
Irama : reguler / ireguler
NADI
Denyut nadi adalah gelombang tekanan pada arteri
Frekuensi denyut nadi = frekuensi denyut jantung
Prosedur :
1. Posisikan pasien duduk tegak/ berbaring dengan nyaman dan rileks
2. Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari, telunjuk, jari
tengah dan jari manis jika kita kesulitan menggunakan 2 jari.
3. Temukan titik nadi (daerah yang denyutannya paling keras), yaitu nadi karotis di
cekungan bagian pinggir leher kira-kira 2 cm di kiri/kanan garis tengah leher (kira-kira
2 cm disamping jakun pada laki-laki ), nadi arteri radialis di pergelangan tangan di sisi
ibu jari.
4. Setelah menemukan denyut nadi, tekan perlahan kemudian hitunglah jumlah
denyutannya selama 1 menit.
5. Penilaian : frekuensi/ menit, irama (teratur/tidak)
6. Apabila irama tidak teratur, konfirmasi pemeriksaan auskultasi jantung
Parameter Pemeriksaan :
Frekuensi/menit : normal/tidak
Irama : teratur/tidak
Pengisian : tidak teraba, lemah, cukup, kuat, sangat kuat
Kelenturan dinding arteri : elastic/ kaku
Perbandingan nadi ka-ki : normal sama
Perbandinan antara frekuensi nadi dan frekuensi denyut jantung : normal sama
Tempat-tempat menghitung denyut nadi adalah:
Ateri radialis : Pada pergelangan tangan
Arteri temporalis : Pada tulang pelipis
Arteri caratis : Pada leher
Arteri femoralis : Pada lipatan paha
Arteri dorsalis pedis : Pada punggung kaki
Arteri politela : pada lipatan lutut
Arteri bracialis : Pada lipatan siku
SUHU
ORAL
+ : mudah diakses, nyaman
cepat dan mudah serta lebih nyaman daripada pengukuran suhu rektal
- : 1. dapat pecah apabila tergigit
2. nilai tidak akurat apabila pasien baru minum dan makan panas/dingin
3. Ada selisih dengan skor temperatur tubuh
Prosedur :
1. Turunkan air raksa pada termometer pada angka < 35 C dengan cara dikibaskan berapa
kali
2. Letakkan termometer dibawah salah satu sisi lidah, pasien nafas lewat hidung dan
menutup mulut
3. Tunggu 3-5 menit -> baca suhu
4. Apabila pasien habis minum panas/dingin tunda 10-15 menit agar tidak mempengaruhi
pengukuran
AKSILA
+ : Aman dan noninvasif
- : dipasang dalam waktu lama agar hasil akurat
Prosedur :
1. Turunkan air raksan <35 C
2. Letakkan termometer pada lipatan aksila dalam keadaan kering , pastikan menempel pada
kulit
3. Jepit aksila dengan menempatkan lengan ke tubuh pasien
4. Tunggu 3-5 menit-> baca suhu
REKTAL
+:
Hasil akurat, suhu mendekati core body temperature (CBT)
Suhu rektal tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan serta bermanfaat untuk
mengevaluasi pasien dengan hipotermia
-:
Tidak nyaman
risiko kontaminasi silang
Sulit dilakukan apabila pasien sulit miring ka/ki, dapat melukai rectum
Adanya fases dapat mengganggu penempatan rektum
Prosedur :
1. Biasa pada bayi
2. Pilih termometer yang bulat , beri pelumas
3. Masukkan ujung termo ke dalam anus selama 3-4 menit
4. Cabut dan baca setelah 3 menit
TIMPANI
Untuk mengukur suhu timpani, tarik aurikula pasien ke arah belakang dan superior, sehingga
saluran telinga terlihat langsung. Masukkan ujung probe termometer timpani ke dalam saluran
telinga, tekan tombol untuk mengukur suhu, dan catat angka yang tertera di layar
+:
mudah dilakukan,
memberi hasil dengan cepat, dan bersifat higienis.
praktis digunakan pada pasien yang tidak kooperatif, seperti pasien anak.
Suhu timpani dianggap mewakili core body temperature (CBT) karena membran timpani
dan hipotalamus disuplai oleh arteri yang sama, yakni arteri karotis.
Suhu timpani lebih akurat untuk menggambarkan CBT daripada suhu aksila.
-:
Kekurangan pengukuran suhu timpani adalah suhu timpani dapat berubah akibat
perubahan suhu kulit kepala. Studi oleh McCaffrey et al dan Nielsen menunjukkan
bahwa head cooling, terutama di area wajah, menurunkan suhu timpani.[5]
PERKUTAN
Untuk mengukur suhu perkutan, posisikan termometer di dahi di atas alis. Tekan tombol untuk
mengukur suhu dan catat angka yang tertera di layar
+ : bersifat noninvasif, mudah, dan praktis dilakukan
-:
dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu lingkungan.
sensitivitas rendah (54%) dan agreement 59% bila dibandingkan suhu nasofaring yang
digunakan dalam studi tersebut sebagai metode standar
suhu perkutan tidak disarankan untuk pasien-pasien ICU.
Berdasarkan posisi :
• Posisi A : Bagian tertinggi M3 terletak setinggi/diatas garis oklusal gigi M2
• Posisi B : Bagian tertinggi M3 terletak diantara cervical dan oklusal gigi M2
• Posisi C : Bagian tertinggi M3 terletak dibawah cervical gigi M2
B. Klasifikasi Impaksi Menurut Winter
Klasifikasi winter berdasarkan perbandingan antara sumbu panjang gigi M3 terhadap gigi
sebelahnya :
1. Mesioangular
2. Horizontal
3. Vertikal
4. Distoangular
5. Bukoangular
6. Linguoangular
7. Inverted
Anestesi Lokal adalah obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri)
secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.
Golongan Amida
Metabolisme lebih lambat krn penguraiannya lebih kompleks dan memerlukan
pengangkutan kehati u/ penguraiannya.
Daya penghilang sakit yang kuat u/ aplikasi infiltrasi
Lebih stabil
b. Prilocaine
Tersedia dlm 2 bentuk :
- Lar 3% (30 mg/ml) + vasoconstriktor
- Lar 4% (40 mg/ml) (felypressin/octapressin)
Efek analgesik mirip lignocaine+adrenalin u/ infiltrasi & blok n. alv. inf, sdgkan
injeksi intraligamen kurang efisien
Kurang efektif dalamm mengontrol perdarahan & vasodilatasi lebih sedikit
Anestesi topikal
c. Mepivacaine
Tersedia dalam 2 formulasi
Lar 2% dg 1:100.000 adrenalin
Lar 3%
Kombinasi mepivacaine + vasokonstriktor efeknya = lignocaine + vasokonstriktor
Vasodilatasi lbh sedikit drpd lignocaine
d. Articaine
Tersedia sbg lar 4% yg dikombinasi dg adrenalin 1:100.000 atau 1: 200.000
Kombinasi articaine + vasokonstriktor efeknya = lignocaine + vasokonstriktor
Metabolisme tjd dlm plasma & durasi lebih pendek dengan waktu paruh 20 menit.
f. Ropivacaine
Waktu reaksi mirip bupivacaine
Formulasi dlm KG termasuk konsentrasi 0,5% ( biasa atau dg adrenalin), 0,75% & 1%
Vasokontriktor
Tujuan pemberian vasokonstriktor :
1. Mengurangi perdarahan perifer
2. absorbsi anestetikum menjadi lambat (efek anestesi lbh efektif & dalam)
3. mengurangi resiko reaksi overdosis
4. memperpanjang kerja anestetikum
5. mengurangi dosis anestetikum
Vasokonstriktor :
1. Adrenalin
2. Epinephrine
3. Felypressin
Epineprin
Adrenalin, adrenin, supranol (glandula suprarenalis)
suprarenin, suprenalin, sintetik L-Suprarenin (sintetis)
Vasokonstriktor dan mempercepat denyut jantung
Stimulan jantung dan hemostatik kontrol perdarahan perifer
Standar 1:1.000 diaplikasikan langsung ke jaringan yang perdarahan, tidak boleh lebih
dari 1:1.000 nekrosis dan gangren suplai O2 dan makanan berkurang
Kontra indikasi pada pasien jantung, hipertensi dan arteriosclerosis, anerisma (penipisan
pembuluh darah), gangguan tiroid, diabetes mellitus, nervous berat
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Tipe hipersensitivitas yang dialami tubuh adalah :
a. Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi
membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel
basofil di sirkulasi dan selanjutnya melepaskan mediator-mediator kimia . Reaksi tipe I
merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi
seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring,
wheezing dan stomatitis alergika, eritema multiforme. Penyebab umum adalah molekul
biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
Mediator Hipersensitivitas Anafilaksis
1. Histamin
Merupakan mediator utama (primer) pada rekasi tipe I. Pelepasan Histamin ini
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
2. Prostaglandin dan tromboksan
Seperti leukotrien, prostaglandin, dan tromboksan berasal dari asam arakidonat melalui
jalur siklooksigenase. Prostaglandin mengakibatkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan menyebabkan agregasi platelet
(trombosit). Mediator tersebut, bersama dengan sitokin seperti TNF dan IL-4, merupakan
mediator sekunder pada reaksi tipe I.
b. Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obat di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi
antibodi akan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II
merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi
sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan
oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin.
Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan
rifampisin.
c. Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten
beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk
kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul
setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal
sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat
antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena
penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada
tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian.
Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh
obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin
antilimfositik dan fenitoin.
DIABETES MELITUS
Tujuan mengetahui riwayat penyakit diabetes melitus
DM merupakan faktor predisposisi terhadap timbulnya gingivitis dan periodontitis. hal
ini terjadi karena salah satu komplikasi dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah
sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah
ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi
Penyakit diabetes yang dapat menjadi penyebab utama xerostomia, palatum dan lidah
terasa kering/terbakar, hilangnya papilla lidah serta peningkatan resiko karies.
Pada penderita Diabetes Melites kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga
sering mengkonsumsi antibiotik. Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan flora
normal di dalam mulut yang mengakibatkan jamur candida berkembang tidak terkontrol
sehingga menyebabkan oral thrush.
Pasien dengan penyakit diabetes mellitus memiliki resiko lebih tinggi dalam ekstraksi
gigi. Artinya cloating time penderita tidak seperti orang non diabetes. Selain itu, pada
pemberian anastesi local, penderita DM harus dihindarkan dari bahan vasokonstriktor
karena mengandung adrenalin yang dapat meningkatkan glukosa dalam darah.
Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat menghambat dilakukannya perawatan
prostodonsia. Xerostomia yang merupakan gejala diabetes mellitus juga dapat
menurunkan retensi basis gigi tiruan dengan menghambat daya adhesi antara basis gigi
tiruan lepasan dengan mukosa mulut dan daya kohesi cairan saliva.
Penderita DM pada perawatan orto, misalnya dalam pemakaian alat orto (kawat) dapat
menyebabkan gingivitis. Pada penderita DM terdapat kecenderungan gigi goyang. Hal ini
merupakan salah satu kontraindikasi pemerataan gigi, karena dengan adanya pemakaian
kawat, akan menghasilkan tekanan yang terlalu besar pada gigi, sehingga gigi goyang
yang akhirnya akan menyebabkan gigi tanggal.
Manifestasi klinis : peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria), peningkatan rasa
haus dan minum (polidipsi), dan karena penyakit berkembang, penurunan berat badan
meskipun lapar dan peningkatan makan (poliphagi).
b. PENYAKIT HEPATITIS
Tujuan mengetahui riwayat hepatitis pasien adalah
Pada beberapa kasus hepatitis, ciri khas pada rongga mulut pasien adalah adanya bau
mulut yang khas berbau keton dan ditemukan adanya pigmentasi pada lapisan mukosa
mulut (pigmen bilirubin). Hal yang harus diperhatikan pada perawatan gigi yaitu
komplikasi pendarahan, defisiensi cloating factor dan thrombocytopenia untuk mencegah
perdarahan dan harus dilakukan pemeriksaan darah seperti complete blood count (CBC)
sebelum perawatan.
Penyakit hepatitis penting untuk ditanyakan karena pada perawatan gigi, diharapkan
operator lebih berhati-hati karena penyakit ini dapat menular melalui cairan tubuh. \
d. HIV+AIDS
Tujuan
Pada penderita HIV, terdapat dua tipe lesi yang hampir selalu ditemukan dalam rongga
mulut penderita yaitu oral hairy leukoplakia dan kaposi sarcoma.
Operator harus ekstra hati-hati dalam melakukan tindakan untuk mencegah penularan
karena penularan yang sangat efektif melalui instrumen kedokteran gigi yang
terkontaminasi darah pasien. Selain penularan dari penderita ke operator, penularan
dari penderita ke pasien lainnya juga harus dihindari.
f. PENYAKIT PENCERNAAN
Tujuan
Manifestasi penyakit ini pada perawatan dental lebih mengarah pada pemilihan obat-
obatan selama terapi agar tidak memilih obat yang sifatnya asam.
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah sering mual atau muntah?
3. Apakah terdapat gangguan makan?
4. Apakah pasien pernah merasakan nyeri perut bagian atas?
g. PENYAKIT GINJAL
Tujuan
Tanda oral yang dapat dilihat yaitu terciumnya bau khas ammonia dari mulut pasien,
ulserasi dan perdarahan pada mulut.
Pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi peningkatan resiko penyakit periodontal,
karena berkaitan dengan kelainan fungsi limfosit, perubahan homeostasis kalsium,
sindrom uremik, dan pengaruh dari medikasi penyakit ginjal kronis dimana dibutuhkan
cuci darah rutin sehingga pasien mengkonsumsi antikoagulan.
i. EPILEPSI
Obat antiepilepsi yang sangat berpengaruh pada keadaan rongga mulut adalah fenitoin.
gingival enlargement adalah hal yang paling sering terjadi pada pengguna fenitoin.
Pembesaran jaringan secara tipikal terjadi antara 1-3 bulan setelah terapi obat diinisiasi
dan dimulai di jaringan gusi superfisial di antara gigi (papila interdental). Segmen
anterior lebih sering mengalami pembesaran dibandingkan area posterior, tapi
keterlibatan yang sama rata tidak umum.
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah ada keluarga anda dan anda yang menderita penyakit ayan?
2. Apakah anda pernah kejang-kejang mendadak?