Anda di halaman 1dari 30

1.

Kesadaran umum {GCS, criteria, skala pengukuran (eyes, verbal, motorik)}


Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan yang
berasal dari lingkungan.
Tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan defisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat
menurun ketika:
a. Otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia)
b. Kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok)
c. Penyakit metabolit seperti diabetes melitus (koma ketoasidosis)
d. Pada keadaan hipo atau hipernatremia.
e. Keracunan, hipertermia, hipotermia, peningkatan tekanan intrakranial (karena
perdarahan,stroke, tumor otak).
f. Epilepsi
Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien dengan cara menilai
respon pasien terhadap rangsang yang diberikan oleh pemeriksa.
Terdiri dari 3 pemeriksaan:
 Respon membuka mata (eye opening)
 Respon verbal terbaik (best verbal response)
 Respon motorik terbaik (best motorik response)
Pemeriksaan Respon Pasien
DEWASA
Eye  4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa
dirangsang
 (3) : dengan rangsang suara, ddilakukan dengan menyuruh
pasien untuk membuka mata)
 (2) : dengan memberikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari
 (1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang
Verbal  (5) : orientasi baik, bicaranya jelas
 (4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang),
disorientasi tempat dan waktu
 (3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas
 (2) : suara tanpa arti (mengerang)
 (1) : tidak ada respon
Motorik  (6) : mengikuti perintah pemeriksa
 (5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri
 (4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri
 (3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya
menekuk saat diberi rangsang nyeri
 (2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya
bergerak lurus (ekstensi) di sisi tubuh saat diberi rangsang
nyeri
 (1) : tidak ada respon
BAYI DAN ANAK-ANAK
Eye  (4) : spontan
 (3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara
 (2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri
 (1) : tidak ada respon
Verbal  (5) : berbicara mengoceh seperti biasa
 (4) : menangis lemah
 (3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri
 (2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri
 (1) : tidak ada respon
Motorik  (6) : bergerak spontan
 (5) : menarik anggota gerak karena sentuhan
 (4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri
 (3) : fleksi abnormal
 (2) : ekstensi abnormal
 (1) : tidak ada respon

 Nilai GCS (15-14) : Composmentis


 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Stupor
 Nilai GCS (3-4) : Coma

2. Vital Sign
TEKANAN DARAH (Sphygmomanometer)
Cara mengukur tekanan darah :
1) Naracoba berbaring terlentang selama 10 menit.
2) Pasang manset sfigmomanometer pada lengan kanan atas naracoba.
3) Temukan denyut a. brachialis pada fossa cubiti dan a. radialis pada pergelangan
tangan melalui palpasi.
4) Sambil meraba a. radialis, pompa manset sampai a. radialis tidak teraba lagi
(mencapai tekanan sistolik).Bila a. radialis tidak teraba, manset terus dipompa
sampai 30 mmHg di atas tekanan sistolik.
5) Letakkan stetoskop di atas denyut a. brachialis.
6) Turunkan tekanan udara dalam manset (buka klep udara) secara perlahan sambil
mendengarkan adanya bunyi pembuluh (penurunan tekanan 2-3 mmHg per 2
denyut).
7) Tentukan kelima fase Korotkoff.
Fase-fase Korotkoff yaitu :
a. Fase I (Bunyi Korotkoff I)
 Timbul dengan tiba-tiba suatu bunyi mengetuk yang jelas dan makin lama
makin keras sewaktu tekanan menurun 10-14 mmHg. Ini disebut nada letupan.
b. Fase II (Bunyi Korotkoff II)
 Bunyi berubah kualitasnya menjadi bising selama penurunan tekanan 15-20
mmHg.
 Ditimbulkan oleh penutupan katup semilunaris yang tiba-tiba pada akhir
sistole.
c. Fase III (Bunyi Korotkoff III)
 Bunyi sedikit berubah dalam kualitas, tetapi menjadi jelas dan keras selama
penurunan tekanan 5-7 mmHg.
 Bunyinya lemah dan bergemuruh dan terdengar pada awal sepertiga bagian
tengah diastole.

d. Fase IV (Bunyi Korotkoff IV)


 Bunyi meredam (melemah) selama penurunan 5-6 mmHg. Setelah itu bunyi
menghilang.
 Bunyi ini timbul saat atrium berkontraksi yang disebabkan oleh meluncurnya
darah ke dalam ventrikel sehingga menimbulkan getaran seperti yang terjadi
pada bunyi jantung yang ke-3.
e. Fase V (Bunyi Korotkoff V)
 Titik di mana bunyi menghilang.
 Digunakan untuk mengukur tekanan diastolik.

Tekanan sistolik : tekanan maksimum dinding arteri saat ventrikel kiri kontraksi
Tekanan diastol : tekanan minimum dinding arteri saat ventrikel kiri relaksasi
Tekanan nadi/arteri : selisih antara tekanan sistolik dan diastolik
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah :
 Aktivitas fisik
 Status emocional
 Nyeri
 Demam
 Pengaruh kopi/tembakau
Tekanan Darah Menurut JNC (Joint Nasional Commite)
Kategori Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolic
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 ≥160 mmHg ≥ 100 mmHg
Stadium 3 ≥180 mmHg ≥110 mmHg
Hipotensi < 90 mmHg < 60 mmHg

PUPIL MATA
Pupil merupakan tempat masuknya cahaya ke dalam bola mata. Pemeriksaan
pupil ini berfungsi untuk mengetahui refleks pasien yang berhubungan dengan kesadaran
dan kerja saraf simpatis-parasimpatis.
Reflek pupil mata yang normal akan mengecil ketika diberikan cahaya.
Cara pemeriksaan pupil mata :
1. Mata pasien fiksasi pada jarak tertentu
2. Observasi general pupil : bentuk, ukuran, lokasi, warna iris, kelainan bawaan dan
kelainan lain.
3. Berikan rangsangan cahaya selama 2-5 detik

Pada pemeriksaan pupil mata, operator harus memriksa bentuk dan lebarnya, bila
kedua pupil sama besar disebut isokor. Pupil yang mengecil disebut miosis (normal saat
diberi rangsangan), kadang-kadang sangat kecil (pin point), pupil yang dilatasi disebut
midriasis misalnya pada kerusakan saraf kranial III.
Diameter pupil :
 Normal : 3 mm
 Cahaya terang : 2-4 mm
 Gelap : 4-6 mm
Bentuk bulatan : perbedaan 3 mm

Reflek pupil langsung/direct (Unconsensual)


Respon pupil langsung dinilai ketika diberikan cahaya terang, pupil akan konstriksi atau
mengecil. Dilakukan pada masing-masing mata. Caranya adalah jatuhkan sinar pada mata
kanan, amati pupil mata kanan
Reflek pupil tidak langsung/indirect (Consensual)
Dinilai bila cahaya diberikan pada salah satu mata, maka mata sebelahnya akan
memberikan respon yang sama. Caranya adalah jatuhkan sinar pada sinar mata kiri, amati
refleks pupil mata kanan.

PERNAPASAN
Prosedur :
1. Inspeksi : memperhatikan gerakan nafas pasien secara menyeluruh tanpa diketahui pasien.
Posisi op di kanan/ dekat telapak kaki pasien
2. Palpasi : meletakkan telapak tangan u/ merasakan naik turunnya gerakan dinding dada
3. Auskultasi : stetoskop pada dinding dada diluar lokasi bunyi jantung, u/ konfirmasi
pemeriksaan inspeksi

Yang dinilai :
 Frekuensi selama 1 menit
Inhalasi + ekshalasi = 1 frekuensi
Normal = 16-24 x/menit (dewasa)
 Irama : reguler / ireguler

Pola pernafasan adalah:


 Pernafasan normal (ipnea)
 Pernafasan cepat /> normal(tachypnea)
 Pernafasan lambat/< normal (bradypnea)
 Sulit/sukar bernafas (dypnea)
 Henti nafas (apnea)
Pernafasan normal:
 Bayi : 30 - 40 kali per menit
 Anak : 20 - 50 kali per menit
 Dewasa : 16 - 24 kali per menit
 Lansia : 14-16 kali per menit

NADI
Denyut nadi adalah gelombang tekanan pada arteri
Frekuensi denyut nadi = frekuensi denyut jantung

Prosedur :
1. Posisikan pasien duduk tegak/ berbaring dengan nyaman dan rileks
2. Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari, telunjuk, jari
tengah dan jari manis jika kita kesulitan menggunakan 2 jari.
3. Temukan titik nadi (daerah yang denyutannya paling keras), yaitu nadi karotis di
cekungan bagian pinggir leher kira-kira 2 cm di kiri/kanan garis tengah leher (kira-kira
2 cm disamping jakun pada laki-laki ), nadi arteri radialis di pergelangan tangan di sisi
ibu jari.
4. Setelah menemukan denyut nadi, tekan perlahan kemudian hitunglah jumlah
denyutannya selama 1 menit.
5. Penilaian : frekuensi/ menit, irama (teratur/tidak)
6. Apabila irama tidak teratur, konfirmasi pemeriksaan auskultasi jantung

Parameter Pemeriksaan :
 Frekuensi/menit : normal/tidak
 Irama : teratur/tidak
 Pengisian : tidak teraba, lemah, cukup, kuat, sangat kuat
 Kelenturan dinding arteri : elastic/ kaku
 Perbandingan nadi ka-ki : normal sama
 Perbandinan antara frekuensi nadi dan frekuensi denyut jantung : normal sama
Tempat-tempat menghitung denyut nadi adalah:
 Ateri radialis : Pada pergelangan tangan
 Arteri temporalis : Pada tulang pelipis
 Arteri caratis : Pada leher
 Arteri femoralis : Pada lipatan paha
 Arteri dorsalis pedis : Pada punggung kaki
 Arteri politela : pada lipatan lutut
 Arteri bracialis : Pada lipatan siku

Tabel . Frekuensi Denyut Nadi


Usia Rentang Normal Rata-rata
Bayi baru lahir 120-160 140
1-12 bulan 80-140 120
1-2 tahun 80-130 110
3-6 tahun 75-120 100
7-12 tahun 75-110 95
Remaja 60-100 80
Dewasa 60-100 80
Lansia 60-70

Bradicardi : jumlah denyut nadi di bawah kondisi normal,


Tachicardi : jumlah denyut nadi di atas kondisi normal
Takikardi adalah denyut jantung yang lebih cepat dari denyut jantung normal pada
saat istirahat. Ketika jantung berdetak terlalu cepat, fungsinya memompa darah ke seluruh
tubuh tidak akan efektif karena jantung terlalu cepat berkontraksi sedangkan darah yang
dipompakan hanya sedikit. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pusing, sesak nafas, nyeri
dada, pingsan dan pada kasus berat dapat mengakibatkan serangan jantung, gagal jantung
dan kematian mendadak.
Bradikardi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perlambatan detak
jantung. Jika terjadi bradikardi, otak dan organ lainnya mungkin tidak akan mendapat
pasokan oksigen yang memadai sehingga dapat menyebabkan pusing, lemas, kelelahan,
sesak nafas, dan sinkop.
Namun denyut nadi bisa lebih cepat jika seseorang dalam keadaan ketakutan, habis
berolah raga, atau demam. Umumnya denyut nadi akan meningkat sekitar 20 kali permenit
untuk setiap satu derajat celcius penderita demam.

Faktor yang mempengaruhi nadi


 Usia; Peningkatan usia, nadi berangsur menurun.
 Jenis kelamin; Pria sedikit lebih rendah dari wanita (P = 60-65 kali/menit ketika
istirahat, W = 7-8 kali/menit lebih cepat)
 Circadian rhythm; Rata-rata menurun pada pagi hari dan meningkat pada siang
dan sore hari.
 Bentuk tubuh; tinggi, langsing biasanya denyut jantung lebih pelan dan nadi lebih
sedikit dibandingkan orang gemuk.
 Aktivitas; Nadi akan meningkat ketika beraktifitas dan akan menurun ketika
istirahat.
 Stress dan emosi; Rangsangan saraf simpatis dan emosi seperti cemas, takut,
gembira dapat meningkatkan denyut jantung dan nadi.
 Suhu tubuh; Setiap peningkatan 1 derajat Fahrenheit nadi akan meningkat 10
kali/menit, peningkatan 1 derajat Celcius nadi meningkat 15 kali/menit.
Sebaliknya bila terjadi penurunan suhu tubuh maka nadi akan menurun.
 Volume darah; Kehilangan darah yang berlebihan akan menyebabkan
peningkatan nadi.
 Obat-obatan; beberapa obat dapat menurunkan atau meningkatkan kontraksi
jantung. contohnya, golongan digistalis dan sedatif dapat menurunkan HR.
Caffein, nicotine, cocaine, hormon tyroid, dan adrenalin dapat meningkatkan HR

SUHU
ORAL
+ : mudah diakses, nyaman
cepat dan mudah serta lebih nyaman daripada pengukuran suhu rektal
- : 1. dapat pecah apabila tergigit
2. nilai tidak akurat apabila pasien baru minum dan makan panas/dingin
3. Ada selisih dengan skor temperatur tubuh
Prosedur :
1. Turunkan air raksa pada termometer pada angka < 35 C dengan cara dikibaskan berapa
kali
2. Letakkan termometer dibawah salah satu sisi lidah, pasien nafas lewat hidung dan
menutup mulut
3. Tunggu 3-5 menit -> baca suhu
4. Apabila pasien habis minum panas/dingin tunda 10-15 menit agar tidak mempengaruhi
pengukuran
AKSILA
+ : Aman dan noninvasif
- : dipasang dalam waktu lama agar hasil akurat
Prosedur :
1. Turunkan air raksan <35 C
2. Letakkan termometer pada lipatan aksila dalam keadaan kering , pastikan menempel pada
kulit
3. Jepit aksila dengan menempatkan lengan ke tubuh pasien
4. Tunggu 3-5 menit-> baca suhu

REKTAL
+:
 Hasil akurat, suhu mendekati core body temperature (CBT)
 Suhu rektal tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan serta bermanfaat untuk
mengevaluasi pasien dengan hipotermia
-:
 Tidak nyaman
 risiko kontaminasi silang
 Sulit dilakukan apabila pasien sulit miring ka/ki, dapat melukai rectum
 Adanya fases dapat mengganggu penempatan rektum
Prosedur :
1. Biasa pada bayi
2. Pilih termometer yang bulat , beri pelumas
3. Masukkan ujung termo ke dalam anus selama 3-4 menit
4. Cabut dan baca setelah 3 menit

TIMPANI
Untuk mengukur suhu timpani, tarik aurikula pasien ke arah belakang dan superior, sehingga
saluran telinga terlihat langsung. Masukkan ujung probe termometer timpani ke dalam saluran
telinga, tekan tombol untuk mengukur suhu, dan catat angka yang tertera di layar

+:
 mudah dilakukan,
 memberi hasil dengan cepat, dan bersifat higienis.
 praktis digunakan pada pasien yang tidak kooperatif, seperti pasien anak.
 Suhu timpani dianggap mewakili core body temperature (CBT) karena membran timpani
dan hipotalamus disuplai oleh arteri yang sama, yakni arteri karotis.
 Suhu timpani lebih akurat untuk menggambarkan CBT daripada suhu aksila.

-:
 Kekurangan pengukuran suhu timpani adalah suhu timpani dapat berubah akibat
perubahan suhu kulit kepala. Studi oleh McCaffrey et al dan Nielsen menunjukkan
bahwa head cooling, terutama di area wajah, menurunkan suhu timpani.[5]

PERKUTAN
Untuk mengukur suhu perkutan, posisikan termometer di dahi di atas alis. Tekan tombol untuk
mengukur suhu dan catat angka yang tertera di layar
+ : bersifat noninvasif, mudah, dan praktis dilakukan
-:
 dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu lingkungan.
 sensitivitas rendah (54%) dan agreement 59% bila dibandingkan suhu nasofaring yang
digunakan dalam studi tersebut sebagai metode standar
 suhu perkutan tidak disarankan untuk pasien-pasien ICU.

Suhu oral 0,2-0,5 C < suhu rektal


Suhu aksila 0,5/1 C > suhu oral
Suhu timpani lebih tinggi dari rektal
Core body temperatura = suhu rektal
Rentang Suhu :
Hipotermi : < 36 C
Normal : 36,6-37,2 C
Sub Febris : 37-38 C
Febris : 38-40 C
Hiperpireksi : 40-42 C
Hipertermi : > 40 C
IMPAKSI
A. Klasifikasi Pell and Gregory
Klasifikasi pell and Gregory hanya pada gigi M3 yang berdasarkan dari hubungan ukuran
antara lebar gigi M3 bawah terhadap jarak antara ramus mandibular dan bagian distal gigi M2
• Klas I : Ruangan antara ramus mandibular dan permukaan distal gigi M2 cukup untuk
ukuran mesiodistal gigi M3
• Klas II : Ruangan antara ramus mandibular dan permukaan distal gigi M2 kurang dari
ukuran mesiodistal M3
• Klas III : Seluruh mesiodistal M3 berada dalam ramus mandibula

Berdasarkan posisi :
• Posisi A : Bagian tertinggi M3 terletak setinggi/diatas garis oklusal gigi M2
• Posisi B : Bagian tertinggi M3 terletak diantara cervical dan oklusal gigi M2
• Posisi C : Bagian tertinggi M3 terletak dibawah cervical gigi M2
B. Klasifikasi Impaksi Menurut Winter
Klasifikasi winter berdasarkan perbandingan antara sumbu panjang gigi M3 terhadap gigi
sebelahnya :
1. Mesioangular
2. Horizontal
3. Vertikal
4. Distoangular
5. Bukoangular
6. Linguoangular
7. Inverted

Klasifikasi Gigi Impaksi M3 Atas


Klasifikasi M3 atas berdasarkan posisi :
1. Impaksi Vertikal
2. Impaksi Distoangular
3. Impaksi Mesioangular
4. Transverse, Inverted, Horizontal

Klasifikasi posisi berdasarkan Pell and Gregory :


• Posisi A
• Posisi B
• Posisi C
Klasifikasi impaksi berdasarkan hubungan sinus maksilaris :
1. Sinus Maxillaris Aproximation (SA) : hubungan gigi impaksi M3 atas dengan sinus
maksilaris terdapat hubungan langsung atau hanya dibatasi oleh selapis tipis jaringan
tulang
2. No Sinus Maxillaris Aproximation (NSA) : Hubungan gigi impaksi M3 atas dengan sinus
maksilaris dibatasi oleh tulang sebesar 2 mm atau lebih.

Klasifikasi Impaksi Gigi C Rahang Atas


Klasifikasi impaksi gigi C atas menurut Archer adalah sebagai berikut :
• Kelas I : Posisi Gigi Impaksi C atas terletak disebelah palatum dengan posisi horizontal,
vertical dan semivertikal
• Kelas II : Posisi Gigi Impaksi C atas terletak pada bagian bukal maksila dengan posisi
horizontal, vertical dan semivertikal
• Kelas III : Posisi Gigi Impaksi C atas terletak diantara bukal dengan palatinal
• Kelas IV : Posisi Gigi Impaksi C atas terletak didalam prosesus alveolaris, umumnya di
antara gigi I2 dan P
• Kelas V : Posisi Gigi Impaksi C atas terletak pada rahang yang tidak bergigi (endentolus
maksila)
ANASTESI LOKAL

Anestesi Lokal adalah obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri)
secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.

Syarat-syarat anestetikum lokal yang ideal :


a. mempunyai daya penetrasi yang cukup kuat
b. mempunyai volume dan konsentrasi yang efektif sekecil mungkin
c. tidak menghasilkan reaksi lokal sekunder
d. stabil dalam larutan
e. mudah disterilkan tanpa ada perubahan
f. bebas dari reaksi alergi dan idiosinkrasi
g. mempunyai onset of action yang cepat dan duration of action yang cukup lama
h. mempunyai potensi yang cukup untuk memberikan keadaan anestesi yang sempurna
i. mempunyai toksisitas sistemik yang rendah untuk akhirnya obat akan diabsorbsi
j. tidak menyebabkan kerusakan yang menetap pada struktur saraf
k. tidak mengiritasi jaringan setempat

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemakaian anestetikum :


1. Anamnesis terutama riwayat alergi anestetikum
2. Apabila ada keraguan dalam memilih anestetikum, lakukan skin test pada tangan yaitu
injeksi intradermal 0,5 cc. Apakah ada bercak bundar atau tidak
3. Pada pasien yang takut atau gelisah, lakukan premedikasi dengan der. As. Barbiturat
(sod. Pentobarbital) yang dilarutkan dalam air 1:3, tahan dalam mulut dan telan. Ini untuk
mengurangi trauma psikis dan antidot toksin procaine.
4. Germisida topikal (alkohol 70%) sebagai antiseptik dan anestesi topikal
5. Jarum suntik harus baru, runcing/tajam, steril
6. Mukosa tegang  setelah injeksi, jarum jangan diputar-putar karena akan merusak
jaringan sekitarnya
7. Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan
8. Harus selalu dilakukan aspirasi sebelum anestetikum disuntikkan.
BAHAN ANESTESI LOKAL
Golongan anestetikum :
1. Ester
2. Amida
Golongan Ester dan Amida berbeda dalam toksisitas, metabolisme, saat mulai dan lamanya
bekerja.
Golongan Ester :
 Cepat termetabolisme di dalam plasma o/ psedo cholinesterase
 Cenderung menyebabkan alergi --> produksi PABA
 Jarang digunakan di KG, beberapa digunakan sebagai bahan topikal
Agen anestesi lokal golongan ester yg digunakan di KG :
1. Procaine
2. Benzocaine
3. Amethocaine
4. Cocaine
 Procaine satu-satunya u/ injeksi, yg lain dibatasi hy u/ topical aplikasi
 Indikasi u/ pasien dg riwayat alergi thp anestetikum gol amida
PROCAINE
 Satu-satunya u/ injeksi, yg lain dibatasi hy u/ topical aplikasi
 Indikasi u/ pasien dg riwayat alergi thp anestetikum gol amida

Golongan Amida
 Metabolisme lebih lambat krn penguraiannya lebih kompleks dan memerlukan
pengangkutan kehati u/ penguraiannya.
 Daya penghilang sakit yang kuat u/ aplikasi infiltrasi
 Lebih stabil

Agen anestesi lokal golongan amida yang digunakan di KG :


a. Lidocaine

 Paling sering digunakan


 Onset sangat cepat & menyebar luas mll jaringan, waktu paruh 90 menit
 Menghantarkan penghilangan rasa sakit yg dalam & durasi panjang.
 Larutan 2% dg 1:80.000 vasokonstriktor→ efek analgesik 1-1,5 jam pada pulpa dan
3-4 jam pd jaringan lunak pada aplikasi intraligamen hanya beberapa menit
 Agen anestesi topikal yg sempurna

b. Prilocaine
 Tersedia dlm 2 bentuk :
 - Lar 3% (30 mg/ml) + vasoconstriktor
 - Lar 4% (40 mg/ml) (felypressin/octapressin)
 Efek analgesik mirip lignocaine+adrenalin u/ infiltrasi & blok n. alv. inf, sdgkan
injeksi intraligamen kurang efisien
 Kurang efektif dalamm mengontrol perdarahan & vasodilatasi lebih sedikit
 Anestesi topikal

c. Mepivacaine
 Tersedia dalam 2 formulasi
Lar 2% dg 1:100.000 adrenalin
Lar 3%
 Kombinasi mepivacaine + vasokonstriktor efeknya = lignocaine + vasokonstriktor
 Vasodilatasi lbh sedikit drpd lignocaine

d. Articaine
 Tersedia sbg lar 4% yg dikombinasi dg adrenalin 1:100.000 atau 1: 200.000
 Kombinasi articaine + vasokonstriktor efeknya = lignocaine + vasokonstriktor
 Metabolisme tjd dlm plasma & durasi lebih pendek dengan waktu paruh 20 menit.

e. Bupivacaine & Levobupivacaine


 Konsentrasi efektif minimal 0.125%.
 Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.
 Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam
45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
 Waktu reaksi yg panjang
 Levobupivacaine : L-isomer murni dari bupivacaine, lbh sedikit cardiotoxic
 Indikasi u/ blok regional
Dosis Bupivakain untuk Dewasa
Prosedur Konsentrasi % Volume
Infiltrasi 0.25-0.50 5-60 ml
Blok minor 0.25-0.50 5-30 ml
perifer 0.25-0.50 20-40 ml
Blok mayor 0.25-0.50 3-8 ml
perifer
Blok interkostal 0.5 15-20 ml
Blok epidural 0.25-0.50 5-60 ml
Lumbal 0.5 4-8 ml/ 4-8
Kaudal jam
Analgesi postop 0.125 (intermitte
0.5 n)
15 ml/ jam (continue)
Spinal intratekal 2-4 ml

f. Ropivacaine
 Waktu reaksi mirip bupivacaine
 Formulasi dlm KG termasuk konsentrasi 0,5% ( biasa atau dg adrenalin), 0,75% & 1%

Vasokontriktor
Tujuan pemberian vasokonstriktor :
1. Mengurangi perdarahan perifer
2. absorbsi anestetikum menjadi lambat (efek anestesi lbh efektif & dalam)
3. mengurangi resiko reaksi overdosis
4. memperpanjang kerja anestetikum
5. mengurangi dosis anestetikum
Vasokonstriktor :
1. Adrenalin
2. Epinephrine
3. Felypressin
Epineprin
 Adrenalin, adrenin, supranol (glandula suprarenalis)
suprarenin, suprenalin, sintetik L-Suprarenin (sintetis)
 Vasokonstriktor dan mempercepat denyut jantung
 Stimulan jantung dan hemostatik kontrol perdarahan perifer
 Standar 1:1.000 diaplikasikan langsung ke jaringan yang perdarahan, tidak boleh lebih
dari 1:1.000  nekrosis dan gangren  suplai O2 dan makanan berkurang
 Kontra indikasi pada pasien jantung, hipertensi dan arteriosclerosis, anerisma (penipisan
pembuluh darah), gangguan tiroid, diabetes mellitus, nervous berat
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Tipe hipersensitivitas yang dialami tubuh adalah :
a. Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi
membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel
basofil di sirkulasi dan selanjutnya melepaskan mediator-mediator kimia . Reaksi tipe I
merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi
seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring,
wheezing dan stomatitis alergika, eritema multiforme. Penyebab umum adalah molekul
biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin.
Mediator Hipersensitivitas Anafilaksis
1. Histamin
Merupakan mediator utama (primer) pada rekasi tipe I. Pelepasan Histamin ini
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
2. Prostaglandin dan tromboksan
Seperti leukotrien, prostaglandin, dan tromboksan berasal dari asam arakidonat melalui
jalur siklooksigenase. Prostaglandin mengakibatkan bronkokonstriksi dan dilatasi serta
peningkatan permeabilitas kapiler. Tromboksan menyebabkan agregasi platelet
(trombosit). Mediator tersebut, bersama dengan sitokin seperti TNF dan IL-4, merupakan
mediator sekunder pada reaksi tipe I.

b. Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obat di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi
antibodi akan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II
merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi
sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan
oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin.
Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan
rifampisin.
c. Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten
beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk
kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul
setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal
sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat
antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena
penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada
tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian.
Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh
obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin
antilimfositik dan fenitoin.

d. Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)


adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada
dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila
berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel
limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang
sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang
ke tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering
menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel,
antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat
aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau lanolin.
PENYAKIT SISTEMIK
 PENYAKIT JANTUNG
Tujuan mengetahui riwayat penyakit jantung pasien adalah
 Penyakit jantung mempunyai hubungan penting dengan praktek kedokteran gigi karena
banyak alasan, termasuk resiko bahwa pengobatan rongga mulut bisa mengakibatkan
endokarditis bakterialis. Perawatan gigi yang dimaksud seperti pembersihan gigi
profesional, dan prosedur gigi yang mungkin menyebabkan perdarahan (seperti ekstraksi
gigi)
 Pada penyakit kardiovaskuler, denyut nadi pasien meningkat, tekanan darah pasien naik
sehingga menyebabkan bekuan darah yang sudah terbentuk terdorong dan terjadilah
pendarahan.
 Tanyakan pada pasien apakah pasien mengkonsumsi obat antikoagulan (heparin dan
walfarin), karena obat tersebut dapat menyebabkan perdarahan ketika ekstraksi gigi.
 Jika prosedur gigi membutuhkan anestesi, hati-hati jika obat anestesi mengandung
epinefrin. Penggunaan epinefrin pada beberapa pasien hipertensi dapat menyebabkan
perubahan kardiovaskuler, angina, serangan jantung dan aritmia. Selain itu, sebaiknya
prosedur dental dilakukan dengan cepat dan tepat agar pasien tidak lelah.
 Warfarin (hentikan 2 hari sebelum bedah) , aspirin (2-5 hari), heparin (4 jam)
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah tangan sering berkeringat?
2. Apakah jantung mudah berdebar?
3. Apakah pernah sakit atau sesak bagian dada?
4. Apakah mudah lelah setelah melakukan suatu kegiatan?
5. Apakah ada orang tua atau saudara yang memiliki kelainan pada jantung?

 PENYAKIT TEKANAN DARAH TINGGI


Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang permanen sebagai akibat
meningkatnya tekanan di arteri perifer, dimana komplikasi yang timbul menjadi nyata.
Menurut WHO batas tekanan yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan
tekanan darah sama atau diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Tujuan mengetahui riwayat hipertensi pasien adalah
 Pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol beresiko untuk mengalami perdarahan
pasca pencabutan gigi. Hal ini berkaitan dengan anestesi yang digunakan umumnya
mengandung vasokonstriktor yang berefek menyempitkan pembuluh darah, sehingga
tekanan darah semakin meningkat. Hal ini dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah
kecil dan terjadi perdarahan.
 Adrenalin masih dapat digunakan pada penderita dengan hipertensi asal kandungannya
tidak lebih atau sama dengan 1:200.000. Dapat juga digunakan obat anestesi lokal yang
lain, yaitu Mepivacaine 3% karena dengan konsentrasi tersebut mepivacaine mempunyai
efek vasokonstriksi ringan, sehingga tidak perlu diberikan campuran vasokonstriktor.
 Manifestasi penyakit tekanan darah tingga pada rongga mulut yakni seperti oral dryness,
gingival enlargement.
 Obat-obatan anti hipertensi dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut. Beberapa jenis
obat antihipertensi misalnya diuretik, β-blocker, ACE-Inhibitor menyebabkan mulut
kering (xerostomia) dan menimbulkan perubahan sensasi pengecapan, dan obat lainnya
seperti Ca-channel blocker menyebabkan pembesaran dan pembengkakan gingiva.
 Penting juga ditanyakan kepada pasien apakah dia mengkonsumsi obat-obat tertentu
seperti obat antihipertensi, obat-obat pengencer darah (antikoagulan), dan obat-obatan
lain karena juga dapat menyebabkan perdarahan
 Penderita Hipertensi yang masuk dalam stage I dan stage II masih memungkinkan untuk
dilakukan tindakan pencabutan gigi karena resiko perdarahan yang terjadi pasca
pencabutan relatif masih dapat terkontrol (Little, 1997). Pada penderita hipertensi dengan
stage II sebaiknya di rujuk terlebih dahulu ke bagian penyakit dalam agar pasien dapat
dipersiapkan sebelum tindakan.
Tabel. Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa
Kategori Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolic
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 ≥160 mmHg ≥ 100 mmHg
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah sering pusing-pusing?
2. Apakah nafas sering terputus-putus (nafas pendek)?
3. Apakah sedang mengonsumsi obat tertentu?
4. Apakah sering terasa berat di tengkuk?
5. Apakah ada orang tua atau saudara yang memiliki penyakit darah tinggi?

DIABETES MELITUS
Tujuan mengetahui riwayat penyakit diabetes melitus
 DM merupakan faktor predisposisi terhadap timbulnya gingivitis dan periodontitis. hal
ini terjadi karena salah satu komplikasi dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah
sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah
ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi
 Penyakit diabetes yang dapat menjadi penyebab utama xerostomia, palatum dan lidah
terasa kering/terbakar, hilangnya papilla lidah serta peningkatan resiko karies.
 Pada penderita Diabetes Melites kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga
sering mengkonsumsi antibiotik. Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan flora
normal di dalam mulut yang mengakibatkan jamur candida berkembang tidak terkontrol
sehingga menyebabkan oral thrush.
 Pasien dengan penyakit diabetes mellitus memiliki resiko lebih tinggi dalam ekstraksi
gigi. Artinya cloating time penderita tidak seperti orang non diabetes. Selain itu, pada
pemberian anastesi local, penderita DM harus dihindarkan dari bahan vasokonstriktor
karena mengandung adrenalin yang dapat meningkatkan glukosa dalam darah.
 Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat menghambat dilakukannya perawatan
prostodonsia. Xerostomia yang merupakan gejala diabetes mellitus juga dapat
menurunkan retensi basis gigi tiruan dengan menghambat daya adhesi antara basis gigi
tiruan lepasan dengan mukosa mulut dan daya kohesi cairan saliva.
 Penderita DM pada perawatan orto, misalnya dalam pemakaian alat orto (kawat) dapat
menyebabkan gingivitis. Pada penderita DM terdapat kecenderungan gigi goyang. Hal ini
merupakan salah satu kontraindikasi pemerataan gigi, karena dengan adanya pemakaian
kawat, akan menghasilkan tekanan yang terlalu besar pada gigi, sehingga gigi goyang
yang akhirnya akan menyebabkan gigi tanggal.
 Manifestasi klinis : peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria), peningkatan rasa
haus dan minum (polidipsi), dan karena penyakit berkembang, penurunan berat badan
meskipun lapar dan peningkatan makan (poliphagi).

No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :


1. Apakah sering gemetar bila terlambat makan?
2. Apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit DM?
3. Apakah sering buang kecil?
4. Apakah jika luka lambat sembuh?
5. Apakah sering merasa haus?
6. Apakah mengalami perubahan pada berat badan secara drastis?

a. PENYAKIT KELAINAN DARAH


Tujuan mengetahui riwayat kelainan darah pasien adalah
 Pada penderita kelainan darah seperti hemophilia maka bila terjadi sesuatu yang
menimbulkan perdarahan harus dihindari. Jaringan yang menderita peradangan mudah
terjadi perdarahan spontan.
 Pada penderita anemia salah satu manifestasi klinis, sering disetai kelainan gingiva,
seperti anemia aplastik. Pasien dengan anemia aplastik lebih cenderung mengalami
petekie, hiperplasi gingiva, perdarahan spontan pada gingiva,dan ulkus herpetik pada
mukosa mulut serta gingiva. Sedangkan pada anemia defisiensi besi akan berpengaruh
pada rongga mulut yaitu pada lidah dan sudut mulut. Manifestasinya pada Iidah adalah
adanya atrofi papila filiformis dan papila fungiformis sehingga Iidah akan terlihat licin,
berkilat dan sakit. Disamping itu mukosa akan terlihat pucat, pada sudut mulut terlihat
angular cheilitis, terjadi kandidiasis dan ulser dalarn bentuk Reccurent Aphthous Ulcer
(RAU).
 Pada pasien leukemia, gingivitis merupakan tanda awal dari leukemia. Gingivitis dapat
terjadi karena infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam gingiva menyebabkan gingivitis dan
berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi akan semakin memperburuk keadaan
ini. Selain itu pada pemeriksaan intraoral pasien leukemia sering terlihat adanya petekie
dan ulserasi nekrotik pada mukosa, juga dapat ditemui jaringan penyangga gigi yang
rapuh akibat nekrosis dari ligamen periodontal serta destruksi tulang alveolar.

b. PENYAKIT HEPATITIS
Tujuan mengetahui riwayat hepatitis pasien adalah
 Pada beberapa kasus hepatitis, ciri khas pada rongga mulut pasien adalah adanya bau
mulut yang khas berbau keton dan ditemukan adanya pigmentasi pada lapisan mukosa
mulut (pigmen bilirubin). Hal yang harus diperhatikan pada perawatan gigi yaitu
komplikasi pendarahan, defisiensi cloating factor dan thrombocytopenia untuk mencegah
perdarahan dan harus dilakukan pemeriksaan darah seperti complete blood count (CBC)
sebelum perawatan.
 Penyakit hepatitis penting untuk ditanyakan karena pada perawatan gigi, diharapkan
operator lebih berhati-hati karena penyakit ini dapat menular melalui cairan tubuh. \

No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :


1. Apakah kulit pernah berwarna kekuningan?
2. Apakah sering mual atau muntah?
3. Apakah pernah mengalami sakit kuning?
4. Apakah sering sakit di daerah perut sebelah kanan?

c. KELAINAN HATI LAINNYA


Sirosis Hepatis
 Gambaran intra oral menunjukkan kelenjar parotis membengkak sehingga terjadi
hipersalivasi (banyak mengandung ion kalsium, natrium), protein total bertambah,
amilase meningkat, terdapat hiperpigmentasi pada mulut.
 Hal yang harus diperhatikan pada perawatan gigi yaitu komplikasi pendarahan,
defisiensi cloating factor dan thrombocytopenia untuk mencegah perdarahan dan harus
dilakukan pemeriksaan darah seperti complete blood count (CBC) sebelum perawatan.

d. HIV+AIDS
Tujuan
 Pada penderita HIV, terdapat dua tipe lesi yang hampir selalu ditemukan dalam rongga
mulut penderita yaitu oral hairy leukoplakia dan kaposi sarcoma.
 Operator harus ekstra hati-hati dalam melakukan tindakan untuk mencegah penularan
karena penularan yang sangat efektif melalui instrumen kedokteran gigi yang
terkontaminasi darah pasien. Selain penularan dari penderita ke operator, penularan
dari penderita ke pasien lainnya juga harus dihindari.

e. PENYAKIT PERNAFASAN ATAU PARU


Tujuan
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang bersifat kronis, terdapat
beberapa manifestasi penyakit asma pada rongga mulut yang ditimbulkan dari kebiasaan
bernafas lewat mulut penyakit asma, yakni :
 Lengkung maksila sempit
 Oral dryness
 Candidiasis
 Peningkatan jumlah kalkulus,
 Peningkatan insidensi karies, gingivitis, dan penyakit periodontal.
 Dokter gigi harus hati-hati dalam melakukan perawatan dental. Selalu melakukan
irigasi yang adekuat saat mengebur gigi agar debu sebagai allergen tidak merangsang
asma.
 Pada obat asma terutama pada golongan obat agonis beta-2 dapat menyebabkan
kontriksi pada pembuluh darah serta dapat menyebabkan terjadinya takikardi.
Sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi, selain itu obat ini juga
dapat menurunkan laju alir saliva, sehingga beresiko menyebabkan xerostomia.
 Perawatan dental yang dilakukan haruslah cepat karena pasien tidak boleh lelah dan
perawatan yang lama dapat menyulitkan karena pasien bernafas melalui mulut.
 Pasien asma memiliki kecenderungan untuk menjadi bernapas lewat mulut, yang bila
dikombinasikan dengan obat asma, seperti kortikosteroid, menyebabkan aliran saliva
menurun, sehingga terjadi peningkatan resiko bau mulut dan karies gigi.

No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :


1. Apakah pernah merasakan sesak nafas atau kesulitan bernafas?
2. Apakah sering terkena batuk?
3. Apakah sering merasakan kesakitan pada daerah dada?

f. PENYAKIT PENCERNAAN
Tujuan
 Manifestasi penyakit ini pada perawatan dental lebih mengarah pada pemilihan obat-
obatan selama terapi agar tidak memilih obat yang sifatnya asam.
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah sering mual atau muntah?
3. Apakah terdapat gangguan makan?
4. Apakah pasien pernah merasakan nyeri perut bagian atas?

g. PENYAKIT GINJAL
Tujuan
 Tanda oral yang dapat dilihat yaitu terciumnya bau khas ammonia dari mulut pasien,
ulserasi dan perdarahan pada mulut.
 Pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi peningkatan resiko penyakit periodontal,
karena berkaitan dengan kelainan fungsi limfosit, perubahan homeostasis kalsium,
sindrom uremik, dan pengaruh dari medikasi penyakit ginjal kronis dimana dibutuhkan
cuci darah rutin sehingga pasien mengkonsumsi antikoagulan.

h. KELAINAN KELENJAR LUDAH


 Gangguan pada kelenjar ludah dapat berupa hipersalivasi yang ditandai dengan saliva
yang banyak dan encer karena banyak mengandung seros serta xerostomia atau mulut
kering. Pasien dengan xerostomia biasanya mengeluh susah menelan. Xerostomia juga
meningkatkan resiko karies dalam rongga mulut.
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah anda merasa mulut terlalu kering atau basah?
2. Apakah anda sering meludah?
3. Apakah anda pernah merasa sakit di bawah lidah, di leher bagian atas, dan di
bawah telinga?

i. EPILEPSI
 Obat antiepilepsi yang sangat berpengaruh pada keadaan rongga mulut adalah fenitoin.
gingival enlargement adalah hal yang paling sering terjadi pada pengguna fenitoin.
Pembesaran jaringan secara tipikal terjadi antara 1-3 bulan setelah terapi obat diinisiasi
dan dimulai di jaringan gusi superfisial di antara gigi (papila interdental). Segmen
anterior lebih sering mengalami pembesaran dibandingkan area posterior, tapi
keterlibatan yang sama rata tidak umum.
No. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. Apakah ada keluarga anda dan anda yang menderita penyakit ayan?
2. Apakah anda pernah kejang-kejang mendadak?

Anda mungkin juga menyukai