Revisi 5 Roby
Revisi 5 Roby
Disusun Oleh:
Roby Firdiansyah Dwiyatma
20710138
Dokter Pembimbing:
dr. Endang Fitrih Mulyaningsih, Sp. THT-KL
Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Polip Nasi”.
Referat ini penulis susun dengan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis sampaikan banyak terima kasih kepada dr. Endang Fitrih
Mulyaningsih, Sp. THT - KL selaku dosen pembimbing klinik THT-KL RSUD
SYAMRABU Bangkalan dan semua pihak yang telah berkontribusi secara
maksimal dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak sempurna dan memiliki
kekurangan, maka dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis,
semoga referat ini dapat memberikan tambahan ilmu khusunya bagi penulis dan
umumnya bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover.....................................................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat teoritis ............................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ................................................................................................... 4
2.2 Histologi .................................................................................................. 7
2.3 Fisiologi ................................................................................................... 8
BAB 3 POLIP CAVUM NASI
3.1 Definisi ................................................................................................... 11
3.2 Epidemiologi............................................................................................ 11
3.3 Etiologi .................................................................................................... 12
3.4 Patofisiologi .............................................................................................. 13
3.5 Diagnosis dan diagnosis banding .............................................................. 16
3.5.1 Anamnesis ...................................................................................... 16
3.5.2 Pemeriksaan fisik ............................................................................ 16
3.5.3 Pemeriksaan penunjang ................................................................... 17
3.6 Tata laksana ............................................................................................ 19
3.7 Prognosis ................................................................................................ 21
BAB 4
Kesimpulan .................................................................................................... 22
Daftar pustaka ................................................................................................ 23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Kata polip sendiri berasal dari bahasa Yunani “poly-pous” yang artinya berkaki
banyak. Polip nasi dapat timbul pada laki-laki ataupun perempuan, dari usia anak-
anak hingga usia lanjut (namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa). Bila ada
polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan adanya meningokel atau
meningoensefalokel (Mangunkusumo,2007).
Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Sumbatan hidung merupakan gejala dengan
banyak faktor dan kondisi anatomi sebagai penyebabnya. Penyebab dari sumbatan
hidung dapat berasal dari struktur maupun sistemik, dimana contoh kelainan struktur
yaitu perubahan jaringan, trauma, dan gangguan kongenital, sedangkan sistemik
diakitkan dengan perubahan fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu dari
penyebab rasa hidung tersumbat (Soepardi,2007).
Polip nasi sejatinya merupakan temuan klinis dan bukanlah sebuah diagnose
penyakit. Secara klinis, polip adalah kantung-kantung berwarna pucat yang berisi
jaringan yang edema yang biasanya muncul dari meatus media. Warna pucat dari
polip berasal dari aliran darah yang buruk, namun pada beberapa kasus polip yang
mengalami trauma atau inflamasi terus menerus, dapat ditemukan polip yang
berwarna merah (Drake-lee,2004). Perlu diketahui bahwa temuan polip nasi pada usia
dibawah 2 tahun perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk menepiskan kemungkinan
meningokel ataupun ensefalokel. Tidaklah umum ditemukan polip pada usia dibawah
10 tahun, perlu juga dipikirkan bahwa presentas polip menunjukkan adanya kista
fibrosis (Drake-lee,2004). Etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan jelas
(Ahmad,2012). Beberapa literatur menyatakan bahwa polip muncul karena adanya
asma, hipersensitivitas aspirin, reaksi mucosal, infeksi yang menyebabkan reaksi dari
mediator inflamasi, dan juga kelainan anatomi (Drake-lee,2004).
1
2
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Pada sebuah penelitian di
Finlandia ditemukan kasus polip nasi atas pelaporan sendiri sebanyak 4.3%
(Johansson,2003). Di Indonesia sendiri, studi epidemiologi menemukan bahwa
perbandingan pria dan wanita 2:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% (Soepardi,2007).
Pada referat ini akan dibahas mengenai anatomi, histologi,fisiologi hidung,
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan diagnosis banding,
tatalaksana, prognosis pada polip nasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung?
2. Bagaimana definisi polip nasi?
3. Bagaimana epidemiologi polip nasi?
4. Bagaimana etiologi polip nasi?
5. Bagaimana patofisiologi diagnosis polip nasi?
6. Bagaimana diagnosis dan diagnosis banding polip nasi?
7. Bagaimana penatalaksanaan polip nasi?
8. Bagaimana prognosis polip nasi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi hidung.
2. Mengetahui definisi polip nasi.
3. Mengetahui epidemiologi polip nasi.
4. Mengetahui etiologi polip nasi.
5. Mengetahui patofisiologi diagnosis polip nasi.
6. Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding polip nasi.
7. Mengetahui penatalaksanaan polip nasi.
8. Mengetahui prognosis polip nasi.
3
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca
tentang polip nasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien polip nasi saat praktik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Hidung (nasus) terdiri dari piramid hidung luar (nasus eksternus) dan rongga
hidung (cavitas nasi). Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang
wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut radiks nasi. Dari
sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir sebagai ujung yang disebut apeks
nasi. Di bagian depan terdapat lubang disebut nares. Nares di sebelah medial dibatasi
oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah lateral dibatasi oleh alae nasi.
Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di sebelah superior
diperkuat oleh tulang-tulang : os. nasalis, prosesus frontalis os. maksila dan prosesus
nasalis os frontal (Marieb, 2007).
4
5
c. Dinding medial atau septum nasi: dari anterior ke posterior terdiri atas
cartilage septi nasi, lamina perpendicularis os eithmoidale dan vomer
d. Dinding lateral: dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os
eithmoidale, concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini
tidak rata, ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi yang
terletak di bawah tiap conchae. Conchae nasales tersebut adalah:
- conchae nasalis suprema (kadang ada kadang tidak)
- conchae nasalis superior
- conchae nasalis media
- conchae nasalis inferior
e. Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu:
- meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales
posterior
- meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus
maxilaris, sinus frontalis, cellulae ethmoidais anterior
- meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis
2.2 Histologi
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks besilia, bertingkat
palsu (pseudo stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban
udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os
internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit
vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks; silia
pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan interior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus
mengandung epitel kubus dan silia yangg sama panjang dan jarak antaranya.
Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan
lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa (Higler, 1997).
Lamina propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat dan
lemah,namun di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan
sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan laimna
propria. Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda
asing dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke
faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dilambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap
patogen.Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu
jam.Silia struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat ke arah aliran
lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat.
8
Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus per menit (Higler, 1997).
2.3. Fisiologi
Secara fisiologis, hidung memiliki 7 fungsi utama, yaitu (Soetjipto, 2012):
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas etinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
9
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
BAB III
POLIP CAVUM NASI
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Di Amerika
Serikat, insiden terjadinya polip nasal pada populasi dewasa sebesar 1-4%.
Sedangkan, angka kejadian polip nasal pada anak sebesar 0,1%. Berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki dilaporkan lebih sering mengalami polip nasal. Sekitar 19-36%
pasien polip nasal menderita rhinosinusitis kronik (McClay, 2017). Prevalensi
terjadinya polip nasal lebih tinggi pada individu dengan asthma, kistik fibrosis serta
hipersensitivitas terhadap aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
dibandingkan dengan populasi umum (Jahromi, 2012). Berdasarkan penelitian
deskriptif observasional di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018, frekuensi penderita
polip nasi di terbanyak berdasarkan kelompok usia yaitu kelompok usia 46-60 tahun
(40,7%), angka kejadian pada laki-laki lebih banyak (74,1%), hidung tersumbat
merupakan keluhan utama yang paling sering terjadi (55,6%) dengan sinusitis
11
12
sebagai faktor resiko yang paling sering ditemukan (59,3%) dan terapi polip nasi
berupa medikamentosa & pembedahan (66,7%) (Wirananda, 2018).
3.3 Etiologi
Etiologi polip nasal belum diketahui pasti, namun terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya polip nasal, antara lain:
1. Infeksi kronik
Telah dilakukan penyelidikan terhadap beberapa jenis mikro-organisme untuk
mengetahui perannya sebagai penyebab timbulnya RSK dengan polip hidung.
Norlander dkk. menemukan polip mirip jaringan granulasi dan polip
edematosa pada sinusitis maksilaris bakterial secara eksperimental pada
kelinci. Bakteri patogen yang paling sering ditemukan ialah Streptococcus B
hemolyticus, Staphylococcus aureus, Streptococcus peneumoniae and
Haemophilus influenza. Sel-sel neutrofil yang ditemukan di dalam NP dalam
percobaan ini, bukannya eosinofil. Namun polip hidung bisa didapati pada
semua kelompok sinusitis tanpa melihat faktor penyebabnya dan tidak
berhubungan langsung dengan adanya bakteri tertentu (Norlander, 1993).
Ponikau dkk. menemukan bukti adanya jamur yang secara potensial ikut serta
menjadi penyebab dalam pembentukan polip hidung, terutama jenis
Alternaria, pada 96% dari 210 pasien RSK dengan polip yang diteliti secara
konsekutif. Walaupun hasil-hasil ini menjanjikan klarifikasi tentang
mekanisme etiopatogenesis polip hidung, namun penelitian lebih lanjut yang
dilakukan secara multisenter tidak berhasil membuktikan efektifitas
pengobatan antijamur topikal dengan cara pemberian obat semprot topikal
antijamur dan bilasan hidung antijamur yang dijalankan selama 2-3 bulan.
Penelitian lain yang memberikan terbinafine per oral selama 6 minggu pada
pasien-pasien RSK tanpa polip hidung juga tidak memberikan hasil yang
memuaskan (Ponikau, 1999)
2. Alergi
Sudah lama banyak yang berusaha membuktikan adanya hubungan antara
alergi dengan polip hidung. Namun pada berbagai penelitian didapat hasil
13
3.4 Patofisiologi
Secara mikroskopik, di dalam stroma polip hidung mengandung jaringan ikat
longgar, edema, sel-sel radang dan sedikit kelenjar dan pembuluh darah kapiler yang
dilapisi oleh beberapa macam epitel terutama epitel khas saluran pernapasan yaitu sel
torak berlapis semu bersilia dengan sel goblet di antaranya. Perbedaan mendasar
mukosa pada polip nasi dan mukosa normal ialah mukosa polip mengandung
eosinofil, edema, perubahan pertumbuhan epitel dan terbentuknya formasi kelenjar
yang baru (Fokkens, 2020).
14
Pada dekade terakhir ini diduga kuat teori reaksi inflamasi adalah penyebab
utama terbentuknya polip nasi dengan ditemukannya sel inflamasi sitokin dalam
jumlah besar. Sel inflamasi sitokin ini menyebabkan peningkatan regulasi dari
reseptor permukaan endotelial pembuluh darah dan integritas pada permukaan sel
yang terinflamasi. Pada keadaan ini telah terjadi adesi, migrasi eosinofil
mikrovaskular pada lamina propia yang disebabkan oleh pelepasan mediatormediator
peradangan seperti interleukin (IL)-1B, tumor nekrosis faktor-alfa, granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), vascular cell adhesion (VCAM-1),
integrins (VLA 4), lymphocyte function associated antigen-1 (LFA-1) dan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Eosinofil akan teraktivasi,
berdegranulasi dan melepaskan mediator inflamasi dan juga melepaskan IL-3 dan IL-
5, kedua sitokin ini berfungsi meningkatkan penarikan eosinofil, selanjutnya sitokin
ini bertanggung jawab atas penekanan apoptosis sehingga meningkatkan kemampuan
bertahan eosinofil. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan pembentukan granul
protein dasar yang mempunyai efek dalam memproduksi mukus bersamaan dengan
perubahan ion, sehingga terjadi pergerakan ion sodium dan cairan dari lumen ke
dalam sel dan kemudian ke lamina propia yang terlihat sebagai edema dalam polip
nasi (Fokkens, 2020).
Hancurnya permukaan epitel oleh meditor inflamasi yang berasal dari
eosinofil dan sel inflamasi lain menyebabkan regenerasi epitelial baru sehingga
terjadi hiperplasia sel goblet, metaplasia sel skuamosa dan hiperplasia sel basal.
Keadaan tersebut diatas mengakibatkan gangguan fungsi cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR), protein yang berperan pada sekresi klorida
sehingga mengakibatkan keseimbangan sodium channel yang lebih terbuka dan
mengakibatkan peningkatan aborbsi sodium dan retensi cairan. Semua mekanisme
tersebut diatas merupakan awal patologi terjadinya polip yaitu edema (Fokkens,
2020).
15
Rhinoskopi Posterior
Para rhinoskopi posterior dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang
menandakan adanya rhinosinusitis.
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Sistem penderajatan polip hidung secara endoskopik menurut Mackay dan Lund
(1997) dapat ditentukan sebagai berikut, yaitu:
• Grade 0: tidak dijumpai adanya polip;
• Grade 1: polip masih terbatas di meatus medius;
• Grade 2: polip sudah keluar dari meatus media, bisa mencapai konka inferior
atau dinding medial konka media tapi belum memenuhi rongga hidung;
• Grade 3: polip yang masif/total, memenuhi kavum nasi
Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal
juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal.
Biopsi
Biopsi dianjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi
tulang pada foto polos rontgen. Polip hidung harus dapat dibedakan dengan neoplasia
dan vasculitis. Biopsi yang dilakukan sebelum terapi juga sekaligus dapat merupakan
pembanding untuk menilai efektivitas terapi.
Diagnosis banding polip nasi yaitu konka polypoid atau konka hidung yang
menyerupai polip, yang ciri – cirinya sebagai berikut:
• Tidak bertangkai
• Sukar digerakkan
• Nyeri bila ditekan dengan pinset
• Mudah berdarah
• Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk
membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian
vasokonstriktor yang juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena dapat menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.
tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus, merupakan teknik yang lebih
baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media
yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu
mengurangi angka kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang
sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal.
Keputusan atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus paranasal
sebelum operasi. Anterior Ethmoidectomy, Posterior Ethmoidectomy, Antrostomy
Meatus Medius dan pembersihann resesus frontalis dapat dilakukan pada semua
pasien Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa diberikan sebelum
dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah
profilaksis pasca operasi.
3.7 Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps. Polip hidung sering
tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada
penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rhinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi (Lou, 2018).
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Gejala utama polip hidung adalah sumbatan hidung dan hilangnya sensasi bau. Berat
ringannya tergantung besar kecilnya polip, atau pada saat mendapat serangan radang
atau alergi.
Polip hidung sangat mengganggu pada kebanyakan pasien dan
pengobatannya pun masih kontroversial. Penyakit ini sering berulang dan
memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian
pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip
supaya aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernapas dengan
baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman
kembali normal.
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M.J., S. Ayeh. The epidemiological and clinical aspect of nasal polypsthat
require surgery. Iranian Journal Of Otorhinolaryngology; 2012.
Drake-Lee, A., 2004. Nasal polyps. Hospital Medicine, 65(5), pp.264-
267.Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody,
F., Cohen, N., Cervin, A., Douglas, R., Gevaert, P. and Georgalas, C., 2012.
EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps
2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology, 50(1), pp.1-12.
Fokkens, W.J., Lund, V.J., Hopkins, C., Hellings, P.W., Kern, R., Reitzma, S.,
Toppila-Salmi, S., Bernal-Sprekelsen, M. and Mullol, J., 2020. Executive
summary of EPOS 2020 including integrated care pathways. Rhinology.
Higler, Peter. Hidung (Anatomi dan fisiologi terapan). Dalam:Effendi H,
editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam.Philadelphia:WB
Saunders Company,1997.Hal 173-188
Hopkins, C., 2019. Chronic rhinosinusitis with nasal polyps. New England
Journal of Medicine, 381(1), pp.55-63.
Jahromi AM, Pour AS. The Epidemiological and Clinical Aspects of Nasal Polyps
that Require Surgery. Iran J Otorhinolaryngol. 2012; 24(67): 75–78.
Johansson, L., Åkerlund, A., Melén, I., Holmberg, K. and Bende, M., 2003.
Prevalence of Nasal Polyps in Adults: The Skovde Population-Based Study. Annals
of Otology, Rhinology & Laryngology, 112(7), pp.625-629.
Kesehatan Telinga-Hidung-Tengorokan, Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2007: p.125-123
Kowalski ML, Lewandowska-Polak A, Wozniak J, Ptasinska A, Jankowski A,
Wagrowska-Danilewicz M, et al. Association of stem cell factor expression
in nasal polyp epithelial cells with aspirin sensitivity and asthma. Allergy.
2005;60(5):631-7.
Lou, H., Zhang, N., Bachert, C. and Zhang, L., 2018, November. Highlights of
eosinophilic chronic rhinosinusitis with nasal polyps in definition,
prognosis, and advancement. In International forum of allergy & rhinology
(Vol. 8, No. 11, pp. 1218-1225).
Luukkainen, A., Numminen, J., Rautiainen, M., Julkunen, A., Huhtala, H., Lampi,
J., Markkola, A., Myller, J., Andiappan, A.K., Wang, D.Y. and Toppila-
Salmi, S., 2019. Association Between Endoscopic, Radiologic and Patient-
reported Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. The Open Allergy
Journal, 10(1).
24