Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

POLIP CAVUM NASI


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun Oleh:
Roby Firdiansyah Dwiyatma
20710138

Dokter Pembimbing:
dr. Endang Fitrih Mulyaningsih, Sp. THT-KL

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROK

RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Polip Nasi”.
Referat ini penulis susun dengan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis sampaikan banyak terima kasih kepada dr. Endang Fitrih
Mulyaningsih, Sp. THT - KL selaku dosen pembimbing klinik THT-KL RSUD
SYAMRABU Bangkalan dan semua pihak yang telah berkontribusi secara
maksimal dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak sempurna dan memiliki
kekurangan, maka dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis,
semoga referat ini dapat memberikan tambahan ilmu khusunya bagi penulis dan
umumnya bagi semua pihak.

Bangkalan, 10 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover.....................................................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat teoritis ............................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ................................................................................................... 4
2.2 Histologi .................................................................................................. 7
2.3 Fisiologi ................................................................................................... 8
BAB 3 POLIP CAVUM NASI
3.1 Definisi ................................................................................................... 11
3.2 Epidemiologi............................................................................................ 11
3.3 Etiologi .................................................................................................... 12
3.4 Patofisiologi .............................................................................................. 13
3.5 Diagnosis dan diagnosis banding .............................................................. 16
3.5.1 Anamnesis ...................................................................................... 16
3.5.2 Pemeriksaan fisik ............................................................................ 16
3.5.3 Pemeriksaan penunjang ................................................................... 17
3.6 Tata laksana ............................................................................................ 19
3.7 Prognosis ................................................................................................ 21
BAB 4
Kesimpulan .................................................................................................... 22
Daftar pustaka ................................................................................................ 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip nasi adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Kata polip sendiri berasal dari bahasa Yunani “poly-pous” yang artinya berkaki
banyak. Polip nasi dapat timbul pada laki-laki ataupun perempuan, dari usia anak-
anak hingga usia lanjut (namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa). Bila ada
polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan adanya meningokel atau
meningoensefalokel (Mangunkusumo,2007).

Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Sumbatan hidung merupakan gejala dengan
banyak faktor dan kondisi anatomi sebagai penyebabnya. Penyebab dari sumbatan
hidung dapat berasal dari struktur maupun sistemik, dimana contoh kelainan struktur
yaitu perubahan jaringan, trauma, dan gangguan kongenital, sedangkan sistemik
diakitkan dengan perubahan fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu dari
penyebab rasa hidung tersumbat (Soepardi,2007).
Polip nasi sejatinya merupakan temuan klinis dan bukanlah sebuah diagnose
penyakit. Secara klinis, polip adalah kantung-kantung berwarna pucat yang berisi
jaringan yang edema yang biasanya muncul dari meatus media. Warna pucat dari
polip berasal dari aliran darah yang buruk, namun pada beberapa kasus polip yang
mengalami trauma atau inflamasi terus menerus, dapat ditemukan polip yang
berwarna merah (Drake-lee,2004). Perlu diketahui bahwa temuan polip nasi pada usia
dibawah 2 tahun perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk menepiskan kemungkinan
meningokel ataupun ensefalokel. Tidaklah umum ditemukan polip pada usia dibawah
10 tahun, perlu juga dipikirkan bahwa presentas polip menunjukkan adanya kista
fibrosis (Drake-lee,2004). Etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan jelas
(Ahmad,2012). Beberapa literatur menyatakan bahwa polip muncul karena adanya
asma, hipersensitivitas aspirin, reaksi mucosal, infeksi yang menyebabkan reaksi dari
mediator inflamasi, dan juga kelainan anatomi (Drake-lee,2004).

1
2

Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Pada sebuah penelitian di
Finlandia ditemukan kasus polip nasi atas pelaporan sendiri sebanyak 4.3%
(Johansson,2003). Di Indonesia sendiri, studi epidemiologi menemukan bahwa
perbandingan pria dan wanita 2:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% (Soepardi,2007).
Pada referat ini akan dibahas mengenai anatomi, histologi,fisiologi hidung,
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan diagnosis banding,
tatalaksana, prognosis pada polip nasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung?
2. Bagaimana definisi polip nasi?
3. Bagaimana epidemiologi polip nasi?
4. Bagaimana etiologi polip nasi?
5. Bagaimana patofisiologi diagnosis polip nasi?
6. Bagaimana diagnosis dan diagnosis banding polip nasi?
7. Bagaimana penatalaksanaan polip nasi?
8. Bagaimana prognosis polip nasi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi hidung.
2. Mengetahui definisi polip nasi.
3. Mengetahui epidemiologi polip nasi.
4. Mengetahui etiologi polip nasi.
5. Mengetahui patofisiologi diagnosis polip nasi.
6. Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding polip nasi.
7. Mengetahui penatalaksanaan polip nasi.
8. Mengetahui prognosis polip nasi.
3

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca
tentang polip nasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien polip nasi saat praktik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Hidung (nasus) terdiri dari piramid hidung luar (nasus eksternus) dan rongga
hidung (cavitas nasi). Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang
wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut radiks nasi. Dari
sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir sebagai ujung yang disebut apeks
nasi. Di bagian depan terdapat lubang disebut nares. Nares di sebelah medial dibatasi
oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah lateral dibatasi oleh alae nasi.
Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di sebelah superior
diperkuat oleh tulang-tulang : os. nasalis, prosesus frontalis os. maksila dan prosesus
nasalis os frontal (Marieb, 2007).

Gambar 2.1. Anatomi hidung luar


Rongga hidung dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah anterior sampai
koana di sebelah posterior. Rongga hidung terbagi dua, kanan dan kiri oleh septum
nasi. Rongga hidung mempunyai atap, lantai, dinding lateral dan dinding media
(Netter, 2014).
a. Atap: dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os
frontale lamina cribosa, os eithmoidale dan corpus os sphenoidale.

4
5

b. Dasar: dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina horizontalis


os palatum

c. Dinding medial atau septum nasi: dari anterior ke posterior terdiri atas
cartilage septi nasi, lamina perpendicularis os eithmoidale dan vomer
d. Dinding lateral: dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os
eithmoidale, concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini
tidak rata, ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi yang
terletak di bawah tiap conchae. Conchae nasales tersebut adalah:
- conchae nasalis suprema (kadang ada kadang tidak)
- conchae nasalis superior
- conchae nasalis media
- conchae nasalis inferior
e. Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu:
- meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales
posterior
- meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus
maxilaris, sinus frontalis, cellulae ethmoidais anterior
- meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis

Gambar 2.2. Anatomi Rongga Hidung


6

Vaskularisasi hidung meliputi 4 arteri yaitu a. sphenopalatina cabang a.


maxillaris interna, a. eithmoidalis anterior cabang a. opthalmica memperdarahi
sepertiga depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi, a. eithmoidalis
posterior, mendarahi bagian superior cabang-cabang a. facialis dan a. Palatina
descendens cabang a. maxillaries interna. Pada bagian anterior septum nasi terdapat
anastomosis antara R. septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami
septales posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna, juga kadang-
kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis anterior dan cabang dari A.
palatina major. Anastomosis ini terletak superfisial. Daerah tempat anastomosis ini
disebut daerah Kiesselbach (Sobotta, 2011).

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung


Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan
bersama-sama arteri dan bermuara ke V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial (Sobotta,
2011).
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensorik dari
n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasociliaris, yang berasal dari
n.opthalmicus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensorik
7

dari n.maxillaris melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina, selain


mendapat persarafan sensorik, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabutserabut sensorik dari
n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion tersebut terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior concha media. Nervus olfaktorius turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung
(Sobotta, 2011).

2.2 Histologi
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks besilia, bertingkat
palsu (pseudo stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban
udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os
internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit
vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks; silia
pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan interior yang terutama
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus
mengandung epitel kubus dan silia yangg sama panjang dan jarak antaranya.
Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan
lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa (Higler, 1997).
Lamina propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat dan
lemah,namun di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan
sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan laimna
propria. Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda
asing dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke
faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dilambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap
patogen.Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu
jam.Silia struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat ke arah aliran
lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat.
8

Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus per menit (Higler, 1997).

Gambar 2.4. Histologi Mukosa Hidung


Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet (Higler, 1997).

2.3. Fisiologi
Secara fisiologis, hidung memiliki 7 fungsi utama, yaitu (Soetjipto, 2012):
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas etinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
9

lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi


sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih
37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring
oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
10

7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
BAB III
POLIP CAVUM NASI

3.1 Definisi

Polip adalah proses peradangan kronik non-neoplastic mukosa sinonasal.


Polip hidung jarang berdiri sendiri, biasanya ditemukan juga pada sinus paranasal
dan dapat terjadi bersama dengan rinosinusitis, sehingga sering juga disebut polip
sinonasal atau rinosinusitis kronis dengan polip. Rinosinusitis kronis dengan polip
dan tanpa polip memiliki kesamaan gejala utama yaitu hidung tersumbat, beringus,
anosmia dan nyeri wajah (Rinia, 2007).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke
arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koana. Polip koana (polip
antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal dari antrum
sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium asesorisnya
lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar dalam
nasofaring (Soetjipto, 2007).

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Di Amerika
Serikat, insiden terjadinya polip nasal pada populasi dewasa sebesar 1-4%.
Sedangkan, angka kejadian polip nasal pada anak sebesar 0,1%. Berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki dilaporkan lebih sering mengalami polip nasal. Sekitar 19-36%
pasien polip nasal menderita rhinosinusitis kronik (McClay, 2017). Prevalensi
terjadinya polip nasal lebih tinggi pada individu dengan asthma, kistik fibrosis serta
hipersensitivitas terhadap aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
dibandingkan dengan populasi umum (Jahromi, 2012). Berdasarkan penelitian
deskriptif observasional di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018, frekuensi penderita
polip nasi di terbanyak berdasarkan kelompok usia yaitu kelompok usia 46-60 tahun
(40,7%), angka kejadian pada laki-laki lebih banyak (74,1%), hidung tersumbat
merupakan keluhan utama yang paling sering terjadi (55,6%) dengan sinusitis

11
12

sebagai faktor resiko yang paling sering ditemukan (59,3%) dan terapi polip nasi
berupa medikamentosa & pembedahan (66,7%) (Wirananda, 2018).

3.3 Etiologi

Etiologi polip nasal belum diketahui pasti, namun terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya polip nasal, antara lain:

1. Infeksi kronik
Telah dilakukan penyelidikan terhadap beberapa jenis mikro-organisme untuk
mengetahui perannya sebagai penyebab timbulnya RSK dengan polip hidung.
Norlander dkk. menemukan polip mirip jaringan granulasi dan polip
edematosa pada sinusitis maksilaris bakterial secara eksperimental pada
kelinci. Bakteri patogen yang paling sering ditemukan ialah Streptococcus B
hemolyticus, Staphylococcus aureus, Streptococcus peneumoniae and
Haemophilus influenza. Sel-sel neutrofil yang ditemukan di dalam NP dalam
percobaan ini, bukannya eosinofil. Namun polip hidung bisa didapati pada
semua kelompok sinusitis tanpa melihat faktor penyebabnya dan tidak
berhubungan langsung dengan adanya bakteri tertentu (Norlander, 1993).
Ponikau dkk. menemukan bukti adanya jamur yang secara potensial ikut serta
menjadi penyebab dalam pembentukan polip hidung, terutama jenis
Alternaria, pada 96% dari 210 pasien RSK dengan polip yang diteliti secara
konsekutif. Walaupun hasil-hasil ini menjanjikan klarifikasi tentang
mekanisme etiopatogenesis polip hidung, namun penelitian lebih lanjut yang
dilakukan secara multisenter tidak berhasil membuktikan efektifitas
pengobatan antijamur topikal dengan cara pemberian obat semprot topikal
antijamur dan bilasan hidung antijamur yang dijalankan selama 2-3 bulan.
Penelitian lain yang memberikan terbinafine per oral selama 6 minggu pada
pasien-pasien RSK tanpa polip hidung juga tidak memberikan hasil yang
memuaskan (Ponikau, 1999)
2. Alergi
Sudah lama banyak yang berusaha membuktikan adanya hubungan antara
alergi dengan polip hidung. Namun pada berbagai penelitian didapat hasil
13

yang berbeda-beda. Beberapa penelitian memperlihatkan data yang


mendukung alergi mungkin ada hubungannya dengan terjadinya polip
hidung. Mereka mendapatkan prevalensi polip hidung sebesar 0.5 sampai
4.5% pada orang-orang dengan rinitis alergi dan 25.6% pasien dengan alergi
dibanding 3.9% pada populasi kontrol. Namun sebaliknya, banyak juga
penelitian yang tidak mendapatkan hubungan bermakna antara rinitis alergi
dengan polip hidung tetapi menemukan adanya hubungan bermakna antara
kadar IgE total dan IgE spesifik dengan infiltrasi eosinofilik di dalam polip
hidung. Hasil ini tidak berhubungan dengan hasil tes culit kulit (Bachert,
2001).
3. Asma
Adanya hubungan keterlibatan saluran napas bawah dengan adanya polip
hidung dilaporkan antara 31% dan 42% kasus. Dari percontoh ini gejala
klinis yang ada antara lain mengi dan kesulitan bernapas. Diagnosis asma
didapat pada 26% pasien dengan polip hidung, dibanding 6% pada kelompok
kontrol. Sebaliknya didapat 7% polip hidung pada pasien asma. Prevalensi
polip hidung 13% pada pasien asma non-atopik dan 6% pada pasien asma
atopik. Polip hidung juga dilaporkan sebagai faktor pencetus timbulnya asma
lambat, dengan prevalensi sebesar 10-15%. Umumnya polip hidung 2 kali
lebih banyak ditemukan pada laki-laki, walaupun proporsi penderita polip
dengan asma 2 kali lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki. Wanita
yang menderita polip hidung 1,6 kali lebih mungkin mendapat penyakit asma
dan 2,7 kali untuk mendapat rinitis alergi (Kowalski, 2005)

3.4 Patofisiologi
Secara mikroskopik, di dalam stroma polip hidung mengandung jaringan ikat
longgar, edema, sel-sel radang dan sedikit kelenjar dan pembuluh darah kapiler yang
dilapisi oleh beberapa macam epitel terutama epitel khas saluran pernapasan yaitu sel
torak berlapis semu bersilia dengan sel goblet di antaranya. Perbedaan mendasar
mukosa pada polip nasi dan mukosa normal ialah mukosa polip mengandung
eosinofil, edema, perubahan pertumbuhan epitel dan terbentuknya formasi kelenjar
yang baru (Fokkens, 2020).
14

Pada dekade terakhir ini diduga kuat teori reaksi inflamasi adalah penyebab
utama terbentuknya polip nasi dengan ditemukannya sel inflamasi sitokin dalam
jumlah besar. Sel inflamasi sitokin ini menyebabkan peningkatan regulasi dari
reseptor permukaan endotelial pembuluh darah dan integritas pada permukaan sel
yang terinflamasi. Pada keadaan ini telah terjadi adesi, migrasi eosinofil
mikrovaskular pada lamina propia yang disebabkan oleh pelepasan mediatormediator
peradangan seperti interleukin (IL)-1B, tumor nekrosis faktor-alfa, granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), vascular cell adhesion (VCAM-1),
integrins (VLA 4), lymphocyte function associated antigen-1 (LFA-1) dan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Eosinofil akan teraktivasi,
berdegranulasi dan melepaskan mediator inflamasi dan juga melepaskan IL-3 dan IL-
5, kedua sitokin ini berfungsi meningkatkan penarikan eosinofil, selanjutnya sitokin
ini bertanggung jawab atas penekanan apoptosis sehingga meningkatkan kemampuan
bertahan eosinofil. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan pembentukan granul
protein dasar yang mempunyai efek dalam memproduksi mukus bersamaan dengan
perubahan ion, sehingga terjadi pergerakan ion sodium dan cairan dari lumen ke
dalam sel dan kemudian ke lamina propia yang terlihat sebagai edema dalam polip
nasi (Fokkens, 2020).
Hancurnya permukaan epitel oleh meditor inflamasi yang berasal dari
eosinofil dan sel inflamasi lain menyebabkan regenerasi epitelial baru sehingga
terjadi hiperplasia sel goblet, metaplasia sel skuamosa dan hiperplasia sel basal.
Keadaan tersebut diatas mengakibatkan gangguan fungsi cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR), protein yang berperan pada sekresi klorida
sehingga mengakibatkan keseimbangan sodium channel yang lebih terbuka dan
mengakibatkan peningkatan aborbsi sodium dan retensi cairan. Semua mekanisme
tersebut diatas merupakan awal patologi terjadinya polip yaitu edema (Fokkens,
2020).
15

Gambar 3.1 Patofisiologi polip nasi


Peningkatan sintesis leukotrien pro inflamasi dan penurunan sintesis
prostaglandin anti inflamasi (PGE2) juga diduga merupakan mekanisme terjadinya
rinosinusitis kronis dengan polip. Beberapa teori mendukung pemikiran tersebut,
namun tidak begitu berkembang lagi disebabkan oleh terbatasnya efikasi klinis alur
leukotrien inhibitor. Hipotesis “Staphylococcal superantigen” menjelaskan bahwa
eksotoksin mempunyai efek sel multipel termasuk sel epitel, limfosit, eosinofil,
fibroblast dan sel mast. Efek ini untuk membantu mikroorganisme dalam
mengganggu respon imun host. Efek dari host primer adalah respon inflamasi Th2,
pembentukan poliklonal lokal IgE, meningkatnya eosinophil survival, degranulasi sel
mast dan perubahan metabolisme eukosanoid. Efek pada jaringan lokal tersebut
merupakan faktor penyebab terbentuknya polip. Hipotesis “immune barrier”
menjelaskan bahwa defek pada barier mekanik dan respon imun innate dari epitel
sinonasal bermanifestasi sebagai rinosinusitis kronis. Defek ini menyebabkan
meningkatnya kolonisasi agen mikroba. Kerusakan epitel dan disfungsi barier host
menyebabkan kolonisasi S. Aureus mensekresi superantigen yang merupakan faktor
penyebab terbentuknya polip (Fokkens, 2012).
16

3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


3.5.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hyposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidunóg disertai sakit
kepala daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip
dan rinore purulent (Hopkins, 2019).
Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan
gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada
penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi,
asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan
(Hopkins, 2019 .
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Terlihat deformitas hidung luar sehingga hidung tampak melebar
Rhinoskopi anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel atau
soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara
memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka
nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak
mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus
maksilaris atau dari septum.

Gambar 3.2 Polip nasi pada pemeriksaan rhinoskopi anterior


17

Rhinoskopi Posterior
Para rhinoskopi posterior dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang
menandakan adanya rhinosinusitis.
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Sistem penderajatan polip hidung secara endoskopik menurut Mackay dan Lund
(1997) dapat ditentukan sebagai berikut, yaitu:
• Grade 0: tidak dijumpai adanya polip;
• Grade 1: polip masih terbatas di meatus medius;
• Grade 2: polip sudah keluar dari meatus media, bisa mencapai konka inferior
atau dinding medial konka media tapi belum memenuhi rongga hidung;
• Grade 3: polip yang masif/total, memenuhi kavum nasi
Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal
juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks
osteomeatal.

Gambar 3.3 Polip nasi pada pemeriksaan nasoendoskopi


18

Gambar 3.4 Derajat polip menurut Mackay dan Lund (1997)


a. Grade 1, b. Grade 2, c. Grade 3
Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK/
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terpai medikantosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Luukkainen, 2019).
Skor Lund-Mackay dinilai dari CT Scan Sinusparanasal (SPN) tanpa kontras
potongan koronal irisan 3mm soft tissue setting pada slice-slice yang paling jelas
menunjukkan kelima SPN dan kompleks osteomeatal. Tiap sinus (maksila, etmoid
anterior, etmoid posterior, sfenoid dan frontal) diberi skor antara 0 dan 2 (0: tidak ada
abnormalitas; 1: opasifikasi parsial; 2: opasifikasi total). Kompleks osteomeatal
diberi skor sebagai 0 (tidak ada obstruksi) atau 2 (obstruksi). Skor kemudian
dijumlahkan secara terpisah kanan dan kiri serta secara total keseluruhan. Skor total
yang dimungkinkan adalah 0–24, dan tiap sisi (kanan dan kiri) dinilai secara terpisah
(0– 12). Skor Lund-Mackay total dikategorikan sebagai tinggi atau rendah
berdasarkan nilai median dari hasil yang didapatkan yaitu 10. Skor Lund-
Mackay dikategorikan sebagai rendah bila nilainya ≤10, dan tinggi bila nilainya >10
(Luukkainen, 2019).
19

Biopsi
Biopsi dianjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi
tulang pada foto polos rontgen. Polip hidung harus dapat dibedakan dengan neoplasia
dan vasculitis. Biopsi yang dilakukan sebelum terapi juga sekaligus dapat merupakan
pembanding untuk menilai efektivitas terapi.
Diagnosis banding polip nasi yaitu konka polypoid atau konka hidung yang
menyerupai polip, yang ciri – cirinya sebagai berikut:
• Tidak bertangkai
• Sukar digerakkan
• Nyeri bila ditekan dengan pinset
• Mudah berdarah
• Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk
membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian
vasokonstriktor yang juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena dapat menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.

3.6 Tata Laksana


Pengobatan polip cavum nasi berupa terapi obat-obatan dan operasi. Terapi
medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian
kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga
diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.
Pada polip edematosa, dapat diberikan pengobatan:
• Nasal irigasi
• Kortikosteroid oral, misalnya prednison (30-60mg) selama 4-7 hari
dan diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak
yaitu 1mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3
minggu
20

• Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon


0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
• Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan
obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai
lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Contohnya yaitu
Flutikason 0,05% (MedicortTM). Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman.
Menurut Fokkens (2020), pilihan pengobatan baru antibodi monoklonal
dupilumab (anti IL-4Rα) untuk pengobatan rhinosinusitis kronis dengan polip nasi
oleh Food and Drug Administration (FDA) AS dan European Medicines Agency
(EMA) pada tahun 2019 telah secara signifikan mengubah pilihan pengobatan di
rhinosinusitis kronis dan diharapkan antibodi monoklonal lain akan menyusul.
Hingga 2019 antibodi monoklonal hanya dapat diresepkan pada pasien dengan asma
(parah) yang terjadi bersamaan.
Polip yang ukurannya sudah besar dilakukan pembedahan, dengan indikasi:
• Polip menghalangi saluran nafas
• Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi
sinus. • Polip berhubungan dengan tumor
• Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist yang
gagal pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Pada polip yang dengan ukuran besar akan dilakukan ektraksi polip (polipektomi)
dengan menggunakan senar polip. Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan
polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal, untuk polip yang
besar dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih
besar dan anestesi umum. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar
namun belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk
memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau
polip yang sedikit.
Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat,
pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi
yang lebih baik. Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional merupakan
21

tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus, merupakan teknik yang lebih
baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media
yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu
mengurangi angka kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang
sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal.
Keputusan atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus paranasal
sebelum operasi. Anterior Ethmoidectomy, Posterior Ethmoidectomy, Antrostomy
Meatus Medius dan pembersihann resesus frontalis dapat dilakukan pada semua
pasien Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa diberikan sebelum
dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah
profilaksis pasca operasi.

3.7 Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps. Polip hidung sering
tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada
penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rhinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi (Lou, 2018).

Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa


dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan (Lou, 2018).
BAB IV
KESIMPULAN

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Gejala utama polip hidung adalah sumbatan hidung dan hilangnya sensasi bau. Berat
ringannya tergantung besar kecilnya polip, atau pada saat mendapat serangan radang
atau alergi.
Polip hidung sangat mengganggu pada kebanyakan pasien dan
pengobatannya pun masih kontroversial. Penyakit ini sering berulang dan
memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian
pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip
supaya aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernapas dengan
baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman
kembali normal.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M.J., S. Ayeh. The epidemiological and clinical aspect of nasal polypsthat
require surgery. Iranian Journal Of Otorhinolaryngology; 2012.
Drake-Lee, A., 2004. Nasal polyps. Hospital Medicine, 65(5), pp.264-
267.Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody,
F., Cohen, N., Cervin, A., Douglas, R., Gevaert, P. and Georgalas, C., 2012.
EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps
2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology, 50(1), pp.1-12.
Fokkens, W.J., Lund, V.J., Hopkins, C., Hellings, P.W., Kern, R., Reitzma, S.,
Toppila-Salmi, S., Bernal-Sprekelsen, M. and Mullol, J., 2020. Executive
summary of EPOS 2020 including integrated care pathways. Rhinology.
Higler, Peter. Hidung (Anatomi dan fisiologi terapan). Dalam:Effendi H,
editor:BOEIS:Buku Ajar Penyakit THT.Edisi keenam.Philadelphia:WB
Saunders Company,1997.Hal 173-188
Hopkins, C., 2019. Chronic rhinosinusitis with nasal polyps. New England
Journal of Medicine, 381(1), pp.55-63.
Jahromi AM, Pour AS. The Epidemiological and Clinical Aspects of Nasal Polyps
that Require Surgery. Iran J Otorhinolaryngol. 2012; 24(67): 75–78.
Johansson, L., Åkerlund, A., Melén, I., Holmberg, K. and Bende, M., 2003.
Prevalence of Nasal Polyps in Adults: The Skovde Population-Based Study. Annals
of Otology, Rhinology & Laryngology, 112(7), pp.625-629.
Kesehatan Telinga-Hidung-Tengorokan, Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2007: p.125-123
Kowalski ML, Lewandowska-Polak A, Wozniak J, Ptasinska A, Jankowski A,
Wagrowska-Danilewicz M, et al. Association of stem cell factor expression
in nasal polyp epithelial cells with aspirin sensitivity and asthma. Allergy.
2005;60(5):631-7.
Lou, H., Zhang, N., Bachert, C. and Zhang, L., 2018, November. Highlights of
eosinophilic chronic rhinosinusitis with nasal polyps in definition,
prognosis, and advancement. In International forum of allergy & rhinology
(Vol. 8, No. 11, pp. 1218-1225).
Luukkainen, A., Numminen, J., Rautiainen, M., Julkunen, A., Huhtala, H., Lampi,
J., Markkola, A., Myller, J., Andiappan, A.K., Wang, D.Y. and Toppila-
Salmi, S., 2019. Association Between Endoscopic, Radiologic and Patient-
reported Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. The Open Allergy
Journal, 10(1).
24

Mangunkusumo, E., R. S. Wardani. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Polip


Hidung Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007
Marieb, E.N. and Hoehn, K., 2007. Human anatomy & physiology. Pearson
education.
McClay JE. Nasal Polyps. 2017.
https://emedicine.medscape.com/article/994274overview
Netter, F.H., 2014. Atlas of human anatomy, Professional Edition E-Book:
including NetterReference. com Access with full downloadable image Bank.
Elsevier health sciences.
Norlander T, Fukami M, Westrin KM, et al. Formation of Mucosal Polyps in The
Nasal and Maxillary Sinus Cavities by Infection. Otolaryngol Head Neck
Surg 1993;109:522-9.
Paulsen, F. and Waschke, J., 2011. Sobotta. Elsevier Health Sciences Germany.
Ponikau JU, Sherris DA, Kern EB, Homburger HA, Frigas E, Gaffey TA, et al.
The diagnosis and incidence of allergic fungal sinusitis. Mayo Clin Proc.
1999;74(9):877-84.
Rinia, AB, Kostamo K, Ebbens FA, van Drunnen CM, Fokkens WJ. Nasal
polyposis: a cellular-based approach to anwer questions, Allergy
2007:62:348-58.
Soetjipto, D. mangunkusumo, E. Wardani, R.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. 7th Ed. 2012. Badan Penerbit FKUI,
Jakarta
Soepardi, E.A., N. Iskandar, J. Bashiruddin, R.D. Restuti. Polip hidung dalam buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher, edisi ke-6.
Jakarta:FKUI; 2007

Wirananda, I.M.S.V., Asthuta, A.R. and Saputra, K.A.D., 2018. Karakteristik


penderita polip hidung di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai